PERAN KOMUNIKASI ANTAR PRIBADI DALAM VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING
(Studi Deskriptif Tentang Faktor Konsep Diri ODHA Setelah Melakukan Konseling dan Tes HIV di Klinik Voluntary Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan)
Diajukan Oleh:
RIZKA WANDARI NASUTION 0 6 0 9 2 2 0 0 4
PROGRAM EKSTENSI
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam pembentukan konsep diri ODHA melalui konseling di Klinik Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kuantitatif yaitu banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran quesioner pada 47 klien klinik VCT dan melakukan wawancara pada tiga orang di antaranya untuk melengkapi penelitian. Kesemua responden adalah klien yang pernah berkunjung ke klinik VCT untuk melakukan konseling.
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Tak lupa pula shalawat berangkaikan salam penulis haturkan kepada
junjungan alam Nabi Besar Muhammad Saw yang telah membawa manusia dari alam
kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan.
Dalam penulisan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa isi dari tulisan ini
masih jauh dari sempurna. Hal ini disebabkan masih minimnya pengetahuan dan
pengalaman penulis dalam mencari, mengumpulkan dan mengolah data-data penelitian.
Meskipun demikian, penulis berusaha secara maksimal agar tulisan ini dapat tersusun
sebaik mungkin. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis terbuka atas
segala kritikan dan saran yang membangun dari pembaca, sebagai masukan untuk
menyempurnakan tulisan ini.
Penyusunan skripsi ini sebagai tugas akhir penulis dimungkinkan berkat bantuan
berbagai pihak. Maka sudah pada tempatnya bila penulis menyampaikan penghargaan
dan rasa terima kasih yang tidak terhingga pada mereka. Pertama-tama, ucapan terima
kasih penulis tujukan kepada Bapak Drs. Syafruddin Pohan, MSi yang telah banyak
membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini. Selanjutnya, rasa terima kasih juga
penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Arif Nasution, M.A selaku Dekan FISIP USU
3. Bapak Drs. Mukti Sitompul, MSi, selaku Dosen Wali penulis
4. Dosen-dosen ilmu komunikasi FISIP USU serta Dosen-Dosen mata kuliah
lainnya yang telah banyak membagi ilmunya kepada penulis.
5. Bapak Dr. Irwan Fahri Rangkuti, SpKK selaku Konsultan Klinik VCT dan Ibu
Drg. Haleni Delfi selaku Koordinator Konselor Klinik yang dengan kerendahan
hati menerima penulis di Klinik VCT dan mensuplai segala informasi yang
penulis butuhkan.
6. Ibu Hj. Mariani Angkat, S.Psi, Ibu MR Antis Naibaho, dan Ibu Tiarma Manurung,
S.Kep selaku Konselor dan Case Manager yang telah berkenan menyumbangkan
opininya serta informasi-informasi yang berkenaan dengan masalah penelitian
penulis.
7. Ika Noor Arbi selaku pegawai administrasi klinik VCT, terima kasih atas waktu
dan tenaganya.
8. Ayahanda Irwan Dwanda Nasution, SH dan Ibunda Hj. Butet Marike tercinta atas
doa restunya yang memberi kekuatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini.
9. Saudara-saudaraku tersayang, Wina Avina Nasution, Dinda Rizvina Nasution,
dan Haikal Afkar Nasution. Sepupu kecilku yang ter-cute Azita Yasirah dan yang
paling manis dan centil Najla Yasmine.
10.Teman-teman ekstensi Ilmu Komunikasi stambuk 2006: K’Ulan, K’Na, K’Yuni,
B’Boby, Mustafa, K’Rotua, K’Minar, Rina, Wina dan yang lainnya yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu. Atas dukungan dan perhatiannya yang
memberi semangat kepada penulis saat menyusun skripsi ini.
12.Terima kasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada Wanda Kalalo,
Novi Yulia Ningsih, dan Dr. Rezeki Sembiring, SpBS atas waktu, tenaga, dan
buku-bukunya.
13.Buat teman-teman terbaikku, Tetty, Nanda, Lia, Sinta, Lanie, Vira, Rere, Abah,
serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Namun, jasanya
begitu berarti bagi penulis.
Kiranya Allah SWT membalas segala kebaikan yang telah kalian berikan.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca
nantinya.
Medan, September 2008
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ...i
KATA PENGANTAR ...ii
DAFTAR ISI ...v
DAFTAR TABEL ...viii
DAFTAR BAGAN ...x
BAB I : PENDAHULUAN ...1
I.1. Latar Belakang Masalah ...1
I.2. Perumusan Masalah ...7
I.3. Pembatasan Masalah ...7
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8
I.5. Kerangka Teori ...9
I.6. Kerangka Konsep ...12
I.7. Operasionalisasi Variabel ...13
I.8. Definisi Operasional ...14
BAB II : URAIAN TEORITIS ...15
II.1. Pengertian Komunikasi...15
II.2. Teori Komunikasi Antarpribadi ...18
II.3. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure) ...25
II.4. Konsep Diri ...31
BAB III : METODE PENELITIAN ...33
III.1.2. Klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Kota Medan ...36
III.1.2.1. Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela ..39
III.1.2.2 Tujuan Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...39
III.1.2.3. Peran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...39
III.1.2.4. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...40
III.1.2.5. Model Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...41
III.1.2.6. Proses Konseling ...42
III.1.2.7. Konselor untuk Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...43
III.1.2.8. Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela ...44
III.2. Metode Penelitian ...45
III.2.1. Lokasi Penelitian ...45
III.2.2. Metode Penelitian ...45
III.2.3. Populasi dan Sampel ...46
III.2.4. Teknik Pengumpulan Data ...47
III.2.5. Teknik Analisa Data ...49
BAB IV : ANALISA DAN INTERPRETASI DATA ...50
IV.2. Hasil Wawancara ...71
BAB 5 : KESIMPULAN DAN SARAN ...77
V.1. Kesimpulan ...77
V.2. Saran ...79
DAFTAR TABEL
1. Kelompok Usia ...50
2. Jenis Kelamin ...50
3. Pekerjaan ...51
4. Penghasilan Per Bulan ...52
5. Keterbukaan Klien Pada Konselor ...52
6. Keterbukaan Konselor Pada Klien ...53
7. Kepercayaan Klien Pada Konselor ...54
8. Besar Kepercayaan Klien Pada Konselor ...55
9. Konselor Berempati Pada Klien ...55
10. Empati Konselor Berpengaruh Pada Klien Untuk Bercerita Secara Detail ...56
11. Konselor Memberi Dukungan ...57
12. Dukungan konselor Menambah Semangat Klien Beraktivitas ...57
13. Rasa Positif Klien Terhadap Dirinya Ketika Konseling ...58
14. Rasa Positif Klien Terhadap Konselor Ketika Konseling ...59
15. Klien Menyampaikan Permasalahan Dengan Cermat Sehingga Dapat Dipahami Konselor ...60
16. Kesamaan Kedudukan Antara Klien Dan Konselor ...61
17. Klien Merasa Nyaman Ketika Bercerita Pada Konselor ...61
18. Kesamaan Pandangan Antara Klien Dan Konselor ...62
20. Klien Menilai Dirinya Kurang Baik ...64
21. Orang Lain Juga Menilai Klien Kurang Baik ...64
22. Klien Menghargai Dirinya ...65
23. Orang Lain Juga Menghargai Klien ...66
24. Konseling Berpengaruh Terhadap Pembentukan Konsep Diri Klien...66
25. Selama Konseling Klien Menilai Dirinya Lebih Baik...67
26. Selama Konseling Orang Lain Juga Menilai Klien Lebih Baik ...68
27. Selama Konseling Klien Lebih Menghargai Dirinya ...69
28. Selama Konseling Orang Lain Juga Lebih Menghargai Klien ...69
DAFTAR BAGAN
ABSTRAKSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam pembentukan konsep diri ODHA melalui konseling di Klinik Voluntary Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kuantitatif yaitu banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya. Penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat.
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui penyebaran quesioner pada 47 klien klinik VCT dan melakukan wawancara pada tiga orang di antaranya untuk melengkapi penelitian. Kesemua responden adalah klien yang pernah berkunjung ke klinik VCT untuk melakukan konseling.
B A B I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Secara sederhana komunikasi dapat dirumuskan sebagai proses pengoperan isi
pesan berupa lambang-lambang dari komunikator kepada komunikan. Pengertian
komunikasi menurut Dale Yoder, dkk (Surakhmat, 2006:17) dikutip dari
www.wordpress.com/fag/interpersonal-communication/ - diakses 05 Mei 2008 : 22.55
WIB Communication is the interchange of information, ideas, attitudes, thoughts, and/or
opinions. Komunikasi adalah pertukaran informasi, ide, sikap, pikiran dan/atau pendapat.
Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari, sebagai medium bagi pembentukan atau pengembangan pribadi untuk kontak sosial.
Melalui komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan pribadi kita dan orang
lain, kita bergaul, bersahabat, bermusuhan, mencintai, atau mengasihi orang lain,
membenci orang lain dan sebagainya. Menurut Johnson (Supratiknya, 1995:9-10)
komunikasi penting dilakukan dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia.
Pertama, komunikasi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita. Kedua,
identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang lain.
Ketiga, dalam rangka memahami reaitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran
kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita perlu
membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain tentang realitas yang
sama, tentu saja hal ini dapat kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain. Keempat,
hubungan kita dengan orang lain, terlebih lagi orang-orang yang merupakan tokoh-tokoh
signifikan dalam hidup kita.
Kita membutuhkan konfirmasi dari orang lain, yaitu pengakuan berupa tanggapan
dari orang lain yang menunjukkan bahwa diri kita normal, sehat dan berharga. Ada juga
diskonfirmasi yang merupakan lawan dari konfirmasi, yaitu penolakan dari orang lain
berupa tanggapan yang menunjukkan bahwa diri kita abnormal, tidak sehat dan tidak
berharga. Semuanya itu hanya kita peroleh lewat komunikasi dengan orang lain.
Begitu juga halnya dengan para pengidap HIV/AIDS atau yang lebih dikenal
dengan ODHA (Orang dengan HIV AIDS). Dengan penyakit yang dideritanya mereka
terstigmatisasi menjadi seolah-olah berada dalam kenyataan yang memalukan atau
namanya tercemar. Pada umumnya, mereka akan merubah persepsi tentang dirinya atau
self-image dan mendefinisikan diri sendiri sebagai orang yang menyimpang.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyebabkan penyakit
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). AIDS adalah bentuk lanjut dari infeksi
HIV yang menyebabkan menurunnya daya tahan tubuh terhadap berbagai penyakit,
dengan cara merusak sistem kekebalan tubuh dan akhirnya mengakibatkan kematian.
Berbagai pendapat dan sikap timbul dalam menghadapi pandemi AIDS di dunia. Begitu
cepatnya perkembangan penyakit itu sehingga seluruh dunia merasa ketakutan. Tentu
saja orang yang merasa takut adalah orang yang merasa melakukan sesuatu yang
memungkinkan tertularnya penyakit AIDS.
Kita sudah mengetahui bahwa penularan utama HIV ialah melalui kontak seksual
dengan orang yang telah mengidap HIV, dan juga secara bergantian menggunakan jarum
tercemar HIV, bahkan ibu hamil pengidap HIV bisa menularkan pada bayi yang
dikandungnya. Yang tidak kita ketahui adalah bahwa HIV/AIDS tidak menular melalui:
1. Bersalaman dengan ODHA
2. Tinggal serumah dengan ODHA
3. Berciuman
4. Makanan/makan bersama
5. Gigitan nyamuk
6. Alat makan
7. Renang bersama ODHA
8. Batuk/bersin
9. Air mata, Keringat
10.Sabun Mandi
11.WC/toilet
12.Pemakaian handuk/baju bergantian
Perlu diingat bahwa HIV dapat berada di dalam tubuh manusia jika masuk langsung ke
aliran darah. Darah merupakan media penularan virus HIV yang sangat efektik.
Di antara empat kemungkinan penularan di atas, penularan melalui kontak
seksual adalah yang paling sering terjadi. Cara penularan tersebut dapat dilakukan hampir
setiap saat tanpa diketahui oleh orang lain, dan dengan semakin banyaknya
penyimpangan norma-norma seksual, semakin besar pula kemungkinan tertular AIDS.
Pola hidup yang demikian menyebabkan rasa takut terhadap kemungkinan tertular AIDS
sehingga membuat sebagian orang menjadi panik, gelisah, sulit tidur, dan akhirnya tidak
Sebagian penderita AIDS akan mampu menerima dirinya sebagaimana adanya.
Dengan kemampuan menerima diri dia juga akan berusaha sembuh dan berusaha pula
untuk mencegah agar jangan menularkan penyakitnya kepada orang lain. Tetapi, pada
sebagian penderita lainnya, mereka merasa dihukum oleh masyarakat, atau tidak mampu
menerima penyakitnya. Mungkin mereka merasa bahwa sebenarnya mereka hanya
melakukan suatu perbuatan dosa yang kecil, tetapi hukumannya begitu besar. Mungkin
juga mereka merasa tidak berbuat sesuatu yang sangat terlarang tetapi mereka bisa
mengidap penyakit demikian. Berbagai pemikiran dan perasaan seperti disebutkan di atas
dapat mendorong penderita untuk tidak perduli akan penularan penyakitnya pada orang
lain atau mungkin juga timbul perasaan bermusuhan sehingga bahkan berusaha untuk
menularkannya. Juga kepribadian-kepribadian yang egoistis atau egosentrik yang tidak
perduli pada orang-orang di sekitarnya dan hanya mementingkan diri sendiri dapat
menyebabkan penderita HIV positif tidak dapat menahan diri untuk tidak menularkan
penyakitnya.
Menurut Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Menular Langsung H. Sukarni, SKM
yang dikutip dari Harian Analisa, jumlah penderita HIV positif di Sumatera Utara sejak
tahun 1994 hingga Februari 2008 berjumlah 724 kasus. Begitu juga jumlah kumulatif
kasus HIV/AIDS berdasarkan Kabupaten Kota di Sumatera Utara hingga Februari 2008
berjumlah 1218 kasus. Sementara itu telah ditemukan lagi 952 kasus HIV positif baru di
Sumatera Utara. Melihat tingginya jumlah kasus HIV positif tersebut di atas maka
masalah HIV/AIDS bukan hanya masalah kesehatan dari penyakit menular semata, tetapi
sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang luas. Dengan semakin banyaknya
dukungan yang mereka butuhkan adalah dukungan psikososial. Dukungan ini penting
bagi mereka yang memerlukan sahabat untuk mencurahkan permasalahannya. Mereka
bisa mendapatkan dukungan ini di Klinik atau Rumah Sakit yang menyediakan layanan
konseling dan tes HIV/AIDS sukarela.
Secara historis asal mula pengertian konseling adalah untuk memberi nasehat,
seperti penasehat hukum ataupun penasehat perkawinan, yang menekankan pada nasehat
(advise giving), mendorong, memberi informasi, menginterpretasi hasil tes, dan analisa
psikologis. Milton E. Hahn (Willis, 2004:18) mengatakan bahwa konseling adalah suatu
proses yang terjadi dalam hubungan seseorang dengan seseorang yaitu individu yang
mengalami masalah yang tak dapat diatasinya, dengan seorang petugas profesional yang
telah memperoleh latihan dan pengalaman untuk membantu agar klien mampu
memecahkan kesulitannya.
Dalam hal ini, konseling yang dimaksud adalah layanan Voluntary Counselling
and Testing (VCT) yang merupakan pintu masuk untuk membantu setiap orang, baik
ODHA maupun OHIDA yang merasa curiga dirinya terinfeksi HIV/AIDS, untuk
membantu setiap orang mendapatkan akses ke semua pelayanan, baik informasi, edukasi,
terapi atau dukungan psikososial. Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan akan
informasi yang akurat dan tepat dapat dicapai, sehingga proses pikir, perasaan dan
perilaku dapat di arahkan kepada perubahan perilaku yang lebih sehat. Proses konseling
ini termasuk mengevaluasi resiko pribadi atas penularan HIV dan memfasilitasi
perubahan perilaku untuk mencegah penularan. Perubahan perilaku seseorang dari
beresiko menjadi kurang beresiko terhadap kemungkinan tertular HIV memerlukan
nurani dan logika. Selain itu, diharapkan ODHA juga dapat merubah pandangan dan
penilaian tentang dirinya secara pribadi maupun di mata masyarakat. Proses ini sangat
unik dan membutuhkan pendekatan individual. Konseling merupakan salah satu
pendekatan yang perlu dikembangkan untuk mengelola kejiwaan dan proses
menggunakan pikiran secara mandiri.
Konseling yang dilakukan dalam VCT berperan sebagai komunikasi interpersonal
yang di dalamnya terjadi sebuah dialog antara ODHA dengan seorang konselor yang
bertujuan untuk memberdayakan orang untuk tegar dari stress dan membuat keputusan
pribadi terkait HIV/AIDS. Sesuai dengan definisi komunikasi antar pribadi menurut De
Vito (Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan
dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek
dan umpan balik yang langsung. Kebanyakan komunikasi interpersonal berbentuk verbal
disertai ungkapan-ungkapan nonverbal dan dilakukan secara lisan.
Melalui layanan ini mereka bisa bercerita secara detail mengenai penyakit yang
mereka idap sampai masalah-masalah yang disebabkannya kepada seorang konselor.
Konselor inilah yang nantinya menanggapi dan memberikan beberapa pertanyaan
berkaitan dengan penyakit mereka. Konselor sebagai komunikator dan klien sebagai
komunikan bicara langsung bertatap muka tanpa adanya media, dengan adanya
jawaban-jawaban dari klien berarti ada feedback atau umpan balik yang seketika. Dapat dilihat
bahwa konseling ini merupakan komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh konselor
terhadap penderita HIV/AIDS. Oleh sebab itu, penulis tertarik memilih topik ini untuk
I.2. Perumusan Masalah
Setelah masalah penelitian ditentukan, langkah selanjutnya adalah membuat
rumusan dgn jelas. Rumusan masalah harus dibuat secara jelas batasannya karena hal ini
berguna bagi pelaksanaan penelitian. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah
diuraikan, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
“Bagaimana komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh konselor dalam
pembentukan konsep diri ODHA melalui konseling yang dilakukan di Klinik Voluntary
Counselling and Testing Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan”.
I.3. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas dan membatasi ruang lingkup penelitian, diperlukan
pembatasan masalah. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:
a. Subjek penelitian adalah klien (ODHA) yang berkunjung ke klinik Voluntary
Counselling and Testing RSU Pirngadi Medan untuk melakukan konseling secara
sukarela.
b. Penelitian bersifat deskriptif, yaitu metode yang bertujuan untuk melukiskan
secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu
secara faktual dan cermat.
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
a. Tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui komunikasi antar pribadi yang terjadi antara konselor dan klien
2. Mengetahui cara pelayanan yang tepat dalam usaha pembentukan konsep diri
ODHA di Klinik Voluntary Counselling and Testing di Rumah Sakit Umum
Pirngadi Medan.
b. Manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman penulis
mengenai komunikasi antar pribadi, khususnya komunikasi antar pribadi yang
dilakukan antara konselor dan kliennya (ODHA) dalam usaha pembentukan
konsep diri.
2. Secara akademis, penelitian ini dapat menambah khasanah bacaan di
lingkungan FISIP USU khususnya jurusan ilmu komunikasi.
I.5. Kerangka Teori
Kerangka teori berfungsi untuk menguraikan teori, proposisi, konsep, atau
pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan masalah penelitian. Dalam penelitian
ini akan diuraikan teori-teori yang menyangkut isi penelitian di antaranya:
1. Komunikasi
Ilmu komunikasi mempelajari dan meneliti perubahan tingkah laku dan pendapat
yang diakibatkan oleh informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain. Hal
ini sesuai dengan pendapat Carl I. Hovland (Purba, dkk, 2006:29) yang mengatakan :
“proses di mana seseorang (komunikator) menyampaikan perangsang-perangsang
(biasanya lambang-lambang dalam bentuk kata-kata) untuk merubah tingkah laku orang
Dalam proses penyampaian pesan yang terjadi pada konseling ini membutuhkan
keterbukaan diri dari kedua pihak, komunikator dan komunikan. Membuka diri adalah
sebuah cara untuk memperoleh informasi tentang orang lain. Kita ingin agar kita mampu
memprediksikan pemikiran dan tindakan-tindakan orang-orang yang sudah kita kenal.
Membuka diri juga merupakan satu cara untuk mempelajari tentang apa yang dirasakan
dan dipikirkan oleh orang lain. Sekali seseorang terikat di dalam keterbukaan diri, secara
tidak langsung orang lain juga akan mengungkap informasi pribadinya. Hal ini disebut
juga sebagai norma timbal balik, maksudnya kita bisa melihat adanya umpan balik dalam
proses ini. Adanya saling keterbukaan dalam sebuah hubungan bisa mempererat
kepercayaan dan membantu setiap orang untuk saling memahami. Kita juga bisa merasa
bahwa hubungan dan diri kita menjadi lebih baik ketika orang lain mau menerima atau
mendengarkan apa yang kita katakan pada mereka.
Seperti yang dijelaskan dalam teori self-disclosure atau bisa diartikan sebagai
teori keterbukaan diri. Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Luft dan Harry Ingham (1969)
yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui ataupun tidak mengetahui tentang
dirinya maupun orang lain. Teori ini dilihat sebagai suatu strategi yang sangat berguna
untuk berbagi informasi dengan orang lain. Berbagi informasi dengan orang lain yang
mungkin belum pernah dikenal atau ditemui, bisa beresiko dan menyebabkan kerapuhan
hati bagi seseorang ketika sedang berbagi informasi.
2. Komunikasi Antar Pribadi
Sebelum menganalisa lebih jauh mengenai komunikasi antar pribadi yang terjadi
dalam konseling dan tes sukarela HIV/AIDS, ada baiknya jika kita mengetahui terlebih
(Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan pengiriman pesan-pesan dari
seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau sekelompok orang dengan efek dan
umpan balik yang langsung. De Vito juga mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi
mengandung ciri-ciri; 1) keterbukaan atau openes; 2) empati atau empathy; 3) dukungan
atau support; 4) rasa positif atau positivenes; dan 5) kesamaan atau equality.
Sementara itu menurut Dean C. Barnlund (Liliweri, 1991:12), mengemukakan
bahwa komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antar dua
orang atau tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan
tidak berstruktur. Ada juga definisi lain menurut Rogers dalam Depari (Liliweri,
1991:12), mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari
mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Pendapat
lain dari Tan (Liliweri, 1991:12), mengatakan bahwa interpersonal communication
(komunikasi antar pribadi) adalah komunikasi tatap muka antar dua orang atau lebih.
3. Konsep Diri
Konsep diri menurut definisi William D. Brooks (Rakhmat, 1997:99) adalah
“those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived
from experiences and our interaction with others”. Jadi, konsep diri adalah pandangan
dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi,
sosial, dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga
penilaian kita tentang diri kita. Seperti yang diungkapkan oleh Anita Taylor et al
complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”. Jadi, konsep diri meliputi apa
yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita.
Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri, yaitu komponen kognitif dan
komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self
image), dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya, menurut
Wiliam D. Brooks dan Phillip Emmert (Rakhmat, 1999:100) berpengaruh besar pada
pola komunikasi interpersonal.
I.6. Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah:
a. Komunikasi Antar Pribadi, indikatornya:
1. Keterbukaan
2. Empati
3. Dukungan
4. Rasa positif
5. Kesamaan
b. Konsep Diri, indikatornya:
1. Citra diri (self image)
2. Harga diri (self esteem)
c. Karakteristik Responden, indikatornya:
1. Usia
2. Jenis Kelamin
8. Operasionalisasi Variabel
Berdasarkan kerangka konsep di atas, untuk lebih memudahkan operasionalisasi
pemecahan masalah maka perlu dibuat operasionalisasi variabel, sebagai berikut:
Variabel Teoritis Variabel Operasional
1. Komunikasi Antar Pribadi
2. Konsep Diri
3. Karakteristik Responden
a. Keterbukaan
b. Empati
c. Dukungan
d. Rasa positif
e. Kesamaan
a. Citra diri (self image)
b. Harga diri (self esteem)
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan
I.8. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur
suatu variabel. Untuk memperjelas uraian dalam tulisan ini, penulis memberikan
penjelasan atas istilah operasional:
1. Keterbukaan, adalah menaruh kepercayaan kepada orang lain atau pendengar yang kita
ajak bicara.
2. Empati, adalah keadaan mental yang mempengaruhi jiwa seseorang sehingga
menganggap pikirannya sama dengan pikiran orang lain.
3. Dukungan, adalah dorongan moril dalam hal mewujudkan komunikasi interpersonal
4. Rasa positif, adalah keyakinan bahwa telah melakukan persepsi dengan cermat dan
mengungkapkan petunjuk-petunjuk yang membuat orang lain menafsirkan kita dengan
cermat pula.
5. Kesamaan, maksudnya adalah kesamaan kedudukan antara klien dan konselor agar
terwujud komunikasi interpersonal yang lebih terbuka.
6. Citra diri, yaitu gambaran pribadi yang dimiliki setiap orang tentang dirinya sendiri.
7. Harga diri, yaitu nilai, martabat atau kehormatan seseorang.
8. Karakteristik responden adalah nilai-nilai yang dimiliki oleh seseorang yang dapat
B A B I I URAIAN TEORITIS
II.1. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan (ide, gagasan) dari satu
pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi diantara keduanya. Pada
umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata (lisan) yang dapat
dimengerti oleh kedua belah pihak. Apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat
dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan
gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan
kepala, mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi dengan bahasa nonverbal.
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata
Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama atau sama
makna (Effendy, 1990:9). Sama makna yang dimaksudkan adalah selain mengerti bahasa
yang digunakan dalam suatu percakapan kita juga harus mengerti makna dari bahan yang
dipercakapkan. Jika selama percakapan berlangsung tercapai kesamaan makna tersebut,
maka percakapan itu bisa dikatakan komunikatif.
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian pikiran atau
perasaan oleh komunikator kepada komunikan. Pikiran bisa merupakan gagasan,
informasi, opini, dan lain-lain yang muncul dari benaknya. Perasaan bisa berupa
keyakinan, keragu-raguan, kekhawatiran, kemarahan, kegairahan, dan sebagainya yang
timbul dari lubuk hati. Proses komunikasi terbagi menjadi dua tahap (Effendy, 1990:11),
a. Proses komunikasi secara primer
Proses komunikasi secara primer adalah proses penyampaian pikiran dan atau
perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang atau simbol sebagai
media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, gesture,
isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya yang secara langsung dapat menterjemahkan
pikiran dan atau perasaan komunikator kepada komunikan.
b. Proses komunikasi secara sekunder
Proses komunikasi secara sekunder adalah proses penyampaian pesan oleh
seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua
setelah memakai lambang sebagai media pertama. Pentingnya peranan media sekunder
dalam proses komunikasi disebabkan oleh efisiensinya dalam mencapai komunikan.
Akan tetapi, para ahli komunikasi mengakui bahwa keefektifan dan efisiensi komunikasi
bermedia hanya dalam menyebarkan pesan-pesan yang bersifat informatif saja.
Selanjutnya, ada lima faktor yang mempengaruhi proses komunikasi menurut
William G. Scott (Suprapto, 2006:7), yakni:
1. The Act (Perbuatan)
Perbuatan komunikasi menginginkan pemakaian lambang-lambang yang dapat
dimengerti secara baik dan hubungan-hubungan yang dilakukan oleh manusia. Pada
umumnya lambang-lambang tersebut dinyatakan dengan bahasa atau dalam keadaan
tertentu tanda-tanda lain dapat pula dipergunakan.
2. The Scene (Adegan)
Adegan sebagai salah satu faktor dalam komunikasi ini menekankan
dilakukan, simbol apa yang digunakan, dan arti dari apa yang dikatakan. Dengan kata
lain, dengan menggunakan simbol apa sesuatu itu dapat dikomunikasikan.
3. The Agent (Pelaku)
Individu-individu yang mengambil bagian dalam hubungan komunikasi disebut
pelaku komunikasi. Pengirim (komunikator) dan penerima (komunikan) yang terlibat di
dalamnya adalah contoh pelaku komunikasi tersebut. Dan peranannya seringkali saling
menggantikan dalam situasi komunikasi yang berkembang.
4. The Agency (Perantara)
Alat-alat yang dipergunakan dalam komunikasi dapat membangun terwujudnya
perantara itu (the agency). Alat-alat itu selain dapat berwujud komunikasi lisan, tatap
muka, dapat juga alat komunikasi tertulis, seperti surat perintah, memo, buletin, nota,
surat tugas dan jenis lainnya.
5. The Purpose (Tujuan)
Menurut Grace dalam Thoha (Suprapto, 2006:8) ada empat macam tujuan
tersebut:
Tujuan Fungsional (The Functional Goals), ialah tujuan yang secara pokok
bermanfaat untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi atau lembaga.
Tujuan Manipulasi (The Manipulative Goals), tujuan ini dimaksudkan untuk
menggerakkan orang-orang yang mau menerima ide-ide yang disampaikan baik
sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan sikapnya sendiri.
Tujuan Keindahan (The Aesthetics Goals), tujuan ini bermaksud untuk
untuk memungkinkan seseorang mampu mengungkapkan perasaan tadi dalam
kenyataan.
Tujuan Keyakinan (The Confidence Goals), tujuan ini bermaksud untuk
meyakinkan atau mengembangkan keyakinan orang-orang pada lingkungan.
Wilbur Schramm (Effendy, 1990:13) menyatakan bahwa komunikasi akan
berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka acuan
(frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences
and meanings) yang pernah diperoleh komunikan. Menurut Schramm, bidang
pengalaman (field of experience) merupakan faktor yang penting dalam komunikasi. Jika
bidang pengalaman komunikator sama dengan bidang pengalaman komunikan,
komunikasi akan berlangsung lancar. Sebaliknya, bila pengalaman komunikan tidak sama
dengan komunikator akan timbul kesukaran untuk mengerti satu sama lain.
II.2. Teori Komunikasi Antarpribadi
Menurut Dean C. Barnlund (Liliweri, 1991:12), mengemukakan bahwa
komunikasi antar pribadi biasanya dihubungkan dengan pertemuan antar dua orang atau
tiga orang atau mungkin empat orang yang terjadi secara sangat spontan dan tidak
berstruktur. Ada juga definisi lain menurut Rogers dalam Depari (Liliweri, 1991:12),
mengemukakan bahwa komunikasi antar pribadi merupakan komunikasi dari mulut ke
mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa pribadi. Pendapat lain dari
Tan (Liliweri, 1991:12), mengatakan bahwa interpersonal communication (komunikasi
Sementara itu de Vito (Liliweri, 1991:12), komunikasi antar pribadi merupakan
pengiriman pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang yang lain, atau
sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. De Vito juga
mengemukakan suatu komunikasi antar pribadi mengandung ciri-ciri; 1) keterbukaan
atau opennes; 2) empati atau empathy; 3) dukungan atau support; 4) rasa positif atau
positivenes; dan 5) kesamaan atau equality.
Setelah kita memahami pengertian komunikasi antarpribadi, dalam perjalanannya
antara komunikasi antarpribadi kepada sebuah konsep diri sebaiknya kita memberikan
sedikit pemaparan tentang ciri komunikasi antarpribadi yang efektif menurut de Vito:
1. Keterbukaan (Opennes)
Sikap keterbukaan paling tidak menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi
antarpribadi. Pertama, kita harus terbuka pada orang lain yang berinteraksi dengan kita,
yang penting adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang
umum agar orang lain mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran kita, sehingga
komunikasi akan mudah dilakukan. Kedua, dari keterbukaan menunjuk pada kemauan
kita untuk memberikan tanggapan terhadap orang lain secara jujur dan terus terang
terhadap segala sesuatu yang dikatakannya.
2. Empati (Empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan dirinya pada posisi
atau peranan orang lain. Dalam arti bahwa seseorang secara emosional ataupun
3. Dukungan (Support)
Setiap pendapat, ide, atau gagasan yang disampaikan mendapat dukungan dari
pihak-pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian keinginan atau hasrat yang ada
dimotivasi untuk mencapainya. Dukungan membantu seseorang untuk lebih bersemangat
dalam melaksanakan aktivitas serta meraih tujuan yang didambakan.
4. Rasa Positif (positivnes)
Jika setiap pembicaraan yang disampaikan mendapat tanggapan pertama yang
positif, maka lebih mudah melanjutkan percakapan yang selanjutnya. Rasa positif
menghindarkan pihak-pihak yang berkomunikasi untuk curiga atau berprasangka yang
mengganggu jalinan interaksi.
5. Kesamaan (Equality)
Suatu komunikasi lebih akrab dan jalinan antarpribadi pun lebih kuat, apabila
memiliki kesamaan tertentu seperti kesamaan pandangan, kesamaan sikap, kesamaan
usia, kesamaan idiologi dan sebagainya.
Komunikasi antarpribadi merupakan kegiatan yang dinamis. Dengan tetap
memperhatikan kedinamisannya, komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut (Hardjana, 2003:86):
1. Komunikasi antarpribadi adalah verbal dan nonverbal
Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam
bentuk verbal atau nonverbal. Dalam komunikasi itu, seperti pada komunikasi umumnya,
selalu mencakup dua unsur pokok: isi pesan dan bagaimana isi itu dikatakan atau
sebaiknya diperhatikan dan dilakukan berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi, dan
keadaan penerima pesannya.
2. Komunikasi antarpribadi mencakup perilaku tertentu
Ada tiga perilaku dalam komunikasi antarpribadi, yakni:
a. Perilaku spontan (spontaneus behavior) adalah perilaku yang dilakukan karena
desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif. Artinya, perilaku itu
terjadi begitu saja.
b. Perilaku menurut kebiasaan (script behavior) adalah perilaku yang kita pelajari dari
kebiasaan kita. Perilaku itu khas, dilakukan pada situasi tertentu, dan dimengerti
orang. Misalnya: ucapan “selamat datang” pada teman yang datang.
c. Perilaku sadar (contrived behavior) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap
sesuai dengan situasi yang ada. Perilaku itu dipikirkan dan dirancang sebelumnya,
dan disesuaikan dengan orang yang akan dihadapi, dan situasi serta kondisi yang ada.
3. Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang berproses pengembangan
Komunikasi antarpribadi berbeda-beda tergantung dari tingkat hubungan
pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi, pesan yang dikomunikasikan, dan cara pesan
disampaikan. Komunikasi itu berkembang berawal dari saling pengenalan yang dangkal,
berlanjut makin mendalam, dan berakhir dengan saling kenal yang amat mendalam, tetapi
bisa juga putus sampai akhirnya saling melupakan.
4. Komunikasi antarpribadi mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi
Kemungkinan umpan balik (feed back) dalam komunikasi antarpribadi besar
sekali. Dalam komunikasi ini, penerima pesan dapat langsung menanggapi dengan
terjadi interaksi (interaction) yang satu mempengaruhi yang lain, dan kedua-duanya
saling mempengaruhi dan memberi serta menerima dampak. Dari sini terjadilah
koherensi dalam komunikasi baik antara pesan yang disampaikan dan umpan balik yang
diberikan, maupun dalam keseluruhan komunikasi.
5. Komunikasi antarpribadi berjalan menurut peraturan tertentu
Agar berjalan baik, maka komunikasi antarpribadi hendaknya mengikuti
peraturan (rules) tertentu. Peraturan itu ada yang intrinsik dan ada yang ekstrinsik.
Peraturan intrinsik adalah peraturan yang dikembangkan oleh masyarakat untuk mengatur
cara orang harus berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan peraturan ekstrinsik adalah
peraturan yang ditetapkan oleh situasi atau masyarakat.
6. Komunikasi antarpribadi adalah kegiatan aktif
Komunikasi antarpribadi bukan hanya komunikasi dari pengirim kepada penerima
pesan dan sebaliknya, melainkan komunikasi timbal balik antara pengirim dan penerima
pesan. Komunikasi ini bukan sekedar serangkaian rangsangan-tanggapan,
stimulus-respons, tetapi serangkaian proses saling penerimaan, penyerapan, dan penyampaian
tanggapan yang sudah diolah oleh masing-masing pihak.
7. Komunikasi antarpribadi saling mengubah
Melalui interaksi dalam komunikasi, pihak-pihak yang terlibat di dalamnya dapat
saling memberi inspirasi, semangat dan dorongan untuk mengubah pemikiran, perasaan,
dan sikap yang sesuai dengan topik yang dibahas bersama. Oleh sebab itu, komunikasi ini
merupakan wahana untuk saling belajar dan mengembangkan wawasan, pengetahuan,
Kemudian Hardjana (2003:91) juga menyatakan agar komunikasi antarpribadi
berhasil, kita perlu memiliki kecakapan (skill) komunikasi antarpribadi baik sosial
maupun behavioral. Kecakapan sosial adalah kecakapan pada tingkat pemahaman
(kognitif), yang meliputi:
a. Empati (empathy), kecakapan untuk memahami pengertian dan perasaan orang lain
tanpa meninggalkan sudut pandang sendiri tentang hal yang menjadi bahan
komunikasi.
b. Perspektif sosial (social perspective), kecakapan melihat kemungkinan-kemungkinan
perilaku yang dapat diambil orang yang berkomunikasi dengan dirinya. Dengan
demikian kita dapat meramalkan perilaku apa yang sebaiknya diambil dan dapat
menyiapkan tanggapan kita yang tepat dan efektif.
c. Kepekaan (sensitivity) terhadap peraturan atau standar yang berlaku dalam
komunikasi antarpribadi. Dengan kepekaan itu kita dapat menetapkan perilaku mana
yang diteima dan perilaku mana yang ditolak oleh rekan yang berkomunikasi dengan
kita.
d. Pengetahuan akan situasi pada waktu berkomunikasi. Pengetahuan akan situasi dan
keadaan orang merupakan pegangan bagaimana kita harus berperilaku dalam situasi
itu. Berdasarkan pengetahuan akan situasi, kita dapat menetapkan kapan dan
bagaimana masuk dalam percakapan, menilai isi dan cara berkomunikasi pihak yang
berkomunikasi dengan kita, dan selanjutnya mengolah pesan yang kita terima.
e. Memonitor diri (self-monitoring), kecakapan memonitor diri membantu kita menjaga
ketepatan perilaku dan jeli memperhatikan pengungkapan diri orang yang
Sedangkan kecakapan behavioral merupakan kecakapan pada tingkat perilaku,
yang meliputi:
1. Keterlibatan interaktif (interactive involvement), yang menentukan keikutsertaan dan
partisipasi kita dalam komunikasi dengan orang lain, meliputi:
a. Sikap tanggap (responsiveness), dengan sikap ini kita dengan cepat akan
membaca situasi sosial di mana kita berada dan tahu apa yang harus dikatakan,
dilakukan, kapan dikatakan dan dilakukan, serta bagaimana dikatakan dan
dilakukan.
b. Sikap perseptif (perceptiveness), dengan kecakapan ini kita dibantu untuk
memahami bagaimana orang yang berkomunikasi dengan kita mengartikan
perilaku kita dan tahu bagaimana kita mengartikan perilakunya.
c. Sikap penuh perhatian (attentiveness), kecakapan ini membantu kita untuk
menyadari faktor-faktor yang menciptakan situasi di mana kita berada.
2. Manajemen interaksi (interaction management), kecakapan itu membantu kita
mampu mengambil tindakan-tindakan yang berguna bagi kita untuk mencapai tujuan
komunikasi kita. Misalnya, kapan mengambil inisiatif untuk mengawali topik baru,
dan kapan mengikuti saja topik yang dikemukakan orang lain.
3. Keluwesan perilaku (behavioral flexibility), kecakapan ini membantu kita untuk
melaksanakan berbagai kemungkinan perilaku yang dapat diambil untuk mencapai
tujuan komunikasi.
4. Mendengarkan (listening), kecakapan ini membantu kita untuk dapat mendengarkan
orang yang berkomunikasi dengan kita tidak hanya isi, tetapi juga perasaan,
komunikasi yang baik karena membuat orang tersebut merasa diterima, dan kita dapat
menanggapinya dengan baik.
5. Gaya sosial (social style), kecakapan ini membantu kita dapat berperilaku menarik,
khas, dan dapat diterima oleh orang yang berkomunikasi dengan kita.
6. Kecemasan komunikasi (communication anxiety), dengan kecakapan ini kita dapat
mengatasi rasa takut, bingung, dan kacau pikiran, tubuh gemetar, dan rasa demam
panggung yang muncul dalam komunikasi dengan orang lain.
II.3. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Membuka diri adalah sebuah cara untuk memperoleh informasi tentang orang
lain. Kita ingin agar kita mampu memprediksikan pemikiran dan tindakan-tindakan
orang-orang yang sudah kita kenal. Membuka diri juga merupakan satu cara untuk
mempelajari tentang apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh orang lain. Sekali seseorang
terikat di dalam keterbukaan diri, secara tidak langsung orang lain juga akan mengungkap
informasi pribadinya. Hal ini disebut juga sebagai norma timbal balik, maksudnya kita
bisa melihat adanya umpan balik dalam proses ini. Adanya saling keterbukaan dalam
sebuah hubungan bisa mempererat kepercayaan dan membantu setiap orang untuk saling
memahami. Kita juga bisa merasa bahwa hubungan dan diri kita menjadi lebih baik
ketika orang lain mau menerima atau mendengarkan apa yang kita katakan pada mereka.
Menurut Morton (Dayaksini, et al, 2003:87) pengungkapan diri merupakan
kegiatan membagi perasaan dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di
dalam pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif artinya individu
pendengar seperti jenis pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan evaluatif artinya individu
mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti tipe orang yang kita sukai atau
hal-hal yang kita suka i atau kita benci.
Pengungkapan ini dapat berupa berbagai topik seperti informasi perilaku, sikap,
perasaan, keinginan, motivasi dan ide yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang
bersangkutan. Kedalaman dari pengungkapan diri seseorang tergantung pada situasi dan
orang yang diajak untuk berinteraksi. Jika orang yang berinteraksi dengan kita
menyenangkan dan membuat kita merasa aman serta dapat membangkitkan semangat
maka kemungkinan bagi kita untuk lebih membuka diri amatlah besar. Sebaliknya pada
beberapa orang tertentu kita dapat saja menutup diri karena merasa kurang percaya,
seperti pernyataan de Vito (Dayaksini, et al, 2003:88).
Seperti yang dijelaskan dalam teori self-disclosure atau bisa diartikan sebagai
teori keterbukaan diri, yang menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui ataupun
tidak mengetahui tentang dirinya maupun orang lain. Teori ini dilihat sebagai suatu
strategi yang sangat berguna untuk berbagi informasi dengan orang lain. Berbagi
informasi dengan orang lain yang mungkin belum pernah dikenal atau ditemui, bisa
beresiko dan menyebabkan kerapuhan hati bagi seseorang ketika sedang berbagi
informasi.
Johari window atau lebih lanjut disebut juga jendela Johari, nama ini berasal dari
para penemunya, yakni Joseph Luft dan Harry Ingham. Teori ini adalah salah satu model
yang paling berguna untuk menggambarkan proses interaksi antar manusia. Sebuah
“jendela” berkaca empat yang membagi kewaspadaan pribadi ke dalam empat jenis yang
tidak dikenal. Garis-garis yang membagi keempat kuadran tersebut terlihat seperti bidang
jendela, yang dapat bergeser ketika sebuah interaksi mengalami kemajuan.
Hubungan antara konsep diri dan membuka diri dapat dijelaskan dengan Jendela
Johari. Dalam gambar Jendela Johari berikut ini diungkapkan tingkat keterbukaan dan
tingkat kesadaran diri kita (Rakhmat, 1997:108).
Kita ketahui Tidak kita ketahui
Orang lain tahu (publik)
Orang lain tidak tahu (privat)
Johari melukiskan bahwa dalam pengembangan hubungan antar manusia terdapat
empat kemungkinan sebagai mana terwakili melalui suasana di keempat bidang (jendela).
• Jendela 1, melukiskan suatu kondisi di mana antara seseorang dengan yang lain
mengembangkan suatu hubungan yang terbuka sehingga dua pihak saling
mengetahui masalah tentang hubungan mereka.
• Jendela 2, melukiskan bidang buta,masalah hubungan antara kedua pihak yang
hanya diketahui orang lain, tapi tidak diketahui diri sendiri.
• Jendela 3, disebut bidang tersembunyi, yakni masalah hubungan antara kedua
pihak diketahui diri sendiri tetapi tidak diketahui orang lain.
• Jendela 4, bidang tidak dikenal, di mana kedua pihak sama-sama tidak
mengetahui masalah hubungan di antara mereka.
Menurut Powell (Dayaksini, et al, 2003:89) terdapat tingkatan-tingkatan yang
berbeda dalam pengungkapan diri, yaitu:
1. Terbuka 2. Buta
1. Basa-basi, merupakan taraf pengungkapan diri yang paling lemah atau dangkal,
walaupun terdapat keterbukaan di antara individu, tetapi tidak terjadi hubungan
antarpribadi. Masing-masing individu berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan.
2. Membicarakan orang lain, yang diungkapkan dalam komunikasi hanyalah tentang
orang lain atau hal-hal yang di luar dirinya. Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi
lebih mendalam tetapi pada tingkat ini individu tidak mengungkapkan diri.
3. Menyatakan gagasan atau pendapat, pada tingkat ini sudah mulai dijalin hubungan
yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya kepada individu lain.
4. Perasaan, setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat yang sama tetapi
perasaan atau emosi yang menyertai gagasan atau pendapat setiap individu
berbeda-beda. Setiap hubungan yang menginginkan pertemuan antarpribadi yang
sungguh-sungguh, haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka dan menyatakan
perasaan-perasaan yang mendalam.
5. Hubungan puncak, pada tingkat ini pengungkapan diri telah dilakukan secara
mendalam, individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat menghayati perasaan
yang dialami individu lainnya. Segala persahabatan yang mendalam dan sejati
haruslah berdasarkan pada pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.
Selanjutnya Derlega dan Grzelak (Dayaksini, et al, 2003:90) mengungkapkan ada
lima fungsi pengungkapan diri, yang meliputi:
1. Ekspresi (expression)
Dalam kehidupan ini terkadang kita mengalami suatu kekecewaan atau kekesalan,
baik itu yang menyangkut pekerjaan ataupun yang lainnya. Untuk membuang semua
sudah kita percaya. Dengan pengungkapan diri semacam ini kita mendapat kesempatan
untuk mengekspresikan perasaan kita.
2. Penjernihan diri (self-clarification)
Dengan saling berbagi rasa serta menceritakan perasaan dan masalah yang kita
hadapi kepada orang lain, kita berharap agar dapat memperoleh penjelasan dan
pemahaman orang lain akan masalah yang kita hadapi, sehingga pikiran kita akan
menjadi lebih jernih dan kita dapat melihat duduk persoalannya dengan lebih baik.
3. Keabsahan sosial (social validation)
Setelah kita selesai membicarakan masalah yang sedang kita hadapi, biasanya
pendengar kita akan memberikan tanggapan mengenai permasalahan tersebut. Sehingga
dengan demikian, kita akan mendapatkan suatu informasi yang bermanfaat tentang
kebenaran akan pandangan kita. Kita dapat memperoleh dukungan atau sebaliknya.
4. Kendali sosial (social control)
Seseorang dapat mengemukakan atau menyembunyikan informasi tentang
keadaan dirinya yang dimaksudkan untuk mengadakan kontrol sosial, misalnya orang
akan mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan kesan baik tentang dirinya.
5. Perkembangan hubungan (relationship development)
Saling berbagi rasa dan informasi tentang diri kita kepada orang lain serta saling
mempercayai merupakan saran yang paling penting dalam usaha merintis suatu hubungan
sehingga akan semakin meningkatkan derajat keakraban.
Pengungkapan diri kadang-kadang menimbulkan bahaya, seperti resiko adanya
penolakan atau dicemooh orang lain, bahkan dapat menimbulkan kerugian material.
memutuskan untuk melakukan pengungkapan diri. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang
perlu dipertimbangkan dalam pengungkapan diri menurut de Vito (Dayaksini, et al,
2003:91) :
a. Motivasi melakukan pengungkapan diri
Pengungkapan diri haruslah didorong oleh rasa berkepentingan terhadap
hubungan dengan orang lain dan diri sendiri. Sebab pengungkapan diri tidak hanya
bersangkutan dengan diri kita saja, tetapi juga bersangkutan dengan orang lain.
Kadang-kadang keterbukaan yang kita ungkapkan dapat saja melukai perasaan orang lain.
b. Kesesuaian dalam pengungkapan diri
Dalam melakukan pengungkapan diri haruslah disesuaikan dengan keadaan
lingkungan. Pengungkapan diri haruslah dilakukan pada waktu dan tempat yang tepat.
Misalnya, bila kita ingin mengungkapkan sesuatu pada orang lain maka kita haruslah bisa
melihat apakah waktu dan tempatnya sudah tepat.
c. Timbal balik dari orang lain
Selama melakukan pengungkapan diri, berikan lawan bicara kesempatan untuk
melakukan pengungkapan dirinya sendiri. Jika lawan bicara kita tidak melakukan
pengungkapan diri juga, maka ada kemungkinan orang tersebut tidak menyukai
keterbukaan yang kita lakukan.
II.4. Konsep Diri
Konsep diri menurut definisi William D. Brooks (Rakhmat, 1997:99) adalah
“those physical, social, and psychological perceptions of ourselves that we have derived
dan perasaan kita tentang diri kita. Persepsi tentang diri ini boleh bersifat psikologi,
sosial, dan fisis. Konsep diri bukan hanya sekadar gambaran deskriptif, tetapi juga
penilaian kita tentang diri kita. Seperti yang diungkapkan oleh Anita Taylor et al
(Rakhmat, 1997:100) bahwa konsep diri adalah “all you think and feel about, the entire
complex of beliefs and attitudes you hold about yourself”. Jadi, konsep diri meliputi apa
yang kita pikirkan dan apa yang kita rasakan tentang diri kita.
Dengan demikian, ada dua komponen konsep diri, yaitu komponen kognitif dan
komponen afektif. Dalam psikologi sosial, komponen kognitif disebut citra diri (self
image), dan komponen afektif disebut harga diri (self esteem). Keduanya, menurut
Wiliam D. Brooks dan Phillip Emmert (Rakhmat, 1999:100) berpengaruh besar pada
B A B I I I
METODOLOGI PENELITIAN
III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
III.1.1. Sejarah RSU Dr. Pirngadi Kota Medan
Rumah Sakit Umum Dr. Pirngadi Medan didirikan pada tanggal 11 Agustus 1928
oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan nama “Gemente Zieken Huis”. Peletakan batu
pertamanya dilakukan oleh seorang anak berumur 10 tahun bernama Maria Constantia
Macky dan sebagai direktur yang pertama adalah Dr. W. Bays. Kemudian pada tahun
1942, rumah sakit ini diambil alih oleh pemerintah Jepang dan berganti nama menjadi
“Syuritsu Byusono Ince” dan sebagai direktur dipercayakan kepada putera Indonesia “Dr.
Raden Pirngadi Gonggo Putro”.
Setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus
1945, maka pada tahun 1947 rumah sakit ini berganti nama menjadi “Rumah Sakit Kota
Medan”. Dengan berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tanggal 17
Agustus 1950, maka Rumah Sakit Kota Medan diambil alih oleh Pemerintah
Pusat/Kementrian Kesehatan dan namanya berganti menjadi “Rumah Sakit Umum
Pusat”.
Pada tahun 1971, Rumah Sakit ini diserahkan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Propinsi Sumatera Utara dan berganti nama menjadi “Rumah Sakit Umum
Pusat Propinsi Medan”. Kemudian pada tahun 1979 nama Rumah Sakit Umum Pusat
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pada tanggal 27 Desember 2001
RSU Dr. Pirngadi diserahkan kepemilikannya dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara
kepada Pemerintah Kota Medan dan berganti nama menjadi “Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Dr. Pirngadi Medan” serta mendapat Akreditasi Departemen Kesehatan
pada tanggal 14 april 2000. Pada tanggal 6 September 2002, status kelembagaan RSUD
Dr. Pirngadi Medan ditetapkan menjadi “Badan Pelayanan Kesehatan RSU Dr. Pirngadi
Kota Medan” dan sejak tanggal 5 Maret 2002 sampai sekarang jabatan direktur
dipercayakan kepada dr. H. Sjahrial R. Anas, MHA.
Adapun Visi RSU Dr. Pirngadi Medan adalah MANTAP tahun 2010 yaitu:
a. MANDIRI : dalam pendanaan dan pelaksanaan pelayanan kepada masyarakat.
b. TANGGAP : terhadap tuntutan masyarakat, perubahan pola penyakit dan kemajuan
IPTEK di bidang kesehatan.
c. PROFESIONAL : dalam pelaksanaan pelayanan sesuai standard dan etika.
Kemudian Misi Dr. Pirngadi Medan antara lain sebagai berikut:
a. Meningkatkan upaya kesehatan paripurna kepada semua golongan masyarakat secara
merata dan terjangkau, sesuai dengan tugas pokok, fungsi, serta perturan yang
berlaku.
b. Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bersifat spesialistik dan subspesialistik yang
bermutu.
c. Meningkatkan upaya pelayanan kesehatan secara proesional dan etis agar timbul
kepercyaan dan harapan serta rasa aman dan kenyamanan bagi penderita.
d. Meningkatkan peran RS sebagai tempat pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
FASILITAS PELAYANAN RSU Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN
Merupakan Rumah Sakit Pemerintah Type B, yang dilengkapi dengan fasilitas –
fasilitas pelayanan lengkap antara lain :
1. INSTALASI GAWAT DARURAT 24 JAM
Tersedia Ruang Observasi, Unit Kebidanan, Unit Interna, Unit Anak, Unit Bedah,
P3K, Apotik Khusus, Laboratorium, tenaga medis siap 24 jam dan didukung tenaga
Spesialis / Konsultan, Ambulance 24 Jam.
2. UNIT RAWAT JALAN
Terdiri dari Poliklinik Spesialis Penyakit Dalam, Kebidanan dan Kandungan, Bedah,
Mata, THT, Anak, Kulit dan Kelamin, Kulit dan Kecantikan, Jantung, Psikiatri, Paru,
Gigi dan Mulut, Rehabilitasi Medis, Konsultasi Gizi, Klinik VCT.
3. UNIT RAWAT INAP
Terdiri dari 650 tempat tidur yang memenuhi kebutuhan seluruh lapisan masyarakat
dari pelayanan rawat inap kelas III hingga Super VIP yang terletak di gedung lama
dan gedung baru.
4. UNIT RAWAT INAP KHUSUS/ INTENSIVE
Terdiri dari ruang ICU, ICCU, NICU, HDU, Unit Stroke dan Ruang Isolasi.
5. TINDAKAN MEDIS
Haemodialysa Umum, VK (Kamar Bersalin), Bedah Kontap Tubektomi dan
Laparoscopy, Kamar Bedah Central dan Emergency.
6. PELAYANAN PENUNJANG
Radiologi ( CT Scan, USG, X – Ray dll.), Patologi Klinik dan Anatomi, Endoscopy,
7. FASILITAS PENUNJANG
Pelayanan Informasi, Tempat parkir, Toserba, Cafetaria, Bank SUMUT, ATM Bank
Niaga, Security.
III.1.2. Klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Kota Medan
Klinik VCT (Voluntary Counselling and Testing) Poliklinik Khusus RSU Dr.
Pirngadi Kota Medan dibentuk pada tanggal 18 Juli 2005 berdasarkan Surat Keputusan
Direktur RSU Dr. Pirngadi Kota Medan No. 4075/443/VII/2005 dengan susunan anggota
sebagai berikut
Susunan Anggota Tim Pelayanan Kesehatan klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Medan
No. Tim Pelayanan Kesehatan Jumlah
1. Konsultan 1
2. Dokter 1
3. Konselor Koordinator Klinik 1
4. Konselor 3
5. Case Manager 1
6. Petugas Laboratorium 2
7. Petugas Administrasi 1
8. Petugas Kebersihan 1
Total 11
Sumber : Klinik VCT RSU Dr. Pirngadi Medan
b. Membuat rujukan untuk pemeriksaan klinis terhadap penderita HIV/AIDS.
c. Memberikan dukungan perawatan dan pengobatan penderita HIV/AIDS secara
intensif yang membutuhkan penanganan secara khusus.
Kunjungan
Klien
Konselor
Petugas Klinik
Konseling
Pre Tes
Konselor
Tes HIV
(+)
Rujuk ke Dr
Protap Pelayanan Klien di Klinik VCT
Penjangkau
Lay conselor
Rujukan
Tidak mau
Mau
(-)
Ragu
Tes ulang 3 bln lagi
Tes ulang
Penilaian
klinis CD4
ARV
Profilaksis
Th.IO
III.1.2.1. Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela
Konseling dalam VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan
psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV,
mempromosikan perubahan perilaku yang bertanggung jawab, pengobatan ARV
(Antiretroviral) dan memastikan pemecahan berbagai masalah terkait dengan HIV/AIDS.
III.1.2.2 Tujuan Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
1. Tujuan umum adalah menurunkan angka kesakitan HIV/AIDS melalui peningkatan
mutu pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan perlindungan bagi
petugas layanan VCT dan klien.
2. Tujuan khusus:
a. Sebagai pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS.
b. Menjaga mutu layanan melalui penyediaan sumber daya dan manajemen yang
sesuai.
c. Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan
testing HIV/AIDS.
III.1.2.3. Peran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
Konseling dan Testing Sukarela yang dikenal sebagai Voluntary Counselling and
Testing merupakan salah satu strategi kesehatan masyarakat dan sebagai pintu masuk ke
seluruh layanan kesehatan HIV/AIDS berkelanjutan:
1. Layanan VCT dapat dilakukan berasarkan kebutuhan klien pada saat klien mencari
baik kepada mereka dengan HIV positif maupun negatif. Layanan ini termasuk
konseling, dukungan, akses untuk tetap suportif, terapi infeksi oportunistik, dan ART
(Anti Retroviral Therapy).
2. VCT harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi
efektif di mana memungkinkan klien, dengan bantuan konselor terlatih, menggali dan
memahami diri akan risiko infeksi HIV, mendapatkan informasi HIV/AIDS,
mempelajari status dirinya, dan mengerti tanggung jawab untuk menurunkan perilaku
berisiko dan mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain guna mempertahankan
dan meningkatkan perilaku sehat.
3. Testing HIV dilakukan secara sukarela tanpa paksaan, segera setelah klien memahami
berbagai keuntungan, konsekuensi, dan risiko.
III.1.2.4. Prinsip Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
1. Sukarela dalam melaksanakan testing HIV.
Pemeriksaan HIV hanya dilaksanakan atas dasar kerelaan klien, tanpa paksaan, dan
tanpa tekanan. Keputusan untuk dilakukan testing terletak di tangan klien. Kecuali
testing HIV pada darah donor di unit transfusi dan transplantasi jaringan, organ tubuh
dan sel. Testing dalam VCT bersifat sukarela sehingga tidak direkomendasikan untuk
testing wajib pada pasangan yang akan menikah, pekerja seksual, IDU (Injecting
2. Saling mempercayai dan terjaminnya konfidensialitas.
Layanan harus bersifat profesional, menghargai hak dan martabat semua klien. Semua
informasi yang disampaikan klien harus dijaga kerahasiaannya oleh konselor dan
petugas kesehatan, tidak diperkenankan didiskusikan di luar konteks kunjungan klien.
Semua informasi tertulis harus disimpan dalam tempat yang tidak dapat dijangkau
oleh mereka yang tidak berhak. Untuk penanganan kasus klien selanjutnya dengan
seijin klien, informasi kasus dari diri klien dapat diketahui.
3. Mempertahankan hubungan relasi konselor-klien yang efektif.
Konselor mendukung klien untuk kembali mengambil hasil testing dan mengikuti
pertemuan konseling pasca testing untuk mengurangi perilaku berisiko. Dalam VCT
dibicarakan juga respon dan perasaan klien dalam menerima hasil testing dan tahapan
penerimaan hasil testing positif.
4. Testing merupakan salah satu komponen dari VCT.
WHO dan Departemen Kesehatan RI telah memberikan pedoman yang dapat
digunakan untuk melakukan testing HIV. Penerimaan hasil testing senantiasa diikuti
oleh konseling pasca testing oleh konselor yang sama atau konselor lainnya yang
disetujui oleh klien.
III.1.2.5. Model Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
Model layanan VCT terdiri dari:
1. Mobile VCT (Penjangkauan dan Keliling)
Layanan Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela model penjangkauan dan
langsung mengunjungi sasaran kelompok masyarakat yang memiliki perilaku berisiko
atau berrisiko tertular HIV/AIDS di wilayah tertentu. Layanan ini diawali dengan
survey atau penelitian atas kelompok masyarakat di wilayah tersebut dan survey
tentang layanan kesehatan dan layanan dukungan lainnya di daerah setempat.
2. Statis VCT (Klinik VCT tetap)
Pusat Konseling dan Testing HIV/AIDS Sukarela terintegrasi dalam sarana kesehatan
dan sarana kesehatan lainnya, artinya bertempat dan menjadi bagian dari layanan
kesehatan yang telah ada. Sarana kesehatan dan sarana kesehatan lainnya harus
memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan masyarakat akan Konseling dan Testing
HIV/AIDS, layanan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan terkait
dengan HIV/AIDS.
III.1.2.6. Proses Konseling
Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan klien yang
membuahkan kematangan kepribadian pada konselor dan memberikan dukungan
mental-emosional kepada klien. Proses konseling mencakup upaya-upaya yang realistik dan
terjangkau serta dapat dilaksanakan. Proses konseling hendaknya mampu:
1. Memastikan klien mendapatkan informasi yang sesuai fakta
2. Menyediakan dukungan saat krisis
3. Mendorong perubahan yang dibutuhkan untuk pencegahan atau membatasi
penyebaran infeksi
4. Membantu klien memusatkan perhatian dan mengenali kebutuhan jangka pendek
5. Mengajukan tindakan nyata yang sesuai untuk dapat diadaptasikan klien dalam
kondisi yang berubah
6. Membantu klien memahami informasi peraturan perundangan tentang kesehatan dan
kesejahteraan
7. Membantu klien untuk menerima informasi yang tepat, dan menghargai serta
menerima tujuan tes HIV baik secara teknik, sosial, etika dan implikasi hukum
Selama proses berlangsung konselor bertindak sebagai pantulan cermin bagi pikiran,
perasaan dan perilaku klien, dan konselor memandu klien menemukan jalan keluar yang
diyakininya. Konseling berlangsung tidak cukup hanya satu sesi, beberapa kali pertemuan
konseling sering kali diperlukan, tergantung dari masalah dan kebutuhan klien.
III.1.2.7. Konselor untuk Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
Konseling dilakukan oleh konselor terlatih yang memiliki keterampilan konseling
dan pemahaman akan seluk beluk HIV/AIDS. Konseling dilakukan oleh konselor yang
telah dilatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi perawat, pekerja sosial, dokter,
psikolog, psikiater atau profesi lain.
Konselor mempunyai kemampuan berjenjang dari dasar sampai mahir. Konselor
dengan kemampuan dasar dapat dilakukan oleh mereka yang menyediakan ruang dan
waktunya bagi ODHA, mempunyai keterampilan konseling, dan mampu membantu
ODHA. Sementara yang profesional dilakukan oleh mereka yang secara formal
mempunyai pendidikan konseling dan/atau psikoterapi, serta mampu melakukannya
diperlukan juga konselor untuk konselor. Mereka akan memberikan terapi saat konselor
mengalami atau mendekati kejenuhan (burn out).
Keterampilan yang diperlukan dalam memberikan konseling adalah:
1. Mendengarkan aktif dan mengamati
2. Mengajukan pertanyaan dan menghayati
3. Merangkum dan menyimpulkan
4. Membaca dan merefleksikan perasaan
5. Membangun relasi dan persetujuan pelayanan
6. Menggali dan memahami masalah, penyebab dan kebutuhan
7. Mengenal alternatif penyelesaian masalah, memberi pertimbangan
8. Penyelesaian masalah, dapat memberikan jalan keluar dan menguatkan diri
9. Penyelesaian masalah, konsekuensi logis dan mengakhiri
III.1.2.8. Sasaran Konseling dan Testing HIV/AIDS Secara Sukarela
Masyarakat yang membutuhkan pemahaman diri akan status HIV agar dapat
mencegah dirinya dari penularan infeksi penyakit yang lain dan penularan kepada orang
lain. Masyarakat yang datang ke pelayanan VCT disebut dengan klien. Sebutan klien dan
bukan pasien merupakan salah satu pemberdayaan di mana klien akan berperan aktif di
dalam proses konseling. Tanggung jawab klien dalam konseling adalah bersama
mendiskusikan hal-hal yang terkait dengan informasi akurat dan lengkap tentang
HIV/AIDS, perilaku berisiko, testing HIV dan pertimbangan yang terkait dengan hasil