• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Strategi Pendampingan Orang Tua Dalam Mengajarkan Interaksi Sosial Kepada Anak Autis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENDAHULUAN Strategi Pendampingan Orang Tua Dalam Mengajarkan Interaksi Sosial Kepada Anak Autis."

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kehadiran anak merupakan saat yang ditunggu-tunggu dan sangat menggembirakan bagi pasangan suami istri. Kehadirannya bukan saja mempererat tali cinta pasangan suami istri, tetapi juga sebagai penerus generasi yang sangat diharapkan keluarga. Menurut Hidayah (2013) anak yang terlahir sempurna merupakan harapan semua orang tua, mereka mendambakan memiliki anak yang sehat, baik secara jasmani maupun rohani, tetapi harapan itu tidak selalu dapat terwujud. Kenyataannya bahwa anak yang dimiliki berbeda dengan anak-anak lain pada umumnya merupakan salah satu hal yang harus diterima apa adanya. Walaupun anak tersebut tidak sama dengan anak-anak lain, orang tua wajib untuk menjaganya sampai dewasa, sehingga diperlukan peran penting bagi orang tua yang memiliki anak yang berbeda dengan anak-anak lain, misalnya dengan sering melakukan komunikasi antar anggota keluarga, maupun masyarakat.

Autis bukanlah masalah baru, karena sudah ada sejak zaman dahulu. Kalau kita membaca cerita-cerita lama, kita mungkin pernah membaca tentang anak yang dianggap “aneh” karena sejak lahir sudah menunjukkan gejala-gejala tidak

▸ Baca selengkapnya: pidato adab kepada orang tua untuk sd

(2)

ada yang mengajaknya bercanda. Maka orang tua di barat mengatakan bahwa anak ini “anak tertukar” (a changeling) dengan anak peri jahat dan karena tidak

bisa menyesuaikan diri dalam kehidupan manusia, jadilah dia anak yang aneh. Kalau dapat dipikir dengan baik, maka anak yang dianggap tertukar ini bisa jadi anak autistik yang telah menunjukkan gejala autism sejak lahir (Budhiman, Shattock, dan Ariani, 2002).

Anak autistik ditinjau dari masa kemunculannya atau kejadiannya dapat terjadi sejak lahir yang disebut dengan autistik klasik dan sesudah lahir dimana anak hingga umur 1-2 tahun menunjukkan perkembangannya yang normal. Tetapi pada masa selanjutnya menunjukkan perkembangan yang menurun atau mundur. Hal ini disebut dengan autistik regresi (Yuwono, 2009). Menurut Puspitaningrum (2004) autistik klasik adalah adalah autisme yang disebabkan kerusakan syaraf sejak lahir. Kerusakan syaraf disebabkan oleh virus rubella (dalam kandungan) atau terkena logam berat (merkuri dan timbal). Sedangkan autistik regresif adalah autisme yang muncul saat anak berusia antara 12-24 bulan. Perkembangan anak sebelumnya relatif normal, namun setelah usia 2 tahun kemampuan anak menjadi merosot.

Benevides & Lane (2015) Anak-anak dengan spektrum autism gangguan (ASD) menunjukkan berbagai gejala inti, meliputi defisit di awal komunikasi sosial, interaksi, dan perilaku terbatas yang berulang-ulang sehingga mengganggu partisipasi dalam kehidupan sehari- hari. Istilah “autisme” mengacu pada bentuk

(3)

“Autistic Disorder” serta sebagai gagguan sebtreshold berlabel “Asperger Disorder” dan gangguan perkembangan pervasif.

Priyatna (2010) menyatakan bahwa autisme mengacu pada problem dengan interaksi sosial, komunikasi dan bermain dengan imajinatif yang mulai muncul sejak anak berusia di bawah tiga tahun dan mereka mempunyai keterbatasan pada level aktifitas dan interest dan hampir tujuh puluh lima persen dari anak autispun mengalami beberapa derajat retardasi mental. Autisme memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda antara satu individu dan individu lainnya dan istilah “spectrum autisme” digunakan untuk mendiskripsikan tingkat

(4)

dalam menggunakan dan memahami segala metode komunikasi termasuk ekspresi wajah, isyarat tubuh, dan kemampuan nonverbal, termasuk kata. Mereka juga sulit mengartikan bahsa tubuh termasuk ekspresi wajah. Sebagian anak lain secara alamiah menggunakan bahasa tubuh orang lain sebagai petunjuk tambahan untuk membantu mereka belajar dan memahami kata. Bagi anak autis yang tidak memahami arti bahasa lisan maupun bahasa tubuh, kehadiran orang lain bisa membuat mereka bingung (Christie, dkk, 2009).

Yuwono (2012) mengemukakan bahwa beberapa tahun yang lalu, terjadi perdebatan mengenai angka statistik yang menunjukkan peningkatan jumlah anak yang didiagnosis sebagai anak dengan gangguan autistik. Sekitar 30 tahun yang lalu, angka kejadian anak dengan gangguan autistik antara 1-4 per 10.000 anak-anak. Setelah tahun 1990 jumlah anak-anak dengan gangguan autistik meledak semakin besar. Hal ini memang kesulitan untuk menemukan data statistik secara akurat, tetapi angka perkiraan oleh lembaga penelitian menunjukkan 1-2% per 500 hingga 1% per 100 anak-anak. The Center for Desease Control (CDC) telah melaporkan 2-6 per 1000 anak-anak. Selama tahun 2000-2001 terdapat lebih dari 15.000 anak-anak berusia 3-5 tahun dan lebih dari 78.000 anak-anak berusia 6-21 tahun di Amerika Serikat adalah autistik sebagaimana didefinisikan dalam

Individual with Disabilities Education Act (IDEA).

(5)

peningkatan 23% dibandingkan data tahun 2008, yaitu 1 dari 100 anak yang menderita autisme. Di dalam laporan CD’s Morbidity and Mortality Weekly

Report yang diluncurkan akhir Maret 2012 lalu, CDC menjelaskan bahwa

peningkatan autisme ini paling banyak terjadi pada anak-anak Hispanik dan Afrika-Amerika. Autisme jauh lebih banyak dialami anak laki-laki, yaitu 5 kali lebih banyak dibandingkan anak perempuan.

“Ada kemungkinan kenaikan disebabkan deteksi autisme yang lebih baik. Kita tahu bahwa dokter dan masyarakat semakin baik dalam mengidentifikasi anak autis. Tapi kami belum mengetahui pasti penyebab peningkatan ini,” kata Dr Thomas Frieden, direktur CDC seperti dilansir MyHealthNewsDaily, pada 2 April 2012.

Laporan CDC ini menegaskan bahwa jumlah anak dan keluarga yang membutuhkan bantuan mengalami peningkatan. Gangguan spectrum autisme perlu dilacak karena masyarakat perlu dibimbing dan diberi pemahaman untuk menangani anak penyandang autism (Harnowo, 2012).

Anak-anak autistik sering kali ditandai dengan perilaku yang suka mengasingkan diri/menyendiri, meskipun dalam ruangan yang penuh dengan teman sebayanya ataupun anggota keluarganya. Sebagian besar laporan dari orang tua yang memiliki anak autistik mengatakan bahwa anak mereka lebih memilih aktifitasnya sendiri. Ketika orang tua mengajaknya untuk melakukan permainan selayaknya anak-anak pada umumnya misalnya main bola, mobil-mobilan atau bernyanyi sambil bertepuk tangan, anak autistik kesulitan untuk bergabung dan terlibat di dalamnya (Yuwono, 2009)

(6)

2012), maka anak autistik sebaiknya diajarkan untuk memahami interaksi sosial. Proses sosialisasi, secara garis besar dapat dibagi atas dua macam, yaitu sosialisai primer dan sosialisasi skunder. Sosialisasi primer adalah sosialisasi pada tahap-tahap awal kehidupan seorang sebagai manusia. Ini terjadi pada usia anak di bawah 5 tahun. Pada saat sosialisasi primer, seorang anak akan dapat mengenal lingkungan terdekatnya. Misalnya ibu, bapak, kakak, adik, paman, bibi, kakek, teman sebayanya, tetangganya dan bahkan dirinya sendiri. Sedangkansosialisasi skunder adalah proses berikutnya yang memperkenalkan individu kedalam lingkungan di luar keluarganya, seperti sekolah, lingkungan bermain, dan lingkungan kerja. Ini akan terjadi setelah sosialisasi primer berlangsung, namun sosialisasi primer merupakan dasar dari sosialisasi skunder. Jika dalam sosialisasi primer yang berperan adalah orang tua dan keluarga dekatnya, maka dalam sosialisasi skunder yang berperan adalah orang lain. Hal ini dapat dibuktikan bahwa setelah berumur 5 tahun atau lebih seorang anak akan memperluas pergaulannya. Ia mulai mengenal guru di sekolahnya, teman bermain yang tidak hanya di sekitar rumah, namun telah sampai pada tetangga rumah dan seterusnya. (Merianto, 2016).

(7)

mengajarkan anaknya berinteraksi dengan orang lain susah, awalnya anak tersebut susah untuk diajak berinteraksi dengan orang lain karea sering bermain game, namun setelah melakukan terapi di PLA selama 3 bulan, anak tersebut dapat melakukan interaksi yang baik dengan orang lain. Anak tersebut baru bisa mengatakan satu atau dua kata, misalnya “ibu makan, ayo main”, dsb. Saat

melakukan interaksi sosial kepada orang lain, sebelumnya ibu tersebut mengajarkan untuk fokus terlebih dahulu kepada anaknya, setelah fokus kemudian diajarkan interaksi kepada oang lain. Interaksi yang dilakukan oleh anak tersebutpun masih dalam keluarganya dan orang-orang terdekat misalnya tetangga sebelah rumah, karena anak tersebut juga baru saja bisa melakukan interaksi dengan orang lain.

(8)

Manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Interaksi sosial antar individu terjadi manakala dua orang bertemu, interaksi dimulai, pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial. Lain halnya dengan kelemahan

(impairment) anak autis dalam bidang interaksi sosial ditandai dengan

ketidakmampuan melakukan interaksi sosial yang optimal sebagaimana anak lainnya atau dengan kata lain adanya kegagalan dalam menjalin interaksi sosial dengan menggunakan perilaku non verbal. Hal ini bisa dirasakan bahwa ketika kita berbicara dengan anak autis mereka tidak melakukan kontak mata, tidak mampu memperlihatkan ekspresi wajah, gestur tubuh, atupun gerakan yang sesuai dengan tema yang menjadi bahan pembicaraan.

(9)

Penelitian Karningtyas, dkk (2009) cara yang tepat untuk anak autistik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yaitu menggunakan teori interaksionisme simbolik, yaitu dengan bahasa non verbal atau simbol-simbol. Simbol-simbol yang menyatukan interaksi antara anak-anak autis dengan lingkungan sekitarnya dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah penggunaan bahasa isyarat yang mencakup isyarat tangan dan gesture tubuh.

Menurut Mawardah dan Ainin (2014) metode bermain peran merupakan permainan yang memerankan tokoh-tokoh atau benda-benda sekitar anak sehingga anak dapat mengembangkan daya hayal (imajinasi) dan penghayatan terhadap bahan kegiatan yang di laksanakan. Melalui kegiatan bermain yang menyenangkan, anak berusaha untuk menyelidiki dan mendapatkan banyak pengalaman, baik pengalaman dengan dirinya sendiri, orang lain maupun dengan lingkungan di sekitarnya. Pada bermain peran anak dapat bekerja sama dengan pemain lainnya (guru), sehingga dengan demikian anak dapat dilatih untuk melakukan interaksi dengan pemain tersebut. Cara bermain peran diharapkan interaksi sosial anak dapat berkembang menjadi lebih maksimal, sehingga anak akan menjadi lebih mudah dalam melakukan hubungan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

(10)

mengendalikan, dan mengontrol. Pola asuh sendiri merupakan pola pengasuhan yang berlaku dalam keluarga, interaksi antara orang tua dan anak selama mengadakan kegiatan pengasuhan (Tarmudji, 2002). Adanya pendampingan orangtua atau sering disebut sebagai pola asuh akan mempermudah anak autis dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Berdasarkan uraian tersebut maka muncul pertanyaan penelitian “bagaimana strategi orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial pada anak penyandang autis?”

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini untuk memahami strategi orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial pada anak penyandang autis.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Bagi orang tua, memberikan kontribusi pengetahuan bagi orang tua dalam mengajarkan interaksi sosial kepada anak penyandang autis.

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan untuk sanitasi untuk para pekerja masih kurang maksimal sesuai dengan yang dikemukan oleh teori, seperti tidak menggunakan sarung tangan ketika melakukan

Agen Obat Sipilis Paling Manjur Di Apotik ~ Bagi anda yang kini baru menderita penyakit sipils pasti anda bingung atau malu untuk mencari obat yang mampu menyembuhkan

Hasil pengamatan difraksi sinar X pada paduan TiAl yang diimplantasi ion Y pada energi 100 keV dan dosis ion 2,98×10 15 ion/cm 2 setelah proses oksidasi pada suhu 800 °C

Pada era komputerisasi saat ini, perkembangan teknologi komputer terus meningkat dengan pesat. Perkembangan teknologi komputer telah memberikan banyak.. 456

Hasil analisis menggunakan koefisien determinasi (R 2 ) bahwa nilai adjusted R square sebesar 0.607 yang berarti kontribusi dari ketiga variabel bebas (Efektivitas

Penelitian etnomatematika pada tari tradisional sebelumnya telah dilakukan diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Dewi Chandra Florentina, dkk dalam penelitian Matematika

waterfront city di Kota Palembang dan memetakan peran stakeholder (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam konsep waterfront city melalui prinsip menurut Nicholas Falk

Rasa syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkah dan rahmatNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah berupa skripsi berjudul Evaluasi