• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL 001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TUGAS HUKUM INTERNASIONAL 001"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL “ZONA LAUT SECARA HORIZONTAL”

Disusun Oleh :

NAMA : IRMA YUNITA

NPM : 201210115037

SEMESTER : III (TIGA)

KELAS : SORE

Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

(2)

ZONA LAUT SECARA HORIZONTAL

Berdasarkan faktor-faktor fisik dan penyebaran komunitas biotanya yakni daerah pelagik yang meliputi kolom air dan daerah bentik yang meliputi dasar laut dimana biota laut hidup. Pada gambar 1 dapat dilihat pembagian zonasi lingkungan perairan laut.

A. Lingkungan Pelagik

Lingkungan pelagik merupakan lingkungan yang meliputi seluruh kolom air mulai dari permukaan dasar laut sampai permukaan laut. Lingkungan pelagik mempunyai batas wilayah yang meluas mulai dari garis pantai sampai wilayah laut terdalam (Romimohtarto, 2007). Dalam pembagian zona pelagik menjadi berbagai sub-zona digunakan berbagai dasar misalnya tingkat kedalaman dan sudut pandang. Pembagian zona pelagik dapat dipandang dari dimensi

horizontal dan vertikal. Secara horizontal dapat dibagi menjadi dua yaitu zona neritik yang meliputi daerah paparan benua dan lautan zona oseanik. Kedua zona ini tidak ada batasan yang jelas karena adanya perbedaan secara geografik. Namun demikian, batasan anatara kedua zona itu adalah 150-200 m (Ardi, 2011).

1. Zona Neritik

Ernawati (2011), mendefinisikan zona neritik merupakan daerah laut dangkal yang masih dapat ditembus cahaya sampai ke dasar, kedalaman daerah ini dapat mencapai 200 m. Biota yang hidup di daerah ini adalah plankton, nekton (ikan) dan bentos dapat hidup dengan baik. Organisme yang ada dari Alga, Porifera, Coelenterata, berbagai jenis ikan dan udang. Kelimpahan organisme pada daerah ini tinggi karena kandungan zat hara cukup tinggi, zat-zat terlarut juga masih cukup bervariasi yang dikarenakan adanya tumpahan berbagai zat terlarut dari daratan. Hal yang paling krusial adalah penetrasi cahaya pada zona ini masih optimum sehingga asupan energi untuk produsen masih maksimal (Romimohtarto, 2007).

2. Zona Oseanik

Zona oseanik merupakan wilayah ekosistem laut lepas yang kedalamannya mulai dari yang tertembus cahaya sampai tidak dapat ditembus cahaya matahari sampai ke dasar, sehingga bagian dasarnya paling gelap. Akibatnya bagian air dipermukaan tidak dapat bercampur dengan air dibawahnya, karena ada perbedaan suhu. Batas dari kedua lapisan air itu disebut daerah termoklin, Daerah ini banyak ikannya (Ernawati, 2011). Menurut Romimohtarto (2007), daerah oseanik ini dibagi menjadi 4 bagian yaitu epipelagik, mesopelagik, batipelagik, dan abisopelagik. Effendy (2009) menyatakan bahwa pada zona oseanik kecuali epipelagis memiliki parameter fisik dan kimia serta biologis sebagai berikut:

(3)

b. Tekanan hidrostatis: Meningkat secara konstan sebanya 1 ATM (1 kg/cm2), setiap

pertambahan kedalaman 10 meter. Sehingga dapat dikatakan bahwa tekanan hidrostatisk yang bekerja di laut dalam sangat ekstrim

c. Suhu: Umumnya seragam, dengan kisaran 1 – 3oC (kecuali wilayah hydrothermal vents

(>80oC) dan cold hydrocarbon seeps (<1 oC)

d. Salinitas: Umumnya seragam (35 permil), Pada daerah cold hydrocarbon seeps (hipersain = 40 permil)

e. Sirkulasi air:Sangat lamban (< 5 cm/detik), tergantung pada bentuk dan topografi dasar laut. Sikulasi air dan ventilasi dalam palung sangat menentukan kadar oksigen di laut dalam

f. Kadar Oksigen: Cukup untuk menghidupi seluruh organisme di laut dalam (DO= 4% s/d 6%; di perairan eufotik, DO= 3.5% s/d 7%), Sumber oksigen utama: air permukaan laut di Antartika dan Arktik yang kaya Oksigen, Air bersifat anoksik: Teluk Kau (Halmahera), Palung Carioca (Venezuela), Palung Santa Barbara (USA)

g. Tipe substrat: Terdiri atas substrat yang halus, Substrat berbatu di daerah mid-ocean ridge

h. Suplai makanan: Langka. Bergantung pada pakan yang diproduksi di tempat lain dan terangkut oleh proses hidrodinamis ke wilayah laut dalam

i. Jenis pakan : Hujan plankton atau partikel organik lain, Jatuhan bangkai hewan besar atau tumbuhan, Bakteri berlemak yang mudah dicerna (rata-rata populasi bakteri 2mgC/m2), Bahan

organik terlarut a. Epipelagik

Zona epipelagik atau oseanik atas meluas dari permukaan sampai kedalaman 200 m. Epipelagik ini masih di tembus oleh cahaya matahari sehingga proses fotosintesis oleh organisme autotrof masih mungkin terjadi. Area ini juga meluas ke perairan neritik sehingga ia bisa juga dikatakan bagian dari perairan neritik.

Epipelagik dibagi menjadi tiga bagian yaitu zona dekat permukaan dimana penyinaran siang hari diatas optimal atau bahkan letal bagi fitoplankton. Penyinaran ini juga masih terlalu tinggi bagi zooplankton. Di bawah zona tersebut dinamakan zona bawah-permukaan yang merupakan tempat terjadinya pertumbuhan yang aktif sampai perairan yang agak dalam, di mana fitoplankton yang tidak berbiak aktif masih terdapat berlimpah. Zona ketiga atau area paling bawah merupakan tempat zooplankton yang biasa bermigrasi ke permukaan pada malam hari dan kembali pada siang hari. Jadi pada zona epipelagik ini organisme penghuninya cukup banyak hampir sama halnya pada daerah neritik (Romimohtarto, 2007)

b. Mesopelagik

Mesopelagik merupakan perairan yang berada di bawah epipelagik yang meluas dari 200-1000 m. Lapisan ini bertepatan dengan lapisan terjadinya perubahan suhu dan tempat terjadinya termoklin. Karena area ini penyinaran sudah hampir bahkan tidak ada, maka tidak ada kegiatan produksi primer oleh produsen. Area ini kebanyakan dihuni oleh konsumen primer yang memanfaatkan bangkai-bangkai organisme dari lapisan di atasnya. Pada area ini tekanan lebih kecil dan persediaan makanan lebih banyak daripada lapisan yang ada di bawahnya (Romimohtarto, 2007).

(4)

(tingginya pigmen rodopsin dan kepadatan sel batang pada retina akan memberi kemampuan maksimum dalam melihat dan mendeteksi cahaya) dan bioluminusens yaitu kemampuan memproduksi cahaya pada makhluk hidup, biasanya dilengkapi oleh organ penghasil cahaya (fotofor) serta memiliki mulut besar, morfologi mulut, rahang, gigi yang mendukung efektifitas penangkapan mangsa (Efenndy, 2009).

c. Batipelagik

Batipelagik meluas dari kedalaman 1000-4000 m. Kondisi fisiknya seragam dan tidak ada aktifitas produsen sehingga hanya ada konsumen skunder sperti ikan. Suhu pada area ini sudah lebih rendah jika di bandingkan dengan lapisan diatasnya. Tumbuh-tumbuhan masih ada sedikit atau juga tidak ada sama sekali (Romimohtarto, 2007).

Menurut Effendy (2009), penghuni zona ini secara umum terdiri dari iIkan yang umumnya berwarna hitam kelam, sedangkan invertebratanya seakan tidak berpigmen (putih cerah), ukuran mata sangat kecil, bahkan tidak bermata, bahkan ada yang memiliki mata berbentuk pipa (ikan Argyropelecus) dan sebelah matanya lebih besar (cumi-cumi Histioteuthis). Ikan yang ditemukan umumnya berukuran sangat kecil, namun invertebrata yang hidup umumnya berukuran sangat besar

d. Abisopelagik

Abisopelagik merupakan area terdalam jika dibanding ketiga area lainnya. Biota laut yang hidup di area ini cenderung bertahan terhadap kegelapan, suhu semakin rendah dan tekananpun semakin tinggi. Organisme yang hidup di area ini tentu telah beradaptasi bahkan berevolusi seperti halnya ikan yang memiliki antena penghasil cahaya yang berasal dari senyawa kimia yang dihasilkan oleh sel-sel penyusun antenanya yang biasa di kenal sebagai biopendar cahaya (biolumiscence). Selain itu ikan memiliki gelembung renang yang lebih besar sehingga bisa melawan beratnya tekanan air. Gelembung renang akan terperas oleh tekanan sehingga sedikit ruang untuk gas, akibatnya ikan sedikit lebih ringan daripada berat air disekitarnya. Suhu yang rendah pada area ini juga mebuat reaksi metabolisme menjadi lebih lambat. Pada area ini tidak ada lagi proses fotosintesis dan tumbuh-tumbuhan yang hidup sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Perubahan suhu, salinitas dan kondisi serupa jarang terjadi bahkan kalupun ada sangat kecil.

Kandungan CO2 terlarut pada area ini sangat tinggi sehinnga kapur mudah terlarut dalam air.

Hal ini ditunjukkan oleh pembentukan cangkang yang lembek dari organisme yang hidup di area ini apa lagi kondisi air cenderung lebih tenang. Hal yang paling menjadi karakteristik dari area ini adalah kurangnya ketersediaan makanan. Makanan hanya berasal dari bangkai yang tenggelam sampai ke dasar. Sehingga tingkat kompetisi semakin tinggi dan makanan ini bisa jadi faktor pembatas yang sangat kritikal di zona ini. Begitu juga dengan kandungan oksigen terlarut sangat rendah sehingga bisa juga menjadi faktor pembatas bagi organisme yang ada pada zona ini (Romimohtarto, 2007)

(5)

mempengaruhi distribusi unsur hara dalam perairan laut, penyerapan gas-gas dari atmosfer dan pertukaran gas yang dapat menyediakan oksigen bagi organisme nabati laut. Zona ini disebut juga sebagai zona epipelagis. Pada umumnya batas zona fotik adalah hingga kedalaman perairan 50-150 meter. Sementara itu, zona afotik adalah secara terus menerus dalam keadaan gelap tidak mendapatkan cahaya matahari. Secara vertikal, zona afotik pada kawasan pelagis juga dapat dibagi lagi kedalam beberapa zona, yaitu zona mesopelagis, zona batipelagis dan zona abisopelagis (Dahuri et al, 2001).

B. Lingkungan Bentik

Zona bentik meliputi semua lingkungan dasar laut di mana biota laut hidup melata, memendamkan diri atau meliang, mulai dari pantai sampai ke dasar laut terdalam. Romimohtarto (2007), membagi zona bentik menjadi zona litoral, dan abisal sedangkan Aliv (2011), menambahkan zona batia antara litoral dan abisal.

1. Zona Lithoral/Intertidal

Daerah intertidal merupakan suatu daerah yang selalu terkena hempasan gelombang tiap saat. Daerah ini juga sangat terpengaruh dengan dinamika fisik lautan yakni pasang surut. Menurut Nybakken (1992) zona intertidal merupakan daerah yang paling sempit diantara zona laut yang lainnya. Zona intertidal dimulai dari pasang tertinggi sampai pada surut terendah. Zona ini hanya terdapat pada daerah pulau atau daratan yang luas dengan pantai yang landai. Semakin landai pantainya maka zona intertidalnya semakin luas, sebaliknya semakin terjal pantainya maka zona intertidalnya akan semakin sempit.

Akibat seringnya hempasan gelombang dan pasang surut maka daerah intertidal sangat kaya akan oksigen. Pengadukan yang sering terjadi menyebabkan interaksi antar atmosfir dan perairan sangat tinggi sehingga difusi gas dari permukaan keperairan juga tinggi. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Webber dan Thurman (1991) bahwa pantai berbatu di zona intertidal merupakan salah satu lingkungan yang subur dan kaya akan oksigen. Selain oksigen daerah ini juga mendapatkan sinar matahari yang cukup, sehingga sangat cocok untuk beberapa jenis organisme untuk berkembang biak. Pada daerah berbatu ini banyak terdapat lingkungan mikro seperti celah-celah cadas dan kubangan pasut. Jenis yang hidup pada lingkungan ini umumnya organisme yang melekat seperti beberapa jenis keong.

Pada tiap zona intertidal terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara satu daerah dengan daerah yang lain. Jenis substrat daerah intertidal ada yang berpasir, berlumpur, berbatu, dan adapula yang berupa timbunan. Daerah berlumpur terjadi karena adanya aliran air yang mengandung lumpur dari darat. Area ini biasanya terjadi di daerah teluk yang tenang atau estuari. Lingkungan seperti ini dapat menimbulkan masalah bagi organisme yang ada pada lingkungan tersebut, karena lumpur bisa masuk ke saluran pernafasan sehinnga dapat menyumbat saluran pernafasannya. Kandungan oksigen terlarut relatif rendah karena padatnya partikel lumpur sehingga pertukaran oksigen dan karbondioksida terhambat. Organisme yang hidup di lingkungan ini kebanyakan berupa bakteri (Romimohtarto, 2007).

(6)

hempasan gelombang secara langsung. Akibat tidak adanya hempasan gelombang maka daerah ini sulit untuk mengalami perkembangan yang signifikan.

Pembagian zonasi pada daerah pantai berlumpur masih sangat kurang yang telah dikaji. Secara umum dapat dibagi menjadi:

1). Bagian atas atau supralitoral dihuni oleh berbagai jenis kepiting yang menggali substrat. Zona ini juga dipengaruhi oleh pasang tertinggi dan paling sering mengalami kekeringan.

2). Bagian bawah atau litoral. Bagian ini merupakan bagian yang terluas diantara bagian ekosistem pantai berlumpur. Pada zona ini dihuni oleh tiram dan policaeta.

Pada dasarnya pembagian tersebut belum terlalu jelas batasannya. Hal ini dikarenakan organisme pada kedua tempat tersebut tidak menetap hanya pada zona tersebut tetapi juga dapat berpindah ke zona yang lain.

Lingkungan berpasir pada zona lithoral mempunyai ukuran partikel yang lebih besar di banding partikel lumpur sehingga memungkinkan air mengalir di antara partikel-partikel pasir, akibatnya pertukaran oksigen sampai pada dasar pasir. Pada saat siang hari air surut membuat area ini menjadi kering. Gelombang juga mempengaruhi area ini oleh sebab itu organisme yang hidup di area ini cenderung dilengkapi dengan cangkang yang kuat, mampu bergerak bersama butiran pasir atau memendam dalam di bawah permukaan untuk menghindari penggerusan yang disebabkan oleh gelombang (Romimohtarto, 2007).

Pada umumnya daerah berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pada jenis pantai ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem lain seperti ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang.

Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi (Dahl, 1952 and Salvat, 1964 in Raffaelli and Hawkins, 1996) yaitu:

1). Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama. Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose.

2). Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut. Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.

3). Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama. Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang.

(7)

Romimohtarto (2007), menjelaskan bahwasanya lingkungan timbunan pada zona intertidal adalah lingkungan yang terbentuk dari tumpukan-tumpukan kayu dermaga, galangan kapal dan bangunan-bangunan lain buatan manusia. Organisme yang hidup di lingkungan ini biasanya berupa tiram pengebor.

Selain ketiga lingkungan tersebut pada daerah litoral juga terdapat jenis lingkungan berbatu. Daerah berbatu ini juga dikelompokkan menjadi beberapa zona. Pada dasarnya pembagian zonasi untuk lingkungan berbatu dilihat dari pasang surut yang terjadi. Pantai ini didominasi oleh substrat dari batu. Menurut Stephenson and Stephenson (1972) in Raffaelli and Hawkins (1996) menyatakan bahwa pembagian zona pada daerah berbatu dibagi menjadi tiga bagian yaitu:

a. A high-shore area (bagian daerah yang paling atas) atau yang biasa disebut supralittoral fringe. Pada zona ini dicirikan oleh berbagai organisme seperti alga yang menjalar, Cyanobacteria (bakteri hijau biru) dan cacing kecil, periwinkles.

b. A broad midshore zone (zona bagian tengah yang lebar) atau yang biasa disebut midlittoral zone. Pada daerah ini didominasi oleh pemakan suspense seperti bernakel, kerang atau terkadang tiram.

c. A narrower low-shore zone (zona bagian bawah yang sempit) atau yang biasa disebut infralittoral fringe. Pada daerah ini didominasi oleh alga merah, organisme penghasil kapur, kebanyakan berbentuk menjalar, terkadang kelp yang lebat (alga coklat) atau terkadang pada suatu tempat di Hemisphere selatan yaitu penyering makanan seperti tunicata (sea squirt). Sedangkan pembagian menurut Reseck (1980) zonasi pada litoral berbatu dibagi menjadi empat zonasi :

1). Zone I : daerah yang paling tinggi dan selalu kering (spray zone/upper litoral zone).

2). Zona II : Daerah yang mengalami kekeringan 2 kali sehari selama pasang terendah, selama 4-6 jam.

3). Zona III : Daerah yang mengalai kekeringan dalam waktu yang agak pendek, kurang lebih 1-3 jam.

4). Zona IV : Daerah yang mengalami kekeringan sangat relatif singkat, kurang lebih 12 jam. Pembagian zonasi pada litoral berbatu juga dapat didasarkan oleh organisme yang hidup pada daerah tersebut (Barnes & Hughes, 1999). Pembagian zonasi tersebut dibagi menjadi dua bagianyakni:

1). Zonasi dari mikroalga. Zonasi ini didasarkan oleh fotosintesis yang terjadi didalam air. Pembagian tersebut yakni:

a). Pada spesies yang terdapat pada lower shore fotosintesis lebih baik di udara dibanding dalam air.

b). Pada spesies yang terdapat pada mid hingga upper shore fotosintesis lebih baik didalam air disbanding diatas daratan. Kekuatan fotosintesis dalam air pada spesies ini yakni enamkalilebihkuat.

2). Zonasi dari hewan. Zonasi ini didasarkan oleh dua hal yang sangat signifikan yaitu:

(8)

b). Pergerakan. Organisme perlu berpindah untuk mencari makan, sehingga faktor ini juga sangat terikat dengan faktor yang pertama.

Suatu gambaran yang sangat luar biasa dari pantai diseluruh dunia, yang terlihat pada waktu pasang surut adalah, menonjolnya pembagian horizontal atau zonasi organisme (Nybakken, 1992).

Zonasi litoral berbatu pada beberapa belahan dunia yang berbeda pada berbagai belahan dunia terdapat perbedaan pola zonasi litoral berbatu yang terjadi antara satu tempat dengan tempat yang lain. Perbedaan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya kemiringan permukaan batu yang menyusunnya (Nybakken, 1992).

Ekosistem intertidal merupakan salah satu ekosistem pada daerah pesisir yang sangat kompleks dan kaya. Banyak pola interaksi antar organisme laut yang dapat ditemukan pada ekosistem ini. Hewan yang hidup pada daerah ini harus dapat beradaptasi dengan keadaan yang ekstrim tersebut. Bentuk adaptasi organisme sangat berkembang utamanya bentuk morfologi yang dibentuk sedemikian rupa. Pada tiap zona intertidal organisme yang hidup sudah mampu untuk bertahan dengan karakteristik lingkungan tersebut (Aliv, 2011).

Faktor Penyebab Distribusi Zonasi Pada Daerah Intertidal Ada berbagai faktor yang menyebabkan adanya berbagai macam distribusi pada daerah intertidal. Pada dasarnya faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian besar yang saling terkait yaitu:

1. Faktor fisika dan kimia

Faktor ini merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada ekosistem intertidal. Akibat adanya pasang surut maka menyebabkan faktor pembatas pada daerah ini menjadi lebih ekstrim. Faktor pembatas tersebut yaitu kekeringan, suhu, dan sinar matahari ketiga faktor tersbeut saling terkait. Jika laut surut maka daerah intertidal terekspose oleh sinar matahari, akibatnya suhu meningkat. Suhu yang meningkat menyebabkan penguapan dan dampaknya daerah menjadi kering. Oksigen masih cukup namun salinitas cukup tinggi.

2. Faktor biologis.

Faktor ini sangat tergantung dari faktor fisik perairan. Organisme berusaha untuk menyesuaikan diri pada keadaan yang sangat ekstrim tersebut. Ada berbagai macam cara organisme menyesuaikan diri salah satunya dengan mengubur diri atau memodifikasi bentuk cangkang agar dapat hidup pada derah yang kering.

Daerah pasang surut adalah sistem model penting untuk studi ekologi, khususnya di pantai berbatu gelombang-menyapu. Wilayah ini berisi keanekaragaman spesies yang tinggi, dan zonasi diciptakan oleh pasang surut menyebabkan spesies berkisar untuk dimampatkan menjadi band yang sangat sempit. Hal ini membuat relatif sederhana untuk mempelajari spesies di seluruh rentang lintas-pantai mereka, sesuatu yang bisa sangat sulit, misalnya, habitat darat yang dapat meregang ribuan kilometer.

(9)

teritip, chitons, kepiting, isopoda, kerang, bintang laut, dan moluska banyak gastropoda laut seperti limpets, whelks, dan bahkan gurita.

2. Zona Bathyal

Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang tenggelam di dasar samudera. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200 meter – 2000 meter. Dengan kedalaman dan struktur yang berupa lereng atau curam maka organisme yang hidup pada area ini kebanyakan bersifat konsumen. Pertukaran oksigen cukup kurang sehingga bisa menjadi salah satu faktor pembatas bagi organisme yang hidup pada lingkungan ini. Bebatuan masih relatif ada sehinnga organisme yang hidupnya melekat masih bisa ditemukan (Aliv, 2011).

Menurut Dias (2011), keadaan bentik zona bathyal umumnya merupakan lereng-lereng curam yang merupakan dinding laut dalam dan sebagai bagian pinggiran kontinen. Zona bathyal juga diistilahkan sebagai Continental Slope. Pada Continental slope sering ditemui canyon/ ngarai / submarine canyon, yang umumnya merupakan kelanjutan dari muara sungai – sungai besar di pesisir.

Tipe sedimen utama sedimen pada zona bathyal merupakan lempung biru, lempung gelap dengan butiran halus dan memiliki kandungan karbonat kurang dari 30%. Sedimen-sedimennya memiliki jenis sedimen terrestrial, pelagis, atau autigenik (terbentuk ditempat). Sedimen Terrestrial (terbentuk dari daratan) lebih banyak merupakan lempung dan lanau, berwarna biru disebabkan karena akumulasi sisa-sisa bahan organik dan senyawa ferro besi sulfida yang diproduksi oleh bakteri, Sedimen terrestrial juga merupakan tipe sedimen yang paling mendominasi. Sedimen terrigenous terbawa hingga ke zona bathyal melalui arus sporadik turbiditi yang berasal dari wilayah yang lebih dangkal. Saat material terrigenous langka, cangkang mikroskopis dari fitoplankton dan zooplankton akan terakumulasi di dasar membentuk sedimen authigenik.

Biota yang hidup pada bagian bentik zona bathyal antara lain spon, brachiopod, bintang laut, echinoid, dan populasi pemakan sedimen lainnya yang terdapat pada bagian sedimen terrigenous. Biasanya biota yang hidup di zona ini memiliki metabolisme yang lamban karena kebutuhan konservasi energi pada lingkungan yang minim nutrisi. Kecuali pada laut yang sangat dalam, zona bathyal memanjang hingga ke zona bentik pada dasar laut yang merupakan bagian dari continental slope yang berada di kedalaman 1000 hingga 4000 meter.

3. Zona Abisal

Zona abisal memiliki kemiripan dengan lingkungan lumpur yang ada pada zona litoral. Bebatuan yang digunakan sebagai substrat oleh organisme sangat jarang diitemukan. Hewan bercangkang yang hidup di zona ini cangkangnya cenderung tipis dan jik mati cangkang akan mudah sekali terlarut atau tereduksi. Endapan plankton tidak ada karena sebelum sampai di dasar sudah dii makan terlebih dahulu oleh organisme yang ada pada lingkungan yang ada di atasnya (Romimohtarto, 2007).

(10)

pigmen-pigmen pernapasan sebagai sumber oksigen sementara. Namun demikian, kondisi dasar laut abisal tidak semuanya memiliki kondisi yang sama. Dasar lingkungan ini pada perairan dalam berupa endapan kapur yang berasal dari kerangka Foraminifera, endapan silika, terutama dari kerangka diatom, dan lempung merah di dasar yang lebih dalam dengan tekana air yang cukup tinggi sehingga membuat zat-zat lain mudah terlarut (Romimohtarto, 2007).

Kehidupan hewan-hewan pada lingkungan seperti ini sangat bergantung atau menyesuaikan pada jenis endapannya. Seperti tipe organisme pemakan penyaring lebih suka dasar yang keras dengan partikel halus lumpur yang tidak akan menyumbat penyaringnya. Jika partikel-partike sangat halus maka tipe hewan yang hidup pada area ini adalah pemakan endapan yang mengambil dan mencerna zat organik yang terdapat dalam lumpur. Di samping hewan-hewan tersebut terdapat pula hewan-hewan-hewan-hewan pemangsa bangkai yang menangkap hewan-hewan apa saja baik yang hidup maupun mati. Suhu pada daerah ini relatif stabil yaitu antara 1,2o C - 4 oC.

Referensi

Dokumen terkait

Individu hanya akan mengingat hal-hal yang ingin ia ingat. Pada hakikatnya, sebagai media komunikasi massa, televisi menjalankan proses komunikasi yang dapat dinikmati oleh

Distribution Requirement Planning adalah suatu metode untuk menangani pengadaan persediaan dalam suatu jaringan distribusi eselon.  Tujuan dari Distribution Requirement

Pengertian gagalnya perundingan adalah : tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dapat disebabkan karena pengusaha tidak mau

1) Bibit kelapa sawit ditanam dengan tegak lurus, jika penanaman kelapa sawit miring bisa memempengaruhi pertumbuhan menjadi tidak optimal. 2) Pada saat penanaman tanah

8esin Recovery,  Recycle, dan  Recharging  biasa juga disebut sebagai mesin ', mempunyai tiga fungsi yaitu mengeluarkan dan menangkap refrigeran (recovery, mendaur ulang

Selanjutnya, untuk menghitung seberapa jauh pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen, yaitu pengaruh kualitas pelayanan terhadap loyalitas pelanggan

Skripsi ini berisi tentang perbandingan citra perempuan kepala keluarga yang digambarkan oleh Zinaida dalam novel Первая Любовь karya pengarang laki-laki Rusia

Uji coba klinis Fase I menguji obat atau produk pada hanya sedikit orang (umumnya relawan yang sehat yang HIV-negatif atau yang HIV-positif yang tidak memakai obat lain)