PEDOMAN WAWANCARA
mendiskusikan segala hal yang
berkaitan dengan kepentingan
anak dengan pasangan anda?
2. Apakah anda selalu jujur
membicarakan permasalahan
tentang anak dengan pasangan
anda?
3. Apakah anda mau bertukar pikiran
dengan pasangan anda serta mau
memberikan masukan satu sama
lainnya terkait hal yang
telah memiliki perjanjian yang
menyangkut pembagian tugas
dalam hal membesarkan anak
dikarenakan anda berada dari
luang lingkup budaya yang
berbeda sehingga ditakutkan
perbedaan itu akan membawa
masalah dalam rumah tangga
berbeda) 5. Apakah anda mempunyai
7. Apakah dikarenakan anda
berdomisili di indonesia anda
beranggapan bahwa pasangan
yang berasal dari indonesia lebih
memegang peranan penting di
dalam hal membesarkan anak?
memberikan nasehat kepada anak
anda tanpa mendiskusikannya
memberi
nasehat dari
pada
berkomunikasi
untuk saling
bertukar
pendapat.
10.Bagaimana tanggapan anda jika
salah satu pasangan anda tidak
menyukai cara anda dalam
membesarkan anak? Apakah anda
akan memikirkan masukan dari
pasangan anda atau tetap
melakukan yang anda mau tanpa
mempedulikan tanggapan dari
pasangan anda?
HASIL WAWANCARA
Pasangan 1
Nama Suami : Yahya Suryono Setyowati (Belanda)
Nama Istri : Wina Devianty Rambe (Indonesia)
Jumlah Anak : 4 orang anak
1. Apakah anda selalu mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan
kepentingan anak dengan pasangan anda?
“Nah, ini dia. Itu biasanya tergantung hal apa dulu, tapi kalo untung kebaikan anak-anak, suami saya ikut aja sih”.
2. Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak
dengan pasangan anda?
“Iya pastinya.”
3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau
memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut
kepentingan anak anda?
“Kadang kita tukar pikiran kalo hal yang serius, tapi kalo gak suami saya percaya sama saya dalam mengurus anak-anak.”
4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang
dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda
sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam
rumah tangga anda?
“Gak ada dek”.
5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal
kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan
dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut
pergaulan si anak?
“Gak ada sih”.
6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih
mendominasi dalam hal membesarkan anak?
“Kalo itu bukannya mendominasi ya, tapi namanya saya ibunya”.
7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan
bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan
penting di dalam hal membesarkan anak?
“Gak juga, saya sebagai seorang ibu bagi anak-anak saya pastilah lebih banyak menghabiskan waktu dengan anak-anak. Jadi wajar saya menerapkan
cara mendidik anak dari Negara asal saya. Yahya sebagai suami dan papa
menganggap kalau cara mendidik anak di Indonesia bagus untuk moral anak,
jadi saya tidak mempermasalahkan”.
8. Apakah anda pernah berpikir bahwa budaya salah satu pasangan anda
lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda
menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan
anda tersebut?
“Tidaklah.”
9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda
tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?
“Sebenarnya kalo nasihat yang biasa saja saya mau bilang ke anak-anak, suami saya setuju aja kok.”
10. Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak
memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang
anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?
“sejauh ini tidak ada masalah sih”.
Pasangan 2
Nama Suami : Azhim Hoftijzer (Belanda)
Nama Istri : Belinda Maharani (Indonesia)
Jumlah Anak : 2 orang anak
1. Apakah anda selalu mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan
kepentingan anak dengan pasangan anda?
“Tidak selalu, tapi pernah lah”.
2. Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak
dengan pasangan anda?
“Ya sebagai suami istri harus saling jujur”.
3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau
memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut
kepentingan anak anda?
“Ya kalo dirasa itu penting saya lakukan, tapi kalo untuk hal sepele saya rasa itu tidak terlalu dibutuhkan”.
4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang
menyangkut pembagian tugas dalam hal membesarkan anak
dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda
sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam
rumah tangga anda?
“Tidak ada”.
5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal
kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan
dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut
pergaulan si anak?
“Tidak aja juga”.
6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih
“Lebih ke fokus nya sih. Saya kan juga sebagai ibu rumah tangga yang
memang tugasnya mengurusi rumah tangga”.
7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan
bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan
penting di dalam hal membesarkan anak?
“Tidaklah, kita sama-sama tidak mempermasalahkan hal tersebut, kita ambil mana yang baik saja antara mendidik anak dengan cara orang Indonesia
atau Barat”.
8. Apakah anda pernah berpikir bahwa budaya salah satu pasangan anda
lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda
menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan
anda tersebut?
“Gak pernah”.
9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda
tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?
“Sebenarnya kalo nasehat kita sering memberikannya spontan, jadi kadang saya sebagai ibunya melihat hal yang tidak sesuai dengan anak saya, maka
saya nasehati, begitu juga dengan ayahnya”.
10. Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak
menyukai cara anda dalam membesarkan anak? Apakah anda akan
memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang
anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?
“Tidak sih, sejauh ini baik-baik saja, suami saya setuju aja”.
Pasangan 3
Nama Suami : Albert Schoonhoven (Belanda)
Nama Istri : Atika Arisma Siahaan Indonesia)
Jumlah Anak : 3 orang anak
1. Apakah anda selalu mendiskusikan segala hal yang berkaitan dengan
“Berdiskusi memang penting, tapi tidak selalu, ada masanya saya sebagai
ibunya dapat menangani sendiri”.
2. Apakah anda selalu jujur membicarakan permasalahan tentang anak
dengan pasangan anda?
“Iya pastinya, itukan penting.”
3. Apakah anda mau bertukar pikiran dengan pasangan anda serta mau
memberikan masukan satu sama lainnya terkait hal yang menyangkut
kepentingan anak anda?
“Seperti yang saya katakan berdiskusi atau tukar pikiran itu penting, tapi kalau yang bisa saya tangani, saya tidak ingin membebani suami saya.
Lagian suami saya oke-oke aja”.
4. Apakah sebelum menikah anda telah memiliki perjanjian yang
menyangkut pembagian tugas dalam hal membesarkan anak
dikarenakan anda berada dari luang lingkup budaya yang berbeda
sehingga ditakutkan perbedaan itu akan membawa masalah dalam
rumah tangga anda?
“Gak ada yang seperti itu”.
5. Apakah anda mempunyai pembagian tugas masing-masing dalam hal
kepentingan anak anda? Misalkan salah satu pihak hanya berurusan
dengan masalah sekolah anak sementara pihak lain menyangkut
pergaulan si anak?
“Tidak ada”.
6. Apakah terdapat salah satu pasangan diantara anda yang lebih
mendominasi dalam hal membesarkan anak?
“Tidak dominasi sih, tapi ya saya akui saya lebih besar porsinya dalam membesarkan anak-anak”.
7. Apakah dikarenakan anda berdomisili di indonesia anda beranggapan
bahwa pasangan yang berasal dari indonesia lebih memegang peranan
penting di dalam hal membesarkan anak?
“Tidak sih. Saya dan suami sepakat mendidik anak-anak dengan cara orang
8. Apakah anda pernah berpikir bahwa budaya salah satu pasangan anda
lebih baik dalam membesarkan anak, sehingga pada akhirnya anda
menyerahkan sepenuhnya urusan membesarkan anak kepada pasangan
anda tersebut?
“Gak adasampai kesitu sih”.
9. Apakah anda lebih cenderung memberikan nasehat kepada anak anda
tanpa mendiskusikannya dengan pasangan anda?
“Sebenarnya kalo nasehat itu kapan pentingnya disitu kita berikan pada waktu itu juga, jadi wajar tanpa mendiskusikan dengan suami saya yang
sudah sibuk mencari nafkah”.
10. Bagaimana tanggapan anda jika salah satu pasangan anda tidak
menyukai cara anda dalam membesarkan anak? Apakah anda akan
memikirkan masukan dari pasangan anda atau tetap melakukan yang
anda mau tanpa mempedulikan tanggapan dari pasangan anda?
BIODATA PENELITI
IDENTITAS DIRI
Nama Lengkap : Olivia Ruth Demaren Manullang
Tempat / Tanggal Lahir : Medan / 17 Agustus 1992
Usia : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protestan
Status : Mahasiswa
Status Marital : Belum Menikah
Kewarganegaraan : Indonesia
Alamat : Asrama Brimob Blok L2 Nomor 1 Medan
No. Hp : 085276010533
Email : oliviardm@yahoo.com
PENDIDIKAN FORMAL
1. 1998 – 2004 SD SANTO ANTONIUS 2 MEDAN
2. 2004 – 2007 SMP SANTO THOMAS 1 MEDAN
3. 2007 – 2010 SMA SANTO THOMAS 1 MEDAN
4. 2010 – sekarang UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU
DAFTAR PUSTAKA
Abigail. 2009. Penerapan Pola Komunikasi Antara Orang Tua Dengan Anak
Pada Keluarga Antar Bangsa. Jakarta: Erlangga
Alwasilah, A Chaedar. 2008. Pokoknya kualitatif. Jakarta : PT Dunia Pustaka.
Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1992. Pengantar Metode Penelitian
Kualitatif. Surabaya: Usaha Nasional
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama.
DeGenova, M.K. 2008. Intimate relationships, marriages & families. (7th ed.).
New York: McGraw Hill
Denzin and Lincoln. 2009. Handbook of Qualitative Research. Yogyakarta:
Pustaka. Pelajar.
DeVito, Joseph A. 2011. Komunikasi Antarmanusia. Pamulang : Karisma
Publishing Group.
Djamarah, B.S. 2004. Pola Komunikasi Orang tua dan Anak dalam Keluarga.
Jakarta : Rineka Cipta
Duvall, E.M. dan Miller, B.C. 1985. Marriage and family development. New
York: Harper and Row.
Effendy, Onong Uchjana. 2009. Ilmu Komunikasi, teori & Praktek. Bandung:
Remaja Rosda karya.
Eriyanto. 2002. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Hadi, Sutrisno. 2003. Metodologi research (Jilid 1). Yogyakarta: Andi Offset.
Hartono. 2004. Statistika untuk Penelitian. Pekanbaru: Lembaga Studi Filsafat.
Hatimah, Ihat, dkk. 2008. Pembelajaran Berwawasan kemasyarakatan. Jakarta:
Universitas Terbuka
Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan Pada Anak. Bandung: Penerbit Nuansa.
Hurlock, E. B. 2000. (a.b Istiwidayanti & Soedjarwo). Psikologi Perkembangan:
Suatu pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. (edisi keenam).
Jakarta: Erlangga
Idrus, Muhammad. 2009. Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta : Erlangga.
Inman, A.G, Altman, A., Davidson, A.K., Carr, A., & Walker, J.A. 2011. Cultural
Intersections: A Qualitative Inquiry Into The Experience of Asian
Indian-White Interracial Couples. Journal of Family Process, 50,
248-266.
Koentjaraningrat. 1994. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Komariah, Aan. dan Satori, Djam'an. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung : Alfabeta.
Kriyantono, Rachmat. 2010. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta : Kencana.
Kulka, A. 2003. Konstruktivisme Sosial dan Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Penerbit
Jendela.
Lestari, Sri. 2012. Psikologi Keluarga: Penanaman Nilai dan Penanganan
Konflik dalam Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Liliweri. 2003. Makna Budaya Dalam Komunikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lustig, Myron.W. & Jolene Koester. 2003. Intercultural Competence:
McDermott, J.F., & Maretzki, T.W. 1977. Adjustment Intercultural Marriage.
Honolulu : The University of Hawaii.
Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Mulyana, Deddy. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda
Karya.
______________. Jalaludin Rahmat. 1998. Komunikasi Antar Budaya. Bandung :
PT. Remaja Rosda Karya
Natalia, D., & Iriani, F. 2002. Penyesuaian Perempuan Non-Batak Terhadap
Pasangan Hidupnya Yang Berbudaya Batak. Jurnal Ilmiah Psikologi.
No.VII.27-36.
Nawawi, Hadari. 2001. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : UGM
Press.
Papalia, D.E. and Olds, S.W. and Feldman, R.D., 2007. Human development. (10th
ed.). New York: McGraw – Hill International.
Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia.
Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Purwasito, Andrik. 2003. Komunikasi Multikultural. Surakarta : Universitas
Muhammadiyah Press.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosda
Karya
Rogers, Everett M., D. Lawrence Kincaid. 1981. Communication Networks:
Toward a New Paradigm for Research. New York: The Free Press.
Romano, Dugan. 2008. Intercultural Marriage: Promises and Pitfalls. 3rd ed.
Boston: Intercultural Press.
Samovar, Larry A dkk. 2010. Komunikasi Lintas Budaya (Communication
Samsudin, N. 2009. Intercultural Marriage. Academic Journal, 1, 189-193.
Sears, dkk. 1994. Psikologi Sosial. Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Siahaan, S.M. 1991. Komunikasi, Pemahaman, dan Penerapan. Jakarta: BPK
Gunung Mulia
Soekanto, Soerjono. 1996. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Alfabeta.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta:
Kanisius.
Triandis, H. 1994. Culture and Social Behavior. New York: McGraw-hill
Tseng, W.S. 1977. Adjusment in Intercultural Marriage. Honolulu: The
University Press of Hawaii.
Usman dan Akbar. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wiranto. 2004. Penelitian Deskriptif Kualitatif: Jakarata: Pusat Penerbit
Universitas Terbuka.
Yoshida, Masanori. 2008. The Study of the Javanese Life Cycle Rituals in
Anthropological Perspective Expressions. Academic Journal, 4,
295-311.
Qaimi, Ali. 2002. Menggapi Langit Masa Depan Anak. Bogor: Penerbit Cahaya.
Sumber lain :
Erriyadi. (2007). Kawin dengan Pria Asing, Artikel. Available FTP :
http://www.geogle.com/kawinkontrak-com. diakses pada 3 Februari 2016.
Jurnal Ilmu Komunikasi Universitas Riau Volume 2 Nomor 2 September 2013.
www.health.detik.com/. Diakses pada 21 Januari 2016.
www.bersosial.com diakses pada 28 Januari 2016.
www.mixedcouple.co /article/mod. diakses pada 28 Januari 2016.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metode adalah cara atau teknik yang digunakan untuk riset. Metode
mengatur langkah-langkah dalam melakukan riset. Kemudian, penentuan metode
riset, periset memilih metode apa yang akan dipakai dalam mendekati dan
mencari data ( Kriyantono, 2010: 82). Metode penelitian merupakan unsur penting
di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat
menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi,
2002: 49).
Dalam beberapa hal, memang perlu ditentukan manakah metode yang
paling baik untuk melakukan sebuah penelitian. Dalam hal kaitannya dengan
penelitian ini, ada beberapa hal yang dipertimbangkan kenapa yang dipilih
berbentuk kualitatif. Pertama, penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang
lebih sesuai untuk penelitian yang tertarik dalam memahami manusia dengan
segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif. Kedua, satu tujuan penting
penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh
tentang fenomena yang diteliti. Dengan kata lain metode ini dipilih karena dapat
memberi rincian yang kompleks tentang fenomena yang sulit diungkapkan oleh
metode kuantitatif (Poerwandari, 2009: 41).
Maka dari itu, metode dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Menurut Bungin (2010: 68) metode deskriptif kualitatif bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai
fenomena realitas sosial yang ada di dalam masyarakat yang menjadi objek
penelitian dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri,
karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi ataupun
fenomena tertentu.
Perspektif kualitatif memiliki tahapan berpikir kritis ilmiah, yang mana
seorang peneliti memulai berpikir secara induktif yaitu menangkap berbagai fakta
dan kemudian berupaya melakukan teorisasi berdasarkan apa yang diamati itu
(Bungin, 2010: 16). Paradigma kualitatif merupakan paradigma penelitian yang
menekankan pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial
berdasarkan kondisi realitas atau natural setting yang holistik, kompleks dan rinci
(Hartono, 2004: 16). Riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan fenomena
melalui pengumpulan data yang sedalam-dalamnya. Riset ini tidak mengutamakan
besarnya populasi atau sampling serta yang lebih ditekankan adalah kualitas data
bukan banyak atau kuantitas data. Menurut Kriyantono (2010: 56-57) dalam riset
kualitatif, peneliti merupakan bagian integral dari data yang ikut aktif dalam
menentukan jenis data yang diinginkan. Dengan demikian, peneliti adalah
instrumen riset yang harus terjun ke lapangan. Peneliti juga harus objektif dan
hasilnya kasuistik, bukan untuk digeneralisasikan.
Menurut Denzin dan Lincoln dalam Moleong (2007: 5) mendefinisikan
penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menggunakan latar ilmiah, dengan
maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan
melibatkan berbagai metode yang ada. Kemudian, menurut Lexy J. Moleong
(2007: 6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misal perilaku,
persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.
Menurut Djam‟an dan Komariah (2009: 23), penelitian kualitatif dilakukan karena penelitian ingin mengeksplor fenomena-fenomena yang tidak dapat
dikuantifikasikan yang bersifat deskriptif seperti proses suatu langkah kerja,
formula suatu aktivitas, pengertian suatu konsep yang beragam, tata cara suatu
kehidupan dan lain sebagainya. Lebih lanjut, menurut Nawawi (2001: 63), metode
deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki
dengan menggambarkan keadaan subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga,
masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang
tampak atau sebagaimana adanya.
Menurut Rakhmat (2004: 25), menjelaskan bahwa penelitian deskriptif
1. Mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan
gejala-gejala yang ada.
2. Mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktik-praktik
yang berlaku.
3. Membuat perbandingan atau evaluasi.
4. Menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah
yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan
rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
3.2 Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, pasangan suami istri yang berbeda kebangsaan
berada di kecamatan Medan Kota, Medan Sunggal, dan Medan Johor yang
diharapkan dapat mewakili kota Medan.
3.3 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah pola komunikasi pada pasangan berbeda
kebangsaan di kota medan dalam membesarkan anak.
3.4 Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti.
(Arikunto, 2002 : 145) Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah pasangan
berebeda kebangsaan. Kemudian, penentuan informan dilakukan secara snowball
sampling di mana peneliti mendapatkan informasi tentang orang yang akan
menjadi informan berikutnya dari informan pertama, dan seterusnya. Adapun
yang menjadi informan pertama yang merupakan informan kunci penelitian ini
yaitu: Pasangan Wina Devianty Rambe (Ind.) dan Yahya Suryono Setyowati
(Belanda) yang beralamat di Jl. Brigjen Katamso Gg. Nasional no. 19, Medan.
3.5 Kerangka Analisis
Untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitian tentang pola
komunikasi pada pasangan berbeda kebangsaan di kota Medan dalam mendidik
anak, penelitian ini berangkat dari kerangka analisis. Berikut bagan kerangka
Gambar 3.1 Kerangka Analisis
Sumber: Modifikasi Peneliti
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan pengumpulan data yang diperoleh
melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk
mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:
1. Wawancara
Menurut Denzin (2006: 154), wawancara adalah pertukaran percakapan
dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh informasi dari yang lain secara
lebih lengkap. Menurut Alwasilah (2007: 53), melalui wawancara peneliti bisa
mendapatkan informasi yang lebih mendalam karena peneliti dapat menjelaskan
pertanyaan yang tidak dimengerti informasi, peneliti dapat mengajukan
pertanyaan, informan cenderung menjawab apabila diberi pertanyaan dan
informan dapat menceritakan sesuatu yang terjadi di masa lalu maupun di masa
mendatang.
Selanjutnya, supaya hasil wawancara dapat terekam dengan baik, dan
peneliti memiliki bukti telah melakukan wawancara kepada informan atau sumber
data, maka diperlukan alat-alat sebagai berikut :
a. Handphone: berfungsi sebagai alat perekam wawancara dengan
informan, jika informan tersebut bersedia untuk direkam.
b. Buku catatan: berfungsi sebagai media untuk mencatat wawancara
dengan informan, jika tidak bersedia untuk direkam. Pasangan Suami
Isti Pernikahan Campuran
Pola Komunikasi
Jenis :
1. Pola Keseimbangan
2. Pola keseimbangan terbalik
3. Pola Pemisah atau Tidak Seimbang
c. Kamera: peneliti juga mendokumentasikan kegiatan-kegiatan yang
dilakukan Organisasi Cangkang Queer Medan seperti seminar,
diskusi, sharing, dan lain-lain. Dengan adanya hasil dokumentasi ini,
maka dapat meningkatkan keabsahan penelitian ini, sehingga lebih
terjamin, karena peneliti memang benar melakukan pengumpulan
data.
2. Observasi
Selain wawancara, peneliti juga melakukan metode observasi. Menurut
Nawawi & Martini (2011: 19) observasi adalah pengamatan terhadap unsur-unsur
yang tampak dalam suatu gejala atau gejala-gejala dalam objek penelitian.
Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan. Observasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi non partisipan. Observasi non partisipan
merupakan metode observasi tanpa ikut peran serta dalam melakukan akivitas
seperti yang dilakukan subjek penelitian, baik kehadirannya diketahui atau tidak
(Kriyantono, 2010: 108-110).
Observasi dalam sebuah penelitian diartikan sebagai pemusatan perhatian
terhadap suatu objek dengan melibatkan seluruh indra untuk mendapatkan data.
Instrumen observasi bisa dalam bentuk tes, bentuk kuesioner dan rekaman gambar
serta rekaman suara, (Hatimah dkk, 2008: 184-185). Menurut Bungin (2010: 142),
observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra
lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Dengan demikian dapat
dikatakan observasi merupakan suatu kemampuan seseorang untuk menggunakan
pengamatannya melalui hasil kerja pancaindra mata dibantu dengan pancaindra
lainnya.
Menurut Patton (Sugiyono, 2010: 228-229) manfaat observasi adalah
sebagai berikut:
1. Dengan observasi di lapangan peneliti akan lebih mampu memahami
konteks data dalam keseluruhan situasi sosial, jadi akan dapat diperoleh
2. Dengan observasi maka akan diperoleh pengalaman langsung, sehingga
memungkinkan peneliti menggunakan pendekatan induktif, jadi tidak
dipengaruhi oleh konsep atau pandangan sebelumnya. Pendekatan
induktif membuka kemungkinan melakukan penemuan atau discovery.
3. Dengan observasi, peneliti dapat melihat hal-hal yang kurang atau tidak
diamati oleh orang lain, khususnya orang yang berada dalam lingkungan itu, karena telah dianggap “biasa” dan karena itu tidak akan terungkap dalam wawancara.
4. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang sedianya tidak
akan terungkapkan oleh responden dalam wawancara karena bersifat
sensitif atau ingin ditutupi karena dapat merugikan nama lembaga.
5. Dengan observasi, peneliti dapat menemukan hal-hal yang di luar persepsi
responden, sehingga peneliti memperoleh gambaran yang lebih
komprehensif.
6. Melalui pengamatan di lapangan, peneliti tidak hanya mengumpulkan daya
yang kaya, tetapi juga memperoleh kesan-kesan pribadi, dan merasakan
suasana situasi sosial yang diteliti.
Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data yang yang utama
adalah observasi dan wawancara. Dalam praktiknya kedua metode tersebut dapat
digunakan secara bersama-sama, artinya sambil wawancara juga melakukan
observasi atau sebaliknya (Sugiyono, 2010: 239).
Dalam penelitian ini, observasi dibutuhkan untuk dapat memahami proses
terjadinya wawancara dan hasil wawancara dapat dipahami dalam konteksnya.
Observasi yang peneliti lakukan adalah observasi terhadap subjek, perilaku subjek
selama wawancara, interaksi subjek dengan peneliti dan hal-hal yang dianggap
relevan sehingga dapat memberikan data tambahan terhadap hasil wawancara.
3.7 Penentuan Informan
Penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Kendarso (Usman, 2009: 56)
menjelaskan bahwa penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat
generalisasi dari hasil penelitian yang dilakukan sehingga subjek yang telah
penelitian kualitatif ini tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek
penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan secara
sengaja. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama proses penelitian.
Orang-orang yang dapat dijadikan informan adalah orang yang memiliki
pengalaman sesuai dengan masalah penelitian, orang-orang dengan peran tertentu
dan tentu saja yang mudah diakses (Bogdan, 1992: 5). Informan merupakan orang
yang dianggap menguasai dan memahami data, informasi, ataupun fakta dari
suatu objek penelitian. adapun informan dalam penelitian ini adalah pasangan
suami/istri yang berbeda kebangsaan.
Menurut Bungin (2010: 108) dalam wawancara mendalam peran informan
tetap menjadi sentral, walaupun kadang informan berganti-ganti. Penentuan
informan dilakukan secara snowball sampling. Teknik pengambilan informan
secara snowball sampling akan berhenti jika data yang didapatkan sudah jenuh
atau sudah tidak ada data yang dianggap baru lagi.
3.8 Keabsahan Data
Pendekatan penelitian ini merupakan pendekatan deskriptif, maka dalam
menganalisis data yang berhasil dikumpulkan, tidak digunakan uji statistik
melainkan non statistik. Teknik pemeriksaan keabsahan data pada penelitian
deskriptif kualitatif menurut Moleong (2007: 323) yaitu :
1. Perpanjangan Keikutsertaan
Dalam penelitian, keikutsertaan peneliti sangat menentukan pada saat
pengumpulan data. Moleong (2007: 318) berpendapat :
“Dengan perpanjangan keikutsertaan pada penelitian, dapat menguji ketidakbenaran informasi yang diperkenalkan oleh distorsi, baik berasal
dari diri sendiri maupun dari informan dan membangun kepercayaan
subjek. Perpanjangan keikutsertaan menurut peneliti dapat berupa tindakan
untuk melihat ke lokasi secara berulang-ulang dan mengambil data-data
yang dianggap penting serta memperhitungkan distorsi yang mungkin
untuk membangun kepercayaan pada subjek terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti itu sendiri”.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya perpanjangan
keikutsertaan peneliti sangat menentukan hasil pada saat pengumpulan data.
Dengan adanya perpanjangan keikutsertaan, data yang diperoleh dan dikumpulkan
setelah berulang kali ke lokasi penelitian dapat dipilih kembali dari gangguan atau
distorsi yang dapat ditemukan dalam penelitian.
2. Triangulasi
Menurut Moleong dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif
(2007), yang dimaksud dengan keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan
harus memenuhi :
1. Mendemonstrasikan nilai yang benar
2. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan, dan
3. Memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi
dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan
keputusan-keputusannya.
Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk menguji keabsahan
data yang diperoleh adalahh menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah
teknik pemeriksa keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain
(Moleong, 2007: 330). Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber yang
berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan yang diperoleh
melalui waktu dan alat yang berbeda.
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif dapat
mempertinggi validitas, memberi kedalaman hasil penelitian, serta sebagai
pelengkap apabila data yang diperoleh masih ada kekurangan. Triangulasi
diartikan sebagai teknik pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai
cara dan berbagai waktu.
Triangulasi menilai kecukupan data berdasarkan keabsahan berbagai sumber data
maupun prosedur pengumpulan data).
Sugiyono (2010: 241) mengatakan bahwa “teknik triangulasi berarti peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama”. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar 3.2 Teknik Triangulasi
Sumber: Sugiyono, 2010: 240.
Triangulasi sebagai teknik pemeriksaan data pada penelitian kualitatif.
Menurut Moleong (2007: 330) dapat dilakukan dengan jalan sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa
yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu tertentu.
4. Membandingkan keadaan atau perspektif seseorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang lain.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isu suatu dokumen yang
berkaitan.
Jadi, triangulasi berarti cara terbaik untuk menghilangkan
perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu
mengumpulan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai
pandangan. Dengan kata lain bahwa dengan triangulasi, peneliti dapan me-
recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber,
3.9 Teknik Analisis Data
Kriyantono (2010: 196), riset kualitatif adalah riset yang menggunakan
cara berpikir induktif, yaitu cara berpikir yang berangkat dari hal-hal yang khusus
(fakta empiris) menuju hal-hal yang umum (tataran konsep). Dalam penelitian
kualitatif, interpretasi data yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara
mendalam dilakukan di sepanjang penelitian.
Proses penelitian kualitatif akan melibatkan data verbal yang banyak dan
harus ditranskripsikan, objek-objek, situasi ataupun peristiwa dengan aktor yang
sama atau bahkan sama sekali berbeda. Ini menyebabkan data atau informasi
dalam penelitian kualitatif yang diterima oleh peneliti belum siap dianalisis karena
masih dalam bentuk yang kasar (Idrus 2009: 146).
Analisis data, menurut Patton dalam Moleong (2007: 334) adalah proses
mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan
satuan uraian dasar. Ia membedakannya dengan penafsiran, yaitu memberikan arti
yang signifikan terhadap hasil analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari
hubungan di antara dimensi-dimensi uraian.
Dalam penelitian kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan
bersamaan dengan pengumpulan data (Sugiyono, 2010: 293). Maka dari itu,
dalam penelitian ini, peneliti melakukan teknik analisis data dan pengumpulan
data secara bersamaan.
Dalam membahas tentang analisis data dalam penelitian kualitatif, para
ahli memiliki pendapat yang berbeda. Penulis menggunakan model analisis
Interaktif Huberman dan Miles. Huberman dan Miles (Idrus 2009: 146)
mengajukan model analisis data yang disebutnya sebagai model interaktif. Model
interaktif ini terdiri dari tiga hal utama yakni :
1. Reduksi data (data reduction). Reduksi data adalah proses
menginterpretasikan data atau informasi yang didapat dari catatan
lapangan/observasi serta hasil wawancara mendalam terhadap subjek
penelitian atau informan
2. Penyajian data (data display). Fase kedua dari analisis data ini adalah
menetukan bagaimana data yang sudah direduksi itu akan disajikan
3. Penarikan kesimpulan (conclusion). Fase ketiga dari proses analisis data
ini adalah penarikan kesimpulan yang dilakukan dengan melihat kembali
data yang sudah direduksi tersebut guna mempertimbangkan makna dari
data yang sudah dianalisis dengan implikasinya berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan dalam perumusan masalah tersebut.
Gambar 3.3 Model Analisis Huberman dan Miles (Idrus, 2009: 147)
Penggunaan teknik analisis deskriptif kualitatif seperti yang dijelaskan
pada gambar sebelumnya, dimulai dari analisis berbagai data yang terhimpun dari
suatu penelitian. Kemudian dilanjutkan dengan penyajian data dan diikuti dengan
pembentukan kesimpulan kategoris atau ciri-ciri umum tertentu. Dalam teknik
analisis ini, tiga jenis kegiatan tersebut merupakan proses siklus dan interaktif.
Dengan sendirinya, peneliti harus memiliki kesiapan untuk bergerak aktif di
antara empat kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak
diantara empat kegiatan yakni reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan
selama penelitian. Dengan begitu, analisis data pada penelitian ini merupakan
proses yang berulang dan berlanjut secara terus-menerus dan saling menyusul.
Kegiatan keempatnya berlangsung selama dan setelah proses pengambilan data
berlangsung. Kegiatan baru berhenti saat penulisan akhir penelitian telah siap
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Deskripsi Pelaksanaan Penelitian
Sebelum mendeskripsikan hasil penelitian, peneliti terlebih dahulu
menjelaskan dua tahap yang dilakukan peneliti saat melaksanakan penelitian
hingga mendapatkan hasil penelitian. Adapun dua tahap yang dimaksud adalah
sebagai berikut :
A. Tahap Awal
Penelitian yang mengangkat judul Pola Komunikasi Antarpribadi
Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan
Berbeda Kebangsaan di kota Medan) yang dilakukan di tiga tempat yaitu
di kecamatan Medan Kota, Medan Sunggal, dan Medan Johor yang
diharapkan dapat mewakili kota Medan. Melalui teknik snowball
sampling,peneliti melakukan pra penelitian terlebih dahulu pada informan
kunci yaitu pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya
Suryono Setyowati (Belanda) yang beralamat di Jl. Brigjen Katamso Gg.
Nasional no. 19, Medan Kota. Melalui pasangan tersebut, peneliti
kemudian mendapatkan informan selanjutnya yang bertempat tinggal di
kecamatan Medan Sunggal dan Medan Johor. Setelah mendapatkan ketiga
informan, peneliti yakin untuk melakukan penelitian dengan judul Pola
Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan (Studi
Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota Medan).
Perkenalan peneliti dengan informan kunci yaitu pasangan Wina
Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda)
berawal dari percakapan peneliti dengan teman peneliti. Sebab, teman
peneliti yang bernama Diana memiliki kakak sepupu yang menikah
dengan pria berkebangsaan asing. Ketika Diana menyinggung tentang
pernikahan kakak sepupunya tersebut, peneliti tertarik untuk
mengetahuinya lebih dalam terutama tentang pola komunikasi antara
itu, Diana memperkenalkan kakak sepupunya yang bernama Wina
Devianty Rambe (istri dari Yahya Suryono Setyowati yang berkebangsaan
Belanda). Melalui percakapan peneliti dengan pasangan tersebut, peneliti
akhirnya dikenalkan lagi dengan pasangan yang juga berbeda kebangsaan.
Pasangan selanjutnya bernama Belinda Maharani dan Azhim Hoftijzer
yang bertempat tinggal di jalan, serta Atika Riama Siahaan dan Albert
Schoonhoven yang bertempat tinggal di jalan. Wina mengatakan bahwa
Belinda dan Azhim, serta Atika dan Albert juga pasangan yang terbuka,
sehingga dia menyarankan peneliti untuk menjadikan mereka informan
jika peneliti tertarik melakukan penelitian tentang pola komunikasi antara
pasangan yang berbeda kebangsaan dalam mendidik anaknya. Mengetahui
hal tersebut, akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian
tentang Pola Komunikasi Antarpribadi Pada Pasangan Berbeda
Kebangsaan (Studi Deskriptif Pada Pasangan Berbeda Kebangsaan di kota
Medan) yang dilakukan di tiga tempat yaitu di kecamatan Medan Kota,
Medan Sunggal, dan Medan Johor.
B. Pengumpulan Data
Dalam proses pengumpulan data, peneliti lebih menitikberatkan pada
observasi. Oleh karena itu, peneliti mulai membangun relasi yang baik
dengan para informan melalui media sosial seperti blackberry messanger
dan line. Tak jarang, peneliti mengunjungi informan kunci di tempat
jualannya dengan alasan minum bandrek. Wina Devianty Rambe
(Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda) memiliki usaha
bandrek yang terletak di simpang dekat rumah mereka. Melalui
percakapan ringan, peneliti juga mendapatkan data-data terkait dengan
peneletian. Meskipun masih ada kata-kata yang sulit dimengerti oleh
Yahya Suryono Setyowati, pria berkebangsaan Belanda tersebut tak
jenuh-jenuh menjawab segala pertanyaan peneliti. Bahkan, pasangan tersebut
juga menceritakan kehidupannya berkeluarga selama di Belanda. Pasangan
Belinda Maharani (Indonesia) dan Azhim Hoftijzer (Belanda) serta Atika
merupakan teman dari pasangan Wina Devianty Rambe (Indonesia) dan
Yahya Suryono Setyowati (Belanda) juga tak jarang dijumpai peneliti.
Mengingat observasi adalah penting dalam penelitian ini, peneliti juga
mengunjungi kediaman mereka hanya untuk melakukan percakapan ringan
selama satu hingga satu setengah jam di waktu senggang mereka. Sebab,
ketiga pasangan tersebut merupakan pasangan yang terbuka dan ramah,
sehingga mereka tidak segan-segan mengajak peneliti untuk berkunjung ke
tempat tinggalnya.
Lebih lanjut, peneliti menyadari bahwa wawancara secara tatap muka
(face to face communication) dengan para informan juga membantu
peneliti dalam mengamati para informan dalam mendidik anaknya.
Peneliti mengamati bagaimana pola komunikasi pasangan yang berbeda
kebangsaan saat mendidik anaknya. Oleh sebab itu, peneliti lebih memilih
untuk mewawancarai informan secara tatap muka, meskipun harus
menunggu waktu yang tepat dengan informan. Mengingat para informan
juga memiliki rutinitas yang cukup padat.
Dalam mengawali wawancara, peneliti terlebih dahulu menunjukkan
daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Daftar
pertanyaan tersebut berasal dari pedoman wawancara dalam penelitian ini.
Kemudian, peneliti menanyakan apakah mereka bersedia menggunakan
nama asli, nama panggilan, nama samaran atau bahkan inisial. Tidak
hanya itu, demi kenyamanan selama berlangsungnya wawancara, peneliti
juga menanyakan kesediaan informan untuk direkam suaranya saat
diwawancarai. Ternyata, dua dari tiga informan tidak bersedia suaranya
direkam.
Mengingat keterbatasan peneliti yang tidak mampu mengingat semua
hasil wawancara, maka peneliti juga menggunakan alat tulis untuk
mencatat hasil wawancara jika informan tidak berkenan jika suaranya
direkam. Kemudian, peneliti juga menanyakan hal-hal yang terkait dengan
penelitian saat melakukan percakapan ringan dengan para informan. Oleh
mengalir apa adanya. Observasi dalam penelitian ini terhitung mulai dari
tanggal 5 Januari 2016 sampai dengan 29 Maret 2016.
Adapun karakter dari tiga informan yang diteliti adalah sebagai
berikut:
Indonesia 45 Tahun Ibu rumah
tangga
Belanda 48 Tahun wirausahawan
2. Belinda
Maharani
Indonesia 29 tahun Ibu rumah
tangga 2 orang
anak Azhim
Hoftijzer
Belanda 37 tahun Wiraswasta
3. Atika Riama
Siahaan
Indonesia 33 tahun Wiraswasta 3 orang
anak
Albert
Schoonhoven
Belanda 39 tahun Wiraswasta
Sumber: (wawancara 5 Januari 2016 sampai dengan 29 Maret 2016.)
Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan ditempat yang berbeda-beda.
Hal ini dikarenakan kesepakatan yang terjadi antara peneliti dan informan. Dari
tiga informan, dua informan memilih tempat tinggalnya sebagai tempat
berlangsungnya wawancara. Satu informan lebih memilih tempatnya berjualan
untuk melakukan proses wawancara, yaitu informan kunci pasangan Wina
Devianty Rambe (Indonesia) dan Yahya Suryono Setyowati (Belanda). Mengingat
dapat menjumpainya saat mereka sedang berjualan bandrek di simpang jalan raya
dekat tempat tinggalnya berada.
Dalam pemilihan tempat wawancara, peneliti menyerahkan penentuan
tempatnya sesuai dengan keinginan informan. Dua informan yang memilih tempat
tinggalnya sebagai tempat pertemuan peneliti dengan informan mengaku lebih
nyaman di rumah sembari menjaga anak mereka. Wawancara yang berlangsung
bukanlah hanya wawancara yang dilakukan peneliti berdasarkan
pertanyaan yang ada pada pedoman wawancara. Peneliti merasa
pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak cukup dalam mengumpulkan data sehingga peneliti juga
menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan tujuan penelitian guna
mendapatkan data yang lebih mendalam. Tak jarang peneliti menanyakan hal-hal
yang terkait dengan tujuan penelitian saat melakukan percakapan ringan dengan
para informan. Misal, ketika Dewi menceritakan tentang bagaimana awal mereka
pindah ke Indonesia, peneliti menanyakan bagaimana Dewi dan suaminya
menangani masalah anaknya ketika baru tiba di Indonesia. Anak-anaknya yang
mengalami kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan baru. Mengingat pasangan
tersebut membina keluarga di Belanda dan baru 2013 silam menginjakkan kaki ke
Indonesia sejak menikah.
4.1.2 Hasil Temuan Peneliti
Pasangan 1
Nama Suami : Yahya Suryono Setyowati (Belanda)
Nama Istri : Wina Devianty Rambe (Indonesia)
Jumlah Anak : 4 orang anak
Pasangan Wina dan Yahya adalah pasangan yang menjadi informan
pertama sekaligus informan kunci pada penelitian ini. Peneliti telah mengenal
Wina dan Yahya sejak pra penelitian pada 2014 lalu. Pada saat itu, pasangan Wina
dan Yahya mudah berkomunikasi dengan orang baru. Terlebih sang suami yang
berkebangsaan negeri kincir angin tersebut, meskipun sudah tahun ketiga berada
dengan bahasa Indonesia. Dia mengaku belum terlalu menguasai bahasa
Indonesia. Untung saja Wina, perempuan berdarah mandailing ini sigap dalam
menerjemahkan tiap kata yang sulit diucapkan oleh suaminya dalam bahasa
Indonesia.
Wina adalah sosok ibu rumah tangga yang sabar. Selain mengurusi rumah
tangga, keseharian ibu empat anak ini adalah meracik bandrek yang akan dijual
suaminya. Wina termasuk cekatan dalam menanggapi keaktifan anak keempatnya
yang saat ini menginjak usia 5 tahun. Naya, anak terakhir pasangan Wina dan
Yahya kerap membuat ibunya kewalahan karena tingkahnya. Tak hanya itu,
berhubung informan penelitian ini adalah pasangan suami istri, maka Wina harus
datang bersama kedua anaknya ke simpang jalan raya dekat rumahnya, tempat
suaminya berjualan bandrek. Sebab, kedua anaknya masih berada di bawah
pengawasannya. Sedangkan anak pertama dan keduanya pergi les di malam hari.
Saat melakukan percakapan dengan pasangan suami istri tersebut, tak
jarang Naya bahkan Adira, anak ketiga mereka yang juga turut meramaikan
percakapan. Mereka aktif baik dalam tingkah laku maupun komunikasi, sehingga peneliti sering mendengar kata “niet doen” yang berasal dari bahasa Belanda yang artinya jangan. Jika dirasa tidak cukup, ayahnya menatap kedua anaknya tersebut
dan meletakkan jari yang ditempelkan di bibir yang menandakan bahwa Naya dan
Adira harus diam.
Ketika peneliti bertanya tentang perbedaan Belanda dan Indonesia, sang
istri menjawab terlebih dahulu.
“Belanda salah satu negara liberal ya, beda sama Indonesia yang masih memegang norma-norma masyarakat, jadi anak-anak masih terkontrol
pergaulannya, tidak ada seks bebas”.
Kemudian, sang suami juga ikut menjelaskan.
“Kalau Belanda individualisnya tinggi, bahkan antara orangtua dan anak juga tidak seintim di Indonesia. Anak-anak dididik untuk mandiri dan
bertanggungjawab dengan dirinya sendiri, jadi kalau ada masalah ya diselesaikan sendiri”.
Mendengar penjelasan pasangan tersebut, peneliti bertanya bagaimana
“Kalau kita ya ikut sistem orang Indonesia ya, karenakan saya sebagai ibunya adalah orang Indonesia. Ya saya ajarin Indonesia”.
Suaminya, Yahya juga turut menimpali.
“Ya kita pakai cara orang Indonesia dalam mendidik anak”.
Saat peneliti mendengarkan jawaban spontan dari sang istri, peneliti
bertanya apakah pemilihan cara mendidik anak ini memang ide bersama. Sang
istri menjawabnya dengan tegas.
“Sayakan ibunya, jadi saya mendidik pakai cara Indonesia. Kalau abang sih untungnya setuju-setuju aja. Penurut dia orangnya”.
Kemudian sang suami juga menjelaskan alasannya mengapa menyetujui
dalam hal memilih cara orang Indonesia dalam mendidik anak.
“Saya setuju aja demi kebaikan. Lagian kalau begitukan anak-anak lebih patuh dengan orangtua. Kalau di Belanda orangtua dengan anak sudah seperti
teman, bahkan mereka ada yang memanggil orangtuanya dengan nama saja. Jadi kalau bapaknya John ya dipanggilnya John”.
Saat suami menjawab, istrinya juga langsung menjelaskan.
“Kalau anak-anak ya diajarin agar manggil papa mama. Kemudian, mereka juga diajarkan untuk minta izin kemana-mana. Bahkan mereka juga tidak
kami perbolehkan membawa teman lawan jenis ke rumah apalagi sampai masuk ke kamar tidur mereka. Begitu juga sebaliknya”.
Mendengar penjelasan sang istri, peneliti bertanya apakah sejak dari lahir
anaknya sudah diajari memanggil kedua orangtuanya dengan sebutan papa mama ,
atau ada sebutan papa mama dalam bahasa Belanda. Istrinya langsung menjawab. “Papa mama kan dari bahasa Belanda. Kan kita tahunya papa mama karena kita dahulu itu dijajah sama Belanda. Jadi ya sejak lahir memang sudah
diajarkan untuk memanggil papa mama. Bukan nama kita”.
Kemudian, sang suami menambahkan penjelasan dari istrinya.
Penjelasan yang dituturkan oleh sang suami menimbulkan pertanyaan baru
bagi peneliti, sehingga peneliti bertanya apakah anak-anaknya juga bekerja paruh
waktu seperti halnya anak-anak Belanda pada umumnya.
“Sejauh ini mereka tidak ada minta yang diluar dari kebutuhan. Jadi ya belum pernah kerja part time”, jelas sang suami.
Peneliti bertanya apakah mereka tidak ada mengadopsi cara orang Belanda
dalam mendidik anaknya. Saat itu sang suami sedang membuat minuman bandrek
untuk pembelinya, sehingga Weni, sang istri yang menjawabnya.
“Ada kok. Seperti dalam pendidikan formal ya. Di Belanda itu ketika anak saya lahir dan pulang ke rumah, perawat datang secara intens ke rumah selama
tiga bulan untuk memastikan kondisi kesehatan si bayi”.
Disela penjelasan sang istri, Yahya datang dan menyimak sejenak
kemudian turut memberikan jawaban.
“Pemerintah Belanda memang begitu. Bahkan setelah usia anak mencapai 2,5 tahun, orang pemerintahan datang ke rumah dan mengingatkan bahwa anak kita sudah bisa masuk sekolah”.
Kemudian istrinya juga menjawab.
“Iya kalau disini sebutannya TK. Disana TK dan SD itu disatukan jadi 8 Group, setelah itu SMP dan SMA 6 Group. Kemudian, lanjut ke universitas atau
akademik atau kejuruan. Kalau mau ambil gelar ya di Universitas, kalau mau jadi guru ya di akademik, tapi kalau kejuruan seperti SMK disini”.
Saat menjelaskan pendidikan formal yang diterapkan di Belanda, peneliti
bertanya bagaimana dengan pendidikan di Indonesia, Medan khususnya.
Kemudian, sang istri langsung menjawab dengan dahi dikerutkan.
“Disini pendidikannya memang berbeda jauh ya dengan yang disana. Anak saya kan yang pertama sudah ditentukan pemerintah masuk ke universitas
sejak tamat SD. Dia bisa 7 bahasa loh, jadi dia kecewa dengan pendidikan formal yang dia dapati di sekolah barunya disini”.
Mendengarkan jawaban Weni, peneliti bertanya bagaimana pemerintah
Belanda dalam menentukan warganya untuk masuk ke Universitas. Weni
“Sejak dari awal sekolah hingga tamat SD, pemerintah mengamati tiap anak-anak sekolah. Dari hasil pengamatan itulah dapat ditentukan apakah si A
pantas masuk universitas, atau akademik, atau kejuruan. Tidak semua bisa masuk ke universitas, hanya sedikit saja”.
Kemudian, sang suami memberikan penambahan pada penjelasan istrinya. “Makanya kita dari awal sekolah anak-anak terus memantau setiap kegiatannya. Waktu belajarnya, bermainnya, kita kontrol. Kalau pendidikan
formal kita pakai cara Belanda. Disiplinnya, bertanggungjawabnya, tapi kalau pergaulan bebasnya gak kita pakai”.
Peneliti bertanya kepada pasangan suami istri tersebut apakah anak-anak
mereka tidak bertanya mengapa didikan orangtuanya dengan orangtua di Belanda
pada umumnya berbeda, kemudian sang istri langsung menjawab.
“Mereka paham karena untuk kebaikan, jadi ketika saya melarang mereka, misalnya bermain sampai larut malam, saya memberitahu alasan dan
pergaulan bebas juga saya larang dengan menjelaskan ajaran Islam. Anak-anak dan abang kan islam ikut saya”.
Penjelasan dari Weni, memberikan pertanyaan baru bagi peneliti tentang
agama yang dianut oleh sang suami dahulunya sebelum menikah dengannya. “Iya abang mualaf, sebelum menikah masuk agama Islam dulu, makanya anak-anak juga Islam. Si Adi itu, anak pertama saya tetap shalat walaupun lagi di
sekolah. Di kelas dia shalat dikelilingi teman-temannya”.
Peneliti bertanya bagaimana awalnya mereka mendidik anak-anaknya
untuk patuh pada ajarang agama Islam. Lagi, istrinya langsung menjawab.
“Saya mengajarkan dasar-dasar agama Islam seperti berdo’a, mengaji, shalat sejak dari kecil, jadi mereka sudah terbiasa. Di Belanda kan banyak yang muslim tapi ya muslim Eropa. Orang Turki mayoritas muslim di sana”.
Peneliti bertanya apakah sang suami juga turut mendidik anak-anak
mereka dalam hal religi. Sang istri lagi-lagi menjawabnya.
“Kalau abang ya nurut-nurut aja, abang sebagai pendukungnya. Kalau udah waktunya shalat abang mengingatkan, abang juga shalat kok”.
Peneliti juga bertanya bagaimana cara mereka mendidik anak terkait
Menginjak usia belianya, ternyata anak perempuan dari pasangan Weni dan
Yahya mengenakan pakaian yang lebih tertutup, tidak seperti anak seusianya yang
tidak mempermasalahkan jika hanya memakai hot pant maupun pakaian you can
see.
“Isra itu paham kok, pakaian seperti itu tidak cocok untuknya jadi dia kalau keluar rumah khususnya, pakai pakaian yang lebih tertutup, seperti jeans selutut, baju berlengan minimal”.
Saat ditanyai bagaimana sikap mereka sebagai orangtua jika anaknya
diundang dalam acara-acara temannya seperti pesta di rumah temannya, atau di
tempat umum. Weni langsung menjawabnya.
“Lihat dulu acaranya dimana dan siapa yang mengundang, kalau di club malam gitu jelas saya larang. Tapi kalau di tempat makan dan temannya yang saya nilai baik ya saya ijinkan. Karena dalam batas yang wajar”.
Peneliti juga menanyakan hal yang sama dengan sang suami, dan
menanyainya apakah pernah tidak setuju dengan sikap istrinya.
“Saya ikut saja, saya yakin itu yang terbaik, karena kalau di club malam walaupun anak kita tidak melakukan hal-hal aneh tapi faktor lingkungannya kan mendukung, takut terpengaruh saja”.
Mendengarkan penjelasan Yahya, Weni turut menambahkan.
“Kalau abang ikut aja itu hahaha. Walaupun begitu, kitakan sudah membekali anak-anak mana yang baik mana yang tidak, jadi mereka paham. Tapi yang namanya orangtua tetap aja khawatir”.
Peneliti juga bertanya bagaimana sikap Weni dan Yahya sebagai orangtua
jika melihat anaknya dalam masalah. Kali ini Yahya angkat bicara.
“Kita didik mereka untuk bertanggungjawab, jadi kalau ada masalah ya hadapi dan selesaikan sendiri. Kita hanya kasih nasehat-nasehat saja, selebihnya kita serahkan pada anaknya”.
Selanjutnya, Weni ikut menambahkan pernyataan dari suaminya.
“Memang kita biarkan dia menyelesaikan masalahnya, tapi tetap kita kontrol. Kita tanya bagaimana masalahnya apa telah selesaikah, kita juga
Mendengar penambahan dari sang istri, Yahya melanjutkan jawabannya
tadi.
“Iya kita kasih saran, ya kalau orangtua Belanda itu memperlakukan anaknya seperti teman, jadi kalau anak ada masalah ya dibiarkan dia
menyelesaikannya sendiri, memang keras tapi mereka dididik untuk lebih mandiri dan bertanggungjawab”.
Lanjut, istrinya juga ikut menimpali.
“Iya di Belanda gitu. Mereka menghargai privasi, jadi kalau kita punya masalah mereka tidak akan ikut campur, kecuali kita membagi masalah ke
mereka, seperti curhat dan sebagainya”.
Lagi, Yahya juga menambahkan apa yang dikatakan oleh istrinya
sebelumnya.
”Benar, disana orangnya menghargai privasi. Mereka tidak akan datang ke tetangga kalau tidak buat janji terlebih dahulu”.
Istrinya ikut bicara.
“Jadi kalau mereka lagi makan siang, kita datang ya kita disuruh tunggu atau pulang, baru buat janji karena makan siangnya dibuat pas, walaupun saudara sendiri”.
Yahya, sang suami turut memberikan pernyataan terkait topik yang tengah
di bahas.
“Disana individualis, sangat menghargai privasi. Makanya banyak yang bunuh diri. Anak saya si Isra sudah dua kali menyaksikan langsung orang bunuh diri. Ada yang jatuh dari balkon atas rumahnya dan jatuh tepat di depan Isra”.
Mendengarkan penjelasan sang suami, Weni mengangguk-anggukkan
kepalanya membenarkan apa yang dikatakan suaminya, kemudian memberikan
pernyataan.
“Makanya kita tidak mau seperti itu, kita didik anak kita untuk tetap terbuka dengan kita agar mereka tidak memikirkannya sendirian. Bukan
memanjakan mereka, tapi lebih ke sharing saja, tukar pikiran agar mereka tidak merasa sendirian dalam menghadapi sesuatu”.
“Sebagai orangtua, kita hanya inginkan yang terbaik buat anak kita. Kita didik mereka untuk bertanggungjawab atas masalahnya, tapi kita juga turut
campur tangan memberikan nasehat, saran, dan perhatian agar mereka kuat menghadapi masalah, baik di pergaulan maupun di akademik”.
Pasangan 2
Nama Suami : Azhim Hoftijzer (Belanda)
Nama Istri : Belinda Maharani (Indonesia)
Jumlah Anak : 2 orang anak
Belinda dan Azhim adalah pasangan kedua yang diwawancarai oleh
peneliti. Meskipun terbilang baru, peneliti dapat mengakrabkan diri dengan
pasangan Belinda dan Azhim. Sebagai pasangan berbeda kebangsaan, Belinda dan
Azhim memiliki berbagai kesamaan, baik dalam hal hobi maupun makanan.
Ketika dijumpai di kediamannya, Belinda menyambut ramah dan
menyuguhkan hidangan bagi peneliti. Kami melakukan percakapan ringan
sembari menunggu sang suami pulang kerja. Ini merupakan kali pertama peneliti
bertemu dengan Belinda dan Azhim. Namun, peneliti berdecak kagum karena
Belinda dan Azhim tak kalah ramahnya dengan pasangan sebelumnya. Memang
peneliti dan pasangan tersebut sudah menjalin komunikasi melalui media sosial
terlebih dahulu. Namun, tak begitu intens karena peneliti juga tidak ingin
pasangan Belinda dan Azhim merasa terganggu dengannya.
Belinda merupakan perempuan berdarah Tionghoa. Meskipun demikian,
aksen bicaranya tidak seperti orang Tionghoa pada umumnya. Memang Belinda
dibesarkan di kota kembang Indonesia dengan lingkungan yang mayoritas Sunda.
Tak heran jika bicaranya lemah lembut.
Sang suami, Azhim yang merupakan warga negara Belanda merupakan
pria yang ramah dan pribadi yang santun. Setelah beberapa kali peneliti datang ke
tempat tinggal pasangan tersebut, Azhim tidak sungkan-sungkan memberikan
oleh-oleh yang dibawanya dari luar kota saat sedang melakukan perjalanan bisnis.
oleh-oleh saat itu. Mendengarnya, peneliti sungguh terharu dan tak henti-hentinya
kagum dengan pasangan tersebut.
Dikaruniai anak kembar, pasangan Belinda dan Azhim mengaku sudah
merasa cukup dengan jumlah anak. Mereka khawatir jika lebih banyak anak maka
mereka tidak maksimal dalam mendidik anaknya. Jake adalah anak pertama,
sedangkan Jane, kembarannya adalah anak kedua dari pasangan Belinda dan
Azhim. Awalnya peneliti berpikir bahwa pemberian nama pada anak-anak mereka
berasal dari sang suami yang berketurunan Belanda, Amerika. Tapi, setelah
beberapa kali melakukan percakapan dengan pasangan tersebut, ternyata asal
nama Jake dan Jane adalah dari sang istri sendiri, yang berketurunan Sunda
Tionghoa. Belinda mengaku cuma suka saja dengan nama tersebut, seperti
karakter Jake and Jill dalam film fantasi anak-anak.
Menginjak usia ke sembilan tahun, anak-anak mereka tumbuh seperti anak
Indonesia pada umumnya. Bedanya, anak-anaknya mengerti bahasa Belanda dan
juga bahasa Inggris, sama seperti pasangan sebelumnya. Hanya saja, anak dari
pasangan Belinda dan Azhim belum fasih dalam pengucapannya.
“Memang kita ajarin anak-anak dari bayi pakai bahasa Belanda dan Inggris. Apalagi, jika ke tempat tinggal Papa nya, penggunaan bahasa Indonesianya minim”, jelas Belinda.
Pasangan tersebut memang menikah di Belanda dan sempat menetap di
Belanda selama 2 tahun. Namun, pada pertengahan tahun kedua, keluarga Belinda
memintanya untuk kembali ke tanah air dengan alasan rindu.
“Saya dari kuliah sampai menikahkan di Belanda, terus papa mama merasa kehilangan anak semata wayangnya jadi disuruh pulang hahaha”, ujar
Belinda.
“Setelah satu bulan lebih di Bandung, ternyata Belinda hamil. Ya rezekinya di Indonesia makanya kita netap disini aja”, jelas Azhim.
“Awalnya saya mikir wah keren nih anak-anak saya bakalan kayak bule beneran”, ujar Belinda sambil tersenyum.
Mendengarkan hal tersebut, peneliti bertanya apakah Belinda senang jika
“Saya sih senang-senang aja tapikan anak-anak besarnya di Indonesia ya jadinya pakai gaya orang Indonesia”.
Kemudian peneliti menanyakan tanggapan Azhim sebagai orangtua terkait
pertanyaan sebelumnya.
“Saya mana baiknya aja, yang penting keluarga saya bahagia”.
Ketika peneliti bertanya bagaimana sikap pasangan Belinda dan Azhim
dalam memperkenalkan anak-anaknya dengan hal baru, Belinda langsung
memberikan penjelasan.
“Anak saya yang kedua itu banyak tanyanya. Kalau yang laki-laki kalem, kayak papanya. Jadi sama Jane harus jelas memberitahunya. Misalnya saat
melihat saya mengupas bawang, dia bertanya kenapa harus dikupas, kenapa tidak dibiarkan saja, jujur saya sering kesusahan menjawabnya”.
Mendengar kejujuran sang istri, Azhim memberikan penambahan.
“Makanya Belinda jadi suka searching di internet tentang hal-hal sepele, karena anak-anak seperti itu harus dijelaskan dengan benar, takutnya kalau kita jawab ngasal berdampak di kedepannya”.
Kemudian, Belinda juga turut menimpali.
“Benar, bahkan Jane pernah tanya apa artinya sodom. Saya kaget dan saya tanya dari mana tahunya, ternyata papanya kan kalau pagi sebelum kerja nonton berita, Jane masuk kamar dan mendengar”.
Mendengar jawaban Belinda, peneliti bertanya apakah anak-anaknya tidur
di kamar sendiri. Belinda langsung menjawab.
“Iya, dari umur 4 tahun kita udah pisah kamar. Tapi saat itu, Jake dan Jane masih sekamar. Kemudian, setelah 7 tahun mereka sudah masing-masing”.
Kemudian peneliti bertanya apa alasan mereka membiarkan anak-anaknya
tidur di kamar masing-masing. Kali ini Belinda lagi yang menjawab.
“Saya mau mendidik anak-anak lebih mandiri aja, jadi dari kecil saya udah ajak anak-anak untuk merapikan kamarnya sendiri, walaupun sampai sekarang belum pernah bener rapinya”.
Peneliti bertanya apa tanggapan Azhim terkait hal tersebut. Kemudian