• Tidak ada hasil yang ditemukan

BIDANG : ILMU PENGETAHUAN STUDI POLA KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI YANG BERKEMBANG PADA MASYARAKAT DI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI (STUDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "BIDANG : ILMU PENGETAHUAN STUDI POLA KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI YANG BERKEMBANG PADA MASYARAKAT DI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI (STUDI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BIDANG : ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN KEMANUSIAAN

STUDI POLA KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI YANG BERKEMBANG

PADA MASYARAKAT DI LERENG SELATAN GUNUNG MERAPI (STUDI

DI KECAMATAN CANGKRINGAN, SLEMAN, YOGYAKARTA)

OLEH :

SAFRI WIRA FATIMAH (XI IBB) BALQIS ALYAMAYADITA RAHMAN (X IBB)

MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) YOGYAKARTA I JL. C. SIMANJUNTAK NO, 60 YOGYAKARTA

(2)
(3)

HALAMAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

LOMBA KARYA ILMIAH REMAJA KE-48 TAHUN 2016

JUDUL :

STUDI POLA KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI YANG BERKEMBANG PADA

Dewasa ini bencana alam sering terjadi di Indonesia, berbagai macam bencana melanda silih berganti. Hal tersebut yang menjadikan negara Indonesia harus selalu siap menghadapi bencana. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah dengan membuat mitigasi struktural bencana, dan mitigasi kultural oleh masyarakat. Salah satu bencana alam yang berpengaruh besar di daerah D.I Yogyakarta adalah erupsi Gunung Merapi. Gunung Merapi yang menjadi gunung api aktif yang ada di D.I Yogyakarta sering kali menghasilkan gempa dengan skala kecil dan dalam catatan terakhir Gunung Merapi meletus dengan dahsyat pada tahun 2010, erupsi tahun 2010 itu memiliki dampak yang sangat besar terhadap kependudukan masyarakat D.I Yogyakarta, karena bukan hanya lahar panas yang menerjang wiliyah sekitar Gunung Merapi namun juga lahar dingin yang berimbas pada daerah yang jauh dari Gunung Merapi. Namun kini kita dapat melihat jika warga masyarakat Gunung Merapi telah hidup seperti biasa namun memiliki sikap siaga menarik untuk diteliti. Oleh karena itu kami ingin mengetahui bentuk kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat lereng selatan Gunung Merapi. Hal tersebut guna melihat apakah mitigasi kultural yang dilakukan oleh masyarakat lereng selatan Gunung Merapi di kecamatan Cngkringan dapat diterapkan terhadap penanganan bencana kegunungapian di daerah lainnya.

(4)

Assalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Innal hamda lillah, sebagai puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan petunjuk serta melimpahkan berkah dan rahmat-Nya, sehingga proposal penelitian ini dapat diselesaikan dengan judul : Studi Pola Kesiapsiagaan Dan Mitigasi Yang Berkembang Pada Masyarakat Di Lereng Selatan Gunung Merapi (Studi Di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta)

Dan kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini kami ucapkan banyak terimakasih kepada :

1) Bapak Drs. H. Suharto selaku kepala MAN YOGYAKARTA I yang telah memberikan persetujuan untuk mengikuti lomba karya ilmiah ini.

2) Ibu Masayu Nurul Ana S. Ant. selaku pembimbing yang telah membimbing makalah ini.

3) Keluarga kami tercinta atas motivasi, do’a, dan dukungan sehinga makalah ini dapat diselesaikan

4) Dr. Indriana Kartini selaku reviewer kami dari FMIPA UGM yang telah membantu dalam konsep perancangan percobaan kami.

5) Semua pihak yang telah memberikan bantuan penyelesaian makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Proposal penelitian ini tentu memiliki banyak kekurangan karena keterbatasan wawasan pengetahuan peneliti, maka dari itu peneliti sangat mengharapkan saran dan kritikan yang bersifat membangun bagi proposal penelitian ini dan juga peneliti. Besar harapan peneliti bahwa proposal penelitian ini dapat dibimbing oleh para mentor dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) demi memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negara. Amiin

Wassalamu ’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yogyakarta, 31 Maret 2016

Penulis

DAFTAR ISI

(5)

Halaman

HALAMAN SAMPUL... 1

HALAMAN PENGESAHAN... 2

ABSTRAK... 3

KATA PENGANTAR... 4

DAFTAR ISI ... 5

BAB I PENDAHULUAN ... 6

A. Latar Belakang ... 6

B. Batasan Masalah ... 8

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ...10

A. Kajian Pustaka ...10

B. Kerangka Berfikir ...16

C. Hipotesis ...16

BAB III METODE PENELITIAN ...17

A. Jenis Penelitian...17

B. Populasi dan Sampel...17

B. Variabel Penelitian...18

C. Waktu dan Tempat Penelitian ...18

E. Metode Pengumpulan Data Penelitian ...18

F. Teknik Analisis Data ...19

DAFTAR PUSTAKA...21

BIODATA PESERTA...22

(6)

A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi langganan berbagai macam bencana, yang dilatarbelakangi baik oleh faktor alam, atau/ dan dari faktor non-alam. Salah satu bencana dari faktor non-alam yang sering terjadi seperti banjir, kekeringan karena maraknya penebangan hutan, menjadikannya tidak ada yang menyerap air di dalam tanah. Sedangkan dilihat dari faktor alam Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki gunung api aktif yang banyak menjadikan bencana alam erupsi sering terjadi.

Bencana merupakan peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Definisi lain terdapat dari dalam Buku Manajemen Bencana, bahwa bencana merupakan kejadian dimana sumberdaya personal atau material yang tersediaa di daerah bencana tidak dapat mengendalikan kejadian luar biasa yang dapat mengancam nyawa atau sumberdaya fisik dan lingkungan (Ramli : 2010). Sedangkan menurut BNPB, 2010 menyatakan bahawa bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya resiko (risk) pada komunitas.

(7)

pemerintah berupa infrastruktur maupun non-infrastruktur, seperti penyusunan peta kawasan rawan bencana, pembangunan dam sobo, pembangunan sistem peringatan dini dan lain sebagainya. Sedangkan mitigasi kultural merupakan mitigasi yang berasal dari sistem kehidupan masyarakat atau kebiasaan yang terdapat di masyarakat guna menghadapi bencana erupsi.

Poin penting dalam menghadapi bencana salah satunya dalah kesiapsiagaan menghadapi bencana tersebut. Kesiapsiagaan tersebut tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah namun juga dapat dilakukan oleh individu atau masyarakat, hal tersebut yang membedakan antara upaya kesiapsiagaan dengan upaya pengurngan resiko prabencana. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan – kegiatan dan langkah - langkah yang dilakukan sebelum terjadinya bahaya dari bencana alam yang akan terjadi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang sangat penting dalam menghadapi bencana erupsi merapi.

(8)

Gambar 01

Peta Daerah Kecamatan Cangkringan

B. BATASAN MASALAH

Batasan masalah dalam penelitian ini berupa bentuk-bentuk mitigasi dan kesiapsiagaan dari masyarakat lereng selatan Gunung Merapi di kecamatan Cangkringan. Penelitian ini akan di kaji dari bulan April - Agustus tahun 2016.

C. RUMUSAN MASALAH

8 Peta Daerah

(9)

Penelitian ini ingin mengkaji dan mengidentifikasi bentuk-bentuk mitigasi bencana dan kesiapsiagaan dari masyarakat yang ada di lereng selatan Gunung Merapi di kecamatan Cangkringan, dan mengetahui apakah mitigasi kultural yang dilakukan oleh masyarakat lereng selatan Gunung Merapi di kecamatan Cngkringan tersebut dapat diterapkan terhadap penanganan bencana kegunungapian di daerah lainnya.

D. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui bentuk-bentuk dari mitigasi masyarakat lereng selatang gunung merapi di kecamatan Cangkringan.

2. Mengetahui bentuk-bentuk kesiapsiagaan masyarakat lereng selatan Gunung Merapi di kecamatan Cangkringan.

3. Mengetahui apakah mitigasi kultural yang dilakukan oleh masyarakat lereng selatan Gunung Merapi di kecamatan Cngkringan dapat diterapkan terhadap penanganan bencana kegunungapian di daerah lainnya.

E. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu bidang mitigasi kultural masyarakat lereng gunung dalam menangani bencana erupsi.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mencari nilai budaya sekaligus melestarikan budaya masyarakat sehingga diharap ilmu tersebut dapat digunakan di daerah lain dalam menangani bencana erupsi

BAB II

LANDASAN TEORI

(10)

Mitigasi merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana (UU No. 24/2007). Sedangkan menurut King dalam Kusumasari, Mitigasi didefinisikan sebagai tindakan yang diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap masyarakat dan lingkungan. Mitigasi dilakukan untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada kawasan rawan bencana. Sedangkan menurut Kusumasari, tujuan mitigasi adalah pengurangan kemungkinan resiko, pengurangan konsekuensi resiko, menghindari resiko, penerimaan resiko, serta transfer, pembagian, atau penyebarluasan resiko. Kegiatan mitigasi dapat dilakukan melalui pelaksanaan penataan ruang, pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan, dan penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, pelatihan baik secara konvensional maupun modern.

a. Mitigasi Struktural

Mitigasi struktural merupakan sisi eksternal masyarakat yang berkaitan dengan sistem kebijakan pemerintah untuk masyarakat dalam bentuk infrastruktur maupun non infrastruktur. Kurun waktu tahun 60-an sampai sebelum erupsi Merapi 2010, pemerintah sangat intensif membangun infrastruktur mitigasi struktural di lereng Merapi. Beberapa bentuk kegiatan mitigasi structural diantaranya penyusunan peta kawasan rawan bencana, pembangunan dam sabo, pembangunan sistem peringatan dini, dan lainnya.

Bentuk mitigasi struktural sebelum erupsi Merapi 2010 yang dikenal oleh masyarakat adalah keberadaan dam penahan sedimen atau sabo serta menara sirine dan pengeras suara. Sementara keberadaan Peta Kawasan Rawan Bencana Merapi tahun 2002 kurang diketahui oleh masyarakat. Pada saat erupsi Merapi terjadi, anjurananjuran dari pemerintah lewat televisi, radio, koran, dan aparatur desa.

b. Mitigasi Kultural

Mitigasi kultural merupakan sisi internal masyarakat yang berkaitan dengan sistem kehidupan masyarakat lokal dalam bentuk kearifan berinteraksi dengan lingkungan alamnya. Bentuk kegiatan

(11)

mitigasi kultural merupakan cerminan dari faktor internal yang diekspresikan melalui norma kehidupan dan ritual budaya.

Bentuk mitigasi kultural sebelum erupsi Merapi 2010 yang dikenal oleh masyarakat adalah kegiatan upacara adat. Melalui upacara adat masyarakat selalu diingatkan tentang eksistensi mereka dan hubungan mereka dengan lingkungan. Selain itu upacara adat juga sebagai bentuk komunikasi antara segenap masyarakat dengan alam adikodrati yang merupakan sumber kesuburan dan kemakmuran. Saling ingat mengingatkan antar masyarakat terkait banyak hal termasuk perkembangan perilaku Merapi terjalin dalam kegiatan-kegiatan upacara adat. Hal-hal inilah yang sering dikenal sebagai bentuk mitigasi bencana secara kultural. Nilai-nilai yang mendasar dari berbagai aktivitas budaya adalah nilai kerukunan, kebersamaan, dan hormat terhadap lingkungan dalam rangka mencapai kesejahteraanl lahir batin (Triyoga, 2010).

2. Bencana

Dalam Buku Manajemen Bencana mendefinisikan bahwa bencana adalah kejadian dimana sumberdaya, personal atau material yang tersedia di daerah bencana tidak dapat mengendalikan kejadian luar biasa yang dapat mengancam nyawa atau sumberdaya fisik dan lingkungan (Ramli: 2010, 11). Bencana (disaster) merupakan fenomena yang terjadi karena komponen-komponen pemicu (trigger), ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) bekerja bersama secara sistematis, sehingga menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas (BNPB, 2005: 10).

Bencana gempa bumi dan letusan gunung api merupakan bencana alami yang tidak mungkin dicegah dari sumbernya. Yang dapat dilakukan adalah pengurangan risiko bencana (PRB) bila bencana terjadi lagi. Usaha untuk mengurangi resiko merupakan tindakan mitigasi bencana. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menimbulkan perubahan paradigma penanggulangan bencana yang sangat mendasar.

(12)

dilaksanakan seiring dengan upaya untuk mengurangi resiko bencana. Komponen penting manajemen bencana adalah mitigasi.

Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mendefinisikan mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-Undang tersebut merupakan penyempurnaan Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1992 dengan adanya kenyataan bahwa faktor bencana yang selalu dihadapi Indonesia perlu dukungan berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam usaha mengurangi risiko bencana. Undang- Undang tersebut saling terkait dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang dirancang dan diundangkan dalam tahun yang sama.

Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Pasal 23, ayat (5). Pada undang-undang tersebut bilamana terjadi bencana dan suatu kawasan yang terjadi bencana merupakan zone berbahaya, peruntukan lahan dapat berubah fungsi. Akibat dari perubahan adalah bahwa zone yang membahayakan beralih fungsi dari fungsi budidaya menjadi fungsi lindung yang berarti tidak boleh untuk pemukiman. Akibat yang lain adalah wajib disediakan ruang evakuasi bencana darurat maupun permanen dalam lingkup lokal, regional, maupun nasional. Dengan keadaan yang demikian RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Propinsi dapat ditinjau kembali.

3. Kearifan Lokal

Kearifan lokal (local wisdom) dalam dekade belakangan ini sangat banyak diperbincangkan. Perbincangan tentang kearifan lokal sering dikaitkan dengan masyarakat lokal dan dengan pengertian yang bervariasi. Kearifan lokal merupakan gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya (Sartini, 2004: 111). Menurut rumusan yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial (sekarang Kementerian Sosial) kearifan lokal diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang

(13)

dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka (Departemen Sosial RI, 2006).

Sistem pemenuhan kebutuhan mereka pasti meliputi seluruh unsur kehidupan, agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Pengertian lain namun senada tentang kearifan lokal juga diungkapkan oleh Zulkarnain dan Febriamansyah (2008: 72) berupa prinsip-prinsip dan cara-cara tertentu yang dianut, dipahami, dan diaplikasikan oleh masyarakat lokal dalam berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungannya dan ditransformasikan dalam bentuk sistem nilai dan norma adat. Dengan demikian kearifan lokal merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku dan telah dipraktikkan secara turun-temurun untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan dalam kehidupan suatu masyarakat. Kearifan lokal berfungsi dan bermakna dalam masyarakat baik dalam pelestarian sumber daya alam dan manusia, pemertahanan adat dan budaya, serta bermanfaat untuk kehidupan.

4. Indikator Kesiapsiagaan Masyarakat

Kesiapsiagaan merupakan kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah yang dilakukan sebelum terjadinya bahaya-bahaya alam untuk meramalkan dan mengingatkan orang akan kemungkinan adanya kejadian bahaya tersebut, mengevakuasi orang dan harta benda jika mereka terancam dan untuk memastikan respons yang efektif, contohnya menumpuk bahan pangan (Charlotte Benson dkk, 2007 dalam MPBI, 2009). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Dalam siklus manajemen bencana kesiapsiagaan bencana merupakan salah satu tahapan penting untuk mengurangi besarnya kerugian yang timbul akibat adanya bencana.

Gambar 01

(14)

Menurut LIPI-UNESCO/ISDR (2006) indikator yang digunakan untuk menilai kesiapsiagaan masyarakat ada lima parameter yaitu :

a. Pengetahuan dan sikap terhadap terhadap resiko bencana. b. Kebijakan dan panduan.

c. Rencana untuk keadaan darurat. d. Sistem peringatan bencana.

e. Kemampuan untuk mobilisasi sumber daya.

Sedangkan menurut Pasal 45 UU Nomor 24/2007, upaya kesiapsiagaan dilakukan melalui beberapa hal yaitu :

a. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.

b. Pengorganisasian, pemasangan, dan pengujian sistem peringatan dini. c. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan

dasar.

d. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan dan gladi tentang mekanisme tanggap darurat.

e. Penyiapan lokasi evakuasi.

f. Penyususnan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tentang tanggap darurat bencana.

g. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang dan peralatan untuk pemenuhan pemulihan prasarana dan sarana.

(15)

Poin upaya kesiapsiagaan tersebut tidak hanya bisa dilakukan oleh pemerintah namun juga dapat dilakukan oleh ndividu atau masyarakat. Hal ini yang membedakan upaya kesiapsiagaan dengan upaya pengurangan resiko prabencana lainnya, dimana upaya kesiapsiagaan dapat dilakukan oleh individu atau masyarakat, sedangkan upaya mitigasi dan peringatan dini lebih tepat dilakukan oleh pemerintah.

Menurut Rahayu dkk, (2008) masyarakat yang siaga memiliki ciri anatara lain sebagai berikut :

a. Mengetahui apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. b. Tingat resiko yang dialami rendah.

c. Tingkat pemulihan pasca bencana berjalan cepat.

d. Memiliki jaringan yang dapat dimanfaatkan untuk pemulihan.

5. Penilaian Kesiapsiagaan

Untuk mengetahui kesiapsiagaan keseluruhan, hal yang kami lakukan adalah menghitung indikator dari parameter yang sudah ditentukan dengan beberapa rumus dan dalam rentang nilai 0-100 :

a. Rumus Sturgess, rumus ini digunakan untuk pembagian kelas dalam menilai indikator dari parameter :

K = 1+3,3 Log n

K = 1+3,3 Log 100 = 7,6

b. Rumus untuk mengetahui besar rentang : I = R

K

Ket : I = lebar interval, R = rentang (beda nilai tertinggi dan terendah), K = banyaknya kelas

(16)

C. HIPOTESIS

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “Terdapat pengaruh kesiapsiagaan terhadap pola mitigasi kultural masyarakat lereng selatang Gunung Merapi di kecamatan Cangkringan”

BAB III

METODE PENELITIAN

(17)

A. JENIS PENELITIAN

Jenis Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods. Penelitian deskriptif kuantitatif digunakan untuk meneliti kesiapsiagaan masyarakat yang ada di kecamatan Cangkringan dalam menghadapi bencana erupsi, pengumpulan data menggunakan angket penelitian, dan analisis data bersifat kuantitatif/statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2010:13). Pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara kesiapsiagaan dan pola mitigasi kultural yang terbentuk pada masyarakat lereng selatang Gunugn Merapi di kecamatan Cangkringan. Sedangkan deskriptif kualitatif digunakan untuk meneliti bentuk-bentuk mitigasi kultural masyarakat di kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta dalam menghadapi bencana erupsi, pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara, dan dokumentasi penelitian, dan analisis data bersifat kualitatif dengan tujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang pada saat itu berlaku, di dalamnya terdapat upaya mendeskripsikan, mencatat, analisis, dan menginterpretasikan kondisi yang pada saat itu terjadi atau ada.

Metode mixed methods atau penelitian campuran merupakan pendekatan penelitian yang mengkombinasi antara penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif. Menurut Sugiyono, (2011) menyatakan bahwa metode penelitian kombinasi (mixed methods) adalah suatu metode penelitian yang mengkombinasikan atau menggabungkan antara metode kuantitatif dan metode kualitatif untuk digunakan secara bersama-sama dalam suatu kegiatan penelitian, sehingga diperoleh data yang lebih komprehensif, valid, reliable dan obyektif.

B. POPULASI DAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu (Sugiyono, 2010: 117). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh seluruh masyarakat di kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

2. Sampel

(18)

Cangkringan sebanyak 10 responden yang merupakan tokoh adat yang

D. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan di kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta, selama 4 bulan dari bulan April – Agustus 2016.

E. METODE PENGUMPULAN DATA PENELITIAN a. Observasi

Peneliti mencatat kembali apa yang mereka dengar demi menghindari kekeliruan dalam menyajikan data. Observasi juga diperlukan untuk menghindari dugaan-dugaan yang belum pasti. Pada observasi, peneliti berupaya mengetahui pengaruh kesiapsiagaan terhadap pola mitigasi kultural masyarakat lereng selatang gunung merapi di kecamatan cangkringan . Observasi pula dilakukan demi memperoleh informan yang mampu mendeskripsikan bentuk pengelolaan lingkungan ini. Sehingga penelitian ini dapat memperoleh informasi mengenai bentuk-bentuk pengelolaan lingkungan.

b. Wawancara

Wawancara merupakan data primer yang didapat melalui interaksi secara langsung antara peneliti dengan responden. Wawancara berupa pandangan yang didapat dari responden melalui apa yang mereka rasakan dan alami selama ini. Kegiatan wawancara ini bertujuan agar peneliti mampu mengetahui lebih dalam mengenai apa yang ia teliti. Responden yang digunakan dapat diambil dari informan yang didapat

(19)

ketika sedang melakukan observasi. Informan yang di wawancarai untuk memperoleh informasi mengenai pengaruh kesiapsiagaan terhadap pola mitigasi kultural masyarakat lereng selatang gunung merapi di kecamatan cangkringan.

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bagian yang melengkapi data atau lebih dikenal dengan data sekunder. Meskipun posisinya hanya sebagai data sekunder, akan tetapi dokumentasi tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Melalui dokumentasi, peneliti mampu mengungkapkan kembali apa yang temukan dilapangan. Berbeda dengan angket dan observasi, dokumentasi ini bukan merupakan hasil pemikiran manusia, tetapi lebih kepada gambaran akan situasi dan kondisi yang ada. Pengumpulan data diambil di tempat penelitian yaitu di kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

G. TEKNIK ANALISIS DATA 1. Deskriptif Kuantitatif

Penelitian deskriptif kuantitatif merupakan data yang diperoleh dari sampel populasi penelitian dianalisis sesuai dengan metode statistik yang digunakan. Penelitian deskriptif dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran dan keterangan-keterangan mengenai kesiapsiagaan masyarakat yang ada di kecamatan Cangkringan dalam menghadapi bencana erupsi.

2. Deskriptif Kualitatif

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Convelo G. Cevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta. Universitas Indonesia.

Mardalis. 1999. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta. Bumi Aksara.

Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati.Jurnal FilsafatVol 37 No 2: 111-120.

Departemen Sosial RI. (2006). Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil.

Zulkarnain, A.Ag., & Febriamansyah, R. (2008). Kearifan Lokal dan Pemanfaatan dan Pelestarian Sumberdaya Pesisir. Jurnal Agribisnis Kerakyatan, 1, 69-85.

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggu-langan Bencana. (2007). Jakarta: Masyarakat PenangguPenanggu-langan Bencana Indonesia (MPBI).

(21)

Ramli, Soehatman. (2010). Manajemen Bencana. Jakarta: Dian Rakyat.

BNPB (2010). Buku Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya di Indonesia.

Triyoga, L. S. 2010. Merapi dan Orang Jawa. Presepsi dan Kepercayaannya. Jakarta. Kompas. Gramedia : Jakarta.``

BNPB. (2011). Indeks Rawan Bencana. Jakarta.

Meleong, LJ. 2004. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung. Remaja Rosdakarya.

Kusumasari. (2014). Manajemen Bencana dan Kapabilitas Pemerintah Lokal. Yogyakarta: Gava Media.

Nurjannah, dkk. (2012). Manajemen Bencana. Bandung: Alfabeta.

BPBD Sleman. (2013). Rencana dan Prosedur Evakuasi Dan Kesiapsiagaan Darurat Bencana Di Cangkringan. Power Point. Dipresentasikan pada Workshop Penyusunan Rencana Kontigensi Erupsi Merapi di Yogyakarta (21 Februari): slide 13-17

Badan Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat. 2005. Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Provinsi Jawa Barat.

LIPI-UNESCO/ISDR. 2006. Kajian Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Mengantisipasi Bencana Gempa Bumi dan Tsunami.

Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia. 2006. Panduan Menghadapi Bencana Gempa Bumi. Jakarta: MPBI-UNDP.

BIODATA PESERTA LKIR KE 48 TAHUN 2016

Ketua Tim

Nama : Safri Wira Fatimah Sekolah : MAN Yogyakarta I

Alamat Sekolah : Jl. C. Simanjuntak No. 60 Yogyakarta Alamat Rumah : Blaburan, Bligo, Ngluwar, Magelang Tempat Lahir : Sleman

Tanggal Lahir : 04 Juni 1999 Jenis Kelamin : Perempuan

Kelas : XI IBB

(22)

Anggota Tim

Nama : Balqis Alyamayadita Rahma Sekolah : MAN Yogyakarta I

Alamat Sekolah : Jl. C. Simanjuntak No. 60 Yogyakarta Alamat Rumah : Cokrowijayan rt04 rw 18 Banyuraden Gamping Sleman Yogyakarta

Tempat Lahir : Sleman

Tanggal Lahir : 07 Januari 2000 Jenis Kelamin : Perempuan

Kelas : X IBB

Nomor HP : 082136016947

Email : balqisalmaytarahman@gmail.com Data Guru Pembimbing

Nama : Masayu Nurul Ana S. Ant. Sekolah : MAN Yogyakarta I

Mata Pelajaran : Antropologi

Alamat Rumah : Purbayan KG III/1159 RT. 53 RW. 13 Kotagede Yogyakarta Jenis Kelamin : Perempuan

Nomor HP : 085643188245

Email : masayuana61@yahoo.com

SCAN KARTU PELAJAR

(23)

Gambar

Gambar 01 Peta Daerah Kecamatan Cangkringan

Referensi

Dokumen terkait

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitan ini adalah data mengenai kemampuan merumuskan hipotesis fisika peserta didik dalam tiga jenis hipotesis, yaitu

kriteria valid, reliable dan praktis, sangat efektif diterapkan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis ditinjau dari respon peserta didik terhadap

Problem Atau Masalah Yang Muncul dan Cara Penyelesaiannya Dalam Pelaksanaan Eksekusi Benda Tidak Bergerak Sebagai Jaminan Hutang…… 85.

Implementasi Kebijakan Konversi Minyak Tanah Ke LPG ( Liquifield Petroleum Gas ) Di Kelurahan Tegal Besar Kecamatan Kaliwates Kabupaten Jember adalah benar-benar

Palmitic acid is a saturated fatty acid that serves as energy storage used for SAFA or fatty acid biosynthesis. Meyer (2004), Benjamin and Olivia (2007) mentioned in their

Indonesia memiliki Jawa Barat dan sebagai provinsi maju di Indonesia banyak memberikan arahan menegenai pembangunan sesuai dengan yang dikeluarkan oleh dinas

Siswa tampak lebih antusias dan semangat dibandingkan dengan siswa tahun lalu, yang memahami fi’il mudhari’ hanya dengan penjelasan guru tanpa dikemas dalam

Maklemat mengenai sistem ini juga diper lehi daripada umber rujuknn perpustakaan. Pembacaan buku-buku rujukan mcmbcrikan pcmaharnan. nm umurn tentang cabang kajian