• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Asap Cair Dari Tempurung Kelapa Sebagai Koagulan Komersial Karet Alam Nias Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemanfaatan Asap Cair Dari Tempurung Kelapa Sebagai Koagulan Komersial Karet Alam Nias Utara"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG

KELAPA SEBAGAI KOAGULAN KOMERSIAL

KARET ALAM NIAS UTARA

TESIS

Oleh

ZULMAKMUR TELAUMBANUA 117006008 / KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG

KELAPA SEBAGAI KOAGULAN KOMERSIAL

KARET ALAM NIAS UTARA

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains Dalam Program Studi Ilmu Kimia pada Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Oleh

ZULMAKMUR TELAUMBANUA 117006008/KIM

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013

(3)

Judul Tesis : PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI KOAGULAN KOMERSIAL KARET ALAM NIAS UTARA.

Nama mahasiswa : ZULMAKMUR TELAUMBANUA Nomor Pokok : 117006008

Program studi : Magister Ilmu Kimia

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D Eddyanto, Ph.D

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D Dr. Sutarman, M.S

(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 April2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Basuki Wirjosentono, M.S, Ph.D

Anggota : 1. Eddyanto, Ph.D

2. Prof. Dr. Harlem Marpaung

3. Dr. Darwin Yunus Nasution, M.S

4. Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc

5. Prof. Dr. Yunazar Manjang

(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG

KELAPA SEBAGAI KOAGULAN KOMERSIAL

KARET ALAM NIAS UTARA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Perguruan Tinggi lain, dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah dan disebut sumbernya dalam daftar pustaka.

Medan, 26 April 2013

(6)

RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama lengkap : ZULMAKMUR TELAUMBANUA

Tempat dan Tanggal lahir : Iraonogeba, 20 Juni 1966

Alamat Rumah : Jl. Kartini No. 6, Kelurahan Pasar Lahewa, Nias Utara

Telepon/HP : 0813 9753 5553

Email : zul.mtel@yahoo.co.id

Istansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 1 Lotu

Alamat Kantor : Desa Lolofaoso, Kecamatan Lotu, Nias Utara

Telepon/Faks/HP :

DATA PENDIDIKAN

SD : SD Negeri No. 070978 Gunungsitoli Tamat : 1979

SMP : SMP Negeri 3 Gunungsitoli Tamat : 1982

SMA : SMA Swasta BNKP Gunungsitoli Tamat : 1985

D-3 : D-3 Kimia FMIPA USU Tamat : 1988

Strata-1 : Pendidikan Kimia UNIMED Tamat : 2001

(7)

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI KOAGULAN KOMERSIAL

KARET ALAM NIAS UTARA

ABSTRAK

Penggunanaan asap cair, residu, dan destilatnya asap cair sebagai penggumpal karet alam dari Kabupaten Nias Utara telah diteliti. Seluruh karet yang terkoagulasi yang diperoleh dengan memanfaatkan koagulan di atas telah dianalisa sesuai dengan uji baku karet Indonesia. Hasil penelitian ini telah dibandingkan dengan gumpalan karet yang menggunakan asam formiat. Kadar kotoran, kadar abu, dan kadar nitrogen, juga kandungan bahan mudah menguap, viskositas Mooney, dan plastisasi retensi indeks (PRI) telah diuji. Kecepatan koagulasi, dan kualitas terbaik diperoleh saat menggunakan destilat asap cair sebagai koagulan dan hasil akhir produkini adalah setar dengan SIR-20.

(8)

ii

THE USE OF LIQUID SMOKE OBTAINED FROM COCONUT SHELL AS COMMERCIAL COAGULANT OF NATURAL RUBBER

ORIGINALLY FROM NORTH NIAS

ABSTRACT

The use of liquid smoke, the residu, and its destilate as coagulant for natural rubber originally from North Nias District have been researched. All coagulated rubber obtained by using the above coagulants have been analysed follow the Standar Indonesia Rubber (SIR). Those results were compared to formic acid as a refrence. The impurity, ash, and nitrogen content, and volatile, Mooney viscosity, and plasticity retention index (PRI) have been tested. The highest coagulation rate as well as the best quality of the rubber occurs by using destilate smoke liquid and the final product is nearly equal to the quality of SIR-20.

Keywords: liquid smoke, the residu, destilate of liquid smoke, formic acid, and standar Indonesia rubber (SIR).

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur hanya bagi Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat dan karunia yang dianugerahkan , sehingga penulis dapat menyusun penelitian Tesis ini, dengan judul "Pemanfaatan Asap Cair Dari Tempurung Kelapa Sebagai Koagulan Komersial Karet Alam Nias Utara". Pada kesempatan ini ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Bapak Komisi Pembimbing, yaitu Bapak Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D selaku Promotor, dan Bapak Eddyanto, Ph.D sebagai Co-Promotor atas segala bantuan, arahan dan bimbingan selama perencanaan penelitian, pelaksanaan penelitian sampai penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, D.T.M. & H, M.Sc. (C.T.M), Sp.A. (K) yang telah memberikan kesempatan pada saya untuk mengikuti program pendidikan Magister dalam bidang Ilmu Kimia pada FMIPA USU.

2. Dekan FMIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas bantuan dan izin belajar untuk mengikuti Program S-2 Ilmu Kimia.

3. Ketua Program Studi S-2 dan S-3 Ilmu Kimia FMIPA USU, Prof. Basuki Wirjosentono, MS, Ph.D dan Bapak Sekretaris Program S-2 dan S-3 Ilmu Kimia, Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc atas segala fasilitas dan bantuan yang diberikan kepada penulis.

4. Tim penguji, Prof. Dr. Harlem Marpaung, Dr. Darwin Yunus Nasution, MS, Dr. Hamonangan Nainggolan, M.Sc dan Prof. Dr. Yunazar Manjang yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan penilaian maupun saran-saran untuk perbaikan tesis ini.

(10)

iv

6. Kepala Laboratorium Kimia Polimer FMIPA USU dan Kepala serta seluruh staf Laboratorium Pusat Penelitian Karet Sungei Putih yang telah memberikan bantuan dan fasilitas dalam melakukan penelitian teisis ini.

7. Bupati Nias Utara dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Nias Utara atas kesempatan serta dukungan luar biasa yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan di Pascasarjana USU Medan.

8. Secara khusus kepada Bapak Saharman Gea, Ph.D yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis selama perkuliahan di FMIPA USU.

9. Rekan-rekan mahasiswa Pacasarjana Jurusan Ilmu kimia FMIPA USU yang telah banyak membantu dalam penyelesaian Tesis ini.

10. Tak lupa buat adik-adik, Elman Lase, ST, serta ponakan Destarius Zebua, S.Pd dan Sonazaro Telaumbanua yang telah membantu penulis dalam merampungkan tesis ini.

11. Teristimewa kepada istri tercinta Nelly Niasta Sembiring, M.PdK yang sangat mendukung dan memotivasi saya dalam penulisan Tesis ini dan ketiga buah hati tercinta, Sally Geba Latami Telaumbanua, Patricia Pikarola Telaumbanua dan Berhan No Fanolo Telaumbanua sebagai sumber inspirasi saya.

Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih kurang sempurna oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pihak pembaca demi kesempurnaan Tesis ini.

Penulis

Zulmakmur Telaumbanua

(11)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

ABTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR ix

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2.Rumusan Masalah 3

1.3. Pembatasan Masalah 4

1.4. Tujuan Penelitian 4

1.5. Hipotesis Penelitian 4

1.6. Manfaat Penelitian 5

1.7. Ruang Lingkup Kegiatan 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karet Alam 6

2.1.1. Peranan Karet Alam Dalam Perekonomian Nasional 9

2.1.2. Prospek Perdagangan Karet Alam 10

2.1.3. Jenis-Jenis Karet Alam 11

2.1.4. Kontaminan Pada Bahan Olah Karet 12

2.2 Stabilitas Koloid Lateks 13

2.3. Penggumpalan Lateks 14

2.4. Standar Karet Indonesia 15

2.4.1. Syarat Mutu Karet Indonesia 15

(12)

vi

2.4.5. Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248 – 1991 (E)] 20 2.4.6. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289 - 1985 (E)] 21 2.4.7.Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930 - 1991 (E)] 21

2.5. Asap Cair 24

2.5.1. Proses Pembentukan Asap Cair 25

2.5.2. Komposisi Kimia Asap Cair 25

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.3.1. Pembuatan Asap Cair 29

3.3.2. Penentuan pH Koagulan 30

3.3.3. Penggumpalan Lateks 30

3.3.4. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249 - 1987 ( E )] 30 3.3.5. Penetapan Kadar Abu [ISO 247 - 1990 (E)] 33 3.3.6. Penentuan Kadar Nitrogen [ISO 1656 - 1988 (E)] 33 3.3.7. Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248 – 1991 (E)] 34 3.3.8. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289 - 1985 (E)] 35 3.3.9.Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930 - 1991 (E)] 36

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pembuatan Asap Cair Secara Pirolisis 43

4.2. Penggumpalan Lateks 45

4.3. Karakterisasi 48

4.3.1. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249 - 1987 ( E )] 49 4.3.2. Penetapan Kadar Abu [ISO 247 - 1990 (E)] 51 4.3.3. Penentuan Kadar Nitrogen [ISO 1656 - 1988 (E)] 54 4.3.4. Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248 – 1991 (E)] 56

(13)

4.3.5. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289 - 1985 (E)] 59 4.3.6. Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930 - 1991 (E)] 61

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

A Kesimpulan 65

B Saran 66

DAFTAR PUSTAKA

(14)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

Tabel 2.1. Komposisi Karet Alam (Surya 2006) 8

Tabel 2.2. Skema Persyaratan Mutu 16

Tabel 2.3. Komposisi Kimia Asap Cair 26

Tabel 2.4. Analisis Kimia Yang Dilakukan Terhadap Asap Cair 26 Tabel 4.1. pH Asap Cair, Residu Asap Cair dan Destilat Asap Cair 45 Tabel 4.2. Lama Penggumpalan Beberapa Jenis Koagulan 46 Tabel 4.3. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249 - 1987 ( E )] 49 Tabel 4.4. Penetapan Kadar Abu [ISO 247 - 1990 (E)] 52 Tabel 4.5.Penentuan Kadar Nitrogen [ISO 1656 - 1988 (E)] 54 Tabel 4.6.Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248 – 1991 (E)] 57 Tabel 4.7. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289 - 1985 (E)] 59 Tabel 4.8.Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930 - 1991 (E)] 61 Tabel 4.9. Karakterisasi dari Koagulum dengan Koagulan Asam Formiat,

Asap Cair, Residu Asap Cair dan Destilat Asap Cair

Dibandingkan SIR 20 64

(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

Gambar 1.1. Gambar Karet Nias Utara dan Kolom Penyimpanannya 5

Gambar 2.1. Rumus Struktur Kimia Karet Alam 6

Gambar 2.2. Karet Alam Nias Utara 8

Gambar 2.3. Hidrolisa Protein 19

Gambar 3.1. Alat Pembuat Asap Cair, (a) Reaktor Asap Cair, (b) Kondensor, dan (c) Penampung Asap Cair.

Gambar 3.2. Contoh Potongan Uji Untuk Plastisitas 37 Gambar 3.3. Flowchart Penelitian Penambahan Asam Formiat 39 Gambar 3.4. Flowchart Penelitian Penambahan Asap Cair 40 Gambar 3.5. Flowchart Penelitian Penambahan Residu Asap Cair 41 Gambar 3.6. Flowchart Penelitian Penambahan Destilat Asap Cair 42 Gambar 4.1. (a)Tempurung Kelapa, (b) Tempurung Kelapa yang

Sudah Bersih 43

Gambar 4.2. Asap Cair dari Tempurung Kelapa 44

Gambar 4.3. (a) Asap Cair, (b) Residu Asap Cair dan (c) Destilat Asap Cair 44 Gambar 4.4. Grafik Lama Penggumpalan Koagulan Asam Formiat,

Asap Cair, Residu Asap Cair dan Destilat Asap Cair 47 Gambar 4.5. Penggumpalan Dengan Koagulan (a) Asam Formiat,

(b) Asap Cair, (c) Residu Asap Cair dan (d) Destilat Asap Cair 47 Gambar 4.6. Koagulum dengan Koagulan (a) Asam Formiat, (b) Asap Cair,

(c) Residu Asap Cair dan (d) Destilat Asap Cair 48 Gambar 4.7. Grafik Kadar Kotoran Koagulum Dibandingkan

dengan SIR 20 50

Gambar 4.8. Grafik Kadar Abu Koagulum Dibandingkan dengan SIR 20 52 Gambar 4.9. Grafik Kadar Nitrogen Koagulum

(16)

x

Gambar 4.10. Gambar Kadar Zat Menguap Koagulum

Dibandingkan dengan SIR 20 58

Gambar 4.11. Grafik Viskositas Mooney 60

Gambar 4.12. Grafik Nilai PRI Koagulum Dibandingkan dengan SIR 20 62

(17)

PEMANFAATAN ASAP CAIR DARI TEMPURUNG KELAPA SEBAGAI KOAGULAN KOMERSIAL

KARET ALAM NIAS UTARA

ABSTRAK

Penggunanaan asap cair, residu, dan destilatnya asap cair sebagai penggumpal karet alam dari Kabupaten Nias Utara telah diteliti. Seluruh karet yang terkoagulasi yang diperoleh dengan memanfaatkan koagulan di atas telah dianalisa sesuai dengan uji baku karet Indonesia. Hasil penelitian ini telah dibandingkan dengan gumpalan karet yang menggunakan asam formiat. Kadar kotoran, kadar abu, dan kadar nitrogen, juga kandungan bahan mudah menguap, viskositas Mooney, dan plastisasi retensi indeks (PRI) telah diuji. Kecepatan koagulasi, dan kualitas terbaik diperoleh saat menggunakan destilat asap cair sebagai koagulan dan hasil akhir produkini adalah setar dengan SIR-20.

(18)

ii

THE USE OF LIQUID SMOKE OBTAINED FROM COCONUT SHELL AS COMMERCIAL COAGULANT OF NATURAL RUBBER

ORIGINALLY FROM NORTH NIAS

ABSTRACT

The use of liquid smoke, the residu, and its destilate as coagulant for natural rubber originally from North Nias District have been researched. All coagulated rubber obtained by using the above coagulants have been analysed follow the Standar Indonesia Rubber (SIR). Those results were compared to formic acid as a refrence. The impurity, ash, and nitrogen content, and volatile, Mooney viscosity, and plasticity retention index (PRI) have been tested. The highest coagulation rate as well as the best quality of the rubber occurs by using destilate smoke liquid and the final product is nearly equal to the quality of SIR-20.

Keywords: liquid smoke, the residu, destilate of liquid smoke, formic acid, and standar Indonesia rubber (SIR).

(19)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia adalah pemilik lahan terluas perkebunan karet di dunia. Namun bila dibandingkan dengan negara lain produsen karet seperti : Malaysia dan Thailand, tingkat produktivitas karet di tanah air jauh lebih rendah, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Untuk itu upaya untuk meningkatkan produktivitas ini harus senantiasa dilakukan sehingga mampu bersaing dan juga memberi sumbangan berarti bagi kesejahteraan petani karet.

Saat ini tercatat sekitar 3.2 juta Ha perkebunan karet tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar (85%) kebun karet milik rakyat, 7% milik pemerintah dan sisanya milik swasta. Total produksi karet saat ini sekitar 2.5 juta ton/tahun. Jumlah ini tentu akan bisa ditingkatkan dengan memberdayakan lahan-lahan kosong yang (apabila) masih tersedia dan disertai dengan perbaikan sistem tanam yang lebih produktif. Namun, selain upaya perluasan lahan, inovasi peningkatan mutu dan pemberian nilai tambah secara ekonomi pada produk-produk karet terus dilakukan sehingga produk-produk tersebut dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang, bahkan menjadi komponen barang-barang berteknologi tinggi.

(20)

2

bahan olahan karet yang menyebabkan rendahnya kualitas karet remah (crumb rubber). Masih rendahnya kualitas SDM petani dalam budi daya tanaman, prapanen,

pascapanen dan pengolahan primer, serta masih lemahnya kelembagaan petani dan kemitraan usaha serta akses permodalan yang menyebabkan rendahnya posisi tawar petani dalam perolehan harga yang sesuai (masih sekitar 60% harga FOB).

Disisi lain, tuntutan konsumen terhadap standar mutu suatu produk baik pangan maupun non pangan sudah tidak bisa dihindarkan lagi. Pengawasan mutu dalam kegiatan penerapan jaminan mutu, merupakan langkah penting bagi pelaku usaha untuk mendapatkan pengakuan formal terkait dengan konsistensi standar mutu produk yang dihasilkan. Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan Permentan No 38 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengolahan dan Pemasaran Bahan Olahan Karet (bokar) serta Permendag No 53 Tahun 2009 tentang Pengawasan Mutu Bahan Olahan Komoditi Ekspor Standard Indonesia Rubber (SIR) yang diperdagangkan, maka kebijakan tersebut harus ditindaklanjuti dengan pengawasan mutu agar bokar yang diperdagangkan dapat memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan.

Pulau Nias, terdiri dari lima kabupaten/kota, merupakan penghasil karet di Provinsi Sumatera Utara dan hingga saat ini belum memiliki pabrik pengolahan karet. Khususnya karet di Nias Utara masih berupa produk karet hulu yang memiliki kualitas rendah sehingga dijual dengan harga yang sangat murah melalui stasiun pengumpul karet di Gunungsitoli untuk dibawa ke Sumatera. Untuk meningkatkan kualitas dan nilai jual karet petani di Nias Utara perlu dilakukan penelitian untuk mengolah karet alam Nias Utara menjadi bahan olahan karet hulu, produk karet antara, dan bahkan karet olahan hilir sehingga nilai jual karet dapat ditingkatkan, pendapatan petani karet Nias Utara, dan pendapatan asli daerah.

Kabupaten Nias Utara merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di wilayah Propinsi Sumatera Utara, berdasarkan hasil Asistensi Pemerintah Daerah Nias Utara dengan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Keuangan. Luas wilayah

(21)

Kabupaten NiasUtara adalah 1.501,63 Km2 yang terdiridari 11 kecamatan dan 112 desa dan 1 kelurahan. Ibukota Kabupaten Nias Utara terletak di Lotu.

Subsektor perkebunan merupakan salah satu subsektor yang cukup strategis yang memberikan kontribusi pada peningkatan kegiatan perekonomian di Kabupaten Nias Utara. Namun sejauh ini pengelolaan yang dilakukan oleh para petani masih bersifat tradisional. Tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Nias Utara adalah tanaman perkebunan rakyat dengan komoditi karet, kelapa, kopi, dan cengkeh. Khusus produksi karet di Kabupaten Nias Utara terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi karet Kabupaten Nias bisa menghasilkan sebanyak 52.470 ton per tahun dari luas tanam 7.982 Ha. Dengan rata-rata produksi sebanyak 4.372,5 ton per bulan (Nias dalam angka 2012).

Selain pertimbangan kualitas produk dan ekonomi, faktor keamanan dan keramahan lingkungan juga harus menjadi patokan dalam mengembangkan produksi karet. Salah satu cara yang sedang digemari adalah pemanfaatan asap cair yang dapat diperoleh dari pembakaran tempurung kelapa. Khusus dalam penelitian ini akan digunakan asap cair yang diperoleh dari pembakaran tempurung kelapa Nias Utara. Asap cair diharapkan dapat menggumpalkan karet alam Nias Utara dan dapat menggantikan koagulan yang selama ini dipergunakan seperti: air batre, pupuk urea, nenas dan air pembusukan makanan. Dengan demikian penggumpalan karet di Nias Utara, akan teratasi dengan metode ini. Oleh karena itu penting dilakukan kajian dan penelitian dengan judul ―Pemanfaatan Asap Cair Dari Tempurung Kelapa Sebagai Koagulan Komersial Karet Alam Nias Utara ‖

1.2. Rumusan Masalah.

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

(22)

4

2. Bagaimana kualitas karet dan bahan olahan karet Nias Utara yang menggunakan koagulan asap cair dari tempurung kelapa dapat memenuhi standar mutu karet Indonesia (SNI) sesuai dengan SIR 20?

3. Apakah penggunaan koagulan dari asap cair dapat menggantikan koagulan yang biasa dipergunakan selama ini untuk karet dan bahan olahan karet Nias Utara?

1.3.Pembatasan Masalah.

Pada penelitian ini permasalahan hanya dibatasi pada :

1. Koagulan yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa asap cair yang berasal dari tempurung kelapa Nias Utara.

2. Lateks segar yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari Nias Utara. 3. Lembaran karet yang dianalisa adalah lembaran karet yang menggunakan

koagulan dari asap cair, residu asap cair dan destilat asap cair.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Membandingkan karet dan bahan olahan karet Nias Utara yang menggunakan koagulan asap cair dengan karet dan bahan olahan karet yang menggunakan koagulan asam formiat.

2. Membandingkan kualitas karet dan hasil olahan karet yang diperoleh dari tanaman karet rakyat Nias Utara yang menggunakan koagulan asap cair dengan standar mutu karet Indonesia (SNI) sesuai dengan SIR 20.

3. Merekomendasikan koagulan dari asap cair sebagai koagulan untuk karet dan bahan olahan karet Nias Utara.

1.5. Hipotesis Penelitian.

Pada penelitian ini akan dilakukan upaya untuk penggumpalan karet serta peningkatan mutu karet alam Nias Utara dengan cara pemanfaatan sumber daya alam setempat, dengan cara pemanfaatan asap cair dari tempurung kelapa sebagai bahan koagulan.

(23)

1.6. Manfaat Penelitian.

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang besar bagi dunia industri, ilmu pengetahuan, dan secara khusus bagi masyarakat dalam mempergunakan koagulan dari asap cair untuk penggumpalan sekaligus peningkatan kualitas karet dan bahan olahan karet Nias Utara.

1.7. Ruang Lingkup Kegiatan

1. Mempelajari dan mengamati bagaimana proses penanganan karet rakyat dan bahan olahan karet di Nias Utara.

2. Mempelajari jenis-jenis kontaminan yang ada di dalam pengolahan bahan baku karet dan bahan olahan karet di Nias Utara.

3. Mengusulkan teknik koagulasi dengan koagulan alternatif dan pemrosesan bahan olahan karet menjadi karet yang bermutu.

(24)
(25)

1. Karet konvensional.

Karet konvensional adalah karet yang tingkatan mutunya ditetapkan berdasarkan sifat-sifat penampakan (visual), seperti warna, kotoran, gelembung udara, jamur dan noda-noda lain. Sesuai dengan mutu, sifat visual dan cara pengepakan, karet alam terdiri dari 8 (delapan) tipe (The Green Book, 1969), yaitu :

a. Ribbed Smoked Sheets (RSS)

(26)

8

lateks pekat dengan kadar karet kering 60% dan mutunya memenuhi spesifikasi teknis yang mengacu kepada American Society for Testing and Material (ASTM) D1076 atau International Organization for Standardization 2004 (ISO 2004). Berdasarkan kadar amonia yang terdapat dalam lateks pekat dikenal: lateks pekat amonia rendah (Low Ammonia) adalah lateks pekat yang mengandung amonia maksimum 0,29%, lateks pekat amonia tinggi (High Ammonia) adalah lateks pekat yang mengandung amonia maksimmum 0,60%.

Gambar.2.2 Karet Alam Nias Utara

Tabel.2.1. Komposisi Karet Alam (Surya 2006)

No Komponen Komponen dalam

latex segar (%)

Komponen dalam latex kering (%)

1 Hidrokarbon 36 92-94

2 Protein 1,4 2,5-3,5

3 Karbohidrat 1,6 -

4 Lipida 1,6 2,5-3,2

5 Persenyawaan Organik Lain 0,4 -

6 Persenyawaan Anorganik 0,5 0,1-0,5

7 Air 58,5 0,3-1,0

(27)

2.1.1.Peranan Karet Alam Dalam Perekonomian Nasional

Karet memiliki berbagai peranan penting bagi Indonesia, antara lain: (a) Sumber pendapatan dan lapangan kerja penduduk

(b) Sumber devisa negara dari ekspor non-migas

(c) Mendorong tumbuhnya agro-industri di bidang perkebunan (d) Sumber daya hayati dan pelestarian lingkungan.

Luas areal tanaman karet pada tahun 2006 sekitar 3,31 juta hektar, dengan produksi 2,64 juta ton atau 27,3% produksi karet alam dunia (9.2 juta ton), menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil karet alam terbesar kedua setelah Thailand (IRSG, 2007). Pada tahun 2005, karet mampu menghasilkan devisa hingga US $ 2,58 milyar, naik menjadi US $ 3,77 milyar pada tahun 2006, menempatkan karet sebagai komoditas penghasil devisa terbesar diantara komoditas perkebunan. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1,3 juta ton pada tahun 1995 dan 2,29 juta ton pada tahun 2006. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2005 mencapai US$ 2,58 milyar, dan meningkat tajam menjadi US $ 4,36 milyar pada tahun 2006 seiring dengan melonjaknya harga karet dari 1,2 USD/kg hingga sekitar 2 USD/kg pada tahun 2006 (Depperind, 2007).

(28)

10

2.1.2Prospek Perdagangan Karet Alam

Hasil kajian para pakar memperlihatkan bahwa prospek perdagangan karet alam dunia sangat baik. Dalam jangka panjang, perkembangan produksi dan konsumsi karet menurut ahli pemasaran karet dunia yang juga Sekretaris Jenderal International Rubber Study Group, Dr. Hidde P. Smit, menunjukkan bahwa konsumsi karet alam akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan dari 8,5 juta ton di tahun 2005, naik menjadi 9,23 pada tahun 2006, dan diprediksi menjadi 11,9 juta ton pada tahun 2020. Sementara itu produksi karet alam dunia sebesar 8,5 juta ton pada tahun 2005, naik menjadi 9,18 juta ton pada tahun 2006, diprediksi menjadi 11,4 juta ton di tahun 2020. Harga karet alam di pasar dunia juga diprediksikan tetap bertahan pada level di atas US $ 1 per kg, bahkan pada tahun 2013 diperkirakan bisa menembus US $ 2,4 per kg dan bahkan level harga tersebut telah dicapai pada tahun 2006 ini. Pada tahun 2020 diperkirakan harga karet alam di pasaran dunia tetap bertahan pada angka US $ 1,9 per kg.Timbulnya peningkatan konsumsi karet alam di negara-negara Asia disebabkan makin meningkatnya perkembangan industri ban dan komponen industri lainnya. Konsumsi karet alam dan karet sintetik dunia yang pada tahun 2004 baru mencapai 20,03 juta ton akan meningkat mencapai 28,67 juta ton pada tahun 2020, diantaranya 11,9 juta ton karet alam. Indonesia diharapkan dapat memasok 3,5 juta ton pada tahun 2020.

ISRG berpendapat bahwa pada jangka panjang diperkirakan terdapat kekurangan pasokan yang tidak saja disebabkan oleh permintaan dunia yang meningkat dengan cepat tetapi juga 2 diantara 3 negara penghasil karet alam yaitu Malaysia dan Thailand yang merupakan negara dengan ekonomi yang berkembang cepat, mungkin menjadi generasi baru dari Newly Industrialized Countries (NICs), sehingga kedua negara akan meninggalkan agrobisnis karet. Indonesia diharapkan dapat mengisi kekurangan pasokan untuk kebutuhan dunia.

(29)

2.1.3Jenis-Jenis Karet Alam

Karet merupakan polimer yang bersifat elastis, sehingga dinamakan pula sebagai elastomer. Saat ini karet tergolong atas karet sintetik dan karet alam. Karet sintetik dibuat secara polimerisasi fraksi-fraksi minyak bumi. Contoh karet sintetik yang kini banyak beredar adalah SBR (Strirene Butadiene Rubber), NBR (Nitrile Butadiene Rubber), karet silikon, Urethane dan karet EPDM (EthilenePropileneDiMonomer). Karet alam diperoleh dengan cara penyadapan pohon Hevea Braziliensis. Karet alam memiliki berbagai keunggulan dibanding karet sintetik, terutama dalam hal elastisitas, daya redam getaran, sifat lekuk lentur (flex-cracking) dan umur kelelahan (fatigue). Berdasarkan keunggulan tersebut, maka saat ini karet alam sangat dibutuhkan terutama oleh industri ban. Dewasa ini karet alam diproduksi dalam berbagai jenis, yakni lateks pekat, karet lembaran asap, karet krep dan crumb rubber.

(a) Lateks pekat diolah langsung dari lateks kebun melalui proses pemekatan yang umumnya secara sentrifugasi sehingga kadar airnya turun dari sekitar 70% menjadi 40-45%. Lateks pekat banyak dikonsumsi untuk bahan baku sarung tangan, kondom, benang karet, balon, kateter, dan barang jadi lateks lainnya. Mutu lateks pekat dibedakan berdasarkan analisis kimia antara lain kadar karet kering, kadar NaOH, nitrogen, MST dan analisis kimia lainnya.

(b) Karet sit asap atau dikenal dengan nama RSS (Rubber Smoked Sheet) dan karet krep (crepe) digolongkan sebagai karet konvensional, juga dibuat langsung dari lateks kebun, dengan terlebih dulu menggumpalkannya kemudian digiling menjadi lembaran-lembaran tipis, dan dikeringkan dengan cara pengasapan untuk karet sit asap, dan dengan cara pengeringan menggunakan udara panas untuk karet krep. Mutu karet konvensional dinilai berdasarkan analisis visual permukaan lembaran karet. Mutu karet akan makin tinggi bila permukaannya makin seragam, tidak ada gelembung, tidak mulur, dan tidak ada kotoran serta teksturnya makin kekar/kokoh.

(30)

fisika-12

kimianya seperti kadar abu, kadar kotoran, kadar nitrogen, plastisitas Wallace dan viskositas Mooney. Karet remah produksi Indonesia dikenal dengan nama Standard Indonesian Rubber (SIR). Saat ini umumnya (SIR 10 dan 20) dibuat dari lump atau sleb dari perkebunan rakyat. Disebabkan bahan bakunya kotor, maka proses pengolahan di pabrik karet remah melibatkan berbagai peralatan pengecilan ukuran (size reduction) dan pencucian.

2.1.4 Kontaminan Pada Bahan Olah Karet

Lateks sebagai sumber pertama dari bahan baku karet remah sesungguhnya merupakan material alam yang sangat bersih, bahkan mengandung bahan-bahan yang berperan penting dalam menjaga mutunya agar tetap baik. Pada lateks, selain hidrokarbon karet (polimer poliisoprena), terkandung juga berbagai senyawa penting antara lain lipid dan protein. Lipid berperan sebagai antioksidan, yakni bahan pencegah terjadinya oksidasi terhadap molekul karet. Sedangkan protein, selain berfungsi sebagai penstabil sistem koloid lateks juga berperan sebagai bahan yang mempercepat proses vulkanisasi pada pembuatan barang jadi karet. Masuknya kontaminan pada karet, akan merusak bahan-bahan alami tersebut (Archer, et al., 1983). Kontaminasi terhadap sesuatu produk diartikan sebagai pencemaran. Dengan demikian kontaminan bisa didefinisikan sebagai zat pencemar, karena berdampak buruk terhadap mutu, seperti bersifat meracuni, produk menjadi cepat busuk, merusak tekstur, warna, rasa dan kerusakan mutu lainnya. Demikian pula untuk karet, kontaminan bisa menyebabkan karet mudah teroksidasi, memperlemah elastisitas, menurunkan kekuatan tarik, dan ketahanan sobek dari vulkanisatnya.

Sebagai contoh kasus untuk karet, tawas sebagai koagulan bisa dianggap sebagai kontaminan, karena di dalam tawas terkandung logam alkali yang bersifat sebagai pro-oksidan, serta berdampak menahan air yang memudahkan berkembangnya mikroorganisme pengurai protein dan hidrokarbon karet. Itulah sebabnya mengapa koagulan yang disarankan hingga kini adalah asam semut, asam cuka atau asam

(31)

lemah lainnya. Koagulan-koagulan tersebut tidak berbahaya, bahkan meningkatkan mutu karena bersifat mendorong air/serum untuk segera keluar dari koagulum.

Contoh lain yang sering terjadi di dalam bahan baku karet remah adalah sering bercampurnya pasir dan tanah ke dalam bokar secara sengaja maupun tidak disengaja. Untuk mengeluarkan kedua zat pengotor tersebut diperlukan serangkaian proses pengecilan dan pencucian yang banyak memerlukan air, listrik dan waktu proses. Dengan demikian, kontaminan tidak hanya berpengaruh langsung terhadap mutu produk, namun juga memerlukan biaya tambahan untuk membersihkannya.

2.2. Stabilitas Koloid Lateks

Lateks dikatakan mantap apabila sistem koloidnya stabil, yaitu tidak terjadi frokulasi atau penggumpalan selama penyimpanan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lateks tersebut adalah sebagai berikut :

1. Ada kecenderungan setiap partikel karet berinteraksi dengan fase air (serum) misalnya asosiasi komponen-komponen bukan karet pada permukaan partikel-partikel karet.

2. Adanya interaksi antara partikel-partikel karet itu sendiri (Robert, 1988).

Disamping kedua faktor di atas ada 3 (tiga) faktor lain yang dapat menyebabkan sistem koloid partikel-partikel karet menjadi tetap stabil, yaitu :

1. Adanya muatan listrik pada permukaan partikel karet sehingga terjadi gaya tolak menolak antara dua atau lebih partikel karet tersebut.

2. Adanya interaksi antara molekul air dengan partikel karet yang menghalangi terjadinya penggabungan partikel-partikel karet tersebut.

3. Energi bebas antara permukaan yang rendah.

(32)

14

2.3. Penggumpalan Lateks

Rusaknya kemantapan sistem koloid lateks mengakibatkan terjadinya penggumpalan. Kerusakan ini dapat terjadi antara lain dengan jalan penetralan muatan protein dengan penambahan asam sehingga muatan negatif dan muatan positif lateks setimbang (tercapai titik isoelektrik). Titik isoelektrik dari lateks pada umumnya sekitar pH 4,7. Penggumpalan diawali dengan flokulasi yaitu interaksi antara partikel karet dengan partikel karet lainnya selanjutnya terjadilah koagulasi.

Untuk memperoleh hasil karet yang bermutu tinggi, penggumpalan lateks hasil penyadapan di kebun dan kebersihan harus diperhatikan. Hal ini pertama-tama berlaku untuk alat-alat yang digunakan dalam pekerjaan penggumpalan lateks bersentuhan dengannya. Selain dari kemungkinan pengotor lateks oleh kotoran-kotoran yang kelak sukar dihilangkan, kotoran-kotoran tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya prakoagulasi dan terbentuknya lump sebelum lateks sampai di pabrik untuk diolah.

Penggumpalan lateks dilaksanakan 3-4 jam setelah penyadapan dilakukan. Dalam keadaan tertentu, pada saat penggumpalan lateks biasa juga menggunakan obat anti koagulasi (antikoagulan) untuk mencegah terjadinya prakougulasi. Tetapi penggunaan anti koagulasi ini harus dibatasi sampai batas sekecil-kecilnya, karena biasanya cukup besar dan kadang-kadang lateks yang dibubuhi antikoagulan memerlukan obat koagulan (misalnya asam semut) yang terpaksa kadarnya harus dinaikkan. Penambahan asam yang berlebihan dalam proses koagulasi juga dapat menghambat proses pengeringan (Setyamidjaja, 1993).

Penggumpalan dengan cara penetralan muatan dalam lateks dapat juga terjadi dengan sendirinya akibat kontaminasi dengan mikroba yang terdapat disekelilingnya. Mikroba ini merombak senyawa-senyawa bukan karet seperti karbohidrat, protein atau lipid menghasilkan lemak eteris (asam asetat dan asam propionat). Penggumpalan dapat juga terjadi dengan cara dehidrasi yaitu dengan penambahan alkohol yang bersifat menarik air. Penggumpalan dapat juga dilakukan dengan

(33)

penambahan larutan elektrolit bermuatan positif yang menetralkan muatan negatif dari sistem koloid seperti kalsium dan magnesium (Roberts, 1988)

Adapun bahan-bahan penggumpal lateks yang sering digunakan adalah asam asetat (CH3COOH) dan asam formiat (HCOOH). Pada waktu penggumpalan lateks harus diperhatikan hal-hal berikut :

1. Jumlah asam yang harus sesuai dengan yang dianjurkan yaitu 20 ml CH3COOH 2,5% atau 20 ml HCOOH 2% tiap 1 liter lateks.

2. Pengadukan harus dengan hati-hati dan sempurna karena dapat menyebabkan gelembung udara, ketebalan dan kekerasan koagulum yang tidak merata.

2.4. Standar Karet Indonesia.

Standar ini meliputi ruang lingkup, defenisi, penggolongan, bahan olah, syarat ukuran, syarat mutu, pengambilan contoh, cara uji, pengemasan, syarat penandaan dan catatan umum SIR.

SIR digolongkan dalam 6 jenis mutu, yaitu: 1. SIR 3 CV (Constant Viscosity)

2. SIR 3 L (Light)

3. SIR 3 WF (Whole Field) 4. SIR 5

5. SIR 10 6. SIR 20

2.4.1 Syarat Mutu Karet Indonesia.

(34)

16

karet. Karet remah disebut juga sebagai SIR yaitu karet alam produksi Indonesia yang dijual dalam bentuk bongkahan dan mutunya dinilai berdasarkan spesifikasi teknis.

Tabel : 2.2 Skema Persyaratan Mutu

NO JENIS UJI /

Pembungkus Bandela - Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan Transparan 13

(35)

Keterangan :

*) Tanda Pengenal Tingkatan Batasan Viskositas Mooney :

CV — 50 45 — 55

CV — 60 55 — 65

CV — 70 65 — 75

'*) Informasi mengenai cure dibenkan dalam bentuk Rheograph sebagai Standard non—mandatory

2.4.2. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249 — 1987 (E)]

Kotoran adalah benda asing yang tidak larut dan tidak dapat melalui saringan 325 mesh. Adanya kotoran di dalam karet yang relatif tinggi dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul dari vulkanisat karet alam antara lain kalor timbul dan ketahanan retak lenturnya. Kotoran tersebut juga mengganggu pada pembuatan vulkanisat tipis.

Potongan uji untuk penetapan kadar kotoran perlu ditipiskan lagi untuk memudahkan pelarutan. Potongan uji yang telah digiling ulang, dilarutkan di dalam pelarut yang mempunyai titik didih tinggi, disertai penambahan suatu zat untuk memudahkan larutnya karet (rubber peptiser). Larutan kotor yang tertinggal kemudian dituangkan melalui saringan 325 mesh. Kotoran yang tertinggal pada saringan setelah dikeringkan di dalam oven, kemudian ditimbang setelah didinginkan. Hasil pelaksanaan pengujian yang baik, dapat dilihat dari mudah bergeraknya kotoran kering di dalam saringan.

Kadar kotoran dapat dihitung dengan rumus :

Kadar kotoran =

x

100 % ………. (2.1) Dengan:

A = bobot saringan berikut kotoran B = bobot saringan kosong

(36)

18

2.4.3 Penetapan Kadar Abu [ISO 247 — 1990 (E)]

Abu di dalam karet terjadi dari oksida, karbonat dan fosfat dari kalium, magnesium, kalsium, natrium dan beberapa unsur lain dalam jumlah yang berbeda-beda. Abu dapat pula mengandung silikat yang berasal dari karet atau benda asing yang jumlah kandungannya bergantung pada pengolahan bahan mentah karet.

Abu dari karet memberikan sedikit gambaran mengenai jumlah bahan mineral di dalam karet. Beberapa bahan mineral di dalam karet yang meninggalkan abu dapat mengurangi sifat dinamika yang unggul seperti kalor timbul (heat build-up) dan ketahanan retak lentur (flex cracking resistance) dari vulkanisasi karet alam.

Tingginya kadar abu dapat disebabkan beberapa faktor seperti tanah yang mengandung kalsium tinggi, musim gugur (dimana daun akan membusuk). Kadar abu ini dapat tinggi akibat perlakukan yang tidak dianjurkan misalnya penggumpalan lateks dengan menggunakan ammonium sulfat mengakibatkan kadar abu karet kering tinggi.

Faktor pengolahan dapat mempengaruhi kadar abu, dimana makin besar tingkat pengolahan maka kadar abu semakin rendah, misalnya lateks yang digumpalkan tanpa pengenceran mempunyai kadar abu yang lebih tinggi dari pada dengan pengenceran. Dengan kata lain semakin encer lateks yang digumpalkan maka semakin rendah kadar abu karet yang diperoleh karena sebagian besar akan tercuci bersama serum (Kartowardoyo, 1980).

Kadar abu dapat dihitung dengan rumus :

Kadar Abu =

x

100 % ……….. (2.2) dengan:

A = bobot cawan berikut abu B = bobot kosong

C = bobot potongan uji

(37)

2.4.4 Penentuan Kadar Nitrogen [ISO 1656 — 1988 (E)]

Karet alam pada umumnya memiliki kadar nitrogen yang cukup tinggi, yang besarnya berpengaruh terhadap sifat teknis karet. Menurut Alfa et al (1998), tingginya kadar nitrogen akan mempengaruhi karakteristik vulkanisasi dan sifat vulkanisat karet. Kandungan nitrogen karet alam terdapat dalam bentuk protein. Menurut Yapa (1984), hidrolisis protein dapat dilakukan dengan metode kimiawi dan metode enzimatis.

Menurut Johnson dan Peterson (1974), cara efisien untuk menghidrolisis protein adalah dengan menggunakan enzim protease. Enzim protease atau proteolitik adalah enzim yang dapat menguraikan atau memecahkan protein. Protease termasuk dalam kelas utama enzim hidrolase yang mengkatalisis reaksi reaksi hidrolisis. Menurut Winarno (1989), reaksi kalalisis enzim protease adalah menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Reaksi hidrolisisi protein dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3.Hidrolisa Protein (Winarno, 1989)

(38)

20

suasana dirubah menjadi basa, amonia dipisahkan dengan destilasi uap dan diikat oleh larutan standar asam borat, kemudian dititer dengan larutan standar asam sulfat. Kadar Nitrogen dapat dihitung dengan rumus :

....(2.3)

V1 = ml H2SO4 untuk titrasi larutan berisi contoh V2 = ml H2SO4 untuk titrasi larutan blanko N = Normalitas H2SO4

W = Bobot contoh (gram)

2.4.5. Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248 — 1991 (E )].

Zat menguap di dalam karet sebagian besar terdiri dari uap air dan sisanya adalah zat-zat lain seperti serum yang mudah menguap pada suhu 100oC. Kadar zat menguap adalah bobot yang hilang dari potongan uji setelah pengeringan.

Adanya zat yang mudah menguap di dalam karet, selain dapat menyebabkan bau busuk, memudahkan tumbuhnya jamur yang dapat menimbulkan kesulitan pada waktu mencampurkan bahan-bahan kimia ke dalam karet pada waktu pembuatan kompon tersebut terutama untuk pencampuran arang hitam pada suhu rendah.

Potongan uji untuk menetapkan kadar zat menguap ditimbang lalu ditipiskan dan digunting menjadi potongan kecil-kecil untuk memperluas permukaan guna memudahkan pengeringan pada suhu 100oC.

Kadar zat menguap dapat dihitung dengan rumus :

100 %

Dengan : A = bobot cawan berikut contoh sebelum dipanaskan

B = bobot cawan berikut contoh setelah dipanaskan

C = bobot potongan uji

(39)

2.4.6. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289 — 1985 (E )]

Viskositas Mooney karet alam menunjukkan panjangnya rantai molekul karet

atau berat molekul serta derajat pengikatan silang rantai molekulnya. Pada umumnya semakin tinggi berat molekul (BM) hidrokarbon karet semakin panjang rantai molekul dan semakin tinggi tahanan terhadap aliran dengan kata lain karetnya semakin kental dan keras. Sebaliknya, karet yang memiliki viskositas sangat rendah akan memberikan sifat karet jadi lembek dan kuat. Pada pembuatan ban dari karet alam dengan berat molekul tinggi cukup menarik karena sifat fisika ban yang dihasilkan seperti daya kenyal, tegangan tarik, perpanjangan putus dan sebagainya cukup baik.

Karet mempunyai nilai viskositas yang berbeda-beda dan nilai ini naik terus selama penyimpanan atau disebut juga dengan pengerasan selama penyimpanan. Karet yang sudah direaksikan dengan bahan kimia ini akan mempunyai nilai viskositas yang tetap dan tidak berubah lagi untuk beberapa waktu. Karet yang mempunyai viskositas konstan disebut viscosity stabilized rubber.

Viskositas dari karet pada umumnya diuji dengan alat Mooney Viscometer yang prinsip kerjanya adalah memutarkan sebuah rotor yang berbentuk silinder di dalam karet tersebut. Makin besar viskositas karet, makin besar pula perlawanan yang diberikan oleh karet tersebut kepada rotor. Besarnya torak yang dialami oleh sumbu rotor diukur oleh sebuah pegas yang berbentuk U dan dihubungkan dengan mikrometer yang mempunyai skala 0-100.

2.4.7. Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930 — 1991 (E)]

(40)

22

Terputusnya rantai polimer pada karet mengakibatkan sifat karet menjadi rendah. Bila nilai PRI diketahui, dapat diperkirakan mudah atau tidaknya karet menjadi lunak atau lengket jika lama disimpan atau dipanaskan. Hal ini berhubungan dengan vulkanisasi karet pada pembuatan barang jadi, agar diperoleh sifat dari barang jadi karet yang lebih kuat.

Tinggi rendahnya nilai PRI dipengaruhi oleh jenis bahan baku yang digunakan dan proses pengolahan karet. Terdapatnya nilai PRI yang rendah, disebabkan karena terjadinya reaksi oksidasi pada karet. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya oksidasi pada karet antara lain adalah:

a. Sinar Matahari.

Sinar matahari mengandung sinar ultraviolet yang menggiatkan terjadinya oksidasi pada karet apabila bahan baku lateks dan koagulum terkena langsung oleh sinar matahari, hal ini ditandai dengan mengeringnya kulit permukaan lateks dan koagulum.

b. Pengenceran lateks dan Koagulum.

Pengenceran lateks dengan penambahan air yang terlalu banyak dan perendaman dengan air yang terlalu lama yang tujuannya untuk mencuci kotoran-kotoran yang melekat pada koagulum. Hal ini akan menurunkan konsentrasi zat-zat non-karet di dalam lateks seperti terlarutnya asam-asam amino yang berfungsi sebagai anti oksidasi dan dapat juga berfungsi sebagai bahan pemacu cepat pada pembuatan barang jadi karet yang selanjutnya menurunkan PRI pada karet.

c. Zat-zat pro-oksidasi (tembaga atau mangan).

Kandungan ion-ion logam seperti Cu, Mg, Mn, dan Ca berkolerasi dengan kadar abu di dalam analisa karet. Kadar abu diharapkan rendah karena sifat logam tembaga (Cu) dan mangan (Mn) adalah zat pro-oksidasi yang dalam bentuk ion merupakan katalis reaksi oksidasi pada karet sehingga dalam jumlah yang melewati batas konsentrasinya akan merusak mutu karet, sehingga oksidasi dipercepat dan mengakibatkan nilai PRI karet menjadi rendah.

(41)

d. Pengeringan karet.

Penguraian molekul karet oleh reaksi oksidasi dapat pula terjadi bila karet dikeringkan terlalu lama dan temperatur pengeringan yang dipakai adalah 127oC, dengan waktu pengeringan 2 - 4 jam tergantung pada jenis alat pengeringan. Nilai PRI akan turun bila terjadi ikatan silang (storage hardening) di dalam lateks kebun dan diantara butiran-butiran karet hasil pengeringan. Ikatan silang terjadi pada pembentukan gel secara perlahan-lahan sehingga butiran-butiran karet menjadi melendir dan lengket-lengket. Hal ini akan menyebabkan plastisitas karet Po karet, maka akan merubah nilai PRI karet sehingga menjadi turun.

Nilai PRI yang tinggi menunjukkan bahwa karet tahan terhadap oksidasi khususnya pada suhu tinggi, sebaliknya karet dengan nilai PRI rendah akan peka terhadap oksidasi dan pada suhu tinggi cepat lunak. Faktor utama yang mempengaruhi nilai PRI adalah perimbangan prooksidan dan antioksidan dalam karet (Wadah, 1991).

Pengujian ini meliputi pengujian plastisitas Wallace dari potongan uji sebelum dan sesudah pengusangan di dalam oven. Nilai PRI diukur dari besarnya keliatan karet mentah yang masih tertinggal apabila sampel karet tersebut dipanaskan di dalam oven selama 30 menit pada suhu 140oC. Nilai PRI adalah persentase keliatan karet sesudah dipanaskan dan ditentukan dengan alat ukur Wallace Plastimeter.

Suhu dan waktu pengusangan diatur sedemikian rupa sehingga dapat memberikan perbedaan yang nyata dari berbagai jenis karet mentah. Nilai PRI yang tinggi menunjukkan ketahanan yang tinggi terhadap degradasi oleh oksidasi (Syamsu, 1994)

Besarnya nilai Plasticity Retention Index (PRI) dapat dihitung dengan rumus :

(42)

24

dengan:

Po= Plastisitas awal

Pa (P30) = Plastisitas setelah pengusangan selama 30 menit

2.5. Asap Cair

Asap cair (wood vinegar, liquid smoke) merupakan suatu hasil kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa, hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Bahan baku yang banyak digunakan antara lain berbagai macam jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa, sekam, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain sebagainya. Selama pembakaran, komponen dari kayu akan mengalami pirolisa menghasilkan berbagai macam senyawa antara lain fenol, karbonil asam, furan, alkohol, lakton, hidrokarbon, polisiklik aromatik dan lain sebagainya. Asap cair mempunyai berbagai sifat fungsional, seperti untuk memberi aroma, rasa dan warna karena adanya senyawa fenol dan karbonil sebagai bahan pengawet alami karena mengandung senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan antioksidan, sebagai bahan koagulan lateks pengganti asam formiat serta membantu pembentukan warna coklat pada produk sit.

Asap cair adalah kondesat komponen asap yang dapat digunakan untuk menciptakan flavor asap pada produk (Whittle dan Howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tetapi baru sepuluh sampai lima belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada industri pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990). Asap Cair pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode destilasi kayu asap (Pszczola, 1995).

(43)

2.5.1 Proses Pembentukan Asap Cair

Asap merupakan sistem komplek yang terdiri dari fase cairan terdispersi dan medium gas sebagai pendispersi . Asap diproduksi dengan cara pembakaran tidak sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi dan kondensasi. Jumlah partikel padatan dan cairan dalam medium gas menentukan kepadatan asap. Selain itu asap juga memberikan pengaruh warna rasa dan aroma pada medium pendispersi gas. Sifat dari asap cair dipengaruhi oleh komponen utama.

Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon, baik yang berasal dari tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang (karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al, 2005 dalam Gani, 2007). Menurut Demirbas (2005 dalam Gani, 2007), umumnya proses pirolisis dapat berlangsung pada suhu di atas 300oC dalam waktu 4-7 jam.

Proses pirolisis melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi, polimerisasi dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah penghilangan air dari kayu pada suhu 120-150oC, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200-250oC, pirolisa selulosa pada suhu 280-320oC dan pirolisa lignin pada suhu 400oC. Pirolisa pada suhu 400oC ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard, 1992; Maga, 1988).

2.5.2 Komposisi Kimia Asap Cair

(44)

26

macam dalam asap, karbonil, keton dan aldehid 45 macam dalam kondensat, asam 35 macam, furan 11 macam. Alkohol dan ester 15 macam, lakton 13 macam, hidrokarbon alifatik 1 macam dalam kondensat dan 20 macam dalam produk asap. Komposisi kimia asap cair dapat dilihat pada Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Komposisi Kimia Asap Cair (Sumber: Maga, 1988)

Komposisi Kimia Kandungan (%)

Analisis kimia yang dilakukan terhadap asap cair meliputi penentuan fenol, karbonil, keasaman dan indeks pencoklatan.

Tabel 2.4 Analisis Kimia yang Dilakukan Terhadap Asap Cair (Girard, 1992)

(45)

Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu tar dan senyawa benzopiren yang bersifat toksik dan karsinogenik serta menyebabkan kerusakan asam amino esensial dari protein dan vitamin. Pengaruh ini disebabkan adanya sejumlah senyawa kimia di dalam asap cair yang dapat bereaksi dengan komponen bahan makanan. Upaya untuk memisahkan komponen berbahaya di dalam asap cair dapat dilakukan dengan cara redistilasi, yaitu proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan titik didihnya. Redistilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya sehingga diperoleh asap cair yang jernih, bebas tar, poli aromatik hidrokarbon (PAH) dan benzopiren pendispersi. Menurut Maga (1988), asap cair mempunyai kelebihan antara lain:

1. Beberapa flavor dapat dihasilkan dalam produk yang seragam dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengasapan tradisional.

2. Lebih intensif dalam pemberian flavor. 3. Kontrol hilangnya flavor lebih mudah.

(46)

28

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Tempat Penelitian

Pada proses penelitian, persiapan sampel dan pengujian dilakukan di Laboratorium Polimer FMIPA USU Medan, Laboratorium Pusat Penelitian Karet Sungei Putih.

3.2. Alat Dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan sampel uji antara lain :

1. Two Roll Mill tipe XK-400 (pengaturan speed 900 rpm, diameter roll 16 inci, buatan RRC).

2. Neraca analitis, pembacaan mencapai 0,1 mg. 3. Stopwacth.

4. Kompresor.

5. Viscometer Mooney. 6. Thermometer 200oC. 7. pH meter.

8. Wadah, kapasitas 20 liter untuk menyimpan terpentin. 9. Buret otomatis 50 ml untuk peptiser.

10. Wadah 600 ml unuk mencuci saringan. 11. Labu erlenmayer 500 ml.

12. Desikator diameter minimum 20 cm.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Karet dari kebun rakyat Nias Utara.

2. Karet alam SIR20 dari Balai Penelitian Karet Sungei Putih.

(47)

3. Asam sulfat pekat: p.a. (bj = 1,84). 4. Silica gel: dengan indikator warna biru.

5. Larutan asam sulfat 0,01 N : distandarisasi dengan natrium karbonat p.a. 6. Larutan natrium hidroksida : (67% W/V).

7. Campuran katalis : campur dengan baik 15 bagian anhidrida kalsium sulfat, 2 bagian tembaga sulfat pentahidrat dan 1 bagian serbuk selenium.

8. Larutan indicator (0,15% W/V) : larutan 0,1 g merah metil dan 0,05 g alcohol 96%, biru metilen di dalam 100 ml etil (larutan ini akan rusak jika disimpan lama, gunakan larutan baru tiap kali penetapan).

9. Larutan asam borat : larutkan 40 g aasam borat dengan air suling, jika perlu dipanaskan. Tambahkan air suling hingga menjadi 2 liter.

10. Asap cair, residu asap cair dan destilat asap cair. 11. Lateks segar dari Nias Utara.

3.3. Prosedur Kerja.

3.3.1. Pembuatan Asap Cair.

(a) (b) (c)

(48)

30

Sebelum dibakar, bahan baku dibersihkan terlebih dahulu. Tempurung kelapa dibersihkan untuk menghilangkan sabut dari permukaannya. Setelah itu, tempurung kelapa dipotong-potong kecil sampai berukuran diameter kira-kira 6-8 cm, agar mudah dimasukkan ke dalam alat pembakar.

Pengukuran kadar air dan kadar abu dilakukan pada setiap bahan baku sebelum dibakar. Pembuatan asap cair dilakukan dengan menggunakan kiln yang terbuat dari baja tahan karat yang dilengkapi dengan alat pemanas gas, kondensor dan wadah penampung cairan asap cair. Setiap kali pembakaran, kiln dapat memuat 100 kg tempurung. Suhu pengolahan diukur dengan thermokopel. Suhu yang digunakan adalah 300°C untuk masing-masing bahan dengan pemanasan selama 5 jam.

3.3.2. Penentuan pH Koagulan.

1. Diencerkan asam format menjadi 2%, dan diukur pHnya. 2. Diukur pH asapcair, residu asap cair dan destilat asap cair.

3.3.3. Penggumpalan Lateks.

1. Dimasukkan 10 ml asam format 2% pada wadah yang telah disediakan.. 2. Ditambahkan 500 ml lateks segar.

3. Diaduk sampai merata asam format dan lateks segar.

4. Digunakan stopwatch untuk menghitung proses penggumpalan.

5. Diulangi percobaan di atas untuk koagulan dari asap cair, residu asap cair dan destilat asap cair.

6. Dicatat jenis koagulan yang paling cepat menggumpalkan karet.

3.3.4. Penetapan Kadar Kotoran [ISO 249-1987 ( E )]

1. Digiling contoh uji untuk penetapan kadar kotoran sebesar 20 - 25 gram 2 kali melalui gilingan laboratorium (setelah penggilingan pertama, lembaran karet dilipat dua), kedua rol berputar dengan kecepatan yang sama (1:1), dan celah rol diatur 0,33 mm.

(49)

2. Ditimbang kira-kira 10 gram lembaran contoh karet dengan ketelitian mendekati 0,1 mg.

3. Kemudian digunting kecil-kecil menjadi 12-15 potongan atau ditipiskan.

4. Dimasukan kedalam labu Erlenmeyer 500 ml yang telah berisi terpentin mineral 250 ml dan 1-2 mL peptiser.

5. Dipanaskan di atas pemanas selama 1,5-2,5 jam pada suhu 120°C 6. Diaduk sekali-sekali untuk mempercepat pelarutan.

7. Jika karet telah larut sempurna saving dalam keadaan panas secara didekantasi melalui saringan yang bersih.

8. Saringan yang akan digunakan, sebelumnya harus dikeringkan didalam oven selama lebih kurang 1 jam pada suhu 100°C dan setelah didinginkan di dalam desikator sampai suhu kamar ± 30 menit, kemudian ditimbang.

9. Biarkan kotoran mengendap sebanyak mungkin di dasar labu erlenmeyer untuk pencucian selanjutnya. Dicuci kotoran di dalam labu 2 kali masing-masing dengan 30-50 ml terpentin panas.

10. Dituangkan cucian ke dalam saringan dengan memiringkan labu sehingga mulut labu mengendap ke bawah, disemprotkan terpentin dingin ke dalamnya dengan menggunakan botol semprot.

11. Diusahakan agar seluruh sisa kotoran terbawa ke dalam saringan.

12. Pencucian diakhiri dengan menyemprotkan terpentin panas pada sekeliling dinding bagian dalam saringan dengan hati-hati.

13. Dikeringkan saringan berisi kotoran didalam oven pada suhu 90-100°C selama 1 jam dan didinginkan dalam desikator selama ± 30 menit, kemudian ditimbang dengan ketelitian mendekati 0,1 mg.

Catatan.

(50)

32

Larutan karet yang dibiarkan mendidih, dapat menghasilkan zat yang menyerupai gel, sehingga menyukarkan penyaringan dan akan memberikan kadar kotoran yang tinggi.

Karet diusahakan agar terlarut sempurna dalam terpentin. Setelah larut, lalu digoncang-goncangkan untuk mengamati apakah butir kotoran dapat bergerak bebas dan akan mengendap pada bagian tengah dan dasar labu. Bila pengamatan tersebut tidak dilakukan, maka kemungkinan ada butir karet yang tidak larut dan melekat pada labu kemudian tercuci dan masuk ke dalam saringan, sehingga setelah pengeringan akan memberikan hasil yang lebih tinggi.

Labu erlenmayer sebelum digunakan harus selalu diperiksa. Labu yang telah rusak atau retak sangat berbahaya, karena dapat menimbulkan letusan dan kebakaran.

Pencucian saringan dengan alat pencuci ultrasonik memberikan hasil yang memuaskan. Pada pekerjaan sehari-hari 70 saringan selama kira-kira 15 menit di dalam alat pencuci ultrasonik yang berisi terpentin, perendaman dilanjutkan di dalam larutan pembersih selama 15 menit. Akhirnya saringan direndam dan dicuci dengan air bersih di dalam gelas piala. Setelah itu dikeringkan di dalam oven kira-kira 1 jam pada suhu 100oC, didinginkan di dalam desikator sampai mencapai suhu kamar (±30 menit) lalu ditimbang.

Dengan mengikuti cara pencucian ini, maka setiap saringan dapat digunakan untuk kira-kira 50 kali pengujian. Penyemprotan dengan air untuk membersihkan saringan sedapat mungkin dihindarkan, karena hal ini akan merusak saringan sehingga kemungkinan saringan itu hanya dapat digunakan untuk 20-25 kali pengujian saja. Saringan hendaknya diperiksa setiap minggu dengan menggunakan slide projector. Saringan yang telah rusak tidak boleh digunakan lagi.

(51)

3.3.5. Penetapan Kadar Abu [ISO 247-1990 (E)].

Cara 1.

1. Dibungkus potongan uji tersebut dengan kertas saring bebas abu.

2. Dimasukkan kedalam cawan yang sebelumnya telah dipijarkan di dalam mufle furnace pada suhu 550°C selama 2 jam dan setelah didinginkan kembali di dalam desikator hingga mencapai suhu kamar (± 30 menit) kemudian ditimbang.

3. Dimasukan cawan berisi potongan uji ke dalam mufle furnace dalam lemari asam dan pijarkan pada suhu 550 ± 20°C selama 2-4 jam sampai abu tidak mengandung jelaga (karbon) lagi. Didinginkan di dalam desikator sampai suhu kamar kemudian ditimbang dengan ketelitian mendekati 0,1 mg.

Cara 2.

1. Digunting potongan uji tersebut menjadi kecil-kecil.

2. Dimasukkan ke dalam cawan yang sebelumnya telah dipijarkan dan telah diketahui bobotnya.

3. Cawan berisi karet kemudian dipijarkan di atas pembakar listrik atau gas sampai tidak keluar asap selanjutnya pemijaran diteruskan di dalam muffle fumace pada suhu 550oC ± 20oC selama kira-kira 2 jam, yaitu sampai tidak mengandung jelaga lagi.

4. Didinginkan cawan yang berisi abu di dalam desikator sampai suhu kamar (± 30 menit).

5. Kemudian ditimbang dengan ketelitian 0,1 mg.

3.3.6. Penentuan Kadar Nitrogen [ISO 1656-1988 (E)]

1. Ditimbang dengan teliti kira-kira 0,1 g contoh karet yang telah diseragamkan, masukkan ke dalam labu mikro kjeldahl, tambahkan kira-kira 0,65 g campuran katalis dan 3-5 ml asam sulfat pekat.

(52)

34

4. Dipindahkan larutan di atas ke dalam alat destilasi dan dibilas dua atau tiga kali dengan 3 ml air suling. Alat destilasi sebelumnya telah dialiri uap selama 30 menit.

5. Masukan 10 ml asam borak dan 2 atau 3 tetes indikator kedalam labu penampung 100 ml.

6. Diletakan labu tersebut sedemikian rupa sehingga ujung kondensor tercelup di bawah permukaan larutan asam borak.

7. Tambahkan 10 ml larutan natrium hidroksida 67% ke dalam alat destilasi, bilas dengan 5 ml air suling.

8. Alirkan uap melewati alat destilasi selama 5 menit. Pada saat itu destilat mulai keluar.

9. Diturunkan labu penampung sehingga kondensor tepat diatas larutan dan destilasi dilanjutkan beberapa menit lagi. Dibilas ujung kondensor dengan air suling. 10. Destilat segera dititrasi dengan larutan standar asam sulfat 0,01 N menggunakan

mikroburet 10 ml. Titik akhir titrasi ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi ungu muda.

11. Untuk membuat blanko, dilakukan cara yang sama dengan semua pereaksi tanpa contoh karet.

3.3.7. Penetapan Kadar Zat Menguap [ISO 248-1991 (E)].

1. Dikeluarkan contoh uji untuk penetapan kadar zat menguap.

2. Dipotong dan ditimbang 10 gram dengan ketelitian mendekati 0,1 mg.

3. Ditipiskan dengan gilingan laboratorium hingga tebalnya mencapai maksimum 1,5 mm.

4. Digunting lembaran tipis contoh uji tersebut menjadi potongan kecil berukuran 2,5 x 2,5 mm, selanjutnya dimasukkan ke dalam cawan yang telah dipanaskan ke dalam oven pada suhu 100oC dan telah diketahui bobotnya.

(53)

5. Cawan berikut karet kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 100 ± 3oC selama 2-3 jam (sampai bobot tetap). Didinginkan di dalam desikator sampai suhu kamar (±30 menit) kemudian ditimbang kembali.

3.3.8. Pengujian Viskositas Mooney [ISO 289-1985 (E)]

1. Dihidupkan alat viskometer sekurang-kurangnya 1 jam untuk pemanasan. 2. Dihidupkan kompressor dan buka krannya hingga tekanan mancapai 75 psi. 3. Ditutup plat stator atas dengan menekan kedua tombol hijau sampai lampu

indikator menyala.

4. Dihidupkan kontrol heater (pada posisi on). 5. Dihidupkan boost heater (pada posisi on).

6. Diatur regulator sehingga suhu stator atas dan stator bawah stabil pada 100±0,5°C

7. Dibuka stator atas dengan menekan tombol merah.

8. Digunakan rotor L untuk pengujian karet mentah yang kemudian dimasukan ke dalam lubang yang terdapat pada stator bawah. Selanjutnya ditutup kembali stator atas.

9. Ditunggu selama 5 - 10 menit sampel suhu stabil kembali.

10. Motor dijalankan dan diperiksa titik 0 pada skala mikrometer. Bila tidak tepat atur titik nol tersebut.

11. Dibuka plat stator atas dengan menekan tombol merah.

12. Dikeluarkan rotor dengan menekan handle ke bawah dan digunakan sarung tangan untuk mengambil rotor yang panas tersebut.

13. Ditusukkan rotor ke contoh karet pertama yang telah diberi lubang dengan gunting atau alat lain, kemudian rotor bersama dengan contoh karet dimasukkan ke stator bawah.

14. Contoh kedua diletakkan tepat diatas rotor.

(54)

36

17. Nilai viskositas dibaca pada alat penunjuk setelah 4 menit.

18. Dimatikan motor kemudian buka stator atas dan rotor beserta contoh karet dikeluarkan.

Pencatatan Hasil Pengujian

Nilai Viskositas Mooney dinyatakan sebagai berikut :

Bila mikrometer menunjukkan skala misalnya: 63, maka viskositas Mooney dilaporkan sebagai berikut : 63 mL (1 + 4 )' 100°C.

1. Angka Viskositas Mooney (M)

2. Ukuran Rotor yang digunakan untuk karet mentah (L)

3. Waktu pemanasan pendahuluan (pre-heating) selama satu menit (1'). 4. Waktu pengujian selama empat menit (4') .

5. Suhu pengujian (I00°C)

3.3.9. Penetapan Plasticity Retention Index [ISO 2930-1991 (E)]

1. Digiling contoh uji seberat 15-25 g (uraian 8.1.2.) maksimum 3 kali dengan gilingan laboratorium yang telah diatur sehingga kedua rolnya berputar tanpa fiksi.

2. Celah rol diatur sedemikian rupa sehingga lembaran karet yang dihasilkan mempunyai ketebalan antara 1,6-1,8 mm. Apabila setelah 3 kali gilingan diperoleh lembaran karet dengan ketebalan tidak sesuai dengan syarat yang telah ditentukan, maka atur kembali celah roll dan gunakan contoh uji baru untuk digiling.

3. Lembaran karet yang dihasilkan tidak boleh berlubang dan mempunyai ketebalan yang merata setiap bagian. Lembaran tersebut kemudian dilipat 2 dan ditekan dengan telapak tangan. Selanjutnya dipotong dengan wallace punch sebanyak 6 potongan uji dengan urutan seperti Gambar 3.1.

(55)

Gambar 3.2. Contoh Potongan Uji Untuk Plastisitas

4. Dipotong uji (1) untuk pengukuran plastisitas awal dan dipotong uji (2) untuk pengukuran plastisitas setelah pengusangan. Potongan uji harus mempunyai ketebalan antara 3,2-3,6 mm (ketelitian 0,01 mm) dengan garis tengah ± 13 mm. 5. Diletakkan potongan uji untuk pengukuran plastisitas setelah pengusangan diatas

tatakan contoh dan masukkan kedalam oven pada suhu 140°C ± 0,2°C selama 30 menit.

6. Setelah dikeluarkan kemudian didinginkan sampai suhu kamar.

7. Pada pengukuran platisitas wallace, diletakkan potongan uji diantara 2 lembar kertas rokok yang berukuran 40 mm x 35 mm di atas piringan plastimeter, kemudian tutup piringan plastimeter tersebut. Setelah ketukan pertama piringan bawah akan bergerak ke atas selama 15 detik dan menekan piringan atas, dan setelah ketukan kedua berakhir dicatat sebagai nilai pengukuran plastisitas. 8. Angka yang dicatat adalah angka yang ditunjuk oleh mikrometer/display pada

waktu berhenti begerak.

Catatan :

1. Plastimeter Wallace harus selalu diperiksa dengan mengikuti buku petunjuk Wallace.

2. Pemeriksaan cepat adalah dengan menggunakan karet viskositas mantap (CV) dilakukan dengan cara :

a. Segera setelah kalibrasi beban selesai dilakukan yaitu untuk meyakinkan bahwa kalibrasi telah dilaksanakan dengan benar.

1

2 2

2 1

(56)

38

b. Satu kali setiap hari penggunaan untuk meyakinkan bahwa plastimeter masih berfungsi dengan baik. Apabila dijumpai adanya penyimpangan maka kalibrasi tersebut di atas harus segera dilakukan.

3. Kertas rokok dengan ukuran 70 mm x 40 mm digunting menjadi 2 potong yang sama. Tidak dibenarkan menggunakan potongan kertas rokok tersebut dengan hanya melipat dua saja atau memotong kertas rokok menjadi tiga.

4. Oven untuk pengusangan tidak boleh diisi terlalu banyak potongan uji, karena hal ini dapat mengganggu keseragaman suhu di dalam oven tersebut. Jumlah potongan uji yang diusangkan hendaknya dijaga agar selalu sama pada setiap pengusangan.

5. Suhu oven agar selalu diperiksa sebelum potongan uji dimasukkan ke dalam oven, hal ini untuk meyakinkan bahwa suhu telah stabil pada 140oC sekurang-kurangnya selama 5 menit.

6. Nilai tengah dari tiga hasil pengujian plastisitas dapat diambil apabila selisih setiap hasil pengujian tidak lebih dari 3 satuan.

(57)

Gambar 3.3. Flowchart Penelitian Penambahan Asam Formiat

Asam Formiat Karet Cair

(Lateks segar)

Koagulum karet alam

Processing Two Roll Mill

Rubber Sheet

Kadar abu Kadar

kotoran Kadar N

Plastisitas Wallace Kadar zat

menguap

Gambar

Tabel : 2.2 Skema Persyaratan Mutu
Gambar 2.3.Hidrolisa Protein (Winarno, 1989)
Tabel 2.3 Komposisi Kimia Asap Cair (Sumber: Maga, 1988)
Gambar 3.1. Alat Pembuat Asap Cair, (a) Reakor asap cair, (b) kondensor dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis (roots) yang dapat ditangkap dari teks berita tersebut yaitu pemerintah mengambil kebujakan yang salah yaitu melakukan barter petugas DKP yang ditahan Polisi

Daftar Sidik Ragam Persentase Pupa S.inferens Menjadi Imago.. SK Db JK KT

[r]

Maka kesimpulan yang di dapat dari tulisan ilmiah ini yaitu penunjuk waktu digital jam, menit dan detik yang dapat diatur dan dikendalikan pada mikrokontroler AT89S52 yang

Berdasarkan hasil penelitian ini bahwa dengan perubahan tutupan lahan berupa hutan menjadi lahan pertanian meningkatkan rasio runoff sebesar 0,3%, hal ini berkaitan dengan

Apa hasil yang dapat diperoleh dari metode Kromatografi Lapis..

Bagi perusahaan konstruksi bangunan, maka sumber utama penghasilannya adalah pelaksanaan pekerjaan bangunan yang didapatkan dari kemenangan tender. Adapun cara-cara

M ETODOLOGI PENELI TI AN.. HASI L PENELI