• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kendala-Kendala Yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Mengimplementasikan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999"

Copied!
130
0
0

Teks penuh

(1)

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh:

NIM: 060200187 VERYTETHY HUTAGAOL

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Perdata

NIP: 19620421 198803 1 004 Prof. Dr. Tan Kamello, S.H. M.S

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, S.H. M.S

NIP: 19620421 198803 1 004 NIP: 19690820 199512 1 001 Dr. Dedi Harianto, S.H. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

▸ Baca selengkapnya: contoh kendala yang dihadapi saat magang

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus oleh karena kasihnya yang selalu menuntun saya dalam mengerjakan skripsi ini. Saya menyadari apabiladengan mengandalkan kekuatan sendiri, semuanya itu tidak akan terwujudkan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Suhaidi selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Uiversitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H. M.S selaku Ketua Jurusan Departemen Hukum Perdata, juga sebagai Dosen Pembimbing 1 skripsi saya yang telah memberikan arahan dalam pengerjaan skripsi ini.

4. Dr. Dedi Harianto sebagai Dosen Pembimbing 2 skrpisi saya, juga yang telah membimbig dan mengarahkan saya dalam mengerjakan skripsi ini. 5. Semua dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah

mengajar dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum.

6. Seluruh staf pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah yang telah membantu saya dalam mengurus segala urusan administrasi.

(3)

sepenuhnya. Terima kasih ayah dan ibuku, biarlah melalui studi ku aku dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kalian.

8. Abang dan adik-adikku tercinta yang selalu menyemangati aku dalam studiku.

9. Seluruh keluargaku baik dari pihak ayah maupun ibu yang selalu memberikan semangat dan dukungan yang penuh dalam pengerjaan skripsiku.

10.Teman-temanku semua baik dari organisasi UKM KMK UP FH USU dan GmnI, yang juga tetap membantu aku dalam segala kesulitan yang aku hadapi, terima kasih buat kalian semua.

11.Teman-teman kostku juga, aku mengucapkan terima kasih kepada kalian semua atas dukungannya dalam pengerjaan skripsi ini.

12.Dan kepada setiap orang yang namanya tidak disebutkan disini, aku berterima kasih kepada kalian semua.

(4)

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN

UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 Verytethy Hutagaol1

Tan Kamello2 Dedi Harianto3

1

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 3

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha, tetapi dalam praktiknya masih banyak mengalami kendala dalam pengimplementasian UUPK. Adapun rumusan masalah yang dibahas yaitu mengenai peran BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen, mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh BPSK dalam mengimplementasikan UUPK.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dan empiris yaitu melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data dari literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya. Sedangkan metode penelitian empiris dilakukan melalui wawancara.

Dari pembahasan yang telah diuraikan diperoleh kesimpulan mengenai peran BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yaitu untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang dilihat dari tugas dan kewenangan BPSK dan penyelesaian sengketa konsumen tersebut diselesaikan berdasarkan mekanisme hukum yang terdapat di BPSK, sedangkan kendala dalam pengimplementasian UUPK yaitu berupa kendala kelembagaan/institusional, kendala pendanaan, kendala SDM BPSK, kendala peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan terkait lainnya, kendala pembinaan dan pengawasan serta tidak adanya koordinasi aparat penanggung jawabnya, kurangnya sosialisasi dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respon dan pemahaman badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen dan kurangnya respon masyarakat terhadap UUPK dan BPSK.

(5)

Kata Kunci:

- Perlindungan Konsumen

- Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(6)

DAFTAR ISI

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pengertian Sengketa Konsumen ... 20

B. Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) ... 22

C. Dasar Hukum Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 23

D. Kelembagaan, Kedudukan, Keanggotaan, Struktur, dan Pendanaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen... 25

E. Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 31

F. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kecil dan Sederhana (Small Claim Court) ... 37

BAB III MEKANISME HUKUM DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN A. Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 42

B. Permohonan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 49

C. Susunan Majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan Kepaniteraan ... 53

D. Tata Cara Persidangan 1. Persidangan dengan Cara Konsiliasi ... 55

2. Persidangan dengan Cara Mediasi ... 58

3. Persidangan dengan Cara Arbitrase... 61

E. Alat Bukti dan Sistem Pembuktian ... 67

F. Putusan Badan PenyelesaianSengketa Konsumen ... 69

G. Upaya Hukum... 72

H. Eksekusi Putusan ... 75 BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH BADAN

(7)

A. Lahirnya Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen ... 77 B. Beberapa Ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1. Gugatan Kelompok ... 81 2. Pembuktian Terbalik ... 82 3. Hal-hal Lain ... 84 C. Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang

Perlindungan Konsumen

1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan ... 86 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen ... 89 D. Kendala-Kendala yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dalam Mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

1. Kendala Kelembagaan/Institusional... 95 2. Kendala Pendanaan ... 97 3. Kendala Sumber Daya Manusia Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen ... 98 4. Kendala Peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan

Perturan Terkait Lainnya ... 104 5. Kendala Pembinaan dan Pengawasan, Serta Tidak Adanya

Koordinasi Aparat Penanggung Jawabnya ... 107 6. Kurangnya Sosialisasi dan Rendahnya Tingkat Kesadaran Hukum

Konsumen ... 108 7. Kurangnya Respon dan Pemahaman dari Badan Peradilan Terhadap

Kebijakan Perlindungan Konsumen ... 111 8. Kurangnya respon Masyarakat Terhadap Undang-Undang

perlindungan Konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen ... 112 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(8)

KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN

UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1999 Verytethy Hutagaol1

Tan Kamello2 Dedi Harianto3

1

Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 3

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

ABSTRAK

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk dan diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha, tetapi dalam praktiknya masih banyak mengalami kendala dalam pengimplementasian UUPK. Adapun rumusan masalah yang dibahas yaitu mengenai peran BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen, mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh BPSK dalam mengimplementasikan UUPK.

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dan empiris yaitu melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data dari literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya. Sedangkan metode penelitian empiris dilakukan melalui wawancara.

Dari pembahasan yang telah diuraikan diperoleh kesimpulan mengenai peran BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa konsumen yaitu untuk menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yang dilihat dari tugas dan kewenangan BPSK dan penyelesaian sengketa konsumen tersebut diselesaikan berdasarkan mekanisme hukum yang terdapat di BPSK, sedangkan kendala dalam pengimplementasian UUPK yaitu berupa kendala kelembagaan/institusional, kendala pendanaan, kendala SDM BPSK, kendala peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan terkait lainnya, kendala pembinaan dan pengawasan serta tidak adanya koordinasi aparat penanggung jawabnya, kurangnya sosialisasi dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respon dan pemahaman badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen dan kurangnya respon masyarakat terhadap UUPK dan BPSK.

(9)

Kata Kunci:

- Perlindungan Konsumen

- Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(10)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Berawal dari keprihatinan akan banyaknya kasus yang merugikan konsumen serta didukung oleh ketidakberdayaan konsumen dalam nenuntut hak-haknya, maka pemerintah menaruh kepedulian akan hal tersebut dengan upaya mewujudkan suatu peraturan yang mengatur dan terutama melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat menimbulkan kerugian bagi mereka . Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan satu satunya hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen di Indonesia.

(11)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang sekarang telah direvisi menjadi undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dengan demikian, walaupun setelah lahirnya undang-undang perlindungan konsumen masih terbuka kemungkinan terbentuknya peraturan perundang-undangan yang membuat ketentuaan yang melindungi konsumen, dimana hal ini semua sangat menguntungkan bagi pihak konsumen.4

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi

4

(12)

produsen atas barang atau jasa yang dihasilkannya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya merasakan dampaknya.5

Perlindungan konsumen dilakukan dengan:

Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak dan segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyangkut era perdagangan bebas yang akan datang.

6

1. Pemantapan tertib usaha dan kepastian usaha perdagangan, termasuk penyempurnaan di bidang perundang-undangan dan peraturan yang bergerak di bidang perdagangan, penyederhanaan perizinan serta peningkatan pelayanan.

2. Peningkatan perlindungan konsumen melalui peraturan perundang-undangan serta kemeteorologian serta mendorong peran serta masyarakat dalam perlindungan konsumen.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak terpuji yang berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lajim terjadi, antara

5

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 5.

6

Ari Purwadi,” Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen,” Yuridika,

(13)

lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.

Oleh karena itu, konsumen yang tertipu atau merasa hak-hak mereka tidak diterima sebagaimana mestinya, atau yang merasa dirugikan dapat membuat surat pengaduan kepada Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ini dapat meminta pertanggungjawaban kepada pengusaha dan selanjutnya dapat juga membuat laporan kepada BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) untuk dapat diadili atas persetujuan yang bersangkutan. Disinilah peranan LPKSM dan BPSK jelas terlihat. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) Selain lembaga yang resmi dibentuk oleh pemerintah, menurut ketentuan dalam Bab VIII Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, pemerintah dalam Bab IX, Pasal 44 memungkinkan dibentuknya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat tersebut diberikan kesempatan untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.7

1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

Dalam rumusan Pasal 44 ayat (3) UUPK, dikatakan bahwa LPKSM mempunyai tugas yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

2. Memberikaan nasihat kepada konsumen yang memerlukanya.

3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen.

7

(14)

4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen.

5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Meskipun tidak banyak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengenai LPKSM, namun mengingat akan posisi strategis lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat tersebut dalam keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), dan kepentingan dasar konsumen akan organisasi yang akan melindungi hak-haknya, maka suatu Peraturan Pemerintah yang nantinya akan dibentuk sebagai pelaksanaan Pasal 44 ayat (4) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen menjadi sangat penting artinya. Peraturan Pemerintah tersebut akan menjadi dasar dari pembentukan LPKSM, karena menurut Pasal 44 ayat (1) Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen, hanya LPKSM yang memenuhi syaratlah yang diakui oleh pemerintah. Demikian juga halnya dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) adalah organisasi konsumen yang merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen.8

Dengan demikian konsumen yang ditipu oleh pelaku usaha baik karena kualitas atau mutu barang, informasi yang tidak jelas dan bahkan menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya akan merasa dirugikan sehingga konsumen akan menuntut ganti kerugian. Apabila tidak dipenuhi oleh produsen selaku pelaku Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen (consumer representation) yang memiliki tujuan yaitu melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.

8

(15)

usaha maka hal ini akan menimbulkan perselisihan diantara kedua belah pihak yaitu konsumen dan produsen.

Perselisihan yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha dapat menyangkut pemberian sesuatu, berbuat atau tidak berbuat sesuatu ( Pasal 1233 KUH Perdata).9 Perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha ini selanjutnya disebut dengan sengkata konsumen. Sengketa konsumen adalah sengketa yang terjadi antara konsumen di satu pihak dengan pelaku usaha atau produsen di pihak lain, konsumen sebagai pengguna/pemakai barang dan atau jasa dan pelaku usaha atau produsen sebagai penyedia barang atau jasa.10

Namun sebelum Undang-undang Perlindungan Konsumen lahir, satu-satunya lembaga yang disediakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen adalah melalui gugatan di pengadilan, namun penyelesaian sengketa melalui pengadilan tidak akomodatif dalam menampung sengketa konsumen, karena mahal, lama dan terlalu birokratis.

Adapun yang menjadi Objek sengketa konsumen yang menyangkut produk produsen yaitu barang dan jasa produsen yang pada umumnya digunakan untuk keperluan memenuhi kebutuhan konsumen pribadi, keluarga atau rumah tangganya dan tidak untuk kebutuhan komersial.

11

Oleh karena itu Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuka kesempatan kepada setiap konsumen yang dirugikan untuk mengajukan gugatan

9

R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan VIII, (Jakarta : Paramita, 1976), hal. 269. Pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.

10

Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen kajian Teoritis dan Perkembangan Pemikiran Cetakan I, (Banjarmasin : Fakultas Hukum Universitas Lambung mangkurat press, 2008), hal. 109.

11

(16)

kepada pelaku usaha melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud di atas tidak menutup kemungkinan penyelesaian secara damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian secara damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa.12 Adapun pengertian penyelesaian secara damai adalah “penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan undang-undang”.13

Pada prinsipnya, yang dimaksud dengan negosiasi adalah “suatu proses tawar-menawar atau pembicaraan untuk mencapai suatu kesepakatan terhadap masalah tertentu yang terjadi diantara para pihak. Negosiasi dilakukan baik karena telah ada sengketa diantara para pihak, maupun hanya karena belum ada kata sepakat disebabkan belum pernah dibicarakan masalah tersebut”.

Penyelesaian sengketa konsumen secara damai dapat dilakukan oleh konsumen langsung dengan bernegosiasi pada pelaku usaha atau melalui bantuan Sub Direktorat Pelayanan Pengaduan, Direktorat Perlindungan Konsumen.

14

12

Az. Nasution, Op. cit. hal. 224. 13

ibid

14

Gunawan Widjaja , Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT Grafindo Persada, 2001), hal. 89.

(17)

prinsipnya segala sesuatu yang menurut undang-undang yang berlaku dapat diadakan perdamaian dapat pula dinegosiasikan.15

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk yang diatur dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah menyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha. Pembentukan BPSK hanya pada Daerah Tingkat II, memperlihatkan maksud bahwa putusan BPSK tidak ada upaya banding dan kasasi. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 ditentukan bahwa pembentukan BPSK dilakukan pada Pemerintahan Kota Medan,

Tetapi apabila penyelesaian sengketa secara damai melalui negosiasi ini tidak berhasil dilakukan oleh kedua belah pihak, maka lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen. BPSK dibentuk agar dapat menjadi semacam pengadilan khusus konsumen untuk sengketa-sengketa konsumen (small claim court) yang diharapkan dapat menjawab tuntutan dari asas beracara di peradilan yaitu sederhana, cepat dan murah.

15

(18)

Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota Makassar.16

Selanjutnya dalam Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 dibentuk lagi BPSK di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya yaitu di kota Kupang, kota Samarinda, kota Sukabumi, kota Bogor, kota Kediri, kota Mataram, kota Palangkaraya dan pada kabupaten Kupang, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan kabupaten Jeneponto. Terakhir pada tanggal 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 membentuk BPSK di kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.17

Namun BPSK dalam mengimplementasikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen masih mengalami kendala-kendala dan permasalahan, sebagai ilustrasi adalah kendala kelembagaan/institusional, kendala pendanaan, kendala sumber daya manusia BPSK, kendala peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan peraturan terkait lainnya, kendala pembinaan dan pengawasan serta tidak adanya koordinasi aparat penanggungjawabnya, kurangnya sosialisasi dan rendahnya tingkat kesadaran hukum konsumen, kurangnya respons dan pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya respon masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.18

16

Ahmad Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal. 242.

17

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya, Cetakan I, (Jakarta : Prenada Media Group, 2008), hal. 76.

18

Ibid. hal. 210.

(19)

apakah yang dihadapi BPSK (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen) dalam mengimplementasikan Undang-undang Perlindungan Konsumen untuk menyelesaikan sengketa konsumen yang diajukan ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

B.Rumusan Masalah

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara Pelaku Usaha dan Konsumen. Namun dalam praktiknya Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen masih menghadapi kendala-kendala dalam pengimplementasian Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Maka berdasarkan uraian diatas dan juga latar belakang yang sudah diuraikan sebelumnya, yang menjadi rumusan masalah yang akan dibahas dan diteliti adalah:

1. Bagaimanakah peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen?

2. Bagaimanakah mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen?

3. Kendala-kendala apakah yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen?

C.Tujuan dan Manfaat

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah :

(20)

2. Untuk mengetahui bagaimanakah mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

3. Untuk mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam mengimplementassikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Adapun yang menjadi manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Hasil penulisan ini diharapkan akan memberi sumbangan pengetahuan dalam hukum konsumen, khususnya mengenai Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

2. Memberikan sumbangan pemikiran akademis bagi para pelaku usaha maupun konsumen mengenai mengenai mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

3. Memberikan pemahaman baru bagi konsumen selaku pihak yang dirugikan, bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen merupakan salah satu lembaga yang dibentuk untuk upaya perlindungan konsumen. 4. Memberikan kajian akademis yang lebih objektif, jelas, tegas dan

terperinci kepada para pihak yang berkecimpung dalam kelembagaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

5. Secara praktis penenelitian ini dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dan landasan bagi penelitian lanjutan.

D.Keaslian Penulisan

(21)

berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian atau keseluruhan dari karya orang lain. Dengan demikian penulis berdasarkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki dapat menjamin keaslian skripsi ini sebagai karya tulis ilmiah yang asli (original) dan benar-benar merupakan hasil pemikiran dan usaha dari penulis.

E.Tinjauan Kepustakaan

Badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) merupakan suatu lembaga khusus yang dibentuk diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang tugas utamanya adalah meyelesaikan sengketa atau perselisihan antara konsumen dan pelaku usaha.

Apabila dilihat pada ketentuan pasal 23 Undang-Undang Perlindungan Konsumen dikatakan bahwa:

“dalam hal pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha distributor menolak dan/ atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau dengan cara memajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen".19

“Terdapat 2 (dua) hal penting yaitu:20

1. Bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen melalui badan di luar sistem peradilan yang disebut dengan BPSK, selain melalui Peradilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan konsumen; 2. Bahwa pilihan penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha

bukanlah suatu pilihan yang eksklusif, yang tidak harus dipilih. Penyelesaian sengketa melalui BPSK adalah pararel atau sejajar dengan pilihan penyelesaian sengketa melalui badan peradilan”

Masalah penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam Bab X yang terdiri dari 4 (empat) pasal, dimulai dari

19

Abdul Halim Barkatulah. Op. cit. hal. 121.

(22)

pasal 45 sampai dengan pasal 48 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dari rumusan-rumusan yang diberikan dalam pasal-pasal tersebut, dan beberapa ketentuan yang diatur dalam Bab XI tentang BPSK, terdapat 2 (dua) hal pokok yang dapat dikemukakan, yaitu:21

1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui BPSK bukanlah suatu keharusan untuk ditempuh konsumen sebelum akhirnya diselesaikan melalui lembaga peradilan. Walau demikian hasil putusan BPSK memiliki suatu daya hukum yang cukup untuk memberikan shock terapy bagi pelaku usaha yang nakal, oleh karena putusan tersebut dijadikan bukti permulaan bagi penyidik. Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghalangi tanggung jawab pidana menurut ketentuan yang berlaku.Untuk mengakomodasikan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen kepada BPSK, selaku lembaga yang bertugas untuk menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan kewenangan kepada PBSK untuk menjatuhkan sanksi administratif bagi pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu yang dikenakan bagi pelaku usaha, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Sebagai suatu lembaga penyelesaian perselisihan di luar pengadilan, pelaksanaan dari putusan BPSK ini dimintakan penetapan eksekusinya pada pengadilan.

21

(23)

2. Undang-Undang Perlindungan Konsumen, membedakan jenis gugatan yang dapat diajukan ke BPSK berdasarkan persona standi in judicio. Rumusan pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa setiap gugatan atas pelanggaran pasal dapat dilakukan oleh:

a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;

c. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan Perlindungan Konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. Pemerintah dan/ atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.

Adapun mekanisme hukum di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah dimulai dengan pengajuan permohonan sengketa konsumen, susunan majelis badan penyelesaian sengketa konsumen dan kepaniteraan, tata cara persidangan, alat bukti dan sistem pembuktian, putusan badan penyelesaian sengketa konsumen, upaya hukum dan eksekusi putusan.

(24)

pemahaman dari badan peradilan terhadap kebijakan perlindungan konsumen, kurangnya respons masyarakat terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.22

Metode penelitian yuridis normatif dipergunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode yuridis normatif dengan metode pendekatan secara kualitatif.

23

Metode pendekatan secara kualitatif bermanfaat untuk melakukan analisis data secara menyeluruh dan merupakan satu kesatuan yang integral (holistic), hasil penelitian dipaparkan secara deskriptif dan mendalam dengan tidak mempergunakan analisis secara kualitatif.24

22

Susanti Adi Nugroho. Op. cit. hal. 209.

23

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 139.

24

Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1996), hal. 22.

(25)

Bahan hukum primer dapat berupa peraturan perundang-undangan nasional, maupun peraturan perundang-undangan dari negara lain yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. Demikian pula putusan-putusan pengadilan di Indonesia untuk melihat aplikasi peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen tersebut.25

Bahan hukum sekunder dapat berupa karya-karya ilmiah berupa buku-buku, laporan penelitian, juranal ilmiah, dan sebagainya. Termasuk dalam hal ini, pendapat para ahli yang dikemukakan dalam seminar-seminar, konfrensi-konfrensi nasional maupun internasional yang berkaitan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.26

Bahan huku m tertier, terdiri dari bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainya.27

Untuk memproleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara mendalam (in dept interviewing)28

25

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 52.

26

Ibid

27

Ibid

28

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal. 59.

(26)

Penarikan kesimpulan terhadap data yang berhasil dikumpulkan dilakukan dengan mempergunakan metode penarikan kesimpulan secara deduktif maupun secara induktif, sehingga akan dapat diperoleh jawaban terhadap permasalahan-permasalahan yang telah disusun.

G.Sistematika Penulisan

Untuk memperjelas pembahasan dalam skripsi ini, maka susunan penulisan dalam skripsi ini adalah antara lain sebagai berikut:

BAB I berisi tentang Pendahuluan yang membahas mulai dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metodologi Penulisan, Sistematika Penulisan.

BAB II berisi tentang Peran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu terdiri dari Pengertian Sengketa Konsumen, Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Dasar Hukum Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kelembagaan, Kedudukan, Keanggotaan, Struktur, dan Pendanaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kecil dan Sederhana (Small Claim Court).

(27)

Konsiliasi, Mediasi, dan Arbitrase, Alat Bukti dan Sistem Pembuktian, Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Upaya Hukum, dan Eksekusi Putusan.

BAB IV Kendala Kendala yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Mengimplementasikan Undang-undang Perlindungan Konsumen yang pembahasannya dimulai dari Lahirnya Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen, Beberapa Ketentuan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen yaitu Gugatan Kelompok, Pembuktian Terbalik, dan Hal-Hal Lain, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu terdiri dari Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kendala-Kendala yang Dihadapi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam Mengimplementasikan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yaitu Kendala Kelembagaan/Institusional, Kendala Pendanaan, Kendala Sumber Daya Manusia Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Kendala Peraturan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Terkait Lainnya, Kendala Pembinaan dan Pengawasan Serta Tidak Adanya Koordinasi Aparat Penanggung Jawabnya, Kendala Sosialisasi dan Rendahnya Tingkat Kesadaran Hukum Konsumen, Kurangnya Respon dan Pemahaman dari Badan Peradilan Terhadap Kebijakan Perlindungan Konsumen, Kurangnya Respons Masyarakat Terhadap Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

(28)

BAB II

PERAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN SEBAGAI LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A.Pengertian Sengketa Konsumen

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata sengketa konsumen dijumpai pada beberapa bagian Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:29

1. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) jo. Bab XI UUPK.

2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada Bab ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu: Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 48 UUPK.

29

(29)

Ada beberapa kata kunci untuk memahami pengertian sengketa konsumen dalam kerangka Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan menggunakan metode penafsiran. Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK. Berikut dikutipkan keduanya:30

1. Setiap orang atau individu.

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, arang lain, maupun mahkluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” (Pasal 1 butir 2 UUPK).

“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi” (Pasal 1 butir 2 UUPK).

Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) pada

Pasal 1 butir 11 UUPK menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha disitu, yaitu:

2. Badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum.

Selengkapnya pasal tersebut berbunyi:

“Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”

30

(30)

Jadi sengketa sesama pelaku usaha bukanlah sengketa konsumen, karenanya ketentuan-ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak dapat digunakan pelaku usaha.

B.Pengertian Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Di luar peradilan umum Undang-Undang Perlindungan Konsumen membuat terobosan dengan memfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha di luar peradilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku untuk gugatan secara perseorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum.

Badan penyelesaian Sengketa Konsumen adalah suatu badan yang menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.31 Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses berperkara berjalan cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, Badan Penyelesaian Sengketa Kosumen hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak dapat dibanding kecuali bertentangan dengan hukum yang berlaku.32

31

Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

32

Celina Tri Siwi Kristiyanti. Op. cit. hal. 126.

(31)

dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumena adalah badan yang memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen di luar dengadilan. Badan ini dibentuk sebagai alternatif bagi konsumen yang membutuhkan media penyelesaian sengketa secara cepat, mudah dan murah. Cepat ditentukan dari 21 (dua puluh satu) hari kerja yang wajib menghasilkan sebuah putusan. Mudah terletak pada prosedur administrairf dan proses pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang terjangkau, serta dapat memberikan keputusan yang menang-menang (win-win solution).33

Pengaturan pembentukan badan ini terdapat di dalam Bab XI, dimulai dari Pasal 49 sampai dengan Pasal 58 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen diangkat dan diberhentikan berdasarkan penetapan Menteri (Menperindag), yang tugas pokok dari badan ini adalah menyelesaikan sengketa-sengketa konsumen di luar pengadilan.34

C.Dasar Hukum Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dasar hukum pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah UU No. 8 Tahun 1999. Pasal 49 ayat (1) UUPK jo. Pasal 2 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001 mengatur bahwa disetiap kota atau kabupaten harus dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.35

33

Dedi Harianto, “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Periklanan yang Menyesatkan” Disertasi, (Universitas Sumatera Utara, 2007). hal. 143.

34

N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, (Jakarta: Penerbit Pantai Rei, 2005), hal. 263.

35

Susanti Adi Nugroho. Op. cit. hal. 75.

(32)

di luar pengadilan. Dalam rangka memenuhi maksud Pasal 49 ayat (1) UUPK, dibentuk beberapa BPSK di beberapa kota besar di Indonesia.

Di samping itu, apabila dilihat dari hubungan antara pelaku usaha/penjual dengan konsumen tidak tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan di Pengadilan, namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilanpun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang terlalu lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.36

Selanjutnya dalam Keputusan Presiden No. 108 Tahun 2004 dibentuk lagi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di tujuh kota dan tujuh kabupaten berikutnya, yaitu di kota Kupang, kota Samarinda, kota Sukabumi, kota Bogor, kota Kediri, kota Mataram, dan kota Palangkaraya, dan pada kabupaten Kupang, Perwujudan Pasal 49 ayat (1) UUPK dapat dilihat dengan Kehadiran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diresmikan pada tahun 2001, yaitu dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang dan Kota Makasar.

36

(33)

kabupaten Belitung, kabupaten Sukabumi, kabupaten Bulungan, kabupaten Serang, kabupaten Ogan Komering Ulu, dan kabupaten Jeneponto.

Terakhir, pada 12 Juli 2005 dengan Keputusan Presiden No. 18 Tahun 2005 yang membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di kota Padang, kabupaten Indramayu, kabupaten Bandung, dan kabupaten Tangerang.37

Masalah yang berkaitan dengan pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah dampak dari berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 mengenai kewenangan pemerintah pusat terhadap lembaga tersebut dimana Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 lahir merupakan inisiatif dari pemerintah pusat.38

D.Kelembagaan, Kedudukan, Keanggotaan, Struktur, dan Pendanaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Institusi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dibentuk di setiap Daerah Kota dan/atau Daerah Kabupaten berdasarkan ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan. UUPK masih menyebutkan Daerah Tingkat II (Dati II). Penyebutan ini sudah tidak digunakan lagi setelah diberlakukanya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.39

37

Susanti Adi Nogroho. Op. cit. hal. 76. 38

Ibid. hal. 77. 39

Yusuf Shofie. Op. cit. hal. 27-28.

(34)

Penyelesaian Sengketa Konsumen sudah tidak hanya terdapat di kesepuluh kota ini karena sudah dibentuk di berbagai kota dan kabupaten lainnya seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Menurut Pasal 49 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), adapun keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen terdiri dari 3 (tiga ) unsur, yaitu:40

1. Unsur pemerintah (3 orang - 5 orang) 2. Unsur konsumen (3 orang - 5 orang) 3. Unsur pelaku usaha (3 orang - 5 orang)

Unsur pemerintah, berasal dari wakil instansi yang ruang lingkup tugasnya meliputi bidang industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan, perhubungan dan keuangan. Unsur konsumen, berasal dari wakil LPKSM (Lembaga Perlindungan konsumen Swadaya Masyarakat) yang terdaftar dan diakui oleh Walikota atau Bupati atau Kepala Dinas setempat. Unsur pelaku usaha, berasal dari wakil asosiasi dan/atau organisasi pengusaha yang berada di daerah kota atau di daerah kabupaten setempat. Setiap unsur sebagaimana dimaksud diatas berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, dan disesuaikan dengan volume dan beban kerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Jumlah anggota BPSK sedikit-dikitnya 9 (sembilan) orang atau sebanyak-banyaknya 15 (lima belas) orang, yang disesuaikan dengan volume dan beban kerja Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 1/3 (sepertiga) dari jumlah anggota Badan Penyelesaian Sengketa

40

(35)

Konsumen wajib berpengetahuan di bidang hukum. Masa keanggotaan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa berikutnya selama masih memenuhi persyaratan pengangkatan.41

Adapun pengangkatan dan pemberhentian anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ditetapkan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag). Untuk dapat diangkat sebagai anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut (Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen) atau disebut juga dengan syarat umum yaitu:42

1. Warga negara Republik Indonesia 2. Berbadan sehat

3. Berkelakuan baik

4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan

5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen 6. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun.

Adapun syarat khusus pengangkatan angota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu:43

1. Diutamakan calon yang bertempat tinggal di Daerah Kota atau Daerah Kabupaten setempat.

2. Diutamakan calon yang berpendidikan serendah-rendahnya strata I atau sederajat dari lembaga pendidikan yang telah diakreditsi oleh Departemen Pendidikan Nasional.

3. Berpengalaman dan/atau berpengetahuan di bidang industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan, perhubungan dan keuangan.

41

Sentosa Sembiring, Himpunan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait, (Bandung: NUANSA AULIA, 2005), hal. 343.

42

Yusuf Sofie. Op. cit. hal. 29. 43

(36)

4. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berasal dari unsur pemerintah serendah-rendahnya berpangkat pembina atau golongan IV/a. 5. Calon anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dari unsur

konsumen tidak berasal dari Kantor Cabang atau Perwakilan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.

Pengajuan calon anggota dari masing-masing unsur wajib melampirkan dokumen sebagai berikut:44

1. Daftar riwayat hidup.

2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk dengan menunjukkan aslinya atau yang telah dilegalisir oleh Kelurahan.

3. Foto copy ijasah pendidikan terakhir dengan menunjukkan aslinya atau yang telah dilegalisir oleh instansi yang berwenang.

4. Surat keterangan sehat dari dokter.

5. Surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian.

6. Surat pernyataan bahwa yang bersangkutan ingin menjadi anggota BPSK disertai bukt i-bukti yang menyatakan bahwa yang bersangkutan berpengalaman atau berpengetahuan di bidang hukum, industri, perdagangan, kesehatan, pertambangan, pertanian, kehutanan, perhubungan atau keuangan.

7. Surat pengusulan pencalonan dari lembaga yang diwakilinya.

8. Bagi anggota yang berasal dari unsur konsumen harus melampirkan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK).

9. Pasfoto terakhir ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar.

Sebelum melaksanakan tugas, anggota BPSK wajib mengucapkan sumpah dihadapan Bupati atau Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berhenti apabila:45

1. Meninggal dunia.

2. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri. 3. Sakit secara terus-menerus.

4. Berakhir masa jabatan sebagai anggota BPSK.

44

Pasal 7 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 Tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

45

(37)

5. Telah mencapai usia 65 (enam puluh lima) tahun.

6. Telah mencapai usia pensiun 56 (lima puluh enam) tahun bagi anggota yang mewakili unsur pemerintah.

Dan anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen juga dapat diberhentikan apabila:46

1. Melakukan perbuatan yang menyimpang dari tugas dan wewenang BPSK. 2. Melanggar peraturan di bidang perlindungan konsumen.

3. Merugikan konsumen atau pelaku usaha. 4. Melakukan perbuatan tercela.

5. Melanggar sumpah atau janji.

6. Dihukum penjara karena melakukan tindak pidana.

Usulan pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada angka 1, 2, 3, 4, dan 5 diajukan oleh Bupati atau Walikota kepada Menteri setelah yang bersangkutan diberikan kesempatan untuk membela diri. Usulan pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Bupati atau Walikota kepada Menteri dengan melampirkan Keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang berhenti atau diberhentikan sebelum masa keanggotaannya berakhir digantikan oleh anggota pengganti antar waktu. Usulan anggota pengganti antar waktu diajukan dari calon anggota yang diusulkan oleh Bupati atau Walikota. Masa keanggotaan pengganti antar waktu sesuia dengan masa keanggotaan yang digantikan.47

Dan sesuai dengan Pasal 50 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adapun struktur Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu terdiri dari:

46

Pasal 12 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 Tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

47

(38)

1. Ketua merangkap anggota 2. Wakil ketua merangkap anggota 3. Anggota

ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berasal dari unsur pemerintah dan dipilih diantara dan oleh para anggota, wakil ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berasal dari unsur di luar pemerintah dan dipilih diantara dan oleh para anggota. Masa jabatan ketua dan wakil ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih serta diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya selama masih memenuhi syarat pegangkatan.48

48

Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5 SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor 301/MPP/KEP/10/2001 Tentang Pengangkatan, Pemberhentian, Anggota dan Sekretariat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

(39)

anggota sekretariat sebelum melaksanakan tugas wajib mengucapkan sumpah dihadap[an ketua BPSK sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun biaya pelaksanaan tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), (Pasal 90 Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001).49

E.Tugas dan Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Setiap penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh majelis yang dibentuk oleh Ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan dibantu oleh panitera. Susunan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen harus ganjil, dengan ketentuan minimal 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dengan Pasal 54 ayat (2) UUPK, yaitu unsur pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Salah satu anggota majelis tersebut wajib berpendidikan dan berpengetahuan di bidang hukum.50

Untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi atau mediasi, maka yang berwenang untuk menetapkan siapa yang menjadi personilnya baik sebagai ketua majelis yang berasal dari unsur pemerintah maupun anggota majelis yang berasal dari unsur konsumen dan unsur pelaku usaha adalah ketua BPSK. Hal ini berbeda dengan majelis yang akan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara arbitrase, ketua BPSK tidak

Ketua Majelis BPSK harus unsur dari pemerintah, walaupun tidak berpendidikan hukum.

49

Yusuf Sophie. Op.cit. hal. 30. 50

(40)

berwenang untuk menentukan siapa yang akan menjadi majelis dan anggota majelis. Yang berwenang menentukan siapa yang duduk di majelis adalah para pihak yang bersengketa, para pihak dapat memilih arbiter yang mewakili kepentingannya. Konsumen berhak memilih dengan bebas salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur konsumen sebagai arbiter yang akan menjaddi anggota majelis. Demikian juga, pelaku usaha berhak memilih salah satu dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha sebagai arbiter, yang akan menjadi anggota majelis.

Selanjutnya, arbiter hasil pilihan konsumen dan arbiter hasil pilihan pelaku usaha secara bersama-sama akan memilih arbiter ketiga yang berasal dari unsur pemerintah dari anggota BPSK yang akan menjadi ketua majelis. Prosedur untuk memilih arbiter hasil pilihan konsumen dan arbiter hasil pilihan pelaku usaha, demikian juga arbiter ketiga dari unsur pemerintah dilakukan dengan mengisi formulir pemilihan arbiter. Hasil pemilihan arbiter setelah dituangkan dalam pengisian formulir pemilihan arbiter akan ditetapkan oleh ketua BPSK sebagai majelis yang menangani sengketa konsumen dengan cara arbitrase dengan cara penetapan.

Panitera BPSK berasal dari anggota sekretariat yang ditetapkan oleh ketua BPSK. Tugas panitera terdiri dari:51

1. Mencatat jalannya proses penyelesaian sengketa konsumen 2. Menyimpan berkas laporan

3. Menjaga barang bukti

51

(41)

4. Membantu majelis menyusun putusan

5. Membantu penyampaian putusan kepada konsumen dan pelaku usaha 6. Membantu majelis dalam tugas-tugas penyelesaian sengketa

Ketua majelis BPSK atau anggota BPSK atau Panitera, berkewajiban untuk mengundurkan diri apabila terdapat permintaan ataupun tanpa permintaan ketua BPSK, atau anggota majelis BPSK, atau pihak yang bersengketa, jika terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami isti meskipun telah bercerai dengan pihak yang bersengketa.

Mengenai tugas dan wewenang BPSK diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen jo. Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001, tentang Pelaksanan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yaitu:52

1. Melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi.

2. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen.

3. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

4. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini.

5. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen 6. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen

tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

52

(42)

7. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

8. Memanggil, menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran undang-undang ini.

9. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada angka 7 dan angka 8, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengkea Konsumen.

10. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan.

11. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen.

12. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen.

13. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini.

Berdasarkan tugas dan wewenang tersebut, maka dengan demikian terdapat 2 (dua) fungsi strategis dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, yaitu:53

1. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen berfungsi sebagai instrumen hukum penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution), yaitu melalui konsiliasi, mediasi dan arbitrase.

53

(43)

2. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku (one-sided standard form contract) oleh pelaku usaha (Pasal 52 butir c

Undang-Undang Perlindungan Konsumen). Termasuk disini klausula baku yang dikeluarkan PT PLN (persero) di bidang telekomunikasi, bank-bank milik pemerintah maupun swasta, perusahaan leasing/pembiayaan, dan lain-lain.

Adapun klausula baku yang dimaksud adalah klausula yang merugikan konsumen, yaitu:54

1. Menyatakan pengalihan tanggung jawab.

2. Menyatakan menolak penyerahan barang yang telah dibeli konsumen. 3. Menyatakan menolak pengembalian uang yang telah dibayarkan oleh

konsumen.

4. Menyatakan memberi kuasa kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan.

5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen.

6. Memberikan hak kepada pengusaha untuk pemasangan hak tanggungan, gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara cicilan.

7. Memberi hak kepada pengusaha untuk mengurangi manfaat, jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

54

(44)

8. Menyatakan penundukan konsumen kepada peraturan baik yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pihak pengusaha.

Berdasarkan dengan adanya klausula baku seperti di atas, maka salah satu fungsi strategis ini adalah untuk menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan pelaku usaha dan konsumen. Jadi, tidak hanya klausula baku yang dikeluarkan oleh pelaku usaha atau badan usaha perusahaan-perusahaan swasta saja, tetapi juga pelaku usaha atau perusahaan-perusahaan milik negara.

Dilihat dari ketentuan Pasal 52 huruf b, c dan e Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa di luar pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UUPK, tetapi meliputi kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran ketentuan perlindungan konsumen serta berbagai tugas dan kewenangan lainnya yang terkait dengan pemeriksaan pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

F. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai Lembaga Penyelesaian Perkara Kecil dan Sederhana (Lembaga Small Claim Court)

(45)

penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dan konsumen di luar pengadilan, pemerintah membentuk suatu badan baru yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.55

Bagi penyelesaian sengketa untuk kasus yang sederhana dan berskala kecil, pengadilan bukanlah pilihan yang efektif. Disamping biaya perkara yang harus dikeluarkan cukup besar, proses penyelesaiannya memakai hukum acara yang formal dan memerlukan waktu yang lama. Penyelesaian perkara di pengadilan justru sering kali tidak memberikan keadilan atau kepuasan bagi para pihak yang bersengketa.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebenarnya semula dibentuk untuk penyelesaian perkara-perkara kecil, karena kebanyakan kasus-kasus sengketa konsumen berskala kecil dan bersifat sederhana. Jika sengketa tersebut harus diselesaikan di pengadilan, maka justru akan merugikan konsumen karena biaya perkara yang harus ditanggung konsumen lebih besar daripada kerugiannya.

Dilihat dari sanksi administratif berupa penetapan ganti kerugian paling banyak sebesar Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) yang dapat dibebankan kepada pelaku usaha, tampak bahwa sebenarnya lembaga BPSK tersebut dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen dengan jumlah nilai yang kecil, seperti halnya peradilan konsumen dari negara-negara lain.

56

Melihat keterbatasan penyelesaian sengketa secara litigasi, maka para pihak yang memerlukan penyelesaian sengketa secara sederhana , cepat dan biaya

55

Ibid. hal. 85. 56

(46)

murah lebih banyak memilih cara penyelesaian sengketa alternatif yang sering disebut Alternative Dispute Resolution.

Secara umum small claim court dipergunakan untuk menyebut sebuah lembaga penyelesaian perkara perdata (civil claims) berskala kecil dengan cara sederhana, tidak formal, cepat dan biaya murah. Small claim court pada umumnya terdapat di negara-negara yang memiliki latar belakang tradisi common law.57 Di berbagai negara, perkara-perkara konsumen merupakan perkara yang diselesaikan oleh lembaga yang disebut sebagai Small Claims Court atau Small Claims Tribunal.58

Pada small claim tribunal yang bertindak sebagai hakim adalah seorang Barrister atau Solicitor sebagai “referee”. Anggota tribunal yang memimpin

jalannnya persidangan disebut dengan istilah “President” sebagai konsekuensinya, putusannya hanya disebut dengan istilah “decision”atau “settlement” atau

Perbedaan mendasar antara “court” dengan “tribunal” adalah court bersifat tetap sedangkan tribunal lebih bersifat ad hoc. Hal ini tampak misalnya, dalam hal kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan atau dengan kata lain yang bertindak sebagai hakim dalam pada small claim court benar-benar dijalankan oleh seorang hakim (presiding judge) pada court tersebut, sehingga putusannya pun sering kali disebut dengan istilah judgement. Bahkan pada small claim court dimungkinkan diperiksa oleh juri, sekalipun hal ini sangat jarang dan memerlukan persyaratan khusus, termasuk tambahan biaya.

57

Diktat Pengembangan Bagi Anggota BPSK Tingkat Pemula, Jakarta 30 September-1 Oktober 2003, yang dikutip oleh J. Widijantoro dan AL Wisnubroto laporan hasail penelitian Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Tahun 2004, hal. 43.

58

(47)

“award”. Sekalipun demikian, sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pengadilan, baik small claim court maupun samall claim tribunal memiliki ciri-ciri atau karakteristik yang sama, antara lain:59

1. Pada umumnya merupakan bagian dari sistem peradilan atau peradilan khusus di luar sistem peradilan yang bersifat independen.

2. Terdapat batasan mengenai kasus apa saja yang dapat diajukan atau tidak dapat diajukan pada small claim court maupun small claim tribunal.

3. Terdapat batasan nilai gugatan. Pada umumnya yang dapat diajukan adalah sengketa yang nilai gugatannya kecil.

4. Biaya perkara yang lebih rendah dibandingkan biaya perkara yang diajukan pada pengadilan. Bahkan dibeberapa negara dibebaskan dari biaya perkara.

5. Prosedur yang sederhana dan yang lebih bersifat informal sehingga para pihak yang awam hukum pun dapat mengajukan sendiri.

6. Proses pemeriksaannya berlangsung cepat dan tidak berbelit-belit.

7. Dengan prosedur yang cepat, sederhana dan biaya ringan tersebut, maka para pihak yang berperkara tidak memerlukan bantuan seorang advokat/penasihat hukum.

8. Alternatif penyelesaian sengketa lebih terbuka, dalam arti tidak selalu tergantung pada pertimbangan hakim berdasarkan hukum (formal) yang berlaku, namun dimungkinkan sebuah putusan yang didasarkan pada tawar-menawar para pihak yang difasilitasi hakim.

59

(48)

9. Pada umumnya small claim court mapun small claim tribunal, memeriksa, mengadili dan memutus tuntutan yang berupa uang ganti kerugian yang bersifat materil, sekalipun dimungkinkan pula tuntutan dalam bentuk yang lain, misalnya permintaan maaf.

Dengan mengetahui tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagai badan khusus di luar peradilan umum yang menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, maka konsumen yang merasa hak-haknya dirugikan dapat mengajukan tuntutan ke Badan Penyelesaian Sengketa konsumen untuk menuntut hak-hak mereka karena Badan Penyelesaian Sengketa konsumen merupakan satu badan yang menyelesaikan sengketa antara konsumen dan produsen. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa, yang dikuatkan dalam bentuk keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.60

60

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, (Bogor: GHALIA INDONESIA, 2008), hal. 25.

(49)

Keuntungan lain dari konsumen dalam penyelesaian sengketa melalui jalur ini adalah sebagaimana disebutkan Pasal 22 Keputusan Menperindag No. 350 Tahun 2001, yaitu bahwa pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini sering juga dikatakan pembuktian terbalik. Dikatakan sebagai pembuktian terbalik karena dalam kasus biasa (perdata), pembuktian dibebankan kepada pihak yang mendalilkan.

BAB III

MEKANISME HUKUM DI BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A.Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pada uraian sebelumnya telah diuraikan bahwa sengketa konsumen adalah “sengketa yang terjadi antara konsumen di satu pihak dan dengan pelaku usaha atau produsen di pihak lain”.61

61

Abdul Halim Barkatutulah. Op. cit. hal. 109.

(50)

1. Konsumen

Dalam peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UUPK menyatakan konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahkuk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.62 Namun diberbagai negara istilah konsumen ini berbeda-beda pengertiannya, contohnya di Belanda istilah konsumen diartikan sebagai pemakai produk terakhir dari benda dan jasa. Di Perancis, berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang berkembang konsumen diartikan sebagai “the persons who obtains goods or services for personal or family purpose” atau

(orang yang memperoleh barang dan jasa untuk tujuan perseorangan dan keluraga). Dari defenisi itu terkandung 2 (dua) unsur, yaitu (a) konsumen hanya orang, dan (b) barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan pribadi atau keluarganya. Undang-Undang Jaminan Produk di Ameria Serikat sebagaimana dimuat dalam Magnusson-Moss Warranty, Federal Trade Commission Act 1975 mengartikan konsumen persis sama dengan ketentuan di Perancis.63

62

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia Edisi Revisi 2006, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006), hal. 1.

63

Mariam Darus Badrulzaman, “Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat dari Sudut Perjanjian Baku (standar)”, Simposium Aspek-Aspek Hukum Perlindungan konsumen, (Bandung: Binacipta, 1986), hal. 57.

Di Spanyol, pengertian konsumen didefenisikan secara lebih luas, yaitu: “any individual or company who is the ultimate buyer or user of personal or real property, products,

(51)

public or private entity, acting alone or collectively” (beberapa individu atau

perusahaan yang merupakan pembeli atau pengguna akhir dari suatu hal atau properti, produk, jasa atau aktivitas, yang tidak memperhatikan apakah itu penjual, pemasok atau penghasil itu merupakan sebuah perusahaan umum atau swasta, berdiri sendiri atau dengan kerja sama). Konsumen diartikan tidak hanya individu (orang), tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir, konsumen tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli.64

Hal yang agak berbeda dengan defenisi itu dianut oleh Republik Rakyat China. Dalam Pasal 2 Beijing Municipal Regulation on Protection of Consumers’ Legal Rights and interests (peraturan kota Beijing pada perlindungan hak legal

dan ketertarikan konsumen) dinyatakan, istilah konsumen mengacu kepada: “Units and individuals who obtain, by paying the value consumer goods (hereafter as commodities) and commercial services (hereafter as services) for the

needs of living” (unit atau individu yang memperoleh sesuatu, dengan membayar

nilai barang konsumen (dalam hal ini disebut sebagai komoditi) dan pelayanan komersial (yang disebut sebagai jasa) untuk kebutuhan hidup). Consumer Protection Act of 1986, No. 68 dari negara India mirip dengan rumusan dari peraturan yang berlaku di Republik Rakyat China, tetapi lebih sempit. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen India dinyatakan, “konsumen adalah setiap orang (pembeli) atas barang yang disepakati, menyangkut harga dan cara

64

(52)

pembayarannya, tetapi tidak termasuk mereka yang mendapatkan barang untuk dijual kembali atau lain-lain keperluan komersial.65

Di Australia, ketentuannya ternyata jauh lebih moderat. Dalam Trade Practises Act 1974 yang telah berkali-kali diubah, konsumen diartikan sebagai, “seseorang yang memperoleh barang atau jasa tertentu dengan persyaratan harganya tidak melewati 40.000 Dollar Australia”. Artinya , sejauh tidak melewati jumlah uang diatas, tujuan pembelian barang atau jasa tersebut tidak dipersoalkan. Jika jumlah uangnya sudah melewati 40.000 Dollar, keperluannya harus khusus.66

Rumusan-rumusan berbagai ketentuan itu menunjukkan sangat beragamnya pengertian konsumen. Untuk itu dengan mempelajari perbandingan dari rumusan konsumen, kita perlu kembali melihat pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UUPK. Sebagai pengguna/pemakai barang atau jasa, konsumen dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:67

Kelompok pertama menurut penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah yang disebut dengan konsumen antara, dan kelompok kedua disebut dengan konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau

Pertama, pemakai/pengguna barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain, atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dijual kembali (untuk tujuan komersial). Kedua, pemakai/pengguna barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan nonkomersial).

65

Az. Nasution 2, Konsumen dan Hukum: Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 72.

66

Shidarta. Op. cit. hal. 5. 67

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah merancang arsitektur informasi e-procurement dengan menggunakan metode TOGAF dan Zachmann Framework, melakukan efisiensi terhadap

Pihak tertentu yang mendukung pembela jaran dengan aneka permainan bahasaberar- gumentasi, bahwa belajar dalam konteks ser bajenaka akan membuahkan hasil lebih sig- nifikan

Tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengamh pcngendalian intern persediaan terhadap efektivitas sistem akuntansi persediaan barang logistik pada PTC. Kereta Api

2 Di Kabupaten Sijunjung, dari 12 puskesmas yang ada, belum satu pun puskesmas yang bisa mencapai target program penemuan TB Nasional (70%), namun untuk pencapaian target

syari‟at. Allah dan Rasul-Nya mengajarkan suatu cara untuk keluar dari kesulitan tersebut, baik dengan cara merubah bentuk taklif , berpindah kepada perbuatan lain atau

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua

Indeks adalah sesuatu yang berkaitan erat dengan implementasi, bukan modeling. Kita seringkali perlu menambahkan indeks pada sebuah field atau banyak field dikarenakan jika

Statika sederhana berisi tentang: Pengertian istilah (tumpuan, jenis konstruksi, gaya normal dan bidang gaya normal, gaya melintang dan bidang gaya melintang, momen dan