• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU

PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN

CITRA WORLDVIEW-2

BAGUS BASTIAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudulPemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skipsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2013

Bagus Bastian

(4)

ABSTRAK

BAGUS BASTIAN.Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR.

Salah satu keunggulan memanfaatkan inderaja adalah untuk pemetaan batimetri yang lebih efektif dan efisien dibanding metode lainnya. Batimetri juga termasuk kedalam suatu sistem dinamis yang rentan akan perubahan, sehingga teknologi inderaja merupakan solusi alternatif yang tepat secara cepat dan berkala untuk merevisi peta batimetri yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan batimetri perairan dangkal Pulau Panggang, Kepulauan Seribu menggunakan citra Worldview-2 dengan mengaplikasikan algoritma Stumpf (2003) melalui pemilihan dari 3 kombinasi kanal, Green/Yellow (G/Y), Green/Red (G/R) dan

Coastal Blue/NIR2 (CB/N2) dan menyajikannya dalam 3 dimensi (3D). Model kombinasi kanal yang terpilih sebagai konverter kedalaman aktual diantaranya model G/R dengan akurasi 73,6% untuk perairan dangkal dan G/Y dengan akurasi 69,1% dan 74,2% untuk perairan gobah. Tingkat akurasi peta batimetri hasil estimasi mencapai 67%. Penggabungan data pemeruman dengan batimetri hasil estimasi menciptakan gambaran 3 dimensi topografi perairan Pulau Panggang yang lebih baik.

Kata kunci: algoritma Stumpf, batimetri, pemetaan, Worldview-2

ABSTRACT

BAGUS BASTIAN. 3D Bathymetric Mapping of Panggang Island Waters, Seribu Islands Using Image of Worldview-2. Supervised by VINCENTIUS P SIREGAR.

One of the advantage to utilizing remote sensing is to map bathymetry that more effective and efficient than the others method. Also bathymetry is included into a dynamic system that vulnerable to changes, so that remote sensing technology is the alternative solution which are quickly and periodically to revise the existing bathymetry maps. This research aim is to map the shallow waters bathymerty of Panggang Island, Seribu Islands using image of Worldview-2 by applying Stumpf algorithm (2003) through the selection of the 3 bands combination, Green/Yellow (G/Y), Green/Red (G/R) and Coastal Blue/NIR2

(CB/N2) and presenting it in three dimensions (3D). Band combination model was chosen as the actual depth converter are G/R model with an accuracy of 73.6% for the shallow waters, G/Y model with an accuracy of 69.1% and 74.2% for lagoon areas. The result showed that the bathymetry map’s accuracy rate reached 67%. Complementary the sounding data with bathymetry from the estimation creates a better 3-D image topography of Panggang Island waters.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu Dan Teknologi Kelautan

PEMETAAN BATIMETRI 3D PERAIRAN PULAU

PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN

CITRA WORLDVIEW-2

BAGUS BASTIAN

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pemetaan Batimetri 3D Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Worldview-2

Nama : Bagus Bastian NIM : C54080030

Disetujui oleh

Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam penulisannya, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Dr.Ir. Vincentius P. Siregar, DEA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbinganya selama penyelesaian penelitian. 2. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan Dr. Henry Manik, Ph.D , selaku

Dosen Penguji Tamu dalam ujian skripsi ini.

3. Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si, Dr. Muh. Banda Selamat, MT., S.Pi dan Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) atas data dan arahannya.

4. Ayah, Ibu, dan seluruh keluarga atas dukungannya baik secara moril maupun materil selama penyusunan skripsi ini.

5. Iqoh Faiqoh, terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan.

6. Keluarga besar ITK 45 atas persahabatan dan suka duka yang telah terbangun selama ini.

Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, namun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna bagi diri sendiri maupun pembaca dapat dikembangkan melalui penelitian selanjutnya.

Bogor, Mei 2013

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 3

Bahan dan Alat 3

Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang 3

Pengolahan Citra 5

Peta Batimetri dan Peta Topografi 3D 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Pemilihan Model Kedalaman Relatif 9

Pemilihan Model Kedalaman Relatif Berdasarkan Pemisahan Albedo 11

Peta Batimetri 16

Batimetri 3 Dimensi (3D) 18

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 23

(10)

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI

Jakarta 3

2 Koreksi pasang surut 4

3 Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2 8 4 Pembagian kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram data

(Dianovita (2011)) 9

5 Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow, (b)

Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2 10 6 Penampakan (a) Kanal Merah (630 - 690 nm) dan (b) Kanal Hijau (510

– 580 nm) citra WV-2 pada perairan Pulau Panggang 12 7 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan

rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2 13 8 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 2 dengan

rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR2 14 9 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 3 dengan

rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2 16 10 Peta kedalaman aktual perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu hasil

estimasi algoritma Stumpf 17

11 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang hasil estimasi algoritma Stumpf 19 12 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang kombinasi data pemeruman dan

estimasi algoritma Stumpf 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Metadata citra Worldview-2 yang diakuisisi pada tanggal 19 Oktober

2011. 24

2 Perbandingan kanal untuk estimasi batimetri 29

3 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman 30 4 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman daerah

kajian laut dalam 31

5 Klasifikasi kelas kedalaman berdasarkan metode Natural Breaks 32 6 Contoh data nilai kedalaman in situ dan kedalaman aktual hasil konversi

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Batimetri adalah ukuran kedalaman dari permukaan lautan hingga dasar perairan. Informasi tentang batimetri sangat dibutuhkan karena sekitar 71% permukaan di bumi ditutupi oleh perairan, seperti samudra, laut, sungai dan berbagai tubuh air lainnya (Alsubaie, 2012). Batimetri juga termasuk kedalaman suatu sistem yang dinamis, terutama daerah pesisir, dimana daerah ini setiap saat mengalami perubahan sehingga informasi akan batimetri harus diketahui dan secara cepat mampu diperbaharui.

Informasi tentang batimetri suatu perairan memberikan banyak manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung, apalagi dihadapkan pada kondisi perairan Indonesia yang luas dengan banyaknya pulau – pulau kecil. Manfaat tersebut diantaranya untuk kepentingan militer, navigasi serta perencanaan dan manajemen pesisir. Kegiatan manusia yang hidup di pesisir seperti berenang, memancing, bahkan berbagai kegiatan teknisi bawah laut seperti penanaman pipa bawah laut, kabel, dan pengeboran minyak erat sekali kaitannya dengan informasi batimetri. Selain itu juga, batimetri zona intertidal diperlukan untuk studi morfologi dasar laut, lingkungan, pengelolaan sumberdaya pesisir dan permodelan oseanografi (Siregar dan Selamat, 2010).

Teknologi pemetaan batimetri belakangan ini mengalamai perkembangan yang pesat mengingat kebutuhan yang semakin meningkat, baik dari sisi piranti penduga kedalaman hingga metode yang dikembangkan. Pemanfaatan penginderaan jarak jauh satelit atau yang biasa dikenal dengan Inderaja adalah salah satu dari cara pemetaan batimetri yang sedang berkembang pesat saat ini. Pemetaan dengan inderaja lebih banyak digunakan karena cara ini mampu menghemat biaya serta efektif dan efisien dalam pemetaan batimetri. Selain keunggulan – keunggulan yang mampu diberikan Inderaja, metode ini memiliki keunggulan lainnya seperti mampu mengkaji satu cakupan daerah yang luas dan mampu mendeteksi daerah yang sulit dijangkau sekalipun. Parthish et al., (2011) menambahkan, pemetaan jenis ini memiliki keuntungan lain dibanding dengan sistem pemetan yang biasa digunakan, yaitu hasil berupa data digital yang bisa diakses pengguna kapanpun. Teknologi ini juga mampu untuk mendapatkan informasi secara sinoptik tentang fenomena yang terjadi di lautan yang dinamis, serta mempunyai kemampuan memberikan informasi secara kontinu karena wahana satelit telah diprogram untuk melintasi daerah yang sama dalam waktu tertentu (Wahyuningrum, 2007).

(12)

2

seperti satelit SPOT, Formosat, Landsat, Ikonos, Quickbird dan yang terbaru adalah Worldview-2.

Penggunaan metode Stumpf et al., (2003) masih jarang digunakan oleh para peneliti di Indonesia. Hal tersebut adalah yang melatarbelakangi penggunaan metode Stumpf pada penelitian ini. Stumpf et al., (2003) mengembangkan sebuah model rasio yang membandingkan 2 buah faktor reflektansi air. Stumpf beramsumsi dengan menggunakan perbandingan 2 kanal akan mengurangi efek albedo perairan yang selama ini menjadi masalah dalam pemetaan batimetri ataupun habitat perairan. Penelitian Madden (2011) yang menggunakan algoritma Stumpf dengan perbandingan Green/Yellow dan Green/Red pada Teluk Tampa, Meksiko berhasil menyimpulkan bahwa perbandingan di atas merupakan perbandingan kanal yang paling mendekati data kedalaman aktual hasil ground check, Madden juga menemukan perbandingan Green/Yellow lebih mendekati data kedalaman pengukuran lapang pada subsrat yang gelap, sedangkan perbandingan Green/Red ratio lebih mendekati ground check pada subsrat yang terang (contoh: pasir). Densham (2005) juga menyebutkan kanal Green dan

Yellow adalah kanal yang paling berguna untuk menentukan batimetri perairan dangkal antara 2.5 hingga 20 m. Densham juga berhasil menunjukkan manfaat dari kanal Green dan Red dalam peningkatan akurasi pada perairan keruh.

Parthish et al. (2009) yang melakukan penelitian menggunakan kanal

Coastal Blue yang disandingkan dengan kanal NIR 2 menghasilkan nilai kualitas R2 sebesar 0.909 sebagai model pilihan dalam menentukan kedalaman relatif.

Coastal Blue adalah kanal baru dari Worldview-2 dengan panjang gelombang terendah (400 – 450 nm) dari 7 kanal lainnya, merupakan kanal yang diperuntukkan untuk mengestimasi kedalaman karena panjang gelombang yang rendah sangat sedikit diserap air, sehingga penetrasi lebih maksimal. Kelemahan kanal ini sangat dipengaruhi atmosfir (DigitalGlobe, 2009).

Pada penelitian ini dilakukan pemetaan batimetri menggunakan algoritma Stumpf (2003) menggunakan rasio kanal yang digunakan Madden (2011) dan Parthish (2009) dan akan diterapan pada citra satelit Worldview-2 di daerah perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu. Peta batimetri 2 Dimensi ditransformasikan ke bentuk 3 Dimensi. Visualisasi informasi batimetri ke bentuk 3 Dimensi bertujuan untuk lebih memahami bentuk topografi perairan daerah yang sedang dikaji.

Tujuan Penelitian

(13)

3

METODE

Penelitian ini terbagi dalam beberapa tahapan, diantaranya tahap pengumpulan data (citra satelit, data pemeruman dan data pasang surut) yang dilaksanakan pada Februari 2012 hingga April 2012, tahap pengolahan citra yang dilakukan pada April 2012 hingga Agustus 2012 dan tahap penyelesaian (pembuatan peta) yang dilaksanakan pada September 2012 hingga Desember 2012. Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu Citra WV-2 dengan tanggal akuisisi pada 19 Oktober 2011 (5° 44’ 11,24” LS - 106º 35’ 10,08” BT hingga 5°

44’ 56,53” LS - 106º 36’ 28,14” BT) dan telah terkoreksi geometrik maupun

radiometrik. Data pemeruman batimetri menggukan GPS Sounder dengan tanggal 6 Februari dan 9 – 11 Maret 2012 di perairan Pulau Panggang. Data pasang surut Dinas Hidro Oseanografi TNI-AL (DISHIDROS TNI-AL) perairan Kepulauan Seribu bulan Oktober 2011 dan bulan Februari 2012.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat personal komputer yang dilengkapi perangkat lunak ENVI 5.0, ArcGIS9.3, dan Microsoft Excel.

Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapang

Data Kedalaman

Pada pengukuran data kedalaman pemeruman (sounding) menggunakan

(14)

4

Presisi mengacu pada keakuratan dari ulangan pembacaan piranti pemeruman, sedangkan akurasi merupakan kedekatan data dengan kedalaman sebenarnya. Memperhatikan pernyataan di atas, tidak semua data hasil pemeruman memiliki akurasi yang terjamin, sehingga penyeleksian data pemeruman dilakukan. Berdasarkan kedua pertimbangan di atas terdapat 103 titik kedalaman terseleksi (Gambar 1).

Koreksi Pasang Surut

Pengambilan data lapang dan waktu perekaman citra terjadi pada dua waktu yang berbeda, sehingga kedalaman perairan Pulau Panggang pada saat survei lapang (Ap) dengan saat perekaman citra (As) juga berbeda. Ini disebabkan karena perairan selalu berada pada kondisi tinggi muka laut yang dinamis, sehingga perubahan kedalaman dari waktu ke waktu terjadi. Dengan itu diperlukan suatu teknik kalibrasi data kedalaman terhadap pasang surut suatu daerah. Data pasang surut tahun 2011 digunakan untuk mengkalibrasi kedalaman hasil estimasi algoritma Stumpf pada citra Worldview-2 dengan akuisisi 19 Oktober 2011 sedangkan data pasang surut tahun 2012 digunakan untuk mengkalibrasi kedalaman hasil pemeruman yang dilakukan pada tahun 2012.

Koreksi pasang surut dilakukan dengan menghitung perbedaan elevasi muka air saat satelit melintas dengan muka air pada survei lapang, dengan persamaan di bawah ini :

K = As – Ap ………. (1) dimana : K = Nilai Koreksi

As = Elevasi muka air saat satelit lewat

Ap = Elevasi muka air saat pemeruman (survei lapang)

Gambar 2 Koreksi pasang surut

Setelah dilakukan perhitungan, nilai koreksi yang didapat direduksikan dengan setiap data kedalaman hasil pemeruman. Hasil koreksi ini sudah siap sebagai pembanding dengan data hasil dugaan satelit.

(15)

5

………...……… (2)

………...………. (3)

Pengolahan Citra

Estimasi Kedalaman Perairan Dengan Metode Perbandingan Kanal

Pengolahan atau pemprosesan citra dibagi kedalam beberapa tahap, yaitu tahap awal (pemulihan citra) dan tahap lanjutan. Citra Worldview-2 telah terkoreksi baik geometrik maupun radiometrik, sehingga tidak perlu dilakukan koreksi atau pemulihan lagi (Lampiran 1). Tahap lanjutan yaitu tahap konversi dan ekstraksi nilai Digital Number (DN) citra untuk menghitung kedalaman suatu perairan. Adapun semua perbandingan kanal yang mungkin dipakai pada satelit Worldview-2 dalam menduga kedalaman menurut Legleiter et al., (2009) yang diacu dalam Luce et al., (2009) ditampilkan pada Lampiran 2. Perbandingan kanal yang digunakan dalam penelitian ini adalah Green/Yellow, Coastal Blue/NIR 2 dan Green/Red.

Dengan memanfaatkan panjang gelombang yang telah mengalami atenuasi di kolom air, Stumpf membuat suatu formula penduga kedalaman dengan dua reflektansi panjang gelombang sebagai berikut:

( )

dimana : Z = Kedalaman

m1 = Koefisien kalibrasi

Rw( ) = Reflektansi perpanjang gelombang yang meninggalkan air

n = Konstanta untuk menjaga rasio tetap positif

m0 =Koreksi kedalaman nol (0)

Pengolahan citra Worldview-2 menggunakan pendekatan Stumpf et al.

(2003) yang telah dimodifikasi oleh Madden (2011) dengan langkah – langkah sebagai berikut:

1. Masking citra.

Masking yang paling efektif untuk memisahkan antara badan air dengan vegetasi adalah dengan melibatkan kanal dengan panjang gelombang terbesar. Pada Worldview-2 kanal dengan panjang gelombang paling besar adalah NIR 2

(860 – 1040 nm), dikarenakan kanal ini memiliki nilai radiansi yang lebih besar pada daratan daripada nilai radiansi pada air (DigitalGlobe, 2009).

2. Konversi Nilai Digital ke Top of the Atmosphere Radiance (TOA).

Nilai digital (DN) dikalkulasi agar menghasilkan nilai TOA radiansi menggunakan persamaan dibawah:

dimana : L = Nilai TOA Radiance (W-m-2-sr-1-µm-1)

(16)

6

qPixel ,Band = Nilai Digital (DN) masing – masing kanal

Band = Lebar kanal

Faktor kalibrasi dari setiap kanal dan lebar kanal tersedia di dalam metadata citra (Lampiran 1).

3. Koreksi terhadap Hamburan Rayleigh dan Aerosol.

Aerosol adalah partikel – partikel halus yang tersebar di atmosfer dalam berbagai ukuran (0.001 – 1,000 mm). Keberadaan partikel – partikel halus ini di udara dapat menjadi penghalang radiasi matahari mengingat bahwa sifat dari partikel ini dapat menghamburkan dan menyerap energi yang dilepaskan matahari. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi nilai yang terkandung dalam citra hasil pemindaian satelit.

Pembersihan terhadap Aerosol Radiance (La) telah dikembangkan dan

disempurnakan oleh Naval Postgraduate School (NPS) Aerosol Retrival Model

melalui suatu metode yang diberi nama “Dark Pixel Substraction Method”

(Durkee et al., 2000 yang diacu dalam Madden 2011). Dengan memanfaatkan kanal NIR 1 dan kanal merah dari WV-2 pada piksel yang gelap dilakukan ekstraksi radiansi akibat interaksi dengan partikel aerosol (Madden, 2011). Persamaan untuk menghitung Aerosol Radiance ada 3 jenis sesuai tingkatan hamburan:

- Hamburan minimal aerosol radiance:

La 7.66/ – 7.54 ... (4)

- Rata – rata hamburan aerosol radiance:

La 9.17/ – 9.01 ... (5)

- Hamburan maksimal aerosol radiance:

La 9.85/ – 9.32 ... (6)

Selain aerosol, hamburan Rayleigh (Lr) juga berpengaruh terhadap radiasi

yang dipancarkan oleh matahari. Hamburan jenis ini terjadi ketika panjang gelombang radiasi lebih besar dibandingkan ukuran partikel penghambur. Efek Rayleigh sangat berpengaruh terhadap panjang gelombang pendek, oleh karena itu hamburan Rayleigh harus dibersihkan dari citra karena pada penelitian ini menggunakan gelombang yang relatif pendek. Adapun persamaan untuk menghitung hamburan Rayleigh yang telah dikembangkan oleh NPS Model

sebagai berikut:

Lr 16.00/ – 17.60 ... (7)

Setelah membersihkan citra dari aerosol dan efek Rayleigh, water leaving radiance (Lw) dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Lw = TOA - Lr - Lw ... (8)

4. Mengubah Radiance ke Water Leaving Reflectance

(17)

7

………...………. (9)

………...……….. (10)

belahan bumi, musim, dan lain – lain. Faktor – faktor di atas merupakan faktor yang mempengaruhi radiansi dari sinar matahari. Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung water leaving reflectance (Rw) adalah sebagai

berikut:

2

dimana : = Rata – rata reflektansi kanal

L = TOA Radiance setiap kanal

dES2 = Jarak antara bumi dan matahari pada waktu mendapatkan

citra

Esun = Solar irradiance

s = Sudut puncak matahari (Zenith Angle)

Informasi tentang parameter – parameter diatas dapat diperoleh dari metadata citra satelit (Lampiran 1).

5. Menghitung Kedalaman Relatif (Relative Bahtymetry).

Perhitungan kedalaman relatif menggunakan panjang gelombang yang lebih pendek dari water leaving reflectance Rw sebagai pembilang dan panjang

gelombang yang lebih panjang Rw sebagai penyebut dengan persaman di

bawah ini:

( )

6. Menghitung Kedalaman Aktual (Absolute Bathymetry).

Kedalaman relatif yang didapat disesuaikan menggunakan regresi linier dengan data lapang (ground truth/ground check). Hasil dari setiap regresi digunakan untuk menentukan koefisien m1 dan konstanta m0 pada Persamaan 2

(18)

8

Gambar 3 Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2

Peta Batimetri dan Peta Topografi 3D

(19)

9 Penentuan kelas kedalaman didasarkan pada metode ”N k ” pada

ArcGIS. Metode ini mengaplikasikan algoritma pembagian alami Jenks seperti yang dijelaskan di Jenks dan Caspall (1971). “N k ” membagi kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram datanya (Gambar 4). Metode ini bekerja dengan mengurangi varian dalam kelas dan memaksimalkan varian antara kelas, dimaksudkan disini adalah data yang memiliki kemiripan akan dikelompokkan kedalam satu kelas, sedangkan data dengan kemiripan yang jauh akan dipisahkan kedalam kelompok yang berbeda. Pemilihan jumlah kelas mungkin memiliki pengaruh dalam klasifikasi (ESRI, 2012).

Gambar 4 Pembagian kelas berdasarkan nilai - nilai puncak histogram data (Dianovita, 2011))

Hasil interpolasi menghasilkan batimetri Pulau Panggang dalam raster (2D).

ArcScene adalah suatu tools dari ArcGIS yang khusus dalam visualisasi 3 dimensi (3D). Dengan ArcScene, batimetri dalam bentuk raster 2 dimensi dapat dibangkitkan kedalam tampilan 3 dimensi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemilihan Model Kedalaman Relatif

Pemilihan model kedalaman terbaik akan menghasilkan peta batimetri dengan akurasi yang baik pula. Pemilihan model didasarkan pada koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan dari regresi model itu sendiri. Persamaan regresi model terbaik akan digunakan keseluruh liputan citra untuk menghasilkan peta batimetri. Tiga jenis rasio kanal diujikan dan hasil yang didapat sangat variatif antar masing – masing kanal yang dicobakan dalam penelitian ini.

(20)

10

semakin mendekati 1, yaitu sekitar 100% nilai variabel dependen dapat diwakili atau dijelaskan oleh variabel independen.

(a)

(b)

(c)

Gambar 5 Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2

(21)

11 kedalaman 6 – 8 m (Lampiran 3c), walaupun terdapat kedalaman pemeruman pada 6 – 8 m sebagai pembanding.

Hasil yang digambarkan rasio G/Y dan G/R tidak memuaskan mengingat dari koefisien determinasi yang dihasilkan bernilai kecil serta model CB/N2 yang menghasilkan nilai kedalaman aktual yang tidak sesuai pada sebagian tingkatan kedalaman. Fakta ini menunjukkan bahwa mungkin disebabkan kondisi optik pada badan air berbeda – beda. Menurut Siregar dan Selamat (2010), saat karakteristik optik berbeda dalam satu liputan citra, algoritma penduga kedalaman tidak dapat diterapkan secara keseluruhan areal. Oleh karena itu, ketiga perbandingan rasio ini masih perlu diuji lebih lanjut untuk pembuatan peta batimetri.

Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh Madden yang memanfaatkan kombinasi kanal Green/Yellow dan Green/Red untuk menduga kedalaman perairan dari wahana dan metode yang sama dengan penelitian ini. Hal ini disebabkan bahwa kualitas serta geomorfologi perairan yang berbeda jauh adalah penyebab dari kecilnya tingkat keakurasian yang dihasilkan.

Oleh karena itu, dibutuhkan suatu teknik pengolahan citra tambahan yang diharapkan dapat meningkatkan akurasi model pendugaan. Siregar dan Selamat (2010) juga menyatakan, jika koefisien determinasi rendah maka algoritma yang diterapkan atau asusmsi homogenitas kualitas perairan tidak terpenuhi, sehingga diperlukan pengolahan secara terpisah. Pemisahan didasarkan pada tingkatan albedo dasar perairan sebelum pengolahan citra lebih lanjut dilakukan.

Pemilihan Model Kedalaman Relatif Berdasarkan Pemisahan Albedo

Pada penelitian – penelitian sebelumnya, teknik pemisahan citra sudah banyak dilakukan, seperti yang diterapkan oleh Mumby et al. (1998) dan Andrefouet (2003) dalam mengklasifikasikan dan memetakan terumbu karang. Begitu juga halnya yang dilakukan Siregar dan Selamat (2010) dalam mengkaji konsistensi algoritma Jupp untuk memetakan batimetri gobah, teknik pemisahan gobah dilakukan karena asumsi homogenitas tidak terpenuhi. Pada penelitian ini, pengklasifikasian citra dilakukan berdasarkan tingkatan albedo.

Albedo merupakan tingkatan reflektansi dasar perairan yang bisa dibedakan melalui warna perairan yang tampak pada citra. Menurut Wahyuningrum (2007) warna laut mengindikasikan adanya konsentrasi dan komposisi unsur utama penyusun air laut dan ciri optiknya. Ada 2 faktor yang mempengaruhi nilai pantulan suatu piksel citra yaitu absorpsi (penyerapan) dan scaterring (hamburan) dari gelombang eletromagnetik yang terpancar. Kedua faktor ini bervariasi di setiap tipe subsrat, kualitas air dan tingkatan kedalaman.

(22)

12

Setiap sensor secara spesifik difokuskan pada kisaran spektrum elektromagnetik tertentu yang sensitif terhadap fitur tertentu pada permukaan bumi, atau pada kandungan atmosfer (DigitalGlobe, 2009). Pernyataan diatas adalah dasar dalam pemisahan albedo pada citra. Cahaya dengan panjang yang lebih pendek berpenetrasi baik terhadap kedalaman perairan (gelombang biru) karena atenuasi pada gelombang jenis ini kecil, sedangkan cahaya dengan panjang gelombang lebih panjang (gelombang inframerah dekat) akan dengan cepat diserap oleh komponen optik perairan, sehingga buruk penetrasinya ke dalam air. Tidak semua panjang gelombang akan teratenuasi dengan tingkatan yang sama (Jupp, 1988).

Perhitungan terhadap koefisien atenuasi perairan Pulau Panggang dilakukan secara terpisah dengan pengolahan citra menggunakan algoritma Lyzenga. Koefisien ini diperoleh dengan membangkitkan 30 Training Area (TA) di sepanjang perairan Pulau Panggang, Pulau Karya hingga perairan Pulau Pramuka dan diperoleh nilai ki/kj sebesar 0,483. Nilai koefisien atenuasi ini diasumsikan berlaku untuk satu liputan citra karena TA yang dibangkitkan tersebar di perairan liputan citra.

Kanal 5 (merah) pada WV-2 menampakkan perairan dangkal lebih jelas dibanding perairan gobah dan perairan dalam Pulau Panggang (Gambar 4a). Oleh karena itu, kanal merah digunakan sebagai acuan dalam memisahkan perairan dangkal (daerah kajian 1) untuk pengolahan lebih lanjut. Gambar 4b menunjukkan tampilan kanal 3 (hijau) yang mampu menampakkan dengan jelas perbedaan albedo pada gobah Pulau Panggang. Dengan kanal ini, gobah dapat dibagi kedalam dua daerah berdasarkan tingkatan albedo, yaitu daerah kajian 2 (Shallow Lagoon) dan daerah kajian 3 (Deep Lagoon). Selanjutnya, daerah kajian yang telah terpisah – pisah diberlakukan proses pengolahan citra dan diuji akurasinya dengan data pemeruman.

(a) (b)

Gambar 6 Penampakan (a) Kanal Merah (630 - 690 nm) dan (b) Kanal Hijau (510

– 580 nm) citra WV-2 pada perairan Pulau Panggang Model Daerah Kajian 1 (Perairan Dangkal)

(23)

13 Begitu sebaliknya, semakin mendekati tingkat keabuannya gelap, DN akan semakin kecil.

Pada Gambar 7a memperlihatkan perbandingan kedalaman relatif rasio G/Y dengan kedalaman pemeruman. Koefisien determinasi (R²) yang dihasilkan 0,537. Hasil yang lebih baik ditunjukkan perbandingan rasio G/R pada daerah kajian 1 (Gambar 7b), yaitu sebesar 0,736. Sedangkan koefisien determinasi perbandingan rasio CB/N2 bernilai sangat kecil, yaitu 0,022 (Gambar 7c).

(a)

(b)

(c)

Gambar 7 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal

Blue/NIR2

Madden (2011), bahwa profil batimetri dengan rasio G/R dan G/Y sangat baik pada pasir yang teduh (profil subsrat pasir yang mengalami degradasi warna akibat terkena bayangan awan, pohon dan lain – lain) dan terang sekalipun, namun rasio G/R yang paling mendekati ground check pada subsrat yang terang. Hal ini disebabkan reflektansi kanal Red lebih tinggi pada subsrat pasir, bahkan melebihi reflektansi kanal Blue dan Yellow, kombinasinya dengan kanal Green

(24)

14

menciptakan korelasi yang baik pada segmen ini (Madden, 2011). Sehingga, rasio G/R dipilih untuk digunakan sebagai penduga kedalaman aktual pada daerah kajian 1.

Model Daerah Kajian 2 (Shallow Lagoon)

Daerah kajian 2 adalah daerah yang ditutupi habitat karang ruble, pasir lamun dan pasir (Agus, 2012). Daerah ini memiliki reflektansi lebih rendah dibanding daerah kajian 1, diduga karena kedalaman perairan yang bertambah dalam (> 2 m), menyebabkan terjadi pengurangan intensitas sinar tampak yang melewati kolom perairan.

Uji akurasi model G/Y menghasilkan nilai R2 sebesar 0,691 (Gambar 8a). Berbeda dengan model rasio G/Y, rasio G/R memiliki koefisien determinasi sebesar 0,244 (Gambar 8b) dan nilai koefisien hasil konversi kanal CB/N2 sebesar 0,015 (Gambar 8c) yang lebih kecil.

(a)

(b)

(c)

(25)

15 Model rasio G/R dan CB/N2 menghasilkan koefisien dengan nilai yang kecil, padahal daerah ini memiliki subsrat pasir. Hal ini disebabkan perbedaan nilai reflektansi antara daerah kajian 1 dan daerah kajian 2 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya sehingga berdampak pada rasio kanal. Model perbandingan G/Y adalah model terbaik dari 2 model lain yang diujikan pada daerah kajian ini. Rasio model G/Y dapat digunakan untuk penentuan kedalaman aktual. Hal ini disebabkan oleh kanal Yellow yang terdapat pada model G/Y merupakan kanal yang sensitif terhadap pasir terang atau albedo dasar perairan tinggi (Madden, 2011).

Model Daerah Kajian 3 (Deep Lagoon)

Daerah kajian 3 merupakan daerah yang didominasi oleh tutupan terumbu karang dan karang ruble berdasarkan kajian yang dilakukan Agus (2012). Daerah ini tampak gelap pada citra disebabkan albedo yang rendah dan daerah gelap sering diinterpretasikan sebagai laut dalam. Jupp (1988) telah membahas ini sebelumnya, dimana dikatakan bahwa sebagian besar eror atau kesalahan dalam pendugaan kedalaman menggunakan citra satelit sering berasal dari variasi albedo dan sifat – sifat reflektansi dari setiap subsrat. Berdasarkan survei, kedalaman daerah ini berkisar antara 8 – 13 m. Reflektansi dari daerah kajian 3 bernilai sangat kecil dikarenakan terumbu karang menghamburkan cahaya yang datang ke segala arah, ditambah dengan faktor atenuasi yang sangat besar pada daerah ini.

Pada gambar 9a ditunjukkan perbandingan kedalaman relatif hasil rasio G/Y pada daerah kajian 3 dengan data pemeruman. Koefisien determinasi hasil perbandingan ini sangat baik, yaitu 0,742. Sedangkan nilai R2 rasio G/R bernilai 0,031 (Gambar 9b) dan rasio CB/N2 dengan 0,166 (Gambar 9c). Rasio G/R dan CB/N2 tidak mampu mewakili kedalaman berdasarkan hubungan liniernya dikarenakan nilai determinasi yang kecil.

Dari 3 perbandingan tersebut, rasio G/Y menghasilkan nilai determinasi paling besar dibanding rasio lainnya. Lee et al. (2011) juga menyatakan, rasio

Green/Yellow adalah rasio yang baik dalam menetukan kedalaman antara 2,5 – 20 m. Pernyataan ini sesuai mengingat bahwa daerah kajian 3 memiliki kedalaman antara 8 – 13 m. Rasio G/Y juga memiliki keunggulan dalam menduga batimetri pada subsrat gelap (Madden, 2011). Pada akhirnya, daerah kajian 3 digunakan rasio G/Y untuk penentuan kedalaman aktual daerah tersebut.

(26)

16

(a)

(b)

(c)

Gambar 9 Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 3 dengan rasio kanal (a) Green/Yellow, (b) Green/Red dan (c) Coastal Blue/NIR 2

Peta Batimetri

Nilai m0 dan m1 persamaan regresi dari model yang terpilih digunakan

sebagai pengubah kedalaman relatif ke kedalaman aktual pada masing – masing daerah kajian. Peta batimetri hasil konversi dibagi menjadi 6 kelas kedalaman. Kedalaman yang mampu diestimasi oleh algoritma Stumpf untuk perairan Pulau Panggang hingga mencapai 14 m yang merupakan kedalaman maksimal dari perairan dangkal daerah ini. Sedangkan pada perairan dalam, algoritma Stumpf mampu mendeteksi hingga kedalaman 41 m (Lampiran 5). Hal ini bisa saja terjadi karena metode Stumpf memanfaatkan model kedalaman air relatif, model ini

y = 195.83x - 197.88

1.03 1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09

K

1.04 1.05 1.06 1.07 1.08 1.09

(27)

17 memungkinkan suatu korelasi antara piksel kedalaman relatif citra dengan data pemeruman laut dalam sekalipun sehingga kedalaman yang terbentuk juga mengikuti data pemeruman yang terkorelasi. Tingkat akurasi yang buruk dihasilkan pada daerah kajian laut dalam (Lampiran 4), mengingat bahwa kedalaman daerah kajian ini melebihi 25 m yang merupakan kedalaman maksimal yang mampu dideteksi dengan baik oleh algoritma buatan Stumpf (Stumpf, 2003).

Gambar 10 Peta kedalaman aktual perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu hasil estimasi algoritma Stumpf

Pada peta, daratan ditampilkan dengan warna cokelat, kelas kedalaman perairan dangkal memliki selang kedalaman antara 0 – 13,233 m (Gambar 10). Kelas kedalaman 13,233 – 41,254 m adalah kelas perairan dalam, namun daerah kajian ini bukan merupakan pokok pembahasan penelitian karena memiliki kedalaman diatas 30 m (berdasarkan data pemeruman) yang kurang atau bahkan tidak memungkinkan suatu metode untuk menduga kedalamannya.

Konteks perairan dalam menurut inderaja memiliki definisi yang berbeda dengan akustik. Perairan dalam menurut inderaja memiliki kedalaman lebih dari 30 m, sedangkan perairan dalam berdasarkan definisi akustik memiliki kedalaman lebih dari 200 m. Hal berikut didasarkan pada kemampuan maksimal yang masih mampu diindera dari masing – masing teknologi.

(28)

18

Tabel 1 Matriks kesalahan kelas kedalaman aktual dan kedalaman estimasi Aktual

Model permukaan digital yang digambarkan dengan permukaan bumi termasuk objek – objek yang ada padanya seperti tanaman dan gedung disebut

Digital Surface Model atau DSM, sedangkan model permukaan digital yang hanya menyajikan permukaan tanah terbuka tanpa objek apapun diatasnya disebut

Digital Terrain Model atau DTM. Digital Elevation Model atau DEM sering dikatakan merupakan turunan dari kedua model diatas merupakan suatu bentuk penyajian informasi ketinggian muka bumi (Selamat, 2012). Aplikasi DEM diterapkan untuk menghasilkan bentuk 3 dimensi perairan Pulau Panggang.

Pada Gambar 11, topografi perairan dangkal Pulau Panggang tampak rata, hanya saja pada daerah gobah topografi dasar perairan terlihat berfluktuasi. Hal ini disebabkan efek atenuasi pada perairan dangkal meningkat seiring bertambahnya kedalaman, seperti yang ditunjukkan pada topografi gobah hasil estimasi.

(29)

19

Gambar 11 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang hasil estimasi algoritma Stumpf

Topografi Hasil Estimasi Dan Data Pemeruman

Survei perairan menggunakan GPS Sounder memungkinkan pendugaan batimetri perairan lebih akurat, bahkan untuk perairan dalam. Namun, kelemahan dari survei ini tidak semua badan perairan bisa dipetakan, seperti perairan yang terlalu berbahaya (dangkal) dan kondisi subsrat dasar yang tidak beraturan sehingga tidak mungkin dilalui oleh kapal akustik (Wouthuyzen, 2001).

Pemanfaatan penginderaan merupakan teknik pendugaan batimetri perairan dangkal yang paling banyak dipergunakan saat ini. Teknologi ini dipandang sebagai cara yang efektif dan efesien, terutama di daerah yang sama sekali belum ada data atau berubah sangat cepat. Namun Wouthuyzen (2001) menyatakan bahwa, teknik ini memiliki tingkat keterbatasan menembus perairan antara 15 – 25 m (hanya pada perairan yang jernih/perairan karang). Keunggulan data survei pemeruman pada perairan dalam dimanfaatkan dengan mengkombinasikan hasil estimasi batimetri perairan dangkal Pulau Panggang untuk menciptakan tampilan 3D yang lebih baik dan lebih nyata.

(30)

20

Gambar 12 Tampilan 3D perairan Pulau Panggang kombinasi data pemeruman dan estimasi algoritma Stumpf

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari 3 rasio kanal yang dicobakan, 2 yang bisa digunakan untuk pendugaan batimetri perairan Pulau Panggang, yaitu rasio Green/Red dan Green/Yellow.

Rasio kanal Green/Red adalah rasio terbaik untuk menduga batimetri pada perairan sangat dangkal dengan subsrat terang (pasir/gosong karang), sedangkan rasio kanal Green/Yellow memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi untuk menduga kedalaman antara 2,5 – 20 m. Keakurasian peta batimetri hasil algoritma Stumpf mencapai 67%. Tampilan 3D perairan mampu menjelaskan keadaan topografi dasar perairan Pulau Panggang itu sendiri. Penggabungan data pemeruman dengan hasil estimasi Stumpf menghasilkan tampilan 3D yang lebih baik pada perairan Pulau Panggang.

Saran

(31)

21

DAFTAR PUSTAKA

Agus SB. 2012. Kajian konektifitas habitat ontogeny ikan teumbu menggunakan permodelan geospasial di perairan Kepulauan Seribu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 259 hlm.

Alsubaie NM. 2012. The potential of using Worldview-2 imagery for shallow water depth mapping [tesis]. Alberta : University of Calgary. 97 hlm.

Andrefouet S, Kramer P, Torres-Pulliza D, Joyce KE, Hochberg EJ, Garza-Perez R, Mumby PJ, Riegl B, Yamano H, White WH et al. 2003. Multi-site evaluation of IKONOS data for classification of tropical coral reef environments. Remote Sensing of Environment. 88:128-143.

Densham M. 2005. Bathymetry mapping with Quickbird data [tesis]. California: Naval Postgraduate School . 62 hlm.

Dianovita C. 2011. Pemetaan batimetri perairan dangkal karang congkak dan karang lebar dengan menggunakan citra IKONOS pan-sharpened [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 64 hlm.

DigitalGlobe. 2009. The benefit of the spectral bands of WorldView-2. White Paper. 9 hlm.

DigitalGlobe. 2011. Radiometric use of Worldview-2 imagery [catatan teknis]. 17 hlm.

ESRI. 2012. Classifying numerical fields for graduated symbology [internet].

[diacu 2013 April 11]. Tersedia dari:

http://help.arcgis.com/en/arcgisdesktop/10.0/help/index.html#//00s50000001r0 00000.

Green EP, Mumby PJ, Edwards AJ, Clark CD. 2000. Remote sensing handbook for tropical coastal management. Paris: UNESCO Publishing.

Jupp DLB. 1988. Background and extentions to depth of penetration (DOP) mapping in shallow coastal waters. Proceedings of the symposium on remote sensing of the coastal zone; Gold Coast; Queensland; September 1988. IV.2.1 – IV.2.19.

Lee KR, Kim AM, Olsen RC, Kruse FA. 2011. Determination of bottom-type and bathymetry using WorldView-2. Remote Sensing Center, Naval Postgraduate School (CA). 14 hlm.

Loomis MJ. 2009. Depth derivation from the Wolrdview-2 satellit using hyperspectral imagery [tesis]. California : Naval Postgraduate School. 69 hlm. Luce JJ, Steele R, Bird S. 2009. Application of Worldview-2 data for the

estimation of bathymetry in a Boreal River using surveyed cross sections, band ratios and multivariate adaptive polynomialspline regression. Canada. 17 hlm. Madden CK. 2011. Contributions to remote sensing of shallow water depth with

the Worldview-2 yellow band [tesis]. California : Naval Postgraduate School . 83 hlm.

Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edward AJ. 1998. Benefit of water column correction and contextual editing for mapping coral reef. J Remot Sens. 19(1):203-210.

(32)

22

Roem M. 2011. Metode dan pendekatan teoritis dalam derivasi batimetri laut dangkal dari data citra satelit Worldview-2. J Harpodon Borneo. 4(2):1-10. Selamat MB. 2012. Karakteristik subsrat dasar dan batimetri perairan dangkal

berbasis sistem optik [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 105 hlm. Siregar VP, Wouthuyzen S, Sukimin S. 2008. Pendugaan potensi ikan karang dengan citra satelit resolusi tinggi dan merancang alat tangkap yang selektif di Kepulauan Seribu. Laporan Penelitian. Bogor: Seameo Biotrop.

Siregar VP, Selamat MB. 2009. Interpolator dalam pembuatan kontur peta batimetri. JITKT. 1(1):39-40.

Siregar VP, Selamat MB. 2010. Evaluasi citra Quickbird untuk pemetaan batimetri gobah dengan menggunakan data perum: studi kasus gobah Karang Lebar dan Pulau Panggang. J Ilmu Kelaut. 11 hlm.

Stumpf RP, Holdried K, Siclair M. 2003. Determination of water depth with highresolution satellite imagery over variable bottom types. Limnol Oceanogr.

48(1, part 2):547-556.

Wahyuningrum PI. 2007. Pengembangan algoritma untuk estimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan data Landsat-7 ETM 22 + (Studi kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.105 hlm

Walpole RE. 1997. Pengantar statistika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Wouthuyzen, S. 2001. Pemetaan perairan dangkal dengan menggunakan citra

satelit landsat-5 tm guna dipakai dalam pendugaan potensi ikan karang : Suatu studi di pulau-pulau padaido. Seminar Sehari ”Potensi dan Eksploitasi

Sumberdaya Alam Nasional Dalam Mendukung Otonomi Daerah”. 29 Maret

(33)

23

(34)

24

Lampiran 1 Metadata citra Worldview-2 yang diakuisisi pada tanggal 19 Oktober 2011.

absCalFactor = 9.295654e-03; effectiveBandwidth = 4.730000e-02; TDILevel = 24;

(35)

25

absCalFactor = 1.364197e-02; effectiveBandwidth = 6.300000e-02; TDILevel = 10;

absCalFactor = 6.810718e-03; effectiveBandwidth = 3.740000e-02; TDILevel = 18;

(36)

26

absCalFactor = 6.063145e-03; effectiveBandwidth = 3.930000e-02; TDILevel = 18;

absCalFactor = 2.050828e-02; effectiveBandwidth = 9.890000e-02; TDILevel = 6;

absCalFactor = 9.042234e-03; effectiveBandwidth = 9.960000e-02; TDILevel = 24; scanDirection = "Forward"; CatId = "103001000E863100";

firstLineTime = 2011-10-19T03:39:15.350858Z; avgLineRate = 4999.99;

(37)

27

minInTrackViewAngle = -1.4; maxInTrackViewAngle = -1.4; meanInTrackViewAngle = -1.4; minCrossTrackViewAngle = -0.5; maxCrossTrackViewAngle = -0.4; meanCrossTrackViewAngle = -0.5; minOffNadirViewAngle = 1.4; maxOffNadirViewAngle = 1.4; meanOffNadirViewAngle = 1.4; PNIIRS = 3.0;

cloudCover = 0.000; resamplingKernel = "CC"; positionKnowledgeSrc = "R"; attitudeKnowledgeSrc = "R"; revNumber = 10634;

END_GROUP = IMAGE_1

BEGIN_GROUP = MAP_PROJECTED_PRODUCT earliestAcqTime = 2011-10-19T03:39:15.658861Z; latestAcqTime = 2011-10-19T03:39:15.658861Z; datumName = "WE";

semiMajorAxis = 6378137.0000; inverseFlattening = 298.257223563; datumOffset = (

0.000, 0.000, 0.000 );

(38)

28

Lampiran 1 (Lanjutan)

0.000000000, 0.000000000, 0.000000000, 0.000000000, 0.000000000, 0.000000000 ); productUnits = "M";

originX = 672262.99999972; originY = 9366729.00000251; orientationAngle = 0.0; colSpacing = 2.00; rowSpacing = 2.00; productGSD = 2.00; ULX = 672262.99999972; ULY = 9366729.00000251; ULH = 17.36;

URX = 679626.99999966; URY = 9366729.00000251; URH = 17.36;

LRX = 679626.99999967; LRY = 9362205.00000253; LRH = 17.36;

LLX = 672262.99999972; LLY = 9362205.00000252; LLH = 17.36;

DEMCorrection = "Base Elevation"; terrainHae = 17.36;

numGCP = 0;

(39)

29 Lampiran 2 Perbandingan kanal untuk estimasi batimetri

(Sumber : Legleiter et al. (2009) yang diacu dalam Luce et al. (2009)) No. Band Ratio Short Band Long Band

1 X_CB_B Coastal Blue 2 X_CB_GR Coastal Green 3 X_CB_Y Coastal Yellow 4 X_CB_R1 Coastal Red 5 X_CB_R2 Coastal Red-edge 6 X_CB_NR1 Coastal NIR 1 7 X_CB_NR2 Coastal NIR 2

8 X_B_GR Blue Green

9 X_B_Y Blue Yellow

10 X_B_R1 Blue Red

11 X_B_R2 Blue Red-edge

12 X_B_NR1 Blue NIR 1

13 X_B_NR2 Blue NIR 2

14 X_GR_Y Green Yellow

15 X_GR_R1 Green Red

16 X_GR_R2 Green Red-edge 17 X_GR_NR1 Green NIR 1 18 X_GR_NR2 Green NIR 2

19 X_Y_R1 Yellow Red

20 X_Y_R2 Yellow Red-edge 21 X_Y_NR1 Yellow NIR 1 22 X_Y_NR2 Yellow NIR 2

23 X_R1_R2 Red Red-edge

24 X_R1_NR1 Red NIR 1

25 X_R1_NR2 Red NIR 2

(40)

30

Lampiran 3 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman a. Konversi rasio kanal Green/Yellow

b. Konversi rasio kanal Green/Red

c. Konversi rasio kanal Coastal Blue/NIR-2

(41)

31 Lampiran 4 Uji akurasi kedalaman aktual dengan kedalaman pemeruman daerah

kajian laut dalam

y = 1x + 0.0073 R² = 0.2204

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

0 5 10 15 20 25 30 35 40

K

eda

la

m

a

n

P

em

er

um

a

n

(42)

32

Lampiran 5 Klasifikasi kelas kedalaman berdasarkan metode Natural Breaks

a. Daerah kajian laut dangkal

(43)

33 Lampiran 6 Bias antara nilai kedalaman in situ dan kedalaman aktual hasil

konversi algoritma Stumpf daerah kajian perairan dangkal

(44)
(45)

35 Lampiran 6 (Lanjutan)

106.6001 -5.7454 9.6215 9.1020 0.5195

106.6009 -5.7430 7.7023 9.1780 -1.4756

106.6002 -5.7454 10.5027 9.3154 1.1873

106.5979 -5.7441 8.8381 9.3608 -0.5227

106.6010 -5.7434 10.5027 9.4523 1.0504

106.5993 -5.7428 9.8565 9.5437 0.3127

106.5994 -5.7440 8.9361 9.6202 -0.6841

106.6009 -5.7434 9.8369 10.0619 -0.2250

106.6009 -5.7434 11.0314 10.0619 0.9696

106.5981 -5.7434 10.8748 10.0924 0.7824

106.5979 -5.7441 11.2469 10.2143 1.0326

106.5987 -5.7423 11.0902 10.2258 0.8644

106.5994 -5.7439 9.3473 10.2602 -0.9129

106.5981 -5.7434 10.7964 10.8239 -0.0274

106.5994 -5.7429 10.7964 10.9763 -0.1798

106.5995 -5.7429 10.0327 11.2811 -1.2484

106.6007 -5.7435 10.5027 11.3116 -0.8089

106.5981 -5.7435 10.5419 11.4335 -0.8916

106.6008 -5.7431 9.9544 11.6164 -1.6620

106.5968 -5.7432 11.7364 11.6279 0.1086

106.5997 -5.7436 11.2077 11.6378 -0.4301

106.5959 -5.7428 11.0510 11.6698 -0.6187

106.5981 -5.7435 10.9727 12.1955 -1.2228

106.6004 -5.7433 11.2469 12.2869 -1.0401

106.5963 -5.7446 13.2639 13.1938 0.0702

(46)

36

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjungpandan pada tanggal 3 Juni 1990 dari ayah yang bernama Hanafi Musa dan ibu Sabarina. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2008 penulis lulus sebagai siswa SMA Negeri 1 Tanjungpandan dan diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif didalam organisasi kemahasiswaan sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Tekmologi Kelautan periode jabatan 2011/2012 dan Ikatan Keluarga Pelajar Belitung periode jabatan 2009/2010, 2010/2011 dan 2011/2012.

Sebagai tugas akhir untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian dengan judul “Pemetaan Batimetri

Gambar

Gambar 1  Lokasi Penelitian Perairan Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, DKI
Gambar 3  Diagram alir pengolahan data batimetri dengan citra satelit Worldview-2
Gambar 5  Model kedalaman relatif hasil estimasi rasio kanal (a) Green/Yellow,
Gambar 7  Model kedalaman relatif hasil estimasi pada daerah kajian 1 dengan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul Distribusi Lamun dan Mangrove Menggunakan Citra Satelit WorldView-2 di Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu

Berdasarkan metode yang dilakukan dalam penelitian ini, didapatkan hasil klasifikasi habitat bentik dengan transformasi citra menggunakan algoritma Lyzenga dan

14 Hubungan antara rasio 2 kanal citra satelit terhadap kedalaman 22 15 Model 3-D batimetri berdasarkan ekstrak citra satelit 22 16 Penampang melintang profil kedalaman transek 1-2

Hasil yang diperoleh dengan menggunakan spektrofotometer menunjukkan bahwa daun tua mangrove memiliki nilai reflektansi yang lebih tinggi daripada daun muda mangrove pada

Pada penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa metode pemetaan untuk memperoleh luas habitat perairan dangkal dengan memper- timbangkan topografi dasar perairan

Tujuan penelitian ini yaitu untuk melakukan pengamatan kondisi lamun berdasarkan persentase penutupan dan jenis lamun, melakukan pemetaan sebaran lamun menggunakan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh perbedaan resolusi citra satelit, penggunaan algoritma yang berbeda dan kualitas perairan (khusus- nya

Penelitian ini menggunakan citra WorldView-2 sebagian Pulau Kemujan dengan empat saluran multispektral, yaitu band biru, hijau, merah dan inframerah dekat, yang dikombinasikan menjadi