• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

KABUPATEN BREBES

EDI FAJAR PRAHASTIANTO C24050625

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

ii

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, April 2010

(3)

iii

Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Dibawah bimbingan Agustinus M. Samosir dan Sigid Hariyadi.

Ekosistem mangrove merupakan komunitas pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis vegetasi mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove tersebut memiliki beberapa manfaat, namun manfaat yang paling penting adalah kaitannya terhadap perikanan pesisir, baik budidaya maupun nonbudidaya (tangkap). Tujuan penelitian ini untuk mengkaji kondisi mangrove, produksi ikan di kawasan mangrove dan kemungkinan adanya hubungan antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan dan produksi ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes.

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Grinting yang merupakan sebuah desa pesisir yang terletak di Pantai Utara Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Penelitian dilakukan selama lima bulan, yaitu mulai dari bulan Juli – November 2009. Data yang dikumpulkan berupa vegetasi mangrove dominan, kualitas perairan dan produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya). Analisis data diamati dengan uji statistik F untuk melihat perbedaan secara nyata antar Kanal. Kemudian dilakukan analisis komponen utama (principle componenet analysis/PCA) untuk melihat kedekatan hubungan dari parameter yang diuji dan mereduksi variabel yang paling berpengaruh.

Berdasarkan hasil uji, kondisi mangrove di tiap Kanal memperlihatkan perbedaan yang nyata dan sebagian besar didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Produksi ikan nonbudidaya juga memiliki perbedaan yang nyata pada tiap Kanal dan memiliki korelasi positif terhadap keberadaan mangrove. Hal ini berarti peningkatan ukuran mangrove akan diikuti pula oleh peningkatan dari produksi ikan nonbudidaya. Diduga pada lingkungan perairan pesisir yang bermangrove, kesediaan makanan dan nutrient (kesuburan) tinggi sehingga mampu menunjang produksi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Sementara produksi ikan budidaya tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata tiap Kanal dan memiliki korelasi negatif terhadap keberadaan mangrove. Hal ini diduga keberadaan mangrove dapat menyebabkan penutupan dasar tambak sehingga menghalangi tumbuhnya klekap yang menjadi makanan alami ikan bandeng di tambak. Sedangkan pembukaan lahan mangrove untuk kegiatan budidaya dapat mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove. Selain itu terdapat adanya hubungan yang menjelaskan kondisi mangrove yang mampu menghasilkan produksi ikan secara optimal. Namun perbandingan luasan mangrove dengan tambak perlu adanya kajian lebih lanjut.

(4)

KEBERADAAN MANGROVE DAN PRODUKSI IKAN

DI DESA GRINTING, KECAMATAN BULAKAMBA,

KABUPATEN BREBES

EDI FAJAR PRAHASTIANTO C24050625

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(5)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul : Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes

Nama Mahasiswa : Edi Fajar Prahastianto Nomor Pokok : C24050625

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc NIP. 19611211 198703 1 003 NIP. 19591118 198503 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan,

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc. NIP 19660728 199103 1 002

(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Juli hingga Novenber 2009 dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua tercinta yang telah mendoakan serta mengeluarkan biaya agar penulis dapat menyelesaikan masa perkuliahan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku komisi pendidikan S1 dan dosen pembimbing pertama serta Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua dan pembimbing akademik atas bimbingan, masukan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,

dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Sehingga penulis mengharapkan adanya kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini agar bermanfaat untuk

berbagai pihak.

.

Bogor, April 2010

(7)

vii

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ir. Agustinus M Samosir, M.Phil selaku ketua komisi pendidikan dan pembimbing skripsi I. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc selaku pembimbing skripsi II dan pembimbing akademik yang telah bersabar dan memberikan banyak arahan serta masukan kepada penulis hingga penyelesaian skripsi.

2. Bapak H. subandi (Dinas Kehutanan Kabupaten brebes), bapak Dadi fakur (Penyuluh Lapang Dinas Kehutanan kabupaten Brebes), bapak Masruri (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes), bapak Warsud (Ketua

kelompok Nelayan “Saprana Jaya” Desa Grinting) dan bapak H. Zaenal (Ketua Kelompok Tani Hutan “SPKP” desa Grinting) atas kerja sama yang

diberikan serta bapak Saroni (Kepala Desa Grinting) atas izin yang diberikan untuk melakukan penelitian di desa Grinting.

3. Keluarga tercinta, Bapak, Ibu, Adik-adikku (Sari dan Ruli) serta saudara-saudara keluarga besar atas doa, kasih sayang, dukungan serta motivasi yang diberikan.

4. Para staf Tata Usaha Manajemen Sumberdaya Perairan terutama Mba Widar, Bagian Produktivitas dan Lingkungan (Bu Ana, Kak Budi dan Mas

Adon) serta seluruh civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis.

(8)

viii

Penulis dilahirkan di Semarang, Jawa tengah pada tanggal 17 Juni 1987 dan penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Isnaeni Edi Djumantoro dan Faizah. Pendidikan formal penulis dimulai dari SDN Mangkukusuman 7 Kota Tegal (1999), SMP Negeri 2 Kabupaten Brebes (2002) dan SMU Negeri 1 Kabupaten Brebes (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Setelah melewati Tahap Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan penulis pernah menjadi Asisten Praktikum

Mata Kuliah Ekologi Perairan dan Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Perikanan periode 2007/2008. Penulis juga aktif dalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota divisi Minat dan Bakat HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Peraiaran) periode 2006/2007 dan 2007/2008. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul

“Keberadaan Mangrove dan Produksi Ikan di Desa Grinting, Kecamatan

(9)

ix

2.1. Karakteristik Ekosistem mangrove di Jawa Tengah ... 4

2.2. Mangrove dan Perikanan Nonbudidaya (Tangkap) ... 5

2.3. Mangrove dan Perikanan Budidaya ... 7

3.3.1. Pengumpulan data vegetasi mangrove ... 16

3.3.2. Pengumpulan data produksi ikan ... 17

(10)

x

4.2.3. Kondisi lingkungan (kualitas air dan kesuburan) ... 30

4.2.4. Analisis komponen utama ... 34

4.2.5. Hubungan mangrove terhadap produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya) ... 36

4.3. Pembahasan ... 37

4.3.1. Kondisi mangrove dan perikanan ... 37

4.3.2. Implikasi penelitian bagi pengelolaan Ekosistem di kawasan pesisir Desa Grinting ... 45

4.3.2.1. Rehabilitasi pada areal jalur hijau mangrove .... 46

4.3.2.2. Rehabilitasi pada areal di luar jalur hijau mangrove ……… 46

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

6.1. Kesimpulan ... 48

6.2. Saran ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(11)

xi

(12)

xii

Halaman 1. Produksi ikan pantai dilihat berdasarkan perbedaan kondisi

ekosistem mangrove ... 3

2. Beberapa manfaat keberadaan mangrove ... 6

3. Aliran energi pada ekosistem mangrove ... 7

4. Bentuk tambak ramah lingkungan (pola silvofishery) ... 8

5. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery ... 9

6. Peta lokasi penelitian di Desa Grinting ... 14

7. Lokasi titik sampling di Kanal I, II dan III ... 15

8. Tata cara pengamatan vegetasi mangrove ... 17

9. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan ... 22

10. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan mata pencaharian ... 22

11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting ... 25

12. Kondisi vegetasi mangrove di areal pertambakan ... 25

13. Struktur organisasi Kelompok Tani Hutan Desa Grinting ... 26

14. Jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal ... 28

15. Produksi ikan rata-rata yang diperoleh petani tambak dan nelayan di kawasan pesisir Desa Grinting ... 29

16. Kondisi lingkungan (kualitas air) di dalam tambak ... 32

17. Kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) ... 33

18. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan dalam tambak dan produksi ikan budidaya ... 35

19. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak dan produksi ikan nonbudidaya ... 36

(13)

xiii

Halaman

1. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ... 53

2. Lokasi penelitian di Kanal I ... 54

3. Lokasi penelitian di Kanal II ... 55

4. Lokasi penelitian di Kanal III ... 56

5. Lokasi plot (transek) pengamatan vegetasi mangrove ... 57

6. Lokasi titik sampling pengukuran kualitas air ... 58

7. Gambar beberapa kegiatan yang terdapat di lokasi ... 59

8. Hasil analisis PCA dan matriks korelasi antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di dalam tambak dan produksi ikan budidaya ... 60

9. Hasil analisis PCA dan matriks korelasi antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) dan produksi ikan nonbudidaya ... 61

10. Hasil analisis uji statistik terhadap perbedaan jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal di kawasan pesisir Desa Grinting, Kabupaten Brebes ... 62

(14)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut,

hutan payau, atau hutan bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove,

yaitu jenis Rhizopora spp. Oleh karena itu, hutan mangrove kemudian ditetapkan sebagai nama baku untuk mangrove forest (Nuhman, 2004). Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur (Bengen, 2001). Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem utama penyusun wilayah pesisir tropis selain pelagis estuaria, padang lamun dan terumbu karang.

Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya hutan mangrove yang besar. Sekitar 61.250 km2 atau sepertiga mangrove dunia terdapat di Asia Tenggara, dimana 42.550 km2 terdapat di Indonesia (Spalding et al., 1997 in Setyawan et al., 2003). Namun keberadaan hutan mangrove tersebut mengalami penurunan dari segi kualitas maupun kuantitas dari tahun ke tahun. Pada tahun 1982 hutan mangrove di Indonesia tercatat seluas 4,25 juta ha, sedangkan pada tahun1993 menjadi 3,73 juta ha, sehingga dalam kurun waktu 11 tahun tersebut hutan mangrove telah berkurang seluas 0,52 juta ha (Onrizal & Kusmana, 2008). Sumber lain mengatakan bahwa kecepatan penurunan hutan mangrove mencapai 530.000 ha per tahun (Anwar dan Gunawan, 2006).

Dahuri (2003) menyebutkan bahwa faktor penggunaan lahan mangrove untuk budidaya tambak memberikan kontribusi terbesar bagi penurunan luas dan

(15)

Di Indonesia pembuatan tambak pada awalnya dimulai di pantai utara jawa, dimana mendorong perusakan mangrove secara besar-besaran. Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran pantai utara jawa menyebabakan perubahan vegetasi muara secara nyata. Sehingga keberadaan ekosistem mangrove hanya tersisa pada tempat-tempat yang sangat terisolasi atau ditanam di tepi tambak. Hal ini terjadi pada daerah Indramayu, Brebes, Pekalongan, Demak, Pati, Rembang, Lamongan, Gresik dan Situbondo (Setyawan, 2003).

Sejalan dengan hal di atas perlu diupayakan pengelolaan hutan mangrove yang memperhatikan lingkungan, karena peranan hutan mangrove dalam menunjang kegiatan perikanan sangat nyata. Hutan mangrove memiliki manfaat yang penting bagi sumberdaya ikan, mangrove sebagai tempat untuk memijah (spawning), peremajaan (nursery) dan mencari makan (feeding) bagi beberapa jenis sumberdaya ikan. Sehingga keberadaan dan kelestarian hutan mangrove perlu dijaga agar manfaat yang diberikan dapat dioptimalkan dan terhindar dari kerusakan yang lebih besar.

1.2 Rumusan Masalah

Mangrove melalui serasah yang dihasilkannya merupakan landasan penting bagi keberadaan sumberdaya ikan di kawasan pesisir. Produksi sumberdaya ikan pesisir dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ikan budidaya dan nonbudidaya. Produksi ikan kawasan pesisir tidak terlepas pengaruh dengan produktifitas perairan daerah tersebut. Produktifitas yang tinggi tentunya akan menghasilkan produksi yang tinggi pula. Produktifitas perairan dapat dilihat dari beberapa parameter kondisi lingkungan (kualitas perairan), sedangkan keberadaan mangrove diindikasikan dapat mempengaruhi kondisi lingkungan di daerah tersebut.

Secara ilmiah nilai ekologi dari suatu ekosistem mangrove dapat dilihat dari beberapa komponen, yaitu komponen biotik (vegetasi mangrove itu sendiri dan sumberdaya ikan baik budidaya maupun nonbudidaya) dan komponen abiotik (kualitas air baik fisika, kimia maupun biologi). Namun keberadaan mangrove saat ini telah banyak mengalami penyusutan dari tahun ke tahun, sehingga akan

(16)

mangrove dengan kondisi yang berbeda (rapat, sedang dan jarang) baik kerapatan maupun penutupannya, diduga akan memiliki nilai atau pengaruh yang berbeda terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya.

Sehingga pengelolaan terhadap ekosistem mangrove perlu dilakukan agar manfaat yang diberikan pohon mangrove tersebut dapat terjaga dan diharapkan dapat meningkatkan produtifitas perairan sekitar. Berdasarkan ilustrasi di atas secara diagramatik rumusan masalah tersebut disajikan pada gambar 1 di bawah ini.

Rapat

kualitas air Budidaya Kondisi Mangrove Sedang dan Produksi

kesuburan ikan Nonbudidaya Jarang

Gambar 1. Kerangka pemikiran bagaimana mangrove mempengaruhi produksi ikan di kawasan pesisir

1.3 Tujuan

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan :

a. Mengkaji kondisi ekosistem mangrove di Desa Grinting b. Mengkaji produksi ikan kawasan mangrove di Desa Grinting

(17)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah

Macnae (1968) in Noor, et al., (1999), mengatakan bahwa mangrove berasal dari kata mangue/mangal (Portugish) dan grove (English). Dalam bahasa Portugis, kata mangrove digunakan untuk individu jenis tumbuhan dan kata

mangal untuk komunitas hutan yang terdiri atas individu-individu jenis mangrove tersebut. Tomlinson (1986) in Setyawan (2003) mengklasifikasikan vegetasi mangrove menjadi mangrove mayor, mangrove minor dan tumbuhan asosiasi.

Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola zonasi, zonasi tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut (Noor et al., 1999). Secara umum ekosistem mangrove di Indonesia terbagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dengan sebagian besar terletak di Papua, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Jawa-Bali dan Nusa Tenggara (Setyawan, 2003).

Ekosistem mangrove di Jawa tersebar di pesisir Jawa barat, jawa Tengah dan Jawa timur. Sebagian besar ekosistem mangrove tersebut termasuk ekosistem mangrove di pantai utara Jawa Tengah, terbentuk pada dataran lumpur di muara-muara sungai. Namun nilai penting ekosistem mangrove di kawasan pantai utara Jawa Tengah lebih kecil dibanding pada pantai utara kedua propinsi tetangganya. Hal ini dikarenakan luas wilayahnya yang jauh lebih sempit dan pendeknya sungai-sungai yang bermuara ke pantai (Setyawan, 2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setyawan et al (2005), secara umum terdapat 55 spesies tumbuhan mangrove, yang tergolong kedalam 27

(18)

2.2 Mangrove dan Perikanan Nonbudidaya (Tangkap)

Daerah pertumbuhan mangrove merupakan suatu ekosistem yang spesifik, hal ini disebabkan adanya proses kehidupan biota (flora dan fauna) yang saling berkaitan. Suatu hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove. Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan produksi udang tersebut (Martosubroto & Naamin,

1977).

Kemudian Kawaroe et al (2001), menjelaskan bahwa keberadaan

mangrove dengan kondisi yang baik memberikan kontribusi yang besar terhadap keberadaan juvenil ikan. Sehingga menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove dapat mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, khususnya bagi sumberdaya ikan di kawasan tersebut. Hal ini juga diungkapkan oleh Purwoko (2005) in Onrizal dan Kusmana (2008), bahwa kerusakan mangrove dapat menyebabkan penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang berada disekitar hutan mangrove.

Primavera dan Lebata (1995) menambahkan bahwa lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang, hal ini memberikan kenyamanan bagi udang karena pada jenis tertentu seperti Metapenaeus monoceros memiliki kebiasaan maenggali (burrowing). Sedangkan kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak. Beberapa jenis dari fitoplankton merupakan makanan yang penting bagi beberapa jenis ikan, khususnya udang. Dinoflagellata dan diatom merupakan makanan yang penting bagi udang, khususnya dari jenis Metapenaeus sp (Rathod & Kusuma, 2006). Sementara dalam kolam budidaya jenis fitoplankton tersebut dimanfaatkan ikan bandeng sebagai pakan alaminya (Vannucci, 1998).

Berdasarkan beberapa penelitian di atas dapat dijelaskan bahwa ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan antara darat dan laut yang dikenal

(19)

rantai makanan di suatu perairan, yang dapat menampung kehidupan berbagai jenis ikan, udang dan moluska (Pramudji, 2001). Terkait manfaatnya secara ekologis, di dalam ekosistem mangrove terdapat adanya aliran energi yang tersusun berupa rantai makanan (Gambar 3). Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, melainkan serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang, dan lain sebagainya) (Bengen, 2001).

Bagian-bagian partikel daun yang kaya akan protein ini akan dirombak oleh koloni-koloni bakteri dan seterusnya akan dimakan oleh ikan-ikan kecil. Perombakan partikel daun ini akan berlanjut terus sampai menjadi partikel-partikel yang berukuran sangat kecil (detritus) dan selanjutnya akan dimakan oleh hewan-hewan pemakan detritus, seperti moluska dan krustecea kecil. Selama perombakan ini substansi organik terlarut yang berasal dari reruntuhan mangrove sebagian akan dilepas sebagai materi yang berguna bagi fitoplankton dan sebagian lagi akan diabsorbsi oleh partikel sedimen yang menyokong rantai makanan

(Soeroyo, 1987). Sementara kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton (Nontji, 1984 in Zuna, 1998).

(20)

Gambar 3. Aliran Energi Pada Ekosistem Mangrove (Lear and Tunner, 1977 in Soeroyo, 1987)

2.3 Mangrove dan Perikanan Budidaya

Dalam kegiatan budidaya salah satu manfaat mangrove adalah dapat digunakan untuk tandon yang difungsikan sebagai biofilter alami. Mangrove dapat menjebak dan mendaur ulang berbagai bahan organik, logam berat dan bahan kimia lainnya. Mangrove juga dapat menstabilkan konsentrasi NO3-N dan PO4-P dan juga mampu menghambat Vibrio spp (Gunarto et al, 2003). Sehingga mangrove dapat memperbaiki kualitas air tambak. Namun dalam perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk dijadikan kegiatan budidaya, yaitu untuk memperluas lahan pertambakan dengan tujuan

(21)

Pada dasarnya konversi hutan mangrove menjadi tambak dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu tambak terbuka dan tambak hutan (Natharani, 2007). Sistem tambak terbuka merupakan suatu sistem tambak dengan hutan mangrove seluruhnya ditebang. Sedangkan sistem tambak hutan merupakan sistem pertambakan yang mengkombinasikan konservasi hutan mangrove dengan pembukaan lahan tambak. Sistem tambak hutan ini merupakan suatu aplikasi pemanfaatan ekosistem mangrove untuk dijadikan area tambak ramah lingkungan (Gambar 4) yang memadukan pohon atau hutan (sylvo) dengan budidaya perikanan (fishery). Tambak silvofishery dapat mengakomodasi tujuan rehabilitasi ekosistem pesisir secara luas tanpa mengurangi manfaatnya secara ekonomi (www.wetland.or.id).

Manfaat mangrove dalam tambak silvofishery diantanya adalah, memperkuat kontruksi pematang tambak oleh akar-akar mangrove, petambak dapat menggunakan daun mangrove sebagai pakan ternak, kualitas air tambak dapat menjadi lebih baik, pematang nyaman dipakai para pejalan kaki, meningkatkan keanekaragaman hayati (termasuk bibit ikan alami dan kepiting)

dan terciptanya sabuk hijau di kawasan pesisir (www.wetland.or.id).

Menurut Sofiawan (2000) in Puspita et al (2005), terdapat beberapa tipe tambak pada sistem silvofishery. Diantaranya adalah (1) tipe empang parit

tradisional, (2) tipe komplangan, (3) tipe empang terbuka, (4) tipe kao-kao dan (5) tipe tasik rejo. Namun kegiatan rehabilitasi dengan pola tersebut tentunya tergantung dari kondisi lahan yang akan dikonversi, sebab tiap pola memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bentuk tipe atau model tambak pada sistem silvofishery dapat dilihat pada Gambar 5.

(22)

(1) Tipe empang tradisional (2) Tipe Komplangan

(3) Tipe empang terbuka (4) Tipe kao-kao

(5) Tipe tasik rejo

Gambar 5. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Puspita et al, 2005)

Keterangan :

A. Pintu air (inlet/outlet) B. Empang

C. Saluran air

D. Pelataran tanaman lain

2.4 Kondisi Lingkungan

2.4.1 Suhu

Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan

(23)

menyebabkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air. Peningkatan suhu sebesar 10 0C menyebabkan konsumsi oksigen meningkat sekitar 2-3 kali lipat. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton di perairan adalah sebesar 20 0C - 30 0C(Effendi, 2003). Sedangkan untuk kehidupan ikan budidaya, dalam hal ini adalah komoditi bandeng, pada stadia juvenil dan dewasa batas maksimum suhu perairan adalah sebesar 39 0C dan 43 0C (Vannucci, 1998).

2.4.2 Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan air tergantung pada

warna dan kekeruhan. Sementara kekeruhan merupakan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh

bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang terlarut maupun yang tersuspensi, seperti lumpur, pasir halu atau plankton dan mikroorganisme lain (Effendi, 2003).

Sehubungan dengan kekeruhan tersebut, salah satu kekeruhan yang diharapkan di tambak adalah kekeruhan oleh kepadatan plankton. Apabila jenis yang dominan campuran Chlorella (warna air menjadi hijau) dan Diatomae (warna air coklat) sehingga keseluruhan warna air tambak menjadi coklat muda (hijau kecoklatan) akan sangat baik bagi kehidupan ikan yang dipelihara. Air dengan warna tersebut (kecerahan 30-40 cm) membuat ikan merasa aman, dan plankton-plankton nabati akan membantu menyerap senyawa yang berbahaya bagi ikan antara lain ammonia secara langsung dan nitrit secara tidak langsung (Buwono, 1992).

2.4.3 Salinitas

(24)

organisme air menjadi lambat. Karena sebagian besar energinya digunakan untuk proses osmoregulasi dalam usaha menjaga keseimbangan tekanan cairan tubuh dengan lingkungan (Poernomo, 1978 in Gunarto et al., 2003).

Menurut Kinne (1964) in Nur (2002), keragaman dan jumlah spesies organisme di perairan samudera akan mencapai maksimum pada kisaran salinitas 31-40%. Keanekaragaman dan jumlah spesies kemudian berturut-turut menurun

pada perairan tawar (salinitas kurang dari 0,5‰), perairan payau (salinitas

0,5-30‰), hypersaline (salinitas 41-80‰) dan brine water (salinitas lebih besar sari

80‰). Untuk larva udang dalam air hidup dengan salinitas antara 28-35 ppt (Boyd, 1991). Sedangkan untuk ikan bandeng bereproduksi pada perairan dengan salinitas antara 32-33 ppt. Namun ikan budidaya jenis bandeng mampu hidup pada salinitas yang tinggi yaitu pada kisaran nilai salinitas mencapai 87,25 ppt (Vannucci, 1998)

2.4.4 Derajat Kemasaman (pH)

Istilah pH berarti konsentrasi ion hidrogen di dalam air, lebih spesifik pH merupakan kondisi asam atau basa suatu perairan (Boyd, 1991). Dibidang perikanan derajat kemasaman (pH) perairan sangat menentukan dalam usaha budidaya ikan. Perairan dengan pH rendah akan berakibat fatal bagi kehidupan ikan, yaitu akan memperlambat laju pertumbuhan. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 – 8,5. Pada pH < 4, sebagian besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah (Effendi, 2003).

(25)

2.4.5 Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer (Effendi, 2003). Sumber oksigen di perairan dapat berasal dari difusi udara dan fotosintesis fitoplankton. Oksigen merupakan salah satu unsur yang penting di perairan alami yaitu sebagai pengatur proses-proses metabolisme serta sebagai indikator kualitas perairan. Selain itu kandungan oksigen terlarut di perairan dapat memberikan petunjuk tentang tingginya produktivitas primer suatu perairan (Nielsen,1979 in Nur, 2002).

Sementara fungsi oksigen di dalam tambak selain untuk pernafasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak

(Buwono, 1992). Terdapat suatu hubungan antara kadar oksigen dengan suhu, dimana semakin tinggi suhu maka kelarutan oksigen semakin berkurang. Peningkatan suhu sebesar 10C akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10%. Hampir semua organism akuatik menyukai kondisi dengan kelarutan oksigen > 5 mg/liter (Effendi, 2003).

2.4.6 Klorofil-a

Klorofil-a adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan (fitoplankton) yang mempunyai peran penting dalam berlangsungnya proses fotosintesis di perairan (Prezelin, 1981 in Sediadi & Edward, 2000). Klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton sehingga konsentrasi fitoplankon sering dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a. Semakin tinggi kandungan klorofil-a dalam perairan mengindikasikan bahwa semakin besar pula biomassa fitoplankton dalam perairan tersebut.

(26)
(27)

3.

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di pesisir utara Kabupaten Brebes, yaitu di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba. Secara geografis letak Kabupaten Brebes berada pada 108041’37’’ - 109011’92’’BT dan 6044’56’’ - 7020’51’’LS. Sedangkan letak lokasi penelitian dijasikan pada Gambar 6. Pengambilan data kualitas air dan kuisioner sebagai data penunjang dilaksanakan pada bulan Juli hingga November 2009. Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada bulan Juli, September dan November 2009. Sedangkan pengambilan data produksi perikanan dilakukan selama dua bulan yaitu pada bulan Oktober dan November 2009.

(28)

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian di Desa Grinting

(29)

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan selama penelitian meliputi tali rafia untuk membuat petak pengamatan (10x10 m2) vegetasi mangrove, meteran, penggaris, alat tulis dan kamera. Sedangkan alat dan bahan dalam pengambilan data parameter kualitas air disajikan pada Tabel 1 dibawah ini (Lampiran 1).

Tabel 1. Alat dan bahan yang digunakan dalam pengambilan data kualitas air

3.3 Teknik Pengumpulan Data

3.3.1. Pengumpulan data vegetasi mangrove

Pelaksanaan pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan pada saluran air (selanjutnya disebut sebagai Kanal) yang terdapat di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Pada lokasi tersebut terdapat tiga Kanal yang membagi areal pertambakan, dimana Kanal tersebut berfungsi sebagai irigasi pertambakan. Beberapa lokasi titik sampling penelitian disajikan pada Lampiran 2, 3 dan 4. Dalam setiap Kanal dibuat tiga plot (transek) pengamatan untuk dijadikan ulangan, setiap plot dibuat dengan menggunakan tali rafia berukuran 10x10 m2. Sehingga terdapat sembilan buah total plot amatan untuk pengumpulan data vegetasi mangrove. Secara skematis penentuan lokasi plot amatan untuk pengumpulan data vegetasi mangrove disajikan pada Lampiran 5.

Pengumpulan data vegetasi mangrove dilakukan dengan metode observasi lapangan (data primer), dengan cara mengamati vegetasi mangrove dominan yang

terdapat di sepanjang Kanal. Kemudian setelah diketahui jenis pohon mangrove dominan di kawasan tersebut, selanjutnya dihitung jumlah tegakan tiap plot pengamatan. Sementara perhitungan luasan mangrove yang terdapat di sepanjang Kanal dilakukan dengan menggunakan bantuan software ArcView GIS 3.2 terhadap citra landsat Kabupaten Brebes tahun 2008. Citra tersebut diperoleh dari

(30)

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008.

Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa tata cara pengamatan vegetasi mangrove dalam transek (Gambar 7). Untuk vegetasi mangrove tingkat pohon diamati pada luasan 10x10 m2, untuk vegetasi mangrove tingkat anakan diamati pada luasan 5x5 m2 dan untuk vegetasi mangrove tingkat semai diamati pada luasan 2x2 m2. Sementara vegetasi mangrove tingkat pohon merupakan mangrove dengan ciri-ciri dengan diameter batang ≥ 10 cm dan tinggi ≥ 1,5 meter. Vegetasi mangrove tingkat anakan merupakan mangrove dengan diameter batang < 10 cm

dengan tinggi ≥ 1,5 meter. Sedangkan vegetasi mangrove tingkat semai merupakan mangrove dengan tinggi < 1,5 meter (Onrizal & Kusmana, 2008).

Gambar 7. Tata cara pengamatan vegetasi mangrove

3.3.2. Pengumpulan data produksi ikan

(31)

Produksi nonbudidaya secara umum dilakukan pada daerah saluran air masuk (inlet) dalam tambak dengan menggunakan perangkap (bubu) atau langsung ditangkap dengan menggunakan jaring di sepanjang Kanal dan kawasan sekitar mangrove.

3.3.3. Pengumpulan data kualitas air

Berbeda halnya dengan pengumpulan data vegetasi mangrove, jumlah plot pengamatan pada pengambilan data kualitas air berjumlah delapan belas plot. Dimana pada setiap Kanal diambil tiga plot dan tiga petak tambak contoh untuk

dijadikan ulangan. Dengan demikian terdapat delapan belas lokasi pengumpulan data kualitas air yang dibedakan menjadi kondisi kualitas air di dalam tambak dan

kondisi kualitas air di luar tambak (di sepanjang Kanal). Secara skematik penentuan lokasi pengumpulan data kualitas air disajikan pada Lampiran 6.

Parameter yang diukur dalam kedelapan belas plot tersebut adalah parameter kualitas air yang meliputi kecerahan, suhu, salinitas, DO, pH, klorofil-a dan kedalaman. Dalam penelitian ini pengumpulan data DO dilakukan pada pagi hari sekitar pukul 05.30-06.30 WIB dengan menggunakan metode titrasi winkler. Kegiatan dilaksanakan pada pagi hari dengan tujuan untuk mendapatkan data kisaran DO minimum di lokasi penelitian. Sedangkan pengumpulan data kecerahan, suhu, salinitas, pH dan penyaringan sampel air (klorofil-a) dilaksanakan pada pukul 07.00-09.00 WIB. Selanjutnya analisis parameter klorofi-a dilakukan di Laboratorium Produktifitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.4 Analisis Data

3.4.1 Uji statistik F

(32)

Fhitung = =

keterangan :

JKK = jumlah kuadrat kolom (perlakuan) JKG = jumlah kuadrat galat

3.4.2 Analisis komponen utama (Principal Component Ananlysis/PCA)

Prosedur analisis komponen utama atau PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Salah satu keunggulan pengguanaan PCA dibanding dengan metode lain adalah dapat digunakan untuk segala kondisi data dan digunakan tanpa harus mengurangi jumlah variabel asal. Tujuan utama dalam penggunaan analisis komponen utama dalam suatu matriks data berukuran cukup besar diantaranya adalah (Bengen, 2000) :

a. Mengekstraksi informasi esensial yang terdapat dalam suatu tabel atau matriks data yang besar.

b. Menghasilkan suatu representasi grafik yang memudahkan interpretasi.

c. Mempelajari suatu tabel atau matriks dari sudut pandang kemiripan antara individu atau hubungan antar variabel.

(33)

sumbu. Sedangkan dari sudut pandang individu, analisis PCA didapat koordinat pada setiap sumbu, kualitas representasi titik individu dalam setiap grafik bidang dan grafik bidang yang memperlihatkan kemiripan antar titik individu. Perhitungan dalam analisis komponen utama (PCA) dapat dibantu dengan mengunakan software xl-stat di dalam Microsoft excel 2003.

Dalam analisis PCA terdapat pula matriks korelasi. Analisis korelasi biasanya digunakan dalam pengujian hipotesis yang bersifat asosiatif, yaitu dugaan adanya hubungan antar variabel dalam populasi. Korelasi merupakan angka yang menunjukkan arah dan kuatnya hubungan antar dua variabel atau lebih. Arah dinyatakan dalam bentuk hubungan positif dan negatif, sedangkan kuatnya hubungan dinyatakan dalam nilai besarnya koefisien korelasi. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai -1, kuatnya hubungan antar variabel dinyatakan dalam koefisien korelasi positif sebesar 1 dan koefisien korelasi negatif sebesar -1 sedangkan yang terkecil adalah 0 (nol) (Sugiyanto, 2004). Untuk melihat kekuatan hubungan dalam korelasi digunakan kriteria sebagai berikut (Hasan, 2003) :

• 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel

• 0 – 0,25 : Korelasi sangat lemah

• 0,25 – 0,5 : Korelasi cukup

• 0,5 – 0,75 : Korelasi kuat

• 0,75 – 0,99 : Korelasi sangat kuat

(34)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum 4.1.1 Letak dan luas

Lokasi penelitian terletak di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Desa Grinting merupakan salah satu desa yang berlokasi di kawasan pesisir Pantai Utara Kabupaten Brebes. Sumber data mengenai letak dan luas, kependudukan serta perekonomian Desa Grinting

diperoleh berdasarkan laporan monografi data statis dan dinamis Kabupaten Daerah Tingkat II Brebes Kecamatan Bulakamba tahun 2009.

Berdasarkan data tersebut Desa Grinting memiliki luas daerah sebesar 1.469,100 hektar, yang terbagi atas tanah sawah, tanah kering dan lain-lain. Untuk luas kawasan mangrove total di Desa Grinting diperkirakan sebesar kurang lebih sekitar 180,75 hektar atau sebesar 25,93% dari luas kawasan mangrove total di Kabupaten Brebes yaitu sebesar 697 hektar. Dengan kondisi 80,75 hektar berupa hamparan dan 100 hektar berupa wanamina. Keberadaan mangrove di Kabupaten Brebes terbagi di lima kecamatan, yaitu Kecamatan Brebes, Wanasari, Bulakamba, Tanjung dan Losari, dengan luasan terbesar berada di Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba (25,93%).

Sebagai salah satu desa yang berada di kawasan pesisir Pantai Utara Jawa, maka Desa Grinting memiliki potensi yang cukup besar dalam bidang perikanan, baik perikanan budidaya tambak maupun perikanan nonbudidaya. Luas kawasan daerah pertambakan tersebut sebesar 596,340 ha atau sebesar 40,59% dari luas total wilayah desa.

4.1.2 Kependudukan

Jumlah penduduk di Desa Grinting pada tahun 2009 adalah sebesar 15.317

(35)

sebanyak 2.783 orang atau sebesar 16% yang tidak tamat SD. Sedangkan tingkat pendidikan tertinggi yang paling banyak dimiliki penduduk Desa Grinting adalah lulusan SD yaitu 6.504 orang atau sebesar 38%. Selain itu, dilihat dari jenis mata pencahariannya penduduk Desa Ginting didominasi oleh buruh tani sebanyak 4.339 orang atau sebesar 40% serta petani dan peternak sebanyak 2.883 orang atau sebesar 27% (Gambar 9 dan 10).

Gambar 9. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan tingkat pendidikan

Gambar 10. Jumlah penduduk Desa Grinting berdasarkan mata pencaharian

4.1.3 Perekonomian

(36)

Berdasarkan data di atas, jumlah penduduk Desa Grinting didominasi oleh buruh tani dan petani atau peternak. Maka kegiatan usaha tani sebagian besar adalah lahan pertanian dengan berbagai jenis tanaman. Tanaman yang terdapat di Desa Grinting dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu tanaman primer dan sekunder. Tanaman primer sebagian besar berupa bawang merah dengan luas tanaman sebesar 13,105 hektar. Sayuran dengan luas tanaman 1,050 hektar, buah-buahan 0,75 hektar, ketela pohon 0,420 hektar dan jagung 0,370 hekar. Sedangkan tanaman sekunder hanya berupa tanaman kelapa, dengan jumlah 772 pohon dan jumlah produksinya sebanyak 10.057 buah kelapa. Sementara kegiatan pertambakan merupakan usaha tani utama di daerah tersebut, mengingat luas lahan pertambakan merupakan yang terbesar yaitu mencapai 40,59% dari luas total wilayah desa.

4.1.4 Status Pengelolaan Tambak dan Mangrove di Desa Grinting

Pada awalnya produksi perikanan budidaya masyarakat Desa Grinting didominasi oleh komoditas ikan bandeng, dengan pencapaian produksi rata-rata sekitar 3-5 kuwintal per hektar. Kemudian sekitar tahun 1984-1986 masyarakat

Desa Grinting diperkenalkan dengan jenis komoditas udang windu. Saat itu terjadi pencapaian produksi budidaya udang windu yang sangat pesat, baik melalui pola semi intensif maupun tradisional. Sehingga pada masa itu pencapaian produksi udang windu sangat mengesankan dan mengalami blooming dengan produksi

rata-rata sebesar 1 ton per hektar melalui pola semi intensif pada tahun pertama. Kemudian seiring berjalannya waktu produksi udang windu mengalami penurunan, yaitu pada tahun 1988 didapat hasil rata-rata sebesar 7,5 kuwintal per hektar dan pada tahun 1989 hanya didapat produksi rata-rata sebesar 3 kuwintal per hektar. Hingga akhirnya pada tahun 1990 produksi budidaya udang windu mengalami gagal panen.

(37)

ternyata ikan bandeng yang dibudiayakan tidak dapat mencapai ukuran yang diinginkan. Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk menangani kendala tersebut, agar kondisi lingkungan di sekitar menjadi subur kembali.

Pada tahun 1992, masyarakat melakukan kerja sama dengan Pemerintah Daerah melakukan berbagai kegiatan guna menanggulangi berbagai kendala tersebut. Kegiatan yang dilakukan adalah rehabilitasi lingkungan dengan penghijauan. Ada dua sasaran utama kegiatan, yaitu rehabilitasi lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat dan rahabilitasi kawasan tambak menjadi tambak wanamina atau tumpangsari. Pola tambak tumpangsari merupakan kombinasi antara tambak dengan kegiatan konservasi hutan mangrove. Sistem tambak tumpangsari pada prinsipnya bertujuan untuk perlindungan terhadap vegetasi mangrove dengan memberikan hasil lain dari segi perikanan.

Pemerintah Daerah melalui Dinas Kehutanan serta Dinas Kelautan dan Perikanan bersama masyarakat melakukan kegiatan penanaman vegetasi mangrove. Target awal penanaman vegetasi mangrove yaitu berada pada pesisir pantai, sungai, saluran air dan pelataran tambak. Namun hingga saat ini masih

terdapat pro dan kontra mengenai keberadaan mangrove dipelataran tambak. Perbedaan pendapat ini disebabkan adanya perbedaan pemahaman terkait dengan ekosistem mangrove. Sedangkan penanaman vegetasi mangrove di pesisir pantai

hingga saat ini masih belum berhasil dan mangalami kendala.

(38)

Gambar 11. Ilustrasi keberadaan vegetasi mangrove di Desa Grinting

Gambar 12. Kondisi vegetasi mengrove di areal pertambakan

Untuk menjaga keberadaan ekosistem mangrove agar tetap terjaga maka diperlukan suatu pengelolaan. Pemerintah daerah beserta instansi terkait dan

masyarakat setempat harus terlibat dalam upaya tersebut agar keberhasilan dapat dicapai. Karena keberhasilan atau kegagalan dari suatu kegiatan sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari seluruh stakeholder yang ada khususnya

(39)

2007 dibawah binaan Dinas Kehutanan dengan nama Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Desa Grinting.

Kelompok Tani Hutan ini sebagian besar beranggotakan para pemilik tambak. Tujuan utama dibentuknya Kelompok Tani Hutan ini adalah untuk melestarikan ekosistem hutan mangrove di kawasan pertambakan. Selain itu juga dengan dibentuknya kelompok tersebut diharapkan dapat menciptakan penyuluh-penyuluh swadaya mengenai ekosistem mangrove dan dapat mengajak masyarakat untuk menjaga lingkungan dan menghijaukannya. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok tersebut hingga kini diantaranya adalah penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh lapang dari Dinas Kehutanan, pengawasan terhadap ekosistem mangrove dari penebang liar, pembuatan papan larangan yang berkaitan terhadap ekosistem mangrove dan lain sebagainya (Lampiran 7).

Kemudian seiring berjalannya waktu kelompok tersebut bersama Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan Lembaga Hukum (Polsek) mengeluarkan suatu peraturan desa yang berkaitan dengan kelestarian ekosistem mangrove, yaitu Peraturan Desa (Perdes) No.III/01/2007. Perdes tersebut

mengacu pada Undang-Undang (UU) No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Sehingga dalam pelaksanaannya hingga kini diharapkan kelompok tersebut mampu memperlihatkan kemajuan dan

keberhasilan dalam upaya pelestarian lingkungan khususnya terhadap keberadaan ekosistem mangrove. Skema struktur Organisasi Kelompok Tani Hutan (KTH) SPKP Desa Grinting dapat dilihat pada Gambar 13.

Ketua BPD Kepala Desa

(40)

4.2 Hasil

4.2.1 Kondisi vegetasi mangrove

Vegetasi mangrove yang ditemukan pada lokasi penelitian didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Selain itu terdapat juga Avcennia marina dan Acanthus illicifolius, akan tetapi dalam jumlah yang relatif sedikit. Sehingga data yang digunakan berupa vegetasi mangrove dominan yaitu vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata. Keberadaan vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata yang mendominasi diduga karena jenis ini mampu memanfaatkan sumberdaya atau lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan setempat. Sehingga jenis ini mampu tumbuh lebih cepat khususnya pada daerah berlumpur yang tergenang (Suryawan, 2007).

Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah. Sementara untuk jenis A. marina mempunyai propagul berupa biji yang berkecambah, sehingga ketika matang dan jatuh ke tanah akan mengalami perkembangan sendiri atau menyebar karena terbawa air saat pasang. Pada lokasi

penilitian, penanaman vegetasi mangrove jenis R. mucronata lebih ditujukan untuk memperkuat tanggul-tanggul sungai atau saluran air (Kanal) serta tambak yang ada di lokasi tersebut.

(41)

Gambar 14. Jumlah tegakan rata-rata vegetasi mangrove tiap Kanal (individu/100m2).

Tabel 2. Luas mangrove tiap Kanal

4.2.2 Produksi ikan

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam penelitian ini terdapat dua jenis produksi ikan, yaitu produksi ikan budidaya dan produksi ikan nonbudidaya. Produksi ikan budidaya merupakan komoditas yang dipelihara di dalam tambak, dalam penelitian ini data yang dikumpulkan adalah jenis ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan budidaya dipanen pada satu musim tertentu, tergantung ukuran yang diinginkan oleh pemilik tambak. Dalam penelitian ini

tambak yang diambil data produksinya merupakan tambak yang memiliki masa pemeliharaan sekitar kurang lebih enam bulan. Sedangkan produksi ikan nonbudidaya atau ikan tangkapan merupakan komoditi yang ditangkap di alam dan tidak dipelihara di dalam tambak serta biasanya ditangkap setiap hari atau pada hari-hari tertentu oleh pemilik tambak maupun nelayan, dalam penelitian ini data yang diambil adalah jenis udang api-api (Metapenaeus spp). Udang ini ditangkap dengan menggunakan bubu yang dipasang disekitar pintu air atau ditangkap langsung oleh nelayan dengan menggunakan jaring disekitar Kanal atau kawasan mangrove. Hasil produksi ikan rata-rata pada tiap Kanal dapat dilihat pada Gambar 15.

Luas Panjang Kanal Mangrove (Ha) (meter)

Kanal I 3,991 835,69

Kanal II 4,566 881,85

Kanal III 3,329 921,89

(42)

Berdasarkan data yang diperoleh, produksi ikan budidaya rata-rata terbesar berada pada tambak yang terletak di Kanal III, dengan jumlah produksi rata-rata sebesar 232,67 Kg/Ha/musim. Sedangkan pada tambak yang terletak di Kanal I dan II diperoleh produksi rata-rata sebesar 202,22 Kg/Ha/musim dan 183,33 Kg/Ha/musim dengan produksi terendah berada pada tambak di Kanal II. Sementara untuk produksi ikan nonbudidaya yaitu komoditi udang api-api, pada kawasan sekitar Kanal I, II dan III diperoleh produksi rata-rata sebesar 2,70 Kg/hari, 3,99 Kg/hari dan 1,94 Kg/hari, dengan produksi rata-rata terbesar berada di Kanal II dan yang terendah berada di Kanal III. Berdasarkan hasil tersebut maka pada Kanal I, II dan III potensi produksi ikan budidaya total mencapai 604,67 Kg/ha/musim, 550 Kg/ha/musim dan 700 Kg/ha/musim. Sedangkan untuk ikan nonbudidaya memiliki potensi produksi sebesar 13,48 Kg/hari, 19,94 Kg/hari dan 9,70 Kg/hari.

(43)

4.2.3 Kondisi lingkungan (kualitas air dan kesuburan)

Pengambilan data kualitas air dilakukan sebanyak tiga kali selama lima bulan masa penelitian dan dilakukan di dua tempat, yaitu pada lingkungan pertambakan (di dalam tambak) dan pada saluran air atau Kanal (di luar tambak). Pengambilan data kualitas air ditujukan untuk mengetahui kondisi lingkungan pada saat masa pemeliharaan komoditas budidaya. Parameter kualitas air yang diukur meliputi kecerahan, salinitas, suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan klorofil-a. Kondisi kualitas air pada lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.

Kecerahan rata-rata di dalam tambak berkisar antara 25,33 - 45,86 cm. kondisi di luar tambak nilai kecerahan rata-rata berkisar antara 17,78 - 20,56 cm, dengan nilai kecerahan rata-rata tertinggi berada di Kanal III, sedangkan yang

terendah berada di Kanal II.

Salinitas rata-rata di dalam tambak pada tiap Kanal selama penelitian berkisar antara 42,33 - 50,44 ‰. Nilai rata-rata salinitas tertinggi terdapat pada

tambak di Kanal I yaitu sebesar 50,44 ‰, sedangkan nilai rata-rata salinitas

terendah berada pada tambak di Kanal II yaitu sebesar 42,33 ‰. Nilai salinitas

rata-rata di dalam tambak pada Kanal I, II dan III selama penelitian berkisar antara 48,7 - 51,3 ‰, 39,3 - 44,7 ‰ dan 37,3 - 49,3 ‰. Sementara untuk kondisi di luar tambak, Kanal I memiliki nilai salinitas rata-rata tertinggi sebesar 36,33‰ dan Kanal III memiliki nilai salinitas rata-rata terendah sebesar 31,11‰.

(44)

Kisaran nilai DO rata-rata selama penelitian untuk kondisi di dalam tambak yang berada pada Kanal I, II dan III adalah sebesar 1,90 - 3,79 mg/liter, 1,35 - 2,30 mg/liter dan 1,49 - 2,71 mg/liter. Dengan DO rata-rata tertinggi terdapat dalam tambak di Kanal I sebesar 2,62 mg/liter dan nilai rata-rata DO terendah terdapat dalam tambak di Kanal II sebesar 1,85 mg/liter. Sementara pada kondisi di luar tambak kisaran nilai DO rata-rata tertinggi terjadi pada Kanal II sebesar 2,76 mg/liter dan nilai terendah terdapat pada Kanal I sebesar 1,99 mg/liter. Nilai DO yang rendah diperoleh karena pada penelitian pengukuran kandungan DO dalam perairan dilakukan saat pagi hari (pukul 05.00 – 05.30). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai DO minimum, dengan asumsi bahwa ketersediaan oksigen di perairan telah dikonsumsi untuk proses repirasi pada saat sore hari menjelang malam hingga malam hari menjelang pagi.

Nilai pH air rata-rata di dalam tambak maupun di luar tambak selama penelitian pada tiap Kanal tidak menunjukkan perubahan yang besar dan memiliki kisaran pH rata-rata yang sama baik kondisi di dalam maupun di luar tambak, yaitu sebesar 7,44 - 7,72. Dengan nilai pH tertinggi terdapat dalam tambak di

Kanal I dan terendah terdapat dalam tambak di Kanal III. Sedangkan untuk kondisi di luar tambak pH tertinggi terdapat pada Kanal I dan terendah terdapat pada Kanal II.

(45)
(46)
(47)

4.2.4 Analisis komponen utama

Untuk melihat hubungan atau keterkaitan antara keberadaan mangrove terhadap hasil produksi budidaya beserta kondisi lingkungan di dalam tambak dapat digunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis/PCA). Dalam melihat hubungan tersebut digunakan sebanyak sembilan variabel, diantaranya adalah produksi budidaya (PB), luas mangrove (LM), kecerahan, salinitas, suhu, DO, pH, Klorofil-a dan kedalaman. Kualitas air yang digunakan merupakan kondisi lingkungan yang diukur di dalam tambak.

Hasil analisis dari PCA dapat menjelaskan kualitas informasi yang dijelaskan oleh dua komponen utama berdasarkan pada nilai eigenvaleu (akar ciri), eigenvalue merupakan besarnya keragaman data pada setiap komponen utama. Komponen utama pertama memberikan kontribusi sebesar 55% dalam menjelaskan keragaman data yang diamati dengan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 4,94. Sedangkan komponen utama kedua memberikan kontribusi sebesar 45% dalam menjelaskan keragaman data yang diamati dan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 4,06 sehingga kedua komponen tersebut memberikan kontribusi

sebesar 100% dari keragaman total, yang berarti bahwa PCA dapat menjelaskan data yang ada hingga 100% (Lampiran 7).

Gambar 18 menyajikan hubungan antar variabel-variabel yang diuji.

Semakin dekat posisi variabel terhadap sumbu komponen utama (dengan sudut ≤ 450), maka variabel tersebut memiliki korelasi terhadap variabel lainnya yang juga berdekatan dengan sumbu komponen utama yang sama atau sudut yang dibentuk

antar variabel ≤ 900

. Sedangkan perbedaan posisi atau koordinat (kuadran) menggambarkan arah korelasi (positif dan negatif). Berdasarkan Gambar 18 tampak bahwa keberadaan mangrove memiliki korelasi yang kuat terhadap hasil budidaya, akan tetapi arahnya berlawanan (korelasi negatif). Hal ini berarti apabila kegiatan budidaya meningkat maka akan mengakibatkan tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga mengakibatkan penurunan luas mangrove.

(48)

klorofil-a yang dapat menggambarkan biomassa fitoplankton dalam tambak, dapat meningkatkan produksi budidaya yaitu sebagai pakan alami. Sementara itu keberadaan vegetasi mangrove dapat memberikan pengaruh terhadap beberapa variabel lingkungan. Matriks korelasi memberikan nilai hubungan antar variabel yang diuji (Lampiran 8).

Gambar 18. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di dalam tambak dan produksi ikan budidaya

Selain itu, analisis komponen utama juga menggambarkan hubungan antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak (Kanal) dan produksi ikan nonbudidaya. Hasil analisis PCA memberikan kualitas informasi yang didapat dari dua komponen utama berdasarkan nilai eigenvaleu (akar ciri). Komponen utama pertama didapat dengan nilai eigenvaleu yang diberikan sebesar 5,57 dan memberikan kontribusi informasi sebesar 62%. Sementara komponen utama kedua diperoleh dengan nilai eigenvaleu sebesar 3,43 dengan memberikan kontribusi informasi sebesar 38% sehingga kedua komponen utama tersebut dapat menjelaskan data yang ada sebesar 100% yang berarti PCA dapat memberikan informasi dari data sebesar 100% (Lampiran 9).

(49)

produksi ikan nonbudidaya. Selain itu terlihat adanya hubungan antara produksi ikan nonbudidaya, kandungan oksigen terlarut (DO) dan klorofil-a. Tingginya produksi ikan nonbudidaya dapat dipengaruhi oleh kandungan DO dan klorofil-a dalam perairan. Karena kedua parameter tersebut dapat menggambarkam kesuburan atau produktifitas suatu perairan. Sementara kandungan DO dan klorofil-a dalam perairan dapat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara yang berasal dari dekomposisi serasah yang dihasilkan pohon mangrove di daerah tersebut. Maka keberadaan mangrove dapat mempengaruhi kondisi lingkungan sekitarnya, matriks korelasi menggambarkan nilai hubungan antar variabel yang disajikan pada Lampiran 9.

Gambar 19. Hasil analisis komponen utama antara kondisi mangrove, kondisi lingkungan di luar tambak dan produksi ikan nonbudidaya

4.2.5 Hubungan mangrove terhadap produksi ikan (budidaya dan nonbudidaya)

Berdasarkan data-data di atas dapat pula digambarkan mengenai hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan budidaya maupun nonbudidaya (Gambar 20). Pada Gambar tersebut data produksi ikan yang digunakan merupakan data produksi ikan rata-rata tiap tahun. Sementara data luasan mangrove tiap Kanal diplotkan terhadap luasan areal kawasan pesisir yang diperkirakan masih dipengaruhi oleh keberadaan mangrove di kawasan tersebut.

(50)

Penetuan luasan kawasan tersebut dibantu dengan menggunakan software Arc View GIS 3.2 terhadap citra landsat Kabupaten Brebes tahun 2008.

Berdasarkan Gambar 20, peningkatan luasan mangrove akan diikuti oleh peningkatan produksi ikan nonbudidaya. Sementara peningkatan kegiatan budidaya untuk meningkatkan produksi dapat menyebabkan terjadinya tekanan terhadap keberadaan mangrove sehingga luas mangrove akan berkurang. Gambar tersebut mencoba memberikan ilustrasi mengenai luas mangrove yang optimum bagi kegiatan perikanan pesisir baik budidaya maupun nonbudidaya. Terlihat bahwa luas mangrove sekitar kurang lebih 4 hektar merupakan kondisi mangrove yang baik untuk menghasilkan produksi ikan secara optimum.

Gambar 20. Hubungan keberadaan mangrove terhadap produksi ikan

4.3 Pembahasan

4.3.1 Kondisi mangrove dan perikanan

Kondisi ekosistem mangrove yang terdapat di kawasan pesisir Desa Grinting sebagian besar didominasi oleh vegetasi mangrove jenis Rhizophora mucronata (Lamk) dari suku Rhizophoraceae. Selain itu terdapat juga vegetasi mangrove jenis Avicennia marina (Forsk) dari suku Avicenniaceae dan Acanthus ilicifolius (Lamk) dari suku Acanthaceae namun dalam jumlah yang relatif sedikit.

(51)

Ftabel sebesar 5,14 (Fhitung > Ftabel). Hal ini memberikan kesimpulan bahwa jumlah tegakan mangrove memiliki perbedaan yang nyata di tiap Kanal (Lampiran 10).

Berdasarkan Gambar 14, vegetasi mangrove pada tingkat pohon, anakan dan semai tertinggi terdapat pada Kanal II. Sementara mangrove tingkat pohon terendah dijumpai pada Kanal III, sedangkan mangrove tingkat anakan dan semai terendah dijumpai pada Kanal I. Perbedaan tersebut memberikan kontribusi terhadap perbedaan luasan mangrove pada Kanal tersebut. Berdasarkan Tabel 2, kondisi pada Kanal II memiliki luas mangrove tertinggi sebesar 4,566 hektar. Sedangkan Kanal III memiliki luas mangrove terendah sebesar 3,329 hektar. Luasan mangrove tersebut diperoleh dari analisis Arc View terhadap citra landsat mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Brebes tahun 2008, yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Brebes.

Kondisi ekosistem mangrove di lokasi penelitian didominasi oleh vegetasi jenis R. mucronata. Secara umum ekosistem mangrove memperlihatkan adanya pola zonasi yang berkaitan erat dengan tipe tanah, keterbukaan, salinitas serta pengaruh pasang surut. Tipe tanah dengan substrat berlumpur sangat baik untuk

tegakan R. mucronata dan diduga tekstur tanah di lokasi penelitian merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembanagan tegakan R. mucronata. Selain itu R. mucronata mampu tumbuh pada salinitas yang tinggi hingga 55‰ (Noor, et al., 1999). Selain itu pertumbuhan R. mucronata sering mengelompok, karena propagul yang sudah matang akan jatuh dan langsung menancap ke tanah (Suryawan, 2007).

(52)

mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi dan keberadaan hutan mangrove di Desa Grinting.

Selain itu gambaran umum lokasi penelitian merupakan kawasan pertambakan yang berasal dari tanah timbul, yang kemudian dilakukan kegiatan penghijauan dengan menanam pohon mangrove, meskipun tanah timbul yang terdapat di pesisir pantai sebenarnya merupakan habitat bagi tumbuh kembang vegetasi mangrove. Akan tetapi, ternyata tidak semua pemilik tambak di kawasan tersebut terlibat terhadap kegiatan tersebut. Sebagian para pemilik tambak menolak keberadaan mangrove di areal atau pelataran tambak mereka, karena dirasa akan mengganggu kegiatan budidaya. Sehingga upaya yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi beberapa areal tambak untuk kegiatan wanamina dan lahan-lahan kosong untuk dijadikan kawasan lindung setempat. Hal tersebutlah yang diduga mengakibatkan adanya perbedaan kondisi mangrove pada lokasi penelitian.

Padahal tidak bisa dipungkuri bahwa ekosistem mangrove memberikan manfaat dan potensi yang besar bagi kegiatan perikanan pesisir. Beberapa

penelitian lain telah dilakukan terkait fungsi atau manfaat keberadaan mangrove yang penting bagi sumberdaya ikan pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keberadaan mangrove disinyalir dapat meningkatkan produktifitas

lingkungan sekitarnya, sehingga akan memberikan kontribusi terhadap peningkatan produksi ikan pesisir. Perikanan pesisir dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu perikanan budidaya dan perikanan nonbudidaya. Terkait dengan perikanan budidaya, dalam perkembangannya ekosistem mangrove sering dikonversi untuk kegiatan perikanan budidaya yaitu pembukaan lahan mangrove untuk dijadikan areal pertambakan.

(53)

kg/ha/musim, sedangkan yang terendah berada pada kawasan tambak di Kanal II sebesar 183,33 kg/ha/musim. Namun berdasarkan uji statistik F yang dilakukan, diperoleh nilai Fhitung sebesar 0,52 sedangkan Ftabel sebesar 5,14 (Fhitung < Ftabel), yang berarti bahwa hasil produksi ikan budidaya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada tiap Kanal (Lampiran 11).

Selain produksi budidaya, dalam kawasan mangrove di Desa Grinting diperoleh juga produksi ikan nonbudidaya (tangkapan). Penangkapan ikan tersebut biasanya dilakukan pada pintu air tambak dengan dipasang bubu atau langsung ditangkap oleh nelayan disekitar Kanal dengan menggunakan jaring. Berbeda halnya dengan produksi ikan budidaya, hasil uji statistik F yang dilakukan memberikan nilai Fhitung sebesar 9,61 sedangkan Ftabel sebesar 4,26 (Fhitung > Ftabel), yang berarti bahwa terdapat perbedaan yang nyata terhadap produksi tangkapan pada tiap Kanal (Lampiran 11). Produksi tangkapan terbesar terdapat pada Kanal II dengan rata-rata produksi sebesar 3,99 kg/hari dan produksi terendah terdapat pada Kanal III dengan rata-rata produksi sebesar 1,94 kg/hari. Namun ada satu faktor penting yang harus diperhatikan, yaitu pasang

surut air laut. Karena sumberdaya ikan yang berada di daerah mangrove merupakan ikan yang terbawa oleh arus saat pasang dan kembali ke laut saat air surut.

Melihat perbedaan antara produksi ikan budidaya dan nonbudidaya tiap Kanal yang memiliki kondisi mangrove yang berbeda mengindikasikan bahwa terdapat suatu hubungan antara kondisi mangrove terhadap produksi ikan baik budidaya maupun nonbudidaya. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada lokasi yang terdapat mangrove dengan kondisi yang berbeda, mengindikasikan adanya perbedaan kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap produktifitas lingkungan sekitar. Produktifitas kawasan pesisir tersebut khususnya lingkungan perairan, tentunya akan memberikan kontribusi terhadap produksi sumberdaya ikan di lingkungan tersebut.

(54)

terendah berada pada Kanal III yang memiliki luasan mangrove terendah. Hal ini menggambarkan hubungan berbanding lurus, dimana produksi meningkat seiring peningkatan ukuran dari mangrove.

Melihat kondisi tersebut mengindikasikan bahwa lingkungan di tiap Kanal memiliki tingkat kesuburan yang berbeda. Berdasarkan beberapa studi pustaka yang dilakukan, perairan yang ditumbuhi pohon mangrove memiliki kesuburan yang tinggi karena banyaknya bahan organik yang dihasilkan. Bahan organik berasal dari serasah pohon mangrove yang jatuh ke perairan dan mengalami perombakan. Substansi organik tersebut merupakan sumber unsur hara (nutrien) yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Sementara kesuburan suatu perairan dan potensi sumberdaya hayati umumnya ditentukan oleh besarnya biomasa dan produktifitas fitoplankton (Nontji, 1984 in Zuna, 1998), yang kemudian menjadi landasan penting bagi produksi perikanan di sekitarnya.

Produksi ikan nonbudidaya dalam hal ini adalah jenis udang api-api (Metapenaeus spp) memiliki kelimpahan yang tinggi di lokasi yang subur dengan

ukuran mangrove yang tinggi yaitu pada Kanal II. Diduga daerah perairan yang memiliki mangrove yang baik menyediakan tempat bernaung serta menyedikan bahan makanan yang melimpah bagi larva ikan maupun udang. Suatu hasil

penelitian menunjukkan adanya hubungan linear yang signifikan antara produksi udang dan ukuran mangrove, yang dinyatakan oleh persamaan y = 5,437 + 0,1128x. Dimana y adalah produksi udang dan x merupakan area mangrove. Hubungan ini mengindikasikan bahwa pengurangan hutan pasang surut seperti misalnya untuk keperluan industri dan pertanian, akan menyebabkan pengurangan produksi udang tersebut (Martosubroto & Naamin, 1977).

(55)

semakin tinggi biomasa fitoplankton akan semakin tinggi kandungan oksigen terlarut (DO) dalam perairan karena proses fotosintesis yang dilakukannya.

Menurut Soeroyo (1987), keberadaan udang di daerah mangrove disebabkan banyaknya ketersediaan pakan. Keberadaan udang tersebut tidak terlepas kaitannya dengan kelimpahan fitoplankton. Karena dalam siklus hidupnya udang memiliki hubungan terhadap keberadaan fitoplankton yang juga melimpah di Kanal II yaitu sebagai pakan alami. Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), bahwa Diatomae dan Dinoflagellatae merupakan makanan bagi udang pada saat stadium zoea, kemudian pada stadium mysis udang memakan plankton dari jenis Protozoa, Rotifera, Balanus dan Copepoda. Dan fitoplankton dari jenis Cyanophyceae merupakan makanan yang baik bagi larva udang.

Rathod dan Kusuma (2006) menambahkan, Dinoflagellata dan diatom merupakan makanan yang penting bagi udang khususnya dari jenis Metapenaeus sp. Kemudian Primavera dan Lebata (1995) juga menambahkan bahwa lingkungan mangrove merupakan lingkungan yang cocok bagi udang. Kondisi lingkungan mangrove merupakan lingkungan dengan substrat yang lunak, hal ini

memberikan kenyamanan bagi udang terkait kebiasaan dan cara makannya. Karena beberapa jenis udang seperti Metapenaeus spp memiliki kebiasaan menggali (burrowing), sehingga substrat di mangrove sangat cocok bagi

kebiasaan udang tersebut.

Gambar

Gambar 2. Beberapa manfaat keberadaan mangrove (www.wetland.or.id)
Gambar 3. Aliran Energi Pada Ekosistem Mangrove (Lear and Tunner, 1977 in
Gambar 5. Tipe atau model tambak pada sistem silvofishery (Puspita et al, 2005)
Gambar 7. Lokasi titik sampling di Kanal I, II dan III
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS OPTMALISASI FAKTOR PRODUKSI USAHA BUDIDAYA IKAN NILA GIFT (Oreochronzis sp) DI TAMBAK &#34;TIGA DELAPAN WINDU TANI&#34;, DESA GEBANG MEKAR, KECAMATAN GEBANG, KABUPATEN

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui faktor- faktor produksi yang berpengaruh terhadap produksi budidaya tambak udang vaname secara tradisional dan menganalisis

Survei yang dilakukan di tambak Kabupaten Pinrang ini adalah merupakan usaha untuk mengetahui penggunaan sarana produksi pada sistem budidaya tambak sebagai upaya awal

Pengaruh Kerapatan Tegakkan Mangrove Terhadap Aspek Ekologis Tambak Tumpang sari (Silvofishery) (Studi Kasus di KPH Cibuaya, Besar Pengembangan Budidaya Air Payau)..

Hasil analisis efisiensi produksi pada budidaya ikan nila di Kabupaten Klaten menunjukkan bahwa kombinasi faktor-faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap produksi ikan nila

Judul Penelitian : Pengaruh Hutan Mangrove Terhadap Produksi Udang Windu (Penaeus monodon) Pada Tambak Silvofishery Di Desa Tanjung Ibus Kecamatan Secanggang Kabupaten

Dari hasil wawancara terhadap para petani tambak di Desa Randuboto rata-rata petani tambak dalam mengeluarkan zakatnya berbeda- beda ada yang setiap pane nada juga yang

Hasil penelitian penggunaan faktor produksi usaha budidaya ikan bandeng meliputi lahan tambak, pupuk Urea, pupuk phonska, kapur, bibit dan tenaga kerja menunjukkan bahwa ikan yang