• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengadaan Tanah Pertapakan Lahan Perkantoran Pemda Nias Utara Pasca Pemekaran Kabupaten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengadaan Tanah Pertapakan Lahan Perkantoran Pemda Nias Utara Pasca Pemekaran Kabupaten"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENGADAAN TANAH PERTAPAKAN LAHAN

PERKANTORAN PEMDA NIAS UTARA PASCA PEMEKARAN

KABUPATEN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

SHERARD ARISTO ZELIG ZEBUA NIM : 070200372

DEPARTEMEN HUKUM AGRARIA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

PENGADAAN TANAH PERTAPAKAN LAHAN PERKANTORAN PEMDA NIAS UTARA PASCA PEMEKARAN KABUPATEN

Oleh

070200372

SHERARD ARISTO ZELIG ZEBUA

Disetujui Oleh

DEPARTEMEN HUKUM AGRARIA

NIP. 19611231 198703 1 023 Prof. Dr. M. Yamin, SH. MS. CN

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Affan Mukti, SH. MS

NIP. 19571120 198601 1 002 NIP. 19570323 198703 2 001 Mariati Zendrato, SH. MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAK

Maraknya pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri karena memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman, dan otonomi local, sesuatu yang dulu diabaikan pada era orde baru. Namun di lain pihak, fenomena pemekaran wilayah secara besar-besaran tersebut sekaligus membawa masalah-masalah baru. Penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul Pengadaan Tanah Pertapakan Lahan Perkantoran Pemda Nias Utara Pasca Pemekaran Kabupaten. Adapun Permasalahan antara lain : Bagaimanakah pengaturan pengadaan tanah, Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah pertapakan lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten dan Bagaimanakah pandangan masyarakat dalam proses pengadaan tanah pembebasan lahan dan penggunaan hak atas tanah lahan perkantoran Pemda.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dan undang-undang pembentukan Nias Utara. Penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara Studi Kepustakaan. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan pengadaan tanah yakni Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan perubahannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk perkantoran, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Utara, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengadaan tanah lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten telah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Utara. Pelaksanaannya baru pada tahap perbatasan desa/kecamatan, pengukuran dan musyawarah penentuan ganti rugi.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadhirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat serta kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan judul “Pengadaan Tanah Pertapakan Lahan Perkantoran Pemda Nias Utara Pasca Pemekaran Kabupaten”. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum di Universitas Sumatera Utara Program Agraria.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak kekurangan di dalam penulisannya, oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moril maupun materil secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai,terutama kepada yang saya hormati :

1. Prof. Dr. Runtung, SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Syafruddin, SH.MH.DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Bapak DR.O.K.Sadikin, SH.M.Hum selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

3. Bapak Affan Mukti, SH, MS., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Mariati Zendrato, S.H, MH., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu penulis, dalam memberikan masukan, arahan-arahan, serta bimbingan didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 6. Kepada Ayah tercinta Kolonel. CHK. Bebali Zebua, SH, MH dan

Mama Aridamin Zalukhu, atas segala perhatian, dukungan, doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU dan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

7. Kepada Nenek dan seluruh Saudara yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

8. Kepada Julita Trisnasari Telaumbanua, S.IK Tercinta atas dukungan, semangat, dan doa kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada Sahabat-sahabat, Ogi Boi S.S

(6)

Sutanto, Dipo, Dea Mustika, Regina Pardede, Atas dukungan dan masukan yang telah di berikan kepada penulis selama pelaksanaan skripsi ini,semoga persahabatan yang kita jalin selama ini dapat terus terjaga dengan baik.

11. Seluruh keluarga besar Mahasiswa/i Fakultas hukum USU stambuk 07 dan senior-senior atas dukungan dan doanya.

12. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Medan, Agustus 2014 Penulis,

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 7

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : PENGATURAN PENGADAAN TANAH A. Regulasi Pengadaan Tanah B. Hakikat Pengadaan Tanah ... 24

... 19

C. Pemahaman Tentang Pengadaan Tanah ... 26

D. Prinsip-Prinsip Pengadaan Tanah ... 30

E. Mekanisme Pengadaan Tanah ... 34

BAB III: PENGGUNAAN HAK ATAS TANAH LAHAN PERKANTORAN A. Konsep Tanah, Lahan dan Hukum Tanah Nasional ... 37

B. Hak Kepemilikan atas Tanah ... 43

C. Penatagunaan Tanah dan Alih Fungsi Tanah ... 48

(8)

BAB IV : PELAKSANAAN PENGADAAN PERTANAHAN LAHAN PERKANTORAN NIAS UTARA PASCA PEMEKARAN

KABUPATEN

A. Pembebasan Lahan Perkantoran Kabupaten Nias Utara ... 64 B. Tahapan Kegiatan yang dilakukan dalam proses pengadaan lahan

bagi pembangunan perkantoran Kabupaten Nias Utara pasca pemekaran ... C. Hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pengadaan tanah

untuk

lahan pembangunan perkantoran dan upaya yang dilakukan untuk

mengatasi hambatan tersebut ... 69 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

(9)

ABSTRAK

Maraknya pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri karena memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman, dan otonomi local, sesuatu yang dulu diabaikan pada era orde baru. Namun di lain pihak, fenomena pemekaran wilayah secara besar-besaran tersebut sekaligus membawa masalah-masalah baru. Penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul Pengadaan Tanah Pertapakan Lahan Perkantoran Pemda Nias Utara Pasca Pemekaran Kabupaten. Adapun Permasalahan antara lain : Bagaimanakah pengaturan pengadaan tanah, Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah pertapakan lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten dan Bagaimanakah pandangan masyarakat dalam proses pengadaan tanah pembebasan lahan dan penggunaan hak atas tanah lahan perkantoran Pemda.

Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian normatif. Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dan undang-undang pembentukan Nias Utara. Penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara Studi Kepustakaan. Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Pengaturan pengadaan tanah yakni Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 dan perubahannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk perkantoran, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Utara, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengadaan tanah lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten telah sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Utara. Pelaksanaannya baru pada tahap perbatasan desa/kecamatan, pengukuran dan musyawarah penentuan ganti rugi.

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tanah adalah sesuatu yang menjadi tempat atau ruang terhadap segala kegiatan atau aktivitas hidup dan kehidupan manusia. Sumberdaya tanah langsung menyentuh kebutuhan hidup dan kehidupan manusia dalam segala lapisan masyarakat, baik sebagai individu, anggota masyarakat dan sebagai bangsa. Sebagai sumber kehidupan, keberadaan tanah dalam kehidupan mempunyai arti dan sekaligus memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai socil asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat untuk hidup dan kehidupan, sedangkan capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat penting.1

Saat ini, tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki nilai jual yang tinggi karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat. Begitu berharganya tanah sehingga setiap jengkalnya sering kalai dipertahankan hingga akhir hayat. Bangsa Indonesia yang kini juga tengah sibuk melaksanakan pembangunan di segala bidang juga membutuhkan lahan dalam jumlah luas. Dengan demikian fungsi tanah pun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan hak atas tanah juga terus mengalami perkembangan. Jumlah tanah yang tetap sementara kebutuhan akan tanah yang terus meningkat karena tidak

1

(11)

seimbangnya antara persediaan tanah dengan kebutuhan tanah. Fenomena ini dikhawatirkan dapat memicu timbulnya berbagai macam permasalahan.

Begitu juga, kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah juga sering kali melibatkan upaya pembebasan tanah serta pertumbuhan penduduk yang sangat tinggi di Indonesia membuat tingginya kegiatan peralihan hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah yang pertama. Akibatnya, baik pemerintah maupun masyarakat akan kesulitan ketika membutuhkan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya.2

Pentingnya peranan (kegunaan) tanah dalam rangka pembangunan sehingga mungkin pihak-pihak yang terkait dengan hak-haknya atas tanah menjadi korban pihak segelintir oknum yang tidak bertanggungjawab dengan kedok pembebasan tanah dalam rangka pembangunan. Dalam hal ini tentu peranan pemerintah daerah setempat sangat diperlukan sekali dalam memperlajari masalah-masalah pertanahan sehingga hal-hal yang merugikan pihak yang terkena pembebasan dapat segera ditanggulanginya.

3

Secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Sehubungan dengan itu, pengadaan tanah menyangkut dua sisi dimensi harus ditempatkan secara seimbang, yaitu kepentingan masyarakat dan

2

Wirahadi Prasetyono, Cara Mudah Surat Tanah dan Rumah, Cetakan pertama, (Yogyakarta: Penerbit FlashBooks, 2013), hlm 31

3

Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum dalam Pengadaan Tanah Untuk

(12)

kepentingan pemerintah.4 Tanah merupakan hal penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan dan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.5

Pembebasan lahan merupakan sebuah permasalahan global dan kompleks, karena itu sistem administrasi tanah harus mampu mengelola pembebasan lahan untuk pembangunan yang penting, pengembangan sektor swasta dan perubahan penggunaan lahan dalam merespon tuntutan sosial dan ekonomi. Ditinjau dari persepektif sempit, pembebasan tanah membentuk persimpangan proses yang efektif yang mengelola pasar tanah, mencatat hak penggunaan tanah dan mengimplementasikan perencanaan penggunaan lahan. Pembebasan tanah merupakan isu lintas sektor yang kompleks-suatu masalah yang didekati di setiap negara, tentu saja dalam setiap yurisdiksi lokal, sesuai dengan proses yang diambil dari berbagai fungsi administrasi pertanahan, dan sering dari persepektif sejarah. Negara – negara berkembang kurang mengekspresikan dengan jelas teori yang mendukung kekuasaan negara untuk memperoleh tanah. Titik awal di negara berkembang ini, terletak pada bingkai kerangka konstitusional yang jelas dan komprehensif dan hukum yang membentuk dasar untuk mengambil tanah. Idealnya dalam pengambilan tanah harus menggabungkan standar hak asasi manusia untuk

4

Bernhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan: Regulasi, Kompensasi

Penegakan Hukum, (Jakarta : Pustaka Margareta, 2011), hal. 131 5

(13)

pemukiman kembali, tingkat kompensasi yang memadai dan yang mencerminkan kebutuhan dan harapan masyarakat.6

Hal tersebut juga terjadi di Nias Utara, Nias Utara merupakan salah satu daerah

pemekaran yang terbentuk di era reformasi ini. Kota otonom ini merupakan pemekaran

dari Kabupaten Nias Utara yang dibentuk melalui Nomor 45 tahun 2008 tentang

pembentukan Kabupaten Nias Utara. Terletak antara 1003’00’’ - 1033’00’’ LU dan 97000’ 00’’ - 99000’00’’ LS, dengan luas wilayah sekitar 1.501,63 km2, Nias utara memiliki populasi penduduk dengan total 127.703. Keadaan topografi merupakan berbukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan dimana tinggi dari permukaan laut

bervariasi antara 0 - 800 m, terdiri dari dataran rendah sampai tanah bergelombang

mencapai 24 %, dari tanah bergelombang sampai tanah berbukit-bukit 28,8 % dan dari Maraknya pemekaran wilayah ini di satu pihak perlu disyukuri karena

memberikan tempat bagi aspirasi, keberagaman, dan otonomi lokal, sesuatu yg dulu

diabaikan pada era orde baru. Namun di lain pihak, fenomena pemekaran wilayah

secara besar-besaran tersebut sekaligus membawa masalah- masalah baru.

Masalah-masalah yang bisa terjadi akibat dari ketergesa-gesaan pada suatu

daerah yang mengalami pemekaran wilayah di antaranya ialah adanya ketidakjelasan

dalam unsur geografis, struktur kelembagaan masyarakat yang tidak jelas akan

membuat kelangsungan sosial di lapangan menjadi tersendat, tidak berjalan lancar.

Seperti rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang buruk dalam pemetaannya akan

membuat masyarakat sulit menggunakan kebutuhan administrasi dalam kepentingan

sebagai warga negara Indonesia. Kemudian masalah kepemimpinan yang tidak jarang

bagian paling rumit menentukan suatu pemerintahan akan menyeret ke dalam masalah

baru.

6

(14)

tanah berbukit sampai pegunungan 51,2 % dari keseluruhan luas daratan. Dengan

kondisi topografi yang demikian mengakibatkan sulitnya membuat jalan-jalan lurus

dan lebar. Hal ini menyebabkan kota-kota utama di Kabupaten Nias Utara terletak di

tepi pantai.

Terjadinya berbagai konflik di masa transisi pasca pemekaran telah menjauhkan atau paling tidak memperlambat tujuan otonomi daerah umumnya dan pemekaran daerah pada khususnya yaitu mendekatkan dan mempercepat proses pelayanan publik di masyarakat dan mensejahterakan rakyat. Dengan kenyataan seperti ini, substansi dari otonomi daerah itu sendiri tidak akan tepat pada sasarannya. Otonomi daerah dengan pemekaran wilayah yang digembor-gemborkan akan mewujudkan kemajuan suatu daerah malah sebaliknya akan menjadi boomerang.

Kabupaten Nias Utara merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di wilayah Propinsi Sumatera Utara, berdasarkan hasil Asistensi Pemerintah Daerah Nias Utara dengan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Luas wilayah Kabupaten Nias Utara adalah 1.501,63 Km2 yang terdiridari 11 kecamatan dan 112 desa dan 1 kelurahan. Ibukota Kabupaten Nias Utara terletak di Lotu.

(15)

2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Utara. Masyarakat Nias menginginkan pemekaran Kabupaten Nias Utara karena nias mempunyai potensi serta kekayan alam yang besar, keadaan daerah nias selama ini sangat tertinggal serta pembangunan di daerah Kepulauan ini sangat minim.

Dengan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat karya tulis dalam bentuk skripsi dengan judul “PENGADAAN TANAH PERTAPAKAN LAHAN PERKANTORAN PEMDA NIAS UTARA PASCA PEMEKARAN KABUPATEN.”

B. Perumusan Masalah

Adapun yang merupakan permasalahan yang timbul dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengaturan pengadaan tanah pertapakan lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten?

2. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah pertapakan lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten?

3. Bagaimanakah pandangan masyarakat dalam proses pengadaan tanah pembebasan lahan dan penggunaan hak atas tanah lahan perkantoran Pemda Nias Utara?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

(16)

b. Untuk mengetahui pelaksanaan pengadaan tanah pertapakan lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten.

c. Untuk mengetahui Pandangan masyarakat dalam proses pengadaan tanah pembebasan lahan dan penggunaan hak atas tanah lahan perkantoran Pemda.

2. Manfaat Penulisan

Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya

sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis.

a. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran

bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum Agraria, terutama

mengenai permasalahan aspek pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

perkantoran.

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat praktis yaitu

memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam

penyelenggaraan pengadaan lahan untuk pembangunan perkantoran di Kabupaten

Nias Utara.

1) Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang

hukum, khususnya dalam bidang hukum agraria, serta dapat dipakai sebagai

(17)

penyelenggaraan pengadaan tanah untuk pembangunan perkantoran Pemda

Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten.

2) Bagi instansi pertanahan, dapat dipakai sebagai bahan evaluasi dan lebih

memperjelas yang menjadi dasar-dasar ketentuan tentang pengaturan

penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk pembangunan

perkantoran Pemda Nias Utara.

3) Bagi peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk

menambah pengetahuan serta wawasan di bidang hukum agraria khususnya

mengenai penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk

pembangunan perkantoran Pemda Nias Utara.

D. Keaslian Penulisan

Adapun judul tulisan ini adalah pengadaan tanah pertapakan lahan perkantoran Pemda Nias Utara pasca pemekaran Kabupaten, judul skripsi ini belum pernah ditulis, sehingga tulisan ini asli dalam hal tidak ada judul yang sama. Dengan demikian ini keaslian skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Istilah tanah dan agraria tidak selalu di pakai dalam arti dan pemahaman yang sama. Hal demikian, pada akhirnya membawa konsekuensi dan permasalahan tersendiri pada pengaturan dan kedudukannya dalam sistem hukum Indonesia.7

7

Ida Nurlinda, Prinsip-Prinsip Pembaharuan Agraria Perspektif Hukum, (Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 2009), hlm 35

(18)

manusia, seperti bertempat tinggal, tempat usaha, bahkan tanah juga dijadikan investasi untuk jangka panjang. Oleh karena itu tanah dapat juga diperjualbelikan, dihibahkan, diwariskan, diwasiatkan atau diwakafkan dengan kata lain dialihkan kepada pihak lain. Dan yang sangat nyata dalam kehidupan manusia bahwa tanah mempunyai nilai sosial yang sangat tinggi, artinya apabila manusia tidak mempunyai tanah sangatlah tidak dipandang oleh orang lain atau sesamanya dan justru sebaliknya apabila manusia mempunyai tanah maka status sosialnya menjadi sangat tinggi, terlebih-lebih tanah yang dimilikinya sangat luas, maka orang tersebut sangat dipandang.8

Dalam konteks pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, banyak persoalan yang muncul akiba kelemahan regulasi. Di satu sisi, wujud peraturan yang ada sampai sekarang tidak berbentuk undang-undang. Di sisi lain, aspek material dari semua regulasi yang ada, kurang memadai sehingga berpotensi menimbulkan masalah, termasuk Keputusan Presiden RI Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden RI Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah dan disempurnakan dengan Peraturan Presiden RI Nomor 65 Tahun 2006. Aspek material yang berpotensi menimbulkan masalah tersebut, antara lain: definisi dan cakupan kepentingan umum, mekanisme pengadaan tanah, bentuk dan dasar perhitungan ganti rugi, serta penerapan sistem konsinyasi (penitipan uang ganti rugi ke pengadilan).9

Kebijakan pemerintah terhadap pengadaan tanah merupakan suatu kebijakan yang berkaitan dengan pengadaan tanah demi kepentingan umum.

8

Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing), (Jakarta: Penerbit Restu Agung, 2010), hlm 11

9

(19)

Dalam artian bahwa tanah yang telah diambil dari warga masyarakat peruntukkannya benar-benar untuk kepentingan pembangunan. Sebab esensi yang terkandung di dalamnya adalah masyarakat telah melepaskan haknya tersebut sehingga tidak ada lagi hubungan hukum dengan pemiliknya.10

Pada asasnya apabila penguasa ataupun pengusaha/kalangan bisnis memerlukan tanah untuk keperluan apapun, maka cara untuk memperoleh tanah yang diperlukan harus melalui jalan musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dengan pemegang hak atas tanah hingga dicapai suatu kata sepakat antara kedua belah pihak. Akan tetapi dari sekian banyaknya masalah tanah yang terjadi, yang paling sering dirasakan oleh masyarakat adalah masalah pembebasan tanah khususnya untuk kepentingan pembangunan.11

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak. Pihak yang melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal pengadaan tanah dilakukan untuk infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, pengadaannya diselenggarakan berdasarkan rencana strategi dan rencana kerja instansi yang memerlukan tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum

10

Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2006), hlm 76

11

(20)

diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan.12

Dalam era modern ini, Pemerintah banyak melakukan kegiatan pembangunan di segala bidang, baik bidang fisik maupun non fisik. Untuk melaksanakan kegiatan pembangunan di bidang fisik dibutuhkan banyak bidang tanah untuk memenuhi kebutuhan akan tanah. Sedangkan sebagian besar tanah-tanah tersebut sudah dilekati suatu hak atas tanah-tanah. Untuk menyediakan tanah-tanah bagi

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005: Pasal 1 butir (3) menyebutkan bahwa Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006: Pasal 1 menyebutkan Pengadaan adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Pasal 2 ayat (1) pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Ayat (2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh para pihakpihak yang bersangkutan.

12

(21)

pembangunan tersebut, Pemerintah membebaskan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak dan memberikan ganti kerugian kepada bekas pemegang hak. Kegiatan untuk mendapatkan tanah dimulai dari pihak Instansi yang membutuhkan tanah mengajukan permohonan kepada Panitia Pengadaan Tanah untuk melaksanakan pembebasan tanah, dilanjutkan dengan proses penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembebasan tanah sampai dengan musyawarah dimana sebagai mediatornya adalah Panitia Pengadaan Tanah, setelah disepakati besarnya ganti rugi, selanjutnya dibuatkan pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah tersebut dengan mencantumkan besarnya uang ganti rugi sesuai dengan yang telah disepakati bersama.

Secara umum, pemekaran daerah dapat diartikan sebagai pemisahan diri suatu daerah dari induknya dengan tujuan mendapatkan status yang lebih tinggi dan meningkatkan pembangunan daerah Pemekaran yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 5 ayat 2 dinyatakan daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu daerah, namun setelah UU No.22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, maka materi pemekaran wilayah tercantum pada pasal 4 ayat (3) dan (4), namun istilah yang dipakai adalah Pemekaran Daerah berarti pengembangan dari satu daerah otonom menjadi dua atau lebih daerah otonom.

(22)

Pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pemekaran daerah adalah pemecahan provinsi atau kabupaten/kota menjadi dua ataupun lebih.

Rasyid mengatakan bahwa pembentukan daerah pemekaran merupakan perluasan daerah dengan memekarkan/meningkatkan status daerah yang dianggap mempunyai potensi sebagai daerah otonom dan mampu untuk mengurus rumah tangganya sendiri.13

Pemekaran wilayah kabupaten menjadi beberapa wilayah kabupaten baru pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan kualitas dan intensitas pelayanan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, tujuan pemekaran daerah adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Dengan pemekaran wilayah diharapkan dapat memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru, mampu meningkatkan berbagai potensi yang selama ini belum tergarap secara optimal baik potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, membuka “keterkungkungan” masyarakat terhadap pembangunan dan dapat memutus mata rantai pelayanan yang sebelumnya terpusat di satu tempat/ Ibukota kabupaten atau Ibukota kecamatan, memicu motivasi masyarakat untuk ikut secara aktif dalam proses pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya, dsb.

13

(23)

pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon kabupaten baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumber daya harus seimbang antara satu dengan yang lain. Hal ini perlu diupayakan agar tidak muncul terjadi disparitas yang mencolok pada masa datang. Selanjutnya dalam suatu usaha pemekaran wilayah akan diciptakan ruang publik baru yang merupakan kebutuhan kolektif semua warga wilayah baru. Ruang publik baru akan mempengaruhi aktivitas orang atau masyarakat ada merasa diuntungkan dan sebaliknya dalam memperoleh pelayanan dari pusat pemerintah baru disebabkan jarak pergerakan berubah.

Selajutnya dikatakan Khairullah dan Cahyadin bahwa pemekaran daerah baru pada dasarnya adalah upaya peningkatan kualitas dan intensitas pelayanan pada masyarakat. Dari segi pengembangan wilayah, calon daerah baru yang akan dibentuk perlu memiliki basis sumberdaya harus seimbang antara satu dengan yang lain, hal ini perlu diupayakan agar tidak terjadi disparitas yang mencolok pada masa akan datang.14

Pemekaran daerah tidak lain bertujuan untuk memperpendek rentang kendali pemerintahan, membuka ketimpangan-ketimpangan pembangunan wilayah dan menciptakan perekonomian wilayah yang kuat demi tercapainya kesejahteraan Lebih lanjut dikatakan dalam suatu usaha pemekaran daerah akan diciptakan ruang publik yang merupakan kebutuhan kolektif semua warga wilayah baru. Ruang publik baru akan mempengaruhi aktifitas orang atau masyarakat ada yang merasa diuntungkan dan sebaliknya akan memperoleh pelayanan dari pusat pemerintahan baru disebabkan jarak pergerakan berubah.

14

Khairullah & Malik Cahyadin. Evaluasi Pemekaran Wilayah di Indonesia: Studi Kasus

(24)

masyarakat, sehingga pemekaran wilayah diharapkan dapat mndekatkan pelayanan kepada masyarakat, membuka peluang baru bagi terciptanya pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan intensitas pembangunan guna mengsejahterakan masyarakat.

Nias barat pulau Niha) yang masih memiliki penting seperti selancar (surfing), rumah tradisional, penyelama batu). Pulau dengan luas wilayah 5.625 km² ini berpenduduk 700.000 jiwa. Agama mayoritas daerah ini adal menjadi empat kabupaten dan 1 kota, yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.15

1. Tipe Penelitian F. Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan yang bersifat normatif, yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi :

Penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum normatif.16

15

Langkah pertama dilakukan penelitian normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer dan sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemerintahan daerah dan undang-undang pembentukan

16

(25)

Nias Utara. penelitian bertujuan menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan persoalan ini dalam Pengadaan Pertanahan Lahan.

2. Data dan Sumber Data

Bahan atau data yang dicari berupa data sekunder yang terdiri dari 17

a. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang isinya mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat. Dalam penelitian ini antara lain Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2008 tentang pembentukan Kabupaten Nias Utara.

:

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai bahan hukum primer. Dalam penelitian ini adalah buku-buku, makalah, artikel dari surat kabar dan majalah, dan internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka digunakan metode pengumpulan data dengan cara18

a. Studi Kepustakaan, yaitu mempelajari dan menganalisis secara digunakan sistematis buku-buku, surat kabar, makalah ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

:

4. Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data adalah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya

17

Ibid, hal 51-52

18

(26)

dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab berbagi atas beberapa sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memaparkan materi dari skripsi ini yang dapat digambarkan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, bab ini merupakan gambaran umum yang berisi tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : PENGATURAN PENGADAAN TANAH. Bab ini berisikan tentang Regulasi Pengadaan Tanah,

(27)

Penatagunaan Tanah dan Alih Fungsi Tanah, dan Perencanaan Penggunaan Lahan untuk perkantoran.

BAB IV : PELAKSANAAN PENGADAAN TANAH PERTAPAKAN LAHAN PERKANTORAN NIAS UTARA PASCA PEMEKARAN KABUPATEN. Bab ini berisi tentang Pembebasan Lahan Perkantoran Kabupaten Nias Utara, Tahapan Kegiatan yang dilakukan dalam proses pengadaan lahan bagi pembangunan perkantoran Kabupaten Nias Utara pasca pemekaran dan Hambatan-hambatan yang ditemui dalam proses pengadaan tanah untuk lahan pembangunan perkantoran dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan tersebut.

(28)

BAB II

PENGATURAN PENGADAAN TANAH

A. Regulasi Pengadaan Tanah

Sejumlah peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait lainnya telah diterbitkan untuk menjadi landasan yuridis pengadaan tanah untuk kepentingan umum, antara lain:19

1.

2.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

3.

Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

4.

Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.

5.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.

6.

Undang-undang Nomor 55 tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

7.

Keppres Nomor 34 tahun 2003 tentang Pelimpahan Wewenang Kebijakan Pertanahan.

8.

Perpres Nomor 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

19

Bernhard Limbong, Op.Cit, hlm 128

(29)

9.

10.

Perpres Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

11.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1994 dan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perpres Nomor 36 tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 tahun 2006

Seringkali kegiatan pengadaan tanah dilakukan dengan cara-cara di luar musyawarah sehingga hasilnya seringkali tidak menguntungkan pemilik tanah, melainkan seringkali menguntungkan pemerintah atau swasta yang mendompleng pemerintah secara sembunyi-sembunyi.20

Dalam realitas empris harus diakui bahwa pelaksanaan pengadaan tanah di lapangan masih ada persoalan yang sering mengganjal, yaitu sulitnya menentukan nilai ganti rugi. Alasannya, karena pemilik tanah atau pemegang hak atas tanah meminta harga yang sangat tingi melebihi harga pasaran dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Adanya permainan para calo tanah baik kalangan warga maupun oknum pejabat dan sebatasnya anggaran pemerintah (melalui panitia pengadaan tanah), sehingga sering terjadi konflik tanah antara pemerintah yang membutuhkan tanah dengan rakyat pemegang hak atas tanah yang dipicu perbedaan permintaan harga ganti rugi tersebut.21

20

Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm 166

21

Mustofa dan Suratman, Op.Cit, hlm 183

(30)

masih belum final. Ketika proses musyawarah dilakukan, ternyata pemilik tanah meminta harga tinggi, sehingga dana yang sudah dicairkan tidak mencukupi untuk membayar ganti rugi. Akhirnya dilakukan “pemaksaan” kepada pemilik tanah agar menerima ganti rugi yang telah dipatok oleh panitia pengadaan tanah.22

Dalam Keppres No.55 tahun 1993 disebutkan bahwa pengadaan tanah hanya digunakan semata-mata untuk pemenuhan kebutuhan tanah bagi pelaksanaan pembangunan, sedangkan dalam Perpres No.36 tahun 2005 hal ini tidak jelas. Ini berarti pengadaan tanah tidak saja semata-mata untuk pembangunan, tetapi juga untuk hal lain yang dianggap pemerintah sebagai kepentingan umum. Pengertian kepentingan umum dalam perpres telah dimodifikasi, yaitu untuk sebagian lapisan masyarakat, sementara dalam keppres disebut untuk semua lapisan masyarakat. Sampai sekarang tidak pernah jelas apa yang dimaksud dengan kepentingan umum.

Keppres No.55 tahun 1993 hanya dikenal satu cara untuk pengadaan tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah. Sementara dalam Perpres No.36 tahun 2005 terdapat dua cara untuk memperoleh tanah, yaitu melalui pelepasan hak atas tanah dan melalui pencabutan hak atas tanah, seperti yang diatur dalam Undang-undang No.20 tahun 1961. Pencabutan hak atas tanah seperti yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah dalam hal keadaan memaksa. Adapun dalam Perpres No.36 tahun 2005 ini pencabutan dilakukan apabila tidak ada kesepakatan mengenai ganti rugi sementara pembangunan tidak dapat dialihkan.

22

Ibid

(31)

digunakan untuk mencari keuntungan. Adapun dalam proses pengaturan ini tidak ada lagi. Hal ini berarti bisa saja pembangunan akan digunakan untuk mencari keuntungan. Tidak jelas juga apakah bangunan yang dibangun tersebut akan dimiliki oleh pemerintah atau tidak, asal pembangunan itu dilaksanakan oleh pemerintah, maka dapat diperoleh pengadaan tanah.

Keberadaan Undang-undang Nomor 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, yang disahkan tanggal 14 Januari 2012, “tenggelam” oleh kasus-kasus sengketa/konflik pertanahan yang begitu masif dan kompleks. Pengaturan pengadaan tanah dalam undang-undang ini memang tepat. Namun, dari segi substansi, undang-undang yang strategis dan berdampak luas ini menyisakan beberapa catatan.23

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, pengaturan tentang pengadaan tanah didasarkan pada Perpres Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian diubah menjadi Perpres Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Sesuai Perpres tersebut, pengadaan tanah dilakukan oleh Panitia Pengadaan Tanah yang bersifat ad-hoc. Prosesnya sering terhambat oleh diskontinuitas anggaran. Selain itu, masalah lain yang sering muncul adalah definisi pembangunan untuk kepentingan umum yang masih banyak diperdebatkan. Dan yang lebih penting lagi, pengadaan tanah juga bersinggungan dengan isu hukum mendasar seperti hak azasi manusia, prinsip keadilan, prinsip keseimbangan antara kepentingan negara dengan kepentingan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 merupakan sebuah langkah perbaikan, karena peraturan

23

(32)

perundang-undangan sebelumnya dianggap belum memenuhi rasa keadilan bagi pihak yang kehilangan tanahnya. Dengan diterbitkannya undang-undang tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan-permasalahan dalam pengadaan tanah. Beberapa permasalahan mendasar dalam proses pengadaan tanah selama ini antara lain: pertama, belum tersedianya aturan dasar, prinsip, prosedur dan mekanisme pengadaan tanah; kedua, belum ditetapkannya kelembagaan pengadaan tanah; ketiga, tidak adanya peraturan khusus pembiayaan pengadaan tanah; dan keempat, belum jelasnya kriteria kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai kepentingan umum. Keempat permasalahan tersebut menjadi salah satu penghambat untuk mencapai tujuan pembangunan untuk kepentingan umum.

(33)

Selain itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 telah diatur mengenai jangka waktu pelaksanaan pengadaan tanah yang jelas dari mulai tahapan perencanaan, tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, sampai dengan penyerahan hasil, termasuk didalamnya pihak-pihak yang berperan dalam masing-masing tahapan. Peraturan ini juga mengatur durasi waktu setiap tahapan dalam proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebenarnya batasan waktu juga telah diatur dalam Perpres Nomor 65 Tahun 2006, namun dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 maupun Perpres Nomor 71 Tahun 2012 sudah secara tegas mengatur durasi waktu keseluruhan penyelenggaraan pembebasan tanah untuk kepentingan umum paling lama (maksimal) 583 hari.

(34)

pembangunan infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi juga tidak luput diatur didalamnya.

B. Hakikat Pengadaan Tanah

Dalam praktiknya, dikenal 2 (dua) jenis pengadaan tanah, pertama pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan kedua pengadaan tanah untuk kepentingan swasta yang meliputi kepentingan komersial dan bukan komersial atau bukan sosial.24

Dalam perpres Nomor 36 tahun 2005 pasal 1 angka 3 dijelaskan bahwa “Pengadaan Tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.” Pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 36 tahun 2005 dapat dilakukan selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan menurut pasal 1 angka 3 Perpres Nomor 65 tahun 2006, yang dimaksud dengan “Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk

Menurut pasal 1 angka 1 Keppres Nomor 55 tahun 1993 yang dimaksud dengan “Pengadaan Tanag adalah setiap kegiatan, untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.” Artinya, pengadaan tanah dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut, tidak dengan cara lain selain pemberian ganti kerugian.

24

(35)

mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah”. Pengadaan tanah menurut Perpres Nomor 65 tahun 2006 selain dengan memberikan ganti kerugian juga dimungkinkan untuk dapat dilakukan dengan cara pelepasan hak.

Sementara itu, dalam Undang-undang Pengadaan Tanah bagi pembangunan, pengadaan tanah dibatasi sebagai kegiatan untuk memperoleh tanah dengan cara ganti rugi kepada pihak yang terkena pengadaan tanah untuk kegiatan pembangunan bagi kepentingan umum. Artinya, pengadaan tanah hanya dilakukan dengan cara memberi ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah yang diambil bagi pembangunan untuk kepentingan umum.

Dari sejumlah ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa cara untuk memperoleh tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yakni dengan memberi ganti rugi (cara yang paling utama) melepaskan hak atas tanah dan dengan mencabut hak atas tanah.25

Dalam era modern ini, Pemerintah banyak melakukan kegiatan pembangunan di segala bidang, baik bidang fisik maupun non fisik. Untuk melaksanakan kegiatan pembangunan di bidang fisik dibutuhkan banyak bidang tanah untuk memenuhi kebutuhan akan tanah. Sedangkan sebagian besar tanah-tanah tersebut sudah dilekati suatu hak atas tanah-tanah. Untuk menyediakan tanah-tanah bagi

25

(36)

pembangunan tersebut, Pemerintah membebaskan tanah dengan cara pelepasan atau penyerahan hak dan memberikan ganti kerugian kepada bekas pemegang hak.

C. Pemahaman Tentang Pengadaan Tanah

Secara normatif, ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Itu artinya, hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang, penggunaannya tidak semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlebih lagi apabila hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya sehingga bermanfaat, baik bagi kesejahteraan pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.26

Memang, secara normatif, pengadaan tanah itu berhubungan dengan kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti kerugian kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Hal tersebut berarti pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan salah satu manifestasi dari fungsi sosial hak atas tanah. Pengadaan tanah dipandang sebagai langkah awal dari pelaksanaan pembangunan yang merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atau masyarakat itu sendiri, baik yang akan digunakan untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta. Pengadaan tanah untuk pembangunan hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dari pemegang hak atas tanah mengenai dasar dan bentuk ganti rugi yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah itu sendiri.

27

26

Pasal 6 UUPA

27

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005

(37)

selalu menyangkut dua sisi dimensi yang harus ditempatkan secara seimbang, yaitu “kepentingan masyarakat dan kepentingan pemerintah”.

Di satu sisi, pihak pemerintah atau dalam hal ini sebagai penguasa, harus melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat atau demi kepentingan negara dan rakyatnya sebagai salah satu bentuk pemerataan pembangunan. Pihak masyarakat adalah sebagai pihak penyedia sarana untuk melaksanakan pembangunan tersebut karena rakyat atau masyarakat memiliki lahan yang dibutuhkan sebagai bentuk pelaksanaan pembangunan. Masyarakat dalam hal ini juga membutuhkan lahan atas tanah sebagai sumber penghidupan.28

Mengantisipasi hal tersebut, telah diatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak.

Apabila kedua pihak ini tidak memperhatikan dan menaati ketentuan yang berlaku maka terjadi pertentangan kepentingan yang mengakibatkan timbulnya sengketa atau masalah hukum sehingga pihak penguasa dengan terpaksa pun menggunakan cara tersendiri agar dapat mendapatkan tanah tersebut yang dapat dinilai bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Pemilik hak atas tanah pun juga tidak menginginkan apa yang sudah menjadi hak mereka diberikan dengan sukarela.

29

Selain itu ditegaskan juga bahwa suatu hak itu dihapus karena pencabutan hak untuk kepentingan umum dan karena penyerahan sukarela oleh pemiliknya.30

28

Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan pertama, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hlm 32

29

Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 18

30

(38)

Berpedoman pada ketentuan tersebut, maka proses pelaksanaan pengadaan tanah membutuhkan peran serta masyarakat atau rakyat untuk memberikan tanahnya untuk kepentingan pembangunan. Namun, masyarakat sebagai pemegang hak atas tanah bebas melakukan suatu perikatan dengan pihak penyelenggara pengadaan tanah untuk pembangunan tanpa ada paksaan dari siapapun.

Tidak dapat dimungkiri memang bahwa pengadaan tanah sangat rentan terhadap munculnya permasalahan, terutama dalam penanganannya. Masalah pengadaan tanah tentu saja menyangkut hajat hidup orang banyak bila dilihat dari sisi kebutuhan Pemerintah akan tanah untuk keperluan pembangunan. Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh agar keperluan akan tanah terpenuhi adalah dengan membebaskan tanah milik rakyat, baik yang dikuasai hukum adat maupun hak-hak yang melekat di atasnya.31

Namun demikian, tanah juga merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia mengingat sebagian besar kehidupan bergantung pada tanah. Sedemikian penting fungsi dan peran tanah bagi kehidupan manusia maka perlu adanya suatu landasan hukum yang menjadi pedoman dan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum, dalam pelaksanaan penyelesaian pertanahan, khususnya pada persoalan pengadaan hak atas tanah untuk kepentingan umum.32

Maria Sumardjono pun menganjurkan perlu adanya peraturan perundang-undangan tentang pengambilalihan tanah dan pemukiman kembali yang didasari pada pokok-pokok pikiran demokrasi, HAM, pemberian ganti rugi yang layak dan

31

Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Cetakan II, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001), hlm 75

32

(39)

memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak, sarana untuk menampung keluhan dan menyelesaikan sekadar mengganti Keppres. Pelaksanaan di lapangan perlu dibuat pedoman oleh provinsi, kabupaten/kota. Pihak swasta dapat menggunakan peraturan yang lebih memberikan keadilan yang mereka yang tergusur.33

Dengan demikian, masalah pokok yang menjadi sorotan atau perhatian dalam pelaksanaan pengadaan hak atas tanah adalah menyangkut hak-hak atas tanah yang status dari hak atas tanah itu akan dicabut atau dibebaskan. Sehingga, dapat dikatakan bahwa unsur yang paling pokok dalam pengadaan hak atas tanah adalah ganti rugi yang diberikan sebagai pengganti atas hak yang telah dicabut atau dibebaskan.34 Eks pemegang hak atas tanah boleh jadi ditelantarkan demi pembangunan untuk kepentingan umum. Sebaliknya hak-hak mereka harus dipenuhi serta memberikan perlindungan hukum secara proporsional kepada mereka. Sehingga, pada prinsipnya, acuan dalam pengadaan tanah sebagaimana tersirat dalam pasal 18 UUPA adalah sebagai berikut:35

D. Prinsip-Prinsip Pengadaan Tanah

a) kepentingan umum, b) hak atas tanah dapat dicabut, c) dengan memberikan ganti kerugian yang layak, serta d) diatur dengan suatu undang-undang.

Implementasi pengadaan tanah perlu memerhatikan beberapa prinsip (asas) sebagaimana tersirat dalam peraturan perundang-undangan dan ketentuan terkait

33

Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm 92

34

Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak atas Tanah dan Pembebasan Tanah di

Indonesia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm 23 35

(40)

yang mengaturnya. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:36

1) Penguasa dan penggunaan tanah oleh siapa pun dan untuk keperluan apa pun harus ada landasan haknya.

2) Semua hak atas tanah secara langsung maupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa.

3) Cara untuk memperoleh tanah yang sudah dihaki oleh seseorang/badan hukum harus melalui kata sepakat antarpribadi yang bersangkutan dan

4) Dalam keadaan yang memaksa, artinya jalan lain yang ditempuh gagal maka presiden memiliki kewenangan untuk melaksanakan pencabutan hak, tanpa persetujuan subjek hak menurut UU Nomor 20 tahun 1961.

Dalam proses pengadaan tanah terdapat prinsip-prinsip yang diharapkan melalui peraturan perundang-undangan. Hal ini ditegaskan dalam Perpres Nomor 65 tahun 2006 pasal 4 ayat (1)-(3). Pertama, pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.37 Kedua, bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah dilakukan berdasarkan perencanaan wilayah atau kota yang telah ada.38

Ketiga, apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapkan lokasi yang ditetapkan oleh bupati/walikota atau gubernur maka bagi siapa yang

36

Bernhard Limbong, Op.Cit, hlm 134

37

Perpres RI No.65 Tahun 2006, pasal 4 ayat (1)

38

(41)

ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari bupati/walikota atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.39

Disamping itu, dalam Hukum Tanah Nasional dikemukakan mengenai asas-asas yang berlaku dalam penguasaan tanah dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas tanah, yaitu:40

1) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah oleh siapapun dan untuk keperluan siapapun dan untuk keperluan apapun, harus dilandasi hak pihak penguasa sekalipun, jika gangguan atas tanah yang disediakan oleh hukum tanah Nasional.

2) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah tanpa ada landasan haknya (ilegal) tidak dibenarkan dan diancam dengan sanksi pidana.

3) Bahwa penguasaan dan penggunaan tanah yang berlandaskan hak yang disediakan oleh hukum tanah nasional, dilindungi oleh hukum terhadap ganguan dari pihak manapun, baik oleh sesama anggota masyarakat maupun oleh pihak penguasa sekalipun, jika gangguan tersebut tidak ada landasan hukumnya.

4) Bahwa oleh hukum disediakan berbagai sarana hukum untuk menanggulangi gangguan yang ada, yaitu:

a) Gangguan oleh sesama anggota masyarakat: gugatan perdata melalui pengadilan negeri atau meminta perlindungan kepada Bupati/Walikotamadya menurut UU Nomor 51 Prp Tahun 1960.

39

Ibid, pasal 4 ayat (3)

40

(42)

b) Ganguan oleh penguasa: gugatan melalui pengadilan tata usaha negara. 5) Bahwa dalam keadaan biasa, diperlukan oleh siapapun dan untuk keperluan

apapun (juga untuk proyek kepentingan umum) perolehan tanah yang dihaki seseorang harus melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan, baik mengenai penyerahan tanahnya kepada pihak yang memerlukan maupun mengenai imbalannya yang merupakan hak pemegang hak atas tanah yang bersangkutan untuk menerimanya.

6) Bahwa hubungan dengan apa yang tersebut diatas, dalam keadaan biasa, untuk memperoleh tanah yang diperlukan tidak dibenarkan adanya paksaan dalam bentuk apapun dan oleh pihak siapapun kepada pemegang haknya, untuk menyerahkan tanah kepunyaannya dan atau menerima imbalan yang tidak disetujuinya, termasuk juga penggunaannya lembaga “penawaran pembayaran diikuti dengan konsinyasi pada pengadilan negeri” seperti yang diatur dalam pasal 1404 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

7) Bahwa dalam keadaan yang memaksa, jika tanah yang bersangkutan diperlukan untuk penyelenggaraan kepentingan umum, dan tidak mungkin digunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang haknya, dengan menggunakan acara “pencabutan hak” yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1961.

(43)

tanahnya, bangunan dan tanaman pemegang hak, melainkan juga kerugian-kerugian lain yang diderita sebagai akibat penyerahan tanah yang bersangkutan.

9) Bahwa bentuk dan jumlah imbalan atau ganti kerugian tersebut, juga jika tanahnya diperlukan untuk kepentingan umum dan dilakukan pencabutan hak, haruslah sedemikian rupa, hingga bekas pemegang haknya tidak mengalami kemunduran, baik dalam bidang sosial maupun tingkat ekonominya.

E. Mekanisme Pengadaan Tanah

Menurut Keppres Nomor 55 tahun 1993, ada dua macam cara pengadaan tanah, yakni: pertama, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, dan kedua jual-beli, tukar menukar dan cara lain yang disepakati oleh para pihak yang bersangkutan.41

Umumnya, cara yang pertama dilakukan untuk pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan umum, sedangkan cara kedua dilakukan untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum juga dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah

Kedua cara tersebut termasuk kategori pengadaan tanah secara sukarela.

42

dan melalui musyawarah guna mencapai kesepakatan mengenai penyerahan tanahnya dan bentuk serta besarnya imbalan/ganti kerugian.43

41

Keppres No.55/1993, pasal ayat (2) dan (3)

42

Ibid, pasal 6 ayat (1)

43

(44)

Dalam Perpres Nomor 36 Tahun 2005 ada sedikit perbedaan dalam tata cara pengadaan tanah. Ada tiga cara yang digunakan dalam pelaksanaan pengadaan tanah, yaitu : 1) pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, 2) pencabutan hak atas tanah dan 3) cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.44

44

Perpres RI No.65 Tahun 2006 pasa 2 ayat (2)

Pengadaan tanah untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dan pencabutan hak atas tanah. Sedangkan, pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum atau pengadaan tanah untuk swasta dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang terkait.

Perpres Nomor 65 tahun 2006 mengutarakan bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah atau pencabutan hak atas tanah. Selanjutnya, dijelaskan bahwa pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh pemerintah atau pemerintah daerah dapat dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

(45)

1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah

2) Pencabutan hak atas tanah dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak-hak atas tanah dan benda-benda yang ada di atasnya.

Kasus pengadaan tanah, konflik yang bisa muncul biasanya mengenai status hak tanah yang perolehannya berasal proses pengadaan tanah, atau mengenai keabsahan proses, pelaksanaan pelepasan atau pengadaan tanah dan ganti rugi.

1) Masalah subyek yang dibebaskan antara lain: pembebasan tanah dilakukan terhadap tanah-tanah pada lokasi yang diperlukan dan ditetapkan, pembayaran tidak diberikan langsung kepada pemilik tanah, tetapi pada kuasa, pihak yang membebaskan tidak meneliti kebenaran kuasa, dan ternyata pemilik tanah tidak mengakui keberadaan kuasa yang menerima ganti rugi.

2) Masalah tambahan ganti rugi karena perubahan peruntukan, karena : pembebasan tanah dilakukan oleh pemerintah/pemerintah daerah, dengan menggunakan panitia pengadaan tanah, masyarakat mau melepaskan di bawah harga pasar karena peruntukan untuk pembangunan kepentingan umum, setelah dibebaskan ternyata peruntukkannya adalah perumahan mewah oleh swasta.

3) Perbedaan persepsi tentang tanah obyek ganti rugi antara jaksa/polisi dengan panitia pengadaan tanah/polisi dengan panitia pengadaan tanah/pimpo: tanah yang diperlukan untuk proyek pembangunan kepentingan umum adalah tanah hak yang sudah berakhir, panitia pengadaan tanah, dan jaksa/polisi mempermasalahkan pemberian ganti rugi yang seharusnya tidak perlu dibayarkan.45

45

(46)

BAB III

PENGGUNAAN HAK ATAS TANAH LAHAN PERKANTORAN

A. Konsep Tanah, Lahan dan Hukum Tanah Nasional

Adapun pengertian tanah secara hukum, diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang untuk selanjutnya disingkat UUPA, pada ketentuan-ketentuan pasal 4 ayat (1), dalam pasal 1 ayat (4) ayat (1), dalam pasal 1 ayat (4) serta penjelasannya dan dalam penjelasan umum (Butir II,1). Bunyi ketentuan pasal 4 ayat (1) UUPA adalah sebagai berikut: “ atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan di punyai oleh orang-orang, baik-baik maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.”

Adapun rumusan dalam pasal 1 ayat (4) adalah sebagai berikut : “Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.”

Tanah sebagai sumber kehidupan dan salahs atu faktor produksi yang penting di samping harus mampu menjamin tersedianya ruang untuk membangun prasarana dan sarana kebutuhan pembangunan sesuai dengan prioritas yang telah ditetapkan, perlu juga dipelihara kesuburan dan kelestarian agar terwujud lingkungan hidup yang nyaman.

(47)

pokok yang saling melengkapi, yakni efisiensi dan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, pelestarian lingkungan dan pola penggunaan tanah yang berkelanjutan. Meningkatnya peranan sektor industri sudah tentu menyebabkan semakin besarnya kebutuhan tanah untuk mendukung sektor ini. Peranan tanah dalam pembangunan akan semakin penting di masa yang akan datang sebab pembangunan di segala bidang yang kita lakukan hampir semuanya membutuhkan tanah sehingga tanah menjadi langka.46

Tegasnya tanah harus digunakan untuk pembangunan dengan prinsip-prinsip sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Tidak dapat dibenarkan apabila tanah digunakan sebagai objek spekulasi. Begitu pula penguasaan tanah rakyat oleh mereka yang bermodal kuat kuat untuk mencari keuntungan pribadi jelas bertentangan dengan kehendak pasal 33 UUD 1945. Apalagi bila tanah-tanah tersebut kemudian ditelantarkan, dibiarkan tidak produktif karena yang dipentingkan adalah menunggu naiknya harga tanah. Hal ini jelas merugikan kepentingan masyarakat dan kepentingan pembangunan. Pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas terhadap tanah-tanah yang diterlantarkan oleh pemegang haknya.47

Pembangunan berencana sebagaimana digariskan dalam kebijakan pertanahan harus disertai dengan penggunaan tanah secara berencana pula pula di mana masyarakat tetap memperoleh perlindungan atas haknya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Penggunaan tanah secara berencana harus mampu memenuhi kepentingan pembangunan baik bidang pertanian maupun industri.

46

Mustofa dan Suratman, Penggunaan Hak Atas Tanah untuk Industri, Cetakan 1, (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2013), hlm 34

47

(48)

Industrialisasi bukanlah merupakan tujuan akhir, melainkan hanya merupakan salah satu strategi yang harus ditempuh untuk mendukung proses pembangunan ekonomi guna mencapai tingkat pendapatan per kapita yang tinggi. Sektor industri khususnya industri yang menghasilkan untuk ekspor, industri yang banyak menyerap tenaga kerja, industri pengolahan hasil pertanian serta industri yang dapat menghasilkan masin-mesin industri.48

Semua itu dilaksanakan dalam rangka mewujudkan struktur ekonomi yang seimbang antara industri dan pertanian baik dari segi nilai tambah maupun dari segi penyerapan tenaga kerja. Selain itu, penggunaan tanah secara berencana harus pula mampu mendukung pembangunan dalam bidang politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain sepadan dan saling menunjang dengan pembangunan bidang ekonomi sehingga menjamin ketahanan nasional.49

Kata lahan yang dikenal dalam praktek tidak digunakan baik dalam pasal-pasal UUPA maupun dalam peraturan-peraturan pelaksanaan UUPA lainnya. Istilah lahan, baru ditemukan dalam salah satu Keppres tentang Kawasan Industri, yaitu dalam pasal 1 Butir 4 Keppres No.98 Tahun 1993 yang kemudian diganti KeppresNo.41 Tahun 1996. Rumusan termaksud berbunyi sebagai berikut bahwa : “kawasan peruntukan industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan industri... dst”. Penggunaan istilah lahan dalam Undang-undang Ketransmigrasi (UU No.15 Tahun 1997) lebih banyak ditemukan. Pada pasal 13 ayat (1) huruf c UU termaksud, sewaktu memperinci hak-hak transmigran pada program transmigrasi umum menyebutkan istilah lahan usaha dan lahan tempat

48

Mustofa dan Suratman, Op.Cit, hlm 34

49

(49)

tinggal. Pasal 25 ayat (2) menyebut penyiapan lahan dan ayat (6) menyebutkan istilah pembukaan lahan tempat tinggal dan istilah lahan usaha.

Lahan adalah bagian daratan dari permukaan bumi sebagai suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah beserta segenap faktor yang mempengaruhi penggunaannya seperti iklim, relief, aspek geologi, dan hidrologi yang terbentuk secara alami maupun akibat pengaruh manusia, sebagaimana tercantum dalam Pasal Pasal 1 butir (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009. Pasal 1 butir (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 menyatakan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pasal 1 butir (5) menyatakan bahwa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Pasal 1 butir (15) menyatakan bahwa Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah perubahan fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan menjadi bukan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara.

Lahan Pertanian Pangan yang ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat berupa:

a. lahan beririgasi;

(50)

Adanya larangan alihfungsi Lahan Pertanian Pangan. Berkelanjutan terdapat dalam Pasal 44 ayat (1), sedangkan untuk kepentingan umum, pengalihfungsian lahan haruslah dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam alihfungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum, sebagaimana dalam Pasal 44 ayat (3): “Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:

a. dilakukan kajian kelayakan strategis; b. disusun rencana alih fungsi lahan;

c. dibebaskan kepemilikan haknya dari pemilik; dan

d. disediakan lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan.”

Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(51)

a. paling sedikit tiga kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan beririgasi;

b. paling sedikit dua kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan reklamasi rawa pasang surut dan nonpasang surut (lebak); dan

c. paling sedikit satu kali luas lahan dalam hal yang dialihfungsikan lahan tidak beririgasi.”

Undang-undang ini akan menjadi payung hukum bagi penyediaan lahan dalam suatu luasan yang memadai yang disepakati dan ditetapkan oleh semua pemangku kepentingan yang terkait untuk menghasilkan pangan dan keberadaannya harus dipertahankan oleh semua pemangku kepentingan yang ada -baik di pusat maupun daerah- dan negara akan memberi sangsi terhadap pelanggaran eksistensi keberadaan lahan pertanian yang sedemikian untuk kepentingan non pertanian.50

Istilah hukum identik dengan istilah Law dalam bahasa Inggris, droit dalam bahasa Perancis, recht dalam bahasa Jerman, recht dalam bahasa Belanda, atau dirito dalam bahasa Italia. Hukum dalam arti luas dapat disamakan dengan aturan, kaidah, norma atau ugeran, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, yang pada dasarnya berlaku dan diakui orang sebagai peraturan yang harus ditaati dalam Dalam beberapa literatur, kata lahan lebih sering dipergunakan oleh para teknisi ahli perencana pertanian atau perencana perkotaan. Rupanya mereka telah terbiasa untuk membedakan tanah beserta didalamnya sebagai padanan kata bahasa Inggris soil dan lahan sebagai permukaan bumi untuk padanan kata land surface.

50

(52)

kehidupan bermasyarakat dan apabila dilanggar akan dikenakan sanksi. Sedangkan menurut Ensiklopedia Indonesia, “Hukum merupakan rangkaian kaidah, peraturan-peraturan tata aturan, baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang menentukan atau mengatur hubungan-hubungan antara para anggota masyarakat.”51

Rumusan di atas memperlihatkan bahwa penekanannya diletakkan pada hukum sebagai rangkaian kaidah, peraturan dan tata aturan (proses dan prosedur) serta pembedaan antara sumber hukum undang-undang (kaidah yang tertulis) dan kebiasaan (kaidah yang tidak tertulis).52

Dalam ilmu hukum, berdasarkan isi atau kepentingan yang diatur, hukum dapat digolongkan menjadi hukum privat (yang mengatur kepentingan pribadi, misalnya hukum perdata, hukum dagang) dan hukum publik (yang mengatur kepentingan umum atau kepentingan publik.53

B. Hak Kepemilikan atas Tanah

Hak milik adalah hak turun-menurun, terkuat, dan terpenuh yanga dapat dimiliki seseorang atas tana. Turun menurun dalam hal ini, mempunyai arti bahwa hak milik tidak hanya berlangsung selama hidupnya orang yang mempunyai untuk pertama kali atas tanah tersebut, tetapi dapat dilanjutkan atau diwariskan kepada ahli waris apabila pemilik yang sebelumnya meninggal dunia. Terkuat dalam hal ini, hak milik atas tanah tidak dibatasi oleh waktu. Sampai kapan pun hak tersebut dapat dimiliki oleh seseorang. Juga dapat dikatakan terkuat karena hak milik atas tanah tersebut dapat dibuktikan dengan adanya tanda bukti hak, yang sekarang ini

51

Ibid, hlm 36

52

Ibid

53

Gambar

Tabel Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin

Referensi

Dokumen terkait

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XL-2/W4, 2015 Joint International Geoinformation Conference 2015,

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO.

Media e-comic yang dikembangkan dengan validasi dari ahli materi dan ahli media diharapkan dapat membantu guru dalam menyampaikan materi IPS dan mempermudah belajar siswa

Dengan menggunakan beberapa metode tersebut, hasil penelitian yang diharapkan adalah perbaikan deteksi terhadap dataset RTE-4 ID 332 yang semula terdeteksi sebagai

Tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji keefektifan model SQ4R berbantuan media storytelling organizers terhadap keterampilan membaca pemahaman siswa kelas V SD Gugus Nusa

Implementasi yang telah dilakukan dengan menggunakan library keamanan akan memberikan kemudahan dalam membangun keamanan web service karena dengan dukungan library

Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education, menyatakan bahwa indeks pembangunan pendidikan atau Education Development

Berdasarkan fenomena di atas, penulis tertarik untuk menjadikan judul penelitian ini yaitu : “ Pengaruh Restaurant Atmosphere dan Keragaman Produk Terhadap Loyalitas