ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA
PADI VARIETAS UNGGUL
(STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN
WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)
Oleh PRIMA GANDHI
A14104052
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN
WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)
Oleh : PRIMA GANDHI
A14104052
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
PRIMA GANDHI, 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Ungul (Studi Kasus Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat). Di bawah bimbingan HENY K. S. DARYANTO.
Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh masyarakat. Dalam bahasa ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut persoalan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia. Indonesia berhasil berswasembada beras pada tahun 1984. Dua dasawarsa terakhir ketersediaan beras nasional hanya mampu memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Ketersediaan beras dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan beras adalah luas areal panen (usahatani), produksi beras atau gabah, dan jumlah penduduk. Peningkatan produksi padi di Indonesia belum mampu mencukupi permintaan kebutuhan masyarakat dalam negeri yang jumlahya semakin bertambah setiap tahunnya. Agar stok beras nasional tercukupi pemerintah melalui Bulog melakukan impor.
Besarnya volume impor beras menimbulkan berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat. Volume impor beras menimbulkan masalah bagi petani padi di Indonesia, karena ketidakmampuan bersaing dalam permasalah harga. Konsumen lebih memilih beras impor karena harganya lebih murah dengan kualitas yang tidak berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan petani padi. Pemerintah setiap tahunnya berusaha untuk menurunkan nilai impor beras. Untuk menurunkan nilai impor beras Indonesia, pemerintah melalui Departemen Pertanian mengeluarkan beberapa kebijakan pertanian. Kebijakan pertanian yang dikeluarkan Deptan meliputi kebijakan pertanian untuk komoditas padi, baik dari segi on farm maupun off farm-nya. Kebijakan dari segi on-farm diantaranya adalah mengeluarkan beberapa padi varietas unggul, pemberian subsidi untuk
pupuk padi dll. Sedangkan dari segi on farm-nya pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan yang terkait dengan permodalan, tataniaga beras dan penyuluhan di bidang pertanian.
Padi pandanwangi merupakan contoh padi varietas unggul yang sudah ditetapkan oleh negara melalui departemen pertanian. Padi varietas unggul pandan wangi juga dijadikan komoditas unggulan utama hasil pertanian pemerintah Kabupaten Cianjur. Status padi varietas unggul ini harus bisa dibuktikan keunggulan secara ilmiah. Tujuannya agar masyarakat, pemerintah dan khusuanya petani (pemilik dan penggarap) mengetahui keunggulan padi pandan wangi dibanding padi jenis lainnya. Analisis usahatani dan tataniaga pertanian merupakan salah satu alat untuk mengetahui keunggulan suatu usahatani dan tataniaga komoditas pertanian.
analisis usahatani diiisi oleh petani pemilik dan penggarap. Hal tersebut berdasarkan pemilihan petani yang membudidayakan padi pandan wangi yang bersifat purpossive (sengaja). Wawancara terhadap petugas dari dinas pertanian, petugas ppl dan pengurus kelompok tani juga dilakukan, hal tersebut dikarenakan penelitian ini menggunakan metode participatory action riset.
Hasil analisis usahatani menunjukkan pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal itu dapat dilihat dari besarnya rasio R per C atas biaya tunai maupun atas biaya total petani pemilik (2,42 dan 1,19) dari petani penggarap (1,07 dan 1,08). Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio R per C atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penggarap masih menguntungkan karena R per C rasio-nya lebih besar dari satu.
Pendapatan petani (pemilik dan penggarap) masih dapat ditingkatkan lagi karena dalam berusahatani petani masih belum dapat memksimalkan teknik budidaya yang lebih efisien. Hasil analisis tataniaga yang dilakukan adalah (1) Saluran tataniaga yang terbentuk dilokasi penelitian memasarkan beras pandanwangi murni dan beras pandanwangi campuran. Jumlah saluran yang memasarkan beras pandanwangi campuran (10 saluran) lebih banyak dibanding dengan yang murni (6 saluran). Analisis marjin tataniaga, biaya dan keuntungan tidak dilakukan pada saluran-saluran yang menjual beras pandanwangi campuran tidak dilakukan. Alasannya adalah beras pandanwangi campuran yang diperjualbelikan tidak dapat diasumsikan merupakan beras campuran yang memiliki perbandingan dalam jumlah yang sama, diantara lembaga-lembaga terkait dalam proses pengolahan dan pengemasannya. (2) Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyaluran beras dan tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer daerah dan luar daerah. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan grading). (3) sebaran nilai marjin saluran tataniaga beras pandanwangi murni jenis super dan kepala, yaitu dari 46,48 persen hingga 58,04 persen. Saluran E2 memiliki persentase nilai marjin beras jenis super yang terkecil. Dengan demikian, maka saluran E2 adalah saluran yang lebih efisien bagi konsumen beras jenis super. Saluran A merupakan saluran beras jenis super yang paling efisien bagi penjual. Hal ini dikarenakan saluran A mempunyai biaya terkecil dan total keuntungan terbesar untuk beras jenis super dengan nilai persentase sebesar 13,12 dan 43,41.Untuk beras pandanwangi jenis kepala, saluran E1 merupakan saluran yang efisien bagi konsumen beras pandanwangi jenis kepala dengan nilai marjin tataniaga sebesar 48,93 persen. Nilai keuntungan saluran D1 sebesar 17,67 persen membuat dari harga konsumen membuat saluran ini efisien bagi penjual.
Judul :
Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul (Studi Kasus Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang KabupatenCianjur)
Nama : Prima Gandhi
NRP :
A14104052
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr.Ir. Heny. K. Daryanto, M.Ec NIP 131 578 790
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL
(STUDI KASUS BERAS PANDAN WANGI DI KECAMATAN
WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)” ADALAH KARYA
SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA
PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SUMBER INFORMASI YANG
BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN
TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN
DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM BENTUK DAFTAR
PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor,September2008
Prima Gandhi A14104052
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1986. Penulis adalah
anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Edison Muchtar dan Ibu
Yenita.
Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak Al-Irsyad,
Bekasi pada tahun 1989, kemudian pada tahun 1990 penulis langsung
melanjutkan ke SD Tunas Jaka Sampurna, Bekasi. Tahun 1996 penulis
melanjutkan ke SMPN 214 Jakarta. Pada Tahun 2004, penulis lulus dari SMAN 3
Jakarta dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas
Pertanian.
Semasa kuliah penulis cukup aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan.
Penulis aktif telibat dalam kepanitiaan maupun organisasi kemahasiswaan intra
kampus dan ekstra kampus. Pada tingkat satu penulis aktif sebagai staff komisi
advokasi DPM TPB IPB (2004-2005). Kemudian penulis pernah aktif di
organisasi peminat ilmu sosial ekonomi pertanian (MISETA) IPB di departemen
PSDM (2005-2006). Penulispun aktif pada organisasi ekstra kampus yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis mendapat amanah sebagai Ketua
Umum HMI Komisariat Faperta IPB periode 2007-2008. Penulis juga aktif
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada program studi Manajemen Agribisnis,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Propinsi Jawa Barat memegang peranan penting dalam produksi beras
Indonesia. Salah satu daerah sentra produksi beras di Jawa Barat adalah
Kabupaten Cianjur. Jenis beras yang dihasilkan petani di Kabupaten Cianjur
adalah beras varietas unggul nasional IR 64 dan varietas unggul lokal spesifik
pandanwangi. Saat ini beras pandan wangi murni sudah sulit ditemui di pasaran.
Penyebabnya adalah karena sedikit petani yang menanam jenis padi pandanwangi
dan adanya beras pandanwangi campuran. Penggiatan kembali usahatani dan
perbaikan sistem tataniaga pandanwangi harus segera dilakukan masyarakat dan
pemerintah. Tujuannya untuk menjaga kelestarian jenis plasma nuftah asli
Indonesia yang hanya terdapat di Kabupaten Cianjur ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan sehingga diperlukan saran untuk perbaikan agar menjadi lebih baik.
Semoga skripsi ini dapat memberikan mamfaat dan kontribusi pemikiran bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, September 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan
berkat dan rahmat-NYA, skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis haturkan
terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu banyak dalam
penulisan tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan sarjana ini.
1. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec.
Terimakasih atas kesabaran Ibu, dalam membimbing bagaimana cara
menulis serta dalam memberikan banyak ide, kritik dan saran yang
membangun.
2. Dosen Penguji Utama, Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. Terimakasih atas
kesediaan waktu Ibu untuk menguji serta memberikan ide, kritik dan saran
yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Dosen Penguji Komisi Pendidikan, Rahmat Yanuar, S.P, M.si.
Terimakasih atas kesediaan waktu Bapak untuk menguji serta memberikan
ide, kritik dan saran yang sangat membangun.
4. Petugas PPL dan Ketua Kelompok Tani Pandan Wangi di
Warungkondang: Bapak Machpudin, Bapak Entus, Bapak H.Mansyur, Ibu.
H. Mansyur dan Bapak H Pepen.
5. Pedagang Beras Pandan Wangi di Cianjur Yaitu, Bapak Iwan, Bapak
Handoyo, Bapak Rais, Bapak Yitno dan Ibu Roro.
6. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec.
Terimakasih atas bimbingannya selama 5 semester.
7. Ayah dan Ibu Tercinta. Terimakasih untuk semua, limpahan kasih sayang,
motivasi dan doanya.
8. Adik-adikku Ilham Septiawan dan Arya Tama. Terimakasih atas atas
support dan doanya.
9. Semua Uni, Uda, Tante dan Om, terimakasih atas support dan bantuan
lainnya.
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA
PADI VARIETAS UNGGUL
(STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN
WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)
Oleh PRIMA GANDHI
A14104052
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL (STUDI KASUS PADI PANDAN WANGI DI KECAMATAN
WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)
Oleh : PRIMA GANDHI
A14104052
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
RINGKASAN
PRIMA GANDHI, 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Ungul (Studi Kasus Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warung Kondang, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat). Di bawah bimbingan HENY K. S. DARYANTO.
Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh masyarakat. Dalam bahasa ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut persoalan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk Indonesia. Indonesia berhasil berswasembada beras pada tahun 1984. Dua dasawarsa terakhir ketersediaan beras nasional hanya mampu memenuhi 90 persen kebutuhan nasional. Ketersediaan beras dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan beras adalah luas areal panen (usahatani), produksi beras atau gabah, dan jumlah penduduk. Peningkatan produksi padi di Indonesia belum mampu mencukupi permintaan kebutuhan masyarakat dalam negeri yang jumlahya semakin bertambah setiap tahunnya. Agar stok beras nasional tercukupi pemerintah melalui Bulog melakukan impor.
Besarnya volume impor beras menimbulkan berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat. Volume impor beras menimbulkan masalah bagi petani padi di Indonesia, karena ketidakmampuan bersaing dalam permasalah harga. Konsumen lebih memilih beras impor karena harganya lebih murah dengan kualitas yang tidak berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan petani padi. Pemerintah setiap tahunnya berusaha untuk menurunkan nilai impor beras. Untuk menurunkan nilai impor beras Indonesia, pemerintah melalui Departemen Pertanian mengeluarkan beberapa kebijakan pertanian. Kebijakan pertanian yang dikeluarkan Deptan meliputi kebijakan pertanian untuk komoditas padi, baik dari segi on farm maupun off farm-nya. Kebijakan dari segi on-farm diantaranya adalah mengeluarkan beberapa padi varietas unggul, pemberian subsidi untuk
pupuk padi dll. Sedangkan dari segi on farm-nya pemerintah mengeluarkan
beberapa kebijakan yang terkait dengan permodalan, tataniaga beras dan penyuluhan di bidang pertanian.
Padi pandanwangi merupakan contoh padi varietas unggul yang sudah ditetapkan oleh negara melalui departemen pertanian. Padi varietas unggul pandan wangi juga dijadikan komoditas unggulan utama hasil pertanian pemerintah Kabupaten Cianjur. Status padi varietas unggul ini harus bisa dibuktikan keunggulan secara ilmiah. Tujuannya agar masyarakat, pemerintah dan khusuanya petani (pemilik dan penggarap) mengetahui keunggulan padi pandan wangi dibanding padi jenis lainnya. Analisis usahatani dan tataniaga pertanian merupakan salah satu alat untuk mengetahui keunggulan suatu usahatani dan tataniaga komoditas pertanian.
analisis usahatani diiisi oleh petani pemilik dan penggarap. Hal tersebut berdasarkan pemilihan petani yang membudidayakan padi pandan wangi yang bersifat purpossive (sengaja). Wawancara terhadap petugas dari dinas pertanian, petugas ppl dan pengurus kelompok tani juga dilakukan, hal tersebut dikarenakan penelitian ini menggunakan metode participatory action riset.
Hasil analisis usahatani menunjukkan pendapatan yang dihasilkan oleh petani pemilik jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan petani penggarap. Hal itu dapat dilihat dari besarnya rasio R per C atas biaya tunai maupun atas biaya total petani pemilik (2,42 dan 1,19) dari petani penggarap (1,07 dan 1,08). Berdasarkan analisis pendapatan, penerimaan dan rasio R per C atas biaya tunai dan atas biaya total, usahatani yang dilakukan oleh kedua jenis strata yaitu petani pemilik penggarap dan penggarap masih menguntungkan karena R per C rasio-nya lebih besar dari satu.
Pendapatan petani (pemilik dan penggarap) masih dapat ditingkatkan lagi karena dalam berusahatani petani masih belum dapat memksimalkan teknik budidaya yang lebih efisien. Hasil analisis tataniaga yang dilakukan adalah (1) Saluran tataniaga yang terbentuk dilokasi penelitian memasarkan beras pandanwangi murni dan beras pandanwangi campuran. Jumlah saluran yang memasarkan beras pandanwangi campuran (10 saluran) lebih banyak dibanding dengan yang murni (6 saluran). Analisis marjin tataniaga, biaya dan keuntungan tidak dilakukan pada saluran-saluran yang menjual beras pandanwangi campuran tidak dilakukan. Alasannya adalah beras pandanwangi campuran yang diperjualbelikan tidak dapat diasumsikan merupakan beras campuran yang memiliki perbandingan dalam jumlah yang sama, diantara lembaga-lembaga terkait dalam proses pengolahan dan pengemasannya. (2) Lembaga-lembaga yang terlibat dalam penyaluran beras dan tingkat petani hingga konsumen akhir adalah pedagang pengumpul, pedagang besar daerah dan luar daerah, pasar swalayan dan pedagang pengecer daerah dan luar daerah. Fungsi tataniaga yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut berupa fungsi pertukaran (pembelian dan penjualan), fungsi pengadaan secara fisik (penyimpanan, pengolahan, pengangkutan) serta fungsi pelancar (sortasi dan grading). (3) sebaran nilai marjin saluran tataniaga beras pandanwangi murni jenis super dan kepala, yaitu dari 46,48 persen hingga 58,04 persen. Saluran E2 memiliki persentase nilai marjin beras jenis super yang terkecil. Dengan demikian, maka saluran E2 adalah saluran yang lebih efisien bagi konsumen beras jenis super. Saluran A merupakan saluran beras jenis super yang paling efisien bagi penjual. Hal ini dikarenakan saluran A mempunyai biaya terkecil dan total keuntungan terbesar untuk beras jenis super dengan nilai persentase sebesar 13,12 dan 43,41.Untuk beras pandanwangi jenis kepala, saluran E1 merupakan saluran yang efisien bagi konsumen beras pandanwangi jenis kepala dengan nilai marjin tataniaga sebesar 48,93 persen. Nilai keuntungan saluran D1 sebesar 17,67 persen membuat dari harga konsumen membuat saluran ini efisien bagi penjual.
Judul :
Analisis Usahatani dan Tataniaga Padi Varietas Unggul (Studi Kasus Beras Pandan Wangi di Kecamatan Warungkondang KabupatenCianjur)
Nama : Prima Gandhi
NRP :
A14104052
Menyetujui,
Dosen Pembimbing Skripsi
Dr.Ir. Heny. K. Daryanto, M.Ec NIP 131 578 790
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL
“ANALISIS USAHATANI DAN TATANIAGA PADI VARIETAS UNGGUL
(STUDI KASUS BERAS PANDAN WANGI DI KECAMATAN
WARUNGKONDANG KABUPATEN CIANJUR)” ADALAH KARYA
SENDIRI DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA
PERGURUAN TINGGI MANAPUN, SUMBER INFORMASI YANG
BERASAL ATAU DIKUTIP DARI KARYA YANG DITERBITKAN MAUPUN
TIDAK DITERBITKAN DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN
DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM BENTUK DAFTAR
PUSTAKA DI BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.
Bogor,September2008
Prima Gandhi A14104052
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 April 1986. Penulis adalah
anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Edison Muchtar dan Ibu
Yenita.
Penulis mengawali jenjang pendidikan di Taman Kanak-kanak Al-Irsyad,
Bekasi pada tahun 1989, kemudian pada tahun 1990 penulis langsung
melanjutkan ke SD Tunas Jaka Sampurna, Bekasi. Tahun 1996 penulis
melanjutkan ke SMPN 214 Jakarta. Pada Tahun 2004, penulis lulus dari SMAN 3
Jakarta dan lulus seleksi masuk IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi
Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas
Pertanian.
Semasa kuliah penulis cukup aktif mengikuti kegiatan kemahasiswaan.
Penulis aktif telibat dalam kepanitiaan maupun organisasi kemahasiswaan intra
kampus dan ekstra kampus. Pada tingkat satu penulis aktif sebagai staff komisi
advokasi DPM TPB IPB (2004-2005). Kemudian penulis pernah aktif di
organisasi peminat ilmu sosial ekonomi pertanian (MISETA) IPB di departemen
PSDM (2005-2006). Penulispun aktif pada organisasi ekstra kampus yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Penulis mendapat amanah sebagai Ketua
Umum HMI Komisariat Faperta IPB periode 2007-2008. Penulis juga aktif
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada program studi Manajemen Agribisnis,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Propinsi Jawa Barat memegang peranan penting dalam produksi beras
Indonesia. Salah satu daerah sentra produksi beras di Jawa Barat adalah
Kabupaten Cianjur. Jenis beras yang dihasilkan petani di Kabupaten Cianjur
adalah beras varietas unggul nasional IR 64 dan varietas unggul lokal spesifik
pandanwangi. Saat ini beras pandan wangi murni sudah sulit ditemui di pasaran.
Penyebabnya adalah karena sedikit petani yang menanam jenis padi pandanwangi
dan adanya beras pandanwangi campuran. Penggiatan kembali usahatani dan
perbaikan sistem tataniaga pandanwangi harus segera dilakukan masyarakat dan
pemerintah. Tujuannya untuk menjaga kelestarian jenis plasma nuftah asli
Indonesia yang hanya terdapat di Kabupaten Cianjur ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
kekurangan sehingga diperlukan saran untuk perbaikan agar menjadi lebih baik.
Semoga skripsi ini dapat memberikan mamfaat dan kontribusi pemikiran bagi
semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, September 2008
UCAPAN TERIMA KASIH
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan
berkat dan rahmat-NYA, skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis haturkan
terimakasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu banyak dalam
penulisan tugas akhir untuk menyelesaikan pendidikan sarjana ini.
1. Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec.
Terimakasih atas kesabaran Ibu, dalam membimbing bagaimana cara
menulis serta dalam memberikan banyak ide, kritik dan saran yang
membangun.
2. Dosen Penguji Utama, Dr. Ir. Ratna Winandi, MS. Terimakasih atas
kesediaan waktu Ibu untuk menguji serta memberikan ide, kritik dan saran
yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.
3. Dosen Penguji Komisi Pendidikan, Rahmat Yanuar, S.P, M.si.
Terimakasih atas kesediaan waktu Bapak untuk menguji serta memberikan
ide, kritik dan saran yang sangat membangun.
4. Petugas PPL dan Ketua Kelompok Tani Pandan Wangi di
Warungkondang: Bapak Machpudin, Bapak Entus, Bapak H.Mansyur, Ibu.
H. Mansyur dan Bapak H Pepen.
5. Pedagang Beras Pandan Wangi di Cianjur Yaitu, Bapak Iwan, Bapak
Handoyo, Bapak Rais, Bapak Yitno dan Ibu Roro.
6. Dosen Pembimbing Akademik, Dr. Ir. Heny K. S. Daryanto, M.Ec.
Terimakasih atas bimbingannya selama 5 semester.
7. Ayah dan Ibu Tercinta. Terimakasih untuk semua, limpahan kasih sayang,
motivasi dan doanya.
8. Adik-adikku Ilham Septiawan dan Arya Tama. Terimakasih atas atas
support dan doanya.
9. Semua Uni, Uda, Tante dan Om, terimakasih atas support dan bantuan
lainnya.
11.Teman-teman sepermainanku: Aulia N (AGB), Herikson (AGB), Guntur
(AGR), Satria (TIN), Beng-Beng (TIN), Wahyu (AGR), Didit (HPT) dan
teman-teman lainnya.
12.Teman-teman seperjuangan selama KKP di Desa Bumi Jawa Tegal:
Semoga sukses untuk kita semua di masa mendatang.
13.Teman satu bimbingan skripsi : Ariani Dian, Mitha, Reni, Laura dan
Viona.
14.Kanda/Yunda, Teman-teman dan Adinda di HMI Komisariat Fakultas
Pertanian IPB ( Kanda Yeka, Kanda Adi, Bang Aliansyah, Bang Ian, Bang
Laso, Bang Dika, Fandy, Dina, Siri, Nuy, Mirza, Galih, Andri, Indri, dan
semua keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Pertanian IPB)
15.Bang Karim, Bang Dila, Bang Sofyan, Bang Sultan dan Abang-abang
lainnya, Syahril Ilhami terima kasih atas semangat dan ilmu
pengetahunanya selama ini.
16.Rekan C1-001, SOSEK 41, PONDOK IONA, DPM TPB 2004-2005 dan
MISETA. Terimakasih atas persahabatan yang tak ternilai selama di IPB.
17.Mbak Dewi, Mbak Dian, Teh Ida, Pak Yusuf. Terimakasih banyak atas
kerjasamanya membantu penulis selama perkuliahan, seminar dan sidang.
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem ketahanan pangan merupakan persoalan tentang penyediaan bahan
pangan pokok dalam dimensi kuantitas, kualitas, ruang dan waktu bagi seluruh
masyarakat. Dalam bahasa ekonomi masalah ketahanan pangan menyangkut
persoalan ekonomi produksi, distribusi dan konsumsi.
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi 95 persen penduduk
Indonesia. Dengan jumlah 205 juta jiwa penduduk Indonesia memerlukan pangsa
energi dan protein sebanyak 55 persen (Saragih,2002). Makanan alternatif lainnya
belum mampu menggantikan beras. Oleh karena itu beras bisa dikatakan sebagai
makanan pokok bangsa Indonesia dengan permintaan di pasaran mencapai 139 kg
per kapita per tahun (BPS, 2006).
Indonesia berhasil berswasembada beras pada tahun 1984. Saat itu
ketersediaan beras nasional mencapai lebih dari 25,90 juta ton. Akan tetapi,
setelah dua dasawarsa ketersediaan beras nasional hanya mampu memenuhi 90
persen kebutuhan nasional. Agar stok beras nasional tetap terjamin pemerintah
melalui Bulog melakukan impor (Malian, 2001).
Ketersediaan beras dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketersediaan beras adalah luas areal panen (usahatani), produksi
beras atau gabah, dan jumlah penduduk. Berikut ini disampaikan risalah
perkembangan keragaan produksi padi di Indonesia dan perkembangan jumlah
Tabel 1. Perkembangan Jumlah Penduduk dan Produksi Padi Indonesia
1971-1971 119.208.229 8.324.322 20.483.687 24,61
1980 147.490.298 9.005.065 29.651.905 32,93 2,64 0,91 4,97 3,76 1990 179.378.946 10.502.357 45.178.751 43,02 2,16 1,66 5,24 3,06 1995 194.754.808 11.438.764 49.744.140 43,49 1,71 1,78 2,02 0,22 2000 205.132.458 11.793.475 51.898.852 44,01 1,07 0,62 0,87 0,24 2005 218.868.791 11.839.060 54.151.097 45,74 1,34 0,08 0,87 0,79 2006 222.051.300 11.786.430 54.454.937 46,02 1,45 0,04 0,56 1,01 2007 224.904.900 12.124.827 57.051.679 47,05 1,29 2,87 4,77 1,84 2008 227.779.100 12.299.391 58.268.796 47,38 1,28 1,44 2,13 0,68
Sumber : Bappenas, UNDP dan Deptan (Diolah)
Keterangan :
1. Jumlah penduduk diatas tahun 2000, merupakan data proyeksi
2. Produksi padi tahun 2008, merupakan angka ramalan Deptan
3. Produktivitas = Produksi Padi per Luas Lahan Panen
Tabel 1 diatas menerangkan bahwa; Pertama, penduduk Indonesia terus
mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan yang relatif berbeda untuk
setiap periodenya. Selama kurun 1971-1990 laju pertumbuhan penduduk sebesar
2,40 persen per tahun. Laju pertumbuhan pada periode 1990-2008 menurun
menjadi 2 persen per tahun. Selama periode 2005-2008 laju pertumbuhan
penduduk sekitar 1,34 persen. Kedua, Pemerintah sudah berupaya dalam
meningkatkan produksi beras nasional melalui upaya peningkatan areal panen dan
berbagai upaya peningkatan produktivitas padi. Laju peningkatan pertambahan
areal panen pada periode 1971-2008 sebesar 1,29 persen per tahun. Laju
peningkatan produksi periode 1971-2008 sebesar 4,98 persen per tahun. Pada era
tahun 1980-an laju peningkatan produksi relatif besar dan sempat mengalami
tahun 2007 produksi padi mengalami peningkatan yang cukup besar. Ketiga
mencermati angka-angka laju pertumbuhan masing-masing indikator terlihat
bahwa dari tahun 1995, laju peningkatan luas areal panen dan laju peningkatan
produksi selalu dibawah laju peningkatan penduduk, terkecuali pada tahun 2007
dan 2008. Hal ini menandakan adanya upaya dalam memecahkan stagnasi
pertumbuhan produksi padi di Indonesia.
Produksi padi di Indonesia cenderung stabil. Badan Pusat Statistik (BPS)
tahun 2001 menunjukkan angka produksi padi hanya mencapai 50,46 juta Ton
gabah kering giling (GKG) atau menurun sekitar 1,44 juta ton GKG (2,77 persen).
Apabila angka tersebut dibandingkan dengan produksi tahun 2000 yang mencapai
51,90 juta ton GKG, maka produksi tahun 2002 meningkat sebesar 0,75 persen
atau sebesar 50,84 juta ton GKG dibandingkan tahun 2001. Dalam kurun waktu
1984-2002 oleh Badan Pusat Statistik luas panen, produksi dan produktivitas padi
di Indonesia ditunjukkan oleh Tabel 2. Penyebab menurunnya produksi adalah (i)
tidak ditemukannya teknologi yang tepat untuk mengolah lahan di luar Pulau
Jawa; (ii) tidak adanya diversifikasi teknologi pangan; serta (iii) meningkatnya
populasi penduduk di Indonesia (pada Tabel 1).
Tingkat produksi dan produktivitas padi nasional mengalami peningkatan
dari tahun 1971 sampai 2008. Akan tetapi laju pertumbuhan produksi padi dan
laju peningkatan produktivitas padi setiap tahunnya berfluktuasi (Tabel 1). Hal itu
disebabkan oleh berkurangnya luas areal panen.
Peningkatan produksi padi di Indonesia belum mampu mencukupi
permintaan kebutuhan masyarakat dalam negeri. Akibatnya pemerintah
kurun waktu 1997-2002 cenderung fluktuatif kecuali tahun 1998 saat puncak
krisis ekonomi. Pada tahun 2004-2006 nilai volume impor beraspun berfluktuatif
tetapi terjadi penurunan yang signifikan nilai impor tahun 2004-2006 dibanding
tahun 1997-2002.
Peningkatan impor beras pada kurun waktu 1997-2002 juga disebabkan
oleh penurunan produksi beras akibat berkurangnya luas panen yang disebabkan
adanya konversi lahan, yang menurunkan luas panen sehingga produktivitas
menurun dari tahun sebelumnya. Selain itu faktor alam seperti El Nino,
kekeringan, perubahan iklim serta cuaca dalam kurun waktu 2003 dan 2004 juga
ikut mempengaruhi produksi dan produktivitas. Perkembangan impor beras
Indonesia sejak tahun 1997-2006 di sajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan Impor Beras di Indonesia Tahun 1997-2006
Tahun Jumlah (Ton)
Sumber : Andi Irawan, 2007
Besarnya volume impor beras menimbulkan berbagai pro-kontra di
kalangan masyarakat. Volume impor beras menimbulkan masalah bagi petani padi
di Indonesia, karena ketidakmampuan bersaing dalam permasalah harga. Harga
beras impor cenderung lebih murah dibandingkan dengan harga beras lokal yang
memiliki mutu dan kualitas yang hampir sama. Harga beras impor di Pasar Induk
tersebut lebih rendah dibandingkan beras lokal dari petani dengan kualitas standar
termurah yang harga jualnya paling murah berkisar antara Rp. 3.500 dan Rp.
3.600 per kg. Dampaknya petani lokal merugi karena harga mereka tidak
ekonomis dibandingkan dengan beras impor (Andi Irawan,2007).
Konsumen lebih memilih beras impor karena harganya lebih murah
dengan kualitas yang tidak berbeda. Hal ini menyebabkan penurunan pendapatan
petani padi. Selain itu penyebab penurunan pendapatan petani adalah tingginya
ongkos produksi yang dikeluarkan petani berupa biaya pengolahan lahan (tanah),
penyediaan sarana produksi pertanian (saprotan), biaya input pertanian (seperti
pupuk,benih dan lain-lain), biaya transportasi dan biaya-biaya yang lainnya
mengalami kenaikan. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya penurunan
pendapatan usahatani petani padi.
1.2 Perumusan Masalah
Dalam rangka pemenuhan pangan penduduk Indonesia yang jumlahnya
terus meningkat, produksi beras dari Pulau Jawa masih diandalkan oleh
pemerintah. Pulau Jawa memegang peranan penting dalam produksi beras, dengan
produksi sekitar 56 persen, selebihnya 22 persen di Pulau Sumatera, 10 persen di
Pulau Sulawesi dan 5 persen di Pulau Kalimantan. Di perkirakan beberapa tahun
kedepan Pulau Jawa tetap akan menjadi produsen utama beras di Indonesia.
Pemerintah tetap mengandalkan Pulau Jawa sebagai produsen beras utama
di Indonesia. Propinsi Jawa Barat yang terletak di Pulau Jawa terus meningkatkan
produksi beras, minimal untuk memenuhi kebutuhan beras bagi penduduknya
3,99 persen. Hal ini harus diikuti oleh peningkatan mutu yang baik sebab saat ini
peningkatan mutu (intensifikasi) padi belum mendapat perhatian serius karena
penurunan produksi padi di Jawa barat rata-rata 0,37 persen per tahunnya (Dinas
Perkebunan dan Hortikultura, 2006).
Ketersedian pangan di Jawa Barat masih ditopang oleh produksi sendiri,
cadangan masyarakat dan impor. Ada beberapa daerah lumbung padi (daerah
penghasil padi utama di propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Cianjur termasuk
salah satu diantaranya.
Kabupaten Cianjur merupakan daerah agraris yang flatform
pembangunannya bertumpu pada sektor pertanian. Hal ini dibuktikan dengan
keberhasilan Kabupaten Cianjur menjadi salah satu daerah di Jawa Barat yang
berswasembada padi. Dengan jumlah produksi padi per tahun sekitar 625.000 ton,
kabupaten ini masih memperoleh surplus padi (surplus bersih) sekitar 40 persen
per tahunnya setelah dikurangi kebutuhan konsumsi lokal dan benih (Dinas
Pertanian Kab. Cianjur, 2006)
Produksi pertanian padi terdapat di seluruh wilayah Kabupaten Cianjur,
akan tetapi dalam menghasilkan produk hasilnya masih berfluktuasi setiap
tahunnya (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3, terlihat bahwa sebelum krisis ekonomi
di tahun 1997, produksi padi sawah sudah mulai mengalami penurunan
(1995-1996). Hal ini disebabkan oleh jumlah lahan yang ditanami dan luas lahan yang
dipanen, keduanya sama-sama mengalami penurunan. Keberhasilan panen raya,
pengendalian hama, irigasi dan pemupukan yang lebih baik (intensifikasi
pertanian yang optimal) menjadi faktor yang mempengaruhi peningkatan
saat terjadinya puncak krisis ekonomi. Hal ini mengakibatkan inflasi yang tinggi,
sehingga berdampak terhadap kenaikan semua barang dan jasa.
Tabel 3. Perbandingan Keadaan Tanaman Padi Sawah Tahun 1995-2001 di Daerah Kabupaten Tingkat II Cianjur
Tahun Luas Tanam (Ha) Luas Panen (Ha) Produksi Bruto (Ton) Produktivitas (Kw/Ha)
1995 114,923 104,630 664,601 63,52
1996 107,338 104,430 646,568 61,91
1997 102,550 86,846 630,175 72,56
1998 128,358 111,021 659,499 59,40
1999 116,326 113,948 678,104 59,51
2000 110,091 109,430 661,757 60,11
2001 109,710 107,430 659,906 60,15
Sumber: Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur Tahun 1997-2002
Kenaikan harga faktor-faktor input pertanian seperti benih padi, pupuk dan
alat-alat produksi (Saprodi) pertanian, menyebabkan sebagian besar petani di
Kabupaten Cianjur tidak bisa mengolah lahannya. Hal ini disebabkan oleh dua
kemungkinan yaitu : terbatasnya modal petani dalam mengolah usahataninya dan
penerimaan (income) petani lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang harus
dikeluarkannya (outcome).
Penurunan luas lahan di Kabupaten Cianjur ternyata berbanding lurus
dengan penurunan luas panen yang mempengaruhi penurunan jumlah produksi
padi. Penyebabnya tidak berbeda jauh dengan kondisi umum pertanian di
Indonesia, yaitu maraknya konversi lahan menjadi perumahan ataupun dijadikan
daerah industri. Dampaknya adalah lahan yang ditanami padi di daerah Cianjur
menjadi berkurang. Hal ini merupakan bukti nyata dari neoliberalisme di
Indonesia yang terbukti menumpas kehidupan petani.
Tabel 3 juga menunjukkan bahwa produksi padi sawah mengalami
menjadi 678,104 ton pada tahun 1999). Peningkatan produksi pasca krisis terjadi
karena sebagian besar petani menanami kembali lahannya (kecuali tahun 1999
luas lahan yang di tanam menurun dibanding tahun sebelumnya). Namun
peningkatan jumlah produksi tersebut tidak diikuti dengan peningkatan
produktivitas. Angka produktivitas hingga tahun 1999 menurun dibandingkan
tahun 1997 (dari 61,45 Kw per Ha menjadi 59,51 Kw per Ha). Hal itu
menunjukan keberhasilan panen tidak merata di semua wilayah Cianjur.
Peningkatan jumlah produksi pasca krisis ekonomi tidak berlangsung lama, yakni
hanya tahun 1998 dan 1999. Tampak pada Tabel 3 bahwa pada tahun 2000 hingga
2001 produksi padi sawah menurun kembali. Penyebabnya adalah karena luas
lahan tanam dan luas panen mengalami penurunan.
Sebagian besar petani di Kabupaten Cianjur menanami padi varietas
unggul nasional IR 64 dan varietas unggul lokal spesifik (Tabel 4) yaitu
pandanwangi. Tabel 4 menunjukan varietas-varietas yang ditanam oleh petani
padi di Kabupaten Cianjur. Secara khusus Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur
menetapkan padi varietas pandanwangi menjadi komoditas unggulan utama hasil
pertanian di samping tanaman Palawija, sayuran, buah-buahan dan tanaman hias.
Pemerintah Kabupaten Cianjur yang diwakili oleh Dinas Pertanian beserta
jajarannya, menggalakan kembali pembentukan kelompok petani khusus untuk
padi pandanwangi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan produksi padi
pandanwangi sebagai komoditas unggulan daerah Cianjur dan mempermudah
komunikasi berupa transfer informasi teknologi pertanian antara petani dengan
pemerintah (petugas penyuluhan pertanian, petugas dinas dari Departemen
kelompok tani ini diharapkan dapat memecahkan pelbagai permasalahan yang
terjadi ditingkat petani seperti masalah dalam hal pembudidayaan (usahatani) dan
tataniaganya (pemasarannya).
Tabel 4. Realisasi Penyebaran Varietas Padi
Masa Tanam : Bulan September 2001 S per D Bulan Februari 2002
6.Cilamaya Muncul 246 ‐ 246
7.Widas 4.793 ‐ 4.793
8.Ciherang 1.449 ‐ 1.449
9.Aromatik 50 ‐ 50
10.Towuti 250 521 771
II Varietas Lokal
1.Pandan Wangi 14.939 ‐ 14.939
2.Tembleg ‐ 6.559 6.559
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur (2003)
Daerah-daerah penghasil padi pandanwangi sebagian besar merupakan
daerah yang kaya akan air, sehingga jarang ditemui adanya permasalahan yang
berkaitan dengan air dalam pembudidayaaannya. Padi jenis pandanwangi
memiliki perbedaan dibandingkan dengan jenis padi lainnya. Perbedaaan tersebut
adalah pada proses pembudidayaan hingga proses penangganan pasca panennya
(penggolahan dari bentuk gabah menjadi beras). Umur tanaman yang lebih lama
memiliki bentuk dan tekstur serupa, sehingga beras yang beredar di pasaran
sebagian besar merupakan beras pandanwangi campuran.
Pola tataniaga beras pandan wangi dari tingkat petani hingga konsumen
akhir melalui berbagai lembaga tataniaga yang terlibat dalam suatu saluran
tataniaga. Banyaknya mata rantai saluran tataniaga dari tingkat petani hingga
konsumen akhir menyebabkan besarnya perbedaan harga produk yang diterima
oleh petani dan harga produk yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Dalam hal
ini petani sebagai produsen, cenderung untuk menjual gabah kepada lembaga
tataniaga selanjutnya dari pada mengolahnya secara langsung. Semakin banyak
lembaga yang terlibat dalam tataniaga beras, maka semakin besar nilai marjin
tataniaga yang akan terjadi (Primas, 2008).
Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi
pandanwangi yang diterima petani penggarap dan pemilik penggarap di
lokasi penelitian.
2. Bagaimana efisiensi dan marjin tataniaga padi pandanwangi di lokasi
penelitian.
3. Bagaimana struktur pasar dan fungsi tataniaga padi pandanwangi di lokasi
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis penerimaan, biaya dan pendapatan usahatani padi
pandanwangi yang diterima petani penggarap dan pemilik penggarap.
2. Melihat efisiensi, dan marjin tataniaga komoditas padi pandanwangi di
lokasi penelitian.
3. Mengetahui struktur pasar dan fungsi tataniaga komoditas padi
pandanwangi seperti lembaga dan saluran tataniaga, farmer share, rasio
keuntungan dan biaya tataniaga di lokasi penelitian.
1.4 Manfaat Penelitian
Sehubungan dengan tujuan yang telah ditetapkan, maka penelitian ini
diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi dalam hal
usahatani dan tataniaga beras varietas unggul khususnya komoditi beras
(pandanwangi), terutama bagi instansi terkait seperti Pemerintah Daerah Tingkat
II Cianjur beserta Dinas Pertaniannya dalam rangka mengambil langkah-langkah
yang tepat untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi produksi beras
pandanwangi sebagai varietas unggul daerah serta memperbaiki sistem tataniaga
yang selama ini dilakukan. Bagi penulis penelitian ini merupakan sarana untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh selama di bangku kuliah, serta sebagai
syarat dalam menyelesaikan studi di bangku kuliah. Selain itu, penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan masukan bagi penelitian berikutnya yang berkaitan
1.5 Ruang Lingkup penelitian
Penelitian ini dibatasi oleh:
1. Produk yang diteliti adalah Beras Pandan Wangi, yang difokuskan pada beras
pandan wangi jenis super dan kepala
2. Objek Penelitian adalah petani dan pedagang beras (lembaga tataniaga)
pandanwangi di kabupaten Cianjur yang berjumlah 30 responden dan 24
pedagang yang berdagang di Kabupaten Cianjur, Kota Cianjur, Kota Bogor
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Komoditas Beras
Beras yang berasal dari Padi (Oryza Sativa Sp) merupakan bahan makanan
pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Rata-rata konsumsi beras masyarakat
Indonesia adalah 290 gr per kapita per hari (Susenas, 2002). Beras memiliki rasa
yang enak, sesuai dengan selera masyarakat Indonesia umumnya serta memiliki
kandungan gizi (kalori dan protein) yang jauh lebih tinggi dibanding komoditas
yang lainnya (seperti jagung, ketela, kentang dan sagu).
Beras termasuk komoditas pertanian strategis, karena ketahanan dan
kedaulatan pangan Indonesia saat ini bertumpu pada produksi beras dengan
jumlah yang sesuai konsumsi nasional, harga terjangkau dan bergizi tinggi. Untuk
itu pemenuhan kebutuhan pokok ini tergantung pada produksi beras dalam negeri.
Apabila terjadi kekurangan stok beras nasional akibat kurangnya produksi dalam
negeri, pemecahan yang selalu dilakukan pemerintah adalah dengan cara
mengimpor beras dari luar negeri.
2.2 Gambaran Beras pandanwangi
Pandanwangi adalah beras khas Cianjur yang berasal dari padi bulu
varietas unggul lokal Javanica. Aroma yang dimiliki oleh padi dan beras ini
adalah aroma daun pandan, maka sejak tahun 1973 padi ini dikenal dengan
sebutan “pandanwangi”. Deskripsi padi pandanwangi antara lain; Varietas unggul
lokal ini ditanam di dataran sedang dengan ketinggian sekitar 700 m di atas
1.000 butir gabah adalah 30 gr, beraroma daun pandan, kadar amilose 26 persen
dan potensi hasil 6-7 Ton per Ha malai kering pungut.
Jenis padi varietas lokal asli Cianjur ini secara terbatas di tanam pada
areal pesawahan di Kecamatan Warung Kondang, Cugenang, Cianjur dan
sekitarnya dengan ketinggian 700 meter dari permukaan laut. Termasuk varietas
Javanika (varietas unggul) atau padi bulu dengan ciri-ciri tinggi tanaman rata-rata
diatas 1 meter, tidak tahan rebah, umur panjang (panen 2 kali setahun) dan kurang
respon terhadap pemupukan. Ciri-ciri lainnya adalah tidak tahan terhadap virus
kerdil, rumput dan tungro, rasanya beras enak, wangi dan tidak basi sehingga
harga beras jenis ini cukup mahal. Keunikannya apabila padi ini ditanam di luar
daerah setra produksinya di Cianjur, maka rasanya berbeda dan aroma pandannya
tidak muncul (Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur,2002). Daerah-daerah sentra
produksi padi pandanwangi di Kabupaten Cianjur tertera pada Tabel 5.
Tabel 5. Daerah Sentra Produksi padi pandanwangi di Kabupaten Cianjur Tahun 2002
Kecamatan Jumlah Kelompok Tani
Wr.Kondang 28 2,597 2,985 760 6,298 348 5,950
Cibeber 20 818 3,200 351 2,080 216 1,864
Cugenang 14 912 2,174 357 1,874 468 1,406
Cilaku 31 412 2,574 210 1,472 143 1,329
Cianjur 14 494 1,206 183 1,088 187 901
Campaka 2 40 2,800 15 88 12 76
Jumlah 78 4,870 14,939 1,876 12,901 1,374 11,527
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Cianjur 2002
Menurut laporan Dinas Pertanian Kabupaten Cianjur (2001), beras
diantaranya protein, lemak, gula pereduksi, zat besi (Fe), zat tembaga (Cu) dan
kalori. Persentase kadar gula pereduksi lebih besar dibandingkan dengan kadar
protein dan lemak (Tabel 6).
Teknik usahatani padi pandanwangi hampir sama dengan menanam padi
varietas lokal lainnya. Langkah pertama adalah persiapan pengolahan tanah
dimulai dengan pembabatan jerami, pembuatan saluran air sepanjang pematang
dan perbaikan pematang yang dikerjakan dengan menggunakan cangkul dan arit.
Kemudian langkah pengolahan tanah dapat dilakukan dengan mengunakan tenaga
manusia, hewan ataupun mesin. Alat yang biasa digunakan adalah bajak, garu,
papan perata tanah, singkal dan rotari. Langkah berikutnya adalah membuat
persemaian dan pemupukan persemaian. Persemaian dibuat pada bagian sawah
yang airnya terjamin terhindar dari banjir pada waktu hujan serta terhindar dari
gangguan ternak peliharaan. Luas lahan persemaian perhektar antara 450-500
meter persegi. Proses ini dikerjakan dengan tenaga manusia dan mengunakan
cangkul. Setelah itu proses selanjutnya adalah pembenihan dan perlakuan benih.
Benih yang baik adalah benih hasil pemurnian pertumbuhan di lapangan (sawah).
Benih yang diperlukan dalam satu hektar sawah adalah 30-40 kg.Waktu yang
diperlukan dalam penyemaian sehingga menjadi malai antara 160-180 hari.
Setelah berbentuk malai barulah dilakukan persiapan tanam. Proses persiapan
tanam meliputi : (1) Meratakan dan menggaris, (2) Mencabut bibit dan menanam.
Dalam proses tersebut alat yang digunakan adalah alat caplakan, tali, golok dan
koran, sebagai alat pengangkut bibit digunakan tangkai merang padi. Tenaga yang
digunakan adalah tenaga kerja manusia. Proses selanjutnya adalah pemupukan.
SP 36 100-150 kg, KCl 50-75 kg. Apabila mengunakan pupuk organik maka
bahan organik yang digunakan adalah feces atau urine hewan baik unggas
maupun hewan ternak domba, kambing atau sapi, sampah organik dapur berupa
sisa-sisa sayuran, abu hawu dan sampah dapur organik lainnya, sisa tanaman padi
(jerami), pohon pisang serta rumput-rumputan. Dosis pupuk organik yang
diberikan cukup 4-6 ton per hektarnya. Langkah selanjutnya yang harus dilakukan
adalah pengendalian hama dan penyakit padi pandanwangi. Hama yang dominan
menyerang tanaman padi adalah tikus, keong mas, walang sangit, hama putih dan
Ulat Grayak. Sedangkan penyakit yang banyak menyerang adalah Balst, Tungro.
Untuk menanggulanginya biasanya digunakan pestisida sesuai dengan hama atau
penyakit yang diderita. Kemudian penyiangan dan sanitasi serta pengaturan air di
sawah (irigasi) adalah hal yang harus dilakukan sebelum panen. Panen padi
pandanwangi di panen sekitar 145-155 hari setelah tanam atau 160-190 hari
semai. Alat yang digunakan adalah ani-ani. Setelah padi dipanen dilakukan
proses penjemuran secara bertahap 3-4 hari.
Dari segi tataniaganya beras pandanwangi banyak dijual di toko-toko dan
kios-kios beras di sekitar Kota Cianjur yang dijajakan dalam berbagai ukuran
kemasan mulai dari 5 kg sampai dengan 50 kg dengan berbagai grade dan
kualitas, diantaranya beras super, beras kepala ( I dan II). Harga beras di pasaran
Tabel 6. Kandungan Zat Gizi Beras pandanwangi per 100 gram
No Parameter Satuan Hasil
1. Kadar Protein % 8,97
2. Kadar Lemak % 0,32
3. Kadar Gula Pereduksi % 63,39
4. Fe Ppm 4,65
5. Cu Ppm 6,42
6. Kalori kg/g 14,81
Sumber : Institut Pertanian Bogor (IPB) (2001)
Selain pandanwangi, petani di Kabupaten Cianjur juga menanam padi
varietas IR 64, Cisadane, Way seputih, Way Apo Buru, Cibodas, Cilamaya
Muncul, Widas, Ciherang, Aromatik, Towuti, Tambleg, Cere, Hawara, Cingkrik,
Boneng dan BTN. Jenis padi non lokal yang banyak ditanam oleh petani adalah
IR 64. Pemerintah mengenalkan jenis padi non lokal pertama kali melalui
Program Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW). Berbeda dengan padi
pandanwangi, penanaman padi IR 64 menyebar diseluruh daerah Kabupaten
Cianjur. Hal itu terlihat dari realisasi penyebaran padi ini pada masa tanam
periode September 2001 sampai dengan Februari 2002 yang mencapai 29,828 Ha.
Perkiraan hasil potensial padi varietas ini mencapai 5-7 Ton per Ha dalam satu
kali panen.
2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian Satria (1995), yang bertujuan menelaah masalah perberasan
pasca swasembada di Indonesia, perkembangan konsep dan pemikiran tentang
kebijakan perberasan, dampak berbagai kebijakan perberasan terhadap
kesejahteraan petani serta masalah perberasan di Indonesia dalam menghadapi
pasar global. Berdasarkan penelitian tersebut, dalam tataniaga beras terdapat
Shaffreddie (1998) mengkaji perkembangan produksi di Indonesia dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhinya; mengkaji perkembangan
konsumsi beras di Indonesia untuk keperluar konsumsi rumah tangga, non rumah
tangga dan kegiatan ekspor-impor, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhinya; mengkaji pola tataniaga beras di Indonesia dan lembaga
tataniaga yang terlibat di dalamnya; serta mengkaji peranan BULOG dalam
pengadaan, penyaluran, dan penyediaan cadangan beras nasional.
Wijaya (2002) dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui keragaan
usahatani padi input rendah di Kecamatan Tempuran, Kabupaten Karawang,
membandingkan pendapatan dan kelayakan usahatani padi input rendah terhadap
usahatani padi input tinggi atau konvensional; dan mengetahui level efisien
penggunaan faktor produksi pada usahatani padi input rendah.
Hasil penelitiannya menunjukan bahwa pendapatan kotor dan pendapatan
bersih usahatani petani input rendah pemilik lebih besar dibandingkan dengan
petani input rendah penggarap. Begitu pula pendapatan kotor dan pendapatan
bersih petani konvensional pemilik lebih tinggi dibanding petani konvensional
penggarap.
Wijaya menyatakan bahwa usahatani padi input rendah berada pada daerah
produksi yang rasional, namun penggunan faktor produksinya belum mencapai
level efisien. Hal ini dilihat dari rasio VMPx per Px masing-masing faktor
produksi yang lebih besar atau lebih kecil dari satu.
Andrida (1993) mengunakan Index of Market Connection (IMC) sebagai
alat analisis untuk melihat tingkat keterpaduan pasar antara pasar-pasar lokal di
tersebut diperoleh bahwa keterpaduan pasar dalam jangka pendek antara PIBC
dengan pasar-pasar di wilayah DKI Jakarta untuk jenis IR dan Cisadane maupun
gabungan keduanya terlihat sangat rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa
pembentukan harga di pasar-pasar lokal hampir seluruhnya ditentukan oleh
kondisi pasar itu sendiri, sehingga informasi harga yang ditentukan di pasar
referensinya kurang berpengaruh.
Penelitian Komara pada tahun 2000, yang bertujuan untuk mengetahui
saluran tataniaga yang terdapat dalam tataniaga komoditas beras di Kabupaten
Karawang, serta lembaga-lembaga apa saja yang terlibat di dalamnya,
menganalisis marjin tataniaga diantara lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat
dalam tataniaga beras serta fungsi-fungsi yang dilakukan oleh Bulog atau Sub
Dolog dan Non Bulog dilihat dari marjin tataniaga serta indeks keterpaduan
pasarnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa saluran tataniaga beras memiliki
banyak alternatif, diantaranya ditelusuri sebanyak dua belas saluran tataniaga.
Lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam tataniaga itu adalah pedagang
pengumpul, huller, pedagang besar daerah, pedagang besar luar daerah, pedagang
pengecer, KUD serta Dolog. Dengan fungsi tataniaga yang dilakukan adalah
fungsi pertukaran (pembeli dan penjualan), dan fungsi fisik (penyimpanan,
pengolahan, pengangkutan) serta fungsi fasilitas (standarisasi dan grading).
Menurut Komara, semakin banyak penambahan fungsi tataniaga dan
lembaga tataniaga yang terlibat akan menghasilkan biaya tataniaga yang semakin
tinggi dan mempengaruhi marjin tataniaga yang terbentuk. Dari analisis marjin
tataniaga dan penyebarannya, saluran tataniaga melalui Bulog lebih efisien
antara Pasar Induk Cipinang (PIC) dengan Bulog maupun dengan KUD
Binamukti dalam jangka pendek masih rendah. Hal ini menunjukan pembentukan
harga pada satu pihak tidak membawa pengaruh bagi pihak lain.
Penelitian Syahroni (2001), bertujuan antara lain untuk menganalisis ; (1)
mekanisme pasar oleh PIC (Pasar Induk Cipinang), (2) pangsa pasar beras PIC
dan tingkat persediaan beras stabil yang perlu dipertahankan PIC dan, (3)
keterpaduan pasar beras melalui Index of Market Connection (IMC) di DKI
Jakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, saluran tataniaga beras dari daerah
hingga konsumen mempunyai enam alternatif pola. Pangsa PIC dalam distribusi
beras untuk wilayah DKI pada tahun 1997 sebesar 57,21 persen dan pada tahun
1998 sebesar 55,56 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa pasokan langsung dari
daerah semakin lama semakin meningkat, tetapi juga ada indikasi masuknya
pasokan beras dari daerah Lampung, karena fasilitas transportasi dari Lampung
sama baiknya dengan Cirebon.
Menurut Syahroni, jumlah beras yang harus disediakan di PIC adalah
sebesar 1,784 ton per hari supaya stok beras terjamin. Dengan demikian perlu ada
penambahan sekitar 208 Ton per hari dari kondisi tersebut. Dari data harga tahun
1999 yang dianalisisnya menunjukkan tidak adanya keterpaduan pasar antara
pasar induk dengan pasar eceran, karena besaran koefisien IMC-nya semua lebih
Tabel 7. Tabel Penelitian Tataniaga Terdahulu
No Nama Tahun Penelitian Judul penelitian Alat analisis Hasil Penelitian 1 Nanang F 1998 Analisis Efisiensi
Tataniaga Mangga
Cangkir,Arumanis dan Gedong di
Indramayu
(1) Analisis efisiensi saluran tataniaga, (2)
Marjin tataniaga
Sistem tataniaga mangga tidak efisien karena kecilnya nilai marjin pemasaran dan
tidak adanya keterpaduan pasar
2 Hermanto 1998 Analisis Deskripsi
Sistem Tataniaga
Komoditas Cabai
Merah di Tegal, Brebes dan
Pemalang
(1) Analisis efisisensi
saluran tataniaga,
(2)Marjin tataniaga
orientasi pemasaran daerah penghasil
cabai adalah Pasar Induk Kramat jati
3 Bambang H 1999 Analisis Sistem Tataniaga Gula Pasir
Pasca Monopoli Bulog
(1) Analisis keterpaduan pasar secara vertikal, (2)
Marjin tataniaga
Persaingan di tingkat pedagang pengecer sangat ketat dan kompetitif hal ini
ditunjukan dengan nilai marjin pengecer yang kecil
4 Rinaldi 2002 Hubungan Persepsi
Calo Beras Terhadap
sebagai penghubung dan negositor
5 Nanang S 2005 Analisis Tataniaga Beras di Pasar
Tradisional dan
Modern di DKI Jakarta
(1) Analisis struktur pasar, (2) Marjin pemasaran
Petani berda dalam posisi yang paling lemah karena sebagai price taker dalam
saluran tataniaga
6 Hasniah 2005 Analisis Efisiensi
Sistem Tataniaga
Saluran tataniaga yang paling efisien
adalah Petani, Pedagang pengecer, Konsumen karena memiliki marjin
tataniaga yang terkecil
7 Tita Tehyati 2005 Analisis Efisiensi
Tataniaga Ikan Hias
Saluran Tataniaga sudah efisien karena
strukturnya adalah pasar persaingan sempurna dna efisiensi secara ekonomis
sudah terjadi 8 Nursakinah 2006 Analisis Efisiensi
Tataniaga Ikan Hias
Saluran yang paling sedikit rantainya yaitu Petani,Pedagang Besar, Eksportir
merupakan saluran yang paling efisien,
karene memiliki marjin tataniaga terkecil 9 Dwi Haryanto 2006 Analisis Efisiensi
Tataniaga Ikan Hias
Sistem tataniaga pupuk urea belum efisien agar efisien perlu dibangun gudang pupuk
urea di lini III (kabupaten) 10 Diah Maharani 2007 Analisis Efisiensi
Tataniaga Ikan Hias
Air Tawar di Rancamaya, Bogor
(1) Analisis Pendapatan Usahatani, (2) Analisis
Struktur pasar, (3) Marjin tataniaga, (4) Farmer's
share
Ada 5 saluran tataniaga jamur tiram putih di Bandung, tidak ada saluran yang efisien
karean marjin pemasaran lembaga lebih besar daripada petani Sumber : Skripsi Tahun 1998, 1999, 2002, 2005, 2006, dan 2007
III KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Usahatani
Usahatani adalah seluruh organisasi alam, tenaga kerja, modal dan
manajemen yang ditujukan pada produksi di lapangan pertanian (Soeharjo dan
Patong, 1973). Organisasi ini ketatalaksanaannya berdiri sendiri dan sengaja
diusahakan oleh seseorang atau sekumpulan orang, segolongan sosial, baik yang
terikat genologis, politis maupun teritorial sebagai pengelolanya. Pada umumnya
ciri-ciri usahatani di Indonesia adalah berlahan sempit, modal relatif kecil,
pengetahuan petani terbatas, kurang dinamik sehinggga berakibat pada rendahnya
pendapatan usahatani (Soekarwi et al, 1986). Terbatasnya modal seringkali
menyebabkan petani tidak mampu membeli teknologi. Dengan keterbatasan itu
usahatani cukup dilaksanakan oleh teknologi petani sendiri.
Tujuan setiap petani dalam melaksanakan usahataninya berbeda-beda
(Soeharjo dan Patong, 1973). Apabila dorongannya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga baik melalui atau tanpa peredaran uang, maka usahatani yang demikian
disebut usahatani pencukup kebutuhan keluarga (Subsistence farm). Sedangkan
bila motivasi yang mendorongnya untuk mencari keuntungan , maka usahatani
yang demikian disebut usahatani komersial (Commercial Farm).
Soekartawi (1995), menyatakan bahwa ciri petani komersial adalah; (1)
cepatnya adopsi terhadap inovasi, (2) cepat mobilitas pencarian informasi, (3)
berani menanggung resiko dalam berusaha, (4) memiliki sumberdaya yang cukup.
teknologi serta kemajuan pembangunan yang hampir merata ke berbagai pelosok
daerah, petani tidak lagi mengusahakan usahataninya secara subsisten melainkan
semi subsisten (setengah subsisten dan setengah komersial). Perubahan tersebut
diantaranya disebabkan oleh perkembangan teknologi yang semakin maju dalam
hal produksi sehingga mempermudah pekerjaan petani, kebutuhan petani yang
semakin banyak, teknologi informasi yang memberikan berbagai informasi
produk, teknologi dan kebutuhan serta adanya perubahan pandangan masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dalam usahatani terdiri dari
faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain teknologi, penggunaan
input, dan cara (teknik) bercocok tanam. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari
cuaca, iklim, hama dan penyakit.
Hemanto (1989), menyatakan dalam usahatani selalu ada empat unsur
pokok yang sering disebut sebagai faktor-faktor produksi, yaitu :
1. Tanah
Tanah usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah, dan
sebagainya. Tanah tersebut dapat diperoleh dengan cara membuka lahan sendiri,
membeli, menyewa, bagi hasil (menyakap), pemberian negara, warisan ataupun
wakaf. Penggunaan tanah dapat diusahakan secara monokultur, polikultur,
ataupun tumpangsari.
2. Tenaga Kerja
Jenis tenaga kerja adalah tenaga kerja manusia, dibedakan menjadi tenaga
kerja pria, wanita dan anak-anak yang dipengaruhi oleh umur, pendidikan,
ketrampilan, pengalaman, tingkat kesehatan dan faktor alam seperti iklim dan
dengan cara upahan). Dalam teknis perhitungan, dapat dipakai konversi tenaga
kerja dengan cara membandingkan tenaga pria sebagai ukuran baku, yaitu :
1 pria = 1 hari kerja pria (HKP); 1 wanita = 0,7 HKP; dan 1 anak = 0,5 HKP.
3. Modal
Unsur lainnya yang mendukung kelancaran suatu kegiatan usahatani
adalah modal. Modal dalam suatu usahatani digunakan untuk membeli sarana
produksi serta pengeluaran selama kegiatan usahatani berlangsung. Sumber modal
diperoleh dari milik sendiri, pinjaman atau kredit (kredit bank, pinjaman uang dari
famili atau tetangga dan lain-lain), hadiah, warisan, usaha lain ataupun kontrak
sewa.
4. Pengelolaan atau Manajemen
Pengelolaan usahatani dalah kemampuan petani untuk menentukan,
mengorganisir dan mengkoordinasikan faktor-faktor produksi yang dikuasai
dengan sebaik-baiknya sehingga mampu menghasilkan produksi pertanian
sebagaimana yang diharapkan. Untuk dapat menjadi pengelola yang berhasil,
maka pengenalan pemahaman terhadap prinsip teknik meliputi : (a) perilaku
cabang usaha yang diputuskan; (b) perkembangan teknologi; (c) tingkat teknologi
yang dikuasai; (d) daya dukung faktor cara yang dikuasai; dan (e) cara budidaya
dan alternatif cara lain berdasar pengalaman orang lain. Pengenalan dan
pemahaman prinsip ekonomis antara lain : (a) penentuan perkembangan harga; (b)
kombinasi cabang usaha; (c) tataniaga hasil; (d) pembiayaan usahatani; (e)
pengolongan modal dan pendapatan serta (f) ukuran-ukuran keberhasilan yang
lazim dipergunkan lainnya. Panduan penerapan kedua prinsip itu tercermin dari
Ketersediaan menerima resiko sangat tergantung kepada ; (a) tersedianya modal;
(b) status petani; (c) umur; (d) lingkungan usaha; (e) perubahan sosial serta (f)
pendidikan dan pengalaman petani.
3.1.2 Analisis Pendapatan Usahatani
Usahatani yang dilakukan petani akhimya akan memperhitungkan
biaya-biaya yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh. Selisih antara biaya-biaya
yang dikeluarkan dengan penerimaan yang diperoleh merupakan pendapatan
bersih dari kegiatan usahatani.
Soeharjo dan Patong (1973), menyebut bahwa analisis pendapatan
mempunyai kegunaan bagi pemilik faktor produksi. Ada dua tujuan utama dari
analisis pendapatan, yaitu (1) menggambarkan keadaan sekarang dari suatu
kegiatan usaha, dan (2) menggambarkan keadaan yang akan datang dari suatu
kegiatan usaha. Analisis pendapatan usahatani sendiri sangat bermanfaat bagi
petani untuk dapat mengukur apakah kegiatan usahanya pada saat ini berhasil atau
tidak.
Analisis pendapatan usahatani memerlukan dua keterangan pokok, yaitu
keadaan penerimaan dan keadaan pengeluaran selama jangka waktu tertentu.
Penerimaan merupakan total nilai produk yang dihasilkan, yakni hasil kali antara
jumlah output yang dihasilkan dengan harga produk tersebut. Sedangkan
pengeluaran atau biaya adalah semua pengorbanan sumberdaya ekonomi dalam
satuan uang yang diperlukan untuk menghasilkan sutau produk dalam suatu
periode produksi.
produk yang dikonsumsi keluarga petani, dan (3) kenaikkan nilai inventaris
(selisih nilai akhir tahun dengan nilai awal tahun). Sedangkan pengeluaran
usahatani secara umum meliputi biaya tetap dan biaya variabel. Bentuk
pengeluaran usahatani berupa pengeluaran yang diperhitungkan (inputed cost).
Pengeluaran tunai adalah pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, seperti biaya
pembelian sarana produksi dan biaya untuk membayar tenaga kerja. Sedangkan
pengeluaran yang diperhitungkan digunakan untuk menghitung berapa sebenamya
pendapatan kerja petani seandainya bunga modal dan nilai kerja keluarga
diperhitungkan.
Bentuk-bentuk analisis pendapatan usahatani antara lain :
1. Analisis Pendapatan Tunai ,Pendapatan Total dan Analisis Biaya per
Satuan Produksi Usahatani yaitu analisis yang digunakan untuk melihat
keuntungan relatif dari suatu kegiatan cabang usahatani berdasarkan
perhitungan finansial. Dalam analisis ini dilakukan dua pendekatan, yaitu
perhitungan pendapatan atas dasar biaya tunai dan perhitungan atas dasar
biaya total (biaya tunai dan biaya total diperhitungkan). Analisis biaya per
satuan produksi digunakan untuk menentukan perkiraan harga jual atau
keuntungan relatif yang diperoleh dari penjualan komoditi hasil usahatani.
Dalam analisis ini digunakan untuk menentukan perkiraan harga jual atau
keuntungan relatif yang diperoleh dari penjualan komoditi hasil usahatani.
Dalam analisis ini digunakan dua unsur yang menjadi perhitungan utama,
yaitu produksi kotor dan biaya total. Produksi kotor merupakan total
pengeluaran total adalah pengeluaran yang diperlukan untuk menghasilkan
produksi tersebut.
2. Analisis Imbangan Penerimaan dan Biaya ( R per C ratio). Salah satu
ukuran efisiensi pendapatan adalah penerimaan untuk setiap rupiah yang
dikeluarkan (Revenue-Cost ratio atau R per C ratio). Rasio penerimaan
atas biaya menunjukan berapa besarnya penerimaan yang akan diperoleh
dari setiap produk dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam produksi
usahatani. Dengan analisis ini dapat diketahui apakah suatu usahatani
menguntungkan atau tidak. Jika nilai rasio R per C-nya lebih besar atau
sama dengan satu, maka usahatani tersebut menguntungkan. Sebaliknya
jika nilai rasio R per C-nya kurang dari satu berarti belum
menguntungkan. Secara teoritis dengan rasio R per C = 1 artinya tidak
untung dan tidak rugi. Namun karena adanya biaya usahatani yang
kadang-kadang tidak dihitung, maka kriterianya dapat diubah menurut
keyakinan si peneliti. Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat pada tingkat
produksi berapa suatu usahatani mencapai titik impas. Atau Break Even
Point (BEP). Bila produksi mencapai sekitar OYI, maka usahatani itu rugi,
karena R<TC; sebaliknya bila produksi berada di OY, maka usahatani itu
Rp R
TC
VC
---FC
O Y1 Y
Gambar 1. Titik Impas (Break Even Point) Usahatani
3.1.3 Tataniaga Pertanian
Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian adalah semua
kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik
dari barang-barang hasil pertanian dan barang-bamg kebutuhan usaha pertanian
dari tangan produsen ke tangan konsumen. Selain itu termasuk didalamnya
kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang
ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan
yang lebih tinggi kepada konsumennya.
Menurut Sudiyono (2002), tataniaga pertanian adalah proses aliran
komoditi yang disertai perpindahan hak milik dan penciptaan guna waktu, guna
tempat dan bentuk, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga tataniaga dengan
melaksanakan satu atau lebih fungsi-fungsi tataniaga. Tataniaga pertanian tidak
hanya meliputi aliran komoditi pertanian uang terjadi setelah proses produksi pada
usahatani, tetapi juga meliputi penyediaan input produksi untuk melakukan proses