ANALISIS PENGARUH
SLICE THICKNESS
TERHADAP CITRA
CT SCAN DENGAN KASUS
SINUS PARANASAL
PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN
SKRIPSI
SRITUTI SINAGA
NIM : 130821008
DEPERTEMEN FISIKA
JURUSAN FISIKA MEDIK
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS PENGARUH
SLICE THICKNESS
TERHADAP CITRA
CT SCAN DENGAN KASUS
SINUS PARANASAL
PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
SRITUTI SINAGA
NIM : 130821008
DEPERTEMEN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : Analisis Pengaruh Slice Thickness Terhadap Citra CT Scan Dengan Kasus Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan
Kategori : Skripsi
Nama : Srituti Sinaga
Nim : 130821008
Program Studi : Sarjana (S1) Fisika Medis Depertemen : Fisika
Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, 31 Agustus 2015
Komisi Pembimbing
Pembimbing II Pembimbing I
Josepa ND Simanjuntak, M.Si Drs. Herli Ginting, M.S
NIP. 197703192006042001 NIP.195505191960110001
Disetujui Oleh
Departemen Fisika FMIPA USU Ketua,
LEMBARAN PENGESAHAN
JUDUL
ANALISIS PENGARUH
SLICE THICKNESS
TERHADAP CITRA
CT SCAN DENGAN KASUS
SINUS PARANASAL
PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN
Disetujui oleh : Pembimbing I
(
NIP.195505191960110001 Drs. Herli Ginting, M.S)
Pembimbing II
(
NIP.197703192006042001 Josepa ND Simanjuntak, M.Si)
Disahkan oleh :
Ketua Departemen Fisika FMIP USU
PERNYATAAN
Analisis Pengaruh Slice Thickness Terhadap Citra CT Scan Dengan Kasus Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan
SKRIPSI
Saya mengakui bahwa Skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah swt sehingga Penulis
dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “ANALISIS PENGARUH SLICE THICKNESS TERHADAP CITRA CT SCAN DENGAN KASUS SINUS PARANASAL PENGGUNA GIGI PALSU IMPLAN”.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan S-1 Fisika pada program Studi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.
Selama penyusunan skripsi ini Penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak, Pada kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman,MSc.
2. Bapak DR. Marhaposan Situmorang selaku kepala jurusan Fisika
Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Drs. Herli Ginting M.Si dan Ibu Josepa ND Simanjuntak, M.Si
selaku pembimbing utama yang selalu membantu saya disetiap kesulitan
yang saya hadapi dalam menyempurnakan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen/Staf pengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Sumatera Utara.
5. Ayahanda Ahad Sinaga, Ibunda Saamah,dan Suami saya Fadli Karo Karo
yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan, semangat dan bantuan
baik dalam bentuk moril maupun material dalam menyelesaikan skripsi
ini. Juga buat kedua anak saya yang selalu mendoakan dan memberikan
semangat kepada saya.
6. Kepada teman saya Saudari Hotromasari Dabukke dan Hediana
Sihombing .
7. Kebersamaan seluruh teman teman seperjuangan di Fisika Ekstensi
Angkatan 2013.
8. Seluruh Radiolog, teman teman Radiografer dan Staf Radiologi di RS
ii
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangatlah diharapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya hanya pada Tuhan Yang Maha Esa kita
kembalikan segala harapan kita dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
Terima kasih.
Medan……….
Penulis
iii
ABSTRAK
Artefak adalah suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan. Telah dilakukan suatu penelitian tentang analisis pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan. Slice thickness yang digunakan adalah 1,3,5,dan 7 mm. Penelitian dilakukan di Unit Radiologi Rumah Sakit Pirngadi Medan. Dari hasil penelitian di dapat bahwa slice thickness 1mm yaitu 3,18D diperoleh gambaran artefak semakin besar, slice thickness 7 mm yaitu 2,54D diperoleh gambaran artefak semakin berkurang (sedikit ) dan ukuran slice thickness 7 mm akan menghasilkan gambaran citra CT Scan sinus paranasal dengan detail yang rendah, sedangkan ukuran slice thickness 1 mm akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.
iv
ABSTRACT
Artifacts is a disturbance in the image display CT Scan . Has conducted a study on the analysis of effect image slice thickness CT Scan with cases of paranasal sinus users dentures implan. Slice thickness used is 1, 3, 5 and 7 mm. The riset in Radiology Pirngadi Hospital Medan. The results of research that the slice thickness of 1mm is 3,18D obtained a description of the larger artifacts, slice thickness 7 mm is 2,54D obtained a description of the artifacts on the wane ( a little ) and the size of the slice thickness 7 mm produced a picture image with a CT Scan of the paranasal sinuses low detail, while the size of the slice thickness of 1 mm will produce a picture with high detail.
Keywords : Artifacts, slice thickness, implan, CT Scan of dental the paranasal sinuses, sharpness
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR ISTILAH ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3 Batasan Masalah ... 3
1.4 Tujuan Penelitian... 3
1.5 Manfaat Penelitian... 4
1.6 Sistematika Penulisan ... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Gigi dan Komponennya ... 5
2.1.1 Komponen-Komponen Gigi ... 6
2.1.2 Material Gigi Palsu ... 7
2.1.3 Jenis–Jenis Gigi Palsu Lepasan ... 7
2.1.4 Gigi Palsu Cekat (Permanen) ... 9
2.1.4.1 Bahan gigi mplant ... 11
2.1.4.2 Bagian-bagian gigi Implan ... 12
2.2 Sinus paranasal ... 13
2.2.1 Fungsi Sinus Paranasal ... 14
2.3 Gambar CT-Scan sinus maksila ... 14
2.4 Artefak Pada Citra CT Scan ... 15
vi
2.6 Prinsip Kerja CT Scan ... 17
2.6.1 Pemrosesan data ... 18
2.7 Densitas ... 18
2.8 Densitometer ... 21
2.9 Densitometer ... 22
2.9.1 Diagram Blok ... 22
2.9.2 Prinsip kerja Densitometer ... 23
BAB III METODELOGI PENELITIAN ... 24
3.1 Tempat Penelitian ... 24
3.2 Alat Dan Bahan Penelitian ... 24
3.3 Prosedur Penelitian Pemeriksaan CT Sinus Paranasal ... 26
3.4 Prosedur pengukuran film CT Scan dengan alat densitometer 28 3.5 Flow Chart Penelitian ... 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40
5.1 Kesimpulan... 40
5.2 Saran ... 40
vii
DAFTAR TABEL
Halamam
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Densitas Pada Daerah Titik pengukuran citra
dan Variasi Slice Thickness ... 32
Tabel 4.2. Hasil Rata-Rata Pengukuran Densitas Pada Setiap Perubahan
Slice Thickness ... 33
Tabel 4.3. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan Atas 34
Tabel 4.4. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan
Bawah ... 35
Tabel 4.5. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas .... 36
Tabel 4.6. Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah 37
Tabel 4.7 Nilai Rata Rata Densitas keempat titik variasi dengan Slice
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Diagram Potongan Sagital Gigi Molar Pertama Bawah (Fawcett,
2002) ... 5
Gambar 2.2 Gigi Partial Akrilik, Free End Akrilik, dan Full Denture Akrilik (www.drjoygraham.com) ... 8
Gambar 2.3 Kerangka Logam 8 Gambar 2.4 Jenis valplast (http:dentaluniverseindonesia.com/index.php/ article/ 68-valplast-gigi tiruan-lepasan) ... 9
Gambar 2.5 Jenis gigi Palsu Crown Porselen, Mahkota Pals 9 Gambar 2.6 Gigi Tiruan Jembatan ... 10
Gambar 2.7 Dental Implan (http://clinicariosruiz.com/service/ implantologia)... 11
Gambar 2.8 CT-Scan sinus yang bersih dan yang tersumbat (Sumber: Metson Ralph B, Steven Mardon. Populer. 2006)... 14
Gambar 2.9 Bagan Prinsip Kerja CT Scanner ... 17
Gambar 2.10 Collimator dan Detektor ... 18
Gambar 2.11 Proses Pembentukan Citra ... 18
Gambar 2.12 Skema pembentukan nilai densitas (Sumber : Radiographic Photography and Imaging Prosecesses, David Jenkins). ... 22
Gambar 2.13 Diagram Blok Densitometer ... 23
Gambar 2.14 Densitometer Tampak Dari Depan ... 23
Gambar 3.1 CT Scan 64 Slice Pirngadi Medan ... 24
ix
Gambar 3.9 Diagram Penelitian ... 30
Gambar 4.1 Hasil citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu
implan dengan variasi Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm
dan 7 mm. ... 31
Gambar 4.2 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kanan Atas ... 34
Gambar 4.3. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kanan Bawah ... 35
Gambar 4.4. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kiri Atas ... 36
Gambar 4.5 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Densitas Daerah
Pengukuran Titik Kiri Bawah ... 37
Gambar 4.6 Grafik Nilai Rata Rata Densitas Keempat Titik Variasi
x
DAFTAR ISTILAH
Abutment : Protesa gigi yang diletakkan pada permukaan abutmen
dengan sementasi (sekrup) sebagai pengganti mahkota
gigi dan terbuat dari porselen
Alveoulus : Struktur anatomi yang memiliki bentuk berongga
Artefak : Suatu gangguan pada tampilan citra ct scan
Axial : Potongan gambaran transversal
Coronal : Potongan dari depan
CT Number : Nilai koefisien sinar x yang ditentukan oleh energi
rata-rata sinar x dan nomor atom penyerap, hal ini
dinyatakan dengan koefisien atenuasi
CT Scan : Pemeriksaan penunjang medis dengan menggunakan
sinar x dengan bantuan operator yang handal dapat
memeriksa jaringan tubuh yang diinginkan sesuai dengan
kebutuhan pasien dan dokter
Dentin : Zat antara email (zat mahkota)atau semen (zat di akar)
Email : Substansi paling keras ditubuh ia berwarna putih
kebiruan
Faktor ekspose : Faktor faktor yang berpengaruh terhadap eksposi
Field of view : Diameter maximal dari gambaran yang akan
direkonstruksi
Gantry tilt : Komponen pesawat ct scan yang di dalamnya terdapat
tabung sinar x, filter, detektor, DAS serta lampu
indikator untuk sentrasi
Gingival : Suatu jaringan lunak yang terdapat pada rongga mulut
Healing Cup : Komponen berbentuk kubah yang ditempatkan pada
permukaan implan dan sebelum penempatan implan
abutment
Lateral : Gambaran dari samping
Maksilla : Rahang Atas
xi
Nasal : Hidung
Noise : Fluktuasi (Standart Deviasi) nilai CT Number pada
jaringan atau materi yang homogen
Pulpa : Bagian yang lunak dari gigi
Pixel : Titik titik kecil gambaran
Range : Perpaduan atau kombinasi dari beberapa slice thickness
dengan ketebalan irisan berbeda
Sagital : Potongan dari samping kiri ke kanan atau sebaliknya.
Sinus Ethmoidalis : Tiga sinus pada setiap sisi di daerah kecil diatas hidung
diantara mata
Sinus Frontalis : Dua rongga berisi udara yang terletak di belakang dahi
sebelah tengah bawah
Sinus Maxillaris : Dua rongga berisi udara yang terletak dalam tulang
wajah di bagian pipi
Sinus Paranasal : Rongga pada tulang yang berada pada daerah hidung.
Sinus Sphenodalis : Sinus yang terletak di belakang tulang ethmoidalis
Slice thickness : Tebal irisan atau potongan dari objek yang diperiksa
Spatial Resolusi : Kemampuan untuk dapat membedakan objek/organ yang
berukuran kecil
Volume investigasi : Keseluruhan lapangan dari objek yang di periksa
iii
ABSTRAK
Artefak adalah suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan. Telah dilakukan suatu penelitian tentang analisis pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal pengguna gigi palsu implan. Slice thickness yang digunakan adalah 1,3,5,dan 7 mm. Penelitian dilakukan di Unit Radiologi Rumah Sakit Pirngadi Medan. Dari hasil penelitian di dapat bahwa slice thickness 1mm yaitu 3,18D diperoleh gambaran artefak semakin besar, slice thickness 7 mm yaitu 2,54D diperoleh gambaran artefak semakin berkurang (sedikit ) dan ukuran slice thickness 7 mm akan menghasilkan gambaran citra CT Scan sinus paranasal dengan detail yang rendah, sedangkan ukuran slice thickness 1 mm akan menghasilkan gambaran dengan detail yang tinggi.
iv
ABSTRACT
Artifacts is a disturbance in the image display CT Scan . Has conducted a study on the analysis of effect image slice thickness CT Scan with cases of paranasal sinus users dentures implan. Slice thickness used is 1, 3, 5 and 7 mm. The riset in Radiology Pirngadi Hospital Medan. The results of research that the slice thickness of 1mm is 3,18D obtained a description of the larger artifacts, slice thickness 7 mm is 2,54D obtained a description of the artifacts on the wane ( a little ) and the size of the slice thickness 7 mm produced a picture image with a CT Scan of the paranasal sinuses low detail, while the size of the slice thickness of 1 mm will produce a picture with high detail.
Keywords : Artifacts, slice thickness, implan, CT Scan of dental the paranasal sinuses, sharpness
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sinus paranasal merupakan sinus atau rongga pada tulang berada sekitar
nasal atau
berhubungan dengan rongga hidung. Ruangan-ruangan udara tersebut disebut
sinus paranasalis. Sinus paranasal ada empat bagian, dan terdapat di tulang
wajah antara lain sinus frontalis pada os frontalis, sinus ethmoidalis pada os
ethmoidalis, sinus sphenoidalis pada os sphenoid dan sinus maxillaris pada os
maxilla. Sinusitis paranasal merupakan peradangan pada selaput permukaan sinus
paranasal, sesuai dengan rongga yang terkena sinusitis, yang terdiri dari empat
bagian yaitu sinus maksila, sinus etmoidal, sinus frontal dan sinus sphenoidal.
Sinus yang terbesar dari sinus paranasal adalah sinus maxillaris dengan bentuk
yang piramidal. Daerah sinus merupakan pertemuan keadaan patologis pada gigi
dan paranasal. Patologis pada rongga mulut dapat meluas ke sinus, dan patologis
dalam sinus dapat mencapai proseseus alveolaris maksila (Brontrager, 2001).
Sebagian gigi berada pada daerah rahang atas atau maxilla, yang dekat
dengan sinus maxillaris, kelainan atau kerusakan pada gigi dapat menyebabkan
gigi terlepas, sehingga diperlukan gigi pengganti ataupun gigi tiruan yang berguna
sebagai protesa gigi lepasan untuk menggantikan permukaan pengunyahan dan
struktur-struktur yang menyertainya dari suatu lengkung gigi rahang atas dan
rahang bawah. Basis protesa individual dapat dibuat dari logam atau campuran
logam, yang biasanya menggunakan polimer, yang dipilih berdasarkan
keberadaannya, kestabilan dimensi, karakteristik penanganan, dan warna
(Kenneth, 2003).
Gigi tiruan lepasan dibuat untuk orang yang memerlukan gigi pengganti
gigi yang hilang/ompong dalam mulut. Berbagai macam bahan pembuat gigi
tiruan seperti bahan valplast yang merupakan bahan yang lentur dan kuat untuk
estetika, bahan metal yang biasanya untuk untuk gigi rahang bawah sebagai
pengunyah dan bahan akrilik merupakan bahan yang ekonomis. Pada saat ini
2
meggunakan gigi palsu, behel bahan metal, namun saat pemeriksaan sinus
paranasal atau gigi palsu bahan metal tersebut dapat mengganggu pencitraan
pemeriksaan Sinus Paranasal dengan menggunakan modalitas CT Scan.
Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal merupakan pemeriksaan radiologi yang
umumnya pada kasus mess, lesi atau tumor dapat menggunakan irisan CT Scan
dengan potongan axial dan potongan coronal, pada gambar CT-Scan Sinus
Paranasal menunjukkan kelainan dari sinus,dan memperlihatkan dekstruksi
tulang mempunyai peranan penting untuk perencanaan terapi serta menilai respon
terhadap radioterapi (Ballinger,1995). Ini merupakan kelebihan CT Scan sinus
paranasal dibandingkan dengan foto radiografi konvensional Sinus Paranasal
(Amstrong, 1989).
Pemeriksaan Sinus Paranasal sering terdapat artefak yang mengganggu
citra CT Scan. Secara umum, artefak merupakan suatu gangguan pada tampilan
citra CT Scan atau adanya sesuatu dalam citra. Artefak didefinisikan sebagai
pertentangan/ perbedaan antara rekonstruksi CT Number dalam citra dengan
koefisien atenuasi yang sesungguhnya dari objek yang diperiksa (Seeram, 2001).
Untuk menghindari artefak tersebut pada pemeriksaan Sinus Paranasal
dapat dilakukan dengan gantry tilting sehingga diperoleh, citra yang lebih baik
dan akurat. Pada CT Scan terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas
citra, seperti range, volume investigasi, faktor expose, field of view,gantry tilt dan
Slice thickness. Slice thickness merupakan tebalnya irisan atau potongan dari
objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 mm-10 mm sesuai dengan
keperluan klinis. Ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail
yang rendah sebaliknya dengan ukuran yang tipis akan menghasilkan detail-detail
yang tinggi. Bila ketebalan meninggi akan timbul gambaran-gambaran yang
mengganggu seperti garis dan bila terlalu tipis gambaran akan terlihat tidak halus
(Sprawls, 1995).
Slice thickness yang tebal mengurangi ketajaman pada bidang atau (axis
craniocaudal), ketajaman pada tepi struktur organ juga berkurang pada gambar
transaksial. Dan semakin meningkat tebal slice thickness kemungkinan terjadinya
partial volume artefak semakin besar sehingga gambar tampak kabur. Matriks
3
dasar dari gambar digital dua dimensi. Setiap pixel pada gambar CT Scan
berhubungan dengan voxel (volume element) pasien voxel memiliki dimensi
bidang yang sama dengan pixel tetapi termasuk juga slice thickness. Setiap pixel
pada gambar CT Scan menampilkan rata-rata atenuasi sinar x dari jaringan dalam
suatu voxel (Sprawls, 1995).
Pemilihan slice thickness pada saat pembuatan gambar CT Scan
mempunyai pengaruh langsung terhadap spatial resolusi yang dihasilkan. Dengan
slice thickness yang meningkat (tipis) maka spasial rasolusi gambar semakin
baik, demikian sebaliknya. Namun pengaruh yang berbeda terhadap dosis radiasi
yang diterima oleh pasien. Semakain tipis irisan, dosis radiasi semakin tinggi dan
berlaku sebaliknya (Seeram, 2001).
Berdasarkan hal tersebut maka penulis akan mengkaji lebih lanjut tentang
“Analisis Pengaruh slice thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus
paranasal pengguna gigi palsu implan”.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan Masalah pada penelitian ini yaitu : “Bagaimana pengaruh slice
thickness terhadap citra CT Scan sinus paranasal pada pengguna gigi palsu
implan?
1.3 Batasan Masalah
Untuk membatasi permasalahan pada penelitian ini dibahas tentang
pengaruh slice thickness terhadap kualitas citra CT Scan yaitu pengaruh artefak,
detail/tingkat ketajaman dengan kasus CT Scan sinus paranasal pengguna gigi
palsu implan yang berada pada sebelah kanan atas dengan pengukuran densitas
citra.
1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk memperoleh kualitas citra CT Scan Sinus paranasal yang lebih
akurat dengan mengurangi artefak.
2. Untuk mengetahui pengaruh slice thickness pada tingkat ketajaman citra CT
4
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh slice thickness terhadap
artefak yang ada pada citra ct scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu
implan.
2. Menambah pengetahuan bagi petugas CT Scan tentang pengaruh slice
thickness terhadap detail citra CT Scan sinus paranasal pada pengguna gigi
palsu implan.
1.6 Sitematika Penulisan
Sistematika penulisan yang disampaikan dalam tugas akhir ini, penulis
membagi atas beberapa BAB yang terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis membahas mengenai Latar belakang, Rumusan
Masalah, Batasan masalah, Tujuan Penelitian, dan Manfaat Penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis membahas mengenai Gigi dan
Komponennya,Bahan Gigi Implan, Sinus paranasal, Artefak, Slice
thickness, Prinsip kerja CT Scan,Densitas, dan Densitometer.
BAB III : METODELOGI PENELITIAN
Dalam bab ini berisikan tentang Tempat Penelitian, Alat dan Bahan
Penelitian, Prosedur Pemeriksaan dan Pengukuran citra CT Scan
dengan Densitometer, dan Flow Chart Penelitian.
BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN
Berisi tentang data-data yang diperoleh selama penelitian serta
pembahasan mengenai hasil penelitian Analisis Pengaruh slice
thickness terhadap citra CT Scan dengan kasus sinus paranasal
pengguna gigi palsu implan di RS Pirngadi Medan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari tujuan dalam
penelitian yang dilakukan serta saran yang mungkin dapat bermanfaat
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gigi dan Komponennya
Sebuah gigi mempunyai mahkota, leher dan akar. Mahkota gigi menjulang
di atas gusi, lehernya dikelilingi gusi dan akarnya berada di bawahnya. Gigi
dibuat dari bahan yang sangat keras yaitu dentin. Di dalam pusat strukturnya
terdapat rongga pulpa (Pearce,1979).
Gambar 2.1 Diagram Potongan Sagital Gigi Molar Pertama Bawah (Fawcett, 2002)
Orang dewasa memiliki 32 gigi, 16 tertanam di dalam proses alveolaris
maksilla dan 16 di dalam mandibula, yang disebut gigi permanen. Mulai muncul
sekitar 7 bulan setelah lahir dan lengkap pada umur 6-8 tahun. Gigi ini akan
tanggal antara umur enam dan tiga belas, dan diganti secara berangsur oleh gigi
permanen. Proses penggantian gigi ini berlangsung sekitar 12 tahun sampai gigi
geligi lengkap, umumnya pada umur 18 tahun. Semua gigi terdiri atas sebuah
mahkota yang menonjol diatas gusi atau gingival, dan satu atau lebih akar gigi
meruncing yang tertanam di dalam lubang atau alveoulus didalam tulang maksila
atau mandibula. Batas antara mahkota dan akar gigi disebut leher atau serviks
6
Manusia memiliki susunan gigi primer dan sekunder, yaitu :
a. Gigi primer, dimulai dari tulang diantara dua gigi depan yang terdiri dari 2
gigi seri, 1 taring, 3 geraham dan untuk total keseluruhan 20 gigi.
b. Gigi sekunder, terdiri dari 2 gigi seri, 1 taring, 2 premolar dan 3 geraham
untuk total keseluruhan 32 gigi.
2.1.1 Komponen-Komponen Gigi
Komponen-komponen gigi meliputi, email, dentin, pulpa, sementum.
Email gigi merupakan substansi paling keras di tubuh ia berwarna putih kebiruan
dan hampir transparan. Sembilan puluh sembilan persen dari beratnya adalah
mineral dalam bentuk kristal hidroksiapatit matriks oganiks hanya merupakan
tidak lebih dari 1 persen massanya (Fawcett, 2002).
Dentin terletak di bawah email, terdiri atas rongga rongga berisi cairan.
Apabila lubang telah mencapai dentin, cairan ini akan menghantarkan rangsang ke
pulpa, sehingga pulpa yang berisi pembuluh saraf akan menghantarkan sinyal rasa
sakit itu ke otak. Dentin bersifat semitranslusen dalam keadaan segar, dan
berwarna agak kekuningan. Komposisi kimianya mirip tulang namun lebih keras.
Bahannya 20% organic dan 80% anorganik.
Pulpa merupakan bagian yang lunak dari gigi. Pulpa mempunyai
hubungan dengan jaringan peri atau iterradikular gigi serta dengan keseluruhan
jaringan tubuh. Bahan dasar pulpa terdiri dari 75% air dan 25% bahan sensitif
yaitu: glukosaminoglikan, glikoprotein, proteoglikan, fibroblas sebagai sintesis
dari kondroitin sulfat dan dermatan sulfat.
Akar gigi ditutupi lapisan sementum tipis, yaitu jaringan bermineral yang
sangat mirip tulang. Melihat sifat fisik dan kimiawinya, sementum lebih mirip
tulang dari pada jaringan keras lain dari gigi.Ia terdiri atas matriks serat kolagen,
glikoprotein, dan mukopolisakarida yang telah mengapur. Bagian servikal dan
lapis tipis dekat dentin merupakan sementum aselular.sisanya adalah sementum
7
2.1.2 Material Gigi Palsu
Gigi palsu secara umum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu gigi palsu
lepasan dan gigi palsu cekat (permanen). Masing-masing memiliki kelemahan dan
kelebihannya masing-masing. Gigi palsu lepasan umumnya lebih murah dan
mudah dibuat serta dirawat, namun jenis ini juga memiliki kelemahan yaitu secara
estetika (penampilan) jenis ini kurang baik dan lebih sama dengan gigi palsu.
Sementara itu gigi palsu cekat sangat dianjurkan bagi orang yang mementingkan
estetika karena bentuk dan bahannya yang sangat baik, namun tentu saja ada
kelemahannya. Yang paling utama dan sering membuat orang-orang menjadi ragu
adalah dari segi biaya yang jauh lebih mahal dari gigi lepasan.
Komposisi resin akrilik terdiri atas :
1. Bubuk, terdiri dari
Polimer yang merupakan butiran atau granul poli (metilmetakrilat)
Inisiator: benzoil peroksida (0,2-0,5%) Zat warna : merkuri sulfit atau
cadmium sulfit,
atau pewarna organik.
2. Cairan, terdiri dari
Monomer: metilmetakrilat Agen Crosslinked: etilenglikoldimetil
metakrilat (1-2%) Inhibitor: hidrokuinon (0,006%)
2.1.3 Jenis–Jenis Gigi Palsu Lepasan
Adapun jenis gigi palsu yang biasanya digunakan yaitu akrilik, kerangka
logam dan valplast. Akrilik merupakan jenis yang paling umum dan termasuk
yang paling tua digunakan. Jenis ini juga merupakan jenis yang paling ekonomis.
Gigi palsu akrilik menggunakan plat akrilik berwarna merah muda yang kaku dan
tebal. Sangat baik digunakan pada orang yang memiliki kehilangan gigi dalam
jumlah banyak, sayangnya gigi palsu jenis ini sering kali memerlukan bantuan
kawat sebagai pegangannya agar tidak mudah terlepas. Plat tebal dan kawat inilah
yang membuat gigi lepasan akrilik menjadi kurang baik secara estetik, kurang
8
Gambar 2.2. Gigi Partial Akrilik, Free End Akrilik, dan Full Denture Akrilik
(www.drjoygraham.com)
Apabila pada gigi lepasan akrilik menggunakan plat akrilik tebal sebagai
basisnya maka gigi jenis ini menggunakan kerangka dari logam sehingga dapat
dibuat menjadi lebih tipis dan ringan dan akhirnya menjadikan jenis ini lebih
nyaman digunakan. Namun seperti halnya pada jenis dengan plat akrilik, jenis ini
juga memerlukan pegangan yang hampir menyerupai kawat pada gigi lepasan
akrilik. Hal tersebut menyebabkan gigi jenis ini tidak jauh berbeda dari gigi
lepasan akrilik dari segi estetika. Kelemahan lain adalah dari segi biaya, kerangka
logam merupakan jenis gigi palsu lepasan yang paling mahal.
Gambar 2.3 Kerangka Logam
Tidak seperti gigi lepasan akrilik dan kerangka logam yang kaku, valplast
memiliki plat yang lebih fleksibel dan tipis. Plat fleksibel pada valplast ini bahkan
berwarna nyaris transparan sehingga secara estetik plat ini termasuk sangat baik
dan paling nyaman digunakan. Karena sifatnya yang fleksibel tadi maka gigi palsu
jenis ini juga tidak memerlukan bantuan kawat untuk berpegangan pada gigi
sebelahnya, sebuah nilai tambah kembali dari segi estetik. Valplast adalah resin
yang merupakan nilon termoplastik biokompatibel dengan sifat fisik dan estetika
9
Gambar 2.4 Jenis valplast (http:dentaluniverseindonesia.com/index.php/article/
68-valplast-gigi tiruan-lepasan)
2.1.4 Gigi Palsu Cekat (Permanen)
Gigi palsu permanen terdiri dari beberapa jenis yaitu
a. Crown (Mahkota) Porselen
Crown porselen merupakan pilihan untuk mahkota gigi yang patah
atau hilang dalam jumlah yang cukup besar namun secara umum giginya
sendiri masih sehat dan kuat sehingga tidak perlu dicabut. Untuk
memasang crown maka dokter gigi perlu mengecilkan dan membentuk
sisa mahkota pada gigi tersebut agar kemudian dapat dibuatkan crown
yang pas dan baik. Apabila kehilangan mahkota yang terjadi sangat besar
(mahkota gigi yang tersisa sangat sedikit) dan telah mengenai ruang pulpa
(saraf) gigi maka dilakukan perawatan saluran akar terlebih dahulu dan
dibuatkan mahkota pasak. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
10
Pada gigi yang terpaksa harus dicabut maka harus dibuatkan gigi
palsu yang sesungguhnya gigi ini disebut juga dengan crown porselen atau
gigi tiruan jembatan.
b. Gigi Tiruan Jembatan (Bridge)
Gigi jembatan merupakan gigi palsu cekat yang paling umum
digunakan. Menggunakan bahan porselen, gigi ini umumnya sangat baik
secara estetik. Kelemahannya adalah penggunaan gigi sebelahnya sebagai
pegangan. Berbeda dengan gigi lepasan yang menggunakan plat dan kawat
sebagai pegangan, gigi jembatan sesuai namanya mengandalkan gigi
disebelahnya secara harfiah. Untuk dapat memasang gigi jembatan pada
tempat yang ompong maka dokter gigi juga harus mengecilkan gigi
disebelahnya untuk kemudian dibuatkan crown yang menyatu/
menyambung dengan gigi palsu pada bagian yang ompong. Pada
kehilangan satu gigi misalkan, maka kita harus membuat gigi palsu
sebanyak tiga buah seperti pada gambar dibawah:
Gambar 2.6 Gigi Tiruan Jembatan
c. Dental Implan
Implan gigi merupakan salah satu cara untuk mengganti gigi yang
hilang sehingga diperoleh fungsi pengunyahan, estetik dan kenyamanan
yang ideal. Implan gigi adalah suatu alat yang ditanam secara bedah ke
dalam jaringan lunak atau tulang rahang sehingga dapat berfungsi sebagai
akar pengganti untuk menahan gigi tiruan maupun jembatan. Keuntungan
implan gigi tersebut sangat menyerupai gigi asli karena tertanam di dalam
jaringan sehingga dapat mendukung dalam hal estetik, perlindungan gigi
11
Pada prinsipnya implan gigi memerlukan bahan yang dapat diterima
jaringan tubuh, dan cukup kuat. Menurut Boskar (1986) dan Reuther (1993),
syarat implan gigi adalah sebagai berikut :
1. Biokompatibel
2. Yang dimaksud dengan biokompatibel adalah non toksik, non alergik,
3. non karsinogenik, tidak merusak dan mengganggu penyembuhan
4. Jaringan sekitar serta tidak korosif.
5. Cukup kuat untuk menahan beban pengunyahan
6. Resistensi tinggi terhadap termal dan korosi
7. Elastisitasnya sama atau hampir sama dengan jaringan sekitar
8. Dapat dibuat dalam berbagai bentuk
Gambar 2.7 Dental Implan (http://clinicariosruiz.com/service/implantologia)
2.1.4.1 Bahan gigi implan
Bahan yang digunakan untuk gigi implan, antara lain :
1. Logam
Terdiri dari Stainless Steel, Vitallium, Titanium dan logam. Pemakaian
Stainless Steel merupakan kontra indikasi bagi pasien yang alergi terhadap
nikel, pemakaiannya juga dapat menyebabkan arus listrik galvanik jika
berkontak dengan logam campuran atau logam murni. Vitallium paling
sering digunakan untuk kerangka implan subperiosteal. Titanium terdiri
dari titanium murni dan logam campuran titanium yang tahan terhadap
12
adalah implan yang menggunakan titanium yang telah diselubungi dengan
lapisan tipis keramik kalsium fosfat pada bagian strukturnya.
2. Keramik
Keramik terdiri keramik bioaktif dan bio-inert Bioaktif berarti bahan yang
memiliki kemampuan untuk merangsang pertumbuhan tulang baru
disekitar implan, contoh dari bahan ini adalah hidroksiapatit dan bioglass
Bio-inert adalah bahan yang bertolenrasi baik dengan tulang tetapi tidak
terjadi formasi tulang.
3. Polimer dan komposit
Polimer dibuat dalam bentuk porus dan padat, digunakan untuk peninggian
dan penggantian tulang. Ia merupakan suatu bahan yang sukar dibersihkan
pada bagian yang terkontaminasi dan pada partikel porusnya karena
sifatnya yang sensitif terhadap formasi sterilisasi.
2.1.4.2 Bagian-bagian gigi Implan
Implan gigi terdiri dari beberapa komponen antara lain :
a. Badan Implan
Merupakan bagian implan yang ditempatkan dalam tulang. Komponen ini
dapat berupa silinder berulir atau tidak berulir, dapat menyerupai akar atau
pipih. Bahan yang digunakan bias terbuat dari titanium saja atau titanium
alloy dengan atau tanpa dilapisi hidroksi apatit (HA) (Mc Glumphy. EA
dan Larsen, PE. Permukaan implan yang paling banyak digunakan ada tiga
tipe yaitu plasma spray titanium dengan permukaan yang berbentuk
granul sehingga memperluas permukaan kontaknya, machine finished
titanium yang merupakan implan bentuk screw yang paling banyak
digunanakan dan tipe implan dengan lapisan permukaan hidroksi apatit
untuk meningkatkan osseointegrasi.
b. Healing Cup
Merupakan komponen berbentuk kubah yang ditempatkan pada
permukaan implan dan sebelum penempatan abutment. Komponen ini
meiliki panjang yang bervariasi antara 2 mm sampai 10 mm (Mc
13
c. Abutment
Merupakan bagian komponen implan yang disekrupkan dimasukan secara
langsung kedalam badan implan. Dipasangkan menggantikan healling cup
dan merupakan tempat melekatnya mahkota porselin. Memiliki permukaan
yang halus, terbuat dari titanium atau titanium alloy.
d. Mahkota
Merupakan protesa gigi yang diletakkan pada permukaan abutmen dengan
sementasi (tipe cemented) atau dengan sekrup (tipe screwing) sebagai
pengganti mahkota gigi dan terbuat dari porselin.
2.2 Sinus paranasal
Sinus paranasal adalah sinus (rongga) pada tulang berada sekitar nasal
ruangan udara yang berhubungan dengan rongga hidung. Pintu-pintu
ruangan-ruangan udara tersebut disebut ostium yang terletak di meatus-meatus dinding
lateral rongga hidung. Ruangan-ruangan udara tersebut disebut sinus paranasalis.
Sinus paranasal ada empat bagian, dan terdapat di tulang wajah antara lain sinus
frontalis pada os frontalis, sinus ethmoidalis pada os ethmoidalis, sinus
sphenoidalis pada os sphenoid dan sinus maxillasris pada os maxilla (Ballinger W
Phillips, 2003).
Semua rongga sinus ini dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan
mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di rongga hidung melalui ostium
masing-masing. Lokasi sinus paranasal yang terbanyak ditemukan di sinus
maksila, menandakan bahwa selain faktor rinogen atau tersumbatnya KOM
(kompleks osteo meatal), faktor dentogen merupakan salah satu penyebab penting
sinusitis maksilaris kronis, dimana dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris
tempat akar gigi premolar dan molar atas, sehingga jika terjadi infeksi apikal akar
gigi atau inflamasi jaringan periodontal dengan mudah menyebar langsung ke
14
2.2.1 Fungsi Sinus Paranasal
Adapun fungsi sinus paranasal adalah :
1. Membentuk pertumbuhan wajah karena di dalam sinus terdapat rongga
udara. Jika tidak terdapat sinus maka pertumbuhan tulang akan terdesak.
2. Sebagai pengatur udara (airconditioning).
3. Peringan cranium.
4. Resonansi suara.
2.3 Gambar CT-Scan sinus maksila
CT Scan sinus paranasal merupakan gold standard karena mampu menilai
anatomi hidung dan sinus paranasal, adanya penyakit dalam hidung dan sinus
paranasal secara keseluruhan dan perluasannya. Sinus maksilaris yang sehat
tampak sebagai suatu bayangan segitiga yang agak jernih (kehitam-hitaman) di
bawah orbita dengan basis menghadap dinding lateral rongga hidung. Sinus
paranasal yang meradang tampak lebih berkabut.
Pada CT Scan udara tampak hitam dan tulang tampak putih. Daerah
abu-abu di sinus paranasal menandakan kelainan, misalnya nanah, lendir, polip, atau
kista. Ketika melihat CT-Scan sinus paranasal berwarna abu-abu menandakan
adanya kelainan/ penyumbatan pada sinus paranasal. Seperti pada gambar
2.9.dibawah ini
Gambar 2.8 CT-Scan sinus yang bersih dan yang tersumbat (Sumber: Metson Ralph B, Steven Mardon. Populer. 2006)
15
2.4 Artefak Pada Citra Ct Scan
Artefak merupakan suatu gangguan pada tampilan citra CT Scan akibat
berbagai kesalahan. Sumber artefak dapat timbul dari sifat fisik, pergerakan
obyek, benda asing metal, dan peralatannya sendiri.
Adapun macam macam artefak antara lain:
1. Streak Artefact (garis-garis)
Artefak ini berbentuk garis-garis vertical yang disebabkan tidak ada
keseimbangan antara scaning permulaan dan scaning akhir, akibat
pergerakan pasien atau sifat mekanik yang tidak seimbang.
2. Beam hardening
Artefak yang berbentuk garis disebabkan perubahan komposisi spectrum
sinar-x akibat adanya material yang lebih padat. Material ini mengapit
suatu daerah yang densitasnya kurang akan lebih banyak mengabsorbsi
sianar-x, sehingga daerah tersebut tampak sebagai garis hitam.
3. Partial Volume Artefact
Artefak yang terbentuk pada daerah antara kedua os petrosus, disebabkan
tidak adanya kolorasi yang tepat antara atenuasi dan absorbsi pada voxel
yang tidak homogen.
4. Noise
Bukan artefak yang sebenarnya tetapi menggambarkan penurunan resulusi
suatu gambar tomografi komputer. Hal ini diakibatkan ketidaktepatan
penentuan CT Number. Noise yang berlebihan juga dapat terjadi akibat
posisi yang tidak tepat, karena dapat menghalangi radiasi optimal yang
berakibat sinar-x tidak dapat mencapai detector.
5. Shading (Bayangan)
Perubahan progresif dari densitas suatu bagian dengan bagian lainnya dari
suatu gambar. Penyebabnya antara lain respon detector yang tidak sincron
dan spectrum energi sinar-x. Sebagai contoh adalah Cupping merupakan
16
6. Moire Pattern (Pola Kain Sutra)
Artefak ini berbentuk sebagai garis radier halus yang biasanya ditemukan
dekat tulang padat atau dekat batas lengkung suatu gambar yang padat, hal
ini disebabkan fungsi mekanik yang kurang baik.
7. Ring Artefact
Banyak artefak berbentuk cincin ini antara lain tidak adanya keseimbangan
antara detector dan tabung sinar-x yang berputar. Dalam suatu citra bisa
dilakukan untuk mengurangi artefak dapat dilakukan rekalibrasi alat.
2.5 Slice Thickness
Slice thickness merupakan tebalnya irisan atau potongan dari objek yang
diperiksa. Pada umumnya ukuran yang tebal akan menghasilkan gambaran dengan
detail yang rendah, sebaliknya ukuran yang tipis akan menghasilkan gambaran
dengan detail yang tinggi . Nilai slice thickness pada teknologi Multi-Slice CT
(MSCT) dapat dipilih antara 0,5 mm-10 mm sesuai dengan keperluan klinis.
Setiap generasi MSCT, mempunyai ketebalan slice yang berbeda (Sprawls, 1995).
Semakin tipis slice thickness semakin baik kualitasnya. Tetapi, disatu sisi
ukuran slice thickness yang semakin tipis akan menghasilkan artefak yang tinggi.
Selain itu, dengan mempertipis irisan maka jumlah irisan akan bertambah banyak
sehingga semakin besar radiasi yang diterima oleh pasien. Sehingga untuk aplikasi
klinis, perlu dilakukan optimasi sesuai dengan keperluan yang digunakan
(Sprawls, 1995).
Pada pemeriksaan organ yang berukuran kecil atau untuk melihat kelainan
yang berukuran kecil, digunakan slice thickness tipis, demikian sebaliknya untuk
organ yang berukuran besar dapat menggunakan slice thickness yang tebal. Pada
pemeriksaan yang membutuhkan rekonstruksi gambar dalam potongan axial
maupun coronal diperlukan slice thickness yang tipis, karena jika menggunakan
slice thickness yang tebal, gambar akan tampak besar, sedangkan dengan slice
thickness yang tipis gambar akan nampak lebih halus. Pada pesawat CT Scan,
besarnya slice thickness diatur dengan kolimator pre pasien. Kolimator itu diatur
sedemikian rupa sehingga diharapkan menghasilkan slice thickness seperti yang
17
2.6 Prinsip Kerja CT Scan
Gambar 2.9 Bagan Prinsip Kerja CT Scanner (http://en.wikipedia.org/wiki/x-ray
computed tomography)
Dengan menggunakan tabung sinar-x sebagai sumber radiasi yang berkas
sinarnya dibatasi oleh kollimator, sinar x tersebut menembus tubuh dan diarahkan
ke detektor. Intensitas sinar-x yang diterima oleh detektor akan berubah sesuai
dengan kepadatan tubuh sebagai objek, dan detektor akan merubah berkas sinar-x
yang diterima menjadi arus listrik, dan kemudian diubah oleh integrator menjadi
tegangan listrik analog. Tabung sinar-x tersebut diputar dan sinarnya
diproyeksikan dalam berbagai posisi, besar tegangan listrik yang diterima diubah
menjadi besaran digital oleh Analog to Digital Converter (A/D C) yang kemudian
dicatat oleh komputer. Selanjutnya diolah dengan menggunakan Image Processor
dan akhirnya dibentuk gambar yang ditampilkan ke layar monitor TV. Gambar
yang dihasilkan dapat dibuat ke dalam film dengan Multi Imager atau Laser
Imager. Berkas radiasi yang melalui suatu materi akan mengalami pengurangan
intensitas secara eksponensial terhadap tebal bahan yang dilaluinya. Pengurangan
intensitas yang terjadi disebabkan oleh proses interaksi radiasi-radiasi dalam
bentuk hamburan dan serapan yang probabilitas terjadinya ditentukan oleh jenis
bahan dan energi radiasi yang dipancarkan. Dalam CT Scan, untuk menghasilkan
citra obyek, berkas radiasi yang dihasilkan sumber dilewatkan melalui suatu
bidang obyek dari berbagai sudut. Radiasi terusan ini dideteksi oleh detektor
18
diolah menggunakan komputer untuk menghasilkan citra dengan suatu metode
yang disebut sebagai rekonstruksi.
2.6.1 Pemrosesan data
Suatu sinar sempit (narrow beam) yang dihasilkan oleh X-ray
didadapatkan dari perubahan posisi dari tabung X-ray, hal ini juga dipengaruhi
oleh collimator dan detektor. Secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut
:
Gambar 2.10 Collimator dan Detektor
Sinar X-ray yang telah dideteksi oleh detektor kemudian dikonversi
menjadi arus listrik yang kemudian ditransmisikan ke komputer dalam bentuk
sinyal melaui proses berikut :
Gambar 2.11 Proses Pembentukan Citra
Setelah diperoleh arus listrik dan sinyal aslinya, maka sinyal tadi
dikonversi ke bentuk digital menggunakan A/D Convertor agar sinyal digital ini
dapat diolah oleh komputer sehingga membentuk citra yang sebenarnya.
2.7 Interaksi Sinar-X dengan Bahan
Interaksi sinar-X dengan materi akan terjadi bila sinar-X yang dipancarkan
19
panjang gelombang elektromagnetik dengan energi yang cukup besar. Gelombang
elektromagnnetik ini dinamakan foton. Foton ini tidak bermuatan listrik dan
merambat menurut garis lurus.
Bila sinar-X mengenai suatu objek, akan terjadi interaksi antara foton
dengan atom-atom dengan objek tersebut. Interaksi ini menyebabkan foton akan
kehilangan energi yang dimiliki oleh foton. Besarnya energi yang diserap tiap
satuan massa dinyatakan sebagai satuan dosis serap, disingkat Gray. Dalam
jaringan tubuh manusia, dosis serap dapat diartikan sebagai adanya 1 joule energi
radiasi yang diserap 1 kg jaringan tubuh (BATAN).
Interaksi radiasi dengan materi tergantung pada energi radiasi, Jika berkas
sinar-X melalui bahan akan terjadi proses utama yakni:
1. Efek foto listrik
Dalam proses foto listrik energi foton diserap oleh atom yaitu elektron,
sehingga elektron tersebut dilepaskan dari ikatannya dengan atom. Elektron
yang keluar dari atom disebut foton elektron. Peristiwa efek foto listrik ini
terjadi pada energi radiasi rendah dan nomor atom besar.
Bila foton mengenai elektron dalam suatu orbit dalam atom, sebagian
energi foton digunakan untuk mengeluarkan elektron dari atom dan sisanya
dibawa oleh elektron sebagai energi kinetik nya. Seluruh energi foton dipakai
dalam proses tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek fotolistrik :
a. Nomor atom / ketebalan bahan yang dikenai
Jika nomor atom/ketebalan bahan yang dikenainya semakin tinggi
sementara faktor lainnya tetap, maka kemampuan kejadian penyerapan
fotolistrik akan bertambah
b. Energi foton sinar-X yang mengenai bahan
Jika energi foton sinar-X yang mengenai bahan semakin tinggi sementara
faktor lainnya tetap, maka kemampuan menembus akan semakin besar,
sehingga kemungkinan kejadian penyerapan foton listrik akan berkurang.
Dalam radiografi, tulang (calsium) akan lebih banyak menyerap energi
sinar-X bila dibandingkan dengan jaringan lunak yang terdiri dari otot dan
20
yang mengenai film juga lebih banyak, sehingga gambar jaringan lunak pada
fim lebih hitam.
2. Efek Compton
Penghamburan compton merupakan suatu tumbukan lenting sempurna
antara sebuah foton dan sebuah elektron bebas. Dimana foton berinteraksi
dengan elektron yang dianggap bebas (tenaga ikat elektron lebih kecil dari
energi foton datang.
Dalam suatu tumbukan antara sebuah foton dan elektron bebas maka
tidak mungkin semua energi foton dapat dipindahkan ke elektron jika
momentum dan energi dibuat kekal. Hal ini dapat diperlihatkan dengan
berasumsi bahwa reaksi semakin dimungkinkan. Jika hal itu memang benar,
maka menurut hukum kekekalan semua energi foton diberikan kepada
elektron dan didapatkan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi efek Compton
a. Nomor atom/ketebalan bahan yang dikenai
Jika nomor atom/ketebalan bahan yang dikenai semakin tinggi sementara
faktor yang lain tetap, maka kemampuan bahan dalam menghasilkan
hamburan makin besar, sehingga kemungkinan kejadian hamburan
Compton akan bertambah.
b. Energi foton sinar-X yang mengenai bahan
Jika energi foton yang mengenai sinar-X yang mengenai bahan semakin
tinggi sementara faktor yang lain tetap, maka hamburan berantai (multiple)
dapat terjadi, sehingga kemungkinan kejadian hamburan Compton akan
meningkat.
Hamburan Compton pada tulang dan pada jaringan lunak :
1. Jika nomor atom tulang lebih tinggi daripada nomor atom jaringan lunak, maka
hamburan lebih banyak terjadi pada tulang dibandingkan dengan jaringan
lunak.
2. Pada eksposi diagnostik, mulai 40 kV perbedaan hamburan pada tulang dan
jaringan lunak signifikan, makin mendekati sampai pada 85 kV, selanjutnya
21
Efek kejadian fotolistrik dan Compton :
a. Peristiwa fotolistrik dan Compton pada hakekatnya melepaskan elektron
dari orbit atom bahan yang dikenainya.
b. Apabila elektron yang terlepas berasal dari orbit dalam, maka akan diikuti
dengan peristiwa transisi, yang mengakibatkan terjadinya sinar-X
karakteristik.
3. Produksi Pasangan
Sebuah foton yang energinya lebih dari 1.02 MeV. Pada saat bergerak
dekat dengan sebuah inti, secara spontan akan menghilang dan energinya akan
muncul kembali sebagai suatu positron dan elektron.
Kejadian tersebut akan diikuti oleh hilangnya kedua partikel gabungan itu
(hilang masa) dan berubah menjadi sepasang foton kembar yang disebut radiasi
annihilasi.
2.8 Densitas
Densitas merupakan derajat kehitaman pada suatu daerah gambaran CT
Scan atau dapat pula dikatakan sebagai banyaknya cahaya yang diserap oleh
daerah tertentu. Derajat kehitaman ini terjadi akibat adanya interaksi antara sinar x
dengan emulsi film setelah proses kimiawi.
Densitas citra merupakan salah satu faktor yang memungkinkan gambaran
objek yang mendapat penyinaran sinar x pada citra dapat dilihat oleh mata.
Adanya perbedaan densitas ini membuat kita dapat membedakan struktur struktur
objek yang akan diamati. Derajat kehitaman pada suatu gambaran CT Scan dapat
diukur dengan suatu alat yang disebut Densitometer, yang akan menghasilkan
nilai kehitaman tertentu.
Menurut (Bushberg , 2001) Nilai densitas dirumuskan sebagai berikut :
D = log
22
It: Intensitas sinar-x setelah menembus materi
Gambar 2.12 Skema pembentukan nilai densitas (Sumber : Radiographic Photography and Imaging Prosecesses, David Jenkins).
Densitas yang terang berasal dari bagian objek yang nilai koefisien
attenuasi liniernya tinggi sehingga sebagian besar sinar-X banyak diserap oleh
jaringan tersebut. Sedangkan citra dengan densitas yang hitam dihasilkan dari
transmisi sinar-X yang menembus objek dengan koefisien attenuasi linier rendah.
Perbedaan densitas gelap terang dari citra inilah yang menyebebkan timbulnya
kontras.
2.9 Densitometer
Densitometer adalah alat pengukur densitas yang mempunyai skala 0
sampai 4,5. Sinar-X mempunyai beberapa sifat yang dapat dimanfaatkan dalam
diagnosa antara lain dapat menembus bahan, menimbulkan radiasi sekunder
(lumenisasi) pada semua bahan yang ditembusnya, dan menghitamkan emulsi
film. Berdasarkan teori tersebut, sinar-X dapat dimanfaatkan dalam dunia
kedokteran untuk menampakkan bagian dalam tubuh yang mengalami kelainan
sehingga diperoleh diagnosa suatu penyakit. Sebelum dilakukan diagnosa maka
terlebih dahulu diperhatikan kualitasnya. Alat yang digunakan untuk mengukur
densitas dinamakan densitometer.
2.9.1 Diagram Blok
Diagram blok rangkaian alat pengukur densitas sinar-X digital dapat
dilihat pada gambar 2.13. Sedangkan gambar densitometer dilihat dari arah depan
23
Gambar 2.13 Diagram Blok Densitometer
Gambar 2.14 Densitometer Tampak Dari Depan
2.9.2 Prinsip kerja Densitometer
Prinsip kerja alat pengukuran densitas optik radiograf sinar-X adalah
sebagai berikut :
1. Cahaya yang dihasilkan oleh sumber cahaya (LED) dilewatkan ke film
radiograf kemudian sebagian diserap oleh radiograf dan sebagian
diteruskan, cahaya yang diteruskan diterima oleh sensor fotoresistor.
2. Pada rangkaian sensor fotoresitor dibuat rangkaian pembagi tegangan
sedemikian hingga tegangan keluaran rangkaian ini berbanding terbalik
dengan kuat penerangan yang diterima sensor.
3. Tegangan keluaran rangkaian sensor fotoresistor diperkuat oleh Op-amp
LF 356 dengan rangkaian penguat instrumentasi.
4. Sinyal keluaran dari Op-amp yang masih berupa sinyal analog diubah
menjadi sinyal digital oleh pengubah sinyal analog ke digital (ADC).
5. Sinyal BCD keluaran dari ADC diterjemahkan oleh pendekode untuk
kemudian ditampilkan pada penampil tujuh ruas.
6. Sinyal keluaran dari pendekode ditampilkan oleh penampil tujuh ruas
berupa bilangan decimal
LED RADIOGRAF FOTO RESISTOR OP AMP
ADC PENDEKODE
24
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Radiologi Diagnostik Rumah Sakit Pirngadi
Medan.
3.2 Alat Dan Bahan Penelitian
Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah Pesawat
CTScan, Monitor CT-Scan, laser imager/printer, illuminator, densitometer dan
bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah citra CT-Scan sinus paranasal.
Seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 3.1 CT Scan 64 Slice Pirngadi Medan
Gambar 3.1 diatas merupakan alat CT Scan 64 slice. Adapun spesifikasi
pesawat CT Scan pada gambar 3.1 diatas sebagai berikut:
1. Merk : Siemen Somatom Definition As
2. Detector : 2x stellar infinity detector with 3D anti scatter
collimator
3. Rotation time : Up to 0,25 s
4. Generator power : 240 kw (2x120kw)
5. Gantry opening : 78 cm
25
Gambar 3.2 Monitor CT-Scan
Gambar 3.2 diatas merupakan monitor CT Scan yang berfungsi untuk
menampilkan data citra CT Scan pada layar monitor.
Gambar 3.3 Laser imager/printer
Gambar 3.3 diatas merupakan laser imager/printer yang berguna untuk
mencetak gambar pada citra single emulsi.
Gambar 3.4 Illuminator
Gambar 3.4 diatas merupakan alat illuminator yang berfungsi Untuk
26
Gambar 3.5 Densitometer
Gambar 3.5 di atas merupakan alat densitometer yang berfungsi sebagai
alat pengukur densitas yang mempunyai skala 0 sampai 4,5. Adapun spesifikasi
alat densitometer yang digunakan sebagai berikut:
Manufacturer’s Name : X-Rite, Incorporated
Manufacuter’s Address : X-Rite, Incorporated
SiemensstraBe 12b.63263 Neu-Isenburg
Germany
Model Name : Densitometer
Model No : 301
Directive(s) Conformance : EMC2004/108/EC LVD2006/95/EC
3.3 Prosedur Penelitian Pemeriksaan CT Sinus Paranasal
Adapun Prosedur Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal yang dilakukan
pada penelitian adalah :
a. Persiapan Pasien
Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal adalah
sebagai berikut :
Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah yang diperiksa,
termasuk anting, kalung, dan jepit rambut. Pasien harus diinstruksikan
agar mengosongkan vesika urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan,
karena jika vesika urinaria penuh akan terganggu oleh jeda waktu ke
kamar kecil. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur pemeriksaan
sejelas-jelasnya agar pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga
27
b. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan CT-Scan Sinus paranasal dengan kasus mass, lesi dan tumor
menggunakan beberapa irisan, yaitu potongan axial dan potongan coronal.
Untuk potongan axial dengan posisi pasien berbaring supine di atas meja
pemeriksaan. Kedua lengan di samping tubuh, kaki lurus ke bawah dan
kepala berada di atas headrest (bantalan kepala). Posisi pasien diatur
senyaman mungkin. Kepala diletakkan tepat di terowongan gantry, mid
sagital plane segaris tengah meja. Mid axial kepala tepat pada sumber
terowongan gantry seperti pada gambar 3.2.
Gambar 3.6 Potongan Axial
Untuk potongan coronal ini merupakan teknik khusus dengan cara pasien
berbaring prone di atas meja pemeriksaan dengan bahu diganjal bantal. Kepala
digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dengan membidik menuju
vertikal. Gantry sejajar dengan tulang-tulang wajah. Kepala tegak alat fiksasi atau
digerakkan ke belakang (hiperekstensi) sebisa mungkin dan diberi agar tidak
bergerak seperti pada gambar 3.3.
28
3.4 Prosedur pengukuran densitas film CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan dengan alat densitometer
Langkah langkah yang dilakukan untuk mendapatkan nilai densitas
kerapatan optik dari film CT Scan sebagai berikut :
1. Siapkan alat densitometer, yang sudah dikalibrasi.
2. Nyalakan densitometer dengan cara menekan tombol ON/OF pada posisi
ON di depan dan di belakang alat.
3. Tekan tuas dari densitometer hingga menyentuh permukaan lampu sensor
densitometer dan tekan tombol measure bersamaan dengan tombol null.
4. Letakkan film CT Scan di atas lampu sensor Densitometer, untuk setiap
film dengan perubahan slice thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm, 7 mm
sebanyak tiga kali untuk satu titik, lalu tekan tuas dari densitometer hingga
menyentuh permukaan lampu sensor densitometer dan tekan tombol
measure.
5. Ini dilakukan pada empat area film untuk setiap perubahan slice thickness.
6. Lihat angka densitas film CT Scan Sinus Paranasal yang ditampilkan
densitometer.
7. Posisikan film CT Scan yang akan didensitometer,sesuai dengan tempat
yang diinginkan.
8. Untuk masing-masing titik yang di tentukan diukur berulang sebanyak tiga
kali, dengan cara menekan tuas dari densitometer hingga menyentuh
permukaan lampu sensor densitometer dan tekan tombol measure sampai
lampu sensor padam, sehingga diperoleh nilai densitas film CT Scan pada
monitor densitometer. Kemudian hasil dicatat pada kolom kerja.
Adapun daerah pengukuran dengan menggunakan densitimeter seperti
pada gambar 3.8 dibawah ini :
29
Gambar 3.8 Daerah Pengukuran Dengan Densitometer
9. Dari hasil yang diperoleh akan dianalisa untuk mendapatkan citra yang
lebih akurat.
Kiri Atas
Kiri Bawah Kanan Atas
Kanan Bawah
30
3.5 Flow Chart Penelitian
Adapun diagram Alir pada penelitiaan ini adalah sebagai berikut:
Gambar 3.9 Diagram Penelitian start
selesai Analisa
Persiapan Alat, Bahan dan objek
Pencitraan CT Scan sinus paranasal pengguna gigi palsu dengan perubahan slice thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm, 7 mm.
Hasil citra CT Scan sinus paranasal dengan perubahan Slice thickness
31
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil baca densitometer terhadap citra CT Scan pada kasus sinus paranasal
pengguna gigi palsu implan dengan perubahan slice thickness data nilai densitas
dari perubahan slice thickness yang dikelompokkan menjadi empat variasi slice
thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm, 7 mm. Dimana semakin tipis slice thickness
diperoleh gambaran artefak lebih banyak dan semakin tebal slice thickness maka
gambaran artefak semakin berkurang, ini diperoleh setelah hasil citra CT Scan
sinus paranasal dianalisa.
Citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu implan yang diperoleh
pada penelitian ini dengan perbedaan Slice Thickness 1mm, 3mm, 5mm, dan 7mm
seperti pada gambar 4.1.
Slice 1 mm Slice 3 mm
Slice 5 mm Slice 7 mm
32
Gambar 4.1 di atas menunjukkan variasi citra CT Scan Sinus Paranasal
pada pengguna gigi palsu implan. Untuk memperoleh citra yang berkualitas dari
citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna gigi palsu dilakukan dengan pengukuran
pada keempat titik, untuk setiap perubahan Slice Thickness 1 mm, 3 mm, 5 mm
dan 7 mm pada setiap citra CT Scan Sinus Paranasal.
Kemudian untuk setiap perubahan Slice Thickness dilakukan pengukuran
empat titik yakni kanan atas, kanan bawah, kiri atas, dan kiri bawah. Setiap titik
tersebut dilakukan pengukuran densitas sebanyak tiga kali dengan menggunakan
densitometer sehingga diperoleh nilai densitas pada setiap citra seperti pada tabel
4.1. dibawah ini :
Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Densitas Pada Daerah Titik pengukuran citra CT Scan Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan dengan Variasi Slice Thickness
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan dalam satuan D (Density)
1 2 3
Tabel 4.1. Menunjukkan nilai Densitas untuk setiap perubahan Slice
Thickness yaitu 1 mm, 3 mm, 5 mm, dan 7 mm. Untuk setiap daerah pengukuran
pada citra CT Scan Sinus Paranasal yaitu daerah titik kanan atas,kanan bawah,kiri
atas,kiri bawah diperoleh nilai densitas dengan masing-masing tiga kali
33
Tabel 4.2. Hasil Rata-Rata Pengukuran Densitas Pada Citra CT Scan Sinus Paranasal Pengguna Gigi Palsu Implan Dengan Setiap Perubahan Slice Thickness
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata
Tabel 4.2. di atas menunjukkan bahwa setiap perubahan Slice Thickness
nilai densitasnya berbeda, untuk pengukuran slice thickness 1mm dan 7mm
diperoleh nilai rata rata densitas di bawah ini yakni:
1. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi
implan kanan atas diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness
1 mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,85D dan
0,68D.
2. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi
implan kanan bawah diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice
thickness 1 mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu
0,75D dan 0,70D.
3. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi
implan kiri atas diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness 1
mm dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,78D dan
34
4. Pada daerah titik pengukuran citra CT Scan sinus paranasal pengguna gigi
implan diperoleh nilai densitas yang tinggi pada slice thickness 1 mm
dibandingkan dengan slice thickness yang 7 mm yaitu 0,74D dan 0,55D.
Dari hasil pengukuran densitas citra CT Scan Sinus Paranasal pengguna
gigi palsu implan setiap daerah dengan perubahan Slice Thickness diperoleh nilai
rata rata seperti pada tabel 4.3. di bawah ini :
Tabel 4.3.Nilai Rata Rata Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan Atas
Daerah titik
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan dalam
satuan D (Density)
Dari tabel 4.3. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai
densitas seperti gambar di bawah ini :
Gambar 4.2 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Daerah Pengukuran Titik Kanan Atas
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness
pada daerah pengukuran titik kanan atas. Pada daerah tersebut diperoleh nilai
densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,85D
dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,68D yang artinya
35
bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin
tebal Slice thickness artefak berkurang.
Tabel 4.4. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kanan Bawah
Daerah titik pengukuran
citra
Tebal (Slice Thickness)
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata
Dari tabel 4.4. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai
densitas citra CT Scan Sinus Paranasal seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.3. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kanan Bawah
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness
pada daerah pengukuran titik kanan bawah. Pada daerah tersebut diperoleh nilai
densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,75D
dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,70D yang artinya
bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin
tebal slice thickness artefak berkurang.
36
Tabel 4.5. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas
Daerah titik
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata
Dari tabel 4.5. di atas diperoleh grafik hubungan variasi Slice thickness
dengan nilai densitas citra CT Scan Sinus Paranasal untuk daerah bagian kiri atas
seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.4. Grafik Variasi Slice Thickness Dengan Nilai Densitas Citra CT Scan Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Atas
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness
pada daerah pengukuran titik kiri atas. Pada daerah tersebut diperoleh nilai
densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,78D
dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,58D yang artinya
bahwa semakin tipis slice thickness maka artefak semakin banyak dan semakin
tebal Slice thickness artefak berkurang.
37
Tabel 4.6. Nilai Rata Rata Densitas Citra CT Scan Sinus Paranasal Pada Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah
Daerah titik
Skala Densitas Optik di 3 titik pengukuran hasil citra CT Scan
dalam satuan D (Density)
Rata-rata
Dari tabel 4.6. di atas diperoleh grafik hubungan variasi dengan nilai
densitas pada pengukuran kiri bawah seperti pada gambar di bawah ini :
Gambar 4.5 Grafik Variasi Slice Thickness Dengan nilai Densitas citra CT Scan Sinus Paranasal Daerah Pengukuran Titik Kiri Bawah
Grafik di atas menunjukkan hubungan densitas dengan Slice Thickness
pada daerah pengukuran titik kiri bawah. Pada daerah tersebut diperoleh nilai
densitas lebih tinggi pada Slice Thickness 1 mm, dengan nilai densitasnya 0,74
dibandingkan dengan Slice Thickness 7 mm yaitu densitasnya 0,55 yang artinya
bahwa semakin maka artefak semakin banyak dan semakin tebal slice thickness
artefak tipis slice thickness berkurang.
Untuk memperoleh nilai densitas yang lebih optimal pada daerah
pengukuran maka akan dilakukan pengukuran nilai densitas rata-rata
masing-masing perubahan slice thickness. Seperti tabel 4.7 dibawah ini :