• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen Cia (Central Intelligence Agency)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen Cia (Central Intelligence Agency)"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS NEGARA DALAM MENERIMA PARA PENCARI SUAKA POLITIK DALAM KASUS EDWARD SNOWDEN MANTAN AGEN CIA (CENTRAL

INTELLIGENCE AGENCY)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Oleh :

MAULANA HADENI 100200248

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STATUS NEGARA DALAM MENERIMA PARA PENCARI SUAKA POLITIKDALAM KASUS EDWARD SNOWDEN MANTAN AGEN CIA (CENTRAL INTELLIGENCE

AGENCY)

OLEH :

MAULANA HADENI 100200248

Disetujui Oleh :

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Dr. Chairul Bariah, SH.M.Hum NIP : 195612101986012001

Dosen Pembimbing I : Dosen Pembimbing II :

(Sutiarnoto MS, SH. M.Hum ) ( Arif SH. M.Hum ) NIP : 195610101986031003 NIP : 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah mellimpahkan rahmat dan Karunia-Nya bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring ucapan shalawat dan dalam penulis sampaikan kepada Rasulullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat untuk mencari ridha Allah dalam melaksanakan berbagai aktifitas, termasuk dalam penyelesaian skripsi ini.

Adapun skripsi yang telah diselesaikan oleh penulis, berjudul :

“STATUS NEGARA DALAM MENERIMA PARA PENCARI SUAKA POILITIK

DALAM KASUS EDWARD SNOWDEN MANTAN AGEN CIA (CENTRAL

INTELLIGENCE AGENCY)”

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Departemen Hukum Internasional. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak kekurangan, namun demikian penulis dengan berlapang dada untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian pada skripsi ini. Maka, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(4)

5. Bapak Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Internasional dan Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku Sekertaris Departemen Hukum Internasional, yang telah banyak membantu penulis.

6. Bapak Dr. Sutiarnoto, SH, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi.

7. Bapak Arif SH, MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama proses penulisan skripsi..

8. Ayah H. Abdul Hamid dan Hj. Umi Mariyani S.Keb yang telah sabar mendidik dan membesarkan penulis hingga saat ini, juga yang telah memberikan banyak sekali doa, dukungan, saran, kritik dan apresiasi pada penyelesaian skripsi ini. My inspiration, I love you mom & dad.

9. Bapak / Ibu Dosen Departemen Hukum Internasional yang telah banyak membimbing, mengarahkan dan membantu selama masa perkuliahan.

10. Terima kasih kepada Dosen dan staf pengajar di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu serta pembelajaran kepada penulis dan memberikan bantuan kepada penulis selama masa perkuliahan.

11. Terima kasih banyak kepada Adik Asroru Maula dan Miftahul Husna yang selalu membantu dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bg Dedi, Kak Mis & Bg Arbay

13. Terima kasih banyak kepada Dandi, Yati, Yayak, Makasih buat Euis Ramadhani buat supportnya

(5)

rambe, dll. Juga terima kasih kepada ILSA 2013 yang telah memberikan saran, info dan bantuan lainnya kepada penulis

15. Terima kasih kepada stambuk senior dan junior FH USU yang telah membantu penulis yang namanya tidak dapat ditulis satu persatu.

Akhir kata, penulis memohon ampun kepada Allah SWT dan memohon maaf kepada semua pihak atas segala kekurangan pada skripsi ini, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Perumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 8

D.Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Kepustakan ... 10

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan... 18

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI SUAKA POLITIK A. Pengertian Suaka dan Politik ... 20

B. Suaka Territorial dan Suaka Politik ... 29

C.Praktek Negara-Negara Dalam Suaka Politik ... 37

BAB III TINJAUAN PENERIMA SUAKA DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM POSITIF A. Negara Sebagai Penerima Suaka ... 40

B. Hak-Hak Penerima Suaka Politik dalam Hukum Positif ... 43

(7)

BAB IV STATUS NEGARA DALAM MENERIMA PARA PENCARI SUAKA POLITIK DALAM KASUS EDWARD SNOWDEN MANTAN AGEN CIA

(CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY)

A.Status Hukum Edward Snowden Dalam Pencarian

Suaka Pada Negara Lain ... 49 B.Status Negara Amerika Serikat (AS) Dalam Hal Meminta

Ekstradisi Atas Edward Snowden ... 57 C.Status Negara Penerima Suaka Politik Dari Edward Snowden ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 69 B. Saran ... 70

(8)

ABSTRAK Maulana Hadeni *)

Sutiarnoto **) Arif ***)

Perkembangan hukum diplomatik, hubungan internasiona antar negara melahirkan permasalahan baru diantaranya suaka. Suaka, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya. Dalam perkembangannya, timbul gagasan untuk melindungi korban politik suatu negara yang meminta perlindungan kepada negara lain, yang disebut suaka politik.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan umum mengenai suaka politik, bagaimana tinjauan penerima suaka dalam hukum internasional dan hukum positif serta bagaimana status negara dalam menerima para pencari suaka politik dalam kasus Edward Snowden mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY). Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah suaka politik merupakan gagasan untuk melindungi seseorang yang disebut sebagai korban politik di suatu negara, penerima suaka politik dalam hukum positif mendapatkan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, mendapatkan perlindungan politik dan negara. Dalam hukum internasional pencari suaka berhak untuk meminta perlindungan atau mendapatkan suaka dari negara manapun, namun kewenangan mutlak pemberian suaka tetap dimiliki oleh negara. Dalam kasus Edward Snowden negara Rusia tidak melanggar ketentuan internasional karena negara punya kewenangan mutlak memberikan suaka politik.

Kata Kunci : Hubungan Diplomatik, Suaka Politik, Edward Snowden *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(9)

ABSTRAK Maulana Hadeni *)

Sutiarnoto **) Arif ***)

Perkembangan hukum diplomatik, hubungan internasiona antar negara melahirkan permasalahan baru diantaranya suaka. Suaka, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya. Dalam perkembangannya, timbul gagasan untuk melindungi korban politik suatu negara yang meminta perlindungan kepada negara lain, yang disebut suaka politik.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tinjauan umum mengenai suaka politik, bagaimana tinjauan penerima suaka dalam hukum internasional dan hukum positif serta bagaimana status negara dalam menerima para pencari suaka politik dalam kasus Edward Snowden mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY). Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian yuridis normatif.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah suaka politik merupakan gagasan untuk melindungi seseorang yang disebut sebagai korban politik di suatu negara, penerima suaka politik dalam hukum positif mendapatkan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, mendapatkan perlindungan politik dan negara. Dalam hukum internasional pencari suaka berhak untuk meminta perlindungan atau mendapatkan suaka dari negara manapun, namun kewenangan mutlak pemberian suaka tetap dimiliki oleh negara. Dalam kasus Edward Snowden negara Rusia tidak melanggar ketentuan internasional karena negara punya kewenangan mutlak memberikan suaka politik.

Kata Kunci : Hubungan Diplomatik, Suaka Politik, Edward Snowden *) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semenjak lahirnya negara-negara di dunia, semenjak itu pula berkembang prinsip hubungan internasional, hukum internasional dan diplomasi.

Sebagai entitas yang merdeka dan berdaulat, negara-negara saling mengirim wakilnya ke ibu kota negara lain, merundingkan hal-hal yang merupakan kepentingan bersama, mengembangkan hubungan, mencegah kesalahpahaman ataupun menghindari terjadinya sengketa.

Perundingan-perundingan ini biasanya dipimpin oleh seorang utusan yang dinamakan duta besar.1

Negara yang memiliki hubungan dengan Negara lain baik hanya dua Negara (bilateral) maupun lebih (multilateral)

2

Berhubungan dengan Negara lain pun merupakan salah satu syarat utama untuk terbentuknya suatu Negara menurut hukum internasional.

.

Hubungan tersebut juga tidak hanya terbatas oleh hubungan Negara dengan Negara tetapi juga dapat berupa hubungan Negara dengan subjek hukum internasional lainnya seperti organisasi internasional.

Negara sebagai salah satu subyek hukum internasional memiliki kesamaan dengan manusia, dimana manusia membutuhkan manusia lain untuk hidup berdampingan.

Sama halnya dengan manusia, Negara pun membutuhkan untuk berhubungan dengan Negara lain.

3

1

Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam era Dinamika Global, Alumni, Bandung, hlm. 510.

2

Hubungan Bilateral,http://id.wikipedia.org/wiki/Hubungan_bilateral(Diakses tanggal 28 januari 2015)

(11)

Negara sebagai subjek hukum internasional memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan hukum internasional dalam berbagai kehidupan masyarakat internasional, baik dengan sesama negara maupun dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.

Sebagai konsekuensinya maka negaralah yang paling banyak memiliki, memikul dan memegang kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional dibanding dengan subjek hukum intenasional lainnya.

Suatu negara, untuk dapat disebut sebagai suatu subjek hukum intenasional maka mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo ( Pan American ) tentang hak dan kewajiban negara (The Convention on Rights and Duties of State) tahun 1933, yang berbunyi sebagai berikut :4

Ketiga kriteria telah diakui sejak abad kesembilam belas di Eropa, sedangkan kriteria yang keempat berasal dari para penulis Amerika Latin yang mewakili negaranya dalam konvensi. Kriteria yang terdapat dalam pasal tersebut dianggap telah mencerminkan hukum kebiasaan internasional. Kriteria keempat secara konvensional disebut kemampuan untuk membangun dan berkomunikasi dalam hubungan internasional (ability to establish and to communicate ininternational relation)

“ The state as a person of international law should progress the

following qualification :(a) a permanent population;(b) defined territory;

(c) government; and (d) capacity to enter the relations with other states.”

5

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, hubungan internasional sangat diperlukan oleh suatu negara dalam rangka berinteraksi dengan negara-negara lain. Interaksi tersebut harus dibina berdasarkan prinsip persamaan hak-hak menentukan nasib sendiri denga tidak

3

http://www.academia.edu/5536690/Makalah_H_diplomatik_hak_istimewa_dan_kekebalan_konsuler (diakses tanggal 28 januari 2015)

4

Konvensi Montevideo 1903 tentang Hak dan Kewajiban Negara

5

(12)

mencampuri dalam negeri suatu negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB, yaitu :6

Suaka, yang dalam bahasa asing disebut asylum, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya.

“Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas prinsip-prinsip persamaan hak dan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan mengambil tindakan-tindakan lain untuk memperteguh perdamaian universal.”

Masyarakat internasional yang terdiri atas sejumlah Negara yang berdaulat dan merdeka dalam arti masing-masing berdiri sendiri yang satu tidak dibawah kekuasaan yang lain. Dalam rangka pikiran ini tidak ada suatu badan berdiri diatas negara-negara baik dalam bentuk negara dunia maupun badan supranasional yang lain.

Dengan perkataan lain, yang terjadi kordinasi antar anggota masyarakat internasional yang sederajat.

Interaksi yang dilakukan oleh negara sebagai subjek hukum internasional tersebut untuk mengadakan hubungan dengan negara lain diperoleh dengan adanya penerimaan atau pengakuan eksistensinya sebagai negara oleh masyarakat internasional itu sendiri. dalam interaksi tersebut terkadang banyak menimbulak beberapa masalah antara lain mengenai suaka politik.

7

6

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa

7

http://agus-prayogi.blogspot.com/2013/04/hubungan-diplomatik-dan-suaka-poli-tik.html diakses tanggal 20 januari 2015

(13)

praktek hubungan antar bangsa dan, akhirnya, sekarang ini, menjadi lembaga yang diakui dan dihormati sebagai lembaga hukum kebiasaan internasional.

Negara-negara di kawasan Amerika Latin dan Karabia telah mengakui dan menghormati lembaga suaka dalam hubungan antar mereka sudah sejak abad ke-19, sebagaimana terefleksikan dalam Perjanjian Montevideo tentang Hukum Pidana Internasional, 1889, yang memuat ketentuan yang mengakui dan menghormati prinsip lembaga suaka (Pasal 15-18).8

Prinsip lembaga suaka terus menerus dikukuhkan oleh negara-negara di kawasan tersebut dengan inkorporasinya ke dalam, dan kemudian dibuatnya secara khusus perjanjian regional yang mengatur masalah suaka, seperti Persetujuan Caracas tentang Esktradisi, 1911 (Pasal 18), Konvensi Havana tentang Suaka (Diplomatik), 1928, Konvensi Montevido tentang Suaka Politik, 1933, Deklarasi Bogota tentang Hak dan Kewajiban Manusia, 1984 (Pasal 27) Konvensi Caracas tentang Suaka Diplomatik, 1954, Konvensi Caracas tentang Suaka Teritorial, 1954, Konvensi San Jose tentang Hak Asasi Manusia, 1969 (Pasal 22), dan Konvensi Antar-Amerika tentang Ekstradisi, Caracas, 1981 (Pasal6).

9

Di Afrika, negara-negara kawasan ini mengukuhkan prinsip lembaga suaka dalam instrumen yuridis regional, yakni Konvensi Organisasi Persatuan Afrika (OPA) yang mengatur Aspek Spesifik Masalah Pengungsi di Afrika.10

8

http://tugaskuncung2.blogspot.com/2014_05_01_archive.html diakses tanggal 20 januari 2015

Di Eropa, pentingnya penghormatan prinsip lembaga suaka beberapa kali ditandaskan oleh negara-negara di kawasan tersebut, antara lain, dalam Resolusi 14 (1967) tentang Suaka bagi orang-orang yang berada dalam bahaya persekusi, yang diterima oleh Komite Menteri-menteri Dewan Eropa pada 1967 dan Deklarasi tentang Suaka Teritorial yang diterima oleh Komite Menteri-menteri Dewan Eropa pada 1977.

9

tannggal 20 januari 2014

10

(14)

Di tingkat internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Pasal 14), yang diproklamasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1948,11

11

http://www.ohchr.org/EN/UDHR/Pages/Language.aspx?LangID=inz diakses tanggal 20 januari 2015

merupakan instrumen internasional tertulis utama sebagai sumber penerapan dan pembangunan lembaga suaka dalam hubungan antar bangsa.

Konvensi mengenai Status Pengungsi, 1951, walaupun merupakan instrumen yuridis internasional yang mengatur masalah pengungsi, jadi bukan masalah suaka, dan bahkan sama sekali tidak memuat istilah ”suaka” dalam batang tubuhnya, memuat prinsip lembaga suaka yang justru paling fundamental, yakni prinsip tidak akan dikembalikannya seseorang ke negara tempat ia mengalami persekusi atau menghadapi ancaman persekusi.

Prinsip ini, yang terkenal dengan sebutan prinsip ”non-refoulement” tercantum dalam Pasal 33 Konvensi 1951 tersebut. Selain sebagai prinsip yang paling fundamental dalam lembaga suaka, prinsip “non-refoulement” merupakan jantung sistem perlindungan internasional pengungsi menurut hukum pengungsi internasional.

Instrumen Internasional yang meskipun bukan merupakan instrumen yuridis, yang menggariskan dan menendaskan prinsip-prinsip lembaga suaka adalah Deklarasi tentang Suaka Teritorial, yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada 1967.

(15)

Jika perlindungan yang dicari itu diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari Negara dimana ia berasal. Pada kasus Edward J Snowden Ia adalah seorang pria yang berkebangsaan Amerika yang bekerja sebagai kontraktor untuk badan keamanan nasional Amerika ( NSA). Pakar IT (Edward Snowden) itu diburu oleh Amerika Serikat karena mengungkapkan kepada media program pengintaian rahasia pemerintah dari data komputer NSA yang menyebabkan terungkapnya program pengawasan rahasia dan disangka oleh pihak berwenang Amerika Serikat melakukan spionase.12

B. Rumusan Masalah

Edward Snowden meninggalkan posisi kontraktor intelijen di Hawai menuju Hongkong pada tanggal 20 Mei 2013 lalu untuk memulai serangkaian pembocoran upaya pengintaian pembicaraan telepon dan internet oleh NSA yang kemudian memicu keprihatinan banyak pemerintah di seluruh dunia.

Kini Amerika Serikat telah mencabut kewarganegaraan Edward Snowden yang saat ini sedang berada di Rusia. Ia telah mengajukan permohonan suaka ke 21 negara, salah satu Negara yang ditujunya adalah Ekuador dan Venezuela. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui informasi bagaimana status hukum Edward Snowden yang telah melakukan pengintaian sejumlah informasi pemerintahan di Negara asalnya dalam pencarian suaka ditinjau dari segi hukum internasional.

Isu mengenai pencari suaka yang hangat diperbincangkan dalam lingkungan masyarakat internasional. Dalam isu mengenai suaka politik terdapat beberapa permasalahan yang akan menjadi lingkup kajian tulisan ini:

1. Bagaimana tinjauan umum mengenai Suaka Politik ?

2. Bagaimana tinjauan penerima Suaka dalam hukum internasional dan hukum positif ?

12

(16)

3. Bagaimana status negara dalam menerima para pencari suaka politik dalam kasus Edward Snow mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY) ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui tinjauan umum mengenai suaka politik dalam hukum internasional. 2. Untuk mengetahui pengaturan mengenai penerima suaka dalam hukum internasional dan

hukum positif.

3. Untuk mengetahui status negara dalam meneriman para pencari suaka politik dalam kasus Edward snowden mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY). Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a. Manfaat teoritis

1. Untuk memberikan informasi mengenai aspek hukum internasional dalam rangka pemahanan tentang suaka politik.

2. Untuk menambah bahan pustaka bagi penelitian di bidang yang sama yakni mengenai suaka politik berserta strukturnya yang erat kaitannya dengan hukum organisasi internasional.

b. Manfaat praktis

1. Untuk memberikan gambaran kepada masyarakat internasional mengenai suaka politik beserta akibat hukum yang ditimbulkan dan akan mempengaruhi hubungan antar negara.

(17)

D. Keaslian Penulisan

Adapun skripsi yang berjudul “Status Negara Dalam Menerima Para Pencari Suaka Politik Dalam Kasus Edward Snowden Mantan Agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY)” merupakan tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas mengenai masalah ini. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah dikemukakan dan permasalahan yang diajukan juga belum pernah diteliti. Maka penulisan skripsi ini masih orisinil dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Hukum Diplomatik

Hukum diplomatik adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan antar negara dengan didasarkan atas permufakatan (consensus) bersama yang kemudian dituangkan dalam instrumen-instrumen hukum sebagai hasil dari kodifikasi kebiasaan internasional.13

13

Sumaryo Suryokusumo, Teori dan Kasus Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 2005, hlm 5

Pengertian “Hukum Diplomatik” masih belum banyak diungkapkan. Para sarjana hukum internasional masih belum banyak menuliskan secara khusus, karena pada hahikatnya hokum diplomatik merupakan bagian dari hukum internasional yang mempunyai sebagian sumber hukum yang sama seperti konvensi-konvensi internasional yang ada.

(18)

Banyak penulis hanya memberikan batasan dan arti “diplomasi” sendiri walaupun di antara mereka masih belum ada keseragaman.

Adapula pemakaian perkataan “diplomasi” itu secara berbeda-beda menurut penggunaannya:14

• Ada yang menyamakan kata itu dengan “politik luar negeri”, misalnya dikatakan

“Diplomasi RI di Afrika perlu ditingkatkan”

• Diplomasi dapat pula diartikan sebagai “perundingan” seperti sering dinyatakan

bahwa “Masalah Timur Tengah hanya dapat diselesaikan melalui diplomasi”. Jadi perkataan diplomasi di sini merupakan satu-satunya mekanisme yaitu melaui perundingan.

• Dapat pula diplomasi diartikan sebagai “dinas luar negeri” seperti dalam ungkapan

“selama ini ia bekerja untuk diplomasi”.

• Ada juga yang menggunakan secara kiasan seperti dalam “Ia pandai berdiplomasi”

yang berarti “bersilat lidah”.

Diplomasi merupakan suatu cara komunikasi yang dilakukan antara berbagai pihak termasuk negosiasi antara wakil-wakil yang sudah di akui. Untuk mengetahui pengertian “Hukum Diplomatik” memang tepat sekali jika membahas lebih lanjut mengenai pengertian “diplomasi” itu sendiri yang diberikan oleh Satow, Quency Wright dan Harold Nicholson.

2. Konvensi mengenai Hukum Diplomatik

A. Konvensi wina 1961 mengenai hubungan diplomatik

Konvensi Wina 1961 mengenai hubungan diplomatik Setelah berdirinya PBB pada tahun 1945, untuk pertama kalinya pengembangan kodifikasi hukum internasional termasuk

14

(19)

hukum diplomatik telah dimulai pada tahun 1949 secara intensif oleh Komisi Hukum Internasional khususnya mengenai ketentuan-ketentuan yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik yang telah digariskan secara rinci. Konvensi Wina 1961 ini terdiri dari 53 pasal yang meliputi hampir semua aspek penting dari hubungan diplomatik secara permanen antar negara.

Di samping itu, juga terdapat 2 protokol pilihan mengenai masalah kewarganegaraan dan keharusan untuk menyelesaikan sengketa yang masing-masing terdiri dari 8-10 pasal. Konvensi Wina 1961 itu beserta dengan dua protokolnya telah diberlakukan sejak tanggal 24 April 1964 hingga 31 Desember 1987. Ada total 151 negara yang menjadi para pihak dalam Konvensi tersebut dimana 42 di antaranya adalah pihak dalam protokol pilihan mengenai perolehan kewarganegaraan dan 52 negara telah menjadi pihak dalam protokol pilihan tentang keharusan untuk menyelesaikan sengketa.

B. Konvensi Wina 1963 mengenai hubungan konsuler

Untuk pertama kalinya usaha guna mengadakan kodifikasi peraturan-peraturan tentang lembaga konsul telah dilakukan dalam Konverensi negara-negara Amerika tahun 1928 di Havana, Kuba, di mana dalam tahun itu telah disetujui Convention on Consular Agents.

C.Konvensi New York 1969 mengenai misi khusus

(20)

D.Konvensi Wina 1975 mengenai keterwakilan negara dalam hubungannya dengan organisasi internasional.

Pentingnya perumusan konvensi ini sebenarnya didorong dengan adanya situasi dimana pertumbuhan organisasi internasional yang begitu cepatnya baik dalam jumlah maupun lingkup masalah hukumnya yang timbul akibat hubungan negara dengan organisasi internasional. Dalam perkembangannya lebih lanjut, ada permasalahan dalam persidangan tahun 1971 yang mengajukan tiga masalah, yaitu :

1. Dampak yang mungkin terjadi dalam keadaan yang luar biasa seperti tidak adanya pengakuan, tidak adanya putusan, hubungan diplomatik dan konsuler atau adanya pertikaian senjata di antara anggota-anggota organisasi internasional itu sendiri.

2. Perlu dimasukkannya ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa

3. Delegasi peninjau dari negara-negara ke berbagai badan dan konferensi.

3. Suaka Politik

Suaka, yang dalam bahasa asing disebut asylum, pada dasarnya merupakan suatu bentuk perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara lain yang terancam keselamatannya.

(21)

Orang-orang yang memenuhi syarat-syarat suaka politik adalah mereka yang diperlakukan buruk di negerinya karena masalah :

A.

B.

C.

D. Opini politik

E. Keanggotaan kelompok atau aktivitas sosial tertentu.15

Orang-orang yang diberikan suaka politik disebut

dikelirukan dengan suatu negara miskin ke negara kaya agar dapat bekerja dan menerima dikirimkan pada keluarga mereka di negeri asal. Pengungsi ekonomi sering menjadi sasaran empuk bagi sejumla tersebut merebut pekerjaan dari penduduk negeri setempat.

Terhadap masalah suaka politik antara pengusiran dan pengasingan penjahat perlu dibedakan antara penjahat dari penduduk negeri. Perlu diketahui bahwa secara historis, istilah suaka (asylum) mulai timbul dan sering terjadi di negara-negara Amerika Latin sehingga kebiasaan-kebiasaan ini dapat digolongan pada kebiasaan internasional regional yakni kebiasaan internasional yang berasal dari daerah tertentu atau kawasan tertentu dalam hal ini yakni negara-negara Amerika Latin.

Suaka berasal dari bahasa Yunani yakni “asylon” atau “asylum” dalam bahasa Latin, yang artinya tempat yang tidak dapat dilanggar di mana seseorang yang dikejar-kejar mencari tempat berlindung. Masalah permintaan suaka ini dan pemberian suaka bukanlah muncul pada beberapa tahun ini saja. Untuk waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya, terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh pencari suaka

15

(22)

yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.16

F. Metode Penelitian

Keadaan ini baru berubah pada abad ke-17, di mana berbagai pakar hukum internasional Belanda yang terkenal Grotius, menggariskan perbedaan antara tindak pidana politik dan tindak pidana biasa dan menyatakan bahwa suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami penuntutan (presecution) politis atau keagamaan. Sejak abad pertengahan ke-19 sebagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara

Suatu metode ilmiah dapat dipercaya apabila disusun dengan mempergunakan suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Metode adalah pedoman-pedoman, cara seseorang mempelajari dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapi. Sebagaimana suatu tulisan yang bersifat ilmiah dan untuk mendapatkan data yang valid dan relevan dengan judul dan tujuan penulisan skripsi ini, maka penulis berusaha semaksimal mungkin mengumpulkan data – data yang valid dan relevan tersebut sehingga tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang dipakai adalah metode pendekatan Yuridis Normatif (legal research) yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi konsep suaka politik, menguji kebenaran apakah benar suaka politik merupakan salah satu solusi untuk menangani

16

(23)

Hukum Diplomatik, serta peran hukum dan masyarakat internasional dalam menerapkan konsep tersebut dalam rangka menjalankan hubungan antarnegara.

Metode berpikir yang digunakan adalah metode berpikir deduktif (cara berpikir dalam penaikan kesimpulan yang ditarik dari sesuatu yang sifatnya umum yang sudah dibuktikan bahwa dia benar dan kesimpulan itu ditujukan untuk sesuatu yang sifatnya khusus). Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, dalam hal ini adalah konsep suaka politik

2. Sumber Data

Data yang diperlukan adalah data hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan di bidang hukum yang mengikat,antara lain deklarasi universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Piagam PBB, Konvensi Wina tahun 1961 mengenai hubungan diplomatik, konvensi Wina tahun 1963 mengenai hubungan konsuler Konvensi Wina tahun 1975 tentang tentang hubungan antara perwakilan negara-negara dengan organisasi internasional..

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian dan tulisan para ahli hukum, buku-buku, pendapat para sarjana yang berhubungan dengan skripsi ini.

2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan untuk menulis skripsi ini agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan adalah dengan studi pustaka (library research) yakni pengumpulan data yang dilakukan secara studi kepustakaan dan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan tujuan penelitian.

(24)

buku-buku, wacana yang dikemukakan oleh para sarjana hukum lingkungan, hukum ekonomi, dan hukum internasional yang sudah mempunyai nama besar dibidangnya.

3. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan oleh penulis adalah analisis data secara kualitatif, yakni upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dipelajari dan memutuskan apa yang dapat dituliskan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan atau gambaran isi yang dimaksud adalam mengemukakan garis-garis besar dari uraian skripsi. Secara garis besar pembahasan skripsi ini akan dibagi dalam 5 (lima) bab. Setiap bab menguraikan masalah-masalah tersendiri secara sistematis dan berhubungan antara satu bab dengan bab lainnya. Masing-masing bab dibagi lagi dalam sub bab sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi ini. Dengan pembagian tersebut diharapkan akan mempermudah pemahaman pembaca untuk mengetahui inti pembahasan secara keseluruhan. Berikut Penulis akan menguraikan sistematika penulisan skripsi ini, yaitu:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang membahas mengenai latar belakang pemilihan judul, perumusan masalah, tujuan penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II Menerangkan mengenai tinjauan umum mengenai suaka politik mulai dari pengertian suaka politik, perbedaan suaka teritorial dan suaka politik, sampai pada praktek-praktek negara mengenai suaka politik.

(25)

dalam hukum internasional dan hak-hak penerima suaka politik dalam hukum positif.

BAB IV Menguraikan tentang status negara dalam menerima para pencari suaka politik dalam kasus Edward Snowden mantan agen CIA (CENTRAL INTELLIGENCE AGENCY) baik status Edward Snowden selaku pencari suaka maupun Amerika Serikat dalam hal ini ingin melakukan ektradisi dan juga status negara penerima suaka politik

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI SUAKA POLITIK

A. Pengertian Suaka dan Politik

Pada awalnya suaka merujuk pada tempat yang aman. Dahulu, suaka dikenal dengan tempat suci disekitar altar pada gereja dan juga kuil. Suaka adalah tempat mengungsi , berlindung, menumpang , atau menumpang hidup17

Dalam perkembangannya sejarah kemudian mengenal kebiasaan dimana rumah-rumah ibadat seperti gereja, merupakan tempat suaka. Demikian juga dengan rumah-rumah-rumah-rumah sakit yang sering dipandang sebagai tempat suaka. Dalam kelanjutannya pada awal masehi, suaka berarti suatu tempat pengungsian atau perlindungan terhadap orang yang peribadatannya dihina. Untuk selanjutnya, dalam waktu yang lama, suaka diberikan kepada pelarian pada umumnya terlepas dari sifat perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh

.

Suaka sudah ada sejak ratusan tahun bahkan ribuan tahun yang lalu, bahkan pada zaman primitif-pun suaka telah dikenal dimana-mana. Menurut Enny Soeprapto, masyarakat Yunani Purba telah mengenal lembaga yang disebut dengan “asylia” walaupun agak berbeda dengan maksud dan pengertiannya tentang “suaka” yang kita kenal sekarang.

Pada masa Yunani purba itu, agar seseorang, terutama pedagang yang berkunjung ke negara-negara lainnya, mendapatkan perlindungan, maka antara sesama negara kota di negeri itu diadakan perjanjian-perjanjian untuk maksud demikian.

Dalam perkembangannya, lembaga “asylia” itu kemudian dilengkapi dengan lembaga yang disebut “asphalia” yang tujuannya melindungi benda-benda milik orang yang dilindungi menurut lembaga “asylia”.

17

(27)

pencari suaka yang menyebabkannya dikejar-kejar. Dalam waktu yang lama pelaku tindak pidana biasa-pun, yang mendapat suaka di negara lain, tidak diekstradisikan.18

“bahwa setiap orang mempunyai hak untuk mencari suaka dan menikmatinya di negara lain atas permintaan yang diajukan. Hak negara untuk mengizinkan pengungsi atau aktivis politik yang mengajukan suaka itu masuk atau tinggal di wilayah negara tersebut atas perlindungannya

Suaka atau dalam bahasa Inggris disebut asylum diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada pengungsi politik atau aktivis politik yang berasal dari negara lain dan negara itu mengizinkan untuk masuk ke dalam wilayahnya atas permintaannya.

Institute of International Law dalam sebuah sesi pertemuan di Bath, tahun 1950, mendefinisikan pengertian Asylum sebagai berikut:

”Asylum is the protection which a State grants on its territory or in some other places under the control of its organs, to a person who comes to seek it”.

Dalam Deklarasi Universal PBB mengenai Hak Azasi Manusia pada tahun 1948 dinyatakan:

19

1. Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo .

Suaka sebenarnya belum memiliki pengertian umum yang disepakati oleh negara-negara, namun beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya tentang suaka, yaitu sebagai berikut:

Suaka adalah dimana seorang pengungsi atau pelarian politik mencari perlindungan baik dari wilayah suatu negara lain maupun di dalam lingkungan gedung perwakilan diplomatik dari suatu negara. Jika perlindungan yang dicari itu diberikan, pencari suaka itu dapat kebal dari proses hukum dari negara dimana ia berasal20

2. Prof. Sulaiman Hamid SH

.

18

Suaka, diakses dari http://roysanjaya.blogspot.com/2009/05/suaka.html

19

Suryokusumo Sumaryo, 2013, Hukum Diplomatik dan Konsuler, Tatanusa, Jakarta, halaman 187

20

(28)

Suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada individu yang memohonnya dan alasan mengapa individu-individu itu diberikan perlindungan adalah berdasarkan alasan perikemanusiaan, agama, diskriminasi ras, politik dan sebagainya.21

3. Dr. Kwan Sik, S.H

Suaka adalah perlindungan yang diberikan kepada individu oleh kekuasaan lain atau oleh kekuasaan dari negara lain (negara yang memberikan suaka).

4. Oppenheim Lauterpacht

Suaka adalah dalam hubungan dengan wewenang suatu negara mempunyai kedaulatan di atas teritorialnya untuk memperbolehkan seorang asing memasuki dan tinggal di dalam wilayahnya dan atas perlindungannya.

5. Hugo Grotius

Suaka hanya dapat diklaim oleh mereka yang mengalami tuntutan politis atau keagamaan. Sejak pertengahan abad ke-19 bagian besar perjanjian ekstradisi mengakui prinsip non ekstradisi bagi tindak pidana politik, kecuali yang dilakukan terhadap kepala negara.

6. Gracia Mora

Suaka adalah suatu perlindungan yang diberikan oleh sesuatu negara kepada orang asing yang melawan negara asalnya.

7. Charles de Visscher

Suaka adalah sesuatu kemerdekaan dari suatu negara untuk memberikan suatu suaka kepada orang yang memintanya.

8. J. G. Starke

21

(29)

Bahwa konsep dari suaka dalam hukum internasional mencakup dua hal sebagai berikut, yaitu:

a. Pernaungan yang tidak lebih dari sementara sifatnya

b. Pemberian perlindungan dari pembesar yang menguasai daerah suaka secara aktif Suaka dalam hukum internasional meliputi dua unsur yaitu22

1. Tempat perlindungan

:

2. Suaka tingkat perlindungan aktif dari pihak penguasa wilayah pemberi suaka

Sedangkan politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga negara) adal

Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai mengenai

meraih kekuasaan secara

• Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan

bersama (teori klasik Aristoteles)

. Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:

• Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara

• Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan

kekuasaan di masyarakat

• Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaa

22

Suaka, diakses dari http://kreket-kreket.blogspot.com/2011/02/suaka.html

23

(30)

Beberapa ahli juga memberikan pendapatnya tentang politik, diantara sebagai berikut24

a. Roger F. Soltau :

Dalam Introduction to Politics: 'Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga lembaga yang akan melaksanakan tujuan tujuan itu; hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan negara-negara lain' (Political science is the study of the state, its aims and purposes...the institutions by which these are going to be

realized, its relations with its individual members and other states.)

b. J.Barents

Politik adalah ilmu yang mempelajari, kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyakat; ilmu politik mempelajari negara-negara itu melakukan tugas-tugasnya (De wetenschap der politiek is de wetenschap die het leven van de staat bestudeert...een maatschappelijk leven....waarvan de staat een onderdeel vormt. Aan het oderzoek van die

staten, zoals ze werken, is de wetenschap der politiek gewijd).

c. Menurut W. A. Robson

Bahwa pengertian ilmu politik adalah mempelajari kekuasaan dalam masyarakat, yaitu sifat hakiki, dasar, proses-proses, ruang lingkup dan hasil hasil. Fokus perhatian seorang sarjana ilmu politik tertuju pada perjuangan untuk mencapai atau mempertahanakan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan atau pengaruh atas orang lain atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu.

24

Pengertian Ilmu Politik menurut para ahli, diakses dari

(31)

d. Menurut Deliar Noer

Pengertian ilmu politik dalam buku pengantar ke pemikiran politik, 'Ilmu politik memusatkan perhatian pada masalah kekuasaan dalam kehidupan bersama atau masyarakat. Kehidupan seperti ini tidak terbatas pada bidang hukum semata-mata, dan tidak pula pada negara yang tumbuhnya dalam sejarah hidup manusia relatif baru. Di luar bidang hukum serta sebelum negara ada, masalah kekuasaan itu pun telah pula ada. Hanya dalam zaman modern ini memanglah kekuasaan itu berhubungan erat dengan negara.

e. Menurut Ossip K. Flechtheim

Dalam fundamentals of Political Science: pengertian ilmu politik yaitu ilmu sosial yang khusus mempelajari sifat dan tujuan dari negara sejauh negara merupakan organisasi kekuasaan, beserta sifat dan tujuan dari gejala-gejala kekuasaan lain yang tak resmi, yang dapat mempengaruhi negara. Flechtheim ini juga menekankan bahwa kekuasaan politik dan tujuan politik mempengaruhi satu sama lain dan bergantung satu sama lain.

Suaka sangat erat kaitannya dengan pengungsi, bahkan suaka dan pengungsi sering sekali diartikan sama. Pengungsi dalam hukum internasional terbagi dalam beberapa kategori, yakni sebagai berikut:

1. Pengungsi Internal

(32)

akibat ulah manusia, dan tidak melintasi batas-batas Negara yang diakui secara internasional25

2. Pencari Suaka .

Artinya, pengungsi internal adalah orang orang yang mengungsi di Negara-nya sendiri.

Pencari suaka adalah orang yang telah mengajukan proses permohonan untuk mendapatkan perlindungan oleh negara yang dituju untuk menerima suaka. Pencari suaka punya banyak alasan untuk mencari suaka seperti perang, permasalah SARA dan lainnya.

3. Pengungsi Prima Facie

Dalam kisruh perang di suatu negara, sering sekali sekumpulan orang pergi ke suatu negara untuk meminta suaka. Dalam hal atau kasus ini, negara tidak lagi melihat alasan sekumpulan orang tersebut untuk menerima suaka karena sangat tidak praktis.

Dalam hal ini, pengungsi dari daerah Afrika banyak yang mengungsi ke Amerika Serikat atau negara Eropa untuk mendapatkan perlindungan.

4. Orang Tanpa Kewarganegaraan

Tanpa kewarganegaraan adalah situasi di mana tidak adanya status pengakuan berkenaan dengan hal yang membuat seorang individu memiliki landasan yang bermanfaat secara hukum untuk menyatakan kewarganegaraannya, atau di mana ia memiliki klaim yang bermanfaat secara legal namun dihalangi untuk menuntutnya karena

25

(33)

pertimbangan praktis seperti biaya, adanya gangguan sipil, atau ketakutan akan penganiayaan.

Badan PBB untuk pengungsi (UNHCR) memperkirakan bahwa ada kurang lebih tiga juta orang tanpa kewarganegaraan di seluruh dunia. Kondisi tanpa kewarganegaraan seringkali menjadi penyebab pengungsian yang terpaksa ketika orang-orang berpindah ke wilayah-wilayah dunia di mana mereka dapat memperoleh hak-hak dasar dan menghindari pelanggaran hak asasi manusia.26

B. Suaka Territorial dan Suaka Politik

Dari penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa suaka adalah cara satu orang maupun berkelompok untuk mendapatkan perlindungan dari negara lain, dengan beberapa alasan seperti permasalahan ras, agama, perang saudara dan lainnya dengan cara melakukan permohonan.

Sedangkan politik adalah hal yang berkaitan dengan terselenggaranya pemerintahan atau negara. Artinya, negara dalam hal suaka adalah pihak yang memiliki wewenang untuk memberikan suaka terhadap para pencari suaka.

Suaka pada hakikatnya menyangkut dua hal yaitu suaka teritorial dan suaka diplomatik. Suaka politik timbul melalui gagasan tentang korban opini politik di dunia.

Selama tahun 1971-1972 kelompok ahli hukum yang independent, Carnegie Endowment for International Peace memberikan rumusan landasan hukum bagi pemberian suaka. Pengertian Suaka teritorial dan diplomatik sama halnya seperti suaka tidak memiliki pengertian yang disepakati secara umum oleh negara-negara.

26

(34)

Majelis Umum PBB pada sidangnya tanggal 14 Desember 1967 telah menyetujui suatu resolusi yang memberikan rekomendasi bahwa dalam praktiknya negara-negara haruslah mempertimbangkan hal sebagai berikut27

1. Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu dapat ditolak atas dasar keamanan nasional rakyatnya.

:

2. Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui perantara dari negara tertentu dan PBB.

3. Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian dan buronan, negara-negara lain haruslah menghormatinya.28

Suaka Territorial menyangkut kewenangan negara untuk memperbolehkan pengungsi atau aktivis politik masuk atau tinggal di bawah negara tersebut yang juga berarti di bawah perlindungannya, karena itu memberikan suaka kepadanya, yang tidak asing lagi dalam hukum internasional.29

Carnegie Manual of Public International Law, ed. Max Sorensen, hlm. 491

Dalam Declaration on Territorial Asylum di New York, dijelaskan:

(35)

Artinya, Suaka teritorial masih tentang perlindungan yang diberikan oleh Negara

kepada seseorang yang datang untuk mencarinya , sebagai Lembaga Hukum Internasional

mencatat pada tahun 1950. Dalam kesenjangan yang masih harus dijembatani , mungkin

orang-orang " pertimbangan dasar kemanusiaan " dan hak-hak dasar pribadi manusia ,

banyak yang merupakan subjek dari kewajiban erga omnes dan disebut oleh Mahkamah

Internasional pada beberapa kesempatan , yang menyediakan sumber solusi.

Beberapa hal penting yang patut untuk dilihat dari deklarasi ini diantaranya sebagai

berikut dijelaskan dibawah.

“Article 14, paragraph 1, of the 1948 Universal Declaration on Human Rights proclaims the right of everyone, “to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution”. Its final, equivocal wording – there is no reference to the right to be granted asylum – was a compromise between States which saw this form of protection as but one aspect of their territorial sovereignty, and those which urged that an individual entitlement to asylum be recognized, as well as the involvement or responsibility of the United Nations”.

Pada pasal 14 , ayat 1 , Deklarasi Universal 1948 tentang Hak Asasi Manusia

menyatakan hak setiap orang , "untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain dari

penganiayaan" . Yang terakhir , samar-samar kata-kata - tidak ada referensi ke kanan untuk

diberi suaka - adalah kompromi antara Negara-negara yang melihat bentuk perlindungan

sebagai satu aspek dari kedaulatan teritorial mereka , dan orang-orang yang mendesak bahwa

hak individu untuk suaka diakui , serta keterlibatan atau tanggung jawab PBB .

(36)

Dijelaskan bahwa dapat dimengerti bahwa prinsip non-refoulement adalah inti

dari Deklarasi, meskipun dengan beberapa syarat untuk teks:" tidak ada yang berhak

berdasarkan pasal 14 ... untuk mencari dan menikmati suaka dikenakan tindakan, seperti

sebagai pengusiran, pengembalian atau penolakan di perbatasan, yang akan mengakibatkan

menarik dia untuk kembali ke atau tetap berada dalam wilayah di mana hidup, integritas fisik

atau kebebasan akan terancam karena ras, agama, kebangsaan, atau keanggotaan tertentu

kelompok sosial atau pandangan politik "(draft pasal 3 draft Deklarasi yang disampaikan oleh

perwakilan dari Perancis (E / CN.4 / L.517)). Juga, meskipun pengecualian diperbolehkan

prinsip didasarkan pada pasal 33, ayat 2 Konvensi 1951 yang berkaitan dengan Status

Pengungsi, beberapa anggota disorot ambiguitas dan kurangnya presisi, sementara yang lain

khawatir tentang masuknya massa mungkin dan perlunya untuk mengakui lain alasan kuat

'sebagai dasar untuk pengecualian.

Dan yang paling terpenting dalam deklarasi ini adalah Article 3 on

non-refoulement was considered the most important article, and the Working Group focused on

the most appropriate way of formulating the principle, the grounds for exception, and

possible alternatives (A/6570, Annex, para. 54). It agreed that the principle should refer not

only to the State of flight, but also to any other State where the individual might be in danger

of persecution (A/6570, Annex, para. 55). On exceptions, it agreed that national security

should be mentioned, but there were differences as to whether ‘safeguarding the population’

should be included, either at all, or with or without qualification. Several representatives

thought the term too wide, and suggested specific reference instead to a ‘mass influx’.

The Working Group decided not to include other possible grounds for exception,

such as ‘public order’, which was described as ‘both dangerously wide and vague’, as well

as being subject to different meanings in common law and civil law countries (A/6570,

(37)

the principle “in order to safeguard the population, as in the case of a mass influx of

persons.” In the words of the Working Group, “[it] was felt that this phrase, while not unduly

restricting the exception concerned, indicated that it was to be invoked only in matters of

serious import” (A/6570, Annex, para. 56).

Pasal 3 non-refoulement dianggap sebagai artikel yang paling penting, dan

Kelompok Kerja berfokus pada cara yang paling tepat merumuskan prinsip, dengan alasan

untuk pengecualian, dan alternatif yang mungkin (A / 6570, Lampiran, para. 54). Hal sepakat

bahwa prinsip harus mengacu tidak hanya untuk Negara penerbangan, tetapi juga bagi setiap

Negara lain di mana individu mungkin dalam bahaya penganiayaan (A / 6570, Lampiran,

para. 55). Pada pengecualian, itu sepakat bahwa keamanan nasional harus disebutkan, tapi

ada perbedaan apakah 'menjaga populasi' harus dimasukkan, baik sama sekali, atau dengan

atau tanpa kualifikasi.

Beberapa perwakilan pikir istilah terlalu lebar, dan menyarankan referensi khusus

bukan untuk 'masuknya massa'. Kelompok Kerja memutuskan untuk tidak menyertakan

alasan lain yang mungkin untuk pengecualian, seperti 'ketertiban umum', yang digambarkan

sebagai 'baik berbahaya luas dan samar-samar', serta menjadi tunduk pada arti yang berbeda

dalam hukum umum dan hukum perdata negara (A / 6570, Annex, para. 57).

Hal setuju akhirnya pada teks kompromi yang akan memungkinkan pengecualian

prinsip "untuk menjaga populasi, seperti dalam kasus masuknya massa orang." Dalam

kata-kata Kelompok Kerja, "[itu] merasa bahwa kalimat ini, sementara tidak terlalu membatasi

pengecualian bersangkutan, menunjukkan bahwa itu akan dipanggil hanya dalam hal impor

serius "(A / 6570, Lampiran, para. 56).

Konferensi PBB tentang suaka teritorial telah diselanggarakan di Jenewa dalam

(38)

berhasil mengesahkan rancangan Konvensi dan merekomendasikan Majelis Umum PBB

untuk menerukan lagi dalam waktu yang layak.

Kemudian pada akhir tahun 1977, Majelis memutuskan agara dengan persiapan

yang matang dan berkonsultasi dengan pemerintah negara-negara anggota dapat diadakan

lagi untuk membahas masalahnya.

Suaka politik merupakan gagasan tentang diberikannya perlindungan terhadap

korban isu politik si peminta suaka di negaranya. Beberapa pengertian suaka antara lain:

1. English Dictionary dan British English

Dalam English Dictionary, suaka politik berarti the right to live in a foreign

country, and is given by the government of that country to people who have to leave their own

country because they are in danger of persecution.

Artinya, Suaka politik adalah hak untuk hidup di negara asing , dan diberikan oleh

pemerintah negara itu untuk orang-orang yang harus meninggalkan negara mereka sendiri

karena mereka berada dalam bahaya penganiayaan30

2. Wikipedia

.

Sedangkan British English mendeskripsikan suaka politik sebagai the right to live in

a foreign country and is given by the government of that country to people who have to leave

their own country for political reasons. Hampir sama dengan yang diatas namun ditambahkan alasan politis.

Someone may ask for political asylum when they are

ow

country this is called political asylum

30

(39)

physical harm or denigration of their human

Artinya, Seseorang mungkin meminta suaka politik ketika mereka takut untuk tinggal di negara mereka sendiri . Mereka kemudian akan pergi ke negara lain . Jika mereka

diizinkan untuk tinggal di negara yang baru ini disebut suaka politik . Orang-orang yang

mencari suaka biasanya korban ancaman , bahaya fisik atau fitnah martabat manusia mereka

karena ini melanggar hak-hak kemanusiaannya31

Namun, penolakan pemberian suaka tidak bisa digolongkan sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional

.

Suaka politik adalah salah satu hak asasi manusia yang ditegaskan oleh Pasal 14

dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan aturan hukum hak asasi manusia

internasional. Semua negara yang telah menyetujui Konvensi PBB Berkaitan dengan Status

Pengungsi harus membiarkan orang, yang memenuhi syarat, datang ke negara mereka.

Dengan mengacu pada Artikel 14 Deklarasi HAM ini muncul pendapat yang mengatakan bahwa ada kewajiban bagi setiap negara untuk memberikan suaka kepada orang-orang yang lari dari negaranya karena alasan ras, agama atau politik.

32

31

Political Asylum, diakses dari http://simple.wikipedia.org/wiki/Political_asylum

32

Suaka Diplomatik Dalam Hukum Internasional, diakses dari http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1997/03/07/0015.html

.

Dalam perkembangannya, dikenal juga suaka netral. Si pencari suaka dalam hal ini meminta perlindungan organisasi internasional bukan negara.

(40)

C. Praktek Negara-Negara Dalam Suaka Politik

1. Australia

Australia adalah negara yang akrab dengan isu suaka. Banyak pengungsi dari Papua

Nugini dan negara lain meminta suaka kepada pemerintah Australia. Menyangkut suaka

politik, Australia pernah menolak pemerintah Iran terkait ekstradisi Monis karena tidak

adanya perjanjian timbal balik kedua negara. Monis adalah pelaku penyanderaan di Australia

beberapa waktu lalu. Monis diberikan suaka pada tahun 2001.

“Kepala polisi Iran mengatakan Monis hendak diadili di Iran karena terlibat dalam tindak penipuan ketika menjalani bisnis biro perjalanan sebelum dia kemudian melarikan diri ke Australia melewati Malaysia di akhir tahun 1990-an”.33

33

Australia Pernah Tolak Permintaan Ekstradisi Monis ke Iran, diakses dari

http://news.detik.com/read/2014/12/17/095331/2779831/1513/australia-pernah-tolak-permintaan-ekstradisi-monis-ke-iran

Sebelumnya, Australia juga sempat bersitegang dengan Indonesia terkait suaka. Juru Bicara Departemen Luar Negeri Yuri O Thamrin kepada wartawan di Jakarta, Jumat. Pemerintah Indonesia terus mendesak Australia buat memberikan akses kekonsuleran secara penuh kepada pihak berwenang RI sesuai Konvensi Wina tahun 1961 terhadap para 43 warga Papua, kendati sebagian besar dari mereka menyatakan kepada otoritas Australia bahwa mereka tidak ingin menggunakan akses tersebut.

(41)

"Hingga saat ini yang kita peroleh barulah penjelasan dari pihak imigrasi setempat, kita hargai penjelasan tersebut tetapi tentu saja penjelasan itu tidak mengurangi hak kita buat memperoleh akses kekonsuleran," ujarnya. Pada kesempatan sebelumnya, Yuri mengungkapkan bahwa status pendatang ilegal yang dikenakan terhadap 43 warga Papua itu ternyata tidak sesuai dengan pemberlakuan peraturan mengenai permintaan visa Australia34

2. Uruguay

.

Uruguay sebelumnya memberikan suaka terhadap para tahanan Guantanamo dan Suriah. Namun kemudian Uruguay berhenti memberikan suaka karena meningkatnya kerusuhan di negara tersebut.

3. Ekuador

Ekuador memberikan suaka kepada Julian Assange dan Edward Snowden. Menlu Ekuador, Patino mengatakan pemerintahnya percaya bahwa ketakutan Assange atas penindasan politik itu sah. Ia mengatakan negaranya tetap menjalankan tradisi melindungi orang yang rentan.35

Terkait dengan Edward Snowden, Rusia dan Ekuador menerima permohonan Suaka Snowden. Kanada, Jerman, Inggris, Amerika Serikat adalah negara yang kerap memberikan suaka. Namun dalam hal suaka politik, Ekuador termasuk yang akrab dengan pemberian suaka politik. Suaka politik juga kerap memanaskan hubungan antar dua negara. Seperti Rusia dan Amerika Serikat terkait Edward Snowden. Faktor politik, hubungan kedua negara, dan alasan korban politik pencari suaka menjadi faktor penentu pemberian suaka.

34

RI Desak Australia berikan akses temui 43 Warga Papua, diakses dari http://berita.ohapa.com/08/55/42/ri-desak-australia-berikan-akses-temui-43-warga-papua.htm

35

Ekuador Berikan Suaka Kepada Julian Assange, diakses dari

(42)

BAB III

TINJAUAN PENERIMA SUAKA DALAM HUKUM INTERNASIONAL DAN

HUKUM POSITIF

A. Negara Sebagai Penerima Suaka

The general debate at the time was as much about diplomatic as about territorial

asylum, and about the importance of the International Law Commission awaiting the

outcome of the ongoing work of the Commission on Human Rights. Sir Gerald Fitzmaurice,

then Chair of the International Law Commission, remarked that while the Commission would

naturally accord much weight to any resolution of the General Assembly, other commitments

and other topics would probably take precedence, and it was unlikely to take up the question

before the Commission on Human Rights completed its own work (A/C.6/SR.610, paras.

37-39).

Perdebatan umum pada saat itu adalah sebagai banyak tentang diplomatik tentang suaka teritorial , dan tentang pentingnya Komisi Hukum Internasional menunggu hasil dari pekerjaan yang sedang berlangsung dari Komisi Hak Asasi Manusia . Sir Gerald Fitzmaurice , maka Ketua Komisi Hukum Internasional , mengatakan bahwa sementara Komisi alami akan sesuai banyak berat badan untuk setiap resolusi Majelis Umum , komitmen lain dan topik lainnya mungkin akan didahulukan , dan itu tidak mungkin untuk mengambil pertanyaan sebelum Komisi Hak Asasi Manusia menyelesaikan pekerjaannya sendiri ( A / C.6 / SR.610 , paras . 37-39 ) .

(43)

Article 14 paragraph (1) of the Universal Declaration of Human Rights, 1948 :

”Everyone has the right to seek and enjoy in other countries asylum from persecution”.

Artinya, Setiap orang berhak untuk mencari dan menikmati suaka di negara lain dari penganiayaan

Dalam Declaration on Territorial Asylum 1967:

“Recognizing that the grant of asylum by a State to persons entitled to invoke article 14 of the Universal Declaration of Human Rights is a peaceful and humanitarian act and that, as such, it cannot be regarded as unfriendly by any other State”

Artinya, pemberian suaka oleh Negara untuk orang yang berhak untuk memohon pasal 14 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia adalah tindakan damai dan kemanusiaan dan bahwa, sebagai seperti itu, tidak dapat dianggap sebagai tindakan tidak ramah oleh Negara lainnya”

Pada pasal 1 dijelaskan:

1. Asylum granted by a State, in the exercise of its sovereignty, to persons entitled

toinvoke article 14 of the Declaration of Human Rights, including persons struggling

against colonialism, shall be respected by any other States.

2. The right to seek and to enjoy asylum may not be invoked by any person with respect

to whom there are serious reasons for considering that he has committed a crime

against humanity, as defined in the international instruments drawn up to make

provision in respect of such crimes.

3. It shall rest with the State granting asylum to evaluate the grounds for the grant of

asylum.

Dijelaskan dalam pasal satu deklarasi suaka teritorial adalah:

(44)

2. Hak untuk mencari dan menikmati suaka tidak dapat dipanggil oleh setiap orang dengan hormat kepada siapa ada alasan serius untuk mempertimbangkan bahwa ia telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, sebagaimana didefinisikan dalam instrumen internasional yang dibuat untuk membuat ketentuan sehubungan kejahatan tersebut.

3. Diserahkan kepada Negara pemberian suaka untuk mengevaluasi alasan untuk pemberian suaka.

Dapat disimpulkan, bahwa negara sebagai penerima suaka memiliki kewenangan penuh untuk memberikan suaka, mengevaluasi alasan pemberian suaka dan sebagainya. Negara yang tidak memberikan suaka dengan alasan yang kuat tidak dapat dipidanakan dan bukan termasuk tindakan pidana. Dengan demikian Negara memiliki kewenangan mutlak sehingga alasan pemberian suaka tidak harus disebut kepada publik.

B. Hak-Hak Penerima Suaka Politik dalam Hukum Positif

Di Indonesia, lembaga suaka diakui untuk pertama kali pada 1956 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Perdana Menteri tentang ”Perlakuan Pelarian Politik” pada 7 September 1965 No. 11/R.I./1956 yang berbunyi:

”Demikian pula, sebaliknya, pemberian suaka kepada pelaku kejahatan politik bukanlah merupakan kewajiban internasional dari Negara, melainkan merupakan hak dari negara untuk menentukan apakah akan memberikan atau tidak memberikan suaka kepada seseorang...”.36

Pada 1998 pengakuan lembaga suaka ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Ketetapan no. XVII/MPR/1998 13 Nopember 1998 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengakui hak seseorang guna ”mencari suaka untuk memperoleh

36

Iman Prihandono, Pemberian Suaka, diakses dari

(45)

perlindungan politik dari negara lain”. Setahun kemudian, prinsip lembaga suaka yang digariskan oleh MPR tersebut dikukuhkan sebagai ketentuan yuridis dalam Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28). Dengan demikian, di tingkat nasional pun lembaga suaka telah memperoleh tumpuan yang kukuh, karena telah diinkorporasikan dalam undang-undang.37

Pengakuan hak untuk mencari suaka dan kedaulatan pemberian suaka oleh Negara juga telah mendapatkan pengakuan dalam Hukum Nasional Indonesia, melalui38:

a). Undang-undang Dasar 1945 Pasal 28 G ayat (2)

”Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”

b). Undang-undang No. 39 tahun 1999 Hak Asasi Manusia Pasal 28

”Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan politik dari negara lain, hak tersebut tidak berlaku bagi mereka yang melakukan kejahatan non-politik atau perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-bangsa”

c). Undang-undang No. 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 25 ”Kewenangan pemberian suaka kepada orang asing berada di tangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri”

Pasal 26 ”Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum, kebiasaan dan praktek internasional”

d). Undang-undang No. 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi Pasal 5 ayat (1) ”Ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik”.

37

Lembaga Suaka Dalam Hukum Internasional, diakses dari

http://repo.unsrat.ac.id/26/1/LEMBAGA_SUAKA_DALAM_HUKUM_INTERNASIONAL.pdf

38

(46)

Dalam hukum positif Indonesia, penerima suaka politik mendapatkan hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia, mendapatkan perlindungan politik dan negara. Namun penerima suaka harus melalui prosedur yang telah ditentukan negara dan kewenangan mutlak milih pemerintah Indonesia untuk memberikan suaka.

C. Hak-Hak Penerima Suaka Politik Dalam Hukum Internasional

Dari praktek-praktek internasional menghadapi masalah permintaan dan pemberian suaka, kenyataannya lembaga atau asas suaka mempunyai karakteristik atau prinsip-prinsip yang umum pada suaka yaitu39

a. Hak seseorang hanya terbatas mencari suaka dan, kalau memperolehnya dapat menikmatinya

, sebagai berikut:

b. Pemberian atau penolakan suaka adalah hak negara-negara berdasarkan kedaulatannya

c. Pemberian suaka merupakan tindakan yang harus diterima sebagai tindakan damai dan humaniter. Oleh karena itu, pemberian suaka oleh suatu negara tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang bersifat bersahabat terhadap negara asal pencari suaka.

d. Sebagai lembaga yang bersifat humaniter, suaka tidak boleh tunduk pada asas timbal balik.

e. Suaka mengandung prinsip penghormatan pada asas-asas sebagai berikut :

1 Larangan Pengusiran (non expulsion);

39

(47)

2. Larangan Pengembalian paksa ke negara asal (non refolement), termasuk penolakan diperbatasan (rejection at the frontairs);

3. Non extradisi pesuaka (asylee).

Bilamana suatu negara menghadapi kesulitan untuk memberikan suaka kepada seseorang secara permanen atau untuk jangka waktu panjang, negara tersebut setidak-tidaknya harus bersedia memberikan suak kepada pencari suaka yang bersangkutan untuk sementara waktu sampai ia memperoleh suaka di negara lain. Suaka juga tidak dapat diberikan dalam kasus-kasus tindak-tindak pidana non politis dan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan asas PBB, yang meliputi :

1. Tindak pidana biasa

2. Tindak pidana menentang perdamaian, tindak pidana perang (warcrimes) dan tindak pidana menentang kemanusiaan (crimes againtshumanity), sebagaimana dirumuskan dalam instrumen-instrumen internasional yang bersangkutan.

3. Pemberian suaka mengandung ketentuan yang mewajibkan pesuaka untuk tunduk pada hukum dan peraturan perundang-undangan negara pemberi suaka; dan

Menurut Enny Soeprapto pesuaka tidak boleh melakukan kegiatan yang bersifat menentang negara asalnya atau yang dapat mengakibatkan ketegangan-ketegangan antara negara pemberi suaka dan negara asal pesuaka.

Pengakuan Hukum Internasional yang berkaitan dengan pencari suaka (asylum seeker) dapat ditemui di dalam aturan-aturan lain sebagai berikut berikut40

b). Universal Declaration of Human Rights, Article 15

: a). Universal Declaration of Human Rights, Article 9

"No one shall be subject to arbitrary arrest, detention or exile

40

(48)

"Everyone has the right to a nationality"

c). Universal Declaration of Human rights, Article 13 dan International Covenant on Civil and Political Rights, Article 12

"Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each

State".

Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas jelas bahwa meskipun hak seseorang atas suaka diakui oleh Hukum Internasional, namun hak tersebut bersifat terbatas hanya untuk mencari (to seek) dan untuk menikmati (to enjoy) suaka, bukanlah untuk mendapatkan (to obtain) ataupun untuk menerima (to receive) suaka.

Sehingga, dengan demikian tidak terdapat kewajiban bagi Negara untuk memberikan (to grant) suaka kepada seorang pencari suaka. Hal lain yang sangat jelas dalam ketentuan diatas adalah pemberian suaka oleh sebuah Negara merupakan tindakan pelaksanaan kedaulatan (in theexercise of its sovereignty) dari negara41

41

Ibid, Iman

.

(49)

BAB IV

STATUS NEGARA DALAM MENERIMA PARA PENCARI SUAKA POLITIK DALAM KASUS EDWARD SNOWDEN MANTAN AGEN CIA (CENTRAL

INTELLIGENCE AGENCY)

A. Status Hukum Edward Snowden Dalam Pencarian Suaka Pada Negara Lain Edward Snowden adalah seorang ahli komputer dari Amerika Serikat. Snowden terkenal karena membocorkan dokumen rahasia Amerika Serikat kepada dunia internasional. Snowden lahir pada 21 Juni 1983.

Snowden adalah manta

(CIA) dan counterintelligence trainer at the Snowden

kemudian bekerja untu contractor untuk U.S. National Security Agency facilities di Amerika Serikat dan didalam NSA outpost di Jepang. Maret 2013, Snowden

bergabung dengan consulting firminfrastructure

analyst inside the NSA center di

42

Edward Snowden, diakses dari http://en.wikipedia.org/wiki/Edward_Snowden

.

Snowden menjadi pemberitaan hangat di dunia internasional semenjak membocorkan rahasia pemerintah Amerika Serikat terkait beberapa program pemerintah Amerika Serikat yang menurutnya membahayakan dunia, seperti pemerintah Amerika Serikat yang bisa dengan mudah mengetahui gerak-gerik warganya, serta beberapa rahasia terkait spy di beberapa negara. Snowden melakukan pembocoran tersebut di Hong Kong.

(50)

1. DEMOCRACYNOW!

These programs don’t make us more safe. They hurt our economy. They hurt our

country. They limit our ability to speak and think and to live and be creative, to have

relationships, to associate freely. And they’re going—this doesn’t make us more safe; it

makes us less safe, puts us at risk of coming into conflict with our own government. And

there’s a far cry between legal programs, legitimate spying, legitimate law enforcement,

where it’s targeted, it’s based on reasonable suspicion and individualized suspicion and

warranted action, and sort of dragnet mass surveillance that puts entire populations under

sort of an eye that sees everything, even when it’s not needed43

2.THE GUARDIAN

.

Dalam situs DEMOCRACYNOW! Snowden berkata Program-program (pemerintah Amerika Serikat) ini tidak membuat kita lebih aman. Mereka menyakiti perekonomian kita. Mereka menyakiti negara kita. Mereka membatasi kemampuan kita untuk berbicara dan berpikir dan hidup dan menjadi kreatif, memiliki hubungan, untuk berserikat secara bebas. Dan mereka akan - hal ini tidak membuat kita lebih aman ; itu membuat kita kurang aman, menempatkan kita pada risiko datang ke dalam konflik dengan pemerintah kita sendiri. Dan ada jauh berbeda antara program hukum , mata-mata yang sah , penegakan hukum yang sah, di mana itu ditargetkan, hal ini didasarkan pada kecurigaan dan kecurigaan individual dan dijamin tindakan, dan semacam jaring pengawasan massa yang menempatkan seluruh populasi di bawah semacam mata yang melihat segala sesuat, bahkan ketika itu tidak diperlukan.

On May 20, he boarded a flight to Hong Kong, where he has remained ever since.

He chose the city because "they have a spirited commitment to free speech and the right of

43

Edward Snowden Speaks Out Againnst NSA, diakses dari

Referensi

Dokumen terkait

Dari pseudocode 3 dijelaskan bahwa untuk melakukan sebuah request kepada server maka client harus menujukan url ke sebuah url yang sudah ditentukan oleh opensocial

Perubahan pada gejala klinis ikan nila yang diinjeksi bakteri tipe non-hemolitik lebih cepat muncul (perubahan pola renang, respon terhadap pakan dan perubahan pada mata dan

0343-656450 Canned Pasteurized Crabmeat Frozen Demersal Fish Frozen Raw Shrimp Frozen Cooked Shrimp Frozen Crab Meat Frozen Crab Frozen Added Value Frozen Demersal fish Frozen

Hitunglah kandungan total minyak alga atau asam lemak yang dapat dijadikan sebagai biodiesel dari hasil ekstraksi 100 kg Botryococcus braunii dengan asumsi hasil

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Pencipta Semesta Alam, Sang Pemilik dan Kekasih Jiwa Allah SWT, atas berkat, kasih sayang dan rahmatNya penelitian Efektivitas

Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa nilai posttest peserta didik yang tuntas di kelompok eksperimen dengan KKM 75 berjumlah 22 peserta didik dan yang tidak tuntas

antara daya nilai dengan nilai OSCE , dengan nilai probabilitas yang didapat lebih kecil dari taraf signifikansi yang telah ditetapkan (0,005 < 0,05), terdapat

untuk mengetahui pengaruh dosis kapur dolomit terhadap peningkatan nilai pH tanah dan air kolam tanah sulfat masam serta pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup