• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Pengolahan Dan Toksisitas Khitosan Larur Air Dengan Menggunakan Tikus Putih (Rattus Norvegicus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Pengolahan Dan Toksisitas Khitosan Larur Air Dengan Menggunakan Tikus Putih (Rattus Norvegicus)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

TIKUS PUTIH

( Rattus norvegicus

)

MUNAWWAR KHALIL

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Pengolahan dan

Toksisitas Khitosan Larut Air dengan Menggunakan Tikus Putih (Rattus norvegicus) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Januari 2007

(3)

dengan Menggunakan Tikus Putih (Rattus norvegicus). Dibimbing oleh EDY HARTULISTIYOSO dan SINGGIH WIBOWO.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari cara pembuatan khitosan larut air (CMC) dengan karakteristiknya dan mengetahui pengaruh toksisitas CMC melalui perubahan biokimia darah dan hispatologi jaringan hati dan ginjal pada tikus percobaan.

Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu Tahap I, persiapan bahan baku, pengolahan khitin, pengolahan khitosan, pengolahan CMC dengan perlakuan suhu (50, 70 dan 90 oC) dan mengkarakterisasinya (viskositas, kelarutan, rendemen, pH, kadar air, kadar abu, derajat deasetilasi, protein dan nitrogen). Tahap II meliputi proses aplikasi CMC dengan konsentrasi yang berbeda yaitu 0 %, 0.5 %, 1 %, 1.5 % dan 2 % pada tikus percobaan yang dilakukan selama 21 hari dan pengamatan terhadap perubahan biokimia darah dan hispatologi jaringan hati dan ginjal.

Hasil pengamatan terhadap viskositas menunjukkan hasil yang bervariasi yaitu antara 123.67-338.33 Cps, dimana terdapat perbedaan yang nyata pada semua perlakuan (P<0.05) dan ternyata penggunaan suhu berpengaruh kepada viskositas, artinya semakin tinggi suhu akan menurunkan viskositas. Kelarutan CMC juga diperoleh hasil yang bervariasi, berkisar antara 95.08-99.84 %. Hasil tertinggi diperoleh pada pelakuan suhu 70 oC dan terrendah pada perlakuan 50 oC. Terdapat perbedaan yang nyata (P<0.05) antara perlakuan 50 oC dengan 70 oC dan 90 oC, sedangkan perlakuan 70 oC tidak berbeda nyata (P>0.05) dengan perlakuan 90 oC. Untuk nilai pH diperoleh hasil antara 4.33-4.57. Sebenarnya untuk menaikkan pH sampai netral sangat sulit dilakukan, karena dengan menambahkan NaOH akan mengendapkan larutan dan tidak dapat ditarik dengan isopropil alkohol. Derajat deasetilasi dihasilkan berkisar antara 61.51-63.51%. Secara umum hasil ini masih di bawah standar yang ditetapkan oleh Protan Laboratories yaitu >70 %. Hasil analisis sidik ragam ternyata tidak berpengaruh nyata (P>0.05) pada semua perlakuan.

Berdasarkan hasil analisis biokimia darah SGOT diperoleh hasil antara 137.77– 154.33 U/l dan SGPT 42.30–55.28 U/l. Hampir semua hasil analisis ini di bawah perlakuan kontrol, artinya tidak terjadi peningkatan enzim dalam darah yang menunjukkan kerusakan pada hati. Pada analisis Kreatinin tidak terjadi perubahan sampai pada konsentrasi 0.5 dan 1 %, sedangkan pada 1.5 dan 2 % mengalami pembendungan ringan dengan terjadinya pertumbuhan sel baru untuk memproteksi sel dari pengaruh bahan yang bersifat toksik. Kadar BUN meningkat pada perlakuan 1% yaitu sebesar 33.67 mg/dl, lebih besar dari perlakuan kontrol yaitu 25.67 mg/dl, sedangkan perlakuan 1.5 dan 2 % terjadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi CMC yang diberikan, maka kadar BUN dalam darah semakin menurun.

(4)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi

(5)

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS

KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN

TIKUS PUTIH (

Rattus norvegicus

)

MUNAWWAR KHALIL

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Pasca Panen

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

telah dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini dengan judul Kajian Pengolahan

dan Toksisitas Khitosan dengan Menggunakan Tikus Putih (Rattus norvegicus) sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Magister Sains.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada

Bapak Dr. Ir. Edy Hartulistiyoso, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Singgih Wibowo, MS

selaku Ketua dan Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan dan arahannya dalam penulisan Tesis ini.

Kemudian penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Dr. W. Farid Ma’ruf

selaku Kepala Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan

dan Perikanan Jakarta, atas bantuan dana, fasilitas dan kerjasamanya. Ibu Ir.

Yusro Nuri Fazwya, M.Si beserta staf peneliti lainnya yang telah bersedia

membantu selama pengumpulan data. Bapak Prof. Dr. Ir. Hadi Karya Purwadaria,

Ipm (mantan Ketua Departemen Teknologi Pasca Panen/TPP) dan Dr. Ir. I Wayan

Budiastra, M.Agr selaku Ketua Departemen Teknologi Pasca Panen (TPP),

terimakasih atas perhatian dan motivasinya. Ibu drh. Ekowati Handharyani, DVM,

MS, PhD yang telah bersedia membantu dalam menganalisis

hispatologi-toksisitas khitosan larut air (CMC). Ucapan terimakasih yang tak terhingga dan

setulus-tulusnya kepada Ayahanda Abdurrahman Ibrahim (Alm) dan Ibunda

Ummi Usman, Abang, Kakak, Adik serta seluruh anggota keluarga atas doa,

dukungan dan kasih sayangnya. Tidak lupa pula penulis mengucapkan

terimakasih kepada teman-teman Jurusan Teknologi Pasca Panen (TPP) angkatan

2002 khususnya dan teman-teman dari Ikatan Mahasiswa Pascasarjana Aceh

(IKAMAPA) Bogor pada umumnya, atas dorongan semangat dan

kebersamaannya.

Terakhir penulis juga sangat mengharapkan saran-saran dan kritikan yang

bersifat membangun atas kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan

Tesis ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembacanya.

Bogor, Januari 2007

(8)
(9)

Halaman

1 Spesifikasi Khitosan ………... 8

2 Spesifikasi Khitosan Larut Air ………... 29

3 Hasil Rata-rata Kadar SGOT dan SGPT dalam Darah ………. 32

(10)

Halaman

1 Struktur molekul khitin ... 8

2 Struktur molekul khitosan ... 9

3 Struktur khitosan larut air ... 11

4 Diagram proses pembuatan khitin ... 18

5 Diagram proses pembuatan khitosan ... 19

6 Diagram proses pembuatan khitosan larut air ... 19

7 Penampang melintang hati pada perlakuan kontrol (0%) ... 31

8 Penampang melintang hati pada perlakuan 1.5% ... 31

9 Pengaruh CMC terhadap biokimia darah ... 34

10 Penampang melintang ginjal pada perlakuan kontrol (0%) ... 35

11 Penampang melintang ginjal pada perlakuan 2% ... 35

12 Grafik rata-rata berat badan tikus yang diberi CMC selama 21 hari ... 36

(11)

Halaman

1 Hasil rata-rata pengolahan khitosan larut air ………... 45

2 Data hasil analisis biokimia darah tikus percobaan ………... 46

3 Data berat badan harian………... 47

4 Data rata-rata sisa pakan per hari selama 21 hari... 48

5 Spektrum infra merah khitosan larut air (50 oC) dengan deasetilasi 72 jam pada spektrometer infra merah IR-408 ... 49

6 Spektrum infra merah khitosan larut air (70 oC) dengan deasetilasi 72 jam pada spektrometer infra merah IR-408 ... 50

7 Spektrum infra merah khitosan larut air (90 oC) dengan deasetilasi 72 jam pada spektrometer infra merah IR-408 ... 51

8 Analisa ragam terhadap viskositas khitosan larut air ……….... 52

9 Analisa ragam terhadap kelarutan khitosan larut air ………... 53

10 Analisa ragam terhadap nilai pH khitosan larut air ………... 54

11 Analisa ragam terhadap kadar air khitosan larut air …………... 55

12 Analisa ragam terhadap derajat deasetilasi khitosan larut air …... 56

13Analisa ragam terhadap SGOT darah ... 57

14 Analisa ragam terhadap SGPT darah ... 58

15 Analisa ragam terhadap Kreatinin darah ... 59

16 Analisa ragam terhadap BUN darah ... 60

(12)

Latar Belakang

Perairan Indonesia mempunyai potensi perikanan yang cukup besar

dengan berbagai jenis ikan dan udang. Udang merupakan salah satu hasil

perikanan yang saat ini masih menjadi primadona ekspor hasil perikanan

Indonesia, karena disamping mempunyai nilai ekonomis yang cukup baik juga

merupakan bahan pangan yang mempunyai nilai gizi yang tinggi.

Udang merupakan salah satu komoditas yang penting dan sebagai

penghasil devisa terbesar bagi negara disamping komoditas lainnya. Permintaan

pasar semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dunia,

juga semakin meningkatnya jumlah ekspor udang dari tahun ke tahun. Kenyataan

ini menunjukkan bahwa komoditas udang mempunyai peranan penting dalam

aktifitas ekspor produk perikanan Indonesia.

Udang pada umumnya diekspor dalam bentuk udang beku. Hal ini

mendorong para pengusaha perikanan Indonesia untuk mengembangkan industri

pembekuan udang. Menurut Suptijah (1992), ada tiga macam produk udang beku

yang sudah terkenal yaitu udang yang dibekukan dalam keadaan utuh tanpa

dikuliti atau dipotong kepalanya, udang yang telah dipisahkan kepalanya tetapi

tidak dikuliti, dan udang yang telah dikupas kulitnya serta dipisahkan kepalanya.

Kedua produk udang beku terakhir akan meninggalkan sisa pengolahan (limbah)

berupa kepala, kulit atau kepalanya saja.

Besarnya produksi udang dewasa ini akan menghasilkan limbah berupa

kulit yang besar jumlahnya. Apabila melimpahnya limbah kulit ini tidak diiringi

dengan pemanfaatan yang tepat maka akan menjadi masalah yang serius karena

limbah udang sama halnya seperti limbah perikanan lainnya akan mudah sekali

mengalami pembusukan sehingga akan menimbulkan polusi terhadap lingkungan.

Khitosan merupakan salah satu contoh produk hasil pemanfaatan limbah

udang yang mempunyai prospek untuk dikembangkan karena ketersediaan bahan

baku (limbah) udang yang besar. Menurut Sandford dalam Knorr (1984),

(13)

jenis spesiesnya, sedangkan limbah udang yang dihasilkan dari produksi udang

beku mencapai 50–60 % dari berat utuh.

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada diketahui bahwa khitosan

mempunyai manfaat yang cukup banyak pada berbagai bidang kehidupan.

Sebagai contoh, khitosan dapat menghilangkan kontaminan, memisahkan

petroleum dari air limbah, pelapis benih yang akan ditanam (pertanian), anti

kolesterol, anti koagulan dalam darah dan absorben logam berat (Brzeski 1987).

Selama ini limbah udang hanya dimanfaatkan sebagai bahan tambahan

dalam pembuatan terasi, kerupuk udang dan pelet. Pemanfaatan limbah udang

lebih lanjut yaitu sebagai bahan dasar pembuatan khitin dan khitosan (Brzeski

1987). Limbah industri pengolahan udang ini mengandung 40–50 % khitin,

25–30 % kalsium karbonat dan 15–20 % protein (Putro 1987).

Penanganan dan pengolahan limbah udang melalui industri pengolahan

khitin dan khitosan menjadi perhatian, karena senyawa yang hampir sama

dengan selulosa ini ternyata menunjukkan keandalan di berbagai bidang dan

mempunyai prospek tinggi sebagai komoditi perdagangan.

Memperhatikan potensi produksi udang dan limbah udang terutama

kulitnya yang semakin meningkat dan bisa diandalkan, maka pemanfaatan khitin

dan khitosan harus mendapat perhatian yang lebih besar dalam

pengembangannya di Indonesia.

Pemanfaatan khitosan banyak digunakan dalam berbagai keperluan

industri, baik industri pangan, non pangan, maupun pengolahan limbah industri

(koagulasi dan flokulasi), sebagai penstabil dan pengental. Penggunaan khitosan

sebagai penurun kadar lemak dikembangkan antara lain sebagai penurun kadar

lemak pada tikus putih (Sugano et al. 1980).

Khitosan merupakan turunan khitin yang hanya dapat larut dalam larutan

asam organik seperti asam asetat tetapi tidak larut dalam air dan pelarut organik

lainnya seperti dimetil sulfida. Sehubungan khitosan ini harus dilarutkan dulu

dalam asam asetat, aplikasinya juga terbatas karena pH rendah, maka para

pemakai khitosan harus menyiapkan ruangan khusus asam dan peralatan lainnya

termasuk peralatan pengaman untuk menghindari bahaya dari asam asetat

(14)

untuk menghasilkan khitosan yang lebih baik perlu dilakukan, salah satu caranya

yaitu dengan melakukan pengolahan khitosan larut air atau lebih dikenal dengan

karboksimetil khitosan (CMC).

Dengan dihasilkannya CMC ini diharapkan penggunaan khitosan pada

berbagai bidang kehidupan bisa lebih ditingkatkan, mengingat CMC lebih praktis

dan efektif dibanding khitosan larut asam. CMC selain lebih aman untuk

digunakan karena memiliki pH yang netral, juga penggunaan air sebagai pelarut

lebih menguntungkan dibandingkan asam, karena air tersedia dimana-mana dan

mudah didapatkan sehingga akan mengurangi biaya penggunaan khitosan.

Khitosan larut air dapat diaplikasikan pada berbagai bidang seperti

kosmetika, pengawetan makanan, kesehatan dan agrikultur. Pada buah-buahan

dapat ditingkatkan waktu simpannya dan tetap segar setelah dikeluarkan dari

pendingin dengan menggunakan lapisan tipis (film) khitosan larut air. Selain itu

khitosan larut air juga berguna sebagai pengkhelat tembaga (Cu) pada air limbah,

antikoagulan dan juga sebagai zat antimikroba (Angka dan Suhartono 2000).

Tikus putih sebagai hewan percobaan merupakan hewan yang sengaja

dipelihara untuk dipakai sebagai hewan model, guna mempelajari dan

mengembangkan fisiologi, farmatologi, biokimia, patologi dan kadang-kadang

digunakan untuk diagnostika dalam dunia kedokteran. Berdasarkan hasil

penelitian sebelumnya tikus putih sudah diketahui mempunyai sifat respon

biologik dan adaptasi mendekati manusia (Hanum 1996).

Tikus atau rat (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok

untuk berbagai penelitian antara lain; penelitian tentang manfaat vitamin,

alkoholisme metabolisme lemak dan tingkah laku. Sudah banyak informasi

tentang fisiologi, anatomi genetik dan tingkah laku dari tikus putih sehingga dapat

diinterpretasikan dan diektrapolasikan ke manusia (Waynforth 1980).

Tikus secara luas digunakan untuk penelitian di laboratorium, terutama

tikus putih yang berasal dari Asia Tengah dan tidak ada hubungannya dengan

Norwegia seperti yang diduga dari namanya. Seperti halnya mencit terdapat tikus

(15)

kekhususan tertentu antara lain galur sprague-dawley: berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang daripada badannya; galur wistar

ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan galur long-evans

yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada bagian

kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989).

Tikus putih merupakan hewan percobaan yang banyak digunakan dalam

penelitian laboratorium. Dalam pemanfaatannya tikus adalah hewan yang mudah

didapat, harganya murah dan dalam pengujian secara patologis sangat mudah

dilakukan. Melalui pengujian patologis/hispatologis akan dapat diketahui adanya

perubahan-perubahan pada fungsi organ seperti, perubahan fungsi hati (SGOT,

SGPT) dan fungsi ginjal (Kreatinin, BUN) akibat pengaruh metabolisme bahan.

Tujuan Penelitian

Selama ini khitosan dikenal sebagai salah satu produk yang tidak beracun,

oleh karena itu maka penelitian ini mempunyai tujuan umum adalah untuk

mengetahui pengaruh pemberian dan toksisitas CMC tarhadap gangguan

hispatologik pada hati dan ginjal tikus percobaan.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

- Mempelajari cara pengolahan CMC dengan karakteristiknya.

- Mengetahui pengaruh toksisitas CMC melalui perubahan kadar SGOT

(Serum Glutamic Oxaloacetic Transferase), SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transferase), Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) darah serta jaringan hati dan ginjal hewan percobaan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

kemungkinan adanya efek toksin dari CMC dan gangguan hispatologis yang

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Khitosan

Kulit udang yang mengandung senyawa kimia khitin dan khitosan

merupakan limbah yang mudah didapat dan tersedia dalam jumlah yang banyak,

yang selama ini belum termanfaatkan secara maksimal.

Saat ini budidaya udang di tambak telah berkembang dengan pesat,

karena udang merupakan komoditi ekspor yang dapat dihandalkan dalam

meningkatkan ekspor non-migas dan merupakan salah satu jenis biota laut yang

bernilai ekonomis tinggi. Udang di Indonesia pada umumnya diekspor dalam

bentuk udang beku yang dibuang bagian kepala, kulit, dan ekornya.

Sebagian besar limbah udang berasal dari kulit, kepala, dan ekornya.

Fungsi kulit udang tersebut pada hewan udang (hewan golongan invertebrata)

yaitu sebagai pelindung. Kulit udang mengandung protein (25–40 %), kalsium

karbonat (45–50 %), dan khitin (15–20 %), tetapi besarnya kandungan komponen

tersebut tergantung pada jenis udangnya. Sedangkan kulit kepiting mengandung

protein (15.60–23.90 %), kalsium karbonat (53.70–78.40 %), dan khitin (18.70–

32.20 %). Hal ini juga tergantung pada jenis kepiting dan tempat hidupnya

(Focher et al. 1992).

Limbah yang dihasilkan dari proses pembekuan udang, pengalengan

udang, dan pengolahan kerupuk udang berkisar antara 30 % –75 % dari berat

udang. Dengan demikian jumlah bagian yang terbuang dari usaha pengolah udang

cukup tinggi (Anonim 1994). Limbah kulit udang mengandung konstituen utama

yang terdiri dari protein, kalsium karbonat, khitin, pigmen, abu, dan lain-lain

(Anonim 1994).

Selama ini di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah

termanfaatkan dalam hal pembuatan kerupuk udang, petis, terasi, dan bahan

pencampur pakan ternak. Sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat dan

Jepang, limbah udang telah dimanfaatkan di dalam industri sebagai bahan dasar

pembuatan khitin dan khitosan. Manfaatnya diberbagai industri modern banyak

sekali seperti industri farmasi, biokimia, bioteknologi biomedikal, pangan, kertas,

(17)

mempunyai sifat sebagai bahan pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi (Lang

1995).

Khitosan adalah polimer linier berberat molekul tinggi dari 2-deoksi

2-amino-glukosa, merupakan produk deasetilasi dari khitin dengan alkali kuat,

bersifat polimer kationik sehingga tidak larut dalam air atau alkali pada pH di atas

6.5, tetapi dapat larut cepat dalam asam organik cair seperti asam formiat, asam

sitrat dan asam mineral kecuali sulfur. Khitosan disebut juga dengan mempunyai

kreatifitas kimia yang tinggi (Tokura 1995).

Khitosan merupakan senyawa yang tidak larut dalam air, larutan basa

kuat, sedikit larut dalam HCl dan HNO3, dan H3PO4, dan tidak larut dalam

H2SO4. Khitosan tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat

polietrolitik (Hirano 1989). Disamping itu khitosan dapat dengan mudah

berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein. Oleh karena itu,

khitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri terapan

dan industri kesehatan (Muzarelli 1986).

Sumber Khitosan

Sumber utama khitin dan khitosan yang dapat digunakan dalam

pengembangan lebih lanjut di perairan Indonesia adalah limbah udang. Suptijah

et al. (1992) menyatakan bahwa limbah udang dikategorikan menjadi tiga jenis berdasarkan jenis pengolahannya, yaitu :

a. Kepala udang yang biasanya merupakan hasil sampingan dari industri

pembekuan udang tanpa kepala.

b. Kulit udang yang biasanya merupakan hasil samping dari industri

pembekuan udang atau industri pengalengan udang.

c. Campuran keduanya yang biasanya berasal dari industri pengalengan

udang.

Johnson dan Peniston (1982) menyatakan bahwa kulit udang dan rajungan

merupakan limbah pengolahan udang dan rajungan yang mencapai 50–60 % dari

(18)

Sifat-sifat Fisikokimia Khitin dan Khitosan

Menurut Ornum (1992), khitin adalah suatu polimer linier yang tersusun

oleh 2.000-3.000 monomer N-asetil D-glukosamin dalam ikatan β (1-4). Khitin

mudah mengalami degradasi secara biologis, tidak beracun, tidak larut dalam air,

asam anorganik encer, dan asam-asam organik tetapi larut dalam dimetil

asitamida dan lithium klorida.

Knorr (1982) menyatakan bahwa khitosan merupakan polimer rantai

panjang glokosamin (2-amino-2 deoksiglukosa). Menurut Ornum (1992), khitosan

mempunyai sifat-sifat tertentu yaitu: struktur molekulnya dalam keadaan cair

sensitif terhadap kekuatan ion tinggi, daya refulsif antara fungsi amin menurun

sesuai dengan fleksibelitas rantai khitosan, dan pendekatannya dalam ruang

distabilkan oleh ikatan hidrogen menghasilkan suatu molekul resisten yang tahan

terhadap stres mekanik dan kemampuan berkembang bertambah.

Khitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai

karbonnya pada posisi C2. Hal ini menyebabkan khitosan bermuatan positif yang

berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum 1992). Bahan-bahan seperti

protein, anion polisakarida dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan

berinteraksi kuat dengan khitosan berbentuk ion netral (Sandford 1989).

Khitin dan khitosan merupakan senyawa kimia yang mudah

menyesuaikan diri, hidrofobik (tidak larut dalam air tetapi larut dalam asam),

memiliki reaktivitas tinggi (karena mengandung gugus –OH dan gugus NH2)

untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan penukar ion). Disamping

itu, khitosan tidak larut dalam basa atau media campuran asam basa dan posisi

silang khitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan khitin (Muzarelli, 1977

dalam Zeng 1997).

Menurut Austin (1984), khitosan tidak larut dalam air, larutan alkali pada

pH di atas 6.5 dan pelarut organik, tetapi larut dengan cepat dalam asam organik

encer seperti asam format, asam asetat, asam sitrat, dan asam mineral lain kecuali

sulfur. Sifat kelarutan khitosan dipengaruhi oleh berat molekul, derajat deasetilasi

dan rotasi spesifik yang dapat bervariasi dan tergantung dari sumber dan metode

(19)

Pernyataan di atas didukung oleh Ornum (1992) yang menyatakan bahwa

khitosan dapat larut dalam suatu larutan asam organik tetapi tidak larut dalam

pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6.5.

Pelarut khitosan yang baik adalah asam format dengan konsentrasi 0.2–1.0 %,

sedangkan pelarut yang umum digunakan adalah asam asetat dengan konsentrasi

1–2 %.

Khitosan memiliki sifat reaktivitas kimia yang tinggi, menyebabkannya

mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan

non polar yang dikandungnya. Karena kemampuan tersebut, khitosan dapat

digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik, sebagai

pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987).

Menurut Sandford dan Hutchings (1987), khitosan berbentuk tepung,

serpihan maupun larutan. Pada umumnya mutu khitosan terdiri dari beberapa

parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, kelarutan, warna dan derajat

deasetilasi (Ornum 1992).

Khitosan adalah produk deasetilasi dari khitin dengan menggunakan

larutan alkali (Johnson dan Peniston 1982), khitin di alam tidak berada dalam

keadaan murni tetapi bergabung dengan unsur-unsur lain seperti: protein, mineral

dan berbagai macam pigmen. Khitin berikatan kovalen dengan sebagian protein

dan berasosiasi dengan unsur mineral membentuk mokopolisakarida yang

berfungsi sebagai material pelindung pada udang. Oleh sebab itu untuk

(20)

perlakuan yang sesuai dengan karakter asosiasi khitin dengan protein dan

mineral.

Khitin didapat dengan jalan ekstraksi bahan baku untuk memisahkan

komponen-komponen mineral, protein, lemak dan lain-lain sebagai komponen

pengotor. Proses-proses demineralisasi dan deproteinasi sangat perlu dilakukan

dalam pemurnian khitin. Proses demineralisasi dapat dilakukan dengan

menambahkan HCl 1 N dengan perbandingan bobot bahan dan volume

pengekstrak 1:7 (b/v) dipanaskan pada suhu 70-75 oC selama satu jam (Suptijah et al. 1992). Pemisahan mineral bertujuan untuk menghilangkan senyawa anorganik yang ada pada limbah tersebut. Mineral utama yang terdapat pada kulit udang

adalah kalsium dalam bentuk CaCO3 dan sedikit Ca3(PO4)3 (Purwatiningsih

1993).

Deproteinasi dilakukan untuk menghilangkan protein dari limbah udang.

Keefektivan proses tersebut tergantung dari kekuatan larutan basa dan tingginya

suhu yang digunakan. Menurut Suptijah et al. 1992, bahwa penggunaan NaOH 3.5 % dengan pemanasan 60 oC selama dua jam dapat dilakukan sebagai alternatif

deproteinasi. Penghilangan gugus asetil (-COCH3) dari khitin dilakukan dengan

menggunakan larutan NaOH pekat (50 %) dengan perbandingan 1:20 b/v

dipanaskan pada suhu 120-140 oC selama satu jam.

Gambar 1 Struktur molekul khitin

(21)

Aplikasi Khitin dan Khitosan

Khitosan digunakan di dalam berbagai industri, antara lain sebagai

perekat kualitas tinggi, pemurnian air minum (mempunyai daya koagulasi/daya

penghilangan partikel koloid), sebagai senyawa pengkelat, meningkatkan zat

warna dalam industri kertas, tekstil dan pulp karena sifatnya yang baik untuk

mencegah pengerutan. Khitosan juga dapat digunakan sebagai pengangkut

(carrier) obat dan komponen alat-alat operasi seperti sarung tangan, benang operasi, membran pada operasi plastik (Angka dan Suhartono 2000).

Dalam bidang pertanian, kompleks khitin dengan protein dapat

dicampurkan ke dalam tanah untuk mengurangi resiko serangan cacing parasit

terhadap tanaman dan dapat meningkatkan sekresi enzim khitinase pada tanaman.

Dalam industri kosmetika, khitin dapat digunakan sebagai pengemulsi, bahan

pelembab dan juga sebagai pencahar (Ditjen Perikanan 1989).

Pada bidang industri pangan, senyawa komplek micro chrystalin chitin (mcc) merupakan salah satu turunan khitin yang banyak digunakan dalam industri

pangan sebagai bahan pengental (pembentuk gel) yang sangat baik dan juga

bermanfaat sebagai pengikat, penstabil, pembentuk tekstur, enkapsulasi dan film

formatin (Stand dan Ali 1982).

Dalam bidang industri, manfaat khitin dan khitosan paling luas dalam

pengolahan limbah cair. Menurut Knorr (1984), terdapat tiga hal penting untuk

aplikasi khitin dan khitosan dimasa yang akan datang, yaitu sebagai bahan

fungsional yang digunakan dalam proses water treatment, sebagai bahan fungsional dalam industri pangan, dan sebagai polimer hasil turunan baru yang

digunakan dalam bidang teknologi polimer.

Di bidang kesehatan, khitin dan khitosan telah dimanfaatkan sebagai

bahan anti tumor, sebab mempunyai kemampuan penggumpalan sel-sel leukemia

dan mempunyai sifat anti bakterial dan anti koagulasi dalam darah. Khitosan

dapat digunakan untuk membuat lensa dari polimer khitin, dan sebagai bahan anti

kolesterol. Selain itu khitosan juga dapat digunakan sebagai pengganti tulang

(22)

Khitosan Larut Air

Khitosan larut air adalah suatu senyawa turunan khitosan yang dapat larut

dalam air, dan memiliki banyak potensi untuk diaplikasikan pada pembuatan

obat-obatan, kosmetik, pengawetan makanan dan kesehatan (Davies et al. 1989). Selanjutnya Davies et al. (1989) juga menyatakan bahwa khitosan larut air merupakan senyawa yang secara kimia lebih stabil, larut dalam air,

biodegradable, biocompatible, non tosik dan dapat menyerap logam berat.

Isolasi khitosan larut air dapat dilakukan dengan metode Bader dan

Birkholz (1997) melalui penambahan monokloroasetat terhadap khitosan dalam

suasana alkali. Proses tersebut disebut proses karboksimetilasi, yaitu proses

pengubahan khitosan ke sifat basa, dimana khitosan dilarutkan dalam larutan asam

asetat, diendapkan dengan penambahan natrium hidroksida dan terakhir

direaksikan dengan asam monokloroasetat yang bertujuan untuk mengganti ion

hidrogen (ion H) pada gugus hidroksil (OH) dan gugus amin (NH2).

Pada kondisi alkali reaksi khitosan dengan monokloroasetat akan

menghasilkan khitosan dengan reaksi sebagai berikut:

a. Tahap pertama

Khitosan dengan natrium hidroksida bereaksi membentuk alkoksida.

ROH + NaOH RO-Na+ + H2O

ROH = Khitosan

Gugus hidroksil pada struktur khitosan merupakan asam lemah, sehingga

apabila konsentrasi natrium hidroksida yang digunakan semakin tinggi, maka

akan semakin tinggi pula produksi alkoksida dan hasil reaksi.

b. Tahap kedua

Subsitusi klorida dari asam monokloroasetat ke dalam bentuk alkoksida

khitosan menjadi khitosan larut air.

RO-Na+ + CH2COOH CH2COOH + NaCl

(23)

Disamping reaksi tersebut terjadi kompetisi reaksi subsitusi dari OH- pada asam

monokloroasetat.

2NaOH + CH2COOH CH2COOH + NaCl + H2O

Cl OH

Walaupun RO- merupakan alkali kuat jika dibandingkan dengan OH-, rantai R

sangat panjang dan menyebabkan sulit bereaksi (Doan 2001).

Khitosan larut air dapat diaplikasikan pada berbagai bidang seperti

kosmetika, pengawet makanan, kesehatan dan agrikultur. Pada buah-buahan dapat

ditingkatkan umur simpannya dan tetap segar setelah keluar dari pendingin

dengan menggunakan lapisan tipis (film) khitosan larut air. Selain itu, khitosan

larut air juga berguna sebagai pengkhelat tembaga (Cu) pada air limbah,

antikoagulan dan juga sebagai zat antimikroba (Angka dan Suhartono 2000).

Gambar 3 Struktur khitosan larut air

Hewan Percobaan

Tikus putih sangat baik sebagai hewan percobaan, karena tikus dapat

berkembangbiak sama seperti mencit. Dalam beberapa percobaan tikus lebih

menguntungkan terutama karena tubuh tikus yang lebih besar bila dibandingkan

dengan mencit. Tikus memiliki metabolisme tubuh tertentu yang membedakannya

(24)

Pada kenyataannya bila dibandingkan dengan tikus liar, tikus percobaan

atau tikus laboratorium lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan

musiman dan umumnya lebih cepat berkembangbiak. Berat badan tikus

4 minggu rata-rata mencapai 35–40 g dan bobot berat badan tikus dewasa rata-rata

200–250 g, tetapi dapat lebih atau kurang dari batas tergantung pada galur (Smith

dan Mangkoewidjojo 1988).

Untuk memenuhi kebutuhan makanan tikus, di Indonesia dipakai makanan

ayam petelur (kandungan protein 18 %) yang mudah didapat di toko makanan

ayam, karena sudah mencukupi bahkan melebihi kebutuhan tikus yang hanya

memerlukan 12 % protein. Pengalaman menunjukkan bahwa pemberian

kecambah kacang hijau dapat meningkatkan fertilitas tikus. Seekor tikus dewasa

membutuhkan 5 g makanan dan 10 ml air minuman per hari per 100 g berat

badan. Tingkat konsumsi makanan dipengaruhi oleh temperatur kandang,

kelembaban, kesehatan, dan kualitas makanan itu sendiri. Sebagai hewan

nokturnal, tikus aktif makan di malam hari (Malole dan Pramono 1989).

Toksisitas Khitosan

Struktur kimia dari khitin dan khitosan menghasilkan kadar toksisitas

yang sangat rendah. Berat molekul yang tinggi dan kandungan enzim yang sangat

rendah untuk mendegradasi rangkaian ß-glukosidik di dalam sistem

gastrointestinal manusia. Khitin dan khitosan dapat diekskresikan tanpa

terjadinya perubahan pada feses dan tidak terjadinya absorpsi yang tinggi.

Rendahnya absorpsi ini diharapkan dapat menghindari sistem toksisitas yang

tinggi (Weiner 1988).

Sangat rendahnya daya toksisitas dari khitosan telah diuji oleh Arai et al.

(1968) dengan menggunakan tikus betina. Penambahan LD-50 secara oral > 10

g/kg mengindikasikan sangat rendahnya kadar toksisitas. Dalam laporan lainnya,

ketika menggunakan khitosan sebagai makanan tambahan, Bough dan Landers

(1976), memberikan makanan diet kepada tikus dari kasein, padatan air dadih

(susu kerbau yang difermentasi) atau padatan air dadih yang terkoagulasi yang

(25)

Dalam hal ini tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam kelompok

tikus selama 3 bulan pemberian makanan tambahan. Dalam penelitian selanjutnya

dengan melakukan pengujian terhadap tikus jantan dengan memberikan makanan

yang mengandung makanan diet dengan kandungan 1.0 %, 2.5 %, 5.0 %, 10.0 %

dan 15.0 % khitosan yang mengandung sellulosa. Perkembangan yang sangat

cepat akan meningkatkan dan menurunkan pemanfaatan makanan yang terdapat

dalam khitosan pada dosis 10 % dan 15 %. Hal ini diharapkan untuk mengurangi

kandungan nutrisi yang disebabkan oleh pertukaran porsi yang besar dari

makanan tambahan yang tidak mengandung serat dan yang tidak dapat dicerna.

Berat ginjal, hati dan limpa juga terjadi penurunan berat pada dosis 10 % dan 15

%, sesuai dengan yang diharapkan sebagai pembuka untuk tingkatan yang lebih

tinggi dalam diet. Tidak ada sifat toksisitas yang lain yang berpengaruh sangat

signifikan disini.

Terjadinya toksisitas pada jaringan, yang pada pemeriksaan histologi

tampak berupa degenerasi sel bersama-sama dengan pembentukan vakuola besar,

penimbunan lemak dan nekrosis, patut mendapat perhatian yang besar. Kerja

toksik jenis ini tidak mengubah fungsi sel (misalnya kandungan glikogen atau

konsentrasi berbagai enzim), tetapi struktur sel langsung dirusak. Efek toksik yang

demikian sering terlihat dalam jaringan hati dan ginjal, segera setelah senyawa

toksik mencapai konsentrasi yang tinggi dalam organ ini. Ini memberikan

petunjuk yang jelas bahwa disini terjadi lesi (luka) kimia pada biopolimer organel

sel (Wattimena et al. 1986). Efek lain adalah terjadinya ketidak normalan fungsi hati dan ginjal yang dapat berpengaruh kepada kegagalan fungsi kedua organ

tersebut. Parameter yang biasa digunakan adalah komposisi kimia darah seperti

SGOT, SGPT, Kreatinin dan BUN.

Salah satu kelebihan penelitian hewan ialah kita dapat menggunakan satu

atau beberapa dosis yang relatif tinggi yang menginduksi tanda-tanda toksisitas.

Tanda-tanda ini akan membantu menunjukkan secara tepat organ sasaran dan efek

khusus yang kemudian dapat diperiksa secara kritis pada hewan yang diberi dosis

yang lebih rendah. Penggunaan dosis tinggi semacam itu sebagian juga dapat

menyingkirkan kebutuhan untuk memakai sejumlah besar hewan dalam

(26)

dikendalikan secara ketat dan efek toksik dapat ditentukan dengan menggunakan

berbagai jenis pengukuran (Frank 1995).

Hewan yang paling banyak digunakan adalah tikus dan mencit. Hewan ini

digunakan karena mudah didapat, ukurannya kecil, harganya murah, mudah

ditangani, dan data toksikologinya relatif banyak. Selain itu, penetapan toksisitas

pada hati dan ginjal sering merupakan bagian penelitian jangka pendek dan jangka

panjang yang biasanya dilakukan pada tikus dan mencit (Gray 1976).

Penurunan Berat Badan

Kelompok tikus yang mendapatkan penambahan khitosan dapat

mengalami penurunan berat badan. Keberadaan khitosan dan nutrisi lainnya

sebagai serat makanan diduga dapat mengganggu penyerapan lemak, karena serat

makanan ini dapat mengikat asam empedu, sedangkan asam empedu berperan

untuk mengemulsifikasi lemak sehingga mudah dicerna dan diserap oleh tubuh

(Bari 2001).

Selain itu serat makanan terbukti dapat mempengaruhi aktifitas

enzim-enzim protease dengan menggunakan hewan percobaan (Muchtadi 1989).

Keberadaan serat makanan dapat mengganggu efisiensi penggunaan protein oleh

tubuh sehingga penambahan berat badan akan terhambat.

Kadar lemak yang cenderung menurun akibat pemberian tepung cangkang

udang disebabkan TCU (True Color Unit) mengandung khitin alami yang memiliki kemampuan absorpsi lemak (Gallaher 2003). Hasil penelitian ini sesuai

dengan Ikeda et al. (1989) yang dikutip oleh Sudibya (1999), bahwa tikus yang diberi pakan yang mengandung kolesterol, asam oleat dan serat yang terdiri dari

selulosa dan khitosan, ternyata serat yang dikandung oleh khitosan dapat

(27)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan

Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2B) Slipi Jakarta Pusat, mulai pada

bulan Juni 2004 sampai dengan Februari 2006. Kemudian dilanjutkan di

Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan selama 3 minggu yaitu mulai tanggal

14 Maret sampai tanggal 2 April 2006. Untuk analisis hispatologi dilaksanakan di

Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan

1. Bahan baku

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit udang putih

dari jenis udang Amerika (Litopenaeus vannamei) dalam kondisi segar yang diperoleh dari PT. Sentral Pertiwi Bahari, Muara Baru Jakarta Utara.

Kulit udang dimasukkan ke dalam cool box yang telah dilapisi es sampai

penuh, kemudian ditutup lagi dengan lapisan es sampai menutupi seluruh

permukaan kulit udang agar tetap dalam kondisi dingin dan segar hingga

sampai ke tempat pengolahan.

2. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah natrium oksida

(NaOH), asam klorida (HCL), kalium bromida (KBr), asam asetat (H2Ac),

methanol, asam borat (H2BO3), asam monokloroasetat, aquades, indikator

Toshiro, asam sulfat (H2SO4), iso propil alkohol (IPA), garam Kjeldahl,

kloroform, regen analisis SGOT dan SGPT dan regen hispatologi.

3. Hewan percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih

(Rattus norvegicus) jantan galur Sprague Dawley, yang diperoleh dari Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan sebanyak 15 ekor dengan berat

(28)

4. Pakan

Pakan yang diberikan adalah jenis pakan standar berbentuk cramble yang diproduksi oleh PT. Indonesia Formula Feed, Kedung Badak Bogor

dengan komposisi protein 20 %, lemak 6 %, serat kasar 6 %, Abu 9 % dan

M. E 2.700 Kcal/Kg. Bahan baku pakan ini terdiri dari jagung kuning,

bungkil kedelai, tepung ikan, dedak gandum, bungkil kalapa,

Dl-Methionin, L-Lysin, vitamin dan mineral.

Alat

1. Alat pengolahan dan analisis

Alat yang digunakan dalam pengolahan khitin, khitosan dan analisis CMC

antara lain adalah cool box, dandang, keranjang, timbangan, para-para,

gelas ukur, baker gelas, labu Kjeldahl, viskometer, kompor gas, oven,

desikator, thermometer, FTIR spektrofotometer, lakmus, pH meter, pipet,

cawan porselin, pengaduk, kertas saring, water bath, hotplate stirer, tanur, dan peralatan lain yang diperlukan. Peralatan untuk keperluan analisis

adalah; wadah pembiusan (killing jar), gunting, pisau bedah, pinset, baki bedah, spuit 3 ml, wadah tempat spesimen organ dan darah, timbangan

analitik, pipet volumetrik, photometer Biosystems BTS–330 dan

mikroskop optik merk Olympus jenis polarizing.

2. Alat pemeliharaan tikus

Tempat yang digunakan untuk pemeliharaan tikus adalah kandang yang

terbuat dari wadah plastik yang berukuran panjang x lebar x tinggi

(30 x 25 x 10 cm) dan tertutup kawat kasa serta disusun berdasarkan

perlakuan percobaan. Wadah tempat pakan juga terbuat dari bahan plastik

berbentuk mangkuk dan wadah tempat minum dengan memakai botol

bekas yang telah dipasang selang tetesan air.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui 2 tahap. Tahap I meliputi proses

pengolahan dan penentuan karakterisasi CMC. Tahap II merupakan tahap aplikasi

CMC pada tikus percobaan untuk melihat kadar toksisitas melalui analisis

(29)

Glutamic Piruvic Transferase), Kreatinin dan BUN (Blood Urea Nitrogen) dan analisis histopatologi terhadap jaringan hati dan ginjal.

Penelitian Tahap I

Pelaksanaan penelitian tahap I meliputi persiapan bahan baku kulit udang,

pengolahan khitin, khitosan menjadi CMC dan analisis proksimat serta

menentukan karakterisasinya. Penelitian tahap I ini juga lebih ditekankan pada

pengolahan CMC dengan perlakuan suhu, yaitu suhu 50 oC, 70 oC dan 90 oC. Dari

ketiga perlakuan suhu tersebut, maka diambil satu perlakuan suhu saja yang

mempunyai hasil terbaik untuk diaplikasikan pada hewan percobaan.

Pengolahan Khitin (Suptijah et al. 1992)

a. Demineralisasi

Bahan baku yang sudah berupa kulit udang kering dicampur dengan HCl

0.1 N dengan perbandingan 1 : 20 (1 lt HCl dilarutkan dalam 20 lt air). Dalam

proses pencampuran ini, dilakukan pengadukan supaya terjadi reaksi antara

mineral dengan HCl. Setelah itu campuran didiamkan selama 2 jam, kemudian

dilakukan pencucian dan penyaringan dengan air sampai pH netral.

b. Deproteinasi

Bahan hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3.5 % dengan

perbandingan 1 : 10 (1 kg NaOH dilarutkan dalam 10 lt air). Selanjutnya

campuran dipanaskan pada suhu 70 oC selama 2 jam. Setelah itu dilakukan

penyaringan dan pencucian dengan air sampai pH netral, dikeringkan dan

diperoleh khitin.

Pengolahan Khitosan (Suptijah et al. 1992)

Khitin yang dihasilkan direndam dalam larutan NaOH pekat 60 % dengan

perbandingan 1 : 20 (1 kg NaOH dilarutkan dalam 20 lt air). Kemudian khitosan

dipanaskan pada suhu 70 oC selama 72 jam sambil diaduk. Setelah proses

deasetilasi selesai, selanjutnya dilakukan penirisan dan pencucian dengan air

sampai pH netral. Khitosan dijemur sampai kering sehingga diperoleh khitosan

(30)

Pengolahan Khitosan Larut Air (CMC)

Proses pengolahan CMC dilakukan berdasarkan metode Bader dan

Birkholz (1997) yang dimodifikasi. Khitosan yang telah diblender dilarutkan

dalam larutan asam asetat 1 % pada suhu kamar. Setelah larut ditambahkan

natrium hidroksida 30 % (75 ml) sehingga larutan menjadi alkali dan membentuk

gel khitosan. Gel yang terbentuk dipisahkan dengan penyaringan dan diperas

untuk memisahkan gel dengan larutan sampai membentuk gumpalan setengah

kering. Gumpalan tersebut dileburkan kembali untuk proses karboksimetilasi

dengan cara menambahkan asam monokloroasetat dengan perbandingan 1 : 1.

Proses karboksimetilasi dilakukan pada suhu 70 oC selama 3 jam.

Kemudian didinginkan dan dilakukan pengaturan pH menjadi 4 dengan

menambahkan natrium hidroksida 10 %, dilanjutkan dengan proses presipitasi

menggunakan iso propil alkohol. Hasil presipitasi dikeringkan di bawah terik

matahari sampai kering dan digiling sehingga dihasilkan CMC berbentuk serbuk.

CMC ditimbang dan siap untuk digunakan dan dianalisis. Terhadap produk yang

dihasilkan diamati viskositas, kelarutan, rendemen, pH, kadar air, kadar abu,

protein, nitrogen dan derajat deasetilasi untuk mendapatkan hasil karakterisasinya.

Proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar berikut:

Limbah Udang Pencucian

Perendaman

NaOH 2 %, 2 jam

Pengeringan

Demineralisasi

HCl 0.1 N, 1:20, 70 oC, 2 jam

Pencucian

Deproteinasi

NaOH 3.5 %, 1:10, 70 oC, 2 jam

Pencucian Khitin

(31)

Khitin Deasetilasi

NaOH 60 %, 70 oC, 72 jam

Pencucian Sampai pH netral

Pengeringan Khitosan

Gambar 5 Diagram proses pembuatan khitosan (modifikasi Suptijah 1992)

Khitosan Pelarutan asam asetat 1 %

Alkalinasi NaOH 30 %

Gel khitosan

Karboksimetilasi

asam monokloroasetat 1 : 1, 70 oC, 3 jam

Pengaturan pH NaOH 10 %

Presipitasi iso propil alkohol

Pengeringan Khitosan larut air

Gambar 6 Diagram proses pembuatan khitosan larut air (modifikasi Bader dan

(32)

Analisis

Kadar Air (Sulaeman et al. 1992)

Kadar air ditentukan dengan menggunakan cara oven pada suhu 105 oC.

Sampel ditimbang sebanyak 1.5 g dan dikeringkan dalam oven sampai beratnya

konstan. Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus:

Cawan dikeringkan dalam oven pada suhu 103 oC selama 30 menit, lalu

didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 3–5 g di

dalam cawan, lalu diletakkan dalam tanur pada suhu 550 oC selama 4–5 jam

hingga diperoleh abu yang berwarna putih keabuan. Kemudian didinginkan dalam

desikator, lalu ditimbang.

Sampel ditimbang sebanyak 0.01–0.02 g, lalu dimasukkan ke dalam labu

kjeldahl 50 ml. Ditambahkan K2SO4 dan HgO (1 : 1) sebanyak 2 g dan 2 ml

H2SO4 pekat. Sampel didestruksikan hingga menjadi cairan berwarna hijau

bening, kemudian ditimbangkan.

Sampel yang telah dingin dibilas dengan aquades, lalu dimasukkan ke

dalam alat destilasi serta ditambahkan 10 ml NaOH pekat. Kemudian sampel

didestilasi dan destilat ditangkap dengan 5 ml asam borat jenuh yang telah diberi

2–4 tetes indikator (campuran metal merah 2 % dan metal biru 0.2 % dalam

(33)

dengan menggunakan HCl 0.02 N yang telah distandardisasi hingga berwarna

Langkah-langkah pengukuran kadar nitrogen adalah sebagai berikut:

sampel sebanyak 5 g dan satu buah tablet kjeltec dimasukkan ke dalam tabung

kjeltec, kemudian ditambahkan 10 ml asam sulfat 0.1 N. Selanjutnya bahan

didestruksi pada suhu 430 oC sampai warna larutan menjadi bening, kemudian

dilakukan tahap destilasi dengan menggunakan kjeltec. Hasil proses destilasi ini

dititrasi dengan HCl 0.1 %. Selanjutnya dilakukan pembuatan larutan blanko,

langkah-langkah pembuatannya hampir sama dengan pembuatan larutan sampel,

akan tetapi larutan blanko tidak menggunakan sampel pada tahap destruksi. Kadar

nitrogen dihitung dengan menggunakan persamaan:

Nitrogen (%) = [ ( 14,01 x (A-B) x C) ] x 100%

Spektrum infra merah bahan dapat dibuat dengan menggunakan

spektrofotometer FITR Perkin Elmer. Frekwensi yang digunakan berkisar antara

4.000 cm-1. Sampel sebanyak 5 mg digerus dengan 200 mg serbuk KBr.

Kemudian sampel yang telah tercampur homogen dengahn KBr dicetak sehingga

menghasilkan cetakan tipis transparan dan dianalisa dengan spektrofotometer

infra red. Nilai persen N-deasetilasi dapat dihitung dengan rumus:

(34)

% N- deasetilasi = 100%

Keterangan: A1 = Absorbansi pada panjang gelombang 1.640 – 1.700 cm-1

A2 = Absorbansi pada panjang gelombang 3.200 – 3.500 cm-1

1.33 = Perbandingan A1 dengan A2 pada N-deasetilasi 100 %

Viskositas (Sophanodora dan Benjakula, 1993)

Khitosan sebanyak 2 g dilarutkan dalam 200 ml asam asetat 2 %.

Selanjutnya dilakukan pengukuran nilai viskositas menggunakan viskometer

rotari model BM. Rotari yang digunakan saat pengukuran viskositas adalah rotari

no. 2 dengan kecepatan putaran 60 rpm. Sedangkan untuk CMC dilarutkan dalam

aquades dengan konsentrasi 1 % pada suhu kamar. Kemudian diukur dengan

menggunakan spindel dan dengan kecepatan putaran yang sama. Nilai viskositas

dihitung dengan menggunakan rumus:

Viskositas (Cps) = nilai terukur x (konstanta R-2, v 60 rpm)

Kelarutan

Menggunakan metode Lembono (1989). Kertas saring dikeringkan dalam

oven selama 30 menit dan ditimbang. Kemudian dilakukan penyaringan terhadap

1 g khitosan yang dilarutkan dalam 100 ml asam asetat 1 % dengan menggunakan

pompa vakum. Sedangkan untuk CMC dilarutkan dalam aquades. Kertas saring

kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 3 jam. Setelah itu

masukkan dalam desikator selama 15 menit dan timbang.

Kelarutan = x100%

Penelitian tahap II dilakukan untuk mengaplikasikan CMC pada tikus

percobaan dengan tujuan pengujian toksisitasnya. CMC dijadikan sebagai bahan

(35)

CMC terhadap biokimia darah (SGOT, SGPT, Kreatinin dan BUN) dan

perubahan pada jaringan hati dan ginjal secara hispatologis.

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley yang berumur 8 minggu, bobot badan antara 130–175 g sebanyak 15 ekor yang diperoleh dari Laboratorium Lapang Fakultas

Peternakan IPB Bogor. Sebelum digunakan untuk percobaan, semua tikus

diaklimatisasi selama 4 hari untuk menyesuaikan lingkungan dan mengontrol

bobot badannya. Setelah melewati masa aklimatisasi semua tikus ditimbang dan

ditempatkan dalam kandang sesuai dengan kelompok perlakuan. Selama

penelitian berlangsung, tikus diberi pakan dengan komposisi nutrisi standar

dengan panambahan persentase CMC dan minuman air selama 3 minggu sebelum

dilakukan analisis. Berdasarkan pengamatan terhadap konsumsi pakan selama

proses aklimatisasi berlangsung, maka kebutuhan konsumsi pakan per ekor tikus

adalah sebanyak 20 g per hari.

Pengambilan Darah dan Organ

Sebelum dilakukan pembedahan, tikus terlebih dahulu dibius dengan

menggunakan kloroform dengan cara memasukkan tikus ke dalam killing jar. Hal

ini dilakukan karena melalui proses pembiusan lebih layak bila dilihat dari segi

etika terhadap hewan percobaan. Setelah pingsan tikus diambil darahnya dari

bagian atrium jantung dengan menggunakan spuit 3 ml. Kemudian tikus

dimasukkan kembali ke dalam wadah yang telah diberi kloroform untuk beberapa

sat hingga tikus mati. Hati dan ginjal diambil dengan cara dibedah setelah tikus

mati untuk dianalisis kadar toksisitas dan untuk pembuatan preparasi hispatologi.

Setelah selesai maka semua tikus dibuang. Selanjutnya jaringan tersebut

dipreparasi dengan pewarnaan hematoxylin-eosin (HE) dan diamati di bawah

mikroskop optik merk Olympus jenis polarizing dengan 40 kali pembesaran.

Sedangkan pada analisis darah yang diamati adalah Kreatinin, BUN, SGPT/ALT

dan SGOT/AST darah dengan menggunakan metode IFCC (International

(36)

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor perlakuan yang diterapkan adalah suhu

proses yaitu; suhu 50 oC, 70 oC dan 90 oC selama 3 jam dan masing-masing

perlakuan diulang 3 kali. Sedangkan pada pengujian toksisitas, yang menjadi

faktor pengamatan adalah persentase khitosan larut air yang dicampur dengan

pakan yaitu; CMC0 = 0 %, CMC1 = 0.5 %, CMC2 = 1 %, CMC3 = 1.5 % dan

CMC4 = 2 %. Masing-masing perlakuan diulang 3 kali.

Model matematika yang digunakan dalan Rancangan Acak Lengkap ini

(Steel dan Torrie 1989) adalah:

Yijk = μ + Ai + Bj + Σij

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan

μ = Nilai tengah

Ai = Pengaruh perlakuan pada taraf ke-i

Bj = Pengaruh perlakuan pada taraf ke-j Σij = Pengaruh sisa dari ulangan

Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA)

dengan uji-F. Suatu perlakuan memberikan pengaruh nyata apabila Fhitung >

Ftabel dengan derajat bebas tertentu pada taraf 5 % dan berpengaruh sangat nyata

apabila nilai Fhitung > Ftabel dengan derajat bebas tertentu pada taraf 1 %. Uji

lanjut yang digunakan untuk mengetahui taraf terbaik dari masing-masing

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Tahap I

Penelitian tahap I dimaksudkan untuk mempelajari proses pengolahan

khitosan menjadi CMC. Hasil rendemen yang diperoleh pada pengolahan khitosan

larut air ini berkisar antara 91.66 % sampai 98.82 %. Untuk hasil terendah

terdapat pada perlakuan suhu 50 oC, sedangkan hasil tertinggi terdapat pada

perlakuan suhu 90 oC dengan perlakuan alkalinasi natrium hidroksida 60 % dari

khitosan hasil deasetilasi selama 72 jam.

Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa viskositas CMC

yang dihasilkan sangat bervariasi. Hasil analisis viskositas tertinggi dihasilkan

pada perlakuan suhu 70 oC yaitu sebesar 338.33 Cps dan viskositas terendah

terdapat pada perlakuan suhu 50 oC adalah sebesar 123.67 Cps. Dari hasil sidik

ragam ternyata diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0.05) pada semua

perlakuan, dimana perlakuan suhu 50 oC berbeda nyata dengan perlakuan suhu

70 oC dan 90 oC, demikian juga dengan perlakuan suhu 70 oC berbeda nyata

(P<0.05) dengan perlakuan suhu 90 oC. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi suhu

maka viskositas CMC akan semakin menurun (Lampiran 1).

Viskositas CMC tidak menunjukkan kecenderungan yang jelas. Terdapat

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi viskositas seperti lama proses

karboksimetilasi, suhu dan konsentrasi NaOH yang digunakan. Pada proses ini

biasanya membutuhkan waktu proses yang lebih lama, penggunaan suhu dan

konsentrasi NaOH yang tinggi akan berakibat pada menurunnya nilai viskositas

CMC yang dihasilkan. Hal ini disebabkan oleh proses depolimerisasi (pemutusan

rantai polimer) sehingga menghasilkan khitosan dengan rantai yang lebih pendek.

Kelarutan CMC juga menunjukkan tingkat kelarutan yang bervariasi.

Tingkat kelarutan CMC berkisar antara 95.08 % sampai 99.84 %. Kelarutan CMC

tertinggi diperoleh pada perlakuan suhu 70 oC, sedangkan hasil terendah

dihasilkan pada perlakuan suhu 50 oC. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam

ternyata kelarutan diperoleh hasil yang berbeda nyata (P<0.05) antara perlakuan

suhu 50 oC dengan perlakuan suhu 70 oC dan 90 oC, sedangkan perlakuan suhu

(38)

menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan suhu maka kelarutan CMC akan

meningkat, yang berarti bahwa perlakuan suhu karboksimetilasi berpengaruh

nyata (P<0.05) terhadap kelarutan CMC (Lampiran 1).

Kalarutan suatu zat juga tergantung pada ukuran partikel dan struktur zat

itu sendiri. Kelarutan naik dengan turunnya ukuran partikel sehingga sebelum

dilarutkan dalam air, dilakukan penghalusan CMC yang setelah dikeringkan.

Gambaran struktur seperti perbandingan gugus polar terhadap gugus nonpolar dari

molekul akan mempengaruhi kelarutan zat tersebut. Bila ada gugus polar

tambahan dalam molekul maka kelarutan dalam air meningkat seperti pada

khitosan yang larut dalam air. Dengan adanya substitusi gugus karboksimetil dari

asam-asam monokloroasetat pada struktur khitosan maka terdapat gugus polar

tambahan dalam molekul yang menyebabkan CMC dapat larut dalam air.

Hasil viskositas dan kelarutan CMC tertinggi dari perlakuan suhu 70 oC.

Hal ini dikarenakan khitosan tersebut mempunyai derajat deasetilasi tertinggi

(63.51) sehingga mempunyai gugus amin paling banyak dalam struktur

molekulnya. Gugus karboksimetil dari asam monokloroasetat akan menggantikan

gugus hidroksil dan gugus amin dari struktur khitosan, sehingga dengan

banyaknya gugus amin yang tersedia pada struktur khitosan akan meningkatkan

substitusi gugus karboksimetil yang dapat meningkatkan hasil CMC. Dengan

meningkatnya substitusi gugus karboksimetil ke gugus hidroksil maupun amin

akan menyebabkan CMC yang dihasilkan semakin bersifat polar sehingga

meningkatkan kelarutan dalam air. Jika CMC yang larut dalam air semakin

banyak maka akan meningkatkan viskositas larutan.

Hasil analisis kadar air berkisar antara 17.12 % sampai 20.76 %. Kadar air

tertinggi dihasilkan pada perlakuan suhu 50 oC dan kadar air terendah dihasilkan

pada perlakuan suhu 70 oC. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kadar air CMC, dimana perlakuan

90 oC berbeda nyata dengan perlakuan suhu 50 oC dan 70 oC. Sedangkan

perlakuan suhu 50 oC tidak berbeda nyata dengan perlakuan suhu 70 oC. Hal ini

disebabkan oleh kontinuitas proses pengeringan yang tidak stabil, kelembaban

yang tinggi dalam ruang penyimpanan dan kemampuan CMC dalam menyerap air

(39)

Nilai pH dihasilkan berkisar antara 4.33 sampai 4.57. Untuk nilai pH

tertinggi dihasilkan pada perlakuan suhu 90 oC yaitu sebesar 4.49, sedangkan nilai

pH terendah dihasilkan pada perlakuan suhu 70 oC sebesar 4.45. Nilai pH pada

penelitian ini berada di bawah pH netral, demikian juga dengan penelitian

Dwiyitno (2003) yang menghasilkan pH ≤ 4, tidak berbeda jauh dari penelitian

sebelumnya. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu tidak

berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap pH CMC. Pada penelitian ini juga untuk

menghasilkan nilai pH netral sangat sulit dilakukan, karena dengan menambahkan

natrium hidroksida akan menyebabkan semua larutan mengendap sehingga sulit

dipisahkan dan tidak dapat ditarik dengan isopropil alkohol. Penambahan natrium

hidroksida juga berpengaruh terhadap kualitas dan rendemen CMC yang

dihasilkan (Lampiran 1).

Derajat deasetilasi merupakan suatu parameter yang sangat penting untuk

menentukan mutu CMC. Derajat deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil

yang terdapat dalam rendemen CMC. Semakin tinggi nilai derajat deasetilasi,

maka gugus asetil yang terdapat dalam rendemen CMC tersebut akan semakin

sedikit (Alamsyah 2000).

Derajat deasetilasi produk CMC yang dihasilkan dalam penelitian ini

berkisar antara 61.51–63.51 %. Secara umum derajat deasetilasi produk CMC

yang dihasilkan masih di bawah standar mutu yang ditetapkan Protan Laboratories

yaitu > 70 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan suhu

tidak berpangaruh nyata (P>0.05) pada semua perlakuan (Lampiran 1).

Penelitian Tahap II

Berdasarkan hasil analisis pada penelitian tahap I yang meliputi analisis

proksimat (kadar air, kadar abu, protein, nitrogen), pH, rendemen, viskositas,

kelarutan dan derajat deasetilasi, maka dari ketiga perlakuan suhu 50 oC, 70 oC

dan 90 oC ternyata pada perlakuan 70 oC diperoleh hasil yang lebih baik dan lebih

tinggi dari perlakuan lainnya. Maka dari itu penelitian tahap II ini lebih terfokus

pada pengolahan CMC hanya dengan satu perlakuan suhu saja, yaitu perlakuan

suhu 70 oC dengan waktu deasetilasi khitosan 72 jam, dimana dari perlakuan

(40)

Tabel 2 Spesifikasi Khitosan Larut Air

Parameter Spesifikasi Parameter* Spesifikasi*

Penampakan

* http://www. Greatvistachemical.com/ biochemical/ carboxymethyl chitosan.html.

Penelitian tahap II ini juga bertujuan untuk mengetahui kadar toksisitas

yang terkandung dalam CMC yang diaplikasikan pada tikus percobaan. Perlakuan

terhadap tikus percobaan dilakukan dengan cara mencampur CMC dengan pakan

dan dengan persentase CMC yang berbeda yaitu, perlakuan kontrol, 0.5 %, 1 %,

1.5 %, dan 2 % dari masing-masing jumlah pakan yang akan diberikan.

Setelah melalui masa pemeliharaan selama 21 hari, maka dilakukan

analisis hispatologi (hati dan ginjal) dan biokimia darah yang meliputi kadar

SGOT, SGPT, Kreatinin dan BUN.

Salah satu pemeriksaan klinis untuk mengetahui adanya kelainan pada hati

adalah dengan memeriksa kadar SGOT dan SGPT. Kerusakan hati akut pada

anjing mengakibatkan meningkatnya aktifitas SGOT dan SGPT, demikian juga

pada kucing yang mengalami peradangan hati yang akut. Tingkat kerusakan hati

dapat digambarkan dengan besarnya kadar enzim tersebut dalam serum (Friberg

1992).

Glutamic oxaloacetic aminotransferase (GOT) serum atau asam aspartat transferase (AST), merupakan salah satu enzim yang sering dikaitkan dengan kerusakan atau matinya sel hati. Enzim ini mengkatalis pemindahan bolak balik

gugus amino antara asam amino aspartat dengan asam α ketoglutarat (Briefs

1992).

Hati merupakan organ paling banyak mengandung enzim aspartat

(41)

kadar enzim AST serum atau SGOT (Widmann 1985) atau karena adanya

kerusakan atau perbaikan jaringan hati, maka hati akan meningkatkan pengeluaran

enzim AST (Focus On Hepatitis International 1997).

Hasil analisis kadar SGOT berkisar antara 137.77 U/l–157.33 U/l, dimana

terjadi peningkatan pada perlakuan 1% dan menurun pada perlakuan 1.5% dan

2 %. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi persentase CMC yang diberikan

akan mengakibatkan kadar SGOT menurun, artinya tidak terjadi kerusakan pada

fungsi hati.

Enzim AST (SGOT) tidak spesifik untuk disfungsi hati, karena enzim ini

juga ditemukan pada otot rangka, ginjal dan pankreas (Widmann 1985).

Disamping AST, enzim juga dihubungkan dengan tingkat kerusakan sel hati

adalah Alaninaminotransferase (ALT) atau Glutamat Pyruvic Transferase (GPT). Enzim ALT mengkatalis reaksi pemindahan gugus amino antara L-alanin dan

asam α ketoglutarat menjadi piruvat dan glutamat.

Enzim ALT merupakan enzim yang spesifik ada pada hati. Peningkatan

kadar enzim ini dalam darah dapat menunjukkan adanya kerusakan pada hati.

Dilaporkan bahwa peningkatan SGPT pada anjing dapat terjadi karena adanya

penyakit hati, degenerasi lemak pada hati, nekrosis hati dan tumor hati yang berat

(Sustriawan 1999).

Berdasarkan hasil analisis kadar SGPT, maka kadar SGPT tertinggi

terdapat pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 55.28 U/l dan semakin menurun

pada perlakuan lainnya, yang berarti bahwa semakin tinggi konsentrasi CMC yang

diberikan akan mengakibatkan kadar SGPT semakin menurun secara nyata

(P<0.01) dan hal ini berarti tidak terjadi kerusakan pada hati. Demikian juga

bahwa kadar SGPT yang tinggi dapat digunakan sebagai indikator yang tepat

untuk menunjukkan tingkat kerusakan hati jika tidak ada penyakit pada organ

selain hati.

Hasil pembacaan hispatologi terhadap jaringan hati tikus percobaan

terlihat bahwa pada konsentrasi CMC 0.5 % dan 1 % tidak ada perubahan,

bahkan terjadi peningkatan jumlah sel kupffer dan bentuk jaringan hati terlihat

sama seperti pada kontrol (Gambar 7). Perubahan sel mulai terlihat pada

(42)

hati dan pertumbuhan sel-sel kupffer menjadi meningkat, yang berfungsi sebagai

sel pertahanan atau sebagai imun sistem terhadap bahan (Gambar 8).

Gambar 7 Penampang melintang hati pada perlakuan kontrol (0 %)

Gambar 8 Penampang melintang hati pada perlakuan 1.5 %

Keterangan: A. Sel mengalami degenerasi ringan; B. Sel kupffer meningkat

Dengan semakin tingginya konsentrasi CMC yang masuk ke dalam tubuh,

sel pada jaringan hati tidak memperlihatkan perubahan yang lebih berat. Hal ini

diperkuat dengan analisis biokimia darah yang menunjukkan tidak adanya

pengaruh pemberian CMC terhadap kadar SGOT dan SGPT. Kadar SGOT dan

SGPT semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi CMC yang diberikan. A

B A

A

(43)

Nilai SGOT darah tikus pada perlakuan kontrol dan perlakuan lainnya

melebihi standar normal. Tingginya nilai SGOT tidak hanya bersumber dari

hepatosit, tetapi dapat diperoleh dari sumber yang lain yaitu jantung, ginjal,

pankreas, tulang dan otot (Davidson 1981). Hal ini karena SGOT dihasilkan dari

pelepasan enzim glutamat oxaloasetat transaminase dalam darah. Oleh karena itu pengukuran SGOT tidak spesifik untuk mengetahui keadaan fungsi hati, walaupun

tetap dapat digunakan untuk menilai keadaan hati dan organ lainnya. Selain itu

SGOT sangat dipengaruhi oleh organ lain, nilai pengukuran juga sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain cara pengambilan darah, banyak

sedikitnya serum darah yang diperoleh dan lama penyimpanan serum darah

sebelum diperiksa.

Tabel 3 Hasil rata-rata kadar SGOT dan SGPT dalam darah

Kadar dalam darah (U/l) Perlakuan CMC (%)

Kadar SGOT Kadar SGPT

0 154,27 + 29.38a 55.28 + 6.63a

Ginjal merupakan bagian utama dari sistem saluran ekskresi yang terdiri

dari ginjal kiri dan ginjal kanan serta terletak di rongga perut bagian belakang, di

bawah sekat rongga dada (diafragma). Bentuknya seperti kacang merah dan

dibagian cekung terdapat pembuluh darah yang masuk ke dalam maupun ke luar

ginjal. Di belakang pembuluh darah terletak saluran halus yaitu ureter yang

menghubungkan ginjal dengan kantung urin (vesica urinaria) dan dari kantung

urin ini, urin keluar lewat saluran uretra (Doxey 1983).

Ginjal terbagi dalam korteks dan medula, dimana di dalam korteks

terdapat bagian yang dengan mata telanjang terlihat seperti butiran kasar disebut

nefron. Tiap nefron merupakan inti fungsional dari ginjal (sebagian unit filtrasi

ginjal) dan terdiri dari glomerulus dan tubulus bagian yang berfungsi sebagai

penyaring (OSHA 1999). Semua darah yang akan disaring dan dibersihkan ginjal

harus melalui glomerulus dan hasil saringan glomerulus masuk ke dalam tubulus

ginjal untuk diolah lebih lanjut dan akhirnya menghasilkan urin. Di dalam ginjal

(44)

kreatinin, amonia dan air dapat melewati saringan, sedangkan yang berguna bagi

tubuh seperti protein terutama dengan ukuran molekul besar tidak melewati

saringan ini, tetap dalam aliran darah (Japaries 1995).

Ginjal termasuk organ tubuh yang sangat rentan terhadap zat racun

(toksin). Toksin dalam hal ini logam berat dapat masuk ke dalam darah melalui

makanan, udara ataupun terserap melalui kulit. Di ginjal darah akan disaring dan

zat yang akan dibuang akan dipekatkan, akibatnya toksinpun menjadi lebih pekat

sehingga efek racunnya menjadi lebih nyata (Doxey 1983).

Hasil dari analisis toksisitas dalam ginjal terlihat bahwa pada konsentrasi

0.5 % dan 1 % tidak ada perubahan, sama seperti kontrol, sedangkan pada

konsentrasi 1.5 % dan 2 % terjadi pembendungan ringan, artinya terjadi

pertumbuhan sel baru yang berfungsi untuk memproteksi sel dari pengaruh bahan

yang bersifat toksik.

Kadar kreatinin relatif lebih stabil dibandingkan dengan kadar BUN,

karena nilai kreatinin kontrol dan semua perlakuan masih berada dalam kisaran

normal (0.2–0.8 mg/dl) biarpun terdapat sedikit peningkatan seperti pada

perlakuan 0.5 dan 1 % yaitu sebesar 0.82 dan 0.85 mg/dl. Akan tetapi pada

perlakuan selanjutnya 1.5 dan 2 % kembali menurun menjadi 0.57 dan 0.65 mg/dl.

Kestabilan ini mengindikasikan bahwa kreatinin tidak berpengaruh oleh asupan

pakan, sehingga tidak terpengaruh oleh keberadaan senyawa-senyawa yang

diduga bersifat antinutrisi maupun toksik. Menurut Girindra (1998), kadar

kreatinin dalam serum sangat mantap, hampir tidak dipengaruhi oleh pakan, umur,

sex, senam maupun diet dan peningkatan kreatinin terjadi jika fungsi ginjal

terganggu. Secara hispatologi tidak ditemukan perubahan baik pada kontrol

maupun perlakuan, walaupun terjadi sedikit kenaikan tetapi tidak mengganggu

kestabilan kreatinin serum.

(45)

Kadar BUN tertinggi diperoleh sebesar 33.67 mg/dl yaitu pada perlakuan

1 %, lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan kontrol yaitu sebesar

25.67 mg/dl dan BUN menurun sesuai dengan semakin tingginya konsentrasi

CMC dalam pakan. Kadar BUN di atas normal ini dihasilkan pada semua

perlakuan, sehingga tidak terjadi hambatan reaksi pembentukan ureum yang

akhirnya menghasilkan ureum di atas standar normal (15–21 mg/dl). Sedangkan

pada perlakuan kontrol, tingginya kadar BUN dipengaruhi oleh tingginya

persentasi protein dalam pakan.

Creat inin BUN SGOT SGP T

Gambar 9 Pengaruh CMC terhadap biokimia darah

Dari hasil pembacaan hispatologi jaringan ginjal juga memperlihatkan

bahwa dengan makin tingginya konsentrasi CMC yang diberikan tidak

mengakibatkan adanya perubahan sel pada jaringan bagian kortex ginjal, artinya

tidak ada perubahan seperti halnya pada perlakuan kontrol (Gambar 10), dimana

susunan glomerulus dan tubulus masih teratur (Gambar 11).

(46)

Gambar 11 Penampang melintang ginjal pada perlakuan 2 %

Keterangan: A. Glomerulus; B. Sel mengalami pembendungan ringan; C. Tubulus

Selama perlakuan, tikus tidak memperlihatkan perubahan tingkah laku

ataupun tanda-tanda keracunan karena semua terlihat normal. Penimbangan berat

badan dilakukan setiap hari selama 21 hari dengan berat badan rata-rata seperti

terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Grafik rata-rata berat badan tikus yang diberi CMC selama 21 hari

Hasil pengamatan terhadap konsumsi pakan harian terlihat bahwa tingkat

konsumsi pakan dari semua tikus terdapat perbedaan pada semua perlakuan.

Pakan yang diberi perlakuan persentase CMC hampir semuanya meninggalkan A

B

Gambar

Gambar 2 Struktur molekul khitosan
Gambar 4 Diagram proses pembuatan khitin (modifikasi Suptijah1992)
Gambar 5 Diagram proses pembuatan khitosan (modifikasi Suptijah 1992)
Gambar 8 Penampang melintang hati pada perlakuan 1.5 %           Keterangan: A. Sel mengalami degenerasi ringan;  B
+2

Referensi

Dokumen terkait

 Mampu memahami dan menjelaskan interaksi otot dan sendi pada knee joint.  Mengetahui gangguan-gangguan pada

Karakteristik distress spiritual berdasarkan aspek hubungan dengan diri sendiri paling banyak berada pada karakteristik kurangnya makna hidup (51,7%), berdasarkan aspek

: Produ ksi Pektin dart Kulit Jeruk Lemon. (Citrus

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas alasan dan pertimbangan hukum Indonesia yang belum mengaksesi Konvensi Jenewa tahun 1951 dan Protokol New

ARS 1333 Teori dan Metode Perancangan 2 ARS 1432 Rekayasa Tapak dan Lingkungan ARS 1532 Studi Kelayakan Proyek dan RAB ARS 1632 Sejarah dan Teori Arsitektur Dunia ARS 0626 STARS

Terkait dengan subjek penelitian yaitu siswa SMP, maka peneliti mengkategorikan kemampuan siswa menjadi kelompok tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan hasil

Jumlah dokumen pembinaan penyusunan program kegiatan, pelaksanaan pengadaan lahan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengelolaan aset, persiapan pelaksanaan OP sarana

ftr rinijoro