• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transmisi Dan Pembentukan Harga Cabe Merah Serta Perilaku Pasar Antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Transmisi Dan Pembentukan Harga Cabe Merah Serta Perilaku Pasar Antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah Di Indonesia"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSMISI DAN PEMBENTUKAN HARGA CABE MERAH

SERTA PERILAKU PASAR ANTAR LEMBAGA

PEMASARAN CABE MERAH DI INDONESIA

ELVINA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Transmisi dan Pembentukan Harga Cabe Merah serta Perilaku Pasar antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(6)

RINGKASAN

ELVINA. Transmisi dan Pembentukan Harga Cabe Merah serta Perilaku Pasar antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah di Indonesia. Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan ANNA FARIYANTI.

Cabe merah (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditi hortikultura strategis dan bernilai ekonomi tinggi. Dari sisi makro cabe merah terkenal sebagai salah satu komoditi penyumbang inflasi nasional sebagai akibat dari tingginya fluktuasi harga cabe merah di sepanjang tahun. Fluktuasi harga yang tinggi di tingkat lembaga pemasaran akan memberikan peluang bagi pelaku pasar dalam memanipulasi harga. Hal ini dapat menyebabkan transmisi harga pada lembaga pemasaran menjadi tidak sempurna dan menciptakan inefisiensi pasar. Akibatnya, produsen tidak mendapat manfaat atas kenaikan harga di tingkat konsumen dan konsumen tidak mendapat manfaat atas penurunan harga produsen.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran cabe merah, (2) menganalisis faktor pembentukan harga cabe merah dengan memasukan variabel harga yang terintegrasi dan faktor lainnya, (3) mengidentifikasi perilaku pasar lembaga pemasaran cabe merah dalam pembentukan harga. Model penelitian yang digunakan untuk menganalisis transmisi harga antar lembaga pemasaran cabe merah menggunakan pendekatan model Asymmetric Error Correction Model (AECM). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan harga cabe merah menggunakan model Error Correction Model(ECM). Perilaku pasar dianalisis secara deskrtiptif serta dengan pendekatan Game Theory. Data yang digunakan untuk analisis transmisi harga dan faktor pembentukan harga adalah data sekunder time series mingguan dari Januari 2012 sampai Oktober 2014 (136 minggu). Analisis perilaku pasar menggunakan data primer dengan teknik snowball sampling. Sampel terdiri dari 4 orang petani, 2 pedagang pengumpul, 4 pedagang grosir dan 4 pedagang eceran.

Hasil pengujian kausalitas Granger menunjukkan transmisi harga pada rantai pemasaran cabe merah terjadi secara satu arah yaitu dari grosir ke produsen, grosir ke konsumen dan produsen ke konsumen. Berdasarkan hasil estimasi uji asimetris transmisi harga model AECM menunjukkan bahwa pada ketiga hubungan pasar tersebut terdapat perbedaan respon antara pasar pengikut dengan pasar acuan. Akan tetapi, setelah dilakukan uji statistik dengan uji Wald perbedaan respon pada ketiga hubungan pasar tersebut tidak terbukti secara statistik. Berdasarkan hal tersebut, maka disimpulkan transmisi harga pada rantai pemasaran cabe merah terjadi secara simetris dalam jangka panjang dan jangka pendek. Perubahan harga di pasar acuan segera ditransmisikan ke pasar pengikut dengan kecepatan yang sama. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa dalam saluran pemasaran cabe merah tidak terdapat penyalahgunaan market power.

(7)

konsumen menunjukkan bahwa variabel harga BBM mempunyai share yang paling besar dalam mempengaruhi perubahan harga konsumen. Selanjutnya faktor yang mempengaruhi perubahan harga konsumen dipengaruhi oleh perubahan harga grosir, harga produsen dan jumlah pasokan cabe merah yang masuk di pasar. Sementara, harga konsumen periode sebelumnya tidak berpengaruh signifikan.

(8)

SUMMARY

ELVINA. Price Transmission, Factors Forming the Price of Red Chili and Market Conduct Betwen the Marketing Agencies of Red Chili in Indonesia. Supervised by MUHAMMAD FIRDAUS and ANNA FARIYANTI.

Red chili (Capsicum annuum L.) is a strategic commodity with high economic and horticultural value. From the macroeconomic point of view, red chili is famous as one of the commodities that contributes to the national inflation as a result of fluctuations in its price in the whole year. High price fluctuations in the marketing chain will provide an opportunity for market participants to manipulate prices. This can lead to the transmission of prices in the marketing chain to be imperfect and create market inefficien. As a result, producers are not benefiting from price increases at the consumer level and the consumers does not benefit from the decline in producer prices.

The purposes of this study were to: (1) analyze the price transmission between red chili marketing agencies, (2) analyze the factors forming the price of red chili with the use of integrated price variables and other factors, (3) identify market behavior of Red chili marketing chain in price formation. To analyze the price transmission along the marketing chain of red chili, the research used the Asymmetric Error Correction Model (AECM). The factors affecting the formation of prices of red chili using a model Error Correction Model (ECM). The behavior of markets analyzed with descriptive statistics and Game Theory approach. Secondary Weekly time series data from January 2012 to October 2014 (136 weeks) was used for the analysis of price transmission and factor price formation whereas the analysis of market behavior was done using primary data obtained through snowball sampling technique. The sample consisted of four farmers, two traders, four wholesalers and four retailers.

Granger causality test result shows the price transmission in the marketing chain of red chili occurs in one direction, implying from wholesalers to producers, wholesalers to consumers and producers to consumers. Based on the estimates from asymmetric price transmission test, AECM model showed that there was a difference in response along the three marketing levels. However, Wald test showed that the different responses in all three market relationship are not statistically significant. Based on the above, it was concluded that the price transmission in the marketing chain of red chili occur symmetrically in the long run and short run. Changes in the market price of the reference are immediately transmitted to the market follower with the same speed. Based on this, it can be said that in the marketing chain of red chili market there is no abuse of market power.

(9)

prices. Further factors affecting consumer price changes are influenced by changes in wholesale prices, producer prices and the amount of red chili supply in the market. Meanwhile, consumer prices of the previous period had no significant effect.

Market structure and characteristics of red chili affect the ability of market participants in pricing. Red chili market structure leads to oligopsony at wholesaler level and enables fellow traders in coordinating and to collectively have the market power to determine prices at the farm gate and the consumer level. However, farmers and retailers are facing a competitive market in selling red chili because they do not have the market power to influence prices. This makes it difficult for both farmers and retailers to engage in price setting strategies to maximize revenue. The strategy to maximize profits for farmers is choosing the marketing channel that provides greater profit. The maximum profit at the retail level is when retailers adhere to the prevailing market price as the dominant strategy.

(10)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(11)
(12)
(13)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

TRANSMISI DAN PEMBENTUKAN HARGA CABE MERAH

SERTA PERILAKU PASAR ANTAR LEMBAGA

PEMASARAN CABE MERAH DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

(14)
(15)
(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena berkat karunia-Nya tesis ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini berjudul Transmisi dan Pembentukan Harga Cabe Merah serta Perilaku Pasar antar Lembaga Pemasaran Cabe Merah di Indonesia. Penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr Ir Anna Fariyanti, Msi selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Dr Ir Ratna Winandi Asmarantaka, MS selaku penguji Luar Komisi dan Dr Alla Asmara, MSi selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis. 3. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan seluruh dosen Program

Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

5. Ibu Ria dari Dinas Ketahan Pangan Provinsi Jawa Barat, Bpk Suminto dari kantor PIKJ, dan Kepala beserta staf Ditjen Kementerian Perdagangan yang telah membantu penulis dalam mengakses data.

6. Bapak Johan, Ibu Ina, Bapak Widi, Ibu Kokom, Bapak Erwin, Bapak Khusein, selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.

7. Seluruh anggota keluarga penulis, terutama orang tua: Ayahanda Djasman dan Ibunda Harmida, mertua: Ayahanda Jasrial dan Ibunda Nemi Maharani, suami: Antonov Dwi Darma, serta saudara penulis: Aidul Fadri, Mulyadi, Hasnul dan Rima Fitriani atas doa dan dukungannya dalam hidup penulis.

8. Sahabat-sahabatdi Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan di luar Prodi EPN yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama menimba ilmu di IPB.

Penulis menyadari dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan yang merupakan tanggung jawab penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan yang dapat membangun penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, November 2016

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Tinjauan Teori 6

Penelitian Terdahulu 13

Kerangka Pemikiran 18

Hipotesis Penelitian 20

3 METODE PENELITIAN 21

Jenis dan Sumber Data 21

Metode Analisis Data 21

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 26

Perkembangan Produksi dan Harga Cabe Merah Indonesia 26

Transmisi Harga Cabe Merah Di Indonesia 29

Faktor Pembentukan Harga Cabe Merah 37

Perilaku Pasar Dalam Pemasaran Cabe Merah 42

5 SIMPULAN DAN SARAN 50

Simpulan 50

Saran 50

DAFTAR PUSTAKA 52

LAMPIRAN 56

(18)

DAFTAR TABEL

1 Deskripsi statistik harga cabe merah mingguan di tingkat produsen, grosir, dan konsumen dari Januari 2012 sampai Oktober 2014 29

2 Hasil uji stasioneritas data 29

3 Hasil Johanssen Cointegration Test 30

4 Hasil Granger causality test 31

5 Hasil estimasi model asimetris transmisi harga pada saluran pemasaran

cabe merah 32

6 Hasil uji Wald model asimetris harga grosir dengan harga produsen 33 7 Hasil uji wald test pada model asimetris transmisi harga

grosir-konsumen 35

8 Hasil uji wald test model asimetris transmisi harga harga produsen-harga

konsumen 35

9 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga

cabe merah di tingkat produsen jangka pendek 38

10 Hasil estimasi faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan harga

cabe merah di tingkat produsen jangka panjang 39

11 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga cabe merah di tingkat konsumen dalam jangka pendek 40 12 Hasil estimasi faktor-fakor yang mempengaruhi pembentukan harga

konsumen cabe merah dalam jangka panjang 41

13 Matrik payoff sequential bargaining petani dengan pedagang pengumpul 47 14 Matriks gaming antar pengecer dalam menetapkan harga 49

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan konsumsi cabe rumah tangga Indonesia 2009-2013 2 2 Perkembangan produksi dan luas panen cabe merah Indonesia

2009-2013 2

3 Jumlah pasokan cabe di PIKJ dan harga rata-rata cabe keriting di tingkat produsen Jabar, grosir PIKJ, dan rata-rata DKI 2014 2 4 Hubungan respon penawaran terhadap harga sepanjang waktu 9

5 Kerangka pemikiran penelitian 20

6 Bargaining game petani dan pedagang pengumpul 25 7 Extensive form of a game pedagang pengecer 26 8 Kontribusi produksi cabe merah di beberapa provinsi sentra di Indonesia,

rata-rata tahun 2010-2014 27

9 Perkembangan produksi bulanan cabe merah di Indonesia 2012-2014 27 10 Perkembangan harga dan margin pemasaran cabe merah di sentra

produsen, grosir dan konsumen 2012-2014 28

11 Rantai pemasaran cabe merah di Indonesia 42

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil Uji Stationeritas Data pada Level dan First Difference 57

2 Hasil Uji Kointegrasi Analisis Transmisi 59

3 Hasil Uji Kausalitas 60

4 Hasil Estimasi Transmisi Harga Model AECM 61

5 Hasil Uji Kointegrasi Faktor Pembentukan Harga 63

(20)
(21)

1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sektor pertanian mempunyai peranan yang strategis bagi perekonomian Indonesia dengan kontribusi yang besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional. Munculnya transformasi ekonomi dan berkembangnya sektor industri merupakan sinyal bagaimana kedepannya sektor ini semakin penting untuk menunjang sektor ekonomi lain menjadi lebih kuat. Peran sektor pertanian di samping sebagai penghasil pangan juga mempunyai multiplier effect dengan sektor lainnya seperti pendukung sektor industri, penghasil devisa atas ekspor produk pertanian, penghemat devisa atas substitusi impor, dan penyerap tenaga kerja terutama di daerah pedesaan. Wilayah di Indonesia merupakan wilayah potensial untuk lahan pertanian karena memiliki sumber daya lahan yang cukup besar dan potensi alam yang berada di dataran rendah dan dataran tinggi dengan kondisi cuaca dan curah hujan yang memadai. Tanaman cabe (capsicum sp) merupakan salah satu komoditi hortikultura strategis yang menjadi unggulan rakyat dan berperan penting dalam perekonomian.

Cabe merah (capsicum annum l.) dan cabe rawit (capsicumfrutescens) dibutuhkan dalam konsumsi setiap hari dan tidak dapat ditinggalkan, karena fungsinya sebagai bumbu utama masakan rumah tangga di Indonesia. Sehingga, permintaan cabe cenderung stabil meski harganya sangat fluktuatif. Konsumsi cabe rumah tangga yang dominan adalah cabe merah yang terdiri dari cabe merah keriting dan cabe merah besar dengan tingkat konsumsi rata-rata 1.51 kg/kapita/tahun. Cabe rawit merupakan pilihan konsumsi kedua dengan rata-rata konsumsi 1.27 kg/kapita/tahun. Konsumsi cabe merah dan cabe rawit dalam sepuluh tahun belakangan berfluktuasi dan cenderung meningkat setiap tahunnya (Gambar 1). Trend jumlah penduduk yang meningkat setiap tahun, berkembangnya industri makanan dan rumah makan diprediksikan kedepannya konsumsi cabe akan terus meningkat. Selain sebagai penyedap untuk berbagai produk makanan olahan, akhir-akhir ini telah berkembang produk cabe olahan menjadi sambal siap saji dan cabe bubuk (Pusdatin 2013).

(22)

2

Sumber: Pusdatin 2013

Gambar 1 Perkembangan konsumsi cabe rumah tangga Indonesia 2009-2013

Sumber: BPS 2013 dan Pusdatin 2013

Gambar 2 Perkembangan produksi dan luas panen cabe merah Indonesia 2009-2013

Dari sisi makro cabe merah terkenal sebagai salah satu komoditi penyumbang inflasi sebagai akibat dari tingginya fluktuasi harga cabe merah di sepanjang tahun (Pusdatin 2015). Dalam satu tahun perubahan harga baik pada tingkat pasar produsen, grosir maupun pasar eceran bisa mencapai 100 persen bahkan lebih. Pergerakan harga dan pasokan cabe merah dalam satu tahun dapat dilihat pada Gambar 3. Sepanjang tahun 2014 jumlah pasokan cabe yang masuk ke Pasar Induk Kramat Jati cenderung berfluktuasi dengan pasokan tertinggi berada pada pertengahan tahun yaitu bulan Mei dan Juni dan terendah terjadi pada bulan Maret, Oktober hingga Desembar. Saat pasokan tinggi harga cabe merah mengalami penurunan terendah dan bergerak naik saat pasokan mengalami penurunan

Sumber: Disperta Jabar 2014, PIKJ 2014, Kemendag 2014

Gambar 3 Jumlah pasokan cabe di PIKJ dan harga rata-rata cabe keriting di tingkat produsen Jabar, grosir PIKJ, dan rata-rata DKI 2014

0.0 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 4.0

2008 2009 2010 2011 2012 2013 Cabe M erah Cabe Hijau Cabe Raw it Tot al

k g /k a p it a /t h 100 105 110 115 120 125 130 -200 400 600 800 1 000 1 200

2008 2009 2010 2011 2012 2013

P ro d u k si ( 1 0 0 0 to n )

Luas Panen (ha) Produ ksi (ton)

lu a s p a n e n ( 1 0 0 0 h a ) -10 000 20 000 30 000 40 000 50 000 60 000 70 000 80 000 90 000 -1 000 2 000 3 000 4 000 5 000 6 000 7 000 8 000

Jan Feb M ar Apr M ei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

P ro d u k si ( to n )

Pasokan (ton) Harga grosir

Harga Konsumen Harga Produsen

(23)

3 Harga cabe merah pada awal bulan hingga pertengahan tahun 2014 mengalami penurunan signifikan hingga mencapai 60.4 persen di pasar konsumen dan 86.7 persen di pasar produsen. Pada bulan Juli hingga akhir tahun harga cabe merah kembali bergerak naik hingga mencapai 336.6 persen di tingkat pasar konsumen dan 1695.9 persen di tingkat produsen (dari rata-rata Rp 2 941 di bulan Juni menjadi Rp 52 816 di bulan Desember). Menurut teori harga, harga yang berfluktuasi berpengaruh pada efisiensi alokasi sumber daya dan transmisi harga pada pasar yang terintegrasi baik vertikal maupun spasial (Moghaddasi 2008).

Dalam mendukung pengembangan komoditas cabe merah perlu terciptanya sistem pemasaran cabe merah yang efisien dan menguntungkan semua pihak. Untuk itu, perlu pemahaman kompeherensif mengenai pergerakan dan transmisi harga di sepanjang rantai pemasaran cabe merah, karena harga yang terbentuk dapat dijadikan indikator dalam menilai efisiensi pasar. Pada pasar yang saling terhubung secara vertikal harga di suatu pasar atau lembaga pemasaran selain ditentukan oleh kondisi pasar seperti pasokan dan biaya pemasaran juga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga pemasaran lain (pasar acuan) secara positif (Heytens 1986 dan Ravallion 1986). Ketika pasar berjalan secara efisien harga di masing-masing tingkat lembaga pemasaran cabe merah dapat diprediksi dengan mengamati kondisi di salah satu tingkat pasar terutama pasar acuan. Sehingga dalam menjaga kestabilan harga, permasalahan fluktuasi harga cabe merah dapat diatasi secara lebih efektif. Untuk itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai efisiensi pasar antarlembaga pemasaran cabe merah dan faktor yang mempengaruhi pembentukan harga pasar cabe merah.

Rumusan Masalah

Permasalahan utama pengembangan cabe merah Indonesia adalah pola produksi yang bersifat musiman, dengan sifat produk yang mudah rusak (perishable) dan tidak tersedianya fasilitas penanganan pasca panen yang optimal. Kondisi ini menuntut baik petani maupun pedagang untuk segera menjual hasil produksi yang berlimpah saat musim panen dan tidak dapat dijadikan cadangan persediaan saat terjadi kelangkaan pasokan. Menurut berbagai pihak kondisi ini merupakan penyebab tingginya fluktuasi harga komoditi cabe merah di Indonesiai disamping masih minimnya kebijakan pengendalian harga dari pemerintah.

Fluktuasi harga yang tinggi akan menyulitkan petani dalam berproduksi dan menimbulkan disinsentif dalam berusaha. Bagi konsumen kenaikan harga yang tinggi akan menyulitkan dalam memenuhi kebutuhan konsumsi. Fluktuasi harga yang tinggi di tingkat lembaga pemasaran menurut Anindita (2004) akan memberikan peluang bagi pelaku pasar khususnya yang mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi harga untuk memanipulasi harga. Ketika terjadi kenaikan harga di tingkat hilir mereka berkesempatan untuk tidak segera meneruskan ke tingkat hulu atau sebaliknya saat terjadi penurunan harga di hulu tidak segera diteruskan ke tingkat hilir. Sehingga, hal tersebut dapat menyebabkan transmisi harga antar lembaga pemasaran menjadi tidak sempurna dan menciptakan inefisiensi pasar.

(24)

4

menyesuaikan harga sesuai sinyal yang berlaku. Oleh sebab itu, pedagang disinyalir turut berperan dalam menciptakan efisiensi atau tidaknya suatu pasar. Terjadinya inefisiensi pasar menurut Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengindikasikan adanya market power yang biasanya terjadi akibat konsentrasi pasar dalam suatu level pemasaran. Akibatnya produsen tidak mendapat manfaat atas kenaikan harga di tingkat konsumen dan konsumen tidak mendapat manfaat atas penurunan harga produsen

Berdasarkan grafik harga cabe merah di tingkat produsen, grosir, dan konsumen (Gambar 3), pergerakan harga di ketiga pasar menunjukkan kecenderungan pola pergerakan yang sama dengan tingkat fluktuasi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien variasi harga produsen sebesar 46.9 persen, grosir 43.6 persen, dan konsumen 31.6 persen. Nilai keragaman harga masing-masing pasar menunjukkan bahwa harga di tingkat produsen lebih berfluktuasi dibanding di tingkat grosir dan eceran. Lebih tingginya fluktuasi harga di tingkat produsen menurut Simatupang (1999) dalam Irawan (2007) dapat menimbulkan tindakan kecurangan pedagang dalam mentransmisikan harga ke tingkat petani. Akibatnya ketika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen tidak segera diteruskan ke produsen. Berdasarkan hal tersebut dalam pemasaran cabe merah ada kemungkinan transmisi harga berjalan secara asimetris. Namun demikian, dalam memastikan bagaimana transmisi harga pada jalur pemasaran cabe merah perlu dibuktikan secara statistik.

Penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi harga cabe merah di Indonesia telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya namun dengan hasil dan kesimpulan yang berbeda. Firdaus dan Gunawan (2012) menganalisis integrasi pasar produsen Jawa Barat dengan Pasar Induk Kramat Jati menyimpulkan tidak terdapat integrasi antar pasar produsen Jawa Barat dengan PIKJ. Jubaedah (2013) menganalisis integrasi antar PIKJ dengan harga produsen sentra cabe merah di 23 provinsi (termasuk Jawa Barat) menyatakan terdapat integrasi yang lemah antara pasar produsen Jawa Barat dengan PIKJ. Sahara dan Wicaksena (2013) manganalisis transmisi harga cabe merah antara pasar produsen dengan pasar konsumen di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menyimpulkan bahwa harga cabe merah telah tertransmisi secara simetris. Sehubung adanya perbedaan penelitian tersebut, perlu dilakukan analisis transmisi harga cabe merah lebih lanjut.

Berdasarkan teori ekonomi, perubahan harga pada pasar yang saling terhubung secara vertikal, disebabkan oleh perubahan harga di tingkat pasar lain (pasar acuan), biaya transportasi dan jumlah pasokan. Akan tetapi hasil penelitian Prastowo et al. (2008) menyatakan bahwa biaya transportasi berpengaruh positif terhadap harga cabe merah sedangkan pasokan tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Selain itu dari aspek operasional, perilaku partisipan di dalam suatu pasar akan mempengaruhi pembentukan harga suatu pasar yang juga akan mempengaruhi efisiensi suatu pasar. Sehingga perlu dilakukan analisis faktor pembentukan harga serta perilaku pasar pada rantai pemasaran cabe merah.

Berdasarkan hal tersebut perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana transmisi harga antar lembaga pada jalur pemasaran cabe merah ? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan harga pada lembaga

(25)

5 3. Bagaimana perilaku pasar lembaga pemasaran cabe merah dalam pembentukan

harga?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka penelitian ini bertujuan:

1. Menganalisis transmisi harga antar lembaga pada jalur pemasaran cabe merah. 2. Menganalisis faktor pembentukan harga pada lembaga pemasaran cabe merah

dengan memasukan variabel harga yang terintegrasi dan faktor lainnya.

3. Mengidentifikasi perilaku pasar lembaga pemasaran cabe merah dalam pembentukan harga.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, antara lain sebagai :

1. Informasi dan bahan masukan bagi pembuat kebijakan terkait bidang pengembangan pemasaran komoditi hortikultura khususnya dalam terciptanya stabilitas harga, dan efisiensi pasar sayur khususnya yang mempunyai karakteristik sejenis dengan komoditi cabe merah.

2. Menjadi literatur atau referensi pembanding bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan pemasaran komoditas hortikultura.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Analisis dalam penelitian ini mencakup integrasi pasar dan transmisi harga cabe merah pada tingkat lembaga pemasaran serta menganalisis faktor pembentukan harga dari sisi integrasi pasar dengan memasukkan variabel pasokan dan harga BBM sebagai proksi biaya transportasi. Harga cabe yang dianalisis adalah harga cabe merah keriting pada tingkat pasar sentra produsen (Jawa Barat), harga grosir di Pasar Induk Kramat Jati yang merupakan pasar sentral distribusi komoditas pertanian utama di Indonesia dan harga konsumen di Daerah Khusus Ibukota yang merupakan representasi konsumen terbesar di Indonesia. Sementara harga cabe merah besar dianggap sama dengan harga cabe merah keriting karena korelasi harga keduanya cukup tinggi. Perilaku pasar dalam penelitian ini dikhususkan pada perilaku penetapan harga di tingkat petani, pedagang grosir dan pedagang eceran.

(26)

6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Efisiensi Pasar, Integrasi Pasar dan Tansmisi Harga

Integrasi pasar menunjukkan hubungan harga komoditas suatu pasar dengan pasar lain. Heytens (1986) mengemukakan hubungan harga pada pasar yang terintegrasi berkorelasi positif di sepanjang waktu, perubahan harga pada suatu pasar akan direspon oleh pasar lain dengan pola perubahan yang sama. Pada pasar yang terintegrasi perubahan harga di suatu pasar akan ditransmisikan secara positif ke pasar lainnya, sehingga harga suatu komoditas pada setiap pasar atau tingkat lembaga pemasaran hanya dibedakan oleh biaya distribusi dan margin pemasaran. Dengan mengukur tingkat integrasi pasar dan transmisi harga dapat dilihat efisiensi pasar atau bagaimana pasar bekerja secara spesifik (Ravallion 1986; Muwanga dan Snyder 1997; Meyer& von Cramon- Taubadel 2004).

Integrasi pasar dibedakan atas integrasi pasar vertikal dan horizontal. Integrasi vertikal merupakan integrasi yang terjadi antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran yang sama. Dengan menganalisis integrasi vertikal dapat diketahui tingkat hubungan antar lembaga yang telibat mulai dari harga di tingkat produsen, pedagang perantara, hingga harga di tingkat konsumen. Suatu pasar dikatakan terintegrasi secara vertikal apabila harga pada suatu lembaga pemasaran dapat ditransformasikan ke lembaga pemasaran lain dalam satu rantai pemasaran.

Integrasi pasar horizontal menunjukkan hubungan antar pasar yang terpisah secara georafis. Ravallion (1986) mensyaratkan terjadinya integrasi pasar spasial jika antara dua wilayah saling melakukan perdagangan, dimana harga di wilayah pengimpor akan sama dengan harga di wilayah pengekspor ditambah biaya transportasi yang digunakan dalam penyaluran barang antara dua pasar tersebut. Dibawah kondisi competitive market dan pasar yang terintegrasi secara parsial harga pasar cenderung mengarah pada yang disebut law of one price. Ketika harga di suatu wilayah dengan willing to pay yang lebih tinggi dan biaya transportasi lebih kecil dibanding harga suatu komoditi, maka akan terjadi aliran barang dari wilayah yang harga pasarnya lebih rendah. Konsep excess supply dan excess demand serta adanya perbedaan harga harga antar wilayah yang melakukan perdagangan ini juga dikemukakan oleh Tomek dan Robinson (1990) serta Dahl dan Hammond (1977).

(27)

7 vertikal menurut Goodwin (2006) ada tiga aspek yang perlu diperhatikan yaitu besarnya respon penyesuaian harga suatu pasar terhadap perubahan harga pada pasar lainya, waktu penyesuaian terhadap lag harga, tingkat penyesuaian asimetris (apakah shock positif ditransmisikan secara berbeda dengan shock negatif.

Sebelum Goodwin (2006), Meyer& von Cramon-Taubadel (2004) terlebih dahulu telah mengklasifikasikan asimetri pada transmisi harga,”asymmetries in price transmissionn” (APT) dalam tiga kriteria. Kriteria pertama mengacu pada kecepatan, besaran (magnitude) atau kombinasi kecepatan dan penyesuaian harga. APT dalam hal waktu penyesuaian terjadi apabila perubahan harga suatu pasar tidak segera direspon oleh pasar lainnya. Sementara APT dari sisi besaran terjadi apabila perubahan harga tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar lainnya. Kriteria kedua, mengikuti kaidah Peltzman. Asymmetries in price transmissionn (APT) dibagi atas APT positif dan APT negatif. APT positif terjadi apabila respon harga suatu pasar lebih cepat dan atau lebih sempurna pada saat harga pasar lain mengalami kenaikan dibanding penurunannya. Sebaliknya APT negatif terjadi apabila penurunan harga direspon lebih besar atau lebih cepat dibanding kenaikannya. Kriteria ketiga, transmisi harga tidak simetris secara vertikal ataupun spasial. APT secara vertikal terjadi pada tingkat pasar dalam satu rantai pemasaran misalnya perubahan harga di tingkat petani ditransmisikan secara berbeda ke pedagang pengecer baik dari sisi besaran, kecepatan maupun perubahan kenaikan dan penurunan harga. Sedangkan secara parsial terjadi antar pasar yang berbeda secara geografis.

Asmarantaka (2012) mengaitkan integrasi pasar dengan efisiensi harga dalam sistem pemasaran. Efisiensi harga salah satunya tercapai jika terdapat koordinasi aktivitas lembaga-lembaga pemasaran. Dalam kasus pasar produk pertanian seperti halnya pasar cabe merah dikatakan efisien apabila perubahan baik kenaikan maupun penurunan harga di salah satu tingkat pasar (misalnya pasar konsumen) diikuti oleh tingkat pasar lainnya (misalnya di tingkat petani) dengan pola yang sama. Ketika harga tidak tertransmisi sempurna maka, perubahan atau peningkatan harga pada tingkat petani terjadi lebih lebih lambat dibandingkan peningkatan harga di tingkat konsumen. Tidak terciptanya transmisi harga secara simetris (asymmetries in price transmission) antar pasar yang terhubung menurut Vavra dan Goodwin (2005) disebabkan oleh adanya perilaku tidak kompetitif (market power) pada pedagang, terutama pada pasar yang terkonsentrasi. Transmisi harga asimetris menurut Bailey dan Brorsen (1989) juga disebabkan oleh adanya ekspektasi dan keyakinan antar pelaku pasar terhadap respon pelaku pasar lain atas perubahan harga. Selain itu, terjadinya transmisi harga yang tidak simetris menurut Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) juga disebabkan oleh adanya adjustment cost (biaya penyesuaian) yang tinggi. Biaya penyesuaian merupakan biaya yang muncul ketika suatu perusahaan merubah output produksi atau merubah harga produknya. Adanya intervensi pemerintah menurut Vavra dan Goodwin (2005) juga dapat menimbulkan transmisi harga yang asimetris.

(28)

8

dalam mengestimasi fungsi penawaran produk pertanian yang tidak dapat dirobah “irreversible supply functions”. Model tersebut memisahkan antara variabel kenaikan harga input dengan penurunannya. Hipotesis asimetri ditolak jika kedua koefisien berbeda signifikan. Pada 1971 Wolffram mengembangkan teknik pemisahan variabel dengan memasukkan “firs differences” dalam estimasi persamaan. Selanjutnya, model Wolffram dikembangkan lagi oleh Houck tahun 1977 dan dikembangkan lagi oleh Ward pada tahun 1982 dengan memasukkan lag dari variabel eksogen.

Dalam perkembangan analisis transmisi harga selanjutnya Boyd dan Brorsen (1988) pertama kali menggunakan lag untuk memisahkan transmisi berdasarkan waktu dan besaran penyesuaian. Selanjutnya, Von Cramon-Taubadel dan Fahlbusch (1994) pertama kali menggunakan pendekatan kointegrasi menggunakan model error correction model (ECM). Model ini awalnya digunakan dalam menganalisis APT vertikal antara pasar babi produsen dan grosir di wilayah Jerman Utara. Selanjutnya, Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dalam menganalisis kasus spasial pasar gandum dunia mengembangkan lagi model sebelumnya. Model tersebut memisahkan antara shock positif dan shock negatif pada error corection term serta shock positif dan negatif variabel Independent.

Faktor Pembentukan Harga Pasar

Harga suatu komoditas mempunyai peranan penting dalam kegiatan ekonomi, yaitu menyangkut keputusan berproduksi bagi produsen dan keputusan konsumsi bagi konsumen. Tomek dan Robinson (1990) menyatakan bahwa harga yang menarik mempengaruhi tingkah laku produsen untuk berproduksi lebih banyak, sedangkan konsumen akan menanggapi perubahan harga dengan merubah kecenderungan konsumsinya. Selanjutnya, pola perilaku produsen dan konsumen juga akan berpengaruh terhadap pembentukan harga. Menurut Meyer dan von Cramon- Taubadel (2004) selain dalam pertimbangan keputusan output harga juga berperan penting dalam hal alokasi sumber daya ekonomi, mendorong transmisi harga dan integasi pasar baik vertikal maupun horizontal.

Proses penentuan harga telah dikemukakan oleh Tomek dan Robinson (1990), Dahl dan Hammon (1977) serta Kohl dan Uhl (2002). Menurut para ahli tersebut, harga terbentuk melalui dua cara yaitu secara teori ekonomi (price determination) dan aspek operasional (price discovery). Secara teori ekonomi pembentukan harga suatu komoditas dalam pasar bersaing adalah interaksi antara permintaan (demand) dan penawaran (supply) di pasar. Saat jumlah penawaran melebihi permintaan harga akan bergerak turun, sebaliknya harga akan naik saat permintaan lebih besar dibanding penawarannya. Perubahan keseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menyebabkan terjadinya fluktuasi harga suatu komoditas. Selain itu, bentuk penentuan harga secara teori ekonomi juga tergantung pada stuktur pasar yang berlaku apakah berupa pasar bersaing seperti monopolistik atau mendekati monopoli dan oligopoli.

(29)

9 preferensi konsumen tetap. Pada komoditi pertanian persentase peningkaan permintaan akibat kenaikan pendapatan relatif lebih kecil dibanding kenaikan permintaan. Sedangkan perubahan selera dan preferensi akan menggeser permintaan ke kiri ataupun ke kanan tergantung pada jenis barang yang dikonsumsi, apakah barang normal, inferior atau superior.

Menurut Tomek dan Robinson (1990) antara permintaan, penawaran dan harga pada komoditas pertanian saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan harga pada produk pertanian lebih disebabkan oleh sisi penawaran, produksi yang bersifat musiman sangat berpengaruh terhadap fluktuasi perubahan harga. Hubungan harga dan produksi dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat dalam jangka yang sangat pendek kurva penawaran merupakan garis vertikal. Penawaran tidak responsif terhadap harga karena petani tidak dapat menaikkan atau menurunkan kapasitas produksi dengan seketika hingga musim panen selanjutnya. Dalam jangka pendek petani dapat menyesuaikan perubahan harga dengan merubah pola produksi. Dalam jangka panjang penawaran lebih responsif terhadap harga yang terbentuk dibanding jangka pendek, karena petani dapat menyesuaikan produksinya pada tingkat harga yang berlaku.

Sumber:Tomek dan Robinson 1990

Gambar 4 Hubungan respon penawaran terhadap harga sepanjang waktu Mekanisme pembentukan harga pada aspek operasional (Price discovery) merupakan human process dimana penjual dan pembeli di suatu tempat berperan dalam mempengaruhi pembentukan harga melalui:

1. Negosiasi individu (individual, decentralized negotiation), harga yang terbentuk melalui kegiatan tawar-menawar partisipan pasar. Pembentukan harga yang adil tergantung pada informasi, trading skill, dan kekuatan tawar menawar pembeli dan penjual.

2. Pasar yang terorganisir, misalnya pasar sentral merepresentasikan seluruh penjual dan pembeli suatu pasar. Di sini harga menjadi lebih efisien karena biaya transaksi pemasaran menjadi lebih kecil.

very short run

P

ri

c

e

p

e

r

u

n

it

Quantity per unit time

time

Long run Short run

(30)

10

3. Penentuan harga secara kolektif (kelompok), pelaku pasar membuat kelompok untuk meningkatkan bargaining power agar mendapatkan harga yang lebih tinggi sebagai dampak dari ketidakpuasan terhadap harga dalam pasar bersaing. 4. Harga terkelola (administered price), harga ditentukan secara sepihak oleh penjual, agen atau pemerintah, harga ditentukan berdasarkan formula pricing atau mark-up pricing.

Chen dan Hu (2013) membagi penyebab fluktuasi harga sayuran berdasarkan perspektif supply chain yaitu dari sisi produsen dan sisi pemasaran. Dari sisi produsen, fluktuasi harga disebabkan karena tidak adanya organisasi petani yang dapat mengakomodir kegiatan petani dalam berproduksi. Petani pada umumya kurang memiliki informasi mengenai jumlah produksi dan pola tanam, sehingga keputusan menanam mengenai apa dan berapa yang akan ditanam biasanya hanya berdasarkan perkiraan dan pengalaman tahun lalu. Keberhasilan panen yang cenderung dipengaruhi faktor cuaca dan iklim juga menyebabkan penawaran produksi yang sulit dikontrol. Saat ketersediaan produk sedikit harga akan bergerak naik, sebaliknya saat terjadi musim panen harga akan bergerak ke tingkat yang lebih rendah dan petani tidak punya posisi tawar (bargaining power) dalam menaikkan harga produksi.

Dalam rangka aliran distribusi produk dari petani ke pasar, para distributor membutuhkan berbagai macam biaya distribusi seperti ongkos transportai, penyimpanan, pengemasan dan biaya tenaga kerja. Gangguan distribusi akan memperbesar transaction cost dan menyebabkan fluktuasi harga yang lebih besar sehingga harga yang diterima pedagang grosir maupun eceran menjadi lebih besar. Fluktuasi harga juga disebabkan adanya kendala logistik dalam penyimpanan produk. Sisa produk yang tidak habis terjual dan sifatnya yang mudah rusak akan membutuhkan biaya penyimpanan yang besar, sehingga akan mempengaruhi perilaku pedagang dalam menjual produk.

Blein dan Longo (2009) juga menyatakan volatilitas harga pangan lebih disebabkan oleh faktor supply side yaitu adanya perubahan volume penawaran akibat ketergantungan produksi yang tinggi terhadap iklim dan cuaca, minimnya infrasruktur di sepanjang rantai pemasaran baik secara vertikal maupun horizontal yang menghambat terjadi perdagangan antara wilayah, dan tidak terintegrasinya pasar secara baik. Hal ini mengindikasikan bahwa infrastruktur seperti jalan dan sarana transportasi berpengaruh kuat terhadap pembentukan harga komoditas. Sarana transportasi yang memadai akan mendukung kelancaran aliran barang sehingga harga menjadi lebih stabil. Sebaliknya hambatan sarana transportasi menyebabkan tingginya harga yang harus dibayar konsumen.

Perilaku Pasar (Market Conduct)

Perilaku pasar atau market conduct adalah perilaku pelaku pasar dalam suatu rantai pemasaran terkait strategi yang diambil untuk memaksimumkan keuntungan usaha. Menurut Asmarantaka (2012) perilaku pasar merupakan perilaku partisipan (penjual dan pembeli) baik secara individu atau kelompok dalam menghadapi partisipan lainnya baik pesaing ataupun mitra dalam rangka mencapai tujuan pemasaran dalam stuktur pasar tertentu. Perilaku pasar dapat dilihat dari integrasi pasar baik vertikal maupun horizontal.

(31)

11 penentuan sumber produk, pembentukan kelompok dalam rangka meningkatkan posisi tawar baik secara formal dan non formal, pemilihan saluran pemasaran serta perilaku penetapan harga. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatan bahwa konsep perilaku pasar menyangkut penyesuaian tingkah laku atau strategi pelaku pasar dalam menghadapi keadaan pasar. Strategi yang diambil pelaku pasar menurut Dahl dan Hammond (1977) tergantung pada stuktur pasar dan berpengaruh terhadap pembentukan harga yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap keragaan (performance) suatu pasar.

Struktur pasar ditentukan oleh ada tidaknya hambatan untuk keluar masuk pasar, jumlah pelaku atau agen yang beroperasi di pasar, dan karakteristik komoditas yang diperdagangkan. Menurut Bappenas (2013) bentuk struktur pasar cabe merah adalah oligopolistik. Dalam pasar oligopolistik harga produk ditentukan oleh segelintir pemain (beberapa perusahaan besar). Prastowo et al. (2008) mengemukakan bahwa struktur pasar di level petani biasanya berada pada kondisi pasar persaingan sempurna, terutama pada saat panen raya. Homogenitas dan melimpahnya produksi membuat petani tidak punya bargaining position untuk menentukan harga. Sementara itu, struktur pasar di tingkat pedagang perantara cenderung bersifat oligopoli dan sering membentuk sebuah kartel dalam kesepakatan harga pasar. Hal tersebut menyebabkan pedagang perantara mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi pembentukan harga (Howe 1992; Prastowo et al. 2008).

Berperannya pedagang dan pedagang perantara dalam pembentukan harga juga dikemukakan oleh Vavra dan Goodwin (2005). Pedagang yang rasional bersifat profit oriented dan akan senantiasa memaksimalkan keuntungan (profit maximization) dalam setiap kegiatan ekonominya. Perilaku mereka dalam menanggapi perubahan harga menurut Vavra dan Goodwin (2005) cenderung bersifat tidak simetris yang menyebabkan competition restrain pada jalur distribusi, sehingga perubahan harga tidak tertransmisi dengan sempurna. Pedagang berusaha mempertahankan tingkat keuntungan dengan tidak menaik atau menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya dan lebih cepat bereaksi saat terjadi kenaikan harga dibanding penurunan harga.

Struktur pasar di tingkat pengecer umumnya mengarah pada pasar bersaing. Menurut Howe (1992) dalam menjalankan aktivitas bisnis pedagang pengecer menghadapi tiga arah persaiangan (three principal directons) yaitu horizontal competition, intertype competition dan vertikal competition. Horizontal competition terjadi antara sesama pedagang eceran, pedagang eceran yang baru masuk (new entrants), dan pedagang grosir yang yang bertindak menjual barangnya pada konsumen bebas. Sedangkan vertikal competition terjadi antara pedagang dengan tingkat yang berbeda seperti antara retailer dengan pemasok (suppliers) dan pedagang grosir (wholesaler). Sedangkan intertype competition merupakan persaingan antar metode distribusi yang berbeda. Perilaku masing-masing pesaing akan menentukan perilaku retailer dalam menjalankan strategi bisnisnya yang juga akan berpengaruh dalam pembentukan harga di tingkat konsumen.

Game Theory (Teori Permainan) dalam Analisis Perilaku Pasar

(32)

12

permainan (game theory), dengan teori ini dapat digambarkan perilaku pasar dalam situasi yang kompetitif dan memberikan solusi optimal dalam mengambil keputusan strategis. Teori permainan (game theori) dapat membantu para pelaku ekonomi membuat keputusan strategis dalam upaya memaksimumkan utilitasnya (Juanda 2009). Nicholson (1999); Gibbons (1992) mengemukakan bahwa gametheory adalah sebuah studi terhadap interaksi antara pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan strategis yang berakibat payoff bagi masing-masing pemain dengan mempertimbangkan setiap tindakan dan respon pemain lainnya.

Teori permainan dalam aktivitas ekonomi dapat bersifat kooperatif dan nonkooperatif. Dalam permainan kooperatif, pemain dapat merencanakan suatu strategi secara bersama atau membuat koalisi antara sesama pemain, sehingga memungkinkan adanya kesepakatan atau kontrak yang mengikat. Akan tetapi dalam permainan nonkooperatif tidak memungkinkan adanya negosiasi dan kontrak yang mengikat antara pemain. Suatu pemain pada permainan nonkooperatif akan memperhitungkan perkiraan tingkah laku pemain lain dalam menetapkan strateginya (Pindyck dan Rubinfeld 2005).

Henderson dan Quandt (1971) menyatakan, berdasarkan hasil permainan game theory dibedakan atas zero sum game dan non zero sum game. Zero sum game merupakan tipe geme theory yang menggunakan prinsip win-lose. Yaitu keadaan dimana pemenang memperoleh semuanya, dengan kata lain keuntungan yang diterima salah satu pemain adalah kerugian yang diderita pemain lainnya (lawan), sehingga total payoff value-nya nol. Dalam pratiknya dipakai dalam permainan adu strategi, misalnya perebutan market share atau perebutan wilayah. Jika keuntungan yang diterima salah satu pemain tidak sama persis dengan kerugian yang diderita lawan maka diklasifikasikan dalam Non-zero sum game.

Untuk meneliti perilaku pemain dengan model game theory berdasarkan Nicholson (1999); Pindyck dan Rubinfeld (2005) perlu diketahui dua konsep keseimbangan (Equilibrium) yaitu strategi yang dominan dan ekuilibrium Nash. Dalam strategi yang dominan strategi optimalnya dilakukan tanpa menghiraukan tingkah laku dari pesaing. Hasil dari permainan jika setiap pemain memiliki strategi yang dominan disebut dengan ekuilibrium dalam strategi yang dominan. Jika pemain tidak memiliki strategi yang dominan dapat dikatakan bahwa dalam mengambil keputusan terbaik pemain tersebut memerlukan pertimbangan atas apa yang dilakukan pemain lainnya yang disebut dengan ekuilibrium Nash. Ekuilibrium Nash dapat digunakan untuk mempelajari penetapan output dan harga suatu perusahaan oligopolistik.

(33)

13 tingkat utilitas, atau kalau dalam perdagangan hasil keputusan bisa berupa laba, rugi atau impas.

Analisis perilaku pasar dilakukan terhadap lembaga pemasaran terkait strategi dan interaksi antar pelaku pasar dalam penentuan harga berdasarkan kondisi pasar yang dihadapi. Gaming strategi harga antar pelaku pasar dirancang untuk mendapatkan keuntungan maksimum atas penjualan cabe merah. Gaming dilakukan di tingkat produsen (interaksi antar petani dengan pedagang pengumpul) dan di tingkat pedagang pengecer (antar sesama pengecer). Payoff masing-masing pemain adalah maksimum keuntungan berdasarkan pilihan yang dilakukan oleh pemain. Keuntungan masing-masing lembaga pemasaran cabe merah secara matematik dapat diformulasikan sebagai berikut:

= ( ∗ )

= (

, , , , )

adalah utility masing-masing lembaga pemasaran, dan ∗ adalah keuntungan atas penjualan cabe merah. Keuntungan maksimum merupakan kepuasan maksimum pelaku pasar. Bagi pedagang keuntungan maksimum periode t merupakan fungsi dari harga beli cabe periode t ( ) , harga jual cabe periode

t ( ), jumlah cabe yang dibeli pedagang periode t ( ), jumlah cabe yang dijual pedagang periode t ( ), dan biaya tataniaga periode t ( ).

=

∗ )−[ ( ∗ + ( ∗ ) ]

Keuntungan maksimum ( ∗) bagi petani cabe merah merupakan selisih dari nilai penjualan total (P.Q) dan total biaya produksi cabe merah (TC).

= ∑(P

t.Qt) - TC

Interaksi antar petani dengan pedagang pengumpul dan antara sesama pedagang pengecer digambarkan dalam model sequential game. Kreps dan wilson (1982) mendefinisikan sequential game sebagai suatu metode analisis perilaku setiap pemain, dimana keputusan yang diambil pemain pertama menentukan keputusan atas strategi optimal pemain selanjutnya berdasarkan informasi yang diyakini. Menurut Pindyck dan Rubinfeld (2005) dalam sequential game pemain bergerak secara bergiliran dengan memikirkan tindakan-tindakan atau reaksi rasional dari pemain lainnya. Masing-masing pemain diasumsikan bergerak dalam waktu yang berurutan.

Penelitian Terdahulu

Penelitian tentang integrasi pasar dan transmisi harga, unsur-unsur pembentukan harga komoditas, dan perilaku pasar telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu baik secara terpisah maupun sekaligus di dalam dan luar negeri. Berikut disajikan beberapa ulasan penelitian yang dianggap relevan dengan penelitian ini.

Integrasi Pasar dan Transmisi Harga

(34)

14

terhadap shock harga positif dan shock harga negatif pada masing-masing tingkat lembaga pemasaran tiga komoditi tersebut. Hasil studi tersebut menyebutkan tidak terjadinya transmisi harga simetris disebabkan oleh adanya pengaruh market power di samping faktor lain seperti intervensi pemerintah dan penyesuaian terhadap menu cost.

Transmisi harga vertikal juga dilakukan oleh Acquah dan Dadzie (2010). Penelitian tersebut menggunakan pendekatan ECM yang dikembangkan oleh von Cramon-Taubadel dan Loy dalam menganalisis transmisi harga asimetris antara harga jagung retail dengan wholesale di Kumasi, Gana. Dengan menggunakan data mingguan hasil analisis menunjukkan bahwa perubahan harga wholesale positif direspon lebih cepat oleh harga retail dibanding negatif, yang berarti terdapat asymmetry price transmission pada pasar yang di analisis.

Pozo et al. (2013) juga meneliti tentang transmisi harga vertikal di tingkat petani dengan retailer dan harga di tingkat grosir dengan retailer komoditi daging sapi di amerika serikat. Model yang digunakan adalah model Asymmetry Threshold Vector Error Correction Models (TVEC). Hasil analisis menyatakan tidak terdapatnya transmisi harga asimetris pada harga pasar yang dianalisis. Dengan kata lain hubungan harga antara pasar eceran dengan pasar di hulunya berjalan dengan simetris baik jangka panjang maupun jangka pendek. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Vavra dan Goodwin (2005) pada transmisi harga daging sapi. Perbedaan hasil analisis ini kemungkinan disebabkan oleh perbedaan data yang digunakan. Data yang digunakan penelitian ini dari bulan Januari 2001 sampai Desembar 2012 sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan data dari Januari 1974 sampai Desembar 2001.

Mishra dan Kumar (2011) menganalisis integrasi pasar sayur grosir dan eceran di beberapa wilayah Nepal. Data yang digunakan adalah harga mingguan selama tiga tahun. Model kointegrasi Johansen digunakan untuk menguji integrasi inter-regional pasar sayur dan hubungannya dengan pasar ekonomi tunggal. Hasil persamaa model VECM yang digunakan untuk menguji respon harga jangka pendek menunjukkan semakin tinggi tingkat perishability suatu produk semakin rendah tingkat integrasi yang terjadi. Dalam jangka pendek integrasi yang terjadi lebih lemah dibanding jangka panjang. Hal ini menyebabkan informasi harga di pasar sayur ditransmisikan secara lambat, sehingga perubahan harga tidak responsif bagi masing-masing wilayah. Penelitian ini juga menyatakan bahwa ketersediaan produk, informasi harga, fasilitas transportasi, karakteristik produk, dan jarak menentukan kuat atau lemahnya integrasi dan transmisi harga yang terjadi. Semakin panjang jarak semakin lemah integrasi pasar.

(35)

15 Goletti et al. (1995) dalam meneliti integrasi parsial pasar beras di Banglades menyatakan bahwa tingkat integrasi pasar di wilayah-wilayah pakistan sangat lemah, pasar tersegmentasi hampir 90 persen. Terjadinya integrasi pasar dipengaruhi secara negatif oleh jumlah kemacetan, dan jarak. Sebaliknya guncangan produksi seperti banjir, kekeringan, dan bencana tak terduga yang dapat mempengaruhi kelangkaan produk di suatu pasar lokal berpengaruh positif terhadap integrasi. Faktor produksi yang tidak sama antar wilayah juga turut mempengaruhi integrasi pasar. Selain itu, integrasi pasar juga dipengaruhi oleh Faktor kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem pemasaran. Hasil penelitian ini juga relevan dalam menganalisis integrasi vertikal pada rantai pemasaran produk pertanian, dimana kemacetan dan jarak juga akan berpengaruh terhadap distribusi produk dari petani ke konsumen akhir.

Untuk kasus di Indonesia penelitian integrasi dan transmisi hargadiantaranya dilakukan oleh Firdaus dan Gunawan (2012). Penelitian ini menganalisis integrasi antar pasar sentra produksi komoditi sayur bernilai tinggi (bawang, cabe, kentang, tomat, kubis) dengan pasar grosir PIKJ sebagai pasar acuan. Analisis menggunakan series data bulanan tahun 2001-2008. Pendekatan analisis kointegrasi uji Engel-Granger menunjukkan bahwa seluruh harga sayur pada pasar acuan terintegrasi dengan harga produsen pasar lokal. Pada komoditi cabe hubungan antara harga cabe dengan lagnya bersifat lemah. Analisis kointegrasi Engel-Granger menunjukkan adanya kointegrasi PIKJ dengan pasar produsen di Sumatera Utara sedangkan dengan pasar produsen di Jawa Barat dan daerah lainnya tidak terdapat hubungan jangka panjang. Kemudian pada uji integrasi dengan model Ravallion menunjukkan tidak terdapat integrasi signifikan antara antara pasar sentra produsen dengan pasar acauan PIKJ. Penelitian ini juga mengemukakan bahwa keadaan volume penawaran di pasar acuan tidak berpengaruh terhadap pembentukan harga di pasar sentra produsen. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menyimpulkan belum tercapainya efisiensi pasar pada pasar sayuran khususnya komoditi cabe merah.

Selanjutnya, Jubaedah (2013) melakukan analisis integrasi antara PIKJ sebagai pasar acuan dengan harga produsen sentra cabe merah di 23 provinsi. Hasil uji kointegrasi Engle-Granger dan Error Correction Model menyatakan sebanyak delapan wilayah sentra produsen terkointergrasi dengan PIKJ. Sementara, hubungan antara sentra produsen Jawa Barat dengan PIKJ terdapat kointegrasi yang lemah. Hasil ini hampir sama dengan penelitian Firdaus dan Gunawan (2012). Kedua penelitian ini menyimpulkan bahwa PIKJ bukan merupakan barometer atau acuan bagi harga cabe merah di Indonesia. Provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera cenderung terintegrasi dengan pasar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa tenggara. Perubahan pada suatu pasar tersebut dalam jangka pendek segera berpengaruh terhadap harga pasar produsen lain. Integrasi pasar dipengaruhi oleh jumlah produksi dan populasi, kualitas infrastruktur, lokasi atau jarak pasar serta trade opportunity yang ditandai dengan luas area konsumen. Integrasi yang lemah disebabkan oleh minimnya infrastuktur pemasaran yang menyebabkan tingginya biaya transportasi.

(36)

16

pasar beras Bengkulu tidak sempurna secara spasial. Analisis ECM menunjukkan jika terjadi guncangan terhadap harga beras di Kota Bengkulu hanya mempengaruhi harga beras di Bengkulu Selatan dan Utara, tetapi tidak berpangaruh terhadap harga di Rajang Lebong. Secara vertikal pasar beras di Kota Bengkulu tersegmentasi. Hasil uji VAR mengindikasikan bahwa dalam jangka pendek harg pasar beras Bengkulu Selatan tersegmentasi dimana harga beras grosir tidak dipengaruhi oleh perubahan harga beras konsumen, dan sebaliknya. Harga beras konsumen dipengaruhi oleh harga beras konsumen periode sebelumnya.

Sahara dan wicaksena (2013) meneliti transmisi harga cabe merah di tingkat produsen dan konsumen Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan menggunakan dua uji asymmetric yaitu pendekatan Houck dan ECM-EG. Hasil analisis menyatakan bahwa hipotesis nol bahwa adanya dugaan transmisi harga asimetris ditolak, yang berarti bahwa antara harga di pasar produsen dan konsumen berjalan secara simetris. Hasil elastisitas uji asimetris pada kedua pendekatan yang digunakan menunjukkan bahwa kenaikan atau penurunan harga di produsen akan ditransmisikan pada harga konsumen lebih besar dibanding kenaikan atau penurunan harga dari konsumen ke produsen.

Faktor Pembentukan Harga Pasar Produk Pertanian

Hasil penelitian tentang harga produk pertanian pada umumnya mengemukakan bahwa sisi penawaran (supply side) berperan dominan terhadap pembentukan dan fluktuasi harga. Penelitian Prastowo et al. (2008) menganalisis faktor pembentukan harga cabe merah di tingkat pengecer dengan memasukkan variabel lag harga cabe, selisih pasokan dan permintaan cabe merah, harga BBM sebagai proksi biaya transportasi dan dummy gangguan distribusi yang disebabkan oleh faktor cuaca dan bencana alam. Hasil estimasi persamaan ekonometrik menunjukkan variabel selisih pasokan dan permintaan tidak berpengaruh signifikan terhadap harga cabe merah di tingkat pengecer. Sedangkan variabel lag harga cabe merah berpengaruh besar terhadap pembentukan harga. Gangguan distribusi yang disebabkan oleh bencana lebih berpengaruh dibandingkan dengan kenaikan biaya transportasi. Hal ini karena karakteristik cabe merah yang perishable, sehingga adanya gangguan distribusi menyebabkan lamanya waktu tempuh berdampak pada penurunan pasokan cabe merah yang pada akhirnya memicu kenaikan harga cabe.

Penelitian Irawan (2007) mengemukakan bahwa harga sayuran umumnya berfluktuasi lebih tinggi dibanding harga buah, padi dan palawija. Fluktuasi harga sayuran tertinggi terjadi pada komoditi cabe merah dengan koefisien variasi harga 27,43 persen di pasar produsen dan 33,85 persen di pasar konsumen. Fluktuasi harga yang tinggi disebabkan oleh faktor pasokan dan terkonsentrasinya produksi sayur di daerah tertentu. Selain itu juga dipengaruhi oleh adanya kesamaan pola waktu tanam semantara sarana penyimpanan yang terbatas. Sehingga pedagang kesulitan dalam mengatur volume pasokan dan kebutuhan konsumsi.

(37)

17 dibangun menggunakan variabel harga sebagai variabel dependen diklasifikasikan secara spesifik berdasarkan jenis, asal, pengemasan dan pasar induk penjualan kentang. Akan tetapi karena adanya keterbatasan data variabel bebas kuantitas penawaran dan jumlah stok merupakan penjumlahan keseluruhan kentang tanpa diklasifikasikan secara spesifik. Hal ini turut mendasari penggunaan variabel pasokan dalam penelitian cabe merah ini yang tanpa memisahkan jenis cabe yang digunakan. Karena jumlah seluruh cabe yang masuk ke pasar induk tidak dipisahkan apakah itu cabe rawit, cabe besar, maupun cabe keriting.

Chen dan Hu (2013) menganalisis sebab fluktuasi harga sayur di China menyatakan bahwa dari perspektif supply chain, fluktuasi yang besar disebabkan oleh informasi yang asimetris antara produsen dan permintaan konsumen. Skala usaha kecil dan bersifat individual menyebabkan kekuatan harga ada pada konsumen akhir. Pedagang besar hampir menguasai separuh pemasaran sayur, sehingga perubahan biaya angkut dan pengepakan di tingkat pedagang besar juga turut mempengaruhi harga. Perubahan harga di tingkat ritel disebabkan oleh faktor kendala logistik dan jarak antara pasar ritel dengan pedagang besar.

Berdasarkan hal diatas disimpulkan bahwa faktor pembentukan harga cabe merah lebih dipengaruhi oleh faktor dari sisi penwaran yaitu jumlah pasokan dan faktor distribusi. Sehingga dalam menganalisis pembentukan harga cabe merah penelitian ini akan memasukkan variabel pasokan dan harga real BBM sebagai proksi dari biaya distribusi dengan memasukkan variabel harga cabe merah di tingkat pasar lain yang saling terintegrasi.

Perilaku Pasar (Market Conduct)

Sandika (2011) menganalisis perilaku pedagang sayur retailer dan produser di Sri Lanka dalam menetapkan margin dengan menggunakan data harga sekunder. Saat harga di kedua pasar meningkat margin pemasaran menjadi lebih kecil. Saat terjadi kenaikan harga, pedagang berperan dalam mengontrol harga pasar dengan mengurangi margin pemasaran untuk melindungi konsumen. Saat harga mengalami penurunan pedagang akan menaikkan margin pemasaran untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi. Margin pemasaran akan berubah-ubah sepanjang waktu sesuai dengan kondisi harga.

Penelitian Prastowo et al. (2008) mengemukakan bahwa pembentukan harga cabe di Indonesia bersifat adaptif, dengan persistensi harga cenderung rendah. Hasil survey penelitian menyatakan metode pembentukan harga cabe di tingkat pedagang ditentukan oleh tingkah laku pedagang dalam menetapkan harga. Masing-masing pedagang mempunyai strategi penetapan harga yang berbeda seperti: mengikuti harga tertinggi di pasar berdasarkan kondisi pasokan, menetapkan harga berdasarkan margin keuntungan tetap dan bervariasi, penentuan harga yang didasarkan pada harga pesaing, dan berdasarkan kesepakatan dengan pembeli. Respon pedagang terhadap perubahan harga bersifat simetris baik saat penurunan maupun kenaikan harga. Tengkulak dan pedagang besar disinyalir berperan penting dalam penentuan harga di tingkat petani.

(38)

18

sebenarnya, namun lebih cepat bereaksi saat ada kenaikan harga dibandingkan dengan penurunan harga. Dalam hal ini, tingkah laku lembaga pemasaran berperan penting terhadap harga yang terbentuk.

Analisis perilaku dengan pendekatan game theory pada penelitian ini mengacu pada penelitian Mitra et al. (2014) yang menggunakan analisis bargaining sequential game dalam menjelaskan mekanisme pemasaran antara petani kentang dengan pedagang. Untuk memaksimumkan keuntungan dalam menjual hasil produksi petani dihadapkan pada dua alternatif, apakah menjual ke pedagang desa atau menjual lansung ke pasar dengan memasukkan efek informasi harga bagi petani. Dalam interaksi petani dengan pedagang dilakukan dengan tawar menawar. Petani merespon tawaran pedagang dengan menerima atau menolak tawaran harga dari pedagang. Akan tetapi petani menghadapi struktur pasar yang monopsony dan oligopsonistic competition dalam menjual produknya ke pedagang perantara. Sementara, pedagang perantara cenderung malakukan kolusi terhadap harga yang ditawarkan ke petani. Analisis bargaining sequential game dilakukan dengan metode regresi variabel dummy informasi dan luas lahan terhadap pendapatan dan kuantitas jual petani.

Mitchell (2011) melakukan eksperimen untuk mengkaji strategi interaksi antara petani dan pedagang pengumpul dalam menjual hasil produksi usaha tani. Bargaining game dilakukan pada sepuluh orang petani dan sepuluh orang pedagang. Perilaku pedagang pengumpul dan pengetahuan petani atas informsi pasar dijadikan variabel eksogen terhadap pilihan petani dalam menjual hasil produksi, apakah petani akan memilih menjual pada pedagang pengumpul yang sama pada periode pertama dan kedua atau memilih mengganti pedagang penjual ketika petani merasa tidak cocok terhadap penawaran yang pedagang pengumpul di setiap periode. Analisis dilakukan terhadap dua sisi, dari sisi pedagang pengumpul (terdiri dari pedagang pengumpul baik dan tidak baik) dilihat perilaku penawaran harga kepada petani, padagang pengumpul yang tidak baik cenderung menawarkan harga lebih rendah namun jika petani memiliki akses informasi ia akan menawarkan harga tinggi agar petani tidak lari pada periode panen berikutnya. Dari sisi petani hasil penelitian mengemukakan bahwa informasi harga akan mempengaruhi pilihan petani jika biaya transaksi mengganti pedagang lebih rendah dibanding keuntungannya.

Courtois dan Subervie (2013) menggunakan pendekatan bargaining prosedur dengan model sequential game dalam menganalisis perilaku interaksi petani dengan pedagang pengumpul dalam mencapai kesepakatan harga. Hasil analisis menyatakan petani yang mempunyai akses informasi harga lebih berkesempatan mendapatkan tawaran harga yang lebih tinggi dan lebih cepat memperoleh kesepakatan harga dengan pedagang pengumpul. Sehingga ia tidak perlu lagi menduga-duga harga yang tengah berlaku di pasar.

Kerangka Pemikiran

(39)

19 untuk berperilaku tidak kompetitif dan penyalahgunaan market power. Hal ini menyebabkan transmisi harga berjalan secara asimetris, sehingga produsen tidak mendapat manfaat atas kenaikan harga di tingkat konsumen dan konsumen tidak mendapat manfaat atas penurunan harga produsen. Transmisi harga yang asimetris mengindikasikan tidak terciptanya efisiensi suatu pasar yang disebabkan oleh perilaku pelaku pasar dalam rantai pemasaran.

Pada pasar yang tertransmisi secara simetris perubahan harga pada suatu pasar dipengaruhi oleh perubahan harga pada pasar acuan secara positif. Selain faktor harga pada pasar acuan, perubahan harga dalam saluran pemasaran juga dipengaruhi oleh kondisi pasokan dan biaya transportasi yang diproksi oleh harga BBM. Pasokan cabe yang masuk ke pasar diduga berpengaruh negatif terhadap pembentukan harga pasar cabe merah. Saat terjadi kelebihan pasokan harga cabe akan turun sebesar elastisitasnya. Sedangkan harga BBM yang merupakan proksi biaya transportasi diduga berpengaruh secara positif terhadap harga cabe merah.

Ciri pasar cabe merah yang memiliki sifat produk homogen dan diusahakan oleh banyak pelaku pasar menuntut pelaku pasar mencari strategi tersendiri dalam memaksimumkan keuntungan. Perilaku para pelaku pasar (conduct) di sepanjang rantai pemasaran cabe merah dalam memaksimumkan margin keuntungan mempunyai peranan penting dalam terciptanya efisiensi pemasaran cabe merah. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis transmisi dan faktor pembentukan harga cabe merah serta menganalisis perilaku pasar dalam rantai pemasaran cabe merah.

(40)
[image:40.612.123.464.76.492.2]

20

Gambar 5 Kerangka pemikiran penelitian

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian, teori dan penelitian terdahulu dan pendekatan model maka rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Diduga terdapat perbedaan respon antara perubahan kenaikan dan penurunan harga di tingkat lembaga pemasaran cabe merah

2. Pembentukan harga cabe di tingkat lembaga pemasaran diduga dipengaruhi oleh harga di sepanjang rantai pemasaran, pasokan dan biaya transportasi.

Efisiensi Pasar Pemasaran Cabe Merah

Fluktuasi Harga Cabe Merah

Harga Produsen

Harga Konsumen Harga

Grosir

Analisis Game Theory Perilaku pasar

Analisis AECM

Saran Kebijakan Pembentukan

harga

AnalisisECM Transmisi harga

(41)

21

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data Sekunder

Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series mingguan dari tahun 2012 sampai 2014. Digunakan untuk melihat integrasi dan faktor pembentukan harga cabe merah dengan variabel sebagai berikut:

1. Harga cabe merah keriting (Rp per kg) dan jumlah pasokan keseluruhan cabe di Pasar Induk Kramat Jati (Ton per minggu), data diperoleh dari Kantor Pasar Induk Kramat Jati

2. Harga rata-rata cabe merah keriting di DKI (Rp per kg), data diperoleh dari Kantor BAPOKSTRA Kementerian Perdagangan

3. Harga rata-rata cabe merah keriting di sentra produsen Jawa Barat (Rp per kg), data diperoleh dari Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat 4. Harga riil BBM sebagai proksi dari biaya transportasi dihitung dalam Rp per

liter, data diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Data Primer dan Teknik Penarikan Sampel

Data primer digunakan untuk melihat perilaku lembaga pemasaran dalam rantai pemasaran cabe merah secara vertikal. Data terdiri dari 2 petani dan 1 pedagang pengumpul cabe merah di Desa Tengkil Kec. Caringin Sukabumi, 2 petani dan 1 pedagang pengumpuldi Desa Cipendawa Kec. Pacet Cianjur, 4 pedagang pasar induk dan 4 pedagang pasar eceran. Kegiatan pengambilan data pada responden dilaksanakan pada bulan Januari sampai Februari 2016.

Teknik pengumpulan data primer adalah melakukan wawancara dengan menggunakan daftar kuesioner terhadap masing-masing sumber yang dianggap mewakili populasi penelitian. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah snowball sampling, dimana sampel yang diambil sesuai dengan alur distribusi pemasaran cabe dari petani hingga ke pedagang

Gambar

Gambar 2 Perkembangan produksi dan
Gambar 4  Hubungan respon penawaran terhadap harga sepanjang waktu
Gambar 5  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 6  Bargaining game petani dan pedagang pengumpul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perubahan suhu air laut yang disebabkan oleh air buangan dari stasiun pembangkit berpotensi untuk mempengaruhi struktur komunitas ikan karang karena menurunnya kekayaan

Sebagai radio swasta pertama di Kabanjahe, radio ini menjadi pilihan karena dalam dalam siarannya Radio Budaya Karo kerap menampilkan lagu-lagu Karo dan sering membahas

Dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa (1) Terdapat pengaruh secara positif dan signifikan dari Gaya Kepemimpinan, Kepuasan Kerja, Komitmen Organisasi

Tiga sisinya telah dipagari oleh sekumpulan pekerja.Dua daripada sisinya , setiap satu dengan panjang x m dan sisi ketiga dengan panjang y m.Jumlah panjang pagar yang

Peserta diberikan pelatihan pemahaman dan pengetahuan pengelolaan keuangan secara komputerisasi dan pembuatan laporan keuangan yang baik serta kiat- kiat dalam mengelola

Telah mengadakan wawancara dan mengambil data yang diperlukan untuk kelengkapan penelitian sebagai persyaratan untuk mendapatkan gelar M.Pd I di bidang

menunjukkan bahwa perlakuan pemberian blotong pada medium tanam serbuk gergaji menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap berat segar badan buah. Berat segar

Boyolali yang diharapkan mampu menciptakan out put siswa yang berkualitas dan berguna bagi masyarakat.Untuk mewujudkan sekolah favorit,sekolah ini memanfaatkan media