• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL

PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN

MENGGUNAKAN CITRA

WORLDVIEW

-2

ADE AYU MUSTIKA

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra worldview-2 adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ADE AYU MUSTIKA. Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2. Dibimbing oleh VINCENTIUS P. SIREGAR dan SYAMSUL BAHRI AGUS.

Perairan dangkal di daerah tropis memiliki beberapa macam ekosistem yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya, hal tersebut berperan penting bagi masyarakat pesisir maupun sebagai penentuan kawasan konservasi. Untuk mengetahui kondisi terkini Pulau Panggang maka diperlukan informasi yang dapat menggambarkan kondisi habitat dasar laut perairan dangkal. Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui keragaan dari citra WorldView-2 dalam memetakan habitat dasar perairan dangkal di Pulau Panggang dan sekitarnya dengan pendekatan transformasi citra “ Depth Invariant Index”. Citra resolusi tinggi ini dapat menghasilkan klasifikasi tematik habitat dasar perairan dangkal dalam 9 kelas dengan akurasi keseluruhan 69,72 % dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,65 dan 7 kelas dengan akurasi keseluruhan 78,87 % dengan nilai koefisien kappa sebesar 0,75. Hasil akurasi tersebut cukup baik dalam memetakan habitat dasar perairan dangkal.

Kata kunci: habitat dasar, Depth Invariant Index ,WorldView-2, akurasi

ABSTRACT

ADE AYU MUSTIKA. Bottom Habitat of Shallow Water Mapping in Panggang Island and Its Vicinity by using Worldview-2 Image. Supervised by VINCENTIUS P. SIREGAR and SYAMSUL BAHRI AGUS.

Shallow water in tropical ocean has different ecosistem that interacted each other, which is important for people living in coastal area and definiting conservation area. To know the recent condition of Panggang Island, the information of bottom habitat of shallow water is needed. Thus, the purpose of this research is to investigate the performance of Worldview-2 image for bottom habitat of shallow water mapping in Panggang Island and its vicinity by using image transformation “Depth Invariant Index”. This image, can provide 9 class of bottom habitat of shallow water which the overall accuration 69,72 % and kappa coefficient 0,65, and 7 class which the overall accuration 78,87 % and kappa coefficient 0,75. The accuration value is good enough for mapping the bottom habitat of shallow water.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

PEMETAAN HABITAT DASAR PERAIRAN DANGKAL

PULAU PANGGANG DAN SEKITARNYA DENGAN

MENGGUNAKAN CITRA

WORLDVIEW

-2

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2

Nama : Ade Ayu Mustika

NIM : C54080011

Disetujui oleh

Dr. Ir. Vincentius P.Siregar, DEA Pembimbing I

Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi yang berjudul

“Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal Pulau Panggang dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Citra Worldview-2” diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih dengan tulus dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

1 Kedua orang tua saya, Ayah Surya dan Mama Lely Herniati serta kakak, teteh, abang dan adek yang selalu memberikan motivasi dan doanya;

2 Dr. Ir. Vincentius P.Siregar, DEA dan Dr. Syamsul Bahri Agus, S.Pi, M.Si selaku pembimbing I dan II atas bimbingan, pengetahuan, dan nasehat yang telah diberikan;

3 Dr.Ir.Djisman Manurung, M.Sc, selaku penguji tamu dalam ujian skripsi ini; 4 Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik; 5 Githa Prima Putra, S.Ik dan Anggi Afif Muzaki, S.Pi, M.Si yang telah

membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan pengolahan data penelitian;

6 Hikmah, Marsya, Umi, Anta, Reffa, Bebe, Niki, warkopers serta keluarga ITK 45 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih telah membantu penulis dalam pengambilan data di lapang, memberikan motivasi, semangat, doa serta atas segala kebersamaannya;

7 Fisheries Diving Club (FDC-IPB) atas pendidikan dan pelatihan yang diberikan,serta kekeluargaannya terutama kepada teman-teman Diklat 26 dan 27 atas perjuangannya, serta seluruh anggota FDC atas kebersamaannya; 8 Seluruh warga ITK atas dukungan dan kerjasama, serta semua pihak yang

tidak dapat disebutkan satu persatu dalam memberikan sumbangan saran, bimbingan dalam penelitian, pengolahan data, dan penyusunan skripsi secara sukarela;

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis sendiri sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapan. Namun penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Lokasi penelitian 2

Alat dan Bahan 2

Pemrosesan Citra 3

Pengolahan Citra Awal 3

Penajaman Citra Untuk Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal 4

Survei Lapang 5

Analisis Ketelitian Data 5

Analisis Kappa 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 7

Peta Tematik Habitat Dasar 7

Perhitungan Akurasi 12

SIMPULAN DAN SARAN 17

Simpulan 17

Saran 17

DAFTAR PUSTAKA 18

LAMPIRAN 20

(10)

DAFTAR TABEL

1 Luas masing-masing dari 9 kelas tematik habitat dasar 11 2 Luas masing-masing dari 7 kelas tematik habitat dasar 11 3 Confusion matrix pada klasifikasi 9 kelas habitat dasar perairan 13 4 Confusion matrix pada klasifikasi 7 kelas habitat dasar perairan 14 5 Berbagai penelitian pemetaan habitat terumbu karang 16

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi Penelitian di Pulau Panggang dan sekitarnya, Kep. Seribu DKI

Jakarta 2

2 Diagram alir penelitian 7

3 Pemotongan histogram menjadi 9 kelas habitat dasar perairan 8 4 Pemotongan histogram menjadi 7 kelas habitat dasar perairan 8

5 Peta survei lapangan 9

6 Peta tematik 9 kelas habitat dasar perairan dangkal 10 7 Peta tematik 7 kelas habitat dasar perairan dangkal 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Data GPS dan habitat dasar perairan dangkal 20

2 Foto-foto survei lapang 31

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan kaya akan sumber daya alamnya, terutama sumber daya alam yang berasal dari laut. Sumber daya laut memiliki peran penting, baik yang bernilai ekonomi, maupun tidak bagi masyarakat Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat pesisir memanfaatkan potensi yang ada sebagai mata pencaharian dan menggantungkan hidupnya dari perikanan yang berasal dari perairan dangkal.

Perairan dangkal pada laut tropis memiliki beberapa macam ekosistem antara lain, terumbu karang, padang lamun, pasir, lumpur dan hutan mangrove, dimana ekosistem-ekosistem tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Ekosistem terumbu karang dan lamun berada pada lingkungan perairan yang dangkal yang merupakan habitat dari beraneka ragam biota laut tropis yang sangat produktif. Pada umumnya kondisi dan keberadaan terumbu karang mempengaruhi keanekaragaman ikan karang. Banyak aspek ekologis laut yang masih berhubungan secara langsung dengan aktivitas manusia di daerah perairan dangkal. Tipe habitat dasar di perairan dangkal dapat menjadi salah satu parameter yang mempengaruhi penentuan kawasan konservasi laut, karena merupakan tempat bagi jenis-jenis ikan karang.

Gugusan pulau Panggang dan sekitarnya merupakan salah satu wilayah yang berada di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Kawasan ini merupakan kawasan ekosistem terumbu karang yang perlu dilindungi. Semakin berkembangnya teknologi, maka semakin berkembang juga kegiatan yang berada pada wilayah Kepulauan Seribu, salah satunya adalah aspek pariwisata bahari. Pulau Panggang berada dalam satu gugusan dengan Pulau Pramuka yang merupakan salah satu kawasan tujuan para wisatawan Kepulauan Seribu. Hal ini tentu akan berdampak pada kerusakan terumbu karang dan ekosistem lain disekitarnya pada sebagian kawasan perairan dangkal. Untuk mengetahui kondisi terkini maka diperlukan informasi yang dapat menggambarkan keberadaan habitat dasar laut perairan dangkal.

(12)

2

keperluan analisis-analisis spasial sumber daya alam dan lingkungan, dalam hal ini untuk memetakan habitat dasar perairan dangkal.

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui keragaan dari citra WorldView-2 dalam memetakan habitat dasar perairan dangkal di Pulau Panggang dan sekitarnya dengan pendekatan transformasi citra “Depth Invariant Index”.

METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Panggang dan sekitarnya, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 1). Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap: proses pengolahan citra awal dilakukan pada bulan September 2012, survei lapang pada tanggal 16-17 Oktober 2012 dan analisa akhir pada bulan November 2012- Februari 2013.

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Pulau Panggang dan Sekitarnya, Kep. Seribu, DKI Jakarta.

Alat dan Bahan

(13)

3 mengolah citra, hand Global Positioning System (GPS) jenis Garmin etrex h dan GPS 12 dengan presisi 3-5 meter yang digunakan untuk penentuan posisi lokasi pengamatan, underwater digital camera yang digunakan sebagai alat dokumentasi pada saat survey lapang, alat dasar selam untuk snorkling dalam melakukan pengamatan habitat dasar perairan, serta sabak dan pensil untuk menulis dalam air.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit Worldview-2 dengan tanggal akuisisi pada 19 Oktober 2011 (5° 44’ 11,24” LS - 106º 35’ 10,08”

BT hingga 5° 44’ 56,53” LS - 106º 36’ 28,14” BT), serta data hasil survei lapang berupa titik koordinat dan jenis habitat dasar yang diamati.

Pemrosesan Citra

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan pendekatan analisa data, yaitu pengolahan citra awal, survei lapang, pengolahan citra lanjutan dan uji akurasi. Data primer diperoleh dengan cara pengamatan secara langsung (in-situ) pada lokasi penelitian. Penentuan lokasi pada survei lapang menggunakan GPS pada titik-titik survei yang diambil secara rapid mobile dan nantinya akan dijadikan sebagai acuan dalam pemetaan habitat.

Pengolahan Citra Awal

Pengolahan citra awal meliputi proses pemulihan (image restoration) dan pemotongan citra (image cropping). Setelah melakukan proses pemulihan dilakukan pemotongan citra untuk membatasi daerah yang akan diolah sesuai dengan lokasi penelitian, pada penelitian ini hanya terbatas pada Pulau Panggang. Pemulihan citra berupa koreksi radiometrik dan koreksi geometrik. Koreksi radiometrik yaitu koreksi terhadap pengaruh atmosfer untuk menghilangkan faktor-faktor yang menurunkan kualitas citra. Metode koreksi radiometrik yang digunakan adalah penyesuaian histrogram (histogram adjustment). Nilai bias adalah nilai digital minimum pada setiap kanal, nilai bias diasumsikan sama dengan besarnya pengaruh atmosfer terhadap gelombang cahaya. Pada metode ini ditetapkan bahwa respon spektral terendah pada setiap band nilainya adalah nol, oleh karena itu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua kanal sehingga nilai minimumnya sama, yaitu nol.

(14)

4

Penajaman Citra Untuk Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal

Proses penajaman citra yang diterapkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan transformasi kanal, yaitu algoritma depth invariant index (Green et al. 2000) dan dikembangkan serta diterapkan di perairan Indonesia (Siregar 1996). Algoritma tersebut menggunakan kanal 2 dan kanal 3, dengan spektrum biru dan hijau dari citra WorldView-2. Dasar penggunaan kanal 2 dan kanal 3 yaitu karena kedua band ini memiliki penetrasi yang baik ke dalam kolom air (Mount 2006). Spektrum ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar. Algoritma tersebut yaitu :

...(1) Y = citra hasil ekstrasi dasar perairan

DN2 = nilai digital kanal 2 Worldview-2 DN3 = nilai digital kanal 3 Worldview-2

= nilai koefisien atenuasi dimana

...(2) dengan

...(3) = nilai ragam dari nilai digital masing-masing kanal 2 dan 3

= nilai koefisien keragaman dari nilai digital kanal 2 dan 3

Nilai ki/kj didapatkan dengan melakukan training area di daerah yang diasumsikan sudah jelas substratnya, misalnya pasir untuk mendapatkan nilai digital kanal yang akan digunakan, sehingga mendapatkan nilai a. Transformasi penggabungan dua kanal ini akan menghasilkan puncak yang lebih banyak dan beragam pada rentang histogram yang dihasilkan (Gambar 4 dan 5). Citra yang telah ditransformasikan dengan algoritma tersebut selanjutnya diklasifikasi. Klasifikasi merupakan suatu proses pengelompokan nilai reflektansi dari setiap objek ke dalam kelas-kelas tertentu sehingga mudah dikenali. Pada penelitian ini klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dari hasil survei lapang.

(15)

5 Survei Lapang

Survei lapang ini dilakukan dengan cara menentukan titik pengamatan yang dianggap telah mewakili tiap habitat yang ada dan mencatat setiap posisi titik menggunakan GPS serta mencatat habitat yang ditemukan dan mendokumentasikannya dengan underwater digital camera. Data lapangan tersebut diharapkan dapat mewakili daerah tersebut. Data survei lapang yang didapat selanjutnya akan digunakan untuk melakukan pengolahan citra lanjutan. Pada penelitian ini didapatkan 431 titik sampel di perairan Pulau Panggang yang akan dipakai untuk pengolahan data.

Analisis Ketelitian Data

Hasil uji ketelitian mempengaruhi besarnya tingkat kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Uji akurasi dapat dilakukan dengan menggunakan confusion matrix atau matriks kesalahan. Persentase ketelitian dari klasifikasi dihitung dari perbandingan perhitungan titik sampel di lapangan (groundtruth) dengan data hasil klasifikasi citra (jumlah pikselnya). Nilai ketelitian yang diharapkan nantinya harus memenuhi syarat lebih besar dari 70% (Purwadhi 2001), sehingga dari persentase yang didapatkan tersebut merupakan pembuktian terhadap nilai keakurasian data citra. Perhitungan masing-masing akurasi dilakukan dengan persamaan berikut (Cangalton dan Green 2009) :

Sumber : Cangalton dan Green (2009)

Overall accuracy ...(4) Producer accuracy ...(5) User accuracy ...(6)

Analisis Kappa

(16)

6

koefisien κ. Perhitungan koefisien κ dilakukan dengan persamaan berikut (Cangalton dan Green, 2009) :

...(7) Dimana :

= Koefisien kappa

k = Jumlah baris pada matrik

= Jumlah pengamatan pada kolom ke-i dan baris ke-i = Jumlah marginal baris ke-i

= Jumlah marginal kolom ke-i = Jumlah pengamatan

(17)

7 Gambar 2 di bawah ini merupakan diagram alir pengolahan data citra untuk menghasilkan klasifikasi habitat perairan dangkal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peta Tematik Habitat Dasar

Penelitian ini menggunakan pendekatan transformasi citra “ Depth Invariant Index” yang telah dikembangkan oleh Polcyn dan Lyzenga pada tahun 1975. Prinsip ini sebagai dasar untuk mengembangkan teknik penggabungan informasi dari beberapa saluran spektral untuk menghasilkan indeks dengan menghilangkan pengaruh kedalaman perairan dari material penutup dasar perairan. Parameter masukan dalam algoritma ini adalah perbandingan antara koefisien pelemahan air (water attenuation coefficient) pada beberapa saluran spektral. Mount (2006) menjelaskan bahwa sinar biru dan sinar hijau adalah sinar dengan energi terbesar

Gambar 2. Diagram Alir Penelitian Citra Satelit

Worldview-2 Start

Koreksi Radiometrik

Cropping pada Pulau Panggang

Transformasi Citra (Depth Invariant

Index) Survei lapang

Uji Akurasi

Peta habitat dasar Koreksi Geometrik

Citra hasil transformasi

Citra klasifikasi

(18)

8

yang dapat direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak (400-650 nm). Dua sinar ini banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar, spektrum biru dan hijau dari citra WorldView-2 terdapat pada kanal 2 dan 3. Untuk mendapatkan persamaan citra hasil transformasi terlebih dahulu menghitung koefisien atenuasi ( ). Koefisien tersebut dihitung menggunakan kanal 2 dan kanal 3 pada citra Worldview-2, yaitu spektrum sinar biru dan sinar hijau. Hasil perhitungan dari koefisien atenuasi menghasilkan nilai sebesar 0,065, sehingga didapat persamaan algoritma yang digunakan untuk mengekstrak substrat dasar yaitu,

– . Rentangan perbedaan warna pada citra hasil transformasi algoritma ini menunjukkan peningkatan jumlah kelas yang ada di substrat perairan dangkal. Banyaknya kelas juga terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan yaitu dengan sebaran nilai antara 3,37 sampai 5,28. Berikut merupakan pemotongan histogram menjadi 9 kelas dan 7 kelas (Gambar 3 dan 4) :

Gambar 3. Pemotongan Histogram Menjadi 9 Kelas Habitat Dasar Perairan

Gambar 4. Pemotongan Histogram Menjadi 7 Kelas Habitat Dasar Perairan index

Σ pixel

Σ pixel

index

1 2 3 4 5 6 7 8 9

(19)

9 Penelitian ini bermaksud memanfaatkan kemampuan citra satelit Worldview-2 untuk memetakan karakteristik dasar perairan dangkal dengan menggunakan skema klasifikasi habitat di Pulau Panggang dan dalam penentuan kelas pada penelitian ini berdasarkan skema habitat yang diacu dalam penelitian Agus (2012) dimana didapatkan 12 kelas habitat dasar perairan dangkal, yaitu Karang Rubble atau karang hidup bercampur pecahan karang (KRB), Lamun Tutupan Sedang (LTS), Lamun Tutupan Tinggi (LTT), Perairan Dalam (AD), Pasir (P), Pasir Karang/Lamun/Alga (PKLA), Pasir Lamun (PL), Pasir Rubble (PR), Pasir Rubble/Lamun/Alga (PRLA), Rubble (R), Rubble Alga (RA), dan Terumbu Karang (TK).

Gambar 5. Peta Survei Lapangan.

Berdasarkan hasil survei lapang pada penelitian ini (Gambar 5) secara visual oleh pengamat didapatkan 14 kelas habitat dasar, yang selanjutnya disederhanakan berdasarkan hasil klasifikasi citra menjadi 9 kelas (Lampiran 1). Penyederhanaan ini dilakukan karena sedikitnya sampel titik kelas yang didapatkan dan adanya kemiripan nilai masing-masing kelas,sehingga adanya penggabungan menjadi satu kelas dari beberapa kelas. Hal tersebut juga diakibatkan adanya keterbatasan pada GPS yang digunakan sehingga adanya tumpang tindih antar kelas. Sembilan kelas tersebut adalah Karang Hidup (TK),

(20)

10

Gambar 6. Peta Tematik 9 Kelas Habitat Dasar Perairan Dangkal

(21)

11 Mumby dan Edwards (2002) mengatakan bahwa pemetaan habitat pesisir menggunakan data inderaja yang memiliki resolusi spasial tinggi dapat meningkatkan akurasi, karena memungkinkan penetapan kelas habitat yang lebih detail dan mendekati pada kondisi sebenarmya di lapang. Data satelit inderaja Worldview-2 termasuk memiliki resolusi spasial yang sangat tinggi karena resolusinya 0,46 meter untuk pankromatik dan 1,8 meter untuk multispektral (Poli D et al. 2010). Didapatkannya 9 kelas habitat dasar perairan dangkal pada penelitian ini dapat membuktikan dari pernyataan tersebut (Tabel 1).

Klasifikasi dengan 9 kelas menunjukkan habitat pasir bercampur lamun terlihat mendominasi dengan luasan yang paling besar, yaitu 428.292 m2 dengan komposisi 19,26 % dari total komposisi habitat yang ada, kelas habitat dengan luasan terkecil adalah mixel antara pasir,karang hidup dan lamun dengan luasan sebesar 104.147 m2 (4,68 %), sedangkan untuk karang hidup memiliki luasan 230.764 m2 (10,38 %), hasil ini sesuai dengan keadaan pada saat survei lapang. Pada klasifikasi dengan 7 kelas adanya penggabungan kelas lamun serta pasir, diperoleh kelas habitat dengan luasan tertinggi adalah kelas lamun dengan luasan sebesar 482.619 m2 (21,70 %), sedangkan luasan terkecil sama dengan klasifikasi 9 kelas (Tabel 1 dan 2). Sebaran karang hidup dapat dilihat banyak tersebar di sekitar tubir gosong dan juga di sekitar goba Pulau Panggang.

Tabel 1. Luas Masing-Masing Dari 9 Kelas Tematik Habitat Dasar No. Kelas Habitat nilai index Luas 9 Pasir,Karang Hidup,Lamun > 5,05 104.147 4,68

Tabel 2. Luas Masing-Masing Dari 7 Kelas Tematik Habitat Dasar

(22)

12

Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Dewi (2010) di daerah Karang Lebar dan Karang Congkak dengan menggunakan citra Ikonos Pansharpen menghasilkan peta dengan klasifikasi menjadi 6 kelas, yaitu karang hidup, karang mati, lamun, pasir campur karang, pasir campur lamun dan pasir dengan substrat pasir bercampur lamun hampir mendominasi seluruh wilayah kajian. Pada lokasi yang sama pun dilakukan juga penelitian oleh Siregar (2010) dengan menggunakan citra QuickBird menghasilkan klasifikasi habitat dasar sebanyak 5 kelas, yaitu karang hidup, karang mati, pasir, lamun, dan pasir bercampur karang, dengan luasan yang paling besar adalah kelas lamun yang mendominasi 32% dari total komposisi kelas habitat yang ada.

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu sistem kehidupan yang ukurannya dapat bertambah ataupun berkurang sebagai akibat dari interaksi yang kompleks antara berbagai kekuatan biologis dan fisik (Nybakken 1988). Interaksi dengan ekosistem yang lainnya seperti padang lamun dan pasir menjadikan ekosistem terumbu karang mempunyai fungsi ekologis. Habitat terumbu karang didefinisikan sebagai habitat alami bagi tanaman dan hewan. Tipe-tipe habitat dasar ini merupakan salah satu parameter yang berpengaruh dalam penentuan kawasan konservasi laut, karena merupakan habitat bagi jenis-jenis ikan karang. Ikan karang lebih suka untuk tinggal di habitat karang hidup dibandingkan di pasir ataupun di karang mati (rubble).

Perhitungan Akurasi

Pengukuran akurasi hasil citra klasifikasi dengan data lapang digunakan sebanyak 142 titik referensi dalam perhitungan nilai parameter user accuracy (UA), producer accuracy (PA) dan overall accuracy (OA) yang dirangkum dalam satu matriks, yaitu matriks kontingensi atau yang juga disebut confusion matrix. Matriks ini didapat dengan cara membandingkan antara jumlah pixel hasil klasifikasi dengan data lapang (ground truth). Hasil perhitungan uji akurasi dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. Nilai overall accuracy pada klasifikasi 9 kelas didapatkan sebesar 69,72 % dengan nilai 0,65 , sedangkan pada 7 kelas nilainya meningkat menjadi 78,87 % dengan nilai sebesar 0,75. Kualitas pemetaan pada kedua klasifikasi ini tergolong kategori sedang karena berada pada kisaran 0,4 - 0,8.

Nilai user accuracy atau akurasi pengguna merupakan peluang rata-rata suatu piksel secara aktual mewakili tiap kelas di lapangan. Pada klasifikasi dengan 9 kelas menunjukkan nilai UA terbesar pada kelas pasir bercampur lamun (PL) dengan menunjukkan nilai 82,14 % yang telah terklasifikasi dengan benar, sementara 17,86 % piksel yang seharusnya masuk ke kelas PL tidak terpetakan dengan benar (omission error atau membuang daerah yang seharusnya termasuk dalam kelas) . Nilai terkecil ada pada kelas pasir (P) dengan nilai persentase 50 % yang telah tepat terpetakan sesuai dengan sebenarnya di lapang.

(23)

13 gagal terpetakan sesuai dengan kelasnya) atau commission error (memasukkan daerah yang seharusnya dibuang dari kelas).

Perhitungan UA pada klasifikasi dengan jumlah 7 kelas memberikan informasi bahwa kelas pasir campur lamun juga memiliki nilai yang tinggi, yaitu 91,30 % dengan 8,7 % tidak terpetakan sesuai dengan kelasnya. Nilai terkecil pada kelas mixel pasir, karang hidup, dan lamun dengan nilai sebesar 60 %. Kemudian PA pada klasifikasi ini untuk kelas perairan dalam, karang hidup dan lamun memiliki nilai yang sama tingginya, yaitu 90 % yang terpetakan dengan tepat. Sedangkan nilai terkecil ada pada kelas mixel pasir,karang hidup, dan lamun hanya dapat terpetakan dengan tepat sebesar 54,54 %.

Tabel 3. Confusion matrix Pada Klasifikasi 9 Kelas Habitat Dasar Perairan

citra\lapangan darat PD TK KR P LT PR LS PL PKL

Keterangan : Karang Hidup (TK), Perairan Dalam (PD) (≥15 meter), Karang Rubble (KR), Lamun Tutupan Sedang (LS) (30-60%), Lamun Tutupan Tinggi (LT) (≥60%), Pasir (P), Pasir Rubble (PR), Pasir Campur Lamun (PL) (lamun < 30%) dan mixel Pasir, Karang Hidup dan Lamun (PKL)

Total benar = 99, Total sampel = 142,

Total akurasi (OA) = 99/142 *100% = 69,72% κ = 0,65

producer accuracy (%) user accuracy (%)

lapangan akurasi citra akurasi

(24)

14

Tabel 4. Confusion matrix Pada Klasifikasi 7 Kelas Habitat Dasar Perairan

citra\lapangan darat PD TK KR PR L PL PKL

Keterangan : Karang Hidup (TK), Perairan Dalam (PD) (≥15 meter), Karang Rubble (KR), Lamun (L), Pasir Rubble (PR), Pasir Campur Lamun (PL) (lamun < 30%) dan mixel Pasir, Karang Hidup dan Lamun (PKL)

Total benar = 112, Total sampel = 142,

Total akurasi (OA) = 112/142 *100% = 78,87% κ = 0,75

producer accuracy (%) user accuracy (%)

lapangan akurasi citra akurasi

darat 5/6 = 83,33 darat 5/8 = 62,5

Pada perairan dangkal energi matahari akan mencapai dasar perairan untuk kemudian merefleksikannya hingga mencapai sensor. Energi yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan akan berbeda untuk setiap objek di muka bumi, tergantung pada jenis materi dan kondisinya. Perbedaan ini memungkinkan untuk membedakan objek yang berbeda pada suatu citra. Perbedaan informasi spektral objek yang sama pada beberapa saluran panjang gelombang dapat memperkuat sensor dalam membedakan objek. Sebagian cahaya akan menembus lebih dalam dan bila dasar laut tidak terlalu dalam maka bagian spektrum ini akan dipantulkan oleh dasar laut atau organisme bentos, misalnya alga, lamun atau terumbu karang.

(25)

15 memiliki nilai yang berbeda sehingga memudahkan untuk dilakukan identifikasi terhadap jenis-jenis habitat dasar perairan dangkal.

Pemetaan dengan jumlah kelas klasifikasi 9 kelas memiliki nilai akurasi secara umum (OA) 69,72 %, yang lebih rendah jika dibandingkan dengan klasifikasi 7 kelas (termasuk darat) sebesar 78,87 %. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dengan persentase yang didapat dari seluruh data piksel pada citra Worldview-2 telah terklasifikasi dengan benar sesuai kondisi pada pengamatan insitu. Nilai akurasi untuk pemetaan habitat dasar pada setiap citra satelit berbeda-beda. Pada pemetaan habitat dasar perairan dangkal juga dilakukan di dearah yang berdekatan dengan daerah penelitian oleh Dewi (2010) menggunakan citra Ikonos Pansharpen dengan jumlah klasifikasi 6 kelas menghasilkan akurasi yang lebih rendah yaitu 35,22 %. Siregar (2010), Asmadin (2011) dan Agus (2012) dengan menggunakan citra QuickBird menunjukkan nilai yang lebih tinggi, dengan 5 kelas Siregar (2010) menghasilkan nilai akurasi sebesar 79 %, sedangkan Asmadin (2011) menghasilkan nilai akurasi 82,79 % dengan klasifikasi 6 kelas habitat dasar, serta Agus (2012) menunjukkan nilai OA 68,98 % dengan jumlah kelas yang lebih detail, yaitu 12 kelas klasifikasi.

Selain itu terdapat juga berbagai penelitian di luar negeri mengenai pemetaan habitat terumbu karang (Tabel 5). Nilai akurasi yang didapatkan pada penelitian ini jika dibandingkan dengan pemetaan habitat terumbu karang di berbagai negara (Tabel 5) memiliki kemiripan range nilai yang sama, sehingga dapat disandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagai acuan informasi yang besifat pembanding dalam pemetaan habitat dasar perairan dangkal. Semakin sedikit jumlah kelas yang dipakai dalam memetakan habitat maka akan meningkatkan daya akurasi dari peta tematik tersebut, namun hal tersebut tergantung juga dengan citra satelit yang digunakan dalam pemetaan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan adanya perbedaan pada nilai OA yang didapat pada penelitian ini, nilai akurasi pada klasifikasi 7 kelas lebih tinggi dibandingkan dengan klasifikasi yang berjumlah 9 kelas. Menurut Mumby et al. (1998) nilai akurasi 65-70% dapat dikategorikan cukup baik untuk pemetaan habitat pesisir menggunakan inderaja satelit.

(26)

16

Tabel 5. Berbagai penelitian pemetaan habitat terumbu karang

Peneliti Subjek Citra Metode Akurasi

Agus (2012) 12 kelas habitat Quickbird Klasifikasi

unsupervised

3-15 kelas bentik Ikonos Landsat ETM

5 kelas bentik Landsat ETM · Klasifikasi unsupervised

Landsat TM · Klasifikasi unsupervised

Siregar (2010) 5 kelas habitat Quickbird · Klasifikasi unsupervised dan supervised

Keseluruhan 79 %

(27)

17 Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai hasil perhitungan matriks uji akurasi. Faktor yang pertama adanya kesalahan dalam pengelompokkan jenis substrat berdasarkan yang sebenarnya yang terdapat di lapang pada saat pengambilan data primer. Pengambilan data yang dilakukan oleh beberapa orang akan menghasilkan persepsi yang berbeda juga, dikarenakan pendeskripsian dari masing-masing orang yang tidak sama. Hal tersebut tentu akan berpengaruh terhadap keakuratan data substrat yang diambil. Faktor lain adalah posisi pada saat pengambilan data dengan koordinat yang ada pada citra Worldview-2 yang seharusnya sama. Citra Worldview-2 yang termasuk golongan satelit dengan sensor yang beresolusi sangat tinggi yang mampu mencapai tampilan pankromatik dengan resolusi yang kurang dari 0,5 meter (lebih dari 0,46 m untuk jarak sampel) dan untuk tampilan multispektral memiliki resolusi lebih dari 1,84 m. Namun dengan menggunakan GPS Garmin etrex h dan GPS12 yang memiliki presisi 3- 5 meter dari posisi yang sebenarnya tentu akan sangat berpengaruh sekali terhadap hasil akurasi yang didapatkan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pemetaan habitat dasar perairan dangkal dengan pendekatan transformasi citra “depth invariant index” menggunakan citra Worldview-2 dapat menghasilkan peta tematik dengan klasifikasi substrat dasar menjadi 9 kelas dan hasil reclass menjadi 7 kelas pada satu skema klasifikasi habitat dasar. Sembilan kelas tersebut yaitu, perairan dalam, karang hidup, campuran karang hidup dan rubble, lamun tutupan sedang, lamun tutupan tinggi, pasir, pasir rubble, pasir campur lamun serta mixel pasir, karang hidup dan lamun. Sedangkan pada tujuh kelas hasil reclass, kelas lamun tutupan sedang dan lamun tutupan tinggi menjadi kelas lamun dan kelas pasir bergabung dalam kelas pasir rubble. Pengklasifikasian tersebut menghasilkan uji akurasi keseluruhan yang cukup baik menggunakan confusion matrix, yaitu sebesar 69,72 % untuk 9 kelas dan 78,87 % untuk 7 kelas. Kedua kelas tersebut memiliki kualitas pemetaan yang tergolong kategori sedang karena nilai koefisien kappa berada pada kisaran 0,4 sampai 0,8.

Saran

(28)

18

DAFTAR PUSTAKA

Agus SB. 2012. Kajian Konektivitas Habitat Ontogeni Ikan Terumbu Menggunakan Pemodelan Geospasial Di Perairan Kepulauan Seribu [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Asmadin. 2011. Klasifikasi Habitat Perairan Dangkal dari Citra Satelit Quickbird Menggunakan Metode Kecerdasan Buatan [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Butler MJA, Mouchot C, Barote V, Blanc LC. 1988. The Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries. An Introductory Manual. FAO Fisheries Technical Paper 295: 129.

Congalton RG dan Green K. 2009. Assessing The Accuracy of Remotely Sensed Data : Principles and Practices. Lewis Publishers. New York. xv + 179 hlm. Danoedoro P. 1996. Pengolahan Citra Digital: Teori dan Aplikasinya dalam

Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. 254 hlm.

Dewi RR.2010. Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal dengan Menggunakan Citra Ikonos Pansharpen di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, Jakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Green PE, Mumby PJ, Edwards AJ, dan Edwards CD. 2000. Remote Sensing Handbook for Coastal Management. United Nations Educational, Scientifics, and Cultural organization. Paris.x + 316 hlm.

Hochberg EJ dan Atkinson MJ. 2000.Spectral discrimination of coral reef benthic communities. Coral Reefs. 19:164–171.

Isoun E, Fletcher C, Frazer N dan Gradie J. 2003. Multi-spectral mapping of reef bathymetry and coral cover: Kailua Bay, Hawaii. Coral Reefs. 22:68–82. Lillesand TM, Kiefer RW. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.

Dulbahri,Suharsono P, Suharyadi H, penerjemah; Sutanto, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Remote Sensing and Image Interpretation. 725 hlm.

Lunetta RS dan Lyon JG. 2004. Remote Sensing and GIS Accuracy Assessment. CRC Press. New York. xvii + 304 hlm.

Lyzenga DR. 1978. Passive Remote Sensing Techniques for Mapping Water depth and Bottom Features. Applied Optics.17:379-383.

Mazieres JD. 2008. Spatial distribution of reef fish communities: An investigation of the coral Coast, Fiji islands. Coral Reef Initiatives for The Pacific. France: University of the South Pacific. x + 98 hlm.

Mc. Kenzie LJ. 2003. Guidelines for the rapid assessment of seagrass habitats in The western Pacific. Cairns: Department of Primary Industries Queensland, Northern Fisheries Centre. SeagrassWacth.

Mount RE. 2006. Acquisition of Through-water Aerial Survey Images : Surface Effects and the Prediction of Sun Glitter and Subsurface Illumination. Photogrammetric Engineering and Remote Sensing. 71(12): 1407-1415.

(29)

19 Mumby PJ dan Edwards AJ. 2002. Mapping marine environments with IKONOS imagery: enhanced spatial resolution can deliver greater thematic accuracy. Remote Sensing of Environment.82 (2002): 248-257

Muzaki AA. 2008. Analisis Spasial Kualitas Ekosistem Terumbu Karang Seabagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell Based Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu DKI Jakarta. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nurlidiasari M. 2004. The application of QuickBird and Multy-temporal Landsat TM data for coral reef habitat mapping. Case study: Derawan Island, East Kalimantan, Indonesia. [tesis]. Netherlands: International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation-ITC.

Nybakken JW.1988. Biologi Laut : Suatu pendekatan ekologis. Jakarta: PT. Gramedia. 459 hlm.

Poli D, Angiuli E, Remondino F. 2010. Radiomeric and geometric analysis of worldview-2 stereo scenes. Joint Research Center. 6 hlm.

Purkis SJ, Kenter JAM, Oikonomou EK, dan Robinson IS. 2002. High resolution ground verification, cluster analysis and optical model of reef substrate coverage on Landsat TM imagery (Red Sea, Egypt). Int. J. Remote Sensing. 23 (8) :1677-1698.

Purwadhi SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta: PT Grasindo. Siregar VP. 1996. Pengembangan Algoritma Pemetaan Terumbu Karang di

Pulau Menjangan Bali dengan Citra Satelit. Kumpulan Seminar Maritim 1996. Jakarta: BPPT.

Siregar VP, Wouthuyzen S, Sukimin S, Agus SB, Selamat MB, Adriani, Sriati dan Muzaki. 2010. Informasi Spasial Habitat Perairan Dangkal dan Pendugaan Stok Ikan Terumbu Menggunakan Citra Satelit. Bogor (ID): SEAMEO BIOTROP.

(30)

20

Lampiran 1 Data GPS dan habitat dasar perairan dangkal

No Tipe Lintang Bujur Substrat Dasar

(31)

21 Lanjutan

(32)

22 Lanjutan

(33)

23 Lanjutan

(34)

24 Lanjutan

(35)

25 Lanjutan

(36)

26 Lanjutan

(37)

27 Lanjutan

(38)

28 Lanjutan

(39)

29 Lanjutan

(40)

30 Lanjutan

(41)

31 Lampiran 2 Foto-foto survei lapang

Pasir Pasir Lamun

Terumbu Karang

Pasir Rubble Lamun

Pasir,Karang,Lamun

Lamun

(42)

32

(43)

33

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, 08 Desember 1990 dari Bapak Surya dan Ibu Lely Herniati. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Tahun 2005 – 2008 Penulis menyelesaikan pendidikan di SMA YP UNILA, Bandar Lampung. Pada tahun 2008 diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB).

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mendapatkan kesempatan sebagai asisten mata kuliah Selam Ilmiah (2011), asisten mata kuliah Metode Observasi Bawah Air (2011) dan asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis (2012). Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi, seperti anggota UKM Softball IPB (Oryza) 2010-2011, anggota divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia - Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) 2009-2010, sekretaris divisi Hubungan Luar dan Komunikasi - Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) 2010-2011, serta anggota Fisheries Diving Club (FDC-IPB) sebagai sekretaris divisi Pendidikan dan Latihan Fisheries Diving Club (FDC-IPB) 2009-2011, dan anggota divisi Rumah Tangga 2011-2012.

Penulis aktif menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di dalam kampus, salah satunya adalah The 19th Tri University (2012), bendahara Ekspedisi Zooxhantellae XI, Kayoa,Giraichi, Halmahera Selatan (2011), Ketua Simulasi Monitoring Terumbu Karang Pulau Pramuka dan Sekitarnya (2010).

Gambar

Gambar 1. Lokasi Penelitian di Pulau Panggang dan Sekitarnya, Kep. Seribu, DKI
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
Gambar 3. Pemotongan Histogram Menjadi 9 Kelas Habitat Dasar Perairan
Gambar 5. Peta Survei Lapangan.
+5

Referensi

Dokumen terkait

1) Citra Diri/Body Image: bagaimana persepsi klien terhadap tubuhnya, adakah pengaruh penyakit yang dialami terhadap persepsi klien tesebut. 2) Identitas: bagaimana status

Dengan keahlian pengguna atau pemakai komputer (user) maka semakin efektif penerapan sistem informasi di suatu perusahaan. Perumusan masalah penelitian ini adalah 1)

Hal ini berarti jika pengecoran menggunakan dengan massa jenis polystyrene foam lebih rendah maka massa jenis benda cor akan lebih tinggi (Kim dan Lee, 2007 dalam Sutiyoko

Hasil pengujian disimpulkan bahwa terjadi fenomena kekuatan tarik paling tinggi pada temperatur ruang uji 35 0 C yaitu kekuatan tariknya 1,009 N/mm 2 kemudian

judgment on the features of urban comfort in a given context must encompass a design aspect, something we cannot achieve by describing a landscape as a static or closed model..

Surya Persindo (Media Indonesia Grup) miliknya Surya Paloh. Ketika itu, redaksional dan perwajahan “GALA” berubah total, Tampil Full color sehingga menarik. Sementara

Dari ketentuan tersebut diatas, jika dicermati secara seksama, selain persoalan pemisahan kewenangan dibidang pengujian peraturan perundang- undangan yang tidak ideal,

dari 7 desa dan kelurahan yang berada di kecamatan Masbagik dengan kode pos 83661. Sulitnya mencari lapangan pekerjaan dan kurangnya keahlian sumber daya manusia yang