DESA CIANGSANA KABUPATEN BOGOR TAHUN 2010
Skripsi
Oleh :
RINA KUSUMAWATI
NIM : 106101003296
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Desember 2010
ii Skripsi, Desember 2010
Rina Kusumawati, NIM : 106101003296
Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi Dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010
xvi + 104 halaman, 16 tabel, 2 bagan, 1 gambar, 5 lampiran
ABSTRAK
Status gizi merupakan faktor yang dapat menentukan kualitas sumber daya manusia. Faktor yang berhubungan dengan status gizi antara lain status kesehatan dan tingkat konsumsi zat gizi. Karies gigi merupakan penyakit yang dapat menggangu kondisi gizi anak sehingga dapat menimbulkan masalah gizi. Tingkat konsumsi zat gizi seperti karbohidrat, protein dan lemak tidak hanya berhubungan dengan status gizi tetapi juga dapat berhubungan dengan tingkat keparahan karies gigi. Penelitian dilakukan untuk membuktikan hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua serta faktor pengganggu di antara kedua variabel tersebut di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 50 orang.
Hasil penelitian ini menunjukkan 66% siswa kelas dua di SDN 01 Ciangsana memiliki status gizi kategori kurus dan 74% siswa kelas dua di SDN 01 Ciangsana memiliki tingkat keparahan karies gigi yang tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh bahwa tingkat keparahan karies gigi dan tingkat konsumsi karbohidrat berhubungan dengan status gizi siswa kelas dua (Pvalue < 0,05). Sedangkan tingkat konsumsi protein dan lemak tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi siswa kelas dua.
Berdasarkan hasil uji multivariat diperoleh bahwa tingkat konsumsi karbohidrat merupakan faktor confounding antara hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua. Dengan demikian dapat disarankan kepada pemerintah agar lebih meningkatkan efektivitas program Usaha Kesehatan Gigi Anak Sekolah (UKGS). Kepada pihak sekolah diharapkan dapat meningkatkan peran serta kantin sekolah dalam penyediaan makanan yang bergizi serta meningkatkan keterlibatan para guru dalam memberikan informasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan meneliti variabel yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
iii Undergraduated Thesis, December 2010 Rina Kusumawati, NIM 106101003296
The Relationships Between Dental Caries Severity With Nutritional Status of Students in Grades Two SDN 01 Ciangsana, Ciangsana Village, Bogor Regency Year 2010
xvi + 104 pages, 16 tables, 2 charts, 1 picture, 5 attachment
ABSTRACT
Nutritional status is a factor that can determine the quality of human resources. Factors associated with nutritional status among other health status and level of consumption of nutrients. Dental caries is a disease that may affect the nutritional condition of the child so that it can cause nutritional problems. Consumption levels of nutrients such as carbohydrates, proteins and fats are not only related to nutritional status but also may be associated with the severity of dental caries. The study was conducted to prove the severity of dental caries relationship with nutritional status of second-class students as well as confounding factors between the two variables on the SDN 01 Ciangsana, Ciangsana Village, Bogor Regency Year 2010. The sample used in this study amounted to 50 people.
The results of this study showed 66% students at SDN 01 Ciangsana have the nutritional status of underweight category and 74% students at SDN 01 Ciangsana have the severity of dental caries is high. Based on the results of statistical tests found that the severity of dental caries and level of carbohydrate intake associated with nutritional status of students in grade two (Pvalue <0.05). While the level of consumption of protein and fat do not have a meaningful relationship with nutritional status of students in grade two.
Based on the multivariate test results obtained that the level of carbohydrate consumption is a factor confounding the relationship between the severity of dental caries with the nutritional status of students in grade two. Thus it can be recommended to the government to further improve the effectiveness of programs Business Schools Children's Dental Health (UKGS). The school is expected to increase participation in the school canteen provision of nutritious foods and to increase the involvement of teachers in providing information about the behavior of clean and healthy. For further research is expected to examine the variables that are not examined in this study.
iv
Skripsi dengan judul
HUBUNGAN TINGKAT KEPARAHAN KARIES GIGI DENGAN STATUS GIZI SISWA KELAS DUA SDN 01 CIANGSANA DESA CIANGSANA
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, Desember 2010
Mengetahui
vi
: Jakarta, 21 Desember 1988
: Perempuan
: Islam
: Belum Menikah
: Komp. TNI-AL TWP I Blok F IV/3 Rt. 002/19
Ciangsana Bogor 16968
: 94905592 / 085691014565
: SDN. Kranggan Permai Jatisampurna
: SLTPN 15 Bekasi
: SMAN 7 Bekasi
vii
Segala puji bagi Allah SWT, pencipta dan pemelihara alam semesta yang
kekal dan abadi. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, dan hamba Allah yang suci.
Alhamdulillah pada akhirnya skripsi dengan judul “Hubungan Tingkat
Keparahan Karies Gigi Dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010” ini dapat diselesaikan. Skripsi ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran status gizi, hubungan tingkat keparahan karies
gigi dengan status gizi dan faktor confounding yang berisiko mengganggu hubungan
antara kedua variabel tersebut di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor Tahun 2010.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan motivasi, bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, yaitu Bapak Dr. Yuli Prapanca
Satar, MARS.
2. Bapak kepala sekolah SDN 01 Ciangsana yang telah bersedia memberi izin
agar institusinya dijadikan tempat penelitian.
3. Pembimbing I fakultas, yaitu Ibu Raihana Nadra Alkaff, MMA yang telah
memberikan bimbingan dan masukan selama proses pembuatan skripsi.
4. Pembimbing II fakultas, yaitu Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM.
5. Para Guru di SDN 01 Ciangsana yang banyak membantu mempermudah
viii
7. Ayahku tersayang yang selalu memberikan dukungan dan nasihat dalam
setiap langkah kehidupanku.
8. Adik-adikku tersayang, yaitu Hardiyanto dan Arif yang telah membantu
kelancaran dan selalu memberikan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Seluruh dosen dan civitas akademik FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
khususnya Pak Gozali yang membantu dalam pembuatan surat izin.
10.Sahabat-sahabatku yang tergabung dalam kejora yaitu Puput, Nita, Emi,
Budes, Neisya, Papau, Lesy, Eka, dan Ana yang selalu memberikan semangat
dalam menyelesaikan perkuliahan, memberikan masukan dalam proses
pengerjaan skripsi serta membantu dalam penelitian skripsi ini.
Pada akhirnya penyusun bersyukur kepada Allah SWT semoga skripsi ini
dapat bemanfaat kepada banyak pihak dan tidak lupa penyusun mengharapkam kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak.
Jakarta, Desember 2010
ix DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….. vi
KATA PENGANTAR……… vii
1.5.2 Bagi Pemerintah……… 10
1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan………... 11
1.5.4 Bagi Peneliti……….. 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian……….. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………... 13
x
2.2.1 Definisi Karies Gigi………... 33
2.2.2 Faktor Karies Gigi……… 34
2.2.3 Proses Terjadinya Karies Gigi……….. 41
2.2.4 Pengaruh Karies Terhadap Status Gizi………. 42
2.2.5 Pengukuran Karies Gigi Susu………... 46
2.3 Anak Sekolah Dasar………... 48
2.3.1 Pengertian dan Karakterisitik……… 48
2.3.2 Keadaan Gizi Anak Sekolah………. 48
2.4 Kerangka Teori……….. 51
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS……… 52
3.1 Kerangka Konsep………... 52
3.2 DefinisiOperasional………... 53
3.3 Hipotesis………. 55
BAB IV METODELOGI PENELITIAN………. 56
4.1 Jenis Penelitian………... 56
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………. 56
4.3 Populasi dan Sampel………... 56
4.3.1 Populasi………. 56
4.3.2 Sampel………... 57
4.4 Metode Pengumpulan Data………... 58
4.4.1 Data Primer………... 58
4.4.2 Data Sekunder……….. 60
4.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data……….. 60
xi
5.1 Gambaran Umum………... 65
5.1.1 Visi dan Misi………... 65
5.1.2 Tujuan Umum Pendidikan……….... 66
5.1.3 Jumlah Siswa………... 66
5.1.4 Karakteristik Responden………... 67
5.2 Analisi Univariat………... 68
5.2.1 Gambaran Status Gizi Siswa Kelas Dua………... 68
5.2.2 Gambaran Tingkat Keparahan Karies Gigi……….. 69
5.2.3 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat, Protein dan Lemak………... 70
5.3 Analisis Bivariat………. 71
5.3.1 Analisis Hubungan Tingkat Keparahan Karies Gigi Dengan Status Gizi……… 71 5.3.2 Analisis Hubungan Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi……… 73 5.3.3 Analisis Hubungan Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi……… 74 5.3.4 Analisis Hubungan Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status Gizi……… 75 5.4 Analisis Multivariat……… 76
5.4.1 Tahap Pemilihan Variabel Kandidat Model………. 76
5.4.2 Tahap Pembuatan Model Faktor Risiko……… 77
5.4.3 Tahap Uji Interaksi……… 78
5.4.4 Tahap Uji Confounding……… 79
BAB VI PEMBAHASAN………... 82
6.1 Keterbatasan Penelitian……….. 82
6.1.1 Desain Studi………... 82
6.1.2 Metode Pengumpulan Data……….. 82
xii
6.5 Tingkat Konsumsi Protein dan Hubungan Dengan Status Gizi………. 94
6.6 Tingkat Konsumsi Lemak dan Hubungan Dengan Status Gizi………. 97
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……… 101
7.1 Simpulan……… 101
7.2 Saran………... 102
7.2.1 Bagi Pemerintah………... 102
7.2.2 Bagi Sekolah………. 103
7.2.3 Bagi Siswa dan Ibu………... 104
7.2.4 Bagi Peneliti Lainnya……… 104
xiii
Nomor Tabel Halaman
2.1 Klasifikasi Tingkat Konsumsi Zat Gizi………... 15
2.2 Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar
Baku Antropometri WHO-NCHS………....
2.3 Klasifikasi Intensitas Karies Gigi Menurut WHO………...
32
47
3.1 Definisi Operasional………. 53
5.1 Distribusi Frekuensi Jumlah Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2010….. 66
5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin, Pendidikan Ibu dan Status Bekerja Ibu Tahun 2010……… 67
5.3 Distribusi Frekuensi Status Gizi Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana
Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010……….. 69
5.4 Distribusi Frekuensi Tingkat Keparahan Karies Gigi Siswa Kelas Dua SDN
01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010... 70
5.5 Gambaran Tingkat Keparahan Karies Gigi dengan Status Gizi Siswa Kelas
Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010... 72
5.6 Gambaran Tingkat Konsumsi Karbohidrat dengan Status Gizi Siswa Kelas
Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010... 73
5.7 Gambaran Tingkat Konsumsi Protein dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua
SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010……... 74
5.8 Gambaran Tingkat Konsumsi Lemak dengan Status Gizi Siswa Kelas Dua
SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010……... 75
5.9 Pemilihan Kandidat Variabel Untuk Tahap Pemodelan Multivariat……… 77
5.10 Hasil Pembuatan Model Faktor Risiko……….. 78
5.11 Hasil Uji Interaksi……….. 79
xiv
Nomor Bagan Halaman
2.1 Kerangka Teori………. 51
xv
Nomor Gambar Halaman
5.1 Gambaran Konsumsi Kurang Zat Gizi Karbohidrat, Protein dan
Lemak Siswa Kelas Dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor Tahun 2010... 71
xvi
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian, Formulir Karies Gigi dan Recall 24 Jam
Lampiran 2 Rata-Rata Asupan Zat Gizi Responden
Lampiran 3 Analisis Univariat
Lampiran 4 Analisis Bivariat
1 1.1 Latar Belakang
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu faktor
utama yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan nasional. Status
gizi masyarakat yang digambarkan dengan status gizi anak balita, anak
sekolah, ibu hamil dan kelompok rawan gizi lainnya merupakan salah satu
indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas sumber daya manusia
(Soetjiningsih, 1998). Kebutuhan akan zat gizi berubah sepanjang daur
kehidupan dan terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan dari
masing-masing tahap kehidupan tersebut (Deri, 2009).
Anak usia sekolah dasar disebut juga sebagai masa sekolah. Anak
yang berada pada masa ini berkisar antara usia 6 sampai 12 tahun yang
mempunyai sifat lebih kuat, sifat individual, aktif dan tidak bergantung
dengan orang tua (Moehji, 2003). Kebutuhan gizi anak sekolah dasar dapat
mempengaruhi status gizi. Oleh karena itu, makanan yang dikonsumsi harus
memenuhi gizi yang baik agar mencapai status gizi yang optimal (Almatsier,
2002). Menurut Suhardjo (1989), status gizi dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu konsumsi makanan, penyakit infeksi, pendidikan ibu dan status
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2007), prevalensi
anak usia sekolah kategori kurus tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur
sebesar 23,1% pada anak laki-laki dan 19,1% pada anak perempuan.
Selanjutnya, prevalensi kategori kurus terendah berada di Bali, yaitu 8,3%
pada anak laki-laki dan 6,9% pada anak perempuan. Sedangkan, prevalensi
anak usia sekolah kategori kurus pada anak laki-laki di provinsi Jawa Barat
sebesar 10,9% dan pada anak perempuan sebesar 8,3%. Angka prevalensi
kategori kurus di Jawa Barat lebih rendah dari angka nasional yaitu 13,3%
pada anak laki-laki dan 10,9% pada anak perempuan.
Status gizi anak akan mempengaruhi proses tumbuh kembangnya.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor internal berupa
struktur fisik dan tingkat pertumbuhan sel otak semasa dalam kandungan.
Sedangkan, faktor eksternal antara lain kualitas gizi yang diterima anak dan
status kesehatan yaitu ada tidaknya penyakit yang diderita seperti karies gigi,
sistem budaya yang digunakan dalam proses merawat serta tingkat ekonomi
dan sosial (Nurdadi, 2000 dalam Junaidi, 2004).
Karies gigi merupakan salah satu penyakit yang diderita sekitar 90%
oleh anak-anak (Damanik, 2009). Karies gigi menjadi masalah kesehatan yang
penting karena kelainan pada gigi ini dapat menyerang siapa saja tanpa
memandang usia dan jika dibiarkan berlanjut akan merupakan sumber fokal
infeksi dalam mulut sehingga menyebabkan keluhan rasa sakit. Kondisi ini
tentu saja akan mengurangi frekuensi kehadiran anak ke sekolah, mengganggu
gangguan pertumbuhan yang akan mempengaruhi status gizi anak dan dapat
berimplikasi pada kualitas sumber daya (Siagian, 2008). Hal serupa
dikemukakan pula oleh Hidayanti (2005) dalam penelitiannya bahwa karies
gigi yang terjadi pada anak akan mengakibatkan munculnya rasa sakit
sehingga anak menjadi malas makan dan juga dapat menyebabkan tulang di
sekitar gigi menjadi terinfeksi. Apabila terjadi kerusakan pada tahap yang
berat atau sudah terjadi abses, maka gigi dapat tanggal. Anak yang kehilangan
beberapa giginya tidak dapat makan dengan baik kecuali makanan yang lunak.
Seseorang dengan alat pengunyahan yang tidak baik akan memilih
makanan sesuai dengan kekuatan kunyahnya sehingga pada akhirnya dapat
mengakibatkan malnutrisi (Setiawan, 2003). Selain itu, menurut Depkes
(2002), karies gigi merupakan penyakit yang dapat menimbulkan gangguan
fungsi kunyah sehingga dapat menyebabkan terganggunya penyerapan dan
pencernaan makanan. Oleh karena itu, karies gigi pada akhirnya dapat
menggangu kondisi gizi anak sehingga terjadi keadaan kurang gizi.
Pada anak-anak terutama pada usia sekolah dasar, struktur giginya
termasuk jenis gigi bercampur antara gigi susu dan gigi permanen, sehingga
rentan mengalami karies gigi. Anak kelas dua sekolah dasar yang mempunyai
usia rata-rata 8 tahun merupakan salah satu kelompok usia yang kritis untuk
terkena karies gigi karena mengalami transisi pergantian gigi susu ke gigi
permanen (Romadhona, 2009). Gigi susu berguna untuk memotong makanan,
berbicara dan pertumbuhan rahang yang baik. Morfologi gigi susu lebih
kebersihan mulut anak menjadi tidak baik dibandingkan dengan orang
dewasa. Gigi susu yang mengalami karies akan menyebabkan gangguan
dalam pertumbuhan rahang maupun posisi gigi tetap (Haryani, et al, 2002).
Kebiasaan makan anak sekolah dasar yang sering dijumpai pada
umumnya yaitu mengkonsumsi makanan jajanan di sekolah sehingga anak
menjadi tidak sarapan, makan siang di luar rumah, tidak teratur dan tidak
memenuhi kebutuhan zat gizi. Hal ini akan mempengaruhi nafsu makan anak
di rumah dan dapat menyebabkan anak kekurangan gizi (Wahyuti, 1991).
Asupan zat gizi dalam makanan tidak hanya berhubungan dengan
pertumbuhan dan perkembangan tubuh pada anak-anak tetapi juga
berhubungan dengan penyakit karies gigi. Menurut Nizel (1981), dalam
penelitiannya menguraikan bahwa adanya hubungan antara zat gizi seperti
protein dan karbohidrat yang terkandung dalam makanan sehari-hari dapat
mempengaruhi terjadinya penyakit karies gigi. Konsumsi makanan yang
berbentuk lunak dan lengket juga dapat berpengaruh langsung terhadap
terjadinya penyakit karies gigi (Nurlaila, 2005). Selanjutnya menurut Kabara
(1986), ada hubungan antara lemak dengan terjadinya karies gigi.
Karies gigi di Indonesia merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut
yang masih perlu mendapat perhatian. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT, 2004), prevalensi karies gigi di Indonesia mencapai 90,05%
(Depkes RI, 2000). Prevalensi karies gigi di perkotaan cenderung meningkat
dari Pelita III ke Pelita IV yaitu dari 73% menjadi 73,20%, hal yang sama
rata-rata gigi yang terkena karies per anak dari 2,06 gigi menjadi 2,50 gigi (Ilyas,
2000). Karies gigi juga merupakan penyakit yang banyak diderita oleh
anak-anak. Hasil survei provinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat pada tahun 1994/1995
menunjukkan bahwa hanya 14% anak usia di bawah 10 tahun yang bebas
karies gigi (Depkes RI, 2001). Data tersebut diperkuat pula oleh data dari
Dinas Kesehatan Kota (DKK) Tasikmalaya yang menunjukkan bahwa pada
tahun 2004, prevalensi karies gigi pada anak sekolah dasar sebesar 56,2%.
Prevalensi karies gigi ini jauh di atas standar yang ditetapkan Depkes RI yaitu
sebesar 10 % (Hidayanti, 2005). Selanjutnya menurut penelitian Ririn pada
tahun 2009, dari 265 siswa SD kelas dua di Kota Bandung didapatkan
prevalensi karies gigi sebanyak 94,71% (Luchan, 2009).
Desa Ciangsana adalah desa yang terletak di kabupaten Bogor yang
memiliki berbagai program kesehatan untuk masyarakatnya. Program tersebut
dilaksanakan oleh puskesmas setempat. Namun, sebagian besar masyarakat
desa ciangsana tidak menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia. Hal ini
kemungkinan besar sangat erat kaitannya dengan keadaan ekonomi, jarak
tempat tinggal ke puskesmas, pengetahuan tentang kesehatan dan kepercayaan
terhadap hal-hal non medis. Anak-anak sekolah di desa ciangsana cenderung
lebih banyak mengkonsumsi makanan jajanan antara lain ice cream, es sirup, kue-kue, coklat, permen, somay dan bakso yang berada di sekitar lingkungan
sekolah. Di dalam makanan tersebut terdapat beberapa zat gizi yang dapat
mempengaruhi kesehatan gigi. Berdasarkan data hasil penjaringan yang
masalah kesehatan yang banyak dialami oleh anak-anak yaitu sekitar 71,64%
kategori tinggi dan 28,36% kategori rendah.
SDN 01 Ciangsana merupakan salah satu sekolah yang berada di
wilayah Desa Ciangsana Kabupaten Bogor yang mempunyai siswa kelas dua
sebanyak 89 orang. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh
peneliti, didapatkan bahwa 80% siswa kelas dua di sekolah tersebut menderita
karies gigi susu. Sedangkan untuk pengukuran status gizi didapatkan hasil
bahwa 80% siswa kategori kurus dan 20% siswa kategori normal.
Berdasarkan latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terhadap hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun
2010.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) (2007), provinsi
Jawa Barat mempunyai prevalensi anak usia sekolah kategori kurus pada anak
laki-laki sebesar 10,9% dan pada anak perempuan sebesar 8,3%. Prevalensi
kategori kurus tersebut lebih rendah dari angka nasional yaitu 13,3% pada
anak laki-laki dan 10,9% pada anak perempuan. Status gizi dapat dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain penyakit yang diderita. Karies gigi merupakan
salah satu penyakit yang sekitar 90% diderita oleh anak-anak. Karies gigi
terganggunya penyerapan dan pencernaan makanan. Kondisi tersebut dapat
menggangu kondisi gizi anak sehingga terjadi keadaan kurang gizi.
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan oleh peneliti,
didapatkan bahwa 80% siswa kelas dua di sekolah tersebut menderita karies
gigi susu. Sedangkan untuk pengukuran status gizi didapatkan hasil bahwa
80% siswa kategori kurus dan 20% siswa kategori normal.Berdasarkan uraian
di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang hubungan
tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01
Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor Tahun 2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1.3.1 Bagaimana gambaran karakteristik responden SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 ?
1.3.2 Bagaimana gambaran status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 ?
1.3.3 Bagaimana gambaran tingkat keparahan karies gigi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 ?
1.3.4 Bagaimana gambaran tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.5 Apakah ada hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
1.3.6 Apakah ada hubungan tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.7 Apakah ada hubungan tingkat konsumsi protein dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.8 Apakah ada hubungan tingkat konsumsi lemak dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 ?
1.3.9 Apakah ada hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010 setelah dikontrol dengan tingkat konsumsi karbohidrat,
protein dan lemak ?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana
Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.4.2.2 Diketahuinya gambaran status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.3 Diketahuinya gambaran tingkat keparahan karies gigi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten
Bogor tahun 2010.
1.4.2.4 Diketahuinya gambaran tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.5 Diketahuinya hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.6 Diketahuinya hubungan tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.7 Diketahuinya hubungan tingkat konsumsi protein dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010.
1.4.2.8 Diketahuinya hubungan tingkat konsumsi lemak dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
1.4.2.9 Diketahuinya hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa
Ciangsana Kabupaten Bogor tahun 2010 setelah dikontrol
dengan tingkat konsumsi karbohidrat, protein dan lemak.
1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah meliputi manfaat
bagi pihak sekolah, manfaat bagi pemerintah, manfaat bagi institusi
pendidikan serta manfaat bagi peneliti.
1.5.1 Manfaat Bagi Pihak Sekolah
Pihak sekolah dapat mengetahui tingkat keparahan karies gigi,
proporsi status gizi, hubungan antara tingkat keparahan karies gigi
dengan status gizi dan dapat melakukan upaya preventif terhadap
penyakit karies gigi dan status gizi siswa kelas dua.
1.5.2 Manfaat Bagi Pemerintah
Bagi pemerintah khususnya Dinas Kesehatan, laporan hasil
penelitian ini memiliki manfaat yaitu dapat dijadikan sebagai bahan
kajian dalam rangka menentukan kebijakan dan langkah-langkah yang
berkaitan dengan upaya penanggulangan masalah gizi dan upaya
1.5.3 Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat bagi institusi pendidikan adalah dapat memberikan
masukan ilmu yang berguna serta keadaan gizi di masyarakat sebagai
bahan pembelajaran agar dapat mempersiapkan peneliti yang mampu
menyeimbangkan antara aspek kognitif, afektif maupun psikomotor.
1.5.4 Manfaat Bagi Peneliti
Manfaat yang ingin dicapai oleh peneliti adalah peneliti dapat
mengetahui hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan status gizi
siswa kelas dua SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor
tahun 2010.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian mengenai hubungan tingkat keparahan karies gigi dengan
status gizi dilakukan di SDN 01 Ciangsana Desa Ciangsana Kabupaten Bogor.
Penelitian ini dilakukan pada bulan mei sampai desember tahun 2010. Objek
dalam penelitian tersebut adalah ibu dan siswa kelas dua sekolah dasar.
Subjek pada penelitan tersebut adalah mahasiswa peminatan gizi program
studi kesehatan masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini
dilakukan karena peneliti ingin mengetahui hubungan antara tingkat
keparahan karies gigi dengan status gizi pada siswa kelas dua sekolah dasar.
13 2.1 Status Gizi
2.1.1 Pengertian
Status gizi adalah keadaan tubuh seseorang atau sekelompok
orang sebagai akibat dari konsumsi, penyerapan dan penggunaan
zat-zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama. Makanan yang
memenuhi kebutuhan zat gizi tubuh umumnya membawa ke arah
status gizi yang baik (Suhardjo, 1985).
Menurut Supariasa (2001), status gizi adalah ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, merupakan
indeks yang statis dan agregatif sifatnya kurang peka untuk melihat
terjadinya perubahan dalam waktu pendek misalnya bulanan.
Sedangkan menurut Almatsier (2002), status gizi adalah keadaan
tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi.
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh tingkat konsumsi atau asupan
makanan dan status kesehatan.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh
memproleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga
kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin
(Almatsier, 2002).
Pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh faktor
internal berupa struktur fisik, tingkat pertumbuhan sel otak semasa
dalam kandungan. Sedangkan, faktor eksternal antara lain kualitas gizi
yang diterima anak, status kesehatan yaitu ada tidaknya penyakit yang
diderita anak seperti karies gigi, pola asuh, sistem budaya yang
digunakan dalam proses merawat serta tingkat ekonomi dan sosial
(Junaidi, 2004).
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Gizi a. Konsumsi Makanan
Kebutuhan untuk makan bukanlah satu-satunya dorongan
untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi ada kebutuhan fisiologis
dan psikologis yang ikut mempengaruhi. Konsumsi makanan
adalah jenis dan banyaknya makanan yang dapat diukur dengan
jumlah bahan makanan atau jumlah kalori dan zat gizi.
Konsumsi makanan merupakan faktor yang secara langsung
berpengaruh terhadap status gizi (Suhardjo, 1989).
Semua manusia di negara manapun memerlukan
makanan untuk dikonsumsi. Tubuh manusia harus memperoleh
cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari
dan air guna mempertahankan kelangsungan hidup. Selain itu,
khusus mengenai protein harus memiliki kualitas yang baik yaitu
mengandung asam-asam amino yang sangat diperlukan tubuh
(Suhardjo, 1989). Penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati
(2000) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara konsumsi
zat gizi dengan status gizi. Namun demikian, ada kecenderungan
semakin baik konsumsi zat gizi maka status gizinya pun semakin
baik.
Berdasarkan Buku Pedoman Petugas Puskesmas, Depkes
RI (1990), klasifikasi tingkat konsumsi zat gizi dibagi menjadi
empat dengan cut of point masing-masing sebagaimana tercantum dalam tabel 2.1 berikut ini.
Tabel 2.1
Klasifikasi Tingkat Konsumsi Zat Gizi
1) Tingkat Konsumsi Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi
manusia. Kegunaaan karbohidrat dalam tubuh adalah untuk
mendapatkan energi, membuat cadangan tenaga dalam tubuh
dan memberikan rasa kenyang. Semua karbohidrat berasal dari
tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat diklasifikasikan menjadi dua
golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat
kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida,
disakarida, gula alkohol, dan oligosakarida. Karbohidrat
kompleks memiliki lebih dari dua unit gula sederhana.
Karbohidrat kompleks terdiri dari polisakarida dan serat
(Almatsier, 2002).
Fungsi utama karbohidrat adalah menyediakan energi
bagi tubuh. Karbohidrat memberi rasa manis pada makanan,
dan dapat menghemat protein agar tidak digunakan sebagai
energi melainkan untuk membangun sel-sel tubuh, pengatur
metabolisme lemak, dan pengeluaran feces. Bila tidak ada
karbohidrat, asam amino dan gliserol yang berasal dari lemak
dapat menjadi glukosa untuk keperluan energi otak dan saraf
pusat (Almatsier, 2002).
Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia,
umbi-umbian, kacang-kacangan kering, dan gula serta hasil
sirup, dan sebagainya (Almatsier, 2002). Tiap gram
karbohidrat memberikan energi sebanyak 4 (empat) kilo kalori
dan dianjurkan supaya jumlah energi yang diperlukan tubuh
didapat dari 50%-60% karbohidrat. Anjuran proporsi energi
yang berasal dari kelompok padi-padian 50%, umbi-umbian
6%, serta karbohidrat kompleks 5% (PUGS, 2003 dalam
Mudanijah, 2004).
Kelebihan glukosa akan disimpan di dalam hati dalam
bentuk glikogen. Bila persediaan glukosa darah menurun, hati
akan mengubah sebagian dari glikogen menjadi glukosa dan
mengeluarkannya ke dalam aliran darah untuk dibawa ke
seluruh tubuh yang memerlukan, seperti otak, jantung, sistem
syaraf, dan organ tubuh lain. Selain itu juga kelebihan
karbohidrat di dalam tubuh akan diubah menjadi lemak oleh
hati. Lemak ini akan dibawa ke sel-sel lemak yang dapat
menyimpan lemak dalam jumlah yang tidak terbatas
(Almatsier, 2002).
Karbohidrat juga dapat mempengaruhi kesehatan gigi.
Jenis karbohidrat yang menyebabkan karies gigi adalah
sukrosa. Hasil pengamatan epidemiologi membuktikan adanya hubungan antara angka konsumsi gula yang tinggi dan insiden
karies yang meningkat pada banyak negara. Selain itu, bentuk
akan melekat pada permukaan gigi dan terselip di dalam
celah-celah gigi sehingga merupakan makanan yang paling
merugikan kesehatan gigi. Kerugian ini terjadi akibat proses
metabolisme oleh bakteri yang berlangsung lama sehingga
menurunkan pH mulut untuk waktu lama (Mustafa, 1993).
Selain itu, menurut Bastian (1975) dalam Junaidi
(2004) meyatakan bahwa makanan yang keras membutuhkan
pengunyahan lebih lama dan tekanan yang kuat, sebaliknya
makanan yang lunak sangat mudah untuk dikunyah.
Menurut Korneliani (2004), terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan
terjadinya karies gigi. Sedangkan, menurut Junaidi (2004),
tidak ada hubungan yang bermakna antara karies dengan
tingkat konsumsi karbohidrat.
2) Tingkat Konsumsi Protein
Protein adalah bagian dari semua sel-sel hidup yang
merupakan bagian terbesar tubuh sesudah air (Yuniastuti,
2008). Protein dalam tubuh berfungsi sebagai penyedia
energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari
konsumsi karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra dan
Marsetyo, 2003). Selanjutnya, menurut Almatsier (2002)
dan jaringan tubuh, pembentukan ikatan-ikatan esensial
tubuh, mengangkut zat-zat gizi, pembentukan antibodi, dan
sumber energi setelah karbohidrat dan lemak. Jika kebutuhan
energi tubuh tercukupi maka protein akan digunakan sebagai
zat pembangun.
Protein dibutuhkan untuk membangun dan memelihara
otot, darah, kulit, tulang dan jaringan serta organ-organ tubuh
lain. Protein juga dapat digunakan untuk menyediakan
energi. Kecukupan protein penting untuk membangun daya
tahan tubuh agar dapat terlindung dari penyakit infeksi
(Suryani, 2002).
Selain itu, menurut Junaidi (2004) protein merupakan
zat gizi dalam molekul-molekul yang sangat komplek yang
mengandung asam-asam amino esensial dan non esensial
serta memiliki fungsi sebagai zat pembangun yang terdapat
pada makanan hewani dan nabati.
Berat badan sangat menentukan banyak sedikitnya
protein yang diperlukan. Oleh sebab itu, seseorang yang
memiliki berat badan lebih tinggi memerlukan protein lebih
banyak daripada seseorang yang memiliki berat badan lebih
ringan (Suhardjo, 1989).
Dalam keadaan berlebihan, protein akan mengalami
(NH2) dari asam amino. Nitrogen dikeluarkan dari tubuh dan
sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi lemak dan
disimpan dalam tubuh. Dengan demikian, makan protein
secara berlebihan dapat menyebabkan kegemukan
(Almatsier, 2002).
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein
yang baik, dalam jumlah maupun mutu, seperti telur, susu,
daging, unggas, ikan, dan kerang. Sumber nabati adalah
kacang kedelai dan hasilnya seperti tempe, tahu, serta
kacang-kacangan lain. Energi yang diperolah tubuh berasal
dari protein hendaknya didapat sebanyak 10%-15% protein
(Almatsier, 2002). Nurfatimah (2007) mengemukakan bahwa
konsumsi protein memiliki hubungan bermakna dengan
status gizi seseorang. Namun, Fidiani (2007) menyatakan
bahwa tidak ada hubungan antara protein dengan status gizi.
Menurut Kwon et al (1997), protein merupakan zat
yang diperlukan dalam pembentukan formasi enamel gigi
yang baik. Kekurangan protein dapat menurunkan ukuran
gigi dan meningkatkan kerusakan enamel. Protein sangat
berperan dalam komposisi dan volume air ludah atau saliva,
yang merupakan faktor penting dalam kesehatan mulut.
Selanjutnya menurut Budiningsari (2006), protein secara
arah basa. Efek lokal protein terutama sumber nabati
sehingga menaikkan pH saliva sehingga dapat mencegah dari
karies gigi atau menekan tingkat keparahan karies gigi.
Daya cerna beberapa protein terutama yang berasal dari
hewani dapat dipengaruhi oleh zat-zat lain yang terdapat
dalam makanan, proses pengolahan makanan, sumber protein
serta kemampuan pencernaan (Junaidi, 2004). Penelitian
Junaidi (2004), menunjukkan bahwa adanya hubungan antara
karies gigi dengan tingkat konsumsi protein pada anak
sekolah dasar. Sedangkan, Nizel (1981) dalam Nurlaila
(2005) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara zat gizi
protein hewani dan nabati dengan terjadinya karies gigi.
3) Tingkat Konsumsi Lemak
Lemak merupakan zat gizi padat energi, dalam bentuk
lemak dapat disimpan energi dalam jumlah yang besar di
dalam massa yang kecil. Lemak juga merupakan sumber
energi selain karbohidrat dan protein. Kekurangan konsumsi
lemak akan mengurangi konsumsi kalori dalam tubuh. Selain
itu, kekurangan lemak dapat memberikan gejala-gejala
defisiensi vitamin yang larut lemak, seperti vitamin A dan
Lemak dapat diperoleh dari daging berlemak, jerohan
dan sebagainya. Kelebihan lemak akan disimpan oleh tubuh
sebagai lemak tubuh yang sewaktu- waktu diperlukan.
Lemak berfungsi sebagai sumber energi, alat angkut vitamin
larut lemak, menghemat protein, memberi rasa kenyang dan
kelezatan, sebagai pelumas, memelihara suhu tubuh, dan
pelindung organ tubuh (Almatsier, 2002).
Dalam satu gram lemak menghasilkan 9 kalori energi.
Lemak akan disimpan di dalam tubuh dalam bentuk jaringan
adipose. Jaringan ini tidak aktif karena tidak ikut dalam
proses metabolisme sehari-hari akan tetapi jaringan ini sangat
penting sebagai cadangan energi (Sediaoetama, 2000).
Sebagai simpanan lemak, lemak merupakan cadangan
energi tubuh yang paling besar. Simpanan ini berasal dari
konsumsi berlebihan salah satu atau kombinasi zat-zat
energi: karbohidrat, protein, dan lemak. Lemak tubuh
umumnya disimpan sebagai berikut: 50% di jaringan bawah
kulit (subkutan), 45% di sekeliling organ dalam rongga perut,
dan 5% di jaringan intramuskuler. Tubuh mempunyai
kapasitas yang tak terhingga untuk menyimpan lemak
(Almatsier, 2002).
Menurut Balzos (1997) dalam Sebastian (2008) lemak
energi dalam jaringan adipose. Jika dibandingkan dengan
karbohidrat yang menggunakan 23% energi untuk diubah
menjadi cadangan lemak dalam jarinagan adipose, lemak
hanya membutuhkan 3% energi.
Dengan pertimbangan berbagai peran lemak maupun
penyerapan zat gizi larut lemak dan mencegah tingginya
kadar kolesterol darah, kecukupan asam lemak esensial
dianjurkan 10 % dari total konsumsi energi. Sementara itu,
anjuran konsumsi lemak total berkisar antara 10-25 % dari
total energi (PUGS, 2003 dalam Mudanijah, 2004).
Sumber utama lemak adalah minyak,
tumbuh-tumbuhan (minyak kelapa, kelapa sawit, kacang tanah,
kacang kedelai, jagung, dan sebagainya), mentega, margarin,
dan lemak hewan (lemak daging dan ayam),
kacang-kacangan, biji-bijian, daging, ayam, gemuk, krim, susu, keju,
kuning telur, serta makanan yang dimasak dengan lemak atau
minyak (Almatsier, 2002).
Menurut Departemen Kesehatan RI yang dikutip oleh
Sayogo (2006) mengajurkan konsumsi lemak dalam sehari
tidak melebihi 25% dari total energi per hari. Konsumsi
lemak yang berlebih, kurang menguntungkan karena dapat
mengakibatkan timbunan lemak dan orang tersebut menjadi
pembuluh darah jantung. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Dewi (2000) dan Handayani (2002),
menunjukkan bahwa adanya hubungan yang bermakna antara
tingkat konsumsi lemak dengan status gizi.
Lemak juga dapat berpengaruh terhadap kesehatan gigi.
Makanan yang mengandung lemak, pada umumnya sedikit
mengandung substrat kariogenik selain sebagai makanan
pengganti karbohidrat yang kariogenik, lemak juga
mempengaruhi kelarutan karbohidrat di dalam rongga mulut.
Lemak berfungsi ke arah efek lokal, sehingga sisa makanan
tidak mudah menempel pada permukaan gigi, bakteri tidak
memfermentasi sisa makanan dan bersifat hidrofob sehingga
bersifat anti bakteri (Budiningsari, 2006). Penelitian yang
dilakukan Kabara (1986), menunjukkan adanya hubungan
antara lemak dengan terjadinya karies gigi.
b. Penyakit Infeksi
Antara status gizi kurang dan infeksi terdapat interaksi
bolak balik. Infeksi dapat menimbulkan gizi kurang melalui
berbagai mekanisme. Yang paling penting adalah efek langsung
dari infkesi sistematik pada katabolisme jaringan. Walaupun
hanya terjadi infeksi ringan sudah akan menimbulkan kehilangan
Infeksi dan demam dapat menyebabkan penurunan nafsu
makan atau menimbulkan kesulitan manelan dan mencerna
makanan. Keadaan yang demikian membantu terjadinya kurang
gizi. Anak yang mengalami gizi kurang akan mengalami daya
tahan tubuh yang rendah sehingga lebih mudah terkena infeksi
(Suhardjo, 1989).
c. Pendidikan Ibu
Pendidikan merupakan dasar atau landasan bagi segala
ilmu pengetahuan, serta merupakan dasar yang penting untuk
dimiliki semua orang. Karena pendidikan pada hakekatnya
adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan di dalam dan di luar sekolah serta berlangsung
seumur hidup (Suhardjo, 1989).
Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, maka
ibu perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan.
Selain merupakan modal utama untuk menunjang perekonomian
keluarga, pendidikan ibu juga dapat mempengaruhi derajat
kesehatan karena dapat berpengaruh pada kualitas pengasuhan
anak (Suhardjo, 1989).
Menurut Suhardjo (1989), pendidikan merupakan salah
satu hal yang harus diperhatikan karena dapat mempengaruhi
pendidikan orang tua akan mempengaruhi status gizi anaknya.
Semakin tinggi tingkat pendidikan orang tua, maka semakin baik
pula status gizi anaknya.
d. Status Pekerjaan Ibu
Pekerjaan orang tua yang diperkirakan berperan dalam
kaitannya pada pola pemberian dan pengurusan makanan dalam
keluarga adalah seorang ibu. Ada pendapat yang mengatakan
status pekerjaan ibu dapat mempengaruhi perilaku anak dalam
makan. Selain itu, ada perbedaan dalam pembentukan kebiasaan
makan pada anak-anak yang mempunyai ibu yang bekerja dan
tidak bekerja. Ibu yang bekerja akan tersita waktunya dalam
menyiapkan dan memberikan makanan kepada anak sehingga
diserahkan kepada orang lain (Suhardjo, 1989).
Batasan ibu yang bekerja adalah ibu-ibu yang melakukan
aktivitas ekonomi mencari penghasilan baik di sektor formal
maupun informal yang dilakukan secara reguler di luar rumah.
Anak yang mendapatkan perhatian lebih, baik secara fisik
maupun emosional, selalu mendapat senyuman, mendapat
makanan yang seimbang maka keadaan gizinya lebih baik
dibandingkan dengan teman sebayanya yang kurang mendapat
Penelitian yang dilakukan oleh Lee (1987) dalam
Hardinsyah (2007), menyimpulkan bahwa status dan jenis
pekerjaan ibu merupakan determinan keragaman konsumsi
pangan rumah tangga. Jenis pangan yang dikonsumsi pada
rumah tangga dengan ibu yang bekerja di luar lebih sedikit
dibandingkan dengan rumah tangga dengan ibu yang tidak
bekerja. Namun, hasil penelitian lain menyimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan bermakna antara status pekerjaan ibu dengan
status gizi siswa (Sulastri, et al, 2006).
2.1.3 Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi adalah pembandingan keadaan gizi
menurut hasil pengukuran terhadap standar yang sesuai dari individu
atau kelompok tertentu. Ada beberapa cara dalam menilai status gizi
seseorang yaitu: 1) secara langsung, dengan pemeriksaan
antropometri, klinis, biokimia dan biofisik dan; 2) secara tidak
langsung dapat dilaksanakan dengan survei konsumsi makanan,
statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2001).
Di masyarakat, cara penilaian status gizi secara langsung yang
paling sering digunakan adalah antropometri karena pengukuran
tersebut mudah, sederhana, peralatannya murah, dapat dilakukan siapa
saja dan cukup teliti. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak
yang sering dipakai adalah “recall” 24 jam. Dalam metode ini, responden disuruh untuk mengingat dan menceritakan semua yang
dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu atau kemarin
(Supariasa, 2001).
a. Pengukuran Antropometri
Menurut Supariasa (2001), antropometri artinya ukuran
tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri sangat umum
digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidak
seimbangan antara asupan energi dan protein. Gangguan ini
biasanya dapat terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi
jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah air dalam tubuh.
Penilaian status gizi dengan menggunakan pengukuran
antropometri mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya antara lain alatnya mudah dibawa dan murah,
prosedurnya sederhana, relatif tidak membutuhkan tenaga ahli,
dapat digunakan untuk jumlah sampel yang besar, metode akurat
serta dapat mengidentifikasi status gizi sedang, gizi kurang dan
gizi buruk. Sedangkan, kelemahan pengukuran antropometri
spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri serta
kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat
mempengaruhi presisi, akurasi dan validitas pengukuran
antropometri gizi (Supariasa, 2001).
Indeks antropometri yang digunakan untuk menentukan
status gizi anak-anak usia sekolah adalah BB/TB. Berat badan
memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan
kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang
baik untuk menilai status gizi saat ini. Indeks BB/TB memiliki
keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya adalah tidak
memerlukan data umur dan dapat membedakan proporsi badan
(gemuk, normal dan kurus). Sedangkan kelemahannya adalah
tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut pendek,
cukup tinggi badan atau kelebihan tinggi badan menurut
umurnya karena faktor umur tidak dipertimbangkan,
membutuhkan dua macam alat ukur, pengukuran relatif lebih
lama, membutuhkan dua orang untuk melakukan pengukuran
dan sering terjadi kesalahan dalam pembacaan hasil pengukuran
b. Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah salah satu metode yang
digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau
kelompok. Berdasarkan jenis data yang diperoleh maka
pengukuran konsumsi makanan menghasilkan dua jenis data
konsumsi, yaitu bersifat kualitatif dan kuantitatif (Supariasa,
2001).
Metode survei konsumsi makanan secara kuantitatif
dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang
dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan
menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau
daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga
(URT), Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM) dan daftar
penyerapan minyak. Metode tersebut antara lain metode recall
24 jam, perkiraan makanan (estimated food recall), penimbangan makanan (food weighing), metode food account, metode inventaris (inventory method) serta pencatatan (household food record) (Supariasa, 2001).
Metode food recall 24 jam dilakukan dengan mencatat
jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode
24 jam yang lalu. Dalam metode ini, responden diminta untuk
menceritakan semua yang dimakan dan diminum sejak bangun
juga dimulai dari waktu saat dilakukan wawancara mundur ke
belakang sampai 24 jam penuh (Supariasa, 2001).
Data kuantitatif dapat diperoleh dengan cara menanyakan
secara teliti mengenai jumlah konsumsi makanan individu
disertai dengan penggunaan alat URT (sendok, gelas, piring dan
lain-lain) atau ukuran lainnya yang biasa dipergunakan
sehari-hari. Apabila pengukuran hanya dilakukan satu kali (1 x 24 jam)
maka data yang diperoleh kurang representatif untuk
menggambarkan kebiasaan makanan individu. Oleh karena itu,
metode ini sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak
berturut-turut. Recall yang dilakukan minimal 2 x 24 jam tanpa berturut-turut, dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi
lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang
intake harian individu (Sanjur, 1997 dalam Supariasa, 2001).
2.1.4 Status Gizi Anak
Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang
ditentukan oleh derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain
yang diperoleh dari pangan dan makanan yang dampak fisiknya diukur
secara antropometri (Suhardjo, 2003), dan dikategorikan berdasarkan
standar baku WHO-NCHS dengan indeks BB/U, TB/U dan BB/TB
Kriteria objektifnya dinyatakan dalam rata-rata dan jumlah Z
score simpang baku (SSB) individu dan kelompok sebagai persen
terhadap median baku rujukan (Waterlow, et el dalam Djumadias,
1990). Untuk menghitung SSB dapat dipakai rumus :
NSBR
Penilaian status gizi berdasarkan indeks BB/U, TB/U, BB/TB
dengan standar baku antropometri WHO-NCHS dapat dilihat pada
tabel 2.2 berikut ini.
Tabel 2.2
Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
No Indeks Simpangan Baku Status Gizi
Tabel 2.2
Penilaian Status Gizi berdasarkan Indeks BB/U,TB/U, BB/TB Standar Baku Antropometri WHO-NCHS
Sumber : Depkes (2004)
2.2 Karies Gigi
2.2.1 Definisi Karies Gigi
Karies gigi berasal dari bahasa latin yang artinya lubang gigi
dan ditandai oleh rusaknya email dan dentin secara progresif yang
disebabkan oleh aktivitas metabolisme plak bakteri. Karies gigi timbul
karena empat faktor yaitu host yang meliputi gigi dan saliva,
mikroorganisme, substrat serta waktu atau lamanya proses interaksi
antar faktor tersebut (Junaidi, 2004).
Selanjutnya, menurut Suwargiani (2008), karies gigi adalah
suatu proses kronis regresif, dimana prosesnya terjadi terus berjalan ke
bagian yang lebih dalam dari gigi sehingga membentuk lubang yang
tidak dapat diperbaiki kembali oleh tubuh melalui proses
penyembuhan, pada proses ini terjadi demineralisasi yang disebabkan
oleh adanya interaksi kuman, karbohidrat yang sesuai pada permukaan
gigi dan waktu.
No Indeks Simpangan Baku Status Gizi
3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus
-3 SD s/d <-2 SD Kurus
- 2 s/d +2 SD Normal
Karies gigi merupakan penyakit yang banyak menyerang
anak-anak maupun dewasa baik pada gigi susu maupun gigi permanen.
Anak usia 6 sampai 14 tahun merupakan kelompok usia yang kritis
dan mempunyai sifat khusus yaitu transisi pergantian gigi susu ke gigi
permanen. Suatu hasil survei status karies gigi Pelita III dan IV di
Indonesia, menyatakan bahwa kelompok usia 6 sampai 14 tahun
mempunyai prevalensi karies gigi yang cukup tinggi yaitu 60 sampai
80% (Ilyas, 2000).
2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Karies Gigi Terjadinya karies gigi memerlukan host yang rentan untuk
berkembangnya lesi karies, mikroorganisme kariogenik yang terdapat
dalam rongga mulut dan lingkungan substrat makanan serta jangka
waktu yang pendek. Sedangkan, faktor individu manusia (umur, jenis
kelamin, ras dan keturunan) dan faktor di luar lingkungan mulut (fisik,
sosial dan biologis) merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
karies gigi dalam mulut (Ilyas, 2000).
a. Faktor Di Dalam Mulut 1) Struktur gigi dan saliva
Gigi adalah alat yang digunakan untuk mengunyah
makanan didalam mulut. Struktur gigi merupakan salah satu
karies. Aneka makanan dan minuman masuk ke dalam tubuh
melalui mulut. Makanan perlu dilumatkan dengan cara
dikunyah di dalam mulut. Proses pelumatan oleh gigi dibantu
saliva. Saliva merupakan pertahanan pertama terhadap karies.
Saliva berfungsi sebagai pelicin, pelindung, penyangga,
pembersih, anti pelarut dan anti bakteri (Suwelo, 1992).
2) Mikroorganisme
Bakteri Streptococcus mutans mengeluarkan racun yang tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Bakteri tersebut
berperan dalam proses awal karies yaitu lebih dulu masuk
lapisan luar email. Selanjutnya Laktobasilus acidophilus
mengambil alih peranan pada karies yang lebih merusak gigi.
Mikroorganisme menempel di gigi bersama plak. Plak terdiri
dari mikroorganisme (70 %) dan bahan antar sel (30 %). Plak
akan tumbuh bila ada karbohidrat, sedang karies akan terjadi
bila ada plak dan karbohidrat (Suwelo, 1992).
3) Substrat atau karbohidrat
Subtrat adalah campuran makanan halus dan minuman
yang dimakan sehari-hari yang menempel di permukaan gigi.
Substrat ini berpengaruh terhadap karies secara lokal di
berbeda dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh yang
diperlukan untuk mendapatkan energi dan membangun
tubuh. Pada dasarnya nutrisi sangat diperlukan untuk
pertumbuhan dan perkembangan gigi saat pembentukan
matriks, email dan kalsifikasi. Nutrisi tersebut adalah
karbohidrat, lemak dan protein. Konsumsi karbohidrat
sederhana dalam waktu lama akan mempengarui
pembentukan matriks email yang nantinya akan menjadi
karies. Frekuensi konsumsi gula sederhana yang tinggi
menentukan waktu terjadinya karies (Suwelo, 1992).
4) Waktu
Waktu adalah kecepatan terbentuknya karies serta lama
dan frekuensi substrat menempel di permukaan gigi.
Kecepatan kerusakan gigi akan jelas terlihat dengan
timbulnya karies menyeluruh dalam waktu yang singkat.
Selain itu penyebab karies adalah lamanya substrat yang
berada dalam rongga mulut, yang tidak langsung ditelan.
Secara umum, karies dianggap sebagai penyakit kronis pada
manusia yang berkembang dalam waktu beberapa bulan atau
tahun. Lamanya waktu yang dibutuhkan karies untuk
berkembang menjadi suatu kavitas cukup bervariasi,
b. Faktor Di Luar Mulut
Faktor yang berhubungan tidak langsung dalam proses
karies gigi yang berada di dalam mulut sebagai faktor
predisposisi dan penghambat, antara lain :
1) Umur
Sejalan dengan pertambahan usia seseorang, jumlah
kariespun akan bertambah. Hal ini jelas, karena faktor risiko
terjadinya karies akan lebih lama berpengaruh terhadap gigi.
Anak yang pengaruh faktor risiko terjadinya karies kecil
akan menunjukkan jumlah karies lebih besar dibanding yang
kuat pengaruhnya (Suwelo, 1992).
2) Jenis kelamin
Prevalensi karies gigi tetap wanita lebih tinggi
dibandingkan dengan pria. Demikian pula pada anak-anak,
prevalensi karies gigi susu anak perempuan sedikit lebih
tinggi dibandingkan dengan anak laki-laki, karena gigi anak
perempuan berada lebih lama dalam mulut. Akibatnya gigi
anak perempuan akan lebih lama berhubungan dengan faktor
3) Ras
Pengaruh ras terhadap terjadinya karies gigi amat sulit
ditentukan. Tetapi keadan tulang rahang suatu ras mungkin
berhubungan dengan prosentase karies yang semakin
meningkat atau menurun. Misalnya pada ras tertentu dengan
rahang yang sempit, sehingga gigi-gigi pada rahang sering
tumbuh tidak teratur. Keadaan gigi yang tidak teratur akan
mempersulit pembersihan gigi dan akan mempertinggi
prosentase karies pada ras tertentu (Kidd & Bechal, 1992).
4) Keturunan
Dari suatu penelitian terdapat 12 pasang orang tua
dengan keadaan gigi yang baik, terlihat bahwa anak-anak
dari 11 pasang orang tua memiliki keadaan gigi yang cukup
baik. Di samping itu, dari 46 pasang orang tua, hanya 1
pasang yang memiliki anak dengan gigi yang baik, 5 pasang
dengan prosentase karies sedang dan 40 pasang dengan
prosentase keries yang tinggi. Tapi dengan tehnik
pencegahan karies yang demikian maju pada akhir-akhir ini,
sebetulnya faktor keturunan dalam prosentase terjadinya
5) Kultur sosial penduduk
Perilaku sosial dan kebiasaan akan menyebabkan
perbedaan jumlah karies. Di Selandia baru, prevalensi karies
anak dengan sosial ekonomi rendah di daerah yang air
minumnya difluoridasi lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah yang air minumnya tidak difluoridasi. Selain itu,
perbedaan suku, budaya, lingkungan dan agama akan
menyebabkan keadaan karies yang berbeda pula (Suwelo,
1992).
6) Tingkat sosial ekonomi
Latar belakang sosial ekonomi yaitu masalah budaya
dan pendapatan yang rendah dapat memungkinkan tingginya
angka kejadian karies gigi pada kelompok masyarakat
tertentu. Hal ini disebabkan karena masyarakat tersebut
masih menggunakan cara tradisional dalam membersihkan
gigi yaitu dengan menggunakan tanah liat. Selain itu,
masyarakat tersebut tidak dapat melakukan pemeriksaan ke
dokter gigi karena memiliki pendapatan yang rendah
(Suwelo, 1992). Penelitian pada SKRT (2001) menyebutkan
bahwa 75% masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah
jika dibandingkan dengan masyarakat yang berstatus sosial
ekonomi tinggi.
7) Tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang, karena semakin tinggi pendidikan
seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat
pengetahuan dan kesadaran untuk menjaga kesehatan
(Suwelo, 1992). Hasil penelitian Lukito (2003),
menunjukkan bahwa angka karies tertinggi diderita pada
anak yang tingkat pendidikan orang tuanya rendah yaitu
sebesar 63,25%. Selanjutnya, pada penelitian lain juga
disebutkan bahwa angka prevalensi karies pada penduduk
yang tidak tamat sekolah dasar sebesar 78% dan pada
penduduk yang tamat sekolah dasar sebesar 67%.
8) Kebiasaan sikat gigi
Penyakit karies gigi dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, salah satunya adalah mikroorganisme yang ada dalam
plak gigi. Cara yang dapat digunakan untuk mengontrol plak
tersebut adalah dengan menyikat gigi (Suwelo, 1992). Hasil
penelitian menurut Evron (2003) dalam Romadhona (2009),
memiliki sikap dan perilaku positif terhadap kebiasaan yang
baik untuk menyikat gigi sebesar 9%. Sedangkan pada SKRT
(1995), menyatakan bahwa proporsi penduduk yang tidak
menyikat gigi sebesar 31,7% dan yang menderita karies gigi
sebesar 63%.
9) Kesadaran sikap dan perilaku individu terhadap kesehatan gigi
Fase perkembangan anak umur di bawah 5 tahun masih
sangat tergantung pada pemeliharaan, bantuan dan pengaruh
dari ibu. Peranan ibu sangat menentukan dalam pertumbuhan
dan perkembangan anak. Dalam bidang kesehatan, peranan
seorang ibu sangat menentukan. Jadi kesadaran, sikap, dan
perilaku serta pendidikan ibu sangat mempengaruhi
kesehatan gigi dan mulut anak (Suwelo, 1992).
2.2.3 Proses Terjadinya Karies Gigi
Proses terjadinya karies gigi dimulai dengan adanya plak di
permukaan gigi, sukrosa (gula) dari sisa makanan dan bakteri
berproses menempel pada waktu tertentu yang berubah menjadi asam
laktat yang akan menurunkan pH mulut menjadi kritis (5,5) yang akan
menyebabkan demineralisasi email berlanjut menjadi karies gigi
Secara perlahan-lahan demineralisasi interna berjalan ke arah
dentin melalui lubang fokus tetapi belum sampai kavitasi
(pembentukan lubang). Kavitasi baru timbul bila dentin terlibat dalam
proses tersebut. Namun kadang-kadang begitu banyak mineral hilang
dari inti lesi sehingga permukaan mudah rusak secara mekanis, yang
menghasilkan kavitasi yang makroskopis dapat dilihat. Pada karies
dentin yang baru mulai yang terlihat hanya lapisan keempat (lapisan
transparan, terdiri atas tulang dentin sklerotik, kemungkinan
membentuk rintangan terhadap mikroorganisme dan enzimnya) dan
lapisan kelima (lapisan opak/ tidak tembus penglihatan, di dalam
tubuli terdapat lemak yang mungkin merupakan gejala degenerasi
cabang-cabang odontoblas). Baru setelah terjadi kavitasi, bakteri akan
menembus tulang gigi. Pada proses karies yang amat dalam, tidak
terdapat lapisan-lapisan tiga (lapisan demineralisasi, suatu daerah
sempit, dimana dentin partibular diserang), lapisan empat dan lapisan
lima (Schuurs, 1993).
2.2.4 Pengaruh Karies Gigi Terhadap Status Gizi Anak
Gigi dan mulut memegang peranan penting pada masa
anak-anak yang sedang mengalami proses tumbuh kembang, karena
merupakan ujung sefalik dari saluran pencernaan yang menjadi pintu
masuk makanan yang dibutuhkan tubuh untuk menghasilkan energi