KAJIAN KELEMBAGAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE
Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,
Kabupaten Serdang Bedagai
UMAIROH
041201009
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
KAJIAN KELEMBAGAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE
Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,
Kabupaten Serdang Bedagai
SKRIPSI
Oleh:
UMAIROH
041201009
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
KAJIAN KELEMBAGAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT
DALAM PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE
Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,
Kabupaten Serdang Bedagai
SKRIPSI
Oleh:
UMAIROH
041201009/MANAJEMEN HUTAN
Skripsi sebagai satu diantara beberapa syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
Judul : Kajian Kelembagaan dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedahgai
Nama : Umairoh
NIM : 041201009
Departemen : Kehutanan
Program Studi : Manajemen Hutan
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
Agus Purwoko, S. Hut, M.Si Ir. Ma’rifatin Zahra, M.Si Ketua Pembimbing Anggota Pembimbing
Mengetahui,
ABSTRACT
UMAIROH. Study of Public Perception In Institutional And Management of Mangrove Ecosystems: A Case Study on Large Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai, under academic supervised by AGUS PURWOKO and MA'RIFATIN ZAHRAH.
The purpose of this study is to identify, find institutional forms, the institutional structure, mechanism and output from other forms of institutional and public perceptions in the management of mangrove ecosystems in the Great Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai. The research was conducted by collecting data such primary characteristics of respondents, institutional structure and management of mangrove ecosystems. Secondary data is data which exist at the village government, districts and counties. The data is then combined with literature to enrich the contents of the study. The research concludes that the local institutions involved in the management of mangrove ecosystems in the form of formal institutions namely the Village Government, Village Consultative Body, and non formal education is a mangrove farmer groups. Institutional structure consisting of Government, District Government, Village Tool, community and farmer group consisting of a chairman, secretary, treasurer and members. The model of mangrove ecosystem management by farmer groups better than the Forest Service.. Public perception of forest damage caused by the employers and the conversion of land into farms, forests benefit from the economic, social, technology is very useful, and ecologically beneficial.. Frequency of counseling development and conservation potential of mangrove forests have never, mangrove forest conditions and management systems were poor and see the destruction of silent actions.
Keywords: mangrove forest ecosystems, species, its structure, organization and
ABSTRAK
UMAIROH. Kajian Kelembagaan Dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan
Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, dibawah bimbingan AGUS PURWOKO
dan MA’RIFATIN ZAHRAH.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengetahui bentuk kelembagaan, struktur kelembagaan, mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan dan persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti karakteristik responden, jenis dan struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Data tersebut kemudian dipadukan dengan penelusuran literatur untuk memperkaya isi penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kelembagaan lokal yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove berupa lembaga formal yakni Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan non formal adalah kelompok tani mangrove. Struktur kelembagaan terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, Perangkat Desa, masyarakat dan kelompok tani terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Model pengelolaan ekosistem mangrove oleh kelompok tani lebih baik dibandingkan dengan Dinas Kehutanan. Persepsi masyarakat terhadap kerusakan hutan disebabkan oleh pengusaha dan kegiatan konversi lahan menjadi tambak, manfaat hutan dari segi ekonomi, sosial, teknologi sangat bermanfaat, dan ekologis bermanfaat. Frekuensi penyuluhan pengembangan dan pelestarian potensi hutan mangrove tidak pernah, kondisi hutan mangrove dan sistem pengelolaan kurang baik dan tindakannya melihat pengrusakan diam saja.
RIWAYAT HIDUP
Umairoh dilahirkan di Natal pada tanggal 28 Agustus 1986 dari pasangan
Bapak H. Rahimuddin dan Ibu Fauziannur. Penulis merupakan puteri ketujuh dari
delapan bersaudara.
Tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan di Sekolah Dasar Negeri Inpres
Natal, lulus pada tahun 2001 dari SLTA Negeri 1 Natal kemudian tahun 2004
lulus dari Madrasah Aliyah Negeri Natal, Kecamatan Natal, Kabupaten
Mandailing Natal dan pada tahun 2004 lulus seleksi masuk Universitas Sumatera
Utara melalui jalur Pemanduan Minat dan Prestasi (PMP), penulis memilih
Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian.
Tahun 2006 penulis mengikuti Praktik Pengenalan dan Pengelolaan Hutan
(P3H) di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) Kabupaten Mandailing Natal.
Pada tahun 2008 penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang (PKL) di HPHTI
PT. Sumatera Riang Lestari (SRL) Sektor Sei Kebaro Labuhan Batu, Sumatera
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
Rahmat-Nya sehingga skripsi ini dapat selesai dikerjakan. Skripsi ini merupakan
penelitian yang dilakukan pada bulan Februari-April 2009 dengan judul ” Kajian
Kelembagaan Dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan Ekosistem
Mangrove”.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak, yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayahanda H. Rahimuddin, ibunda Fauziannur dan seluruh keluarga yang
telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga ananda
dapat melaksanakan studi terutama dalam penelitian ini.
2. Agus Purwoko S.Hut, M.Si dan Ir. Ma’rifatin Zahrah M.Si selaku dosen
pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis
dalam penelitian ini.
3. Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen Fakultas
Pertanian Universitas Sumatera Utara
4. Kepada seluruh informan, masyarakat Desa Kayu Besar, Kecamatan
Bandar Khalipah yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih
atas sambutan dan bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.
5. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Kehutanan, Fakultas
Pertanian, Sumatera Utara yang telah membantu kegiatan akademik mulai
dari perkuliahan sampai selesai kuliah.
Penulis menyadari banyak kekurangan dari diri penulis dalam menyusun
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnyan kepada
seluruh pihak. Besar harapan penulis dapat menerima saran dan kritik dari
berbagai pihak sehingga nantinya dapat menjadi bahan bagi penulis dalam
memperbaikinya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pembaca.
Medan, Juni 2010
DAFTAR ISI
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Ekosistem Mangrove ... 23
Letak Wilayah ... 24
Keadaan Sosial Ekonomi ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden... 28
Jenis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 30
Struktur Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove ... 33
Dinas Kehutanan ... 33
Kelompok Tani ... 36
Mekanisme dan Output Bentuk Pengelolaan Ekosistem mangrove ... 38
Dinas Kehutanan ... 38
Kelompok Tani ... 41
Persepsi Masyarakat tentang Kondisi mangrove ... 45
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 51
Saran ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 53
DAFTAR GAMBAR
Hal.
DAFTAR TABEL
Hal.
1. Skoring Data Umur ... 19
2. Skoring Mata Pencaharian ... 20
3. Skoring Data Pendidikan ... 20
4. Skoring Jumlah Anggota Keluarga Responden ... 20
5. Skoring Data Persepsi Responden ... 20
6. Skoring Data Perilaku Responden ... 20
7. Matrik Metodologi ... 22
8. Jumlah Penduduk Kayu Besar ... 26
9. Distribusi Responden Berdasarkan Umur ... 28
10. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 28
11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 29
12. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota ... 29
13. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ... 30
14. Persepsi Responden terhadap Kerusakan Hutan Mangrove ... 45
15. Persepsi Responden dari Segi Ekonomi ... 46
16. Persepsi Responden dari Segi Teknis ... 46
17. Persepsi Responden dari Segi Sosial ... 47
18. Persepsi Responden dari Segi Ekologis ... 47
19. Frekuensi Penyuluhan ... 48
20. Persepsi Responden terhadap Kerusakan Hutan Mangrove ... 48
21. Persepsi Responden terhadap Kondisi Hutan Mangrove ... 49
22. Persepsi Responden terhadap Sistem Pengelolaan Hutan Mangrove ... 49
DAFTAR LAMPIRAN
Hal.
ABSTRACT
UMAIROH. Study of Public Perception In Institutional And Management of Mangrove Ecosystems: A Case Study on Large Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai, under academic supervised by AGUS PURWOKO and MA'RIFATIN ZAHRAH.
The purpose of this study is to identify, find institutional forms, the institutional structure, mechanism and output from other forms of institutional and public perceptions in the management of mangrove ecosystems in the Great Wood Village, Kecamatan Bandar Khalipah, Serdang Bedagai. The research was conducted by collecting data such primary characteristics of respondents, institutional structure and management of mangrove ecosystems. Secondary data is data which exist at the village government, districts and counties. The data is then combined with literature to enrich the contents of the study. The research concludes that the local institutions involved in the management of mangrove ecosystems in the form of formal institutions namely the Village Government, Village Consultative Body, and non formal education is a mangrove farmer groups. Institutional structure consisting of Government, District Government, Village Tool, community and farmer group consisting of a chairman, secretary, treasurer and members. The model of mangrove ecosystem management by farmer groups better than the Forest Service.. Public perception of forest damage caused by the employers and the conversion of land into farms, forests benefit from the economic, social, technology is very useful, and ecologically beneficial.. Frequency of counseling development and conservation potential of mangrove forests have never, mangrove forest conditions and management systems were poor and see the destruction of silent actions.
Keywords: mangrove forest ecosystems, species, its structure, organization and
ABSTRAK
UMAIROH. Kajian Kelembagaan Dan Persepsi Masyarakat Dalam Pengelolaan
Ekosistem Mangrove: Studi Kasus di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, dibawah bimbingan AGUS PURWOKO
dan MA’RIFATIN ZAHRAH.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengetahui bentuk kelembagaan, struktur kelembagaan, mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan dan persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer seperti karakteristik responden, jenis dan struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove. Data sekunder berupa data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten. Data tersebut kemudian dipadukan dengan penelusuran literatur untuk memperkaya isi penelitian. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kelembagaan lokal yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem mangrove berupa lembaga formal yakni Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa, dan non formal adalah kelompok tani mangrove. Struktur kelembagaan terdiri dari Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, Perangkat Desa, masyarakat dan kelompok tani terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Model pengelolaan ekosistem mangrove oleh kelompok tani lebih baik dibandingkan dengan Dinas Kehutanan. Persepsi masyarakat terhadap kerusakan hutan disebabkan oleh pengusaha dan kegiatan konversi lahan menjadi tambak, manfaat hutan dari segi ekonomi, sosial, teknologi sangat bermanfaat, dan ekologis bermanfaat. Frekuensi penyuluhan pengembangan dan pelestarian potensi hutan mangrove tidak pernah, kondisi hutan mangrove dan sistem pengelolaan kurang baik dan tindakannya melihat pengrusakan diam saja.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan masyarakat tumbuhan atau hutan yang
beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki
peranan penting dan manfaat yang besar bagi kehidupan masyarakat khususnya di
sekitar pantai.
Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk
menghindari abrasi laut, dan berperan untuk memperluas daratan, sebagai
pelindung pantai, penahan angin, pengendali banjir dan penyerap logam berat,
bahan berbahaya dan beracun serta peningkatan produktivitas perikanan
(persemaian biota laut), sehingga kelestarian daya dukung ekosistem mangrove
memiliki arti vital bagi pembangunan. Pentingnya fungsi ekosistem mangrove
bagi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, menyebabkan
perlunya dijaga kelangsungan hutan ini, dalam artian memulihkan dan
melestarikan fungsinya untuk meningkatkan manfaat yang dapat diambil dari
ekosistem mangrove tersebut. Fungsi pelestarian ekosistem mangrove itu sangat
dikehendaki, namun kenyataannya keadaan ekosistem itu sebagian telah
mengalami kerusakan.
Hutan dan masyarakat sekitar hutan mempunyai saling ketergantungan.
Kondisi masyarakat yang berada di sekitar hutan mendorong mereka untuk
memanfaatkan fungsi hutan secara terus menerus tanpa menyadari akibat yang
ditimbulkan oleh kegiatan tersebut. Pentingnya keberadaan hutan untuk
menyangga kehidupan sosial ekonomi sangat terasa apabila hutan sudah mulai
fungsi fisik; menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi
laut (abrasi) dan intrusi air laut; mempercepat perluasan lahan, dan mengolah
bahan limbah. Fungsi biologis; tempat pembenihan ikan, udang, tempat
pemijahan beberapa biota air; tempat bersarangnya burung; habitat alami bagi
berbagai biota. Fungsi ekonomi; sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar),
pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dan lain-lain.
Secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang pengelolaan hutan
telah cukup memadai, namun peningkatan terus menerus kualitas teknis dan
produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk dilakukan saat ini, terutama
untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Selain
itu, pengelolaan hutan di masa mendatang juga menuntut adanya kelembagaan
masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang banyak di syaratkan oleh
pemerintah (Awang dkk., 2000).
Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan
akses pengelolaan yang akan di berikan tidak di terapkan dalam skema
penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif
yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian,
obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di
masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan
ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang dkk., 2000).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui
bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove dengan mengkaji
perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan
kelangsungan eksistensi jasa lingkungan dan modal alam yang ada di ekosistem
mangrove dapat dimanfaatkan terus menerus untuk kelangsungan hidup lintas
generasi, baik pada saat ini maupun saat yang akan datang.
Perumusan Masalah
Pemanfaatan ekosistem mangrove saat ini cenderung bersifat merusak,
sehingga menyebabkan penurunan luas ekosistem mangrove dari waktu ke waktu.
Eksploitasi ekosistem mangrove yang berlebihan, konversi ekosistem mangrove
menjadi kawasan tambak, industri, pemukiman, dan pertanian merupakan
penyebab utama menurunnya luasan ekosistem mangrove.
Luasan ekosistem mangrove ini terus mengalami penyusutan akibat
berbagai tekanan, terutama penebangan liar dan konversi ekosistem mangrove
yang tidak terkendali menjadi areal tambak. Kondisi ini diperparah oleh desakan
penduduk dalam memenuhi keperluan hidup, terutama bagi masyarakat yang
tinggal di sekitarnya.
Untuk meminimalisasi rusaknya ekosistem mangrove diperlukan berbagai
upaya, diantaranya melalui pengembangan model pelestarian mangrove dengan
melibatkan masyarakat sekitar. Selain itu, pengelolaan hutan di masa mendatang
juga menuntut adanya kelembagaan masyarakat yang fungsional dan mandiri. Hal
tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak
diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan
melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh
masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan
lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi
Adapun ruang lingkup kajian penelitian mengenai kelembagaan
pengelolaan hutan mangrove di Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang
Bedagai adalah untuk mengetahui :
1. Bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove?
2. Struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove?
3. Perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk kelembagaan
pengelolaan ekosistem mangrove?
4. Persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan
ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah,
Kabupaten Serdang Bedagai.
2. Untuk mengetahui struktur kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove
di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang
Bedagai.
3. Untuk mengetahui perbedaan mekanisme dan output dari bentuk-bentuk
kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar,
Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai.
4. Untuk mengetahui persepsi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem
mangrove di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak dalam mempertimbangkan kebijakan
dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Serdang bedagai
untuk masa yang akan datang.
2. Mendapatkan bentuk-bentuk kelembagaan pengelolaan ekosistem
mangrove yang lebih baik.
3. Sebagai informasi bagi masyarakat luas dan Serdang Bedagai khususnya
tentang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan ekosistem
TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi Mangrove
Ekosistem mangrove adalah sumberdaya alam yang memiliki tempat
tumbuh yang spesifik. Ekosistem mangrove tumbuh di zona pantai (berlumpur)
yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang
surut air laut dan tidak terpengaruh oleh iklim. Ekosistem mangrove merupakan
jalur hijau yang terpadu pada teluk-teluk, delta, muara sungai sampai menjorok
kea rah pedalaman dan garis pantai (Dephut, 1997).
Menurut Kusmana (2002), pengertian mangrove adalah suatu komunitas
tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas
tersebut di daerah pasang surut. Ekosistem mangrove adalah tipe hutan yang
secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang
naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove
adalah suatu system yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling
berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata mangrove
digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan
pasang surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun
komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan
untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan
komunitas tumbuhan tersebut (Kusmana dkk, 2003).
Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang
fundamental, yaitu daratan air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki
cirri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan salinitas tinggi dan
biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Departemen Kehutanan, 1992).
Menurut Snedaker (1978) dalam Kusmana dkk (2003), ekosistem
mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis
pantai tropis sampai sub tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan
yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan rekasi tanah
an-aerob. Adapun menurut Aksornkoae (1993), ekosistem mangrove adalah
tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengruhi oleh
pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang
tumbuh di daerah tropis dan sub tropis.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan
No.60/Kpts/Dj/1978, yang dimaksud dengan ekosistem mangrove adalah tipe
hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi
pasang surut air laut yaitu tergenang air laut pada waktu pasang surut dan bebas
dari genangan pada waktu surut (Onrizal dan kusmana, 2004).
Fungsi dan Manfaat Ekosistem Mangrove
Menurut Kusmana dkk (2003) fungsi mangrove dapat dikategorikan ke
dalam tiga macam fungsi, yaitu fungsi fisik, fungsi biologis/ekologis dan fungsi
ekonomis seperti :
a. Fungsi fisik
- Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil.
- Mempercepat perluasan lahan
- Melindungi daerah di belakang mangrove dari hempasan gelombang dan
angina kencang.
- Mengolah limbah organik
b. Fungsi biologis/ekologis
- Tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (Spawing
ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis
ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.
- Tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung.
- Sumber plasma nutfah.
c. Fungsi ekonomis
- Hasil hutan berupa kayu.
- Hasil hutan bakau kayu seperti madu, obat-obatan, minuman, dan
makanan, tanin dan lain-lain.
- Lahan untuk kegiatan produksi pangan dan tujuan lainnya
Menurut Saenger (1983) dalam Onrizal dan Kusmana (2004), ekosistem
mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan
menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga
digunakan sebagai bahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak,
pemukiman dan peternakan.
Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi
(misalnya, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi
dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat (Kusmana, 2002).
Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami
dilakukan di Teluk Grajangan, Banyuwangi, Jawa Timur, menunjukkan bahkan
dengan adanya ekosistem mangrove telah terjadi reduksi tinggi gelombang
sebesar 0,7340, dan perubahan energi gelombang sebesar (E) = 19635.26 joule
(Pratikto dkk, 2002).
Kondisi Mangrove di Indonesia
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Kekhasan
ekosistem mangrove Indonesia adalah memiliki keragaman jenis yang tertinggi di
dunia. Sebaran mangrove di Indonesia terutama di wilayah pesisir Sumatera,
Kalimantan dan Papua. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan
dari 4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun
1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 2003. kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradari hutan mangrove
yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar/tahun. Hal tersebut disebabkan
oleh kegiatan konversi menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya
(Dahuri, 2002).
Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang
tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis
pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 1 jenis sikas. Terdapat
sekitar 47 jenis vegetasi yang spesifik hutan mangrove. Dalam hutan mangrove,
paling tidak terdapat salah satu jenis tumbuhan mangrove sejati, yang termasuk ke
dalam empat famili: Rhizoporaceae (Rhizophora, Bruguiera, dan Ceriops),
Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae
rendah, terhadap salinitas yang tinggi, serta terhadap tanah yang kurang stabil dan
pasang surut (Kusmana, 2002). Ekosistem mangrove terdiri dari hutan atau
vegetasi mangrove yang merupakan komunitas pantai tropis. Secara umum,
karakteristik habitat hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis
tanahnya berlumpur, berlempung, dan/atau berpasir. Daerah habitat mangrove
tergenang air laut secara berkala, setiap hari, atau pada saat pasang purnama.
Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove
Akibat dari pemanfaatan pesisir dan lautan akan timbul berbagai
permasalahan. Laut sering diperlakukan sebagai penampung sampah kota, limbah
industri dan limpasan unsur hara (nutrient). Permasalahan umum yang berkaitan
dengan hutan mangrove adalah kecenderungan makin meningkatnya kebutuhan
manusia untuk menggunakan daerah hutan mangrove, sehingga mengancam
kelestarian vegetasi mangrove tersebut. Pertumbuhan penduduk yang makin
meningkat menyebabkan makin terbatasnya lahan untuk budidaya pertanian dan
pertambakan (Onrizal dan Kusmana, 2004).
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan
hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat
rusaknya hutan menurut Perum Perhutani (1994) dalam Rahmawaty (2006),
antara lain:
a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan terbuka dengan harapan
ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah.
b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove.
d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha
tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak
rasional.
Ruski (1992) dalam Onrizal dan Kusmana (2004) secara nyata mencatat
semakin kritisnya kondisi ekosistem mangrove yang masih tersisa di sepanjang
pantai utara Jawa. Keadaan ekosistem mangrove ini berada dalam kondisi yang
rusak berat dan sangat memprihatinkan.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir
Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Kearah
darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air,
yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut, seperti pasang surut, angina laut, dan
perembesan air asin. Sedangkan kearah laut, wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh prose salami yang terjadi didarat, seperti sedimentasi
dan aliran air tawar, maupun disebabkan karena kegiatan manusia didarat, seperti
penggundulan hutan dan pencemaran (Supriharyono, 2000).
Berdasarkan sejarah perkembangan dan penyebaran penduduk diwilayah
pesisir pantai, keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk
tambak secara besar-besaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat
tuntutan perkembangan ekonomi. Mayarakat nelayan yang sebelumnya hidup
secara subsisten dan tradisioanal kini sudah banyak yang berubah menjadi
petani-petani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan
setinggi-tingginya. Perkembangan pergaulan dan transformasi kemajuan
masyarakat pantai Indonesia, telah membawa perubahan sikap, kebiasaan dan
serta mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumberdaya alam pantai dan
ekosistem mangrove. Masyarakat tersebut semakin berantusias untuk merombak
ekosistem mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Pengaruh aktivitas
suku-suku pionir tersebut terhadap masyarakat asli untuk mengkonversi kawasan pantai
dan ekosistem mangrove semakin meningkat (Dahuri, 2000).
Menurut Saptarini, dkk (1996), salah satu faktor sosial ekonomi yang
berperan menyebabkan kerusakan mangrove secara langsung maupun tidak adalah
faktor penduduk, karena :
- Penduduk pantai termasuk golongan yang berpendidikan dan
berpendapatan rendah.
- Sebagian besar penduduk tidak memiliki lahan sebagai modal usaha.
- Pola pemanfaatan sumberdaya yang tidak merata terutama pada daerah
yang padat nelayan maka akan semakin kritis sumberdaya hayati
perikanannya.
- Belum sepenuhnya dapat menerima pembaharuan teknologi perikanan.
Keberadaan kehidupan nelayan selama ini dihadapkan dengan sejumlah
permasalahan yang terus membelitnya, seperti lemahnya manajemen usaha,
rendahnya adopsi teknologi perikanan, kesulitan modal usaha, rendahnya
pengetahuan pengelolaan sumberdaya perikanan, rendahnya peranan masyarakat
dalam proses pengambilan keputusan, dan lain sebagainya. Sehingga
mengakibatkan kehidupan nelayan dalam realitasnya menunjukkan kemiskinan
Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis
ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam
pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan
masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung.
Penerapan sistem mina hutan (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove
merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan
mangrove secara lestari.
Mina hutan merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang
terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan
kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan
mangrove. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa
merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela
sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang
kritis (Perhutani, 1993). Dengan pola ini, diharapkan ada kerjasama yang saling
menguntungkan antara petani penggarap dan fihak kehutanan. Sebagai contoh, di
daerah Blanakan dan Cikeong Kabupaten Subang telah diadakan kerjasama mina
hutan antara pihak perhutani dan masyarakan di sekitar kawasan hutan serta
hasilnya cukup baik bagi petani ikan maupun kelestarian hutan mangrove itu
sendiri.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka
pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan
Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang
memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib
melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi .Adapun
berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak .Berkaitan
dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan pembangunan dengan menggunakan
pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan
ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai
dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya.
Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan
mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan
negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya,
Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain
teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur)
yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.
Beberapa pedoman tentang pengelolaan hutan mangrove diantaranya:
Hindari proses-proses sedimentasi berlebihan, erosi, pengendapan yang dapat
merubah sifat kimiawi seperti kesuburan; Pertahankan pola-pola alamiah seperti
aktivitas siklus pasut dari perubahan akibat pola pengembangan, termasuk
pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah;
peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan
sedimentasi dengan cara mengevaluasinyasecara berkala; Tetapkanlah batas
maksimum total hasil panen yang dapat diproduksi sehingga keberlanjutan
yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya upaya
memiliki rencana penanggulangannya; Hindari semua bentuk kegiatan yang
mengakibatkan pengurangan area bakau seperti misalnya penghentian sirkulasi air
permukaan (Dahuri et al, 1996).
Kelembagaan
Menurut Ruttan dan Hayami (1984) dalam Djogo, dkk. (2003), lembaga
adalah aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang
memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu mereka dengan
harapan dimana setiap orang dapat bekerjasama atau berhubungan satu dengan
yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan.
Berbicara tentang kelembagaan, atau institusi, umumnya pandangan orang
lebih diarahkan kepada organisasi, wadah atau pranata. Organisasi hanyalah
wadahnya saja, sedangkan pengertian lembaga mencakup juga aturan main, etika,
kode etik, sikap dan tingkah laku seseorang atau suatu organisasi atau suatu
sistem. Kelembagaan adalah suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota
masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk
hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu
organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat
berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian
prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama
(Djogo, dkk., 2003).
Meskipun secara historis pengetahuan masyarakat lokal tentang
pengelolaan hutan telah cukup memadai. Namun peningkatan terus menerus
dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan
sumberdaya hutan. Selain itu, masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang
banyak disyaratkan oleh pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan skenario
redistribusi sumberdaya alam yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini.
Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses
pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang
horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan
kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk
peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan
konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000).
Pada tataran pragmatis, keberadaan kelompok/institusi masyarakat di
sekitar kawasan hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai institusi lokal
baik formal/dengan legitimasi pemerintah), informal (yang hanya memperoleh
legitimasi sosial maupun lembaga Adat telah tumbuh dan berkembang cukup lama
di masyarakat). Meskipun dari segi konsep dan bentuk lembaga-lembaga tersebut
masih sangat beragam, namun dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan,
khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat
sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun,
memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan. Dalam kehidupan sehari-hari,
kelompok/institusi ini memiliki corak yang beragam, baik dalam jenis, bentuk
maupun kegiatannya, sesuai dengan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat
Hal umum yang dijumpai menyangkut kelembagaan adat di beberapa
kelompok masyarakat lokal adalah bahwa peraturan-peraturan adat yang terkait
dengan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan seringkali bersifat lisan
atau tidak tertulis. Walaupun demikian, adanya karisma seorang Kepala Adat dan
penyelesaian permasalahan yang dilakukan secara musyawarah dengan bantuan
dewan adat (yang umumnya terdiri dari orang-orang tua berpengalaman atau
berpengaruh dalam kelompok masyarakat itu sendiri) telah mampu membuat
aturan adat tetap dihormati dan bahkan tetap diberlakukan hingga sekarang ini di
beberapa daerah. Oleh karenanya, penyeragaman administrasi pemerintahan desa
di seluruh nusantara selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan
Orde Baru ataupun dengan semakin banyaknya generasi muda di desa yang
berpendidikan lebih tinggi (meskipun dalam sisi tertentu di beberapa tempat telah
mampu menyurutkan peran dan fungsi lembaga adat) sejatinya tidak sepenuhnya
hilang. Hal tersebut dikarenakan kelembagaan adat masih merupakan kebutuhan
dalam mengimbangi dinamika kehidupan masyarakat lokal. Apalagi dalam era
desentralisasi dan otonomi daerah, lembaga adat tampaknya tidak lagi hanya
menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat lokal, melainkan dapat
merupakan sarana ampuh dalam memperjuangkan kembalinya hak penguasaan
sumberdaya alam termasuk hutan (Sardjono, 2004).
Komponen dan Fungsi Kelembagaan
Menurut Babbie (1994) dalam Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada
empat komponen utama kelembagaan, yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions),
nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Norma menekankan pada tingkah laku
sosial yang disandang). Sedangkan sanksi, adalah instrument yang terikat pada
norma dalam bentuk penghargaan (reward) dan hukuman (punishments). Sanksi
diharapkan dapat menjamin terlaksananya norma dimaksud. Nilai, lebih
ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak disukai) dalam rangka
menetapkan norma yang dipilih. Nilai akan dijustifikasikan melalui basis
kepercayaan yang berkembang di kelompok. Sedangkan pola kelembagaan secara
total akan membentuk budaya.
Kelembagaan sebenarnya memiliki fungsi penting dalam mengatur
hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap
bisa berfungsi lestari, serta menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat
(bisa warga satu desa yang sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap
harmonis (Sardjono, 2004).
Adat suatu masyarakat atau komunitas biasanya diteruskan secara lisan
kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu. Adat menetapkan apa yang
diharuskan, dibenarkan atau diizinkan, dicela atau dilarang dalam situasi-situasi
tertentu. Adat dianggap sebagai himpunan norma-norma yang sah yang harus
dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Suatu pola perilaku tertentu adalah
sah dan layak apabila sesuai dengan adat. Apa yang menjadi hukum adalah
kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Bilamana
terdapat pelanggaran terhadap adat kebiasaan itu, maka sanksi hukum biasanya
ditetapkan oleh kepala adat setempat yang bentuk putusannya pun tidak tertulis
Penguatan Identitas
Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas
yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif,
kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya
hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat
desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita
ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat
desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation)
dari identitas bersama masyarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera
dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desar
hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali
sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan
(Nugraha dan Murtijo, 2005).
Kelembagaan masyarakat desa hutan dalam bentangan sejarah terbukti
mampu mengatur keteraturan, ketertiban, keamanan, dan keharmonisan, akan
tetapi seiring masuknya budaya modernisasi dan penyeragaman kelembagaan
tingkat nasional berdampak pada terpinggirkannya peran kelembagaan lokal
masyarakat. Bahkan, dalam dua dekade terakhir kelembagaan lokal masyarakat
telah mengalami kematian obor. Masyarakat desa hutan kehilangan arah
melangkah untuk menapak jalan kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural
kelembagaan dari pemerintah pusat mengakibatkan tercerai berainya sistem
kelembagaan masyarakat desa hutan yang berakar pada sistem tata nilai budaya
lokal. Bercermin pada realita tersebut, maka langkah prioritas yang segera harus
penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi
positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya
masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang
tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera
dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai
wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : (1) identifikasi
kelembagaan lokal yang pernah ada, (2) merevitalisasi kelembagaan lokal dengan
mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, (3) sosialisasi kelembagaan, dan
(4) penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo,
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar
Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara, yang
dilaksanakan pada bulan Februari–April 2009.
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di Desa
Kayu Besar. Sedangkan sample yang diambil adalah kepala keluarga (KK) yang
dipilih secara purposive sampling (sample bertujuan). Jumlah sample dalam
penelitian ini adalah 30 responden.
Metode Pengumpulan Data
Teknik dan Tahapan Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan (daerah terpilih
sebagai lokasi kajian). Tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan data primer penelitian. Dilakukan dengan cara :
o Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
pada para responden (Subagyo, 1997). Wawancara ini dilakukan kepada
pihak lembaga yang terlibat dalam pengelolaan hutan mangrove untuk
memperoleh informasi mengenai proses pelaksanaan kebijakan
o Kuisioner
Kuisioner merupakan daftar pertanyaan atau pernyataan yang diberikan
kepada responden. Penyebaran kuisioner ini dilakukan untuk memperoleh
data-data primer yang dibutuhkan dalam penelitian. Kuisioner ini
disebarkan kepada masyarakat dan pihak lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan hutan mangrove.
o Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian
dilakukan pencatatan (Subagyo, 1997). Observasi atau pengamatan
langsung ini dilakukan terhadap kondisi dan peran kelembagaan tersebut.
2. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari arsip-arsip lembaga, pustaka
maupun publikasi yang dibuat oleh instansi terkait.
Pengolahan Data
1. Karakteristik Responden
Untuk memperoleh karakteristik responden seperti umur, pekerjaan ,
pendidikan, dan lain-lain yang di dapat kemudian dituangkan dalam bentuk
tabulasi-tabulasi.
2. Skoring Data
Tabel 1. Skoring Data Umur
No Umur Skor
1 20-30 1
2 31-40 2
3 41-50 3
Tabel 2. Skoring Mata Pencaharian Responden
No Jenis Mata Pencaharian Skor
1 Petani 1
2 Pegawai Negeri Sipil(PNS) 2
3 Wiraswasta 3
4 Nelayan 4
5 Karyawan/Buruh 5
Tabel 3. Skoring Data Pendidikan
No Pendidikan Skor
1 SD 1
2 SLTP 2
3 SLTA 3
4 Sarjana(S-1) 4
Tabel 4. Skoring Jumlah Anggota Keluarga Responden
No Jumlah Anggota Keluarga Skor
1 1-3 1
2 4-6 2
3 7-9 3
4 >9 4
Tabel 5. Skoring Data Persepsi Responde
No Persepsi Responden Skor
1 Sangat tidak setuju 1
2 Tidak setuju 2
3 Ragu-ragu 3
4 Setuju 4
5 Sangat setuju 5
Tabel 6. Skoring Data Perilaku Responde
No Perilaku Responden Skor
1 Sangat sering 1
2 Sering 2
3 Jarang 3
4 Sangat Jarang 4
Analisis Data
Analisis dilakukan dengan penyusunan data bersifat naratif, dan mereduksi
data yang telah didapatkan, menyajikan kembali data bersifat deskriptif. Data-data
yang diperoleh dari wawancara, kuisioner, observasi maupun data-data pelengkap,
dikumpulkan, dan diklasifikasikan sesuai dengan tema kajian permasalahan.
Setelah itu dilakukan analisis berupa interpretasi data dengan bantuan data-data
sekunder, dan diuraikan dalam bentuk diagram sehingga bisa menghasilkan uraian
yang terperinci.
Analisis stakeholder merupakan suatu analisis yang digunakan untuk
menjaring aspirasi dan peran dari setiap stakeholder (para pihak) dalam suatu
kegiatan tertentu. Analisis stakeholder dilakukan melalui tahapan Focus Group
Discusion (FGD) (Tadjudin, 2000). Adapun untuk menganalisis persepsi
masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan dengan Skala
Likert.
Untuk jelasnya tentang tujuan studi, sumber dan metode, data kunci, serta
Tabel 7. Matrik Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian.
Tujuan Studi Data Kunci Sumber dan Metode Hasil yang Diharapkan
1.Mengidentifikas
Bentuk dan unsur-unsur lembaga yang terkait dalam pengelolaan ekosistem
1. Adanya informasi tentang Sumber Daya Alam yang ada dan kegiatan pengelolaan yang mungkin dapat dilakukan.
Kondisi umum dan sejarah lokasi penelitian
Kondisi alam : Tipe bentang alam, iklim, geologi dan tanah, topografi, flora dan fauna
Pustaka, wawancara (kepdes, tokoh masy./adat), observasi lapangan, dokumentasi.
2. Adanya Informasi tentang lembaga-lembaga dan
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Ekosistem Mangrove
Kawasan hutan mangrove yang ada di Desa Kayu Besar terbagi dalam dua
bentuk yaitu hutan tanaman dan hutan alam dengan luas hutan alam lebih kurang
438 Ha dan luas hutan tanaman lebih kurang 138 Ha. Kegiatan penanaman
dilakukan oleh kelompok tani Bela Nusa dan masyarakat setempat.
Lokasi hutan mangrove berada pada ketinggian 1-3 mdpl, untuk jenis-jenis
yang dominan di hutan mangrove ini adalah Rhizopora apiculata untuk hutan
alam dan jenis api-api (Avicennia sp) untuk hutan tanaman. Secara khusus
sebagian besar hutan bakau atau hutan mangrove terdiri dari Rhizopora apiculata
dan Rhizopora mucronata. Demikian halnya dengan hutan mangrove yang ada di
Desa Kayu Besar terdiri dari jenis-jenis yang tersebut di atas yang masih sangat
muda dimana 70 % kawasan adalah areal permudaan antara 7-8 tahun dan 30
%-nya adalah hutan alami sehingga secara umum jika di lihat dari komposisi tegakan
masih didominasi oleh jenis pioner yang ada juga terdiri dari Avicennia yang
berasosiasi dengan Sonneratia spp dan Nypa fructicans. Untuk sistem pengelolaan
hutan mangrove, rencana pengelolaan ke depan adalah dengan menggunakan
sistem empang parit, dengan tujuan selain mendapatkan kayu juga mendapatkan
hutan, dalam sistem ini juga diusahakan agar semua jenis tidak bersifat
dominansi.
Hutan mangrove adalah daerah asuhan yang sangat penting dan habitat
bagi berbagai organisme laut, termasuk jenis yang tinggi nilai ekonominya seperti
ikan dan udang. Hutan manggrove di Desa Bandar Khalipah banyak yang
dari luar desa. Kawasan hutan manggrove Bandar Khalipah memiliki tipe air
pasang semi diurnal atau air pasang dua kali sehari yaitu dua kali pasang naik dan
dua kali pasang surut yang terjadi pada pagi dan sore hari.
Letak Wilayah
Kabupaten Serdang Bedagai terletak pada posisi 20 57” Lintang Utara, 30
16” Lintang Selatan, 980 33” Bujur Kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian
wilayah 0-500 meter dari permukaan laut. Timur, 990 27” Bujur Barat dengan luas
wilayah 1.900,22 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut sebelah Utara
berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Kabupaten Simalungun,
sebelah Timur dengan Kabupaten Asahan dan Kabupaten Simalungun, serta
sebelah Barat dengan Kabupaten Deli Serdang. Dengan ketinggian wilayah 0-500
meter dari permukaan laut (Pemkab Sergai, 2008).
Kabupaten Serdang Bedagai memiliki iklim tropis dimana kondisi
iklimnya hampir sama dengan Kabupaten Deli Serdang sebagai Kabupaten induk.
Pengamatan Stasiun Sampali menunjukkan rata-rata kelembapan udara perbulan
sekitar 84%, curah hujan berkisar antara 30 sampai dengan 340 mm perbulan
dengan periodik tertinggi pada bulan Agustus-September 2004, hari hujan per
bulan berkisar 8-26 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan
Agustus-September 2004. Rata-rata kecepatan udara berkisar 1,9 m/dt dengan
tingkat penguapan sekitar 3,47 mm/hari. Temperatur udara per bulan minimum
23,7 0C dan maksimum 32,2 0C. Adapun luas Kecamatan Bandar Khalipah adalah
11.600 Ha atau 116 Km2 yang berada di ketinggian 0-10 meter dari permukaan
laut. Sejak adanya Kecamatan Bandar Khalipah yang menjadi Ibu Kota
Khalipah. Melihat dari letak dan geografisnya Kecamatan Bandar Khalipah
sedikit identik dengan nuansa bahari, maka di daerah pesisirnya terbentang
harapan yang pada awalnya adalah pertambakan udang namun pasa saat ini telah
beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit (Pemkab Sergai, 2008).
Menurut data yang diperoleh dari Pemkab Sergai (2007), penyebaran
penduduk di Kecamatan Bandar Khalipah pada umumnya merata meliputi sebagai
berikut:
• Desa Bandar Tengah, luas 29,55 km dengan penduduk 8.081 jiwa
• Desa Juhar, luas 39,01 km dengan penduduk 5.869 jiwa
• Desa Gelam Sei Serimah, luas 22,76 km dengan penduduk 4.932 jiwa
• Desa Pekan Bandar Khalipah, luas 7,83 km dengan penduduk 2.358 jiwa
• Desa Kayu Besar, luas 16,85 km dengan penduduk 3.712 jiwa
Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Kayu Besar
Penduduk di Desa Kayu Besar tersebar dalam 13 dusun (Kantor Kepala
Desa Kayu Besar, 2007). Potensi pengembangan di Desa Kayu Besar seperti
peternakan, pertukangan, pertanian, kerajinan dan kehutanan. Kawasan mangrove
di Desa Kayu Besar menjadi salah satu potensi pengembangan yang dimanfaatkan
oleh masyarakat. Kondisi hutan bakau seluas 225 Ha di Desa Kayu Besar telah
mengalami kerusakan kondisi fisik. Kerusakan pada hutan bakau diakibatkan
pemanfaatan yang berlebihan dan tidak ramah lingkungan dari masyarakat.
Ekosistem mangrove di Desa Kayu Besar mempunyai berbagai potensi
seperti pemanfaatan hasil hutan, hasil hutan non kayu, pemanfaatan ekosistem
mangrove seperti tambak, budidaya perikanan, pertanian dan kebun disekitar areal
masyarakat dalam mengambil manfaat ekonomi ekosistem mangrove Desa Kayu
Besar. Menurut Kantor Kepala Desa Kayu Besar(2007), desa tersebut terdiri dari
13 dusun yang tersebar, sebagai berikut:
Tabel 8. Jumlah Penduduk Desa Kayu Besar, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai
No Nama Dusun Jumlah Penduduk
(jiwa)
Desa Kayu Besar berbatasan dengan laut lepas oleh karena itu penduduk
Kayu Besar 50% adalah nelayan tradisional. Wilayah ini masih memiliki areal
pertanian yang cukup luas bila dibandingkan dengan luas total wilayah secara
keseluruhan yaitu sebesar 595 ha oleh karena itu 47% dari jumlah penduduk
memiliki mata pencaharian sebagai petani dan ada juga yang membuka tambak
tetapi dengan skala modal yang kecil dan hanya 3,3% yang sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS).
Sarana dan Prasarana
Jalan merupakan pasaran pengangkutan yang penting untuk memperlancar
menuntut pula peningkatan pembangunan jalan untuk memudahkan mobilitas
penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain.
Panjang jalan di seluruh Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2003 mencapai
2.292,49 km yang terbagi atas jalan negara 85,31 km, jalan provinsi 65,63 km,
dan jalan kabupaten 2. 141,55 km. Setiap tahunnya baik prasarana jalan maupun
jembatan selalu mendapatkan prioritas untuk perbaikan dengan menggunakan
berbagai sumber dana. Panjang jalan diseluruh kabupaten Serdang Bedagai pada
tahun 2004 sepanjang 1.682,52 km terdiri dari jalan negara 92,59 km, jalan
provinsi 126,14 km, dan jalan kabupaten 1,463,79 km mengalami kemajuan pada
tahun 2005, yaitu kondisi baik 132,29 km atau 9,04% kondisi sedang sepanjang
315,35 km atau 21,54%, kondisi rusak sepanjang 240,65 km atau 16,44% dan
kondisi rusak berat sepanjang 775,50 km atau 52,98% (Pemkab Sergai, 2008).
Pusat pelayanan pos masih terpusat di Ibu Kota Kecamatan, namun dengan
sarana jalan yang baik penduduk Desa Kayu Besar dapat mengakses dengan
lancar. Pembangunan pos dan telekomunikasi mencakup jangkauan baik
pelayanan dan peningkatan kerja sama internasional maupun peningkatan jasa
telekomunikasi dan informasi dan data berjalan lancar. Namun untuk
telekomunikasi telah tersedia dengan pelayanan yang bagus melalui telepon
seluler (Pemkab Sergai, 2008).
Sarana pendidikan yang ada di Desa Kayu Besar yaitu sekolah TK dan SD,
sedangkan SLTP dan SMA mereka harus pergi ke Ibu Kota Kecamatan. Namun
untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi penduduk desa harus
ke kota paling tidak di Ibu Kota Kabupaten Serdang Bedagai atau keluar kota
Dengan sarana jalan yang baik masyarakat setempat dapat dengan mudah
keluar desa untuk memenuhi pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Walaupun
pusat kesehatan masyarakat masih terpusat di Ibu Kota Kecamatan Bandar
Khalipah dan rumah sakit umum (RSU) di Ibu Kota Kabupaten Serdang Bedagai
namun mereka dapat dengan mudah memperoleh pelayanan kesehatan dari sana
dan bila diperlukan penanganan yang lebih lanjut maka mereka merujuk ke
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karakteristik responden penelitian di Desa Kayu Besar Dan Desa Pekan Bandar Khalipah, Kecamatan Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara meliputi: umur, Pendidikan, jumlah anggota keluarga dan tingkat pendidikan. Data katakteristik responden penelitian dapat diuraikan sebagai berikut, kisaran umur pada responden berada antara 20-60 tahun.
Tabel 9. Distribusi Responden Berdasarkan Umur
No Kelompok Umur (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 20-30 2 6,67
2 31-40 6 20
3 41-50 19 63,3
4 51-60 3 10
Jumlah 30 100
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa masyarakat yang menjadi responden
terbanyak berada pada kelas umur 41-50 tahun (63,3%), disusul oleh kelas umur
31-40 tahun (20%), kelas umur 51-60 tahun (10%) dan yang terakhir kelas umur
20-30 tahun (6,67%). Rata-rata umur dari semua responden adalah 45 tahun. Hal
ini sesuai dengan Mantra (2004) yang menyatakan bahwa usia produktif tenaga
kerja berada dalam kelas umur 15-64 tahun. Dalam hal ini dapat disimpulkan
bahwa rata-rata masyarakat yang menjadi responden berada pada usia produktif.
Tabel 10. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan
No Jenis Pekerjaan Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 Petani 2 6,67
Umumnya responden bermata pencaharian sebagai wiraswasta (53,3%).
disusul responden yang bermata pncaharian sebagai karyawan/buruh (26,7%), dan
pegawai Negeri Sipil (3,3%). Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 11. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 SD 17 56,7
2 SLTP 10 33,3
3 SLTA 2 6,67
4 Sarjana (S1) 1 3,3
Jumlah 30 100
Umumnya responden yang berada di Desa Kayu Besar Dan Desa Pekan
Bandar Khalipah berpendidikan SD (56,7%), SLTP (33,3%), SLTA (6,67%), dan
Perguruan Tinggi (3,3%). Responden paling dominan merupakan lulusan SD. Hal
ini menunjukkan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat yang mengambil
manfaat dari ekosistem mangrove. selengkapnya karakteristik tingkat pendidikan
responden dapar dilihat pada Tabel 11.
Tabel 12. Distribusi Responden Berdasarkan Jumlah Anggota
No Jumlah Anggota Keluarga Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 1-3 3 10
2 4-6 13 43,3
3 7-9 12 40
4 >9 2 6,67
Jumlah 30 100
Sebagian besar responden yang bermata pencaharian sebagai wiraswasta
merupakan pencari kayu bakar, pencari kepiting, pembuat atap rumah, pengumpul
cacing bakau dan petambak. Bagi responden yang mempunyai mata pencaharian
wiraswasta pada umumnya bekerja mengambil manfaat dari ekosistem mangrove.
Pekerjaan utama masyarakat biasanya didukung oleh adanya pekerjaan sampingan
Rata-rata responden memiliki anggota keluarga antara 4-6 orang (43,3 %)
kemudian disusul responden dengan anggota keluarga 7-9 orang (40%),
responden dengan anggota keluarga antara 1-3 orang (10%) dan responden
dengan anggota keluarga > 9 orang (6,67%). karakteristik responden berdasarkan
jumlah anggota keluarga dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 13.Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan
No Tingkat Pendapatan (Rp) Jumlah (Orang) Persentase (%)
1 100.000-500.000 18 60
2 600.000-1.000.000 11 36,7
3 ≥1.000.000 1 3,3
Jumlah 30 100
Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa masyarakat yang menjadi responden
tertinggi adalah masyarakat dengan pendapatan Rp 600.000-1.000.000, yaitu
sebanyak 11 orang (36,7%), disusul responden dengan pendapatn Rp
100.000-500.000 sebanyak 18 orang (60%) dan masyarakat dengan pendapatan ≥
1.000.000 yaitu 1 orang (3,3%). Pendapatan yang diterima responden sebagian
merupakan hasil dari pemanfaatan ekosistem mangrove, meskipun ada responden
yang menambah pemdapatan dari sumber lain. Pada umumnya masyarakat yang
berada di sekitar kawasan ekosistem mangrove Kecamatan Bandar Khalipah
mempunyai pekerjaan lain di samping pekerjaan utama.
Jenis Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove
Lembaga formal yang ada di Desa Kayu Besar ini adalah pemerintahan
Desa dan Badan Permusyawaratan Desa ( BPD). Fungsi Pemerintahan Desa dan
BPD sudah berjalan secara optimal. Secara formal kedudukan Kepala Desa saat
ini di jabat oleh Tua Pangihutan Sinaga SP. Desa Kayu Besar ini telah memiliki
dilakukan di kantor tersebut. Lembaga lainnya yang bersifat non formal/adat
adalah lembaga-lembaga yang tumbuh ditengah masyarakat dengan atau tanpa
struktur organisasi yang lengkap dan berfungsi untuk memfasilitasi warga dalam
memenuhi berbagai macam kebutuhan bersama.
Lembaga formal yang ada di Desa Kayu Besar tidak dapat beperan secara
optimal dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Hal ini dikarenakan lembaga
yang ada bukan merupakan suatu lembaga yang bersifat otonom. Akibatnya,
lembaga formal cenderung bersifat pasif, dan menunggu perintah serta petunjuk
dari pemerintah kota. Keadaan ini akan berakibat langsung maupun tidak
langsung pada pengelolaan ekosistem mangrove. Selain itu keterbatasan informasi
menyebabkan upaya pembinaan menjadi tidak terfokus pada sasarannya. Untuk
itu diperlukan upaya peningkatan kemampuan dan pemberdayaan kelembagaan
ditingkat operasional desa atau kecamatan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga-lembaga non formal yang
ada di masyarakat pada umumnya masih bersifat tradisional dan sederhana,
struktur kepengurusannya sangat ringkas dan dibuat sesuai dengan kebutuhan.
Aturan dasar organisasi hanya mengatur hal-hal yang sangat umum. Sehingga
dalam kehidupan masyarakat tokoh panutan lebih dominan dalam pengambilan
keputusan termasuk dalam pengelolaan ekosistem hutan mangrove. Meskipun
tokoh panutan dominan dalam pengambilan keputusan tetapi dibatasi oleh
norma-norma yang ada di masyarakat. Norma yang berlaku tersebut disepakati oleh
masyarakat desa dalam rembug desa. Beberapa norma dan aturan yang harus
ditaati oleh anggota masyarakat dalam kaitannya untuk menjaga kelestarian hutan
kesepakatan maka petani akan terkena sanksi, (2) mencabut atau merusak tanaman
harus menanam dan memelihara sampai hidup, dan (3) bagi anggota yang tidak
mengikuti kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove, maka lahannya dikelola
oleh kelompok lain dan hasilnya dibagi dua antara pemilik lahan dan kelompok.
Walaupun aturan mengenai penggembalaan liar, penebangan sebelum waktunya
dan merusak ekosistem mangrove dan harus mengganti sampai hidup secara
tertulis belum ada, namun telah disepakati bersama. Kebiasaan menegur dan
berdialog antar warga dalam setiap pertemuan merupakan kebiasaan yang sudah
melembaga. Melalui aturan ini diharapkan hutan akan terus dapat dilestarikan,
meskipun aturan tersebut secara formal tidak tertulis. Koordinasi dan kerjasama
merupakan sarana bagi tercapainya tujuan dimana koordinasi dimaksudkan untuk
mensinkronisasikan dan mengintegrasikan agar lebih terarah kepada sasaran yang
akan dicapai. Tipe koordinasi yang dilaksanakan meliputi koordinasi yang bersifat
horizontal dan vertikal. Koordinasi vertikal yang dilakukan oleh kelompok tani
masih terbatas kepada pemerintahan desa, pemerintahan tingkat kecamatan, dan
dinas terkait tingkat kabupaten. Secara horizontal koordinasi dilakukan oleh
lembaga tingkat desa. Koordinasi dan kerjasama ini diharapkan dapat membantu
pengelolaan hutan, namun kegiatan tersebut masih sangat terbatas. Aset organisasi
yang dimiliki oleh kelompok tani sampai saat ini masih terbatas, karena
ketidaktersediaan modal. Meskipun demikian peran kelompok cukup besar dalam
pengelolaan hutan.
Kultur yang ada pada masyarakat yang mengakar menjadikan pemberian
informasi dan teknologi melalui tokoh masyarakat lebih efektif. Pengambil
bermaksud melakukan intervensi pada pengelolaan hutan rakyat. Sebuah
intervensi kebijakan tanpa mengikutsertakan tokoh-tokoh yang terlibat
(stakeholders) dan berkepentingan dalam pengelolaan ekosistem mangrove akan
menimbulkan dampak yang buruk bagi keberhasilan program tersebut. Oleh
karena itu keikutsertaan tokoh panutan dalam masyarakat akan berperan besar
bagi kesuksesan pengembangan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Keterlibatan lembaga yang ada di desa akan sangat menentukan
perkembangan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Secara umum kelembagaan
formal yang ada di desa tidak berperan secara langsung dalam pengelolaan
ekosistem mangrove, sebaliknya lembaga non formal lebih berperan. Penyuluh
kehutanan merupakan lembaga yang paling banyak berperan dan mempengaruhi
pengelolaan ekosistem mangrove. Tugas penyuluh kehutanan adalah memberi
bantuan dan pilihan teknologi yang sesuai bagi pengelolaan ekosistem mangrove.
Masyarakat menganggap penyuluh kehutanan merupakan pihak yang memiliki
pengetahuan lebih dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Akibatnya, penyuluh
menjadi tumpuan sumber informasi bagi masyarakat.
Struktur Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove 1. Dinas Kehutanan
Usaha pemulihan ekosistem mangrove di beberapa daerah, baik di pulau
Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Irian Jaya telah sering kita lihat. Upaya ini
biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan ataupun dari
Pemerintah daerah setempat. Namun hasil yang diperoleh relatif tidak sesuai
dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam
bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang
yang lainnya. Mengapa hasilnya kurang memuaskan, salah satu penyebabnya
adalah kurangnya peran serta masyarakat dalam ikut terlibat upaya pengembangan
wilayah, khususnya rehabilitasi hutan mangrove, dan masyarakat masih
cenderung dijadikan obyek, bukan subyek dalam upaya pembangunan (Subing,
1995).
Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove yang telah terjadi
dalam beberapa tahun belakangan ini dilakukan atas perintah dari atas. Seperti
suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya rencana itu
senantiasa datangnya dari atas, sedangkan bawahan (masyarakat) sebagai ujung
tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau dengan
istilah populer dengan pendekatan top-down. Pelaksanaan proyek semacam ini
tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat, padahal idealnya
masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya pemulihan
ekosistem mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyedia
dana, pengontrol, dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya setelah
selesai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek
tersebut juga merasa sudah habis pula tanggung jawabnya.
Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki hutan mangrove
tersebut. Begitu pula, seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar,
maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga
mereka dapat mengambil atau memotong hutan mangrove tersebut secara bebas.
Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik