HUBUNGAN
WORK-FAMILY CONFLICT
DENGAN
CONTINUANCE COMMITMENT
PADA WANITA YANG
BERPERAN SEBAGAI
SINGLE PARENT
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi
Oleh
SELVIA VERONIKA TARIGAN
101301122
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan
sesungguhnya bahwas kripsi saya yang berjudul:
Hubungan Work-Family Conflict Dengan Continuance Commitment Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Single Parent
Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh
gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, 3 Juli 2014
Selvia Veronika Tarigan
Hubungan Work-Family Conflict Dengan Continuance Commitment Pada Wanita
Yang Berperan Sebagai Single Parent
Selvia Veronika Tarigan dan Fahmi Ananda
ABSTRAK
Menjadi single parent bagi wanita akan memberikan berbagai permasalahan. Permasalahan utama yang dihadapi adalah menyangkut permasalahan dari segi ekonomi. Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi wanita yang berperan sebagai single parent harus bekerja dan tetap bertahan dalam organisasi tempatnya bekerja. Komitmen untuk tetap bertahan dalam pekerjaannya disebut sebagai continuance commitment. Keputusan untuk bekerja dan mengurus keluarga dapat menimbulkan konflik yang disebut sebagai work-family conflict.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara work-family conflict dengan continuance commitment pada wanita yang berperan sebagai single parent. Penelitian ini dilakukan Kota Medan dengan jumlah subjek sebanyak 65 orang. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dua buah skala yakni skala work-family conflict yang disusun sendiri oleh peneliti menggunakan teori tiga bentuk dari work-family conflictdari Greenhause & Beutell (1985) dan lima indikator dari commitment continuancedari Meyer J. P, Natalie J. Allen, &Catherine A. Smith (1993). Nilai reliabilitas work-family conflict sebesar 0,920 dan terdiri dari 29 aitem sedangkan nilai reliabilitas continuance commitment sebesar 0,951 dan terdiri dari 29 aitem.
Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa ada hubungan antara work-family conflict dengan continuance commitment pada wanita yang berperan sebagai single parent (r = 0,114). Implikasi dari penelitian ini adalah semakin tinggi work-family conflict meningkatkan continuance commitment.
The Relationship of Work-Family Conflict with Continuance Commitment
to Women In The Role As a Single Parent
Selvia Veronika Tarigan and Fahmi Ananda
ABSTRACT
Being single parent for women will provide a variety of issues. The main problemis related tothe economic problems. To overcome the problems occurred woman who acts as a single parent, they must work and survive in the organization where she worked. Commitment to remain in the work referred to as continuance commitment. The decision to work and take care of the family can cause conflicts are referred to work-family conflict.
This study was conducted to see the relationship between work-family conflict and continuance commitment to the woman who acts as a single parent. This research was conducted in Medan with as many as 65 people a number of subjects. The method used in this study is a quantitative method. This study uses two scales the Work-Family Conflict scale were compiled by researchers using three forms theory of work-family conflict Greenhause & Beutell (1985) and five indicator of continuance commitment of Meyer J. P, Natalie J. Allen, & Catherine A. Smith (1993). Reliability value of 0,920 work-family conflict and consists of 29 aitem while the reliability of continuance commitment value of 0,951 and consists of 29 aitem.
Research analysis using Pearson Product Moment Correlation. Based on the analysis it was found that there is a relationship between work-family conflict with continuance commitment to the woman who acts as a single parent(r =0.114). The implication of this study is the higher work-family conflict enchancing continuance commitment.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena atas
berkat-Nya yang berlimpah dan kasih karunia yang selalu tercurah di setiap waktu
sehingga penulis dapat menjalani setiap tahap penyusunan skripsi yang berjudul
“Hubungan Work-Family Conflict Dengan Continuance Commitment Pada
Wanita Yang Berperan Sebagai Single Parent” hingga selesai tepat pada
waktunya. Penyusunan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi persyaratan Ujian
Sarjana Psikologi.
Penulis menyadari bahwa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik
dalam masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini sangat membantu penulis.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima
kasih kepada:
1. Bapak Fahmi Ananda, M.Psi, selaku Dosen Pembimbing penulis. Penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas kesabaran Bapak dalam
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penelitian
ini. Terima kasih atas segala bimbingan, saran, kritikan dan dukungan
yang telah Bapak berikan kepada penulis.
2. Ibu Dra. Elvi Andriani Yusuf, M.Si., psikolog, selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis. Terima kasih atas bimbingan dan dukungan yang Ibu
berikan kepada penulis selama penulis mengikuti masa perkuliahan di
3. Bapak Sehat Tarigan dan Ibu Monumen Amorawaty br. Ginting yang
merupakan orang-orang penting dalam kehidupan penulis yang tetap setia
memberikan cinta, semangat dan kasih sayang yang tiada henti kepada
penulis dan juga Karo yang telah membantu untuk menyebarkan skala
penelitian ini serta selalu memberikan dukungan dalam proses penyusunan
skripsi. Terima kasih atas semua dukungan yang diberikan hingga penulis
berhasil menyelesaikan skripsi ini.
4. Abang dan adik penulis yaitu Terry Herianta Tarigan dan Thresia Tri
Oktaviani br. Tarigan yang selalu memberikan dukungan dan perhatian
kepada penulis agar penulis bisa menyelesaikan perkuliahan dan dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Terima kasih kepada subjek yang telah berpartisipasi dalam penelitian ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terima kasih banyak karena
telah bersedia meluangkan waktu untuk berpartisipasi dalam penyelesaian
skripsi ini.
6. Terima kasih kepada teman-teman tersayang yang tergabung dalam HF
yaitu Yosefine Allysa Mendrofa (Ncess), Mona Sri Ukur Meliala (Mo),
Anggita Windy Marpaung (Iki), Putri Olwinda Sianipar (Owl), Christian
Yosie Wahyuni (Njess) , dan Martina Lidya Lieda (Omaa) yang selalu
menemani hari-hari selama masa perkuliahan dan selalu memberikan
dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih
untuk semua perhatian, waktu, semangat, canda tawa dan doa yang
keluarga yang terbaik hingga hari-hari selama di kampus terasa
menyenangkan.
7. ETOS METANOIA yaitu Kak Erika, Tota Simbolon, dan Olga Septania.
Terima kasih atas dukungan dan semangat yang selalu diberikan selama
penulis mengikuti masa perkuliahan dan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Sangat bersyukur karena bisa menjalani KK bersama kalian.
8. Terimakasih kepada Fitri Khairani Ginting (Cici) yang merupakan teman
seperjuangan skripsi yang telah memberikan dukungan dan semangat dan
kepada seluruh teman-teman angkatan 2010 yang tidak mungkin
disebutkan satu per satu. Juga kepada Putri dan Artha Rumahorbo yang
telah membantu dalam proses pengolahan data.
9. Terima kasih kepada rekan-rekan Guru Sekolah Minggu GBKP
Pembangunan, Kak Melly, Kak Ana, Kak Evo, Kila Bp. Egra, Bang Teo,
Della, Debby dan Okta. Terima kasih atas dukungan dan doa yang
diberikan dalam proses penyelesaian skripsi dan juga kepada teman-teman
Permata GBKP Pembangunan yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Terima kasih atas semangat yang diberikan. Terima kasih juga untuk
teman-teman lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang
memberikan perhatian dan selalu menanyakan kabar tentang skripsi yang
saya kerjakan.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekurangan. Karena
menjadikan skripsi ini menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penulis berharap
kiranya skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada berbagai pihak.
Medan, 5 Juli 2014 Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
BAB I PENDAHULUAN...01 A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II LANDASAN TEORI... 11
A.Continuance Commitment ... 11
1. Defenisi Continuance Commitment ... 11
2. Indikator Continuance Commitment ... 12
3. Faktor-Faktor Continuance Commitment... 13
B.Work-Family Conflict... 14
1. Defenisi Work-Family Conflict... 14
C.Single Parent... 17
1. Defenisi Single Parent... 17
2. Faktor-Faktor Penyebab Single Parent... 17
3. Masalah-Masalah yang Dihadapi Single Parent... 18
D.Hubungan Work-Family Conflict dengan Continuance... 20
Commitment Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Single Parent E. Hipotesa Penelitian... 23
BAB III METODE PENELITIAN... 24
A. Identifikasi Variabel Penelitian... 24
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 25
1.Continuance Commitment... 25
2.Work-Family Conflict... 26
C. Populasi, Sampel dan Metode Pengambilan Sampel... 26
1. Populasi dan Sampel... 26
2. Metode Pengambilan Sampel... 27
D. Metode Pengumpulan Data... 28
1.Skala Continuance Commitment... 28
2.Skala Work-Family Conflict... 29
E. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas Alat Ukur... 30
1. Validitas Alat Ukur... 30
2. Uji Daya Beda Aitem... 31
3. Reliabilitas Alat Ukur... 32
1. Skala Continuance Commitment... 33
2. Skala Work-Family Conflict... 34
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian... 36
1. Tahap Persiapan... 36
2. Tahap Pelaksanaan... 37
3. Tahap Pengolahan... 37
H. Metode Analisis Data... 38
1. Uji Normalitas... 38
2. Uji Linearitas... 38
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN... 40
A. Analisa Data... 40
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian... 40
B. Hasil Penelitian... 43
1. Hasil Uji Asumsi... 43
2. Hasil Utama Penelitian... 45
3. Hasil Tambahan... 46
C. Pembahasan... 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 55
A. Kesimpulan... 55
B. Saran... 56
1. Saran metodologis... 56
2. Saran praktis... 56
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Blue Print Uji Coba Skala Continuance Commitment 29
Tabel 2 Blue Print Uji Coba Skala Work-Family Conflict 30
Tabel 3 Blue Print Distribusi Aitem Skala Continuance Commitment 33
Tabel 4 Blue Print Skala Continuance Commitment 34
Tabel 5 Blue Print Distribusi Aitem Skala Work-Family Conflict 35
Tabel 6 Blue Print Skala Work-Family Conflict 35
Tabel 7 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia 40
Tabel 8 Gambaran Subjek Berdasarkan Pekerjaan 41
Tabel 9 Gambaran Subjek Berdasarkan Jumlah Anak Yang Masih 42
Ditanggung Tabel 10 Gambaran Subjek Berdasarkan Usia Anak Yang Masih 42
Menjadi Tanggungan Tabel 11 Normalitas Sebaran Variabel Work-Family Conflict dan 44
Continuance Commitment Tabel 12 Uji Linearitas Data Variabel Work-Family Conflict dan 44
Continuance Commitment Tabel 13 Korelasi antara Work-Family Conflict dan Continuance 45
Commitment Pada Wanita Yang Berperan Sebagai Single Parent Tabel 14 Deskripsi Data Penelitian Continuance Commitment 43
Tabel 15 Deskripsi Data Penelitian Work-Family Conflict 47
Tabel 16 Norma Kategorisasi Continuance Commitment 48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran A Uji Daya Beda Aitem dan Reliabilitas 61
Lampiran B Analisis Data Penelitian 73
Hubungan Work-Family Conflict Dengan Continuance Commitment Pada Wanita
Yang Berperan Sebagai Single Parent
Selvia Veronika Tarigan dan Fahmi Ananda
ABSTRAK
Menjadi single parent bagi wanita akan memberikan berbagai permasalahan. Permasalahan utama yang dihadapi adalah menyangkut permasalahan dari segi ekonomi. Untuk mengatasi permasalahan yang terjadi wanita yang berperan sebagai single parent harus bekerja dan tetap bertahan dalam organisasi tempatnya bekerja. Komitmen untuk tetap bertahan dalam pekerjaannya disebut sebagai continuance commitment. Keputusan untuk bekerja dan mengurus keluarga dapat menimbulkan konflik yang disebut sebagai work-family conflict.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara work-family conflict dengan continuance commitment pada wanita yang berperan sebagai single parent. Penelitian ini dilakukan Kota Medan dengan jumlah subjek sebanyak 65 orang. metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Penelitian ini menggunakan dua buah skala yakni skala work-family conflict yang disusun sendiri oleh peneliti menggunakan teori tiga bentuk dari work-family conflictdari Greenhause & Beutell (1985) dan lima indikator dari commitment continuancedari Meyer J. P, Natalie J. Allen, &Catherine A. Smith (1993). Nilai reliabilitas work-family conflict sebesar 0,920 dan terdiri dari 29 aitem sedangkan nilai reliabilitas continuance commitment sebesar 0,951 dan terdiri dari 29 aitem.
Analisa penelitian menggunakan korelasi Pearson Product Moment. Berdasarkan hasil analisa ditemukan bahwa ada hubungan antara work-family conflict dengan continuance commitment pada wanita yang berperan sebagai single parent (r = 0,114). Implikasi dari penelitian ini adalah semakin tinggi work-family conflict meningkatkan continuance commitment.
The Relationship of Work-Family Conflict with Continuance Commitment
to Women In The Role As a Single Parent
Selvia Veronika Tarigan and Fahmi Ananda
ABSTRACT
Being single parent for women will provide a variety of issues. The main problemis related tothe economic problems. To overcome the problems occurred woman who acts as a single parent, they must work and survive in the organization where she worked. Commitment to remain in the work referred to as continuance commitment. The decision to work and take care of the family can cause conflicts are referred to work-family conflict.
This study was conducted to see the relationship between work-family conflict and continuance commitment to the woman who acts as a single parent. This research was conducted in Medan with as many as 65 people a number of subjects. The method used in this study is a quantitative method. This study uses two scales the Work-Family Conflict scale were compiled by researchers using three forms theory of work-family conflict Greenhause & Beutell (1985) and five indicator of continuance commitment of Meyer J. P, Natalie J. Allen, & Catherine A. Smith (1993). Reliability value of 0,920 work-family conflict and consists of 29 aitem while the reliability of continuance commitment value of 0,951 and consists of 29 aitem.
Research analysis using Pearson Product Moment Correlation. Based on the analysis it was found that there is a relationship between work-family conflict with continuance commitment to the woman who acts as a single parent(r =0.114). The implication of this study is the higher work-family conflict enchancing continuance commitment.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bekerja merupakan salah satu kegiatan yang wajib dilakukan oleh individu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan untuk menciptakan kondisi yang lebih
baik bagi kehidupannya. Bekerja juga merupakan suatu aktivitas yang dilakukan
untuk membuktikan kemampuan diri individu. Keberhasilan individu dalam
pekerjaan ditentukan oleh profesionalisme individu dalam melaksanakan
pekerjaan,komitmen organisasi, kepuasan kerja dan tingkat kompetensi yang
dimiliki oleh individu (Setyawan, 2008). Agar suatu organisasi dapat tetap
berlangsung, organisasi membutuhkan individu yang memiliki komitmen terhadap
organisasi.
Menurut Cherrington (1994), komitmen organisasi merupakan nilai personal
yang mengacu pada loyalitas karyawan terhadap perusahaan atau komitmen
terhadap perusahaan. Rendahnya komitmen terhadap organiasasi dapat
menimbulkan persoalan terhadap organisasi.
Allen dan Meyer (1997) mengungkapkan bahwa komitmen organisasi sebagai
kondisi psikologis dari individu yang menampilkan karakteristik hubungan yang
dimiliki individu dengan organisasi dan memiliki pengaruh dalam keputusan
individu untuk tetap melanjutkan sebagai anggota dan tetap berada dalam suatu
organisasi. Karyawan yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi
tinggi untuk dapat tetap berada dalam organisasi tempatnya bekerja dan lebih
termotivasi dalam melaksanakan pekerjaannya (Morrow dalam Setiawati dan
Zulkaida, 2007). Komitmen organisasi juga dapat diartikan sebagai kesediaan
individu untuk melakukan hal-hal yang telah diputuskan dalam organisasi. Selain
itu, komitmen organisasi juga merupakan identifikasi dan berhubungan dengan
seluruh keefektifan dalam sebuah organisasi (Young, 1998).
Menurut Allen dan Meyer (1997) komitmen organisasi memiliki tiga
komponen yaitu affective, normative dan continuance. Affective commitment
berkaitan dengan hubungan emosional dan keterlibatan pegawai dalam organisasi.
Individu dengan affective commitment yang tinggi akan terus menjadi anggota
organisasi karena memiliki keinginan untuk tetap menjadi anggota. Normative
commitment menunjukkan perasaan yang dimiliki individu mengenai kewajiban
yang harus diberikan terhadap organisasi.Individu dengan normative commitment
yang tinggi akan terus menjadi anggota organisasi karena merasa bahwa dirinya
harus berada dalam organisasi. Continuance commitment berkaitan dengan
persepsi individu mengenai kerugian yang akan diterima jika ia meninggalkan
organisasi.
Menurut Jaros (1993) continuance commitment merupakan keadaan dimana
individu mengalami perasaan terkunci dalam organisasi karena adanya biaya yang
tinggi jika meninggalkan organisasi. Menurut Reichers (1985) continuance
commitment adalah keinginan untuk tetap berada dan menjadi anggota organisasi
digantikan dengan investasi lain seperti adanya biaya pensiun, hubungan dengan
karyawan lain atau hal-hal khusus lain yang dapat diperoleh dari organisasi.
Menurut Meyer dan Allen (1997) continuance commitment berkaitan dengan
persepsi seseorang terhadap biaya dan resiko yang akan diterima jika harus
meninggalkan organisasi. Individu yang memiliki continuance commitment akan
tetap menjadi anggota dalam organisasi karena mereka memiliki kebutuhan untuk
menjadi anggota organisasi tersebut. Seseorang yang memiliki continuance
commitment akan terikat dengan organisasi karena adanya alasan ekonomi dan
akan terdapat banyak hal yang harus dikorbankan seperti waktu serta usaha yang
telah diinvestasikan bila individu meninggalkan organisasi (Allen & Meyer,
1990). Hal ini berarti bahwa individu bertahan dalam suatu organisasi karena
membutuhkan organisasi tersebut. Semakin lama individu berada pada organisasi,
maka individu akan semakin tidak ingin kehilangan apa yang sudah diinvestasikan
pada organisasi selama bekerja.
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi continuance commitment yaitu
faktor investasi dan alternatif. Faktor investasi berkaitan dengan pengorbanan
yang telah diberikan karyawan terhadap organisasi seperti waktu, tenaga dan
usaha selama bekerja dan faktor alternatif berkaitan dengan persepsi karyawan
yang merasa bahwa mereka hanya memiliki alternatif pekerjaan yang sedikit. Hal
ini dapat dipengaruhi salah satunya berdasarkan faktor usia dari individu (Allen &
Meyer dalam Dahesihsari, 2002). Usia menjadi hal yang berpengaruh pada saat
seseorang melamar pekerjaan. Hal ini yang dapat menyebabkan seseorang merasa
memasuki masa dewasa madya karena mereka akan merasa kesulitan jika harus
meninggalkan organisasi dan juga akan menyebabkan individu merasa kesulitan
dalam mengatasi masalah ekonomi. Hal ini terutama lebih dirasakan oleh seorang
single parent yang secara umum bekerja atas dasar alasan ekonomi (Egelman,
2004) yang menjadi salah satu alasan yang kuat yang mempengaruhi continuance
commitment seseorang (Alllen & Meyer, 1990)
Menurut Sager (dalam Duval & Miller, 1985) seorang ibu atau ayah yang
mengasuh dan mendidik anak-anaknya seorang diri tanpa kehadiran, dukungan
dan tanggung jawab dari pasangannya disebut sebagai single parent. Menurut
Hurlock (2004) orangtua tunggal (single parent) adalah orangtua baik ayah atau
ibu yang menduda atau menjanda yang dapat diakibatkan oleh kematian
pasangan, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah dan memiliki tanggung
jawab untuk memelihara anak-anak. Menurut Martin & Colbert (1977) seseorang
yang menjadi single parent baik karena pilihan ataupun bukan akan
mengakibatkan mereka memiliki tugas yang sulit. Berbagai permasalahan yang
akan dihadapi seperti kondisi keuangan yang memburuk, memiliki sedikit
dukungan sosial dan juga role overload. Tantangan lain yang harus dihadapi
adalah tidak adanya pasangan yang dapat membantu dan berbagi tanggung jawab
baik dalam hal keuangan ataupun melaksanakan pekerjaan rumah tangga.
Menjadi single parent merupakan sebuah keadaan yang tidak dialami oleh
semua wanita dan akan menyebabkan berbagai permasalahan yang harus
dihadapi. Secara umum, terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi oleh
ekonomi dan psikologis. Permasalahan dari segi sosial yang dialami oleh single
parent yaitu kehidupan single parent yang dipandang sebagai hal yang negatif
oleh masyarakat (Mahmudah, 1999). Single parent akan mendapatkan perlakuan
yang tidak menyenangkan oleh masyarakat dan kurang mendapat dukungan sosial
dan emosional. Wanita yang berperan sebagai single parent memiliki teman yang
lebih sedikit, kurang terlibat dalam banyak kegiatan organisasi ataupun kegiatan
relaksasional jika dibandingkan dengan wanita masih yang memiliki suami
(Allesandri, 1992).
Dari segi psikologis, permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan
bagaimana cara yang dilakukan oleh individu untuk menciptakan figur pengganti
dari pasangannya (Mahmudah, 1999). Setelah kehilangan pasangan, single parent
akan kehilangan masa-masa yang dilalui bersama pasangan dalam pernikahan dan
juga kehilangan teman yang dapat menjadi tempat berbagi dalam segala hal.
Permasalahan yang muncul dari segi ekonomi yaitu single parent harus
bertanggung jawab seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga
(Mahmudah, 1999). Sedangkan menurut Hurlock (2004) terdapat beberapa
permasalahan yang dialami oleh seorang wanita yang menjadi single parent yaitu
masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, masalah praktis, masalah
seksual, dan masalah tempat tinggal. Masalah ekonomi menjadi masalah utama
yang banyak dialami oleh wanita yang berperan sebagai single parent (Egelman,
2004).
Bekerja mungkin dapat memberikan dampak positif dengan membantu single
disisi lain dapat menimbulkan permasalahan lainnya yaitu work-family conflict
karena selain bekerja, single parent juga harus menjalankan perannya sebagai
orangtua yaitu untuk merawat, membimbing dan melindungi anak-anaknya.
Work-Family Conflict dapat terjadi pada pria dan wanita, tetapi berdasarkan hasil
dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat intensitas terjadinya
work-family conflict memiliki kemungkinan lebih besar untuk dialami oleh wanita
dibandingkan dengan pria (Apperson, Schimdt, H. Moore, S. eGrunberg, 2002).
Albrecht (1967) menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai single parent
dan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga memiliki beban yang
paling berat jika dibandingkan dengan wanita yang hanya berperan sebagai ibu
rumah tangga ataupun ibu yang bekerja dan masih memiliki pasangan sebagai
tempat berbagi dan saling membantu. Pernyataan Albercht juga didukukung oleh
hasil penelitian yang dilakukan oleh Burden (dalam Martin & Colbert, 1997) yang
menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai single parent memiliki tingkat
stres yang paling tinggi ketika harus menangani berbagai tanggung jawab atas
rumah tangga dan pekerjaan.
Work-family conflict merupakan konflik yang timbul apabila peran di dalam
pekerjaan dan keluarga saling menuntut untuk dipenuhi, pemenuhan peran yang
satu akan mempersulit pemenuhan peran yang lain (Greenhaus & Beutell, 1985).
Hal ini terjadi pada saat seseorang berusaha untuk memenuhi tuntutan peran
dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut
dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan untuk memenuhi tuntutan
pekerjaannya (Frone, 1992).
Menurut Greenhause dan Butell (1985) terdapat tiga jenis work-family conflict
yaitu time-based conflict, strain-based conflict dan behavior-based conlict.
Time-based conflict yaitu waktu yang dibutuhkan untuk memenuhi salah satu tuntutan
(keluarga atau pekerjaan) dapat mengurangi waktu untuk menjalankan tuntutan
yang lainnya (keluarga atau pekerjaan). Strain-based conflict yaitu terjadi pada
saat tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kemampuan dalam
melaksanakan peran lainnya. Behavior-based conlict yaitu berhubungan dengan
ketidaksesuaian antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua peran
(keluarga atau pekerjaan).
Work-family conflict merupakan situasi yang tidak diinginkan dan akan
berpengaruh terhadap individu dan organisasi. Work-family conflict dapat
menyebabkan rendahnya kinerja karyawan, kehadiran yang tidak teratur,
tingginya tingkat turnover dan ketidakpuasan pada pekerjaan dan juga
mempengaruhi komitmen karyawan terhadap organisasi (Kossek & Ozzeki dalam
Bull, 2009). Salah satu komponen komitmen organisasi yang dapat dipengaruhi
oleh individu yang mengalami work-family conflict yaitu continuance
commitment. Dalam hal ini karyawan yang bekerja berdasarkan continuance
commitmen bertahan dalam organisasi karena mereka butuh melakukan hal
tersebut akibat tidak adanya pilihan lain (Allen & Meyer, 1997). Terdapat dua
aspek pada continuance commitment yaitu melibatkan pengorbanan pribadi
bagi individu. Hal ini merupakan suatu hal yang dialami oleh wanita yang
berperan sebagai single parent dan bekerja karena mereka harus tetap bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup karena mereka tidak memiliki pilihan lain
bagaimanapun kondisi yang individu rasakan dalam organisasi tempatnya bekerja,
individu tetap harus bekerja karena individu akan mengalami kerugian jika
meninggalkan organisasi seperti kehilangan sumber mata pencaharian.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti ingin melihat hubungan antara
work-family conflict dengan continuance commitmentyang dalam hal ini dilihat
pada wanita yang berperan sebagai seorang single parent.
B. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan yang ingin diteliti adalah : Apakah terdapat hubungan antara
work-family conflict dengan continuancecommitment pada wanita yang berperan
sebagai single parent yang bekerja?
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan
antara work-family conflict dengan continuance commitment pada wanita yang
berperan sebagai single parent yang bekerja.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu Psikologi
khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi, terutama mengenai
work-family conflict, continuance commitment dan single parent.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Memberikan informasi kepada wanita yang berperan sebagai single parent
yang bekerja mengenai gambaran work-family conflict dan continuance
commitment yang ada pada mereka.
b. Memberikan informasi kepada anak-anak dan keluarga dari wanita yang
berperan sebagai single parent mengenai gambaran work-family conflict dan
continuance commitment yang dialami oleh anggota keluarga sehingga anggota
keluarga dapat memberikan saran dan dukungan kepada wanita yang berperan
sebagai single parent .
c. Memberikan informasi bagi organisasi untuk mengetahui gambaran
continuance commitment pada seorang pekerja mengalami work-family conflict
E. SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I : PENDAHULUAN
Berisi uraian singkat mengenai gambaran latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan
permasalahan. Memuat tinjauan pustaka tentang work-family
conflict, continuance commitment dan single parent.
BAB III : METODE PENELITIAN
Berisi identifikasi variabel, defenisi operasional, populasi dan
metode pengambilan sampel, metode pengambilan data, dan metode
analisa data penelitian.
BAB IV : ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Berisi gambaran subjek penelitian, laporan hasil penelitian yang
meliputi hasil utama, hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan
linearitas, hasil tambahan penelitian yang meliputi nilai empirik dan
nilai hipotetik , kategorisasi data penelitian serta pembahasan.
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini memuat mengenai kesimpulan dari hasil penelitian yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Selain itu, bab ini juga berisi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. CONTINUANCE COMMITMENT
1. Definisi Continuance Commitment
Continuance commitment berkaitan dengan an awareness of the costs
associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan terdapat
pertimbangan untung rugi dalam diri individu mengenai keinginan untuk tetap
bekerja atau meninggalkan organisasi. Continuance commitment sejalan dengan
pendapat (Becker’s, dalam Meyer dan Allen, 1997) yaitu bahwa komitmen adalah
kesadaran akan ketidakmungkinan untuk memilih identitas sosial lain ataupun
alternatif tingkah laku lain karena terdapat ancaman akan kerugian besar. Individu
yang bekerja berdasarkan continuance commitment bertahan dalam organisasi
karena mereka butuh (need to) untuk melakukan hal tersebut karena tidak adanya
pilihan lain (Meyer & Allen, 1997). Menurut Meyer dan Allen (1997),
continuance commitment menunjukkan adanya keterikatan psikologis terhadap
suatu organisasi yang berhubungan dengan persepsi nilai yang telah ditanamkan
dalam suatu organisasi dan efeknya pada inidividu jika keluar dari organisasi.
Menurut Beck & Wilson (2000) continuance commitment berperan sebagai
alat penolog bagi organisasi dimana asosiasi individu dengan organisasi tersebut
Kanter (1968) mendefenisikan continuance commitment sebagai komitmen
yang akan terjadi ketika ada keuntungan yang diterima dengan tetap berpartisipasi
sebagai anggota organisasi dan kerugian yang diterima jika keluar dari organisasi.
Meyer et al (1990) juga berpendapat bahwa investasi yang diterima dan alternatif
pekerjaan yang sedikit cenderung memaksa individu untuk mempertahankan
tanggung jawab mereka untuk tetap berkomitmen sebagai bagian dari organisasi .
Ini berarti bahwa individu tetap menjadi anggota organisasi karena terpikat oleh
keuntungan dari investasi yang bisa didapatkan seperti dana pensiun atau
keterampilan khusus yang diberikan oleh organisasi. Menurut Allen & Meyer
(1997) kekuatan dari continuance commitment yang merupakan kebutuhan untuk
tinggal, ditentukan oleh kerugian yang dirasakan jika meninggalkan organisasi.
Jadi continuance commitment merupakan kesadaran seseorang atas biaya dan
resiko yang akan diterima apabila meninggalkan organisasi.
2. Indikator Continuance Commitment
Indikator dari continuance commitment yang diungkapkan oleh Meyer J. P,
Natalie J. Allen, & Catherine A. Smith (1993) yaitu:
a. Merasa rugi atau kehilangan jika harus keluar atau meninggalkan organisasi
tempatnya bekerja
b. Menganggap bahwa bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan
c. Merasa bahwa bekerja pada organisasi tersebut merupakan pilihan yang baik
d. Merasa berat jika harus meninggalkan organisasi
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Continuance Commitment
Allen & Meyer (1997) membagi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
continuance commitment menjadi dua hal yaitu:
a. Investasi
Karyawan yang telah merasa berkorban ataupun memberikan investasi yang
besar terhadap organisasi akan merasa rugi jika harus meninggalkan organisasi
karena akan kehilangan apa yang telah diberikan selama individu bekerja dalam
organisasi. Investasi yang diberikan karyawan kepada organisasi merupakan
waktu, tenaga serta usaha yang telah diberikan selama bekerja dan menjadi
anggota dari organisasi sedangkan investasi yang individu harapkan diterima dari
organisasi adalah jaminan biaya pensiun, rekan kerja yang baik serta
keterampilan-keterampilan khusus yang diterima dari organisasi.
b. Alternatif
Faktor alternatif melibatkan persepsi karyawan terhadap alternatif pekerjaan.
Karyawan berpikir bahwa mereka memiliki alternatif yang sedikit. Ketiadaan
alternatif pekerjaan menjadi suatu hal yang memperkuat continuance commitment
pada individu. Karyawan yang tidak memiliki pilihan kerja lain yang lebih
menarik dan menguntungkan akan merasa rugi jika meninggalkan organisasi
karena belum tentu memperoleh sesuatu yang lebih baik dari pekerjaan yang
B. WORK-FAMILY CONFLICT
1. Definisi Work-Family Conflict
Work-Family Conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik antar
peranyaitu adanya tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran
dipekerjaan dengan peran didalam keluarga yaitu menjalankan peran di pekerjaan
akan menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di
keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran di keluarga menjadi akan
menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di dalam
pekerjaan (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban kerja
yang berat merupakan sebuah pertanda akan terjadinya work-family conflict, yang
diakibatkan oleh waktu dan upaya yang berlebihan yang dipakai untuk bekerja
dan mengakibatkan kurangnya waktu dan energi yang dapat digunakan untuk
melakukan aktivitas-aktivitas dalam keluarga (Frone, 2003; Greenhause &
Beutell, 1985).
Menurut Frone (1992) work-family conflict adalah bentuk konflik peran yaitu
tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat disejajarkan
dalam beberapa hal. Hal ini dapat terjadi pada saat seseorang berusaha untuk
memenuhi tuntutan dalam pekerjaan dan usaha tersebut dipengaruhi oleh
kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi keluarganya, begitu juga
sebaliknya, pemenuhan tuntutan dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan
orang yang bersangkutan dalam memenuhi tuntutan dalam pekerjaan. Konflik
waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang
lain. Tuntutan pekerjaan berasal dari beban kerja yang berlebihan dan waktu,
seperti adanya deadline. Tuntutan keluarga berhubungan dengan waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak.Tuntutan
keluarga ditentukan oleh komposisi keluarga, besarnya keluarga dan jumlah
anggota keluarga yang memiliki ketergantungan terhadap anggota yang lain
(Yang, Chen, Choi & Zhou, 2000).
Jadi work-family conflict merupakan konflik yang terjadi pada seseorang
akibat ketidakmampuan menyeimbangkan tuntutan dalam keluarga dan pekerjaan.
Kehadiran salah satu peran dapat menyebabkan kesulitan dalam memenuhi
tuntutan peran yang lain sehingga individu sulit untuk membagi waktu dan sulit
untuk melaksanakan kewajiban dari salah satu peran karena hadirnya peran yang
lain.
2. Bentuk-Bentuk Work-Family Conflict
Greenhause dan Beutell (1985) menggambarkan tiga bentuk work-family
conflict, yaitu:
a. Time-based conflict
Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi salah satu peran tidak dapat digunakan untuk
menjalankan peran lainnya, artinya pada saat yang bersamaan seseorang yang
mengalami konflik peran ganda tidak bisa melakukan dua atau lebih peran
tidak akan dapat digunakan untuk melaksanakan peran yang lain. Time based
conflict memiliki dua bentuk yaitu: (a) tuntutan waktu dari peran yang satu
membuat individu secara fisik tidak dapat memenuhi ekspetasi dari peran yang
lain, (b) adanya tuntutan waktu dapat menyebabkan individu terokupasi dengan
peran yang satu, pada saat seharusnya individu mencoba untuk memenuhi
tuntutan peran lain. Waktu yang digunakan untuk melaksanakan satu peran akan
menyisakan sedikit waktu untuk mengerjakan peran yang lain (Bartolome &
Evans, dalam Greenhause & Beutell, 1985).
b. Strain-based conflict
Strain-based conflict yaitu ketegangan atau keadaan emosional yang
dihasilkan oleh satu peran yang menyulitkan seseorang untuk memenuhi tuntutan
peran yang lain. Ketegangan peran bisa termasuk stres, tekanan darah meningkat,
kecemasan, keadaan emosional, dan sakit kepala. Strain-based conflict muncul
pada saat ketegangan yang diakibatkan dari menjalankan peran yang satu
mempengaruhi performa individu dalam menjalankan peran yang lain.
Peran-peran tersebut menjadi bertentangan karena ketegangan akibat Peran-peran yang satu
dapat membuat individu lebih sulit memenuhi tuntutan perannya yang lain.
c. Behavior-based conflict
Behavior-based conflict yaitu konflik yang muncul ketika suatu tingkah laku
yang efektif untuk satu peran tetapi tidak efektif digunakan untuk peran yang lain.
Ketidakefektifan tingkah laku ini dapat disebabkan oleh kurangnya kesadaran
Perilaku-perilaku yang diharapkan muncul pada saat menjalankan peran yang satu
terkadang bertentangan dengan ekspetasi dari peran yang lain. Ketidaksesuaian
dapat terjadi karena adanya perbedaan norma dan harapan antara kedua peran.
C. SINGLE PARENT
1. Definisi Single Parent
Single parent menurut Sager (dalam Duvall & Miller, 1995) single parent
adalah orangtua yang seorang diri membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan
atau tanggung jawab dari pasangannya. Menurut Hurlock (2004) single parent
adalah orangtua yang telah menduda atau menjanda baik ayah atau ibu dan
mengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara anak-anak setelah kematian
pasangannya, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa single parent
adalah seorang ayah atau ibu yang membesarkan anak-anaknya seorang diri tanpa
disertai kehadiran atau tanggung jawab dari pasangannya.
2. Faktor-Faktor Penyebab Single Parent
Menurut Perlmutte dan Hall (1999), ada beberapa hal yang dapat
menyebabkan seseorang menjadi single parent yaitu disebabkan oleh kematian
pasangan, perceraian atau perpisahan, memiliki anak diluar nikah, adopsi anak
3.Masalah-Masalah yang Dihadapi Single Parent
Hurlock (2004), menjelaskan bahwa menjadi wanita yang berperan sebagai
single parent akan dihadapkan pada masalah-masalah seperti:
a. Masalah Ekonomi
Bagi beberapa individu yang mempunyai situasi keuangan yang lebih baik
ketika menjadi orangtua tunggal, mereka tidak perlu bekerja keras untuk
memenuhi kebutuhan dirinya maupun anak-anak. Namun tidak sedikit individu
yang mengalami masalah ekonomi dan memiliki pendapatan yang kurang
memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka dibandingkan saat mereka memiliki
suami, dan apabila tidak memiliki ketrampilan yang memadai maka akan
menyebabkan kesulitan untuk mendapat pekerjaan yang diperlukan untuk
menghidupi dirinya dan anak-anaknya.
b. Masalah Sosial
Bagi wanita yang diceraikan, masalah sosial lebih sulit diatasi dari pada pria
yang menjadi duda. Wanita yang diceraikan bukan hanya dikucilkan dari kegiatan
sosial tetapi bisa lebih buruk lagi, mereka seringkali kehilangan teman lamanya
atau orang disekitarnya.
c. Masalah Keluarga
Apabila mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang wanita yang
menjadi single parent harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu
pasangan. Masalah lain yang biasa dihadapi yaitu berkaitan dengan keluarga dari
pihak suami.
d. Masalah Praktis
Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah tebiasa
dibantu oleh suami dalam mengatasi masalah praktis seperti membetulkan
peralatan rumah tangga, memangkas rumput dan sebagainya menjadikan banyak
masalah rumah tangga yang harus dihadapi oleh seorang wanita yang menjadi
single parent kecuali jika mereka memiliki anak yang dapat membantu
menyelesaikan masalah-masalah tersebut atau memiliki kemampuan untuk
mengatasi masalah yang terjadi.
e. Masalah seksual
Karena keinginan seksual yang tidak terpenuhi, beberapa wanita mencoba
mengatasi masalah kebutuhan seksual ini dengan melakukan hubungan gelap
dengan pria bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa
menikah atau dengan menikah lagi atau sebagian tetap tenggelam dalam perasaan
frustasi atau melakukan masturbasi.
f. Masalah tempat tinggal
Tempat tinggal seorang wanita yang menjadi single parent biasanya
tergantung pada dua kondisi. Pertama status ekonominya dan kedua apakah ia
memiliki seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Kebanyakan dari wanita
ekonominya. Sehingga mereka harus pindah ke rumah yang lebih kecil atau
tinggal dengan orang tua atau anak yang sudah menikah.
D. HUBUNGAN WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN CONTINUANCE COMMITMENT PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI SINGLE PARENT
Continuance commitment tergolong dalam bentuk komitmen organisasi
yang rasional. Hal ini berkaitan dengan kerugian yang akan diterima karyawan
jika kelua dari organisasi tempatnya bekerja. Terdapat dua faktor yang dapat
mempengaruhi continuance commitment individu yaitu investasi dan ketiadaan
alternatif yang tersedia. Investasi yang diberikan oleh individu bagi organisasi
akan membuat dirinya merasa sulit untuk meninggalkan organisasi karena akan
mengakibatkan kerugian baginya dan ketiadaan alternatif juga akan membuat
individu merasas rugi jika harus meninggalkan organisasinya karena sulitnya
untuk mencari alternatif pekerjaan lain yang lebih baik daripada pekerjaan yang
dimiliki saat ini (Allen & Meyer, 1997).
Karyawan pada umumnya akan menunjukkan continuance commitment
apabila mereka menerima keuntungan personal (School, 1981). Keuntungan
personal yang diterima pada umumnya berhubungan dengan alasan ekonomi.
Alasan ekonomi dapat menjadi salah satu alasan yang kuat dan mempengaruhi
continuance commitment individu untuk tetap menjadi bagian dari sebuah
organisasi. Alasan ekonomi menjadi sebagian besar alasan individu untuk bekerja
single parent. Bagi single parent, ekonomi menjadi suatu permasalahan utama
yang akan dihadapi (Egelman, 2004).
Dengan menjadi bagian dari organisasi dapat melindungi single parent dari
masalah ekonomi yang dihadapi tetapi dapat menimbulkan masalah baru seperti
adanya work-family confict. Work-family conflict merupakan bentuk dari konflik
antar peran yaitu adanya tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran
dipekerjaan dengan peran didalam keluarga yaitu menjalankan peran di pekerjaan
akan menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di
keluarga, begitu juga sebaliknya, menjalankan peran di keluarga menjadi akan
menjadi lebih sulit karena individu juga harus menjalankan peran di dalam
pekerjaan (Greenhaus & Beutell, 1985). Menurut Greenhasus & Beutell (1985)
terdapat beberapa aspek dari work-family conflict yaitu time-based conflict,
strain-based conflict dan behavior based-conflict.
Time-based conflict merupakan konflik yang terjadi karena waktu yang
digunakan untuk memenuhi salah satu peran tidak dapat digunakan untuk
menjalankan peran lainnya (Greenhaus & Beutell, 1985) . Dengan menjadi bagian
dari organisasi individu memiliki keharusan untuk menyediakan waktunya untuk
mengerjakan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawab mereka. Waktu yang
digunakan individu untuk bekerja dianggap menjadi bagian dari investasi yang
dilakukan oleh karyawan yang memiliki continuance commitment karena dengan
memberikan waktu mereka untuk bekerja diharapkan akan memberikan
Strain-based conflict merupakan ketegangan atau keadaan emosional yang
dihasilkan oleh satu peran yang menyulitkan seseorang untuk memenuhi tuntutan
peran yang lain. Ketegangan yang bisa dihasilkan seperti stress, tekanan darah
meningkat, kecemasan, keadaan emosional dan sakit kepala (Greenhaus &
Beutell, 1985). Ketegangan yang dihasilkan dari konflik yang ada dapat
menyebabkan individu mengalami kesulitan dalam menjalani pekerjaan dan
mengurus keluarga terutama bagi single parent yang harus menjalani pekerjaan
dan juga mengurus keluarganya. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Burden yang menyatakan (dalam Martin & Colbert, 1997) yang
menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai single parent memiliki tingkat
stres yang paling tinggi ketika harus menangani berbagai tanggung jawab atas
rumah tangga dan pekerjaan. Stres dan ketegangan yang dirasakan dapat
mempengaruhi komitmen individu terhadap organisasinya dan berpikir untuk
keluar dari organisasi tetapi individu yang memiliki continuance commitment
akan merasa sulit untuk melakukan hal tersebut karena akan merasa kesulitan
dalam mencari alternatif pekerjaaan lain yang lebih baik.
Behavior-based conflict merupakan konflik yang muncul ketika suatu tingkah
laku yang efektif untuk satu peran tetapi tidak efektif digunakan untuk peran yang
lain. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya adalah tanggung jawab yang
harus dijalankan seseorang dalam pekerjaan dan dukungan keluarga (Greenhaus &
Beutell,1985). Bagi seorang pekerja yang memiliki continuance commitment
pekerjaan dengan lebih baik karena hal tersebut dianggap menjadi suatu investasi
yang nantinya akan digantikan dengan keuntungan yang lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alasan ekonomi
menjadi alasan yang kuat yang mempengaruhi continuance commitment dari
individu dan hal tersebut juga merupakan hal yang dirasakan oleh wanita yang
berperan sebagai single parent yang juga menghadapi permasalahan ekonomi.
Wanita yang berperan sebagai single parent memiliki kewajiban untuk bekerja
untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga individu memiliki kebutuhan
untuk tetap bertahan dalam organisasi. Wanita yang berperan sebagai single
parent lebih dihadapkan pada permintaan untuk menjalankan peran kerja dan
peran keluarga yang secara bersamaan memerlukan prioritas dalam menjalankan
kedua peran tersebut. Ketika kedua peran tidak dapat dijalankan secara seimbang
akan menimbulkan work-family conflict yang dapat mempengaruhi continuance
commitment individu dalam bekerja.
E. HIPOTESA PENELITIAN
Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka hipotesa penelitian
adalah: ada hubungan antara work-family conflict dengan continuance
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian memiliki peranan penting dalam menentukan suatu
penelitian karena menyangkut mengenai cara yang benar dalam pengumpulan
data, analisa data dan pengambilan keputusan dari hasil penelitian. Pembahasan
dalam metode penelitian meliputi identifikasi variabel penelitian, defenisi
operasional, subjek penelitian, prosedur penelitian dan metode analisis (Hadi,
2000).
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat korelasional, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk melihat hubungan antara dua variabel yang
diprediksi memiliki hubungan
A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN
Identifikasi variabel penelitian merupakan suatu langkah dalam penetapan
variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuannya
fungsinya masing-masing (Azwar, 2000). Variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Variabel Tergantung : Continuance Commitment
B. DEFINISI OPERASIONAL
1. Continuance Commitment
Continuance commitment merupakan suatu keadaan dimana individu merasa
membutuhkan organisasi dan merasa bahwa dengan meninggalkan organisasi
akan dapat mengakibatkan kerugian bagi individu. Indikator dari commitment
continuance (Meyer J. P.; Natalie J. Allen, dan Catherine A. Smith, 1993) yaitu :
a. Merasa rugi atau kehilangan jika harus keluar atau meninggalkan organisasi
tempatnya bekerja
b. Menganggap bahwa bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan
c. Merasa bahwa bekerja pada organisasi tersebut merupakan pilihan yang baik
d. Merasa berat jika harus meninggalkan organisasi
e. Tidak tertarik untuk mencari organisasi lain
Continuance commitment akan diukur dengan menggunakan skala
berdasarkan indikator yang telah diungkapkan oleh Meyer, Allen dan Catherine
(1993). Total skor yang diperoleh pada skala continuance commitmentakan
menunjukkan tingkat continuance commitment karyawan terhadap perusahaan.
Semakin tinggi skor skala continuance commitment yang diperoleh seseorang
maka semakin tinggilah continuance commitment yang dimilikinya. Sebaliknya
semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin rendahlah continuance
2. Work-Family Conflict
Work-Family Conflict merupakan konflik yang terjadi akibat tekanan peran di
pekerjaan bertentangan dengan peran di keluarga yaitu menjalankan peran dalam
pekerjaan akan menjadi lebih sulit karena juga menjalankan peran di keluarga,
begitu juga sebaliknya (Greenhaus & Beutell, 1985).
Work-Family Conflict diukur dengan menggunakan skala yang disusun
berdasarkan konsep yang dikemukakan oleh Greenhaus & Beutell (1985) yaitu
time based, strain based, dan behavior based. Tingkat work-family conflict dapat
dilihat dari skor nilai yang diperoleh seseorang dari skala tersebut. Semakin tinggi
skor skala work-family conflict seseorang maka semakin tinggi konflik peran yang
dialami individu. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh maka semakin
rendah konflik peran yang dialami oleh individu.
C. POPULASI, SAMPEL DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL
1. Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang dimaksudkan untuk
diteliti dan memiliki sifat yang sama. Populasi memiliki karakteristik yang dapat
diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian. Sedangkan sampel
merupakan bagian yang diambil dari populasi dan diteliti secara rinci (Hadi,
2000).
Populasi dari penelitian ini adalah seluruh wanita yang berperan sebagai
keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari populasi untuk
dijadikan sebagai subjek penelitian, atau yang dikenal dengan nama sampel.
Karakteristik dari sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Wanita yang berperan sebagai single parent dan bekerja.
b. Memiliki anak yang masih tinggal bersama dan di asuh.
2. Metode Pengambilan sampel
Sampling adalah cara yang digunakan untuk menentukan sampel dalam suatu
penelitian. Penentuan sampel harus memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran dari
populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar mewakili dari populasi (Hadi,
2000). Pada penelitian ini sampel diperoleh melalui tehnik nonprobability
sampling secara purposive sampling. Purposive sampling merupakan tehnik
pengambilan sampling berdasarkan pada informasi yang tersedia serta sesuai
dengan penelitian yang sedang berjalan yang diharapkan memiliki informasi yang
akurat dengan tujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif (Sugiyono,
2009)
3. Jumlah Sampel
Menurut Azwar (2000), secara tradisional statistika menganggap bahwa
jumlah sampel yang lebih dari 60 subjek sudah cukup banyak.
D. METODE PENGUMPULAN DATA
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
yang diberikan kepada subjek agar dapat mengungkapkan kondisi-kondisi yang
ingin diketahui. Skala sikap disusun berdasarkan metode skala Likert. Nilai skala
setiap pertanyaan diperoleh dari jawaban subjek yang menyatakan mendukung
(favorable) atau yang tidak mendukung (unfavorable).
1. Skala Continuance Commitment
Penyusunan skala continuance commitmentyang didasarkan pada indikator
yang telah diungkapkan oleh Meyer, Allen dan Catherine (1993). Jumlah aitem
skala continuance commitment adalah 42 aitem. Model skala continuance
commitmentini menggunakan skala Likert. Aitem terdiri dari pernyataan dengan
lima pilihan jawaban yaitu: SS (sangat sesuai), S (sesuai), N (netral), TS (tidak
sesuai), dan STS (sangat tidak sesuai). Di dalam skala juga disertakan lembar
pengisian identitas diri yang harus diisi oleh subjek.
Skala disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan
tidak mendukung (unfavorable). Nilai pilihan bergerak dari 1 sampai 5. Bobot
penilaian untuk pernyataan favorable yaitu: SS = 5, S = 4, N =3, TS =2, STS = 1.
Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: SS = 1, S = 2, N
Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Skala Continuance Commitment untuk Uji Coba
No Indikator Continuance Commitment
Aitem Total Bobot
Favorable Unfavorable
1 Merasa rugi atau kehilangan jika harus keluar atau meninggkan organisasi tempatnya bekerja
1,2,3,4,5,6,7 8,9,10 10 23,8%
2 Menganggap bahwa bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan
11,12,13,14, 15,16
17,18 8 19,1%
3 Merasa bahwa bekerja pada organisasi tersebut
merupakan pilihan yang baik
19,20,21,22, 23
24,25 7 16,6%
4 Merasa berat jika harus meninggalkan organisasi
26,27,28,29, 30,31
32,33 8 19,1%
5 Tidak tertarik untuk mencari organisasi lain
34,35,36,37, 38,39
40,41,42 9 21,4%
Total 30 12 42 100%
2. Skala Work-Family Conflict
Penyusunan skala work-family conflict dilakukan berdasarkan bentuk-bentuk
work-family conflict yang diungkapkan oleh Greenhaus & Beutell (1985) yaitu
time-based conflict, strain-based conflict, dan behavior-based conflict. Model
Skala work-family conflict ini menggunakan skala Likert. Aitem terdiri dari 41
pernyataan dengan lima pilihan jawaban yaitu: SS (sangat sesuai), S (sesuai),
N(netral), TS (tidak sesuai), dan STS (sangat tidak sesuai). Di dalam skala juga
disertakan lembar pengisian identitas diri yang harus diisi oleh subjek.
Skala disajikan dalam bentuk pernyataan yang mendukung (favorable) dan
tidak mendukung (unfavorable). Nilai pilihan bergerak dari 1 sampai 5. Bobot
Sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan unfavorable yaitu: SS = 1, S = 2, N
= 3, TS = 4, STS = 5.
Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala Work-Family Conflict untuk Uji Coba No Bentuk-Bentuk
Work-Family Conflict
Aitem Total Bobot
Favorable Unfavorable
1 Time-based conflict 1,2,3,4,5,6,7,8, 9,10,11
12,13,14,15 15 36,6%
2 Strain-based conflict 16,17,18,19,20 ,21,22,23,24,
E. VALIDITAS, UJI DAYA BEDA DAN RELIABILITAS ALAT UKUR
1. Validitas Alat Ukur
Validitas adalah sejauh mana ketepatan suatu alat ukur dalam melaksanakan
fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya
alat ukur yang digunakan untuk mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki
dengan tepat (Azwar,2000). Di dalam penelitian ini dilakukan uji validitas
berdasarkan face validity dan conten validity. Face validity adalah tipe validitas
yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian
terhadap format penampilan (appearance) tes. Apabila penampilan tes telah
meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak
diukur, maka dapat dikatakan bahwa face validity telah terpenuhi. Content validity
diukur. Content validity diperoleh melalui professional judgementdari dosen
pembimbing.
2. Uji Daya Beda Aitem
Uji daya beda item pernyataan untuk melihat sejauh mana butir pernyataan
mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki atau
tidak memiliki atribut yang diukur. Dasar kerja yang digunakan dalam analisis
butir pernyataan ini adalah dengan memilih aitem-aitem pernyataan yang fungsi
ukurnya sesuai dengan fungsi ukur tes. Atau dengan kata lain, memilih butir
pernyataan yang mengukur hal yang sama dengan apa yang diukur oleh tes
sebagai keseluruhan (Azwar, 2000).
Uji daya beda item pernyataan ini akan dilakukan pada alat ukur dalam
penelitian ini, yaitu skala continuance commitment dan skala work-family conflict.
Besarnya koefisien korelasi item total bergerak dari 0 sampai dengan 1,00 dengan
nilai positif dan negatif. Semakin baik daya diskriminasi item maka koefisien
korelasinya semakin mendekati angka 1,00 (Azwar, 2000). Kriteria pemilihan
aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rit ≥ 0,30. Semua aitem
yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, daya pembedanya dianggap
memuaskan. Aitem yang memiliki harga rit < 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai
aitem yang memiliki daya beda yang rendah. (Azwar, 2000). Pengujian daya beda
aitem dilakukan dengan mengkorelasikan antara skor tiap aitem dengan skor total,
dengan menggunakan tehnik korelasi Pearson Product Moment dengan bantuan
3. Reliabilitas Alat Ukur
Reliabilitas yaitu sejauh mana alat ukur dapat dipercaya. Menurut Hadi (2000)
reliabilitas alat ukur menunjukkan konsistensi suatu alat ukur bila digunakan
beberapa kali pada kesempatan yang berbeda. Uji reliabilitas alat ukur ini
menggunakan pendekatan konsistensi internal dimana prosedurnya hanya
memerlukan satu kali pengenaan tes kepada sekelompok individu sebagai subjek.
Pendekatan ini dipandang ekonomis, praktis, dan memiliki efisiensi yang tinggi
(Azwar, 2002). Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxxˋ) yang
angkanya berada dalam rentang 0 sampai 1. Koefisien reliabilitas yang semakin
mendekati angka satu menandakan semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya,
koefisien yang semakin mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitas
yang dimiliki (Azwar, 2002). Teknik yang digunakan untuk pengukuran
reliabilitas alat ukur penelitian ini adalah teknik koefisien Alpha Cronbach. Untuk
menguji reliabilitas ini menggunakan bantuan program SPSS versi 17.0 for
Windows.
F. HASIL UJI COBA ALAT UKUR
Setelah selesai menyusun alat ukur maka langkah yang dilakukan berikutnya
adalah dengan melakukan uji coba alat ukur. Uji coba alat ukur dilakukan kepada
50 wanita yang berprofesi sebagai pekerja dan ibu rumah tangga.
1. Skala Continuance Commitment
Uji coba skala continuance commitment menggunakan korelasi Pearson
aitem. Adapun distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala continuance commitment
akan dijelaskan dalam tabel 3.
Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Continuance Commitment
No Indikator Continuance Commitment
Aitem Total Bobot
Favorable Unfavorable
1 Merasa rugi atau
kehilangan jika harus keluar atau meninggkan organisasi tempatnya bekerja
1,2,3,4,5,6,7 8,9,10 10 23,8%
2 Menganggap bahwa
bekerja pada organisasi
3 Merasa bahwa bekerja pada organisasi tersebut
4 Tidak tertarik untuk mencari organisasi lain
26,27,28,29,
30,31
32,33 8 19,1%
5 Merasa berat jika harus meninggalkan organisasi
Nomor yang ditebalkan adalah aitem yang gugur
Berdasarkan hasil uji coba sebanyak 42 aitem skala continuance commitment
maka diperoleh 29 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang
memenuhi syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (rit≥ 0,30 ). Nilai
koefisien alphasebesar 0,951. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,366
hingga 0,833.
Pada skala di atas akan dilakukan perubahan tata letak urutan nomor
akan terdapat beberapa aitem yang tidak akan diikutsertakan lagi dalam skala
penelitian. Distribus aitem-aitem skala yang digunakan dalam penelitian dapat
dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Skala Penelitian Continuance Commitment
No Indikator Continuance Commitment
Aitem Total Bobot
Favorable Unfavorable
1 Merasa rugi atau
kehilangan jika harus keluar atau meninggkan organisasi tempatnya bekerja
1,2,3,4,5,6,7 8,9,10 10 34,5%
2 Menganggap bahwa
bekerja pada organisasi merupakan suatu kebutuhan
11,12,13,14 - 4 13,8%
3 Merasa bahwa bekerja pada
organisasi tersebut merupakan pilihan yang
baik
15,16 - 2 6,9%
4 Tidak tertarik untuk
mencari organisasi lain
17,18 19,20 4 13,8%
5 Merasa berat jika harus meninggalkan organisasi
21,22,23,24, 25,26
27,28,29 9 31%
Total 21 9 29 100%
2. Skala Work-Family Conflict
Uji coba skala Work-Family Conflict menggunakan korelasi Pearson Product
Moment dengan jumlah aitem yang diujicobakan adalah sebanyak 41 aitem.
Adapun distribusi aitem-aitem hasil uji coba skala work-family conflict akan
Tabel 5. Distribusi Aitem-Aitem Hasil Uji Coba Skala Work-Family
2 Strain-based conflict 16,17,18,19,20 ,21,22,23,24,
Nomor yang ditebalkan adalah aitem yang gugur
Berdasarkan hasil uji coba sebanyak 41 aitem skala work-family conflict maka
diperoleh 29 aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total yang memenuhi
syarat untuk dapat digunakan dalam penelitian (rit ≥ 0,30). Nilai koefisien alpha
sebesar 0,920. Koefisien korelasi aitem total berkisar antara 0,301 hingga 0,750.
Pada skala di atas akan dilakukan perubahan tata letak urutan nomor
aitem-aitem. Hal ini dilakukan karena aitem yang telah gugur dan tidak terpilih, tidak
diikutsertakan lagi dalam skala penelitian. Distribusi aitem-aitem skala yang
digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Distribusi Aitem-Aitem Skala Penelitian Work-Family Conflict 2 Strain-based conflict 12,13,14,15,16