WADUK CIRATA
KUSDIARTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Tentang Peranan Ikan Nilem (Osteochillus haselti) Dalam Mengendalikan Perifiton Pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir.
Bogor, Januari 2011
Supervised by D. DJOKOSETIYANTO and RIDWAN AFFANDI.
This research has been carried out in Cirata man made lake, West Java intended to determine the appropriate density of silver minnow fish to control the periphyton population in the floating net cage (KJA) in order to maintain good water quality. It is expected that growth and survival rate of the common carp was normal.
The research used Completely Randomized Design with the treatment were density of silver minnow fish (0, 100, 200, 300 and 400 fish/floating net cage). Silver minnow fishes + 5 g of weight were cultivated in the outer net with size 2 x 2 x 2 m, while inner net common carp fishes were cultivated with density of 200 fishes/cage and feed with artificial food of 3 times a day of 5% of body weight. This research is conducted during 3 month.result of the research showed that 100 fishes/cage density of silver minnow fish was able to maintain the periphyton population and resulting the best number of survival rate and growth rate common carp. .
Di Waduk Cirata. Dibimbing Oleh D. DJOKOSETIYANTO and RIDWAN AFFANDI.
Keberhasilan budidaya ikan di KJA tergantung pada pengaturan dan
menjaga penyediaan pakan secara minimal dan standard lingkungan yang
dibutuhkan ikan untuk tujuan produksi. Tingginya kandungan bahan – bahan
organik di perairan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi kondisi perairan seperti terjadinya blooming phytoplankton yang
akan berakibat pada produksi perikanan.Perifiton adalah salah satu jenis plankton
yang menempel pada jaring sehingga apabila jumlahnya berlebihan maka akan
mengganggu sirkulasi kualitas air antara didalam karamba dan diluar . Dengan
demikian maka akan mengganggu pertumbuhan ikan yang di budidayakan. Oleh
sebab itu perlu mencari suatu teknik budidaya ikan di KJA di waduk yaitu dengan
memelihara jenis ikan pemakan perifiton yang dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif memanfaatkan perifiton dari pemupukan limbah organik secara
berlebihan .
Salah satu jenis ikan yang dapat memanfaatkan plankton adalah ikan
nilem.Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui keragaman jenis dan
komposisi peryphiton yang tumbuh di KJA pada berbagai kedalaman dan waktu
yang berbeda,mengetahui kemampuan ikan nilem dalam memanfaatkan
periphyton di KJA waduk Cirata serta mengetahui jumlah ikan nilem yang tepat
untuk memanfaatkan periphyton di KJA sehingga dapat mengoptimalkan
pertumbuhan ikan mas. Manfaat penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar
bahwa penggunaan ikan nilem sebagai pemakan peryphyton dengan jumlah yang
tepat akan menghasilkan pertumbuhan ikan mas yang optimal di KJA waduk
Cirata.
Penelitian dilakukan pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata , Jawa
Barat dan di Laboratorium Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar , penelitian
1. Percobaan 1 adalah Pengaruh Perbedaan Kedalaman Posisi Jaring Yang
Diletakkkan di Perairan Terhadap Keanekaragaman dan Kelimpahan
Perifiton.
2. Percobaan 2 adalah Pengaruh Lama Perendaman Terhadap Keaneka
ragaman dan Kelimpahan Perifiton.
Penelitian tahap II, yaitu Kemampuan Ikan Nilem Dalam Memanfaatkan
Perifiton..
Penelitian Tahap III, yaitu Pengaruh Padat Penebaran Ikan Nilem Terhadap
Produksi Ikan Mas.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan
perifiton yang tumbuh di jaring pada berbagai strata kedalaman, untuk
mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan perifiton pada waktu yang berbeda,
untuk mengetahui jumlah (bobot) perifiton yang dimanfaatkan oleh ikan nilem
dan untuk mengatahui jumlah ikan nilem yang tepat untuk mengendalikan
perifiton sehingga kualitas air di KJA dapat mengoptimalkan pertumbuhan ikan
mas.
Pengamatan meliputi komposisi perifiton, indeks keanekaragaman dan dominansi
perifiton, kelimpahan perifiton, tingkat konsumsi ikan nilem, kelangsungan hidup
ikan nilem dan ikan mas, pertumbuhan iken nilem dan ikan mas serta pengamatan
kualitas air media.
Selama penelitian hasil yang didapat pada tahap I percobaan 1 adalah
ditemukan tiga kelas perifiton yaitu Bacillariophyceae (9 genus), Chlorophyceae
(28 genus), dan Cyanophyceae (6 genus) yang terdistribusi pada setiap level
kedalaman. Kelas Clorophyceae merupakan kelas dengan jumlah genus
terbanyak yang ditemukan yaitu 28 genus atau 65% dari seluruh genus yang ada.
Namun demikian banyaknya genus Chlophyceae yang ditemukan ternyata tidak
diikuti oleh kelimpahan individunya. Kelimpahan terbesar ditempati oleh kelas
tertinggi yaitu pada perlakuan A (kedalaman 1 m) yaitu sebesar 0,26 + 0,058 dan
yang terendah pada perlakuan D (kedalaman 4 m ) yaitu dengan nilai 0,11 + 0,023
. Hasil analisa statistik hubungan antara kelimpahan total perifiton terhadap
kedalaman jaring tidak berbeda nyata dari setiap perlakuan,walaupun kalau dilihat
dari jumlah kelimpahannya bahawa semakin dalam jaring angka kelimpahan
meningkat.
Hasil penelitian tahap 1 percobaan 2 yaitu pada semua perlakuan lama
perendaman (perlakuan A (3 hari ), B ( 6 hari ), C ( 9 hari ), D ( 12 hari ), dan E (
15 hari ), ditemukan 36 genus perifiton yang terbagi atas tiga kelas, yaitu kelas
Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan Cyanophyceae. Kelas Chlorophyceae
mempunyai komposisi genus terbanyak, yaitu sebanyak 20 genus atau 56 % dari
seluruh genus yang ada, sedangkan kelas Bacillariophyceae mempunyai
komposisi sebanyak 9 genus atau 25 % dan kelas Cyanophyceae sebanyak 7
genus atau 19 % . Kisaran nilai indeks keanekaragaman selama penelitian
berkisar antara 0,67 – 0,83, nilai indeks keanekaragaman terendah pada perlakuan
C (9 hari) dan tertinggi pada perlakuan E ( 15 hari). Nilai indeks dominansi
terendah pada perlakuan E ( 15 hari) dengan nilai 0,17 + 0,03 dan nilai indeks
dominansi tertinggi pada perlakuan C ( 9 hari ) yaitu 0,32 + 0,10. Hasil analisa
statistik diperoleh bahwa kelimpahan total pada perlakuan C (perendaman 9 hari)
yaitu 269.666 ind/cm2
Hasil penelitian tahap 2 yaitu tingkat konsumsi ikan nilem diperoleh ada
perbedaan antar perlakuan, perlakuan A (bobot ikan nilem 5 – 7 g) tingkat
konsumsi perifitonnya paling rendah yaitu 1,46 + 0,13 sedangkan tertinggi pada
perlakuan C ( bobot 16 -20 g) yaitu 2,74 + 0,31.Antara perlakuan A (bobot ikan
nilem 5 – 7 g) tidak berbeda nyata dengan perlakuan B (8 – 15 g). berbeda nyata terhadap perlakuan yang lain.
Hasil penelitian tahap III yaitu tampak bahwa suhu perairan yang diamati
mg/l, kemudian nilai kisaran rata – rata nitrit, nitrat dan fosfat berturut – turut
adalah 0,001 – 0,003 mg/l, 0,333 – 0,433 mg/l dan 0,048 – 0,080mg/l. Hasil
pengukuran nilai indeks keaneka ragaman perifiton berkisar dari 1,41 + 0,088
sampai 1,63 + 0,077, terendah pada perlakuan B ( 300 ekor ikan nilem dan 200
ekor ikan mas ) sedangkan terrtinggi pada perlakuan A ( 400 ekor ikan nilem dan
200 ekor ikan mas ).Nilai indeks dominansi perifiton yang diperoleh selama
penelitian berkisar antara 0,27 sampai dengan 0,36. Nilai terendah diperoleh pada
perlakuan A ( 400 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ) sedangkan nilai
tertinggi diperoleh pada perlakuan B ( 300 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas
). Hasil analisa statistik untuk kelangsungan hidup ikan mas selama penelitian
menunjukkan tidak adanya perbedaan antar perlakuan. Rata – rata kisaran
kelangsungan hidup ikan mas adalah 80,3 % - 90,2 %. Nilai terendah diperoleh
pada perlakuan E ( tanpa ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ), sedangkan tertinggi
pada perlakuan D ( 100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ). Untuk
penghitungan laju pertumbuhan spesifik diperoleh perbedaan diantara perlakuan ,
nilai SGR yang terbaik adalah pada perlakuan D ( 100 ekor ikan nilem dan 200
ekor ikan mas ) yaitu 1.99 + 0.27 % berbeda nyata dengan perlakuan A( 400 ekor
ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ), B ( 300 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan
mas ) dan C ( 200 ekor ikan nilem dan ikan mas 200 ekor ), tetapi tidak berbeda
dengan perlakuan E ( tanpa ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ). Hasil analisa
statistik untuk nilai pertumbuhan mutlak ternyata mempunyai perbedaan yang
nyata antar perlakuan, perlakuan yang terbaik adalah perlauan D ( 100 ekor ikan
nilem dan 200 ekor ikan mas ) mempunyai nilai rata – rata pertumbuhan 50,8
gram, sedangkan rata – rata kisaran pertumbuhan mutlak selama penelitian adalah
43,7 - 50,8 gram. Dari hasil analisa statistik untuk kelangsungan hidup ikan nilem
selama penelitian menunjukkan adanya perbedaan antar perlakuan.Perlakuan A(
400 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ) tidak berbeda nyata dengan
tanpa ikan mas ) yaitu 60,7 % , sedangkan tertinggi pada perlakuan D ( 100 ekor
ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ) yaitu 87,3 %.Untuk penghitungan laju
pertumbuhan spesifik ikan nilem diperoleh perbedaan diantara perlakuan ,
perlakuan A ( 400 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ), B ( 300 ekor ikan
nilem dan 200 ekor ikan mas ), C ( 200 ekor ikan nilem dan ikan mas 200 ekor )
dan F ( 400 ekor ikan nilem dan tanpa ikan mas ) tidak menunjukkan perbedaan
yang nyata, tetapi perlakuan D (100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas)
berbeda nyata dengan perlakuan A (400 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ),
B ( 300 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ) dan C ( 200 ekor ikan nilem dan
ikan mas 200 ekor ) , tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan F (400 ekor
ikan nilem dan tanpa ikan mas ). Nilai SGR yang terbaik adalah pada perlakuan D
( 100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas) yaitu2.00 + 0.10 % dan terendah pada perlakuan F (400 ekor ikan nilem dan tanpa ikan mas ) yaitu 0.80 + 0.60 %.
Hasil analisa statistik untuk nilai pertumbuhan mutlak ikan nilem ternyata
mempunyai perbedaan yang nyata antar perlakuan, perlakuan yang terbaik adalah
perlauan D ( 100 ekor ikan nilem dan 200 ekor ikan mas ) mempunyai nilai rata –
rata pertumbuhan 22,7 gram, sedangkan terendah pada perlakuan F ( 400 ekor
ikan nilem tanpa ikan mas ) yaitu 10,7 gram. Rata – rata kisaran pertumbuhan
mutlak ikan nilem selama penelitian adalah 10,7 - 22,7 gram.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wqjar IPB.
WADUK CIRATA
KUSDIARTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Perairan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Cirata.
Nama : Kusdiarti
NIM : C151060261
Disetujui Komisi Pembimbing:
Prof. Dr. Ir. D. Djokosetiyanto,DEA Dr. Ir. Ridwan Affandi,DEA Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Perairan
Prof. Dr.Ir. Enang Harris,M.S
Prof.Dr.Ir.Khairil A. Notodipuro, M.S.
SWT atas segala karunia-NYA dan shalawat serta salam kepada Sayyidina Muhammad SAW sehingga karya ilmiah mengenai ” Kajian Peranan Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) Dalam Mengendalikan Perifiton dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Mas pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata ” ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada para pembimbing yaitu Prof. Dr. Ir. D. Dokosetiyanto, DEA. dan Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA. Komisi Pembimbing telah sangat membantu dengan memberikan arahan dan masukan kepada penulis selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan untuk Dr. Ir. Kukuh Nirmala atas masukan dan kritik yang sangat membangun sebagai penguji luar komisi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Estu Nugroho, Dr. Tri Heru Prihadi dan Dr. Rudi Gustiano beserta rekan-rekan Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) yang telah banyak mendukung penelitian ini, dan tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada kepada teman-teman BDP Air 2006 atas masukan-masukan dan dukungannya, sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Secara khusus, penghargaan dan terima kasih yang tidak terhingga diberikan kepada Suamiku tercinta Budi Iskandar dan buah hatiku Pristi dan Lia atas segala do’a, keikhlasan dan kasih sayangnya selama penulis menempuh masa pendidikan. Kiranya Allah SWT akan membalas kebaikan kalian semua.
Penulis menyadari dengan sesungguhnya bahwa ada banyak kekurangan yang terdapat dalam karya ilmiah mengenai ” Kajian Peranan Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) Dalam Mengendalikan Perifiton dan Pengaruhnya Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Mas pada Karamba Jaring Apung di Waduk Cirata ” ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan dan perbaikan karya ilmiah ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2011
vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan Penelitian ... 3
1.3 Permasalahan ... 3
1.4 Pemecahan masalah ... 5
1.5 Hypotesa ... 6
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Waduk ... 7
2.2 Karamba Jaring Apung ... 10
2.3 Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)) ... 11
2.3.1. Klasifikasi Ikan Nilem ... 11
2.3.2. Struktur Morfologis Ikan Nilem ... 12
2.3.3 Budidaya Ikan Nilem ... 12
2.4. Ikan Mas (Cyprinus carpio) ... 13
2.4.1. Klasifikasi Ikan Mas ... 13
2.4.2. Struktur Morfologis Ikan Mas ... 13
2.4.3. Budidaya Ikan Mas ... 14
2.5. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Bahan Organik ... 15
2.6. Perifiton ... 17
III. METODE PENELITIAN 3.1. Penelitian Tahap I ... 21
3.1.1. Percobaan 1 3.1.1.a. Judul ... 21
3.1.1.b.Tujuan ... 21
3.1.1.c.Tempat dan Waktu Penelitian ... 21
3.1.1.d.Bahan dan Alat Penelitian ... 21
3.1.1.e. Metode Penelitian ... 22
3.1.1.f. Prosedur penelitian ... 22
3.1.1.g Parameter Yang Diamati ... 23
3.1.1.h Analisis Data ... 24
3.1.2.Percobaan 2 ... 25
3.1.2.a. Judul ... 25
3.1.2.b.Tujuan ... 25
3.1.2.c.Tempat dan Waktu Penelitian ... 25
viii
3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 28
3.2.2. Judul ... 28
3.2.3. Tujuan ... 28
3.2.4..Bahan dan Alat Penelitian ... 28
3.2.5. Metode Penelitian ... 29
3.2.6. Prosedur penelitian ... 29
3.2.7. Parameter Yang Diamati ... 29
3.2.8. Analisis Data ... 30
3.3. .Penelitian Tahap III ……… 30
3.3.1. Tempat dan Waktu Penelitian. ... 30
3.3.2. Judul ... 30
3.3.3. Tujuan ... 31
3.3.4. Bahan dan Alat Penelitian ... 31
3.3.5. .Metode Penelitian ... 31
3.3.6. Prosedur Penelitian ... 32
3.3.7. Parameter Yang Diamati ... 32
3.3.7.Analisis Data ... 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 35
4.1.1.Penelitian Tahap I ... 35
4.1.1.1. Percobaan 1 4.1.1.1.a. Komposisi Perifiton ... 35
4.1.1.1.b. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton ... 37
4.1.1.1.c. Kelimpahan Perifiton ... 37
4.1.1.2. Percobaan 2 4.1.1.2.a. Komposisi Perifiton ... 39
4.1.1.2.b. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton ... 40
4.1.1.2.c. Kelimpahan Perifiton ... 40
4.1.2.Penelitian Tahap II ... 41
4.1.2.1.Tingkat Konsumsi Ikan Nilem ... 41
4.1.3. Penelitian Tahap III ... 41
4.1.3.1. Fisika dan Kimia Air ... 41
4.1.3.2. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton ... 43
4.1.3.3. Kelimpahan Perifiton ... 43
4.1.3.4. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan ... 44
4.2. Pembahasan ... 47
ix
4.2.1.2.b. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton ... 52
4.2.1.2.c. Kelimpahan Perifiton ... 53
4.2.2.Penelitian Tahap II ... 54
4.2.2.1.Tingkat Konsumsi Ikan Nilem ... 54
4.2.3. Penelitian Tahap III ... 55
4.2.3.1. Fisika dan Kimia Air ... 55
4.2.3.2. Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton ... 57
4.2.3.3. Kelimpahan Perifiton ... 57
4.2.3.4. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan ... 58
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 60
5.2 Saran ... 60
DAFTAR PUSTAKA ... 61
x
1 Rata-rata Indeks Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton ... 37
2 Rata-rata Kelimpahan Perifiton selama penelitian ... 38
3 Intensitas Cahaya dan Kecerahan Perairan pada Berbagai Kedalaman
Selama Penelitian ... 38
4 Rata-rata Nilai Parameter Kualitas Air Selama Penelitian ... 39
5 Rata-rata Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton pada Berbagai
Waktu Pengamatan... 40
6 Rata-rata Kelimpahan Perifiton Berdasarkan Perlakuan ... 40
7 Konsumsi Perifiton pada Berbagai Ukuran Ikan Nilem ... 41
8 Nilai Parameter Fisika Kimia Air di KJA Waduk Cirata Selama
Penelitian ... 42
9 Rata-rata Keanekaragaman dan Indeks Dominansi Perifiton ... 43
10 Rata-rata Kelimpahan Perifiton pada Berbagai Perlakuan ... 44
11 Rata-rata Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan Mas Selama
Penelitian ... 44
12 Nilai Rata-rata Kelangsungan Hidup dan Laju pertumbuhan Ikan Nilem
xi
1 Lokasi Penelitian di Waduk Cirata ... 8
2 Keramba Jaring Apung (KJA) yang Digunakan Dalam penelitian ... 11
3 Ikan Nilem (Osteochillus hasselti) ... 12
4 Posisi Perifiton Dalam Suatu Ekosistem Perairan ... 18
5 Proses Pertumbuhan Perifiton ... 19
6 (A). Spyrogyra (B). Merismopedia (C). Zygnema ... 19
7 Komposisi Perifiton Berdasarkan Kelas ... 35
8 Perifiton yang Ditemukan di Tiap Kedalaman Substrat ... 36
9 Komposisi Perifiton Berdasarkan Kelas ... 39
xii
2 Komposisi Genus Perifiton Selama Pengamatan ... 68
3 Komposisi Genus Perifiton Pada Perlakuan A ... 69
4 Komposisi Genus Perifiton Pada Perlakuan B ... 70
5 Komposisi Genus Perifiton Pada Perlakuan C ... 71
6 Komposisi Genus Perifiton Pada Perlakuan D ... 72
7 Komposisi Genus Perifiton Pada Perlakuan E ... 73
8 Komposisi Fitoplankton pada Usus Ikan Herbivora di Waduk Cirata .... 74
9 Kualitas Air Selama Penelitian ... 75
10 Biomassa Perifiton Selama Penelitian ... 76
11 Indeks Keanekaragaman ... 77
12 Indeks Dominansi ... 77
13 Analisis Statistik Kelimpahan Perifiton ... 78
14 PerhitunPerifiton yang ditemukan Selama Pengamatan ... 86
I.
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Budidaya perikanan di Indonesia pada awalnya menggunakan teknik
tradisional, yaitu teknik budidaya ikan dengan hanya mengandalkan kesuburan
perairan saja. Kegiatan budidaya dengan pola ini berlangsung secara turun
temurun. Jenis ikan yang di budidayakan adalah ikan–ikan yang dapat
memanfaatkan pakan alami seperti ikan nila, tambakan, grass carp, tawes dan
nilem. Pakan ikan budidaya berupa organisme yang tumbuh di perairan (plankton,
detritus, bakteri dll). Dengan bertambahnya penduduk, maka kebutuhan akan
protein hewani dari ikan tidak dapat terpenuhi hanya dari budidaya perikanan
berbasis kesuburan alami saja.
Pembudidaya ikan meningkatkan daya dukung perairan dengan cara
pemupukan dan pemberian pakan tambahan . Sebagai contoh pada kegiatan
budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk, ikan budidaya harus
mengandalkan pakan buatan. Pakan buatan yang diberikan sebagian besar akan
dimanfaatkan oleh ikan, melalui proses pencernaan akan diperoleh energi dan
nutrisi yang selanjutnya tersimpan dalam bentuk jaringan ikan sebagai biomassa.
Sisanya akan terbuang ke perairan baik yang di ekskresikan dalam bentuk terlarut
(NH3) maupun partikel organik berupa feses dan sisa pakan.Bahan – bahan
tersebut akan mengalami proses pelarutan, sedimentasi, mineralisasi dan dispersi.
Selanjutnya timbunan bahan organik limbah budidaya ikan tersebut akan memicu
perubahan sifat fisika kimia air dan biologi dasar perairan sehingga akan
berdampak pada degradasi lingkungan perairan tersebut.
Menurut Haris (2006) secara nasional produksi budidaya air tawar
Indonesia naik dari 304. 579 ton pada tahun 1999 menjadi 488.080 ton pada
tahun 2004. Dalam kurun waktu 6 tahun, produksi kolam naik 60 %, KJA naik
260 % tetapi mina padi turun 10 %. Selanjutnya dikatakan bahwa hal tersebut
mengindikasikan bahwa kenaikan produksi berbasis budidaya dengan pellet/pakan
buatan seperti pada budidaya ikan mas, nila, patin, lele dan gurame yang berasal
Sedangkan budidaya berbasis pakan alami/ tanpa pelet seperti pada budidaya
tawes, nilem, tambakan, sepat dll menurun, yaitu hanya 34 % . Fenomena ini
memperlihatkan bahwa budidaya ikan di Indonesia sudah tidak bertumpu pada
kesuburan perairan, pemanfaatan relung perairan dan tropik level, padahal
teknologi tersebut adalah teknologi akuakultur yang terbaik sepanjang waktu
(Harris, 2006).
Jumlah KJA di Waduk Cirata saat ini mencapai 40.000 unit dan setiap
harinya membuang kelebihan pakan ikan (pellet) sekitar 50 ton ke dasar waduk
(BPWC, 2004). Limbah organik hasil buangan dari kegiatan budidaya ikan di
KJA pada kondisi berlebih dapat mencemari lingkungan perairan dan
mengakibatkan sedimentasi di waduk. Menurut Garno (2002), penyumbang
limbah organik terbesar (80%) ke dalam Waduk Cirata adalah dari limbah
budidaya ikan di KJA yang mengakibatkan waduk bersifat mendekati hipertrofik.
Hasil penelitian Nastiti et al. (2001) di perairan Cirata mengungkapkan bahwa, penyumbang N total dan P total terbesar ( 83,6 – 99,9 % ) adalah limbah budidaya
ikan di KJA. Menurut Kartamiharja dan Krismono (1996), fenomena tersebut di
duga karena pemanfaatan perairan waduk yang tidak sesuai dengan daya
dukungnya, sehingga jika permasalahan tersebut tidak segera diatasi maka umur
waduk menjadi lebih pendek dari perkiraan umur waduk pada saat dibangun.
Keberhasilan budidaya ikan di KJA tergantung pada pengaturan dan
menjaga penyediaan pakan secara minimal dan standar lingkungan yang
dibutuhkan ikan untuk tujuan produksi. Menurut Schmittou (1991) ada dua
prinsip di dalam budidaya ikan di KJA yaitu 1) Ikan yang dibudidayakan harus
dapat memanfaatkan makanan untuk pertumbuhan dan kesehatan baik pakan yang
berasal dari alam (plankton) maupun pakan buatan yang diberikan oleh
pembudidaya; 2) Pertukaran air antara didalam dan luar karamba harus diatas
batas kebutuhan minimum, agar limbah dari budidaya dapat terbuang dan
kesehatan ikan dapat dipertahankan.Tingginya kandungan bahan – bahan organik
di perairan baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi
kondisi perairan seperti terjadinya blooming plankton termasuk perifiton yang
Perifiton adalah salah satu jenis plankton yang menempel pada substrat
termasuk jaring sehingga apabila jumlahnya berlebihan maka akan mengganggu
sirkulasi air antara didalam dan diluar karamba. Dengan demikian maka akan
mengganggu pertumbuhan ikan yang dibududayakan. Perifiton adalah suatu
komunitas kompleks dari mikrobiota yang menempel pada substrat, baik substrat
organik maupun anorganik, hidup atau pun mati (Wetzel, 1983 dalamHany 2009). Perifiton memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan rantai makanan
pada ekosistem danau maupun waduk. Perifiton selain dapat berfungsi sebagai
biofilter dan indikator kualitas air, juga dapat berfungsi sebagai alternatif pakan
alami bagi ikan herbivora.
Oleh sebab itu perlu mencari suatu teknik budidaya ikan di KJA di waduk
yaitu dengan memelihara jenis ikan pemakan perifiton yang dapat digunakan
sebagai pengendali perifiton yang tumbuh di KJA akibat dari adanya limbah
organik yang berlebihan sebagai ekses kegiatan budidaya.
1.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
1. Menganalisis keanekaragaman dan kelimpahan perifiton yang tumbuh di
Karamba Jaring Apung waduk Cirata.
2. Menganalisis kemampuan ikan nilem dalam memanfaatkan perifiton di KJA
waduk Cirata
3. Menentukan jumlah ikan nilem yang tepat untuk mengendalikan perifiton
sehingga kualitas air di KJA dapat mengoptimalkan pertumbuhan ikan mas.
1.3. Permasalahan
Keberadaan KJA yang sudah melebihi daya dukung perairan di waduk
akan sulit dikurangi/ dihilangkan karena dapat menyebabkan konflik dengan
pembudidaya ikan dan masyarakat di sekitar perairan waduk.Budidaya ikan dalam
KJA di waduk Cirata telah memberikan keuntungan yang cukup besar, terbukti
dari jumlah KJA di waduk Cirata yang terus meningkat dari waktu ke waktu,
terutama setelah krisis moneter. Dilihat dari pakan yang diberikan pada ikan
dalam sistem budidaya intensif. Hal ini terlihat dari pemberian pakan dengan
frekuensi pemberian rata- rata tiga kali sehari bahkan lebih dan penggunaan pakan
komersial (pellet) yang mengandung protein tinggi (lebih dari 20 %) serta
mengandung nutrisi lainnya yang cukup lengkap. Melimpahnya limbah organik
yang berasal dari sisa pakan dan feses ikan ini mengakibatkan waduk Cirata
menghadapi masalah yang cukup serius antara lain proses sedimentasi yang tinggi
dan kesuburan perairan yang sangat tinggi sehingga menyebabkan penurunan
kualitas air.
Pada kegiatan budidaya ikan secara intensif seperti di KJA waduk Cirata,
maka pakan merupakan komponen biaya terbesar (dapat mencapai 40 – 70 % dari
biaya produksi), sehingga biaya produksi yang dibutuhkan menjadi sangat besar.
Petani sering tidk mendapatkan keuntungan karena pakan sangat tinggi bahkan
dapat merugi. Sehubungan dengan hal tersebut Tacon (1998) menyatakan bahwa
budidaya ikan dengan pakan buatan bermakna bukan meningkatkan produksi
ikan. Hal tersebut karena secara mikro kegiatan tersebut efisien, tetapi secara
makro (lingkungan) menjadi tidak efisien.
Limbah organik sebagai hasil buangan sisa pakan yang tidak dikonsumsi
dan kotoran ikan dari kegiatan budidaya ikan di waduk pada kondisi berlebih
dapat mencemari lingkungan perairan bahwa dari pakan yang diberikan maka
hanya 25 % P dan 25 % N yang masuk ke ikan, sisanya terbuang ke lingkungan.
Sisa pakan yang masuk ke lingkungan 10 % P dan 65 % N dalam bentuk terlarut,
sedangkan 65 % P dan 10 % N berada dalam bentuk partikel. Pakan dalam bentuk
partikel akan menjadi sedimen tergantung kondisi perairan dan dinamika di dasar
perairan. Di perairan tawar pada keadaan di dasar perairan tidak ada oksigen,
sejumlah P dilepaskan ke perairan sehingga mempercepat terjadinya eutrofikasi.
Plankton termasuk didalamnya perifiton berperan sangat sentral dalam
memanfaatkan limbah oleh sebab itu adanya limbah organik yang berlebih akan
digunakan sebagai nutrien, sehingga akan menpercepat terjadinya eutrofikasi
perairan waduk. Menurut Dahuri (2003), eutrofikasi dapat mengakibatkan
perairan pada kondisi annoxia (kekurangan oksigen) di dalam kolom air yang
dengan stratifikasi oksigen. Sebagian komunitas fitoplankton akan digantikan oleh
jenis yang tidak diinginkan serta memiliki jumlah individu yang sangat banyak
jumlahnya sehingga dapat menyebabkan kematian pada ikan.
1.4. Pemecahan Masalah
Perairan waduk merupakan kolam raksasa yang setiap harinya harus
menampung aktivitas budidaya ikan intensif dengan pemberian pakan buatan
dalam jumlah besar. Dampak dari aktivitas tersebut adalah daya dukung perairan
waduk semakin menurun, terlihat dari terjadinya kematian massal ikan akibat up
welling, dan serangan virus / bakteri. Oleh sebab itu perlu dicari teknik budidaya
ikan yang tidak banyak menghasilkan limbah dan limbah yang ada diperairan
tersebut dapat dimanfaatkan.
Penggunaan teknik budidaya yang dapat memanfaatkan seluruh relung
perairan sudah lama ditinggalkan oleh petani ikan di Indonesia. Perairan waduk
merupakan perairan yang mempunyai kedalaman, sehingga ikan yang
dibudidayakan adalah ikan yang dapat memanfaatkan relung perairan tersebut,
selain itu dapat juga digunakan jenis ikan yang dapat memanfaatkan plankton
termasuk perifiton yang sering berlebihan, sehingga dapat mengurangi blooming
plankton. Salah satu jenis ikan yang dapat memanfaatkan perifiton adalah ikan
nilem.
Salah satu pemecahan masalah untuk mengurangi dampak keberadaan
budidaya ikan di KJA secara teknis dapat dilakukan dengan mengurangi jumlah
perifiton di perairan yaitu dengan menggunakan ikan pemakan perifiton baik
untuk ikan budidaya maupun ikan yang di tebar diluar KJA. Dengan
menggunakan ikan pemakan perifiton sebagai ikan budidaya di KJA, selain dapat
mengurangi jumlah perifiton juga di harapkan dapat meningkatkan pendapatan
petani karena biaya produksi lebih rendah, serta lingkungan terjaga kualitasnya,
1.5. Hipotesis
Penebaran ikan nilem sebagai pemakan perifiton pada lapis luar KJA
dengan jumlah yang tepat akan menghasilkan pertumbuhan ikan mas pada lapis
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Waduk
Waduk adalah danau buatan manusia sebagai tempat menampung dan
tangkapan air yang umumnya dibentuk dari sungai atau rawa dengan tujuan
tertentu. Waduk dibangun dengan tujuan multi fungsi yaitu sebagai daerah
tangkapan air yang akan dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga air ,
kegiatan pertanian, pengendali banjir, sarana olahraga air, budidaya perikanan dan
untuk pariwisata. Indonesia mempunyai sekitar 800 danau dan 162 waduk buatan
besar dan kecil untuk kepentingan irigasi pertanian, bahan baku air bersih, dan
PLTA. Sekitar 500 danau dan waduk di Indonesia mulai terancam punah akibat
pengelolaan yang tidak optimal, mulai dari hulu hingga hilir.
Waduk Cirata merupakan salah satu waduk besar di Jawa Barat, waduk ini
selesai di bangun pada tahun 1988. Waduk tersebut dibangun dengan fungsi
utama sebagai PLTA untuk menghasilkan daya listrik terpasang sebesar 1008
MW atau energi per tahun 1.426 GW jam sebagai pemasok tenaga listrik Jawa
dan Bali (BPWC,2004). Volume air pada waktu normal adalah sekitar
2.160.000.000 m3, dengan luas permukaan sekitar 6.200 ha, kedalaman rata-rata
sekitar 34,9 m, dan kedalaman maksimum mencapai 106 m. Status kesuburan
waduk Cirata adalah mesotropic hingga eutropic (BPWC, 2004). Waduk Cirata merupakan waduk yang mendapat sumber air utama dari daerah aliran sungai
Citarum. Pada awal dibangun, luas Waduk Cirata mencapai 6.200 hektar, adapun
daerah yang tergenang dan menjadi Waduk Cirata ini, berasal dari 28 desa yang
berada dalam delapan kecamatan yang termasuk ke dalam daerah administrasi
Kabupaten Cianjur, Purwakarta dan Bandung.
Gambar 1. Lokasi Penelitian di Waduk Cirata
Waduk Cirata adalah salah satu waduk yang dibangun di Daerah Aliran
Sungai (DAS) Citarum. Citarum sendiri merupakan sungai terpanjang dan
terbesar di Jawa Barat, dengan luas 6.080 km2
Beberapa anak sungai yang masuk ke Waduk Cirata diantaranya Sungai
Cikundul, Cibalagung, Cisokan, Cihea, Cimeta dan Cilangkap (Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perairan, 1999). Waduk Cirata termasuk dalam badan air yang
memiliki fungsi utama sebagai pembangkit tenaga listrik dengan kekuatan 1008
MW (Tjokrokusumo 2000). Namun dengan berjalannya waktu Waduk Cirata
memiliki manfaat lain yaitu sebagai media transportasi, rekreasi, dan perikanan.
Dalam bidang perikanan terutama perikanan budidaya, Waduk Cirata sangat dan panjang 269 km. Karena
banyaknya debit air yang dialirkan oleh sungai yang bermuara di ujung Karawang,
pemerintah membangun tiga bendungan untuk pembangkit listrik, yakni PLTA
dioptimalkan pemanfaatannya untuk kegiatan perikanan budidaya dengan
menggunakan sistem Karamba Jaring Apung (KJA).
Salah satu permasalahan yang dihadapi waduk di Indonesia saat ini adalah
tingginya sedimentasi sehingga sedimentasi telah menjadi faktor utama penyebab
penurunan daya dukung ekosistem waduk. Waduk Cirata telah mengalami
permasalahan seperti halnya waduk lainnya di Indonesia yaitu pendangkalan dan
penurunan luasan perairan akibat tingginya sedimentasi. Peningkatan beban
sedimentasi ini diduga disebabkan oleh peningkatan laju erosi akibat
aktivitas-aktivitas di daratan , buangan limbah industri dan rumahtangga di DAS , serta
aktivitas manusia di perairan seperti budidaya ikan dengan menggunakan keramba
jaring apung (KJA) di waduk dengan pemberian pakan buatan yang berlebihan.
Jumlah sedimen yang masuk ke waduk yang melebihi daya dukung akan
mengurangi daya tampung air waduk sehingga dapat memperpendek usia
fungsional waduk tersebut. Turunnya daya tampung air menyebabkan waduk
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya, baik untuk keperluan irigasi maupun
pembangkit tenaga listrik. Sebagai contoh Waduk Djuanda, Saguling, dan Cirata
di DAS Citarum volumenya tinggal 57,6 persen dari volume pada saat baru
dibangun.
Salah satu penyebab dari sedimentasi di Waduk Cirata adalah akibat
aktivitas budidaya perikanan yang meningkat dari tahun ke tahun. Dengan teknik
budidaya intensif di keramba jaring apung, petani memberikan pakan buatan
secara berlebihan (sistem pompa), sehingga sisa pakan dan feses ikan banyak
yang masuk ke perairan. Menurut BPWC (2004), pada awal pembangunan waduk
jumlah petakan KJA yang dianjurkan 12.000 petak dengan jumlah pemilik 2472 ,
pada kenyataannya sampai tahun 2003 tercatat 39.690 petak dari jumlah pemilik
3899. Perkembangan KJA di perairan waduk Cirata sudah tidak terkendali, mulai
tahun 1988--1994 meningkat 140% per tahun. Akibat dari pertambahan KJA
yang tidak terkendali tersebut menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan
perairan serta sedimentasi yang meningkat dari tahun ke tahun. Dampak negatif
dari aktivitas budidaya ikan di karamba jaring apung di waduk adalah adanya
yang tidak termakan oleh ikan serta feses yang larut ke dalam perairan. Dalam
budidaya perikanan secara komersial 30% dari total pakan yang diberikan tidak
dikonsumsi oleh ikan dan sekitar 25-30% dari pakan yang dikonsumsi akan
dibuang dalam bentuk feses. Kartamiharja dan Krismono (1996) mengemukakan
bahwa pada budidaya KJA yang dilakukan petani ikan di Jawa Barat
menunjukkan jumlah pakan yang terbuang ke perairan berkisar antara 30-40%.
Bahan organik yang dihasilkan dari aktivitas budidaya ikan akan terakumulasi di
bawah KJA yang berasal dari pakan yang tidak dikonsumsi dan kotoran ikan.
2.2. Karamba Jaring Apung (KJA)
Karamba jaring apung merupakan salah satu bentuk usaha bidang
perikanan yang banyak diusahakan di Waduk Cirata (Gambar 2). KJA merupakan
tempat upaya pembesaran ikan dengan menggunakan wadah budidaya berupa
jaring yang diapungkan di permukaan air. Semua bagian sisinya diselubungi
material jaring sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi air dan
mempermudah pembuangan sisa pakan (Budiman et al 1991 dalam Prawita 2004). Sistem KJA di Waduk Cirata merupakan sistem usaha budidaya yang menerapkan
pola intensif, yaitu menggunakan pakan buatan berupa pellet dengan kandungan
protein tinggi (Krismono dan Poernomo, 1992).
Dalam pemanfaatannya, KJA memiliki fungsi sebagai sumber pendapatan,
pemasok ikan, dan sarana yang menunjang perkembangan lokasi di sekitar waduk
(Prawita 2004). Pemanfaatan tersebut sesuai dengan tujuan awal pengembangan
jaring apung di Waduk Cirata yaitu memberikan lapangan kerja baru bagi
penduduk di sekitar Waduk Cirata yang terkena proyek pembangunan PLTA.
Berdasarkan data yang tercatat, jumlah KJA di Waduk Cirata pada tahun
2006 telah mencapai 50.000 kolam atau 12.500 unit dan dari seluruh jumlah KJA
tersebut, 60% KJA-nya atau 30 ribu kolam berada di wilayah Cianjur (Dadang
dan Selamet 2008). Padahal berdasarkan SK Gubernur Jawa Barat No. 41 tahun
2002, jumlah KJA yang diperbolehkan di perairan Waduk Cirata sebanyak 12.000
Gambar 2. Karamba Jaring Apung (KJA) yang digunakan dalam penelitian
2.3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)
2.3.1.Klasifikasi Ikan Nilem
Menurut Saanin (1968), ikan nilem di klasifikasikan sebagai berikut:
• Kingdom : Animalia
• Phylum : Chordata
• Subphylum : Craniata
• Class : Pisces
• Subclass : Actinopterygi
• Ordo : Ostariophysi
• Subordo : Cyprinoidae
• Famili : Cyprinidae
• Genus : Osteochillus
• Species : Osteochillus hasselti
Gambar 3. Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)
2.3.2. Struktur Morfologis Ikan Nilem
Ikan nilem (Osteochillus hasselti) merupakan ikan endemik (asli) Indonesia yang hidup di sungai – sungai dan rawa – rawa. Ciri ikan nilem hampir
serupa dengan ikan mas. Ciri – cirinya yaitu pada sudut mulutnya terdapat dua
pasang sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras
dan 12 – 18 jari – jari lemah. Sirip ekor bercagak dua bentuknya simetris, sirip
dubur disokong oleh 3 jari – jari lemah mengeras dan 5 jari – jari lunak. Sirip
perut disokong oleh 1 jari – jari lemah mengeras dan 13 – 15 jari – jari lemah.
Jumlah sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping, bentuk tubuh ikan nilem agak
memanjang dan pipih, ujung mulut runcing dengan moncong (rostral) terlipat,
serta bintik hitam pada ekornya merupakan ciri utama ikan nilem. Ikan ini
termasuk kelompok omnivora, makanannya berupa ganggang penempel yang
disebut epifiton dan perifiton (Djuhanda dan Tatang, 1985).
2.3.3.Budidaya Ikan Nilem
Ikan Nilem (Osteochilus hasselti C.V), adalah salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang terkonsentrasi di Pulau Jawa khususnya di Wilayah
Priangan, sementara sekarang pembudidayaan ikan tersebut hampir
dilupakan/ditinggalkan. Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan
bahwa produksi ikan nilem terhadap produksi ikan budidaya lainnya dari tahun
7,28; 6,78 dan 6,96%. Padahal ikan tersebut mempunyai potensi cukup besar
dalam pengembangannya dimasa yang akan datang karena memiliki keunggulan
komparatif.
Budidaya ikan nilem pada umumnya saat ini masih bersifat tradisional,
bahkan hanya berupa produk sampingan dari hasil budidaya ikan secara polikultur
dengan ikan mas, mujaer atau nila dan gurame. Dari kelompok Ciprinidae ikan
nilem termasuk ikan yang tahan terhadap serangan penyakit, diduga karena ikan
nilem termasuk dalam kelompok omnivora yang mengkonsumsi pakan alami dari
kelompok ganggang yang disinyalir banyak mengandung anti bodi. Dengan
mayoritas makanannya berupa perifiton dan tumbuhan penempel dengan
demikian ikan nilem dapat berfungsi sebagai pembersih jarring (Jangkaru, 1980).
2.4. Ikan Mas (Cyprinus carpio)
2.4.1.Klasifikasi Ikan Mas
Menurut Saanin (1968) ikan mas diklasifikasikan sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Sub Ordo : Cyprynoidea
Family : Cyprinidae
Sub Family : Cyprininae
Genus : Cyprinus
Species : Cyprinus carpio Linn
2.4.2. Struktur Morfologis Ikan Mas
Berdasarkan Djuhanda (1981), ikan mas memiliki ciri-ciri antara lain
ukuran panjang tubuh lebih panjang dari tinggi tubuhnya (perbandingan panjang
total dan tinggi badan 3,5 : 1), mulut di ujung kepala dan pada sudut mulutnya
terdapat dua pasang sungut peraba, badan ditutupi oleh sisik sikloid, ekor
berbagai jenis pakan termasuk plankton (Lagler, 1972). Sumantadinata (1983)
menyatakan bahwa ikan mas termasuk kelompok ikan omnivora yang lebih
mudah memakan makanan yang berasal dari hewani.
2.4.3. Budidaya Ikan Mas
Ikan mas (Cyprinus carpio, Linn) merupakan ikan air tawar yang sudah dikenal di dunia, dibudidayakan mulai dari negara-negara tropis sampai dengan
negara sub tropis. Ikan mas memiliki beberapa sifat yang menguntungkan
sehingga merupakan salah satu ikan yang relatif banyak dibudidayakan oleh
pembudidaya. Sifat-sifat itu antara lain dapat mentolerir kisaran temperatur yang
luas (20-30 oC) dan mudah memijah serta memiliki adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan (Webb, 1981). Budidaya ikan mas di Indonesia sudah tersebar
diseluruh propinsi yang ada. Tingkat kesuksesan budidaya ikan mas berkaitan
dengan teknologi budidaya ikan mas yang sudah lama dikenal oleh masyarakat
serta ikan mas dikenal sebagai ikan yang mudah untuk memijah (Bardach et al., 1972). Data Statistik Perikanan Budidaya 2002 menunjukkan bahwa produksi
ikan mas menunjukkan tren yang semakin meningkat. Di Wilayah Jawa Barat
ikan mas banyak dibudidayakan di keramba jaring apung, kolam air deras, dan
kolam tanah.
Sebagian besar usaha budidaya ikan mas menggunakan sistem budidaya
semiintensif dan intensif. Budidaya ikan mas secara intensif dilakukan di kolam
air deras dan keramba jaring apung (KJA). Usaha budidaya intensif ikan mas
umumnya berupa monokultur atau terkadang polikultur dengan beberapa jenis
ikan seperti ikan nila, tembakang, dan nilem (Sumantadinata, 1983). Usaha
pembesaran ikan mas di KJA yang menggunakan jaring ganda biasanya
menggunakan sistem polikultur dimana ikan mas berada di jaring dalam
sedangkan ikan nila berada di jaring luar.
2.5. Faktor – faktor Yang Mempengaruhi Kandungan Bahan Organik di
Perairan
Limbah yang berasal dari budidaya intensif mengandung bahan organik
yang tinggi. Limbah organik ini berasal dari sisa pakan yang terlarut dan
tersuspensi dalam air , sisa metabolit, eksresi hewan budidaya berupa feses dan
urin, pupuk, obat-obatan dan bahan perlakuan lainnya. Penguraian bahan organik
melalui proses oksidasi aerobik, berlangsung sebagai bagian rantai makanan di
alam, sebagai bahan makanan yang berasal dari bahan organik akan digunakan
untuk membangun substansi vital dari jenis-jenis mikroba (Mara, 1976 dalam Bachrianto, 1994)
Bahan organik total atau total organik matter (TOM) menggambarkan kandungan bahan organik total di suatu perairan yang terdiri atas bahan organik
terlarut, tersuspensi (particulate) dan koloid (Hariyadi et al, 1992). Bahan organik dalam suatu perairan budidaya dapat berasal dari sisa pakan, sisa
metabolisme, pupuk, plankton yang mati dan beberapa sumber lainnya. Dalam
perairan bahan organik secara tidak langsung berpengaruh pada organisme
budidaya karena keberadaannya dapat mempengaruhi parameter kimia air lainnya
sebagai bahan yang akan terdekomposisi baik secara aerob dan anaerob. Selain
itu bahan organik juga merupakan faktor pendukung akan timbulnya jamur dan
bakteri yang bersifat patogen.
Berdasarkan fungsinya, bahan organik menurut Goldman dan Horne
(1983) dapat dibagi menjadi lima macam, yaitu : 1) bahan organik yang dapat
mengalami proses dekomposisi, contohnya N-organik, P-organik dan humus; 2)
bahan organik yang diperlukan untuk pertumbuhan mikroorganisme, contohnya
asetat, glukosa dan glikolat; 3) bahan organik yang dihasilkan oleh alga dan
beberapa hewan yang berperan penting dalam pigmentasi darah dan klorofil,
antara lain asam humik dan sitrat; 4) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan
dan tumbuhan yang dapat mempercepat atau menghambat pertumbuhan dirinya
atau pesaingnya; 5) bahan organik yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan
bagi organisme lain, contohnya lendir yang dihasilkan oleh alga biru-hijau (blue green algae).
Berdasarkan sumbernya, Metcalf dan Eddy (1991) membedakan bahan
organik menjadi tiga macam, yaitu 1) bahan organik yang berasal dari limbah
domestik, yang terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, minyak dan surfaktan; 2)
bahan organik yang berasal dari limbah industri yang terdiri dari protein,
karbohidrat, lemak, minyak, fenol dan surfaktan lainnya; 3) bahan organik yang
berasal dari limbah pertanian, selain nutrien juga ada yang toksik seperti pestisida.
Lebih lanjut dikatakan bahwa , nilai kandungan bahan organik diperairan dapat
diukur sebagai karbon organik total (TOC, Total Organic Carbon), kebutuhan oksigen untuk proses kimia (COD, Chemichal Oxygen Demand), kebutuhan oksigen untuk proses biokimia (BOD, Biologychal Oxygen Demand).
Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai
bahan organik partikulat dalam agregar besar atau organisme mati yang
bersumber baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allocthonous) perairan. Secara umum bahan organik mengandung 40 – 60 % protein, 25 – 50 %
karbohidrat dan 10 % lemak dan minyak, serta urea (APHA, 1985). Menurut
Sladeck, 1979 dalam Taurusman, (1999), bahan organik dalam ekosistem perairan akan terbentuk karena adanya proses anabolisme unsur hara oleh organisme
primer dengan bantuan sinar matahari, lalu diikuti proses kehidupan organisme
sekunder dan adanya masukan bahan organik dari ekosistem lainnya. Kandungan
bahan organik dalam perairan dapat diukur secara langsung dengan cara
mengukur kandungan bahan organik total (Total Organic Matter, TOM), (Wetzel dan Likens, 1991).
Seiring dengan penambahan jumlah pakan dalam kegiatan budidaya,
beban bahan organik buangan yang harus dipikul oleh kolam budidaya semakin
meningkat sehingga berimplikasi pada semakin tingginya tingkat penurunan
kualitas media budidaya (Rosenbery, 2006). ).Peningkatan bahan organik dan
unsur hara pada batas-batas tertentu akan meningkatkan produktivitas organisme
akuatik, namun apabila masukan tersebut melebihi kemampuan organisme akuatik
timbul antara lain : tingkat kekeruhan menjadi tinggi sehingga menurunkan
tingkat penetrasi sinar matahari dan proses fotosintesis di kolom air akan
terhambat; makin meningkatnya jumlah tanaman berakar pada bagian litoral dan
menghilangkan jenis plankton dan benthos tertentu serta jenis organisme akuatik
lainnya; serta munculnya jenis organisme baru yang biasanya merugikan
kepentingan perikanan (Jorgensen, 1980). Soeriatmaja (1981) menambahkan
bahwa peningkatan bahan organik berlebihan akan membawa akibat-akibat seperti
meningkatnya unsur kimia yang berlebihan, menurunkan pH dan oksigen terlarut,
serta peningkatan aktivitas biologi yaitu proses dekomposisi.
Menurut Huisman (1987) dalam Harris (1996) menyatakan bahwa bila konversi pakan 1 : 1,5 ; maka setiap 1 kg pakan akan menghasilkan 514 gram
padatan tersuspensi. Jika produksi udang tambak intensif sebesar 5 ton, maka
pakan yang digunakan sebesar 7.500 kg, sehingga akan menghasilkan limbah
organik dalam bentuk padatan tersuspensi sebesar 3.855 kg, yang selanjutnya
akan terbuang ke perairan sekitarnya.
2.6. Perifiton
Perifiton adalah suatu komunitas kompleks dari mikrobiota yang menempel
pada substrat, baik substrat organik, an-organik, hidup atau pun mati (Wetzel,
1983 dalam Hany 2009). Menurut Welch (1980) perifiton merupakan asosiasi organisme akuatik yang menempel pada batang dan daun tanaman berakar atau
permukaan substrat lainnya yang berada di bawah permukaan air. Sedangkan
menurut Odum (1971) perifiton adalah komunitas organisme yang hidup di atas
Gambar 4. Posisi perifiton dalam suatu ekosistem perairan Sumber : http://jmarcano.com/graficos/images/65.gif.
Perifiton selain berperan sebagai produsen primer di perairan eufotik, juga
dapat berperan sebagai biofilter dan akumulator senyawa-senyawa konsentrat
tinggi di perairan. Peran-peran ini menjadikan perifiton sebagai bioconditioner atau penyeimbang sistem ekologis .
Proses pertumbuhan komunitas perifiton melalui empat tahap, yaitu
kolonisasi awal perifiton pada permukaan substrat, pertumbuhan diatom,
kolonisasi algae berfilamen hingga membentuk komunitas perifiton yang dapat
tumbuh hingga maksimal, dan pelepasan fragemen perifiton sehingga
menyebabkan adanya kolonisasi perifiton yang baru atau suksesi. Perkembanagan
perifiton dapat dipandang sebagai proses akumulasi hasil kolonisasi dengan
proses biologi yang menyertainya dan berinteraksi dengan faktor fisika dan kimia
perairan (Nuraiani 2005dalam Hany 2009).
Pelepasan perifiton terjadi setelah perifiton mengalami kematian akibat
telah mencapai titik puncak pertumbuhan. Terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, kemampuan untuk memproses
nutrien, dan komposisi perifiton yaitu, ketersediaan cahaya, kualitas air, dan tipe
substrat. Pertumbuhan perifiton dipengaruhi oleh ketersediaan cahaya untuk
Gambar 5. Proses Pertumbuhan Perifiton
Jenis-jenis perifiton didominasi oleh golongan plankton, baik fitoplankton
maupun zooplankton. Beberapa jenis yang sering ditemui di perairan tawar adalah
Spirogyra, Cymbella, Zygnema, Navicula, Pinularia, Synedra, Oscillatoria,
[image:38.595.110.511.418.547.2]Cosmarium, Merismopedia, Nitzschia, Spirulina, Diatom, dan sebagainya , contoh
gambar perifiton dapat dilihat pada gambar 6.
(A) (B) ©
Gambar 6. (A). Spyrogyra (B). Merismopedia (C). Zygnema (Sumber :
Struktur komunitas merupakan pola kelimpahan suatu jenis dan pola
keterikatan antar jenis dalam sebuah komunitas (Barnes dan Mann 1993). Pada
Dominansi perifiton pada suatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi
perairan, kandungan nutrien perairan, dan musim. Tidak semua jenis perifiton
menempel secara permanen pada suatu substrat. Ada beberapa jenis perifiton yang
hanya menempel sementara, misalnya hanya pada saat bereproduksi atau terbawa
perairan danau dan waduk, fitoplankton yang kodominan (dominan lebih dari
satu) biasanya meliputi kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, dan
Cyanophyceae (Boney 1975 dalam Prasetiya 2007).
Pertumbuhan dan perkembangan perifiton biasanya didukung oleh
faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan perifiton
diantaranya tipe perairan (sungai, waduk, atau laut), intensitas cahaya (lama
penyinaran) kecerahan, kekeruhan, tipe substrat (kondisi, lokasi, kedalaman,
ketersediaan dan lama perendaman), pergerakan air (arus dan kecepatan), pH,
alkalinitas, unsur hara, bahan terlarut, suhu, oksigen dan CO2
• Epipelik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan sedimen. .
Selain faktor-faktor diatas, perkembangan perifiton menuju kemantapan
komunitasnya tergantung pada kemantapan substratnya. Berdasarkan penelitian
Suparlina (2003) dengan menggunakan kolam berkonstruksi beton jumlah biota
perairan menjadi lebih banyak. Hal ini karena kolam berkonstruksi beton dapat
menahan air lebih baik, sehingga membuat kondisi perairan kolam lebih stabil dan
terkontrol.
Berdasarkan substrat tempat menempelnya Weitzel (1979) membedakan
perifiton menjadi beberapa jenis, yaitu:
• Epilitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan batuan.
• Epifitik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan tumbuhan.
• Epizoik, mikroorganisme yang menempel pada permukaan hewan.
•
Epipsamik, mikroorganisme yang hidup dan bergerak diantara butiran-butiran pasir.III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksaakan di Karamba Jaring Apung (KJA) dengan
mengambil lokasi di Waduk Cirata, Jawa Barat melalui 3 tahap sebagai berikut:
3.1. Penelitian Tahap I
Tahap penelitian ini terdiri atas 2 seri percobaan:
3.1.1.Percobaan 1:
3.1.1.a. Judul
Pengaruh perbedaan kedalaman posisi jaring yang diletakkan di perairan
terhadap keanekaragaman dan kelimpahan perifiton.
3.1.1.b. Tujuan
Untuk mengetahui keanekaragaman dan kelimpahan perifiton yang
tumbuh di jaring pada berbagai strata kedalaman.
3.1.1.c. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 15 hari di KJA Waduk Cirata Jawa
Barat dan di Laboratorium Balai Riset Budidaya Air Tawar Bogor.
3.1.1.d. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu :
1.Bahan jaring sebagai substrat dengan lebar mata jaring ¾ inci, masing-
masing lembaran jaring memiliki luasan 0,25 m2
2.Tali pengait, untuk mengikat substrat pada bambu.
(0,5 m x 0,5 m)
sebanyak 30 buah.
3.Akuades, untuk mengencerkan sampel yang diambil.
4.Alkohol 70%, digunakan dalam mengawetkan perifiton.
5.Bingkai bambu digunakan untuk membuat bentuk jaring tetap selama
6.Pemberat, untuk menahan substrat jaring agar tidak mengapung dan
terbawa arus.
Alat-alat yang digunakan antara lain :
1.Botol sampel, digunakanuntuk menyimpan sampel perifiton.
2.Mikroskop binokuler, digunakan untuk mengidentifikasi perifiton yang
diambil.
3.Object glass, digunakan untuk membuat preparat. 4.Cover glass ukuran 22 x 22 mm2
5.Pipet tetes, digunakan untuk mengambil sampel perifiton dari botol
sampel.
digunakan untuk menutup preparat.
6.Secchi disk, untuk mengukur transparansi cahaya
7.pH meter merek HACH untuk mengukur derajat keasamaan
8.DO meter merek YSI Incorporated untuk analisis kandungan oksigen
terlarut (DO) dan suhu
9.Spektrofotometer dan alat titrasi Biuret untuk mengukur parameter
kualitas air.
3.1.1.e. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan tiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan.
Perlakuan yang diakukan adalah :
• Perlakuan A : Perendaman jaring pada kedalaman 1 m
• Perlakuan B : Perendaman jaring pada kedalaman 2 m
• Perlakuan C : Perendaman jaring pada kedalaman 3 m
• Perlakuan D : Perendaman jaring pada kedalaman 4 m
3.1.1.f . Prosedur penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah bahan jaring dengan luasan 0,25
m2 (50 cm x 50 cm) sebanyak 20 buah. Jaring diberi pemberat agar kedudukan
untuk mengaitkan jaring pada batang bambu.Bahan yang dipersiapkan direndam
di KJA perairan waduk cirata dengan berbagai kedalaman sesuai dengan
perlakuan dan dibuat dalam lima lokasi sebagai ulangan.Sebelum direndam
masing – masing jaring diberi penanda (tag) dan ditimbang bobotnya. Selanjutnya
pada hari yang telah ditentukan setiap jaring ditimbang untuk keperluan
penghitungan biomassa basah perifiton, selain itu digunakan sebagai bahan
pengamatan yang lain.
3.1.1.g. Parameter Yang Diamati
3.1.1.g.1. Komposisi Perifiton
Komposisi perifiton dilihat dari seluruh perifiton yang teridentifikasi dari
awal sampai akhir penelitian. Identifikasi perifiton menggunakan buku identitikasi
karangan Sachlan (1972) dan Needham and Needham (1962)
3.1.1.g.2. Keanekaragaman dan Dominansi Perifiton
Indeks ini digunakan untuk mengetahui keragaman jenis perifiton pada
perairan. Keragaman dihitung dengan rumus Indeks Keragaman Simpson
(Krebs 1975), yaitu:
D = 1-
∑ (pi)
2pi = ni/N
Keterangan :
D = Indeks Keragaman.
pi = ni/N = Proporsi jumlah individu dalam satu genus dibagi dengan jumlah total individu.
Untuk memperoleh informasi mengenai jenis perifiton yang
mendoninansi pada suatu komunitas pada tiap habitat digunakan rumus Indeks
Dominansi Simpson (Krebs, 1975), yaitu:
C =
Σ
(pi)
2Keterangan :
pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu
Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan dominansi species
perifiton, yaitu:
• Mendekati 0 = indeks semakin rendah atau dominansi oleh satu spesies
• Mendekati 1 = indeks besar atau cenderung dominansi oleh beberapa
spesies perifiton.
3.1.1.g.3. Kelimpahan Perifiton
Kelimpahan Perifiton dihitung atas dasar perhitungan plankton,yaitu
berdasarkan Inverted Microscope Method Counts (APHA 1985). Rumus yang
digunakan adalah :
Ac
x
Vs
x
As
Vt
x
At
x
n
N
=
Keterangan :
N = Jumlah perifiton (Ind/cm2)
n = Jumlah perifiton yang tercacah (ind)
At = Luasan cover glass (22x22mm2)
Vt = Volume konsentrat pada botol contoh (30ml)
Ac = Luasan amatan (3,14x16x3mm2)
Vs = Volume pada cover glass (0,05ml)
As = Luas substrat yang dikerik (5x5cm2)
3.1.1.h. Analisa Data
Analisis untuk data kelimpahan perifiton dilakukan dengan menggunakan
ANOVA dengan uji F, apabila terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan
dengan Uji Jarak Berganda Duncan dengan taraf 5 % (Gasperz, 1991). Sedangkan
Analisis untuk data Indeks Keanekaragaman, Indeks Dominansi dilakukan secara
3.1.2.Percobaan 2:
3.1.2.a. Judul
Pengaruh lama perendaman terhadap keragaman dan kelimpahan
perifiton
3.1.2.b.Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan
kelimpahan perifiton pada media tumbuh dengan lama waktu pemeliharaan yang
berbeda.
3.1.2.c. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 15 hari di KJA Waduk Cirata
Jawa Barat dan di Laboratorium Balai Riset Budidaya Air Tawar Bogor.
3.1.2.d. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bahan jaring dengan lebar mata jaring ¾ inci, sebanyak 25 buah
dengan masing-masing lembaran jaring memiliki luasan 0,25 m2
2. Bingkai bambu, sebanyak 25 buah yang digunakan untuk membuat
bentuk jaring tetap selama penelitian.
(0,5m
x 0,5m), digunakan sebagai media penempelan perifiton.
3. Tali pengait, untuk mengikat substrat pada bambu.
4. Akuades, untuk mengencerkan sampel yang diambil.
5. Alkohol 70 %, untuk mengawetkan sampel yang diambil.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Botol sampel, untuk menyimpan sampel yang didapat.
2. Scalpel (pisau pengerik), untuk mengerik perifiton yang menempel
pada substrat untuk kemudian ditempatkan dalam botol sampel.
3. Mikroskop binokuler, untuk mengidentifikasi perifiton yang diambil.
5. Cover glass, untuk menutup preparat pada object glass.
6. Pipet tetes, untuk mengambil sampel perifiton dari botol sampel
7. Planktonnet (20 mikron) diameter 10 inchi, untuk menyaring perifiton
yang telah dikerok.
3.1.2.e. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan adalah metode experimental dengan
rancangan percobaan yang digunakan yaitu Rancangan Acak Kelompok dengan 5
perlakuan, adapun perlakuannya sebagai berikut:
A: 3 hari,
B: 6 hari,
C: 9 hari,
D: 12 hari,
E: 15 hari,
Setiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan. Penempatan perlakuan dan ulangan
dilakukan secara acak dengan menggunakan acuan buku Gasperz (1991).
.
3.1.2.f. Prosedur Penelitian
Penelitian ini menggunakan bahan jaring dengan ukuran 25 x 25 cm
dengan mata jaring ¾ inchi diletakkan dengan menggunakan tali pengikat dan
diberi pemberat agar jaring tidak berubah kedudukan, jaring ditempatkan pada
berbagai kedalaman sesuai dengan perlakuan.Sebelum jaring ditempatkan pada
masing-masing perlakuan , jaring direndam dulu beberapa saat dan ditimbang
untuk menghitung berat jaring awal (sebelum ditempeli perifiton) dan setiap
jaring diberi tanda untuk memudahkan pada waktu sampling.
3.1.2.g. Parameter Yang Diamati
3.1.2.g.1. Komposisi perifiton
Komposisi perifiton dilihat dari seluruh perifiton yang teridentifikasi dari
awal sampai akhir penelitian. Identifikasi perifiton menggunakan buku identitikasi
3.1.2.g.2. Keragaman dan Dominansi Perifiton
Indeks ini digunakan untuk mengetahui keragaman jenis perifiton pada
perairan. Keragaman dihitung dengan rumus Indeks Keragaman Simpson
(Krebs 1975), yaitu:
D = 1-
∑ (pi)
AcxVsxAs nxAtxVt
2
pi = ni/N
Keterangan :
D = Indeks Keragaman.
pi = ni/N = Proporsi jumlah individu dalam satu genus dibagi dengan jumlah total individu.
Nilai indeks keanekaragaman Simpson berkisar antara 0 = 1. Menurut Odum
(1971), ekosistem perairan dikatakan baik apabila nilai indeks keragaman
Simpson berkisar antara 0.6 – 0,8
Untuk mengetahui dominansi perifiton digunakan Indeks Dominansi
Simpson (Krebs 1975), yaitu:
C =
Σ
(Pi)²
Keterangan:
C = Indeks dominansi
Pi = ni/N
ni = Jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu
3.1.2.g.3. Kelimpahan Perifiton
Kelimpahan perifiton dihitung atas dasar perhitungan plankton, yaitu
berdasarkan Inverted Microscope Method Counts (APHA 1985). Metode
pengamatan dilakukan dengan metode strip sebanyak dua kali ulangan.
N =
n = Jumlah perifiton yang tercacah (ind)
At = Luasan cover glass (22x22mm²)
Vt = Volume konsentrat pada botol contoh (30ml)
Ac = Luasan amatan (3,14x16x2mm²)
Vs = Volume pada cover glass (0,1ml)
As = Luas substrat yang dikerik (5x5cm²)
3.1.2.h. Analisis Data
Data yang diperoleh selama penelitian, dianalisis secara kualitatif dan
kuantitatif. Analisis untuk data kelimpahan perifiton dilakukan dengan
menggunakan Analisis Varian (ANAVA) dengan uji F, apabila terdapat
perbedaan antar perlakuan maka dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan
dengan taraf 5% (Gasperz 1991). Sedangkan analisis untuk data Indeks
Keragaman dan Indeks Dominansi dilakukan secara deskriptif komparatif.
3.2. Penelitian tahap II
3.2.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Waduk Cirata dan di Laboratorium Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar
3.2.2. Judul
Kemampuan ikan nilem dalam memanfaatkan perifiton.
3.2.3. Tujuan
Untuk mengetahui jumlah (bobot) perifiton yang dimanfaatkan oleh ikan
nilem.
3.2.3. Bahan Penelitian
Ikan yang digunakan adalah ikan nilem sebanyak 5 ekor dengan berbagai
ukuran yaitu 5 – 7 gram; 8 – 10 gram , sebelum ikan ditebar dipuasakan dulu
selama 2 hari untuk memastikan bahwa lambung dalam keadaan kosong. Wadah
yang digunakan adalah akuarium ukuran 60 x 40 x 40 cm dengan volume air 5
digunakan adalah perifiton sebagai hasil penanaman di waduk cirata . Perifiton
sebelum diberikan ke ikan ditimbang dulu. Ikan ditimbang bobotnya di awal dan
diakhir penelitian.
3.2.4. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak
Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan tiap perlakuan terdiri dari 5 ulangan.
Perlakuan yang diakukan adalah :
• Perlakuan A : Bobot ikan 5 – 7 gram
• Perlakuan B : Bobot ikan 8 – 15 gram
• Perlakuan C : Bobot ikan 16 – 20 gram
3.2.5. Prosedur Penelitian
Ikan yang digunakan adalah ikan nilem sebanyak 5 ekor dengan berbagai
ukuran yaitu 5 – 7 gram; 8 – 10 gram , sebelum ikan ditebar dipuasakan dulu
selama 2 hari untuk memastikan bahwa lambung dalam keadaan kosong. Wadah
yang digunakan adalah akuarium ukuran 60 x 40 x 40 cm dengan volume air 5
liter, air media yang digunakan adalah air bebas dari plankton. Pakan yang
digunakan adalah perifiton sebagai hasil penanaman di waduk cirata . Perifiton
sebelum diberikan ke ikan ditimbang dulu. Ikan ditimbang bobotnya di awal dan
diakhir penelitian.
3.2.6. Parameter Yang Diamati .
Parameterr yang diamati meliputi
3.2.6.a. Tingkat Konsumsi Pakan Ikan Nilem
Untuk menghitung tingkat konsumsi ikan nilem digunakan rumus:
W = Wpo –Wpt/ Wit – Wio
Keterangan:
Wpt = bobot perifiton pada waktu t
Wit = bobot ikan pada waktu t
Wio = bobot ikan awal
3.2.6.b. Keragaman Perifiton
Untuk menghitung keaneka ragaman perifiton di dalam isi perut ikan
nilem (individu/cc) dilakukan dengan cara membedah isi lambung ikan nilem
pada akhir penelitian.
Untuk identifikasi perifiton digunakan buku identifikasi Needham (1963),
sedangkan untuk menghitung keragaman jenis perifiton digunakan rumus indeks
keragaman Shannon – Wiener yaitu:
H’ =
∑ [
n1 ] Ln [
n1 ]
N N
H’ = Indeks keragaman Shanon – Wiener]
n1 = Jumlah individu suatu jenis
N = jumlah total individu
3.2.6.d. Analisis Data
Data dianalisa dengan ANOVA dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Jujur.
3.3. Penelitian Tahap III
3.3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Waduk Cirata, Jawa Barat dan di Laboratorium
Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor, penelitian dilaksanakan selama
3 bulan dari Juli sampai dengan September 2009.
3.3.2. Judul
3.3.3.Tujuan
Untuk mengetahui jumlah ikan nilem yang tepat untuk mengendalikan
perifiton sehingga kualitas air di KJA dapat mengoptimalkan pertumbuhan ikan
mas.
3.3.4. Bahan Penelitian
Ikan yang digunakan adalah ikan nilem dengan bobot awal 5 g/ ekor dan
ikan mas dengan bobot awal 10 g/ ekor. Pakan yang digunakan berupa pakan
komersial tipe tenggelam dengan kandungan protein pakan sebesar 27%. Wadah
percobaan adalah karamba jaring dengan bahan polyetilen. Jaring terbagi menjadi
dua lapis, jaring apung luar untuk pemeliharaan ikan nilem berukuran 2 X 2 X 3
m dan jaring dalam untuk pemeliharaan ikan mas berukuran 1 x 1 x 1,5 m dengan
lebar mata jaring ½ inchi. Timbangan yang digunakan untuk mengukur biomassa
ikan total menggunakan timbangan duduk dengan kapasitas 20 kg, sedangkan
untuk menimbang biomassa individu ikan digunakan timbangan digital dengan
ketelitian 0,1 gram.
3.3.5. Metodelogi Penelitian
Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini adalah padat penebaran ikan
nilem yaitu :
A. Pemeliharaan 400 ekor ikan nilem dengan ikan mas 200 ekor.
B. Pemeliharaan 300 ekor ikan nilem dan ikan mas 200 ekor.
C. Pemeliharaan 200 ekor ikan nilem dan ikan mas 200 ekor.
D. Pemeliharaan 100 ekor ikan nilem dan ikan mas 200 ekor.
E. Pemeliharaan 0 ekor ikan nilem dan ikan mas 200 ekor.
F. Pemeliharaan 400 ekor ikan nilem dan ikan mas 0 ekor.
Sampling dilakukan setiap 2 minggu sekali. Penimbangan bobot individu ikan
3.3.6. Prosedur Penelitian
Ikan yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan nilem dengan berat
rata-rata 5 g/ekor dan ikan mas dengan berat rata-rata ukuran 10 g/ekor. Padat
tebar ikan mas per jaring 200 ekor. Wadah percobaan adalah karamba jaring
dibuat dua lapis, jaring apung luar berukuran 2 X 2 X 3 m dan jaring dalam
berukuran 1 x 1 x 1,5 m dengan lebar mata jaring ½ inchi. Ikan nilem ditebar
diantara lapis lu