• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

PENGGUNAAN BEAUVERIA BASSIANA DAN BACILLUS THURINGIENSIS

UNTUK MENGGENDALIKAN Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae)

DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH :

RIA FEBRIKA

080302013

HPT

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PENGGUNAAN BEAUVERIA BASSIANA DAN BACILLUS THURINGIENSIS

UNTUK MENGGENDALIKAN Plutella xylostella L. (Lepidoptera: Plutellidae)

DI LABORATORIUM

SKRIPSI

OLEH :

RIA FEBRIKA

080302013

HPT

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Di Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan.

Disetujui Oleh : Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

(Ir. Syahrial Oemry, MS) (Ir. Mena Uly Tarigan, MS)

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

ABSTRACT

Ria Febrika “ The Utility Beauveria Bassiana and Bacillus Thuringiensis to Control Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) in the Laboratory”. It was under supervised by Ir. Syahrial Oemry, MS. and Ir. Mena Uly Tarigan, MS. The

research was to study the effectivity of Beauveria bassiana and Bacillus thuringiensis as agens biological to control Plutella xylostella L. on

cabbage (Brassica oleraceae L.) in Laboratory. The research was held at the Insect Laboratory Of Agriculture Faculty University of North Sumatera, Medan since May – December 2012. The method of this research was Randomized Complete Design Non Factorial with seven treatment (control, B. thuringiensis 5 g/L, B. thuringiensis 10 g/L, B. thuringiensis 15 g/L, B. bassiana 5 g/L, B. bassiana 10 g/L, B. bassiana 15 g/L) with three replications. The parameters include the percentage of mortality pest and the change of morphology larva. The results showed that B. thuringiensis and B. bassiana to control P. xylostella, the use B. thuringiensis the most effective is the treatment B2 and B3 for 93.33% and 86.67%, the use of B. bassiana the most effective is the treatment of A5 and A6 for 93.33% and 80%.

(4)

ABSTRAK

Ria Febrika “Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium” di bawah bimbingan Bapak Ir. Syahrial Oemry, M.S dan Ibu Ir. Mena Uly Tarigan M.S. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektifitas Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama Plutella xylostella L. pada tanaman kubis (Brassica oleraceae L.) di Laboratorium. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Desember 2012 di Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap non-faktorial yaitu 7 perlakuan (kontrol, B. thuringiensis dengan konsentrasi 5 g/L, B. thuringiensis dengan konsentrasi 10 g/L, B. thuringiensis dengan konsentrasi 15 g/L, B. bassiana dengan konsentrasi 5 g/L B. bassiana dengan konsentrasi 10 g/L, B. bassiana dengan konsentrasi 15 g/L) dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas dan perubahan morfologi larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. thuringiensis dan B. bassiana dapat mengendalikan ulat tritip (P. xylostella L.), pada penggunaan B. thuringiensis di dapatkan perlakuan yang paling efektif yaitu pada perlakuan B2 dan B3 sebesar 93.33 % dan 86.67% pada penggunaan B. bassiana perlakuan yang paling efektif yaitu pada perlakuan B5 dan B6 sebesar 93.33% dan 80%.

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkankan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada

waktunya.

Adapun judul dari skripsi ini adalah “Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L.

(Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium” yang merupakan salah satu syarat untuk dapat memperoleh gelar sarjana pertanian di Departemen Hama dan

Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada komisi

pembimbing Ir. Syahrial Oemry, MS., selaku ketua dan

Ir. Mena Uly Tarigan, MS., selaku anggota yang telah membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat

membangun demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga tulisan ini

bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2012

(6)

RIWAYAT HIDUP

Ria Febrika lahir pada tanggal 7 Februari 1989 di Duri, sebagai anak

ketiga dari tiga bersaudara, puteri dari Ayahanda Busnan Bustami

dan Ibunda Rosmiah

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah sebagai berikut :

- Tahun 2001 lulus dari Sekolah Dasar (SD) Negeri 004 Duri-Riau

- Tahun 2004 lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 2

Duri-Riau

- Tahun 2007 lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Duri-Riau

- Tahun 2008 lulus dan diterima di Departemen Hama dan Penyakit

Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara melalui jalur

UMB

Penulis pernah aktif dalam organisai kemahasiswaan yaitu:

- Anggota IMAPTAN (Ikatan Mahasiswa Perlindungan Tanaman) tahun

2008-2012

- Penulis melakukan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di PTP Nusantara III

Kebun Silau Dunia, pada Juni - Juli 2011.

- Melaksanakan penelitian di Laboratorium Hama, Fakultas Pertanian,

(7)

DAFTAR ISI

Biologi Hama Ulat Daun Kubis ... 4

Klasifikasi dan Biologi Agensia Hayati ... 8

Beauveria bassiana ... 8

Bacillus thuringiensis ... 10

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 12

Bahan dan Alat ... 12

Metode Penelitian ... 12

Pelaksanaan Penelitian ... 14

Persiapan Penelitian ... 14

Pengambilan larva serangga uji ... 14

Penyediaan B bassiana dan B. thuringiensis ... 14

Pembuatan suspensi B bassiana dan B. thuringiensis ... 14

Pengaplikasian ... 14

Peubah amatan ... 15

Persentase Mortalitas Larva P. xylostella L ... 15

(8)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Mortalitas Plutella xylostella ... 16 Perubahan Morfologi Larva P. xylostella L ... 20

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 23 Saran ... 23

(9)

DAFTAR TABEL

No Judul Hlm

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hlm

1. Telur P. xylostela L ... 4

2. Larva P. xylostela L ... 5

3. Pupa P. xylostela L ... 6

4. Imago P. xylostela L ... 7

5. B. bassiana ... 9

6. B. thuringiensis ... 10

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Hlm

1. Bagan Penelitian ...27

2. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 1 hsa...28

3. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 2 hsa...30

4. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 3 hsa...32

5. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 4 hsa...34

6. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 5 hsa...36

7. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 6 hsa...38

8. Data Mortalitas Ulat Tritip (P. xylostella L.)

Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 7 hsa...40

(12)

ABSTRACT

Ria Febrika “ The Utility Beauveria Bassiana and Bacillus Thuringiensis to Control Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) in the Laboratory”. It was under supervised by Ir. Syahrial Oemry, MS. and Ir. Mena Uly Tarigan, MS. The

research was to study the effectivity of Beauveria bassiana and Bacillus thuringiensis as agens biological to control Plutella xylostella L. on

cabbage (Brassica oleraceae L.) in Laboratory. The research was held at the Insect Laboratory Of Agriculture Faculty University of North Sumatera, Medan since May – December 2012. The method of this research was Randomized Complete Design Non Factorial with seven treatment (control, B. thuringiensis 5 g/L, B. thuringiensis 10 g/L, B. thuringiensis 15 g/L, B. bassiana 5 g/L, B. bassiana 10 g/L, B. bassiana 15 g/L) with three replications. The parameters include the percentage of mortality pest and the change of morphology larva. The results showed that B. thuringiensis and B. bassiana to control P. xylostella, the use B. thuringiensis the most effective is the treatment B2 and B3 for 93.33% and 86.67%, the use of B. bassiana the most effective is the treatment of A5 and A6 for 93.33% and 80%.

(13)

ABSTRAK

Ria Febrika “Penggunaan Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis Untuk Mengendalikan Plutella xylostella L. (Lepidoptera; Plutellidae) Di Laboratorium” di bawah bimbingan Bapak Ir. Syahrial Oemry, M.S dan Ibu Ir. Mena Uly Tarigan M.S. Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektifitas Beauveria bassiana dan Bacillus thuringiensis sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama Plutella xylostella L. pada tanaman kubis (Brassica oleraceae L.) di Laboratorium. Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Desember 2012 di Laboratorium Hama Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap non-faktorial yaitu 7 perlakuan (kontrol, B. thuringiensis dengan konsentrasi 5 g/L, B. thuringiensis dengan konsentrasi 10 g/L, B. thuringiensis dengan konsentrasi 15 g/L, B. bassiana dengan konsentrasi 5 g/L B. bassiana dengan konsentrasi 10 g/L, B. bassiana dengan konsentrasi 15 g/L) dengan tiga ulangan. Parameter yang diamati meliputi persentase mortalitas dan perubahan morfologi larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa B. thuringiensis dan B. bassiana dapat mengendalikan ulat tritip (P. xylostella L.), pada penggunaan B. thuringiensis di dapatkan perlakuan yang paling efektif yaitu pada perlakuan B2 dan B3 sebesar 93.33 % dan 86.67% pada penggunaan B. bassiana perlakuan yang paling efektif yaitu pada perlakuan B5 dan B6 sebesar 93.33% dan 80%.

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kubis (Brassica oleracea) banyak diusahakan para petani karena

pengolahannya tidak memerlukan modal yang terlalu besar, selain itu harga kubis

pun saat ini mencapai kondisi yang sangat menguntungkan petani. Salah satu

kendala utama yang dapat mengganggu produksi kubis di Indonesia adalah hama

dan penyakit. Gangguan hama utama yang dirasakan sering merugikan para petani

adalah hama P. xylostella (Erwidodo dkk, 1994).

Tingkat populasi P. xylostella yang tinggi biasanya terjadi pada 6-8 minggu setelah tanam. Tingkat populasi yang tinggi dapat mengakibatkan

kerusakan yang berat pada tanaman kubis. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh

P. xylostella dapat mencapai 100% apabila tidak digunakan insektisida (Permadani dan Sastrosiswojo, 1993).

Kabupaten karo adalah salah satu sentra produksi kubis di Sumatera Utara.

Komoditas ini di ekspor ke negara tetangga Singapura dan Malaysia. Menurut

catatan sejak tahun 1980an ekspor kubis sering mengalami penolakan oleh

konsumsi luar negeri. Dalam usaha tani kubis, masalah utama yang dihadapi

adalah serangan hama, salah satu hama utama yang menyerang tanaman ini adalah

P. xylostella ( Winarto dan Nazir, 2004).

Umumnya dikenal sebagai famili sawi (mustar), Brassicaceae mencakup

lebih dari 300 genus dan 3000 spesies. Termasuk didalamnya adalah tanaman

(15)

penghasil minyak biji dan tanaman hias yang bernilai tinggi yang tersebar

diseluruh dunia. Sebagian besar tumbuh di diwilayah iklim sedang dan beberapa

di antaranya bahkan tumbuh di iklim subartik (Rubatzky dan Mas, 1998).

Salah satu jamur entomopatogen yang sangat potensial dalam

pengendalian beberapa spesies serangga hama adalah B. bassiana (Balsamo)

Vuillemin. Jamur ini dilaporkan sebagai agensi hayati yang sangat efektif

mengendalikan sejumlah spesies serangga hama termasuk rayap, kutu putih, dan

beberapa jenis kumbang. Sebagai patogen serangga, B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari tanah. Epizootiknya di alam sangat

dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama membutuhkan lingkungan yang lembab

dan hangat. Dibeberapa negara, jamur ini telah digunakan sebagai agensi hayati

pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan, hias,

buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga

tanaman gurun pasir (Sutopo dan Indriyani, 2007).

Salah satu upaya untuk mengurangi efek samping yang ditimbulkan dari

penggunaan insektisida kimia adalah dengan menggunakan insektisida biologis

dengan bahan aktif bakteri yang dapat mematikan serangga hama.

B. thuringiensis adalah bahan aktif dari insektisida biologi thuricide. Insektisida

ini dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian secara

terpadu karena efektif terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap parasitoid

dan predator (Nurdin dkk, 1993).

Aspek penting pertanian berkelanjutan antara lain, bagaimana sistem

budidaya pertanian tetap memelihara kesehatan tanaman dengan kapasitas

(16)

menimbulkan pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan hidup. Berbagai

jenis organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat mengganggu kesehatan

tanaman, yang mengakibatkan penurunan hasil produksi dan penurunan kualitas

produk (Siwi, 2006).

Sekarang ini sisa pestisida pertanian telah menjangkau air permukaan

dibanyak tempat dunia, dan yang telah menjadi masalah Internasional sehingga

memerlukan upaya detoksifikasi (penyehatan) air-air permukaan terkontaminasi

tersebut. Dalam hal ini termasuk teknik yang mengkombinasikan pengelolaan

hama terpadu (PHT), praktik pengolahan tanah sesuai kondisi, dan pengembangan

tanaman lebih tahan lama (Hanafiah dkk, 2005).

Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui efektifitas B. bassiana dan B. thuringiensis sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama P. xylostella L. Pada tanaman kubis

(Brassica oleraceae L.) di Laboratorium.

Hipotesa penelitian

Penggunaan B. bassiana dan B. thuringiensis efektif dan mampu untuk

mengendalikan P. xylostella L.

Kegunaan Penelitian

- Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

(17)

TINJAUAN PUSTAKA

Biologi Hama

Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

Kingdom : Animalia

Filum : Arthopoda

Class : Insekta

Ordo : Lepidoptera

Famili : Plutellidae

Genus : Plutella

Spesies : Plutella xylostella L.

Telur berbentuk oval (agak pipih), berukuran 0,49 x 0,26 mm. Telur

diletakkan secara satu-persatu atau dua-dua, tiga-tiga pada permukaan bawah daun.

Warna telur mula-mula kuning kemudian menjadi coklat sebelum menetas

(Sudarwohadi 1975).

Kupu-kupu P. xylostella meletakkan telurnya dibawah daun kol yang terbuka. Telurnya ditempatkan secara kelompok sebanyak 2-3 butir, kapasitas

produksi tidak lebih dari 320 butir telur (Rismunandar, 1993).

(18)

Larva terdiri dari empat instar, yaitu : Instar-1. Tubuh larva instar 1

berwarna putih kekuningan dan kepala berwarna hitam. Panjang tubuh berkisar

antara 0,75 – 1,05 mm dan lebarnya 0,15 – 0,19 mm. Larva instar-1 ini hanya

mengorok daun tanaman inangnya. Instar-2. Tubuh larva instar 2 berwarna

kekuningan, rambut pendek dan kepala berwarna hitam. Panjang tubuh berkisar

antara 1,73 – 2,93 mm dan lebarnya 0,31 – 0,51 mm. Tubuh larva instar-3

berwarna hijau, rambut hitam dan kepala berbercak coklat. Panjang tubuh berkisar

antara 3,00 – 4,43 mm dan lebarnya 0,44 – 0,68 mm. Instar-4. Tubuh larva

instar-4 berwarna hijau mirip dengan instar-3, hanya lebih besar ukurannya yaitu dengan

panjang tubuh berkisar antara 6,45 – 7,79 mm dan lebarnya 0,83 – 1,20 mm.

Larva instar terakhir ini dapat memakan seluruh jaringan daun sehingga yang

tersisa hanya tulang daunnya saja. Tingkat populasi larva P. xylostella umumnya

meningkat semenjak tanaman kubis berumur 5 minggu sampai 9 minggu setelah

tanam (Sudarwohadi, 1975).

Gambar 2 : Larva P. xylostella Sumber : Foto Langsung

Pupa terbungkus oleh kokon yang panjang kira-kira 9 mm. Stadia pupa

berlangsung antara 5-10 hari, kemudian keluar ngengat yang panjang kira-kira

(19)

Pupa yang sudah tua berwarna hijau tua. Pupa P. xylostella berada dalam kokon yang tebal dari benang-benang halus berwarna yang dikeluarkan pada masa

fase prepupa. Pupa mulanya berwarna kuning kehijauan, setelah satu atau dua hari

warnanya berangsur-angsur berubah menjadi kecoklatan sampai coklat gelap,

lamanya hidup pupa dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, maka masa

pupa akan semakin singkat (Rukmana dan Sugandi, 1997).

Gambar 3: Pupa P. xylostella Sumber : Foto Langsung

Imago. Ngengat P. xylostella berwarna coklat keabu-abuan dengan panjang rentang sayap ngengat jantan ± 1,97 mm dan yang betina ± 13,6. Pada

sayap depannya terdapat tiga bentuk indulasi yang memanjang dibagian tepi

sayapnya. Dalam keadaan istirahat, toga bentuk indulasi tersebut akan membentuk

pola yang menyerupai berlian, sehingga dengan adanya ciri-ciri ini maka

(20)
(21)

Klasifikasi dan Biologi Agensia Hayati Beauveria bassiana

Jamur B. bassiana merupakan spesies jamur yang sering digunakan untuk mengendalikan serangga. B. bassiana diaplikasikan dalam bentuk konidia yang dapat menginfeksi serangga melalui kulit kutikula, mulut dan ruas-ruas yang

terdapat pada tubuh serangga. Jamur ini ternyata memiliki spectrum yang luas dan

dapat mengendalikan banyak serangga sebagai hama tanaman (Dinata, 2006).

B. bassiana masuk ketubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas

tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora dan kutikula. Hifa fungi

mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu menguraikan

komponen penyusun kutikula serangga. Di dalam tubuh serangga, hifa

berkembang dan masuk kedalam pembuluh darah. Di samping itu B. bassiana

juga menghasilkan toksin seperti beauverisin, beauverolit, bassianalit, isorolit dan

asam oksalat yang menyebabkan terjadinya kenaikan pH, penggumpalan dan

terhentinya peredaran darah serta merusak saluran pencernaan, otot, sistem syaraf

dan pernapasan yang pada akhirnya menyebabkan kematian (Mahr, 2003).

B. bassiana secara alami terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit.

Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah, seperti

kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, kebiasaan makan serangga, adanya

(22)

Gambar 5 :Beauveria bassiana (Balsomo) vuillemin.

Sumber

Jamur B.bassiana mempunyai percabangan yang pendek. Dalam 32 jam tabung kecambah dapat mencapai panjang 80 mikron. Bila konidia terbentuk

banyak, konidia tersusun rapat pada konidiofor, hifa utama memiliki percabangan

pendek kesamping dan sering kali berupa sudut siku-siku terhadap poros.

Strain-strain pada periode yang sangat lemah diketahui mampu mempertahankan

virulensinya (Sweetman, 1963).

Efektifitas cendawan B. Bassiana tersebut sangat tergantung pada keadaan

patogen, inang dan faktor lingkungan yang selalu bervariasi. Hasilnya akan

memuaskan bila epizotiknya terjadi pada populasi serangga yang tinggi.

Penularan cendawan dapat melalui saluran eksternal, integumen dan penularan

oleh serangga betina melalui telur atau pada permukaan telur dan infeksi

cendawan ini sangat dipengaruhi oleh sinar matahari, suhu, kelembaban, dan

(23)

2. Bacillus thuringiensis

Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiensis adalah kemampuannya

membentuk kristal protein bersamaan dengan pembentukan spora yaitu pada

waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang

mengandung toksin yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase

eksponensial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolysis setelah

sporulasi sempurna (Bajwa dan Kogan, 2001).

Gambar 6 :Bacillus thuringiensis Sumber : www.people.uleth.ca.

Bila larva muda atau larva tua terkena B. thuringiensis dapat kita lihat

adanya reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa

waktu larva tidak mau makan dan tidak aktif. Tubuh kemudian menjadi lunak dan

lembek. Kematian larva dapat terjadi dalam kurun waktu beberapa jam sampai 2-5

hari setelah infeksi pertama (Novizan, 2002).

Tahap selanjutnya tubuh ulat akan tampak mulai menghitam, lembek,

berair (mengeluarkan cairan) dan berbau busuk karena terjadi paralisis di saluran

makanan. Gejala ini terjadi akibat dari telah masuk dan bekerjanya toksin

(24)

terdiri dari satu atau lebih protein insektisida dalam bentuk Kristal yang dikenal

dengan delta endotoksin (Bajwa dan Kogan, 2001).

Insektisida biologi ini memiliki spora yang hidup dari B. thuringiensis yang menyebabkan penyakit pada serangga sehingga dapat dipakai untuk

mengendalikan serangga hama. Insektisida biologi ini bekerja sebagai racun

lambung yang menginfeksi melalui mulut dan tidak melalui pernapasan ataupun

kulit, warnanya kuning kecoklatan, dan bersifat selektif untuk mengendalikan

hama (Sastroutomo, 1992).

B. thuringiensis merupakan salah satu bakteri pathogen pada serangga (entomopatogen). Dalam klasifikasi, bakteri ini tergolong ke dalam kelas

Schizomycetes, ordo Eubacteriales, family Bacillaceae. B. thuringiensis adalah bakteri yang mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang

3-5 μm dan lebar 1,0-1,2 μm, mempunyai flagel dan membentuk spora. Sel-sel

vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari lima sampai enam sel.

Sifat-sifat bakteri ini adalah gram positif, aerob tetapi umumnya anaerob

fakultatif, dapat tumbuh pada media buatan dan suhu untuk pertumbuhan antara

15-40°C (Tarumingkeng, 2001).

Menurut Huffaker dan Messenger (1989), apabila biakan – biakan

B. thuringiensis yang telah mengalami sporulasi diberikan kepada serangga, satu di

antara tiga akibat utamanya akan terjadi, tergantung terserang dan tergantung juga

(25)

BAHAN DAN METODA

Tempat dan Waktu Percobaan

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Hama Tumbuhan Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Dengan Ketinggian tempat

+25 m dpl. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai dengan selesai.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan adalah larva ulat tritip ( P. xylostella ) , B. thuringiensis, B. bassiana sebagai bahan yang diuji, daun kubis sebagai pakan.

Adapun alat yang digunakan adalah stoples, kain kasa,karet gelang,

timbangan, beaker glass, handsprayer, label nama, pinset, alat tulis dan alat-alat

pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Rancangan Acak

Lengkap (RAL) non factorial dengan 7 perlakuan yaitu:

B0 : Kontrol (tanpa perlakuan)

B1 : B. thuringiensis dengan konsentrasi 5 g/L

B2 : B. thuringiensis dengan konsentrasi 10 g/L B3 : B. thuringiensis dengan konsentrasi15g/L B4 : B. bassiana dengan konsentrasi 5 g/L

(26)

Banyaknya ulangan yang dilakukan adalah :

( t-1 ) r ≥ 15

(7 – 1) r ≥ 15

6 r ≥ 15

r ≥ 15/6

r ≥ 2,5

r = 3 (dibulatkan)

Jumlah perlakuan : 7

Jumlah ulangan : 3

Jumlah unit percobaan : 7 x 3= 21 percobaan

Model linier yang digunakan adalah sebagai berikut:

Yij = μ + αi + Eij

Yij = data yang disebabkan pengaruh perlakuan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j

μ = rataan atau nilai tengah

αi = pengaruh perlakuan pada taraf ke-i

(27)

Pelaksanaan Penelitian 1. Persiapan Penelitian

Persiapan penelitian dilakukan dengan menyediakan bahan dan alat yang

dibutuhkan selama pelaksanaan penelitian. Survei dilakukan pada lokasi

pengambilan larva P. xylostella dilapangan.

2. Penyediaan larva serangga uji

Larva P. xylostella diambil dari lapangan kemudian larva dimasukkan

kedalam toples, dimana setiap stoples berisi 5 larva. Kemudian ditutup dengan

kain kasa. Sebagai makanannya dimasukkan juga daun kubis kedalam setiap

stoples.

3. Penyediaan bakteri B. thuringiensis dan jamur B. bassiana

B. thuringiensis dan B. bassiana dari BPTPH ( Balai Penelitian Tanaman

Pangan dan Hortikultura ) Medan. Bakteri dan jamur tersebut sudah tersedia

dalam bentuk biakan yang dapat diaplikasikan langsung pada serangga uji.

4. Pembuatan Suspensi B. thuringiensis dan B. bassiana

B. thuringiensis dan B. bassiana yang diperoleh ditimbang kemudian bakteri dan jamur terssebut dilarutkan dengan air sesuai dengan konsentrasi setiap

perlakuan.

5. Pengaplikasian

Pengaplikasian dilakukan dengan cara menyemprotkan suspensi jamur

(28)

Peubah amatan

1. Persentase Mortalitas

Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah hama yang mati.

Persentase mortalitas dihitung pada 1-7 hsa (hari setelah aplikasi). Dihitung

dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

P = Persentase mortalitas larva

a = jumlah larva yang mati

b = jumlah larva yang hidup

(Patahuddin, 2005)

2. Perubahan Morfologi Larva P. xylostella L.

Pengamatan terhadap perubahan morfologi larva P. xylostella L. dilakuakan setiap hari setelah aplikasi. Pengamatan tersebut dilakukan dengan

(29)

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Persentase Mortalitas

Hasil dari pengamatan persentase mortalitas ulat tritip (P. xylostella L.) dapat dilihat pada lampiran 2 – lampiran 8. Pengambilan data dilakukan pada

1 hsa hingga 7 hsa. Dari rata-rata analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

perlakuan yang diberikan dengan menggunakan B. thuringiensis dan B. bassiana memberi pengaruh tidak nyata pada pengamatan hari ke 1, hari ke 2, 3, 4, 5

memberikan pengaruh nyata, sedangkan pada pengamatan hari ke 6, 7

memberikan pengaruh sangat nyata terhadap mortalitas larva P. xylostella di laboratorium. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan Persentase Mortalitas P. xylostella L. Untuk Setiap Perlakuan Pada 7 Kali Pengamatan.

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda nyata pada taraf 1% menurut Uji Jarak Duncan.

Dari hasil pengamatan pada penggunaan B. thuringiensis didapatkan perlakuan yang paling efektif yaitu pada perlakuan B2 dan B3 karena rataan

mortalitas pada perlakuan B2 tidak berbeda nyata dengan perlakuan B3 dan

perlakuan B2 dan B3 berbeda nyata dengan perlakuan B1. Hal ini menunjukkan

bahwa diperlukan konsentrasi yang sangat tepat untuk mengendalikan ulat tritip

(30)

(P. xylostella L.) yang sesuai dengan literatur Untung (2001) yang menyatakan bahwa penggunaan bioinsektisida diperlukan penggunaan dosis yang tepat agar

hama dapat dikendalikan secara optimal. Dosis dibawah anjuran akan

mengakibatkan hama tidak mati dan mempercepat timbulnya hama resisten

sedangkan dosis berlebihan tidak efisien karena mengakibatkan pemborosan

biaya.

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa pada pengamatan 2 hsa perlakuan B1, B2,

B3 sudah ada larva P. xylostella L. yang mati akibat pemberian B. thuringiensis. Hal

ini sesuai dengan literatur Novizan (2002) yang menyatakan kematian larva dapat

terjadi dalam kurun waktu beberapa jam sampai 2-5 hari setelah infeksi pertama.

Dari hasil pengamatan pada penggunaan B. bassiana didapatkan perlakuan

yang paling efektif yaitu pada perlakuan B5 dan B6. Tingginya mortalitas ulat

tritip yang terjadi pada perlakuan B5 tidak berbeda nyata dengan perlakuan B6.

Mortalitas ulat tritip diduga karena infeksi B. bassiana baik melalui integument

maupun tertelan bersama makanan yang merusak sistem pertahanan ulat tritip.

Suspensi spora yang kontak dengan integument segera berkecambah membentuk

hifa dan menyerap nutrisi yang ada di tubuh ulat tritip dan dengan racun yang

dihasilkannya, B. bassiana menghancurkan struktur dalam tubuh ulat tritip dan mengakibatkan kematian ulat tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Sapdi

(1999) yang menyatakan bahwa pada kerapatan spora tinggi, jamur B. bassiana mampu menghasilkan konsentrasi enzim dan toksin yang cukup tinggi yang dapat

menguraikan dan menghancurkan struktur tubuh serangga dan pada konsentrasi

(31)

lapisan kitin dan lemak dari kutikula serangga sehingga penetrasi dan infeksi sulit

terjadi.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan diketahui bahwa larva

P. xylostella L. yang terinfeksi B. bassiana terjadi melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh larva serangga tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Mahr (2003) yang

menyatakan B. bassiana masuk ketubuh serangga melalui kulit diantara ruas-ruas tubuh. Penetrasinya dimulai dengan pertumbuhan spora dan kutikula. Hifa fungi

mengeluarkan enzim kitinase, lipase dan protemase yang mampu menguraikan

komponen penyusun kutikula serangga.

Penggunaan insektisida biologi sangat baik untuk diaplikasikan. Hal ini

dikarenakan insektisida biologi hanya menyerang hama dan tidak menimbulkan

masalah terhadap musuh-musuh alami dari larva tersebut seperti predator dan

parasitoid sehingga keberadaan musuh alami di lapangan dapat dipertahankan

sehingga tidak merusak ekosistem musuh alami. Berbeda dengan penggunaan

insektisida kimia yang dapat membunuh seluruh serangga baik hama maupun musuh

alami. Pengendalian biologi juga dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup

lama di lapangan, sehingga tidak perlu dilakukan aplikasi sesering mungkin. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Nurdin dkk (1993) yang menyatakan bahwa insektisida

biologi dapat digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengendalian secara

terpadu karena efektif terhadap hama sasaran dan relatif aman terhadap parasitoid dan

predator.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan gejala serangan yang disebabkan

oleh penggunaan B. thuringiensis adalah ulat yang terserang berhenti makan, ulat menjadi lemas. Setelah mati ulat membusuk, mengeluarkan cairan dan

(32)

cendawan ini menyerang tubuh inangnya dan menghisap seluruh cairan dari tubuh

inangnya. Berkembang tumbuh keluar dari tubuh inangnya dan menghasilkan

spora. Tubuh inangnya menjadi keras seperti mumifikasi.

Histogram mortalitas ulat tritip (P. xylostella L.) akibat pengaruh pemberian Bacillus thuringiensis dan Beauveria bassiana pada 7 kali pengamatan

dapat dilihat dibawah ini.

(33)

2. Perubahan Morfologi Larva

Pengamatan perubahan morfologi larva ditandai dengan adanya gejala

infeksi terhadap larva yang disebabkan oleh pemberian B. thuringiensis dan B. bassiana. Dari hasil pengamatan ada terdapat gejala infeksi terhadap larva yang dapat diliht pada tabel dibawah ini :

Hari Setelah Aplikasi (Hsa)

Gejala B. thuringiensis Gejala B. bassiana 1

Kurang aktif, nafsu makan berkurang, mulai mati, warna coklat kehitaman

tidak bergerak, mati, mengeras, warna hitam, mengeluarkan bau

larva busuk, mati, mengeras, warna hitam, dan bau

Dari hasil pengamatan penggunaan B. thuringiensis pada hari pertama menunjukkan bahwa belum ada gejala pada larva, sedangkan pada hari kedua

pengamatan sudah ada gejala yaitu gerakan lamban, nafsu makan berkurang, dan

mulai ada larva yang mati akibat terinfeksi B. thuringiensis. Hal ini sesuai dengan

literatur Novizan (2002) yang menyatakan larva yang terkena

B. thuringiensis dapat kita lihat adanya reaksi pertama yang cepat seperti kesakitan, kemudian dalam beberapa waktu larva tidak mau makan dan tidak

aktif. Tubuh kemudian menjadi lunak dan lembek. Kematian larva dapat terjadi

(34)

Gejala yang terlihat pada ulat tritip yang diaplikasikan dengan

B. thuringiensis mengakibatkan tubuh larva berwarna kehitaman, lembek, dan

berbau busuk karena terjadinya paralisis di saluran pencernaan. Hal ini sesuai

dengan literatur Bajwa dan Kogan (2001) yang menyatakan bahwa tahap

selanjutnya tubuh ulat akan tampak mulai menghitam, lembek, berair

(mengeluarkan cairan) dan berbau busuk karena terjadi paralisis di saluran

makanan. Gejala ini terjadi akibat dari telah masuk dan bekerjanya toksin B. thuringiensis di dalam tubuh ulat (saluran pencernaan), spora – spora bakteri

terdiri dari satu atau lebih protein insektisida dalam bentuk kristal yang dikenal

dengan delta endotoksin

Dari hasil pengamatan penggunaan B. bassiana pada hari kedua sampai hari ketujuh menunjukkan adanya gejala yaitu gerakan mulai lamban, nafsu

makan berkurang, mengeras, mulai mati, warna coklat kehitaman mengeluarkan

bau busuk akibat pemberian B. bassiana. Ulat tritip yang telah terinfeksi jamur B. bassiana mengakibatkan ulat tritip menjadi berkurang daya makannya dan

menjadi tidak bergerak. Hal ini sesuai dengan literatur Wikardi (1994) yang

menyatakan bahwa toksin yang dihasilkan B. bassiana diantaranya beauverinzin

yang dapat menghancurkan lapisan lemak dan meningkatkan permeabilitas sel

terhadap ion spesifik sehingga dapat menyebabkan terjadinya transfort ion yang

abnormal kemudian merusak fungsi sel atau organel sel ulat tritip.

Gejala yang terlihat pada ulat tritip yang diaplikasikan dengan B. bassiana mengakibatkan ulat tritip menjadi kurang aktif, nafsu makan berkurang, mulai

mati, warna coklat kehitaman. Hal ini sesuai dengan literatur Korlina dkk (2008)

(35)

B. bassiana terlihat larva menjadi kurang aktif kemudian kaku dan diikuti oleh perubahan warna tubuh karena dinding tubuhnya telah ditutupi oleh hifa yang

(36)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. B. thuringiensis dan B. bassiana efektif untuk mengendalikan ulat tritip (P. xylostella L.). Pada penggunaan B. thuringiensis didapatkan perlakuan

yang efektif yaitu pada perlakuan B2 (B. thuringiensis dengan konsentrasi 10 g/L) dan B3 (B.thuringiensis dengan konsentrasi 15 g/L) sebesar 93.33% dan 80%.

2. Pada penggunaan B. bassiana perlakuan yang efektif yaitu pada perlakuan B5 (B. bassiana dengan konsentrasi 10 g/L) dan B6 (B. bassiana dengan konsentrasi 15 g/L) sebesar 86.67% dan 80%.

3. Perubahan morfologi hama yang diakibatkan pemberian B. thuringiensis terlihat hama tidak mau memakan makanannya, lembek, bewarma kehitaman

dan berbau sedangkan pada pemberian B. bassiana terlihat hama tidak mau memakan makanannya, mengeras, bewarna hitam dan berbau busuk.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang efektivitas masing-masing

(37)

DAFTAR PUSTAKA

Bajwa, W.I., and M. Kogan, 2001. Bacillus thuringiensis Based Biological Control of Insect Pest. Integrated Plant Protection Center (IPPC).

Oregon State University, Corvallis. http://www.Collostate.edu/Pepts/IPM/ento/556e.html

Dinata, A., 2006. Insektisida Yang Ramah Lingkunga rakyat.com. diakses 12 Maret 2012.

Erwidodo, Noekman, K., Syukur, M. Zulham, A. Hardono, G,S. Purwantini, T.B. Setiaji, dan Tarigan H., 1994, Potensi, Peluang dan Kendala Produksi dan Eksport beberapa Komoditas Pertanian, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian SEP, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, hal 226-227.

Hanafiah, A. K., Anas, I, Napoleon, A., dan Ghoffar, N., 2005. Biologi Tanah Ekologi dan Mikrobiologi Tanah, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Huffaker, C.B. and P. S. Massanger,1989. Teori dan Praktek Pengendalian Biologis. Terjemahan Soeprapto Mangoendihardjo. UI Press.

Kalshoven, L. G .E., 1981. The Pest Of Crop In Indonesian. Revised Anranslated By Vader Laan. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.

Korlina E, Mahfud, MC, Rachmawati, D., Sarwono dan Fatimah, S. 2008. Pengkajian Efektifitas Cendawan Beauveria Bassiana Terhadap Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman Krisan. Prosiding Seminar Pemberdayaan Petani Melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. KP. Mojosari-16 Juli 2008. Kerjasama BPTP Jatim, Faperta Unbra, Diperta Prov, Bappeda.

Mahr. S., 2003. The Entomophatogen Beauveria bassiana. University of Winconsin, Madison. Diakses dari Edu/mbcn/kyF410.html. Tanggal 14 Maret 2012.

Moschetti,R. 2005. Microbial Insecticide Beauveria bassiana. Wasilla, Alaska.

Natawigena, 1991. Entomologi, Orba Sakti, Bandung, hal 134-135.

(38)

Nurdin F., J. Ghani dan Z. B. Kiman, 1993. Pengaruh beberapa konsentrasi Insektisida Biologi Thuricide HP Terhadap Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Tanaman Kedelai. Prosiding Simposium Patologi Serangga I, Yogyakarta.

Patahuddin, 2005. Uji Beberapa Konsentrasi dan Resistensi Beauveria bassiana Vuillemin Terhadap Mortalitas Spodoptera exigua Hubner (Lepidoptera : Noctuidae) Pada Tanaman Bawang Merah.

Permadani, A,H dan S. Sastrosiswojo. 1993. Kubis. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang.

Rismunandar, 1993. Hama Tanaman Pangan dan Pembasminya. Sinar Baru. Algesindo. Bandung.

Rubatzky, E, V dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia 2 Prinsip, Produksi, dan Gizi. Edisi Kedua Penerjemah Catur Harison. Institut Teknologi Bandung, Bandung.

Rukmana, 1994. Budidaya Kubis Bunga dan Brokoli. Kanisius, Yogyakarta.

Rukmana, R., dan Sugandi, 1997.Hama Tanaman dan Teknik Penegndalian.Kanisius.Jakarta.

Sapdi, 1999. Mortalitas Nimpha Nezara viridula pada Beberapa Tingkat Konsentrasi Suspensi Cendawan Entomopatogen Beauveria bassiana Vuill. Agrista Vol.(3) No. 1. 1999.(72-77).

Saranga A.P. dan I.D Daud, 1993. Prospek Pemanfaatan Patogen Serangga Untuk Pengendalian Serangga Hama di Sulawesi Selatan. Prosiding Makalah Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta. Hal 86.

Sastroutomo,S.S., 1992. Pestisida. Dasar-dasar dan Dampak Penggunaanya. Gramedia. Jakarta.

Siwi, S., 2006. Peran Ilmu Biotaksonomi Serangga Dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Era Globalisasi. Berita Biologi Vol. 8, No.1.April 2005.

Sudarwohadi S. 1975. Hubungan antara Tanaman Kubis dengan Dinamika Populasi

Plutella xylostella dan Crocidolomia binotalis. Bull. Penel. Horti. 3(4) : 3 – 14.

Susilo, F., 2007. Pengendalian Hayati. Graha Ilmu. Jakarta.

(39)

Sweetman, 1963. The Principles of Biological Control W.M.C. Brown Company Dubuque.

Taruminkeng, Rudy C. 2001. Makalah Faksafah Sains (Pps 702). Program Pascasarjana/S3. Institut Pertanian Bogor, Oktober, 2001.

Untung, K. 2001. Pengantar Hama Terpadu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wikardi, E. A. 1994. Teknik Perbanyakan Beauveria Bassiana dan Aplikasinya di Lapangan, Prosiding Simposium Patologi Serangga I Yogyakarta, 12-13 Oktober 1994.

(40)

B3 B6

B0 : Kontrol (tanpa perlakuan)

B1 : B. thuringiensis dengan konsentrasi 5 g/L B2 : B. thuringiensis dengan konsentrasi 10 g/L B3 : B. thuringiensis dengan konsentrasi15g/L B4 : B. bassiana dengan konsentrasi 5 g/L B5 : B. bassiana dengan konsentrasi 10 g/L B6 : B. bassiana dengan konsentrasi 15 g/L

(41)

Lampiran 2. Data Mortalitas Ulat Tritip ( P. xylostella L.) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 1 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(42)

Uji Jarak Duncan

SY 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

SSR 0.05 3.03 3.18 3.27 3.33 3.37 3.39 3.41

(43)

Lampiran 3. Data Mortalitas Ulat Tritip ( P. xylostella L.) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 2 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(44)

Uji Jarak Duncan

SY 6.25 -18.95 -13.22 -13.78 -7.49 -1.07 12.14 12.01

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

SSR 0.05 3.03 3.18 3.27 3.33 3.37 3.39 3.41

LSR 0.05 18.95 19.88 20.45 20.82 21.07 21.20 21.32

Perlakuan B0 B6 B4 B1 B5 B3 B2

Rataan 0.00 6.67 6.67 13.33 20.00 33.33 33.33

A

(45)

Lampiran 4. Data Mortalitas Ulat Tritip ( P. xylostella L.) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 3 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(46)

Uji Jarak Duncan

SY 4.36 -13.22 -7.21 -0.94 12.13 11.96 18.54 25.12

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

SSR 0.05 3.03 3.18 3.27 3.33 3.37 3.39 3.41

LSR 0.05 13.22 13.88 14.27 14.53 14.71 14.80 14.88

Perlakuan B0 B4 B1 B6 B5 B2 B3

Rataan 0.00 6.67 13.33 26.67 26.67 33.33 40.00

A

(47)

Lampiran 5. Data Mortalitas Ulat Tritip ( P. xylostella L.) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 4 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(48)

Uji Jarak Duncan

SY 5.35 -16.20 -3.66 2.52 15.53 21.99 21.88 28.44

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

SSR 0.05 3.03 3.18 3.27 3.33 3.37 3.39 3.41

LSR 0.05 16.20 17.00 17.48 17.80 18.01 18.12 18.23

Perlakuan B0 B4 B1 B6 B3 B5 B2

Rataan 0.00 13.33 20.00 33.33 40.00 40.00 46.67

A

(49)

Lampiran 6. Data Mortalitas Ulat Tritip ( P. xylostella L.) Untuk Setiap Perlakuan Pada Pengamatan 5 hsa

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Transformasi data Arc Sin X

Perlakuan Ulangan Total Rataan

(50)

Uji Jarak Duncan

SY 5.35 -2.86 9.67 9.19 35.53 35.32 35.21 41.77

I 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

SSR 0.05 3.03 3.18 3.27 3.33 3.37 3.39 3.41

LSR 0.05 16.20 17.00 17.48 17.80 18.01 18.12 18.23

Perlakuan B0 B1 B4 B3 B5 B6 B2

Rataan 13.33 26.67 26.67 53.33 53.33 53.33 60.00

A

Gambar

Gambar 1 :Telur P. Xylostella L.
Gambar 2 : Larva P. xylostella
Gambar 3: Pupa P. xylostella
Gambar 4: Imago P. xylostella
+5

Referensi

Dokumen terkait

ruangan, Osborn melemparkan suatu masalah dan memerintahkan setiap ruangan, Osborn melemparkan suatu masalah dan memerintahkan setiap orang untuk mengemukakan gagasan apa saja

Regresi Sig. jika X = 0 yang menunjukan bahwa besarnya variabel independent yang digunakan dalam model penelitian sebesar konstanta tersebut. Besarnya nilai

berskala kecil (<5 kg) menggunakan mangkok kecil sebagai takaran, sedangkan pengolahan berkapasitas lebih dari 10 kg takaran yang dipergunakan adalah ember atau kaleng

Berdasarkan batasan masalah diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “Apakah ada perbedaan hasil belajar akuntansi antara model pembelajaran

memiliki tingkat kemampuan yang kurang dalam tes yang diberikan oleh guru. Hal ini dapat dilihat pada perolehan nilai siswa yang dikategorikan tuntas dan mencapai

Laporan Praktek Kerja Industri Pengolahan Pangan dengan judul “ Pembekuan Fillet Ikan Kakap Merah di PT. Inti Luhur Fuja Dosen Pembimbing,.. Plant

Umumnya karbon aktif mengandung silika yang diperoleh dari bahan bakunya, seperti tongkol jagung yang memiliki kandungan silika yang cukup tinggi yaitu 20,4% [23].. Menurut

Sebelumnya, Anggota DPRD Lampung Hartato Lojaya mengatakan bahwa Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 96.A Tahun 2012 tentang Tata Cara dan Persyaratan Penetapan Kewajiban atas