PENAFSIRAN AL-
SYA’RÂWÎ
TERHADAP AL-
QUR’ÂN
TENTANG
WANITA KARIR
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
Riesti Yuni Mentari
NIM: 107034001469PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
Persembahan
Skripsi ini kupersembahkan Kepada: Nenek, Mama, Papa, Adik,
Sahabat dan Keluarga Besar Ibu Supriyati
Hati Tercinta
i
“Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap al-Qur’ân tentang Wanita Karir”
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap peran wanita karir. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta penafsiran al-Sya’râwî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.
Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan
(library research). Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau metode tafsir maudhu’i.
Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur’ân yang terkenal pada masa modern dan merupakan Imam pada masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Qur’ân, dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya, hal tersebutlah yang menjadikan penulis merasa metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan.
ii
PEDOMAN TANSLITERASI (ARAB-LATIN) A. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak Dilambangkanب
B Beت
T Teث
Ts Te dan Esج
J Jeح
H Ha dengan garis bawahخ
Kh Ka dan Haد
D Deذ
Dz De dan Zetر
R Erز
Z Zetس
S Esش
Sy Es dan Yeص
S Es dengan garis di bawahض
D De dengan garis di bawahط
T Te dengan garis di bawahظ
Z Zet dengan garis di bawahع
‘ Koma terbalik di atas hadap kananغ
Gh Ge dan Haف
F Efق
Q Kiك
K Kaل
L Elم
M Emن
N Enه
H Haو
W Weء
‘ Apostrofى
Tidak dilambangkaniii
---
Fathah a a---
Kasrah i iDhammah u u
C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong
Simbol Arab Nama Latin Keterangan
---ي
Fathah dan Ya ai A dan I---و
Fathah dan Waw au A dan UD. Vokal Panjang (Madd)
Simbol Arab Nama Latin Keterangan
---ا
---ى
Fathah diikutioleh Alif atau Ya â a dengan tanda di atas
و
---
Dhammah diikuti oleh Wawu û u dengan tanda di atas---ي
Kasrah diikutiYa î i dengan tanda di atas
E. Partikel (لا)
Transliterasi partikel (لا) adalah dengan huruf /l/, baik diikuti oleh huruf-huruf Syamsiyyah maupun huruf-huruf Qomariyah. Contoh: al-Sama’, bukan
as-Sama’, al-Ridha, bukan ar-Ridha.
F. Ta Marbûţah (ۃ)
Ada 2 trasliterasi atau alih aksara bagi ‘Ta Marbûţah (ۃ)’, yaitu:
1. Jika ta terdapat pada kata yang berdiri sendiri, atau diikuti oleh kata sifat (Na’at), atau harakatnya disukunkan, atau berada pada akhir kalimat, maka transliterasinya adalah dengan huruf /h/. contoh: al-Madrasah, al-Jami’ah al-Islamiyyah, atau hujjah, dan lain sebagainya
iv
G. Tasydîd
Transliterasi tasydid adalah dengan menggandakan hurufnya (konsonan), contoh: Allafa, Saqqaf, dan lain sebagainya.
H. Kata-kata yang telah populer
v
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam selalu dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia mentaati, mengikuti
dan memegang teguh ajarannya hingga akhir zaman.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis menyadari dengan sepenuh hati, banyak sekali kekurangan dan mengalami
berbagai kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, dorongan dan
pengarahan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna
memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai gelar
sarjana Theologi Islam Program Strata Satu (S1) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan
terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah banyak membantu dan mendukung penulis, secara khusus penulis
menghanturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Bustamin, M.Si, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku
ketua jurusan dan Sekretaris jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan
dan administrasi.
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA dan Bapak Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar,MA
yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada
vi
4. Pimpinan perpustakaan UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin, perpustakaan
Lentera milik Bapak Quraish Shihab serta seluruh stafnya, dan
perpustakaan Iman Jama serta seluruh stafnya, yang telah memberikan
bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi bahan
skripsi ini.
5. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Suryatiningsih dan Bapak Rizal,
serta nenek tercinta, Keluarga Besar Hj.Sudharsono, SH, serta adik-adikku
tersayang (Riva, Rio, Shinta) yang telah banyak berjasa baik moril
maupun materil, yang tidak terbatas, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
6. Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis
B angkatan 2007/2008, khususnya teman seperjuangan Zahrul Athriyah
yang selalu memberikan masukan dan ilmunya, Ni’ma Diana, Nur Faiza,
Zieh, dan Imam Zaki Fuad yang selalu bisa memberikan masukan dan
rekan kerja SOLUSI BINTARO, khususnya; Bapak Tarnoto, Izzah Nasir,
Mas Roby dan Sholihin yang memberikan kemudahan penulis sehingga
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7. Sahabat-sahabat yang setia, teman-teman KKN yang selalu kompak,
Lukman Al-dillah yang selalu setia, dan seluruh sahabat penulis yang tidak
dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan serta doa.
Jazakumullah khairun katsiron.
Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah SWT,
semoga amal baiknya di terima oleh Allah SWT dan mendapat balasan yang lebih
banyak serta menjadi amal saleh.
Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi segenap pencari ilmu pada umumnya.
Jakarta, Maret 2011
vii
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
ABSTRAK ... i
PEDOMAN TRANSLITERASI ... ii
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Kajian Pustaka ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 8
E. Signifikansi Penelitian ... 8
F. Metodelogi Penelitian ... 9
G. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II SEKILAS TENTANG WANITA KARIR ... 12
A. Pengertian Wanita Karir ... 13
B. Alasan Wanita Berkarir ... 15
C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga ... 17
1. Dampak Positif ... 18
2. Dampak Negatif ... 19
D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir ... 21
BAB III MUHAMMAD MUTAWALLÎ AL-SYA’RÂWÎ DAN TAFSIRNYA ... 27
A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ... 27
viii
C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî
al-Sya’râwî ... 33
D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî ... 36
BAB IV PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ TENTANG WANITA KARIR DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’ÂN ... 43
A. Wanita Karir Dalam Dunia Politik ... 43
B. Hak Wanita untuk Berprestasi ... 48
C. Hak Wanita untuk Berkarir ... 55
BAB V PENUTUP ... 61
A. Kesimpulan ... 61
B. Kritik dan saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1
A. Latar Belakang Masalah
Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan
peran perempuan masih terbagi dalam dua kutub yang berseberangan. Di satu
sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus di dalam rumah,
mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik. Di sisi lain,
berkembang pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan
haknya tentang kebebasan.
Bagi umat Islam sendiri, perbedaan pandangan tersebut sangat
berkaitan erat dengan adanya perbedaan dalam memahami teks-teks al-Qur’ân
yang berbicara tentang perempuan.
Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan
sosial. Fenomena ini diklaim sebagi simbol equality (keadilan) antara laki-laki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan menuntut keadilan
dan persamaan hak di segala bidang. Tetapi agama masih sering dijadikan
dalih untuk menekan laju konsep kesetaraan jender (gender equity) dan memarjinalkan peran perempuan dalam bidang-bidang yang bersinggungan
dengan publik. 1
1
2
Kaitannya dengan peran ganda yang diambil oleh perempuan, para
ulama banyak mempertanyakan apakah formasi kesetaraan bagi perempuan
seperti bekerja di luar rumah tidak bertentangan dengan firman Allah:
…
“...Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari
perempuan (istrinya)...”2
…..“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka...”3
Al-Sya’râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :
"Laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan" pada awalnya sebagian mufassir tidak menafsirkan ayat ini kecuali tentang seorang laki-laki terhadap istrinya. Padahal sesungguhnya ayat ini berbicara tentang laki-laki dan perempuan secara mutlak (umum) bukan hanya laki-laki (suami) kepada istri, juga bapak bertanggung jawab kepada anak perempuan, saudara laki-laki kepada saudara perempuan.
Menurut Al-Sya’râwî :
"Qawwâm adalah mubalaghah dari qiyâm itu capai atau payah. Sehingga laki-laki yang bertanggung jawab kepada perempuan, berarti berusaha untuk memperbaiki kehidupan perempuan dengan susah payah. Laki-laki sebenarnya hanya berkepentingan memperbaiki masalah andaikata laki-laki itu baik.
Kata al-rijâl itu umum, al-nisâ' juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memeberikan keutamaan kepada sebagian
2
Lihat Q.S Al-Baqarah [2]: 228
3
mereka. Keutamaan atau tafdhîl disini yang dimaksud adalah laki-laki yang kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan.4
Dari Q.S An-Nisa’[4]: 34 di atas, artinya laki-laki bertanggung jawab pada
keluarga karena memberi nafkah. Bagaimana jika yang kerja dan memberi
nafkah adalah istri atau wanita, tentu lain masalahnya.
Sebenarnya Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran
yang tidak bertentangan dengan kodratnya untuk ditanganinya karena Islam
tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal apa pun, termasuk hal
pekerjaan.
Dalam banyak hal, wanita diberikan hak-hak dan kewajiban serta
kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam menempatkan sesuai
dengan kedudukannya.5
Islam menghormati wanita dengan penghormatan yang sangat luhur
serta mengangkat martabatnya dari sumber keburukan dan kehinaan, dari
penguburan hidup-hidup dan perlakuan buruk ke kedudukan yang terhormat
dan mulia, sebab wanita menjadi ibu dan sebagai istri yang harus diperlakukan
dengan lemah lembut dan kehalusan.6
Seorang wanita mukminah yang teguh dalam ketaatannya, maka Allah
telah menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum
4
M.Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsir Sya’rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid IV, h.2202.
5
Mohammad Koderi, Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.49-50.
6
4
mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal ini. Dalam
Q.S.Al-Nahl [16] : 97, Allah berfirman :
Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki laki
maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..”
Al-‘Aqqâd mengatakan dalam bukunya Al-Mar’ah fi Al-Qur’ân, seperti yang dikutip oleh Muhammad al-Bar adalah :
“ Konsep hak, dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, bahwa laki-laki dilebihkan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam kewajiban, demikianlah persamaan yang bijaksana.7
Diskusi tentang wanita dalam Islam selalu menarik. Islam memberikan
perhatian yang besar terhadap kaum wanita dan segi-segi kehidupan mereka.
Dari ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis-hadis Nabi. Tidak sulit membuktikan
betapa Islam sungguh-sungguh memperhatikan persoalan wanita dan
menempatkan mereka pada tempat yang terhormat.8
Di dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan
untuk berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai
wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah dapat
7
Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam : Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, h.18-19.
8
berkarir di segala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu
kebodohan, ketertinggalan, dan perbudakan.
Islam telah melarang semua itu, bahkan telah menyatakan bagian
tetentu bagi wanita, dalam Q.S.An-Nisa [4] : 7, Allah berfirman :
Artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harga peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan.”
Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan pada wanita karir dalam
tafsir Al-Sya’râwî. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti
Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur’ân
yang terkenal pada masa modern dan merupakan tokoh pada masa kini, beliau
memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan
sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar
dan mulia dalam bidang dakwah Islam.
Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya penulis
merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah judul skripsi ini yaitu:
“Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap Ayat-ayat al-Qur’ân tentang Wanita
Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3]
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya ayat-ayat tentang wanita, maka penulis
melakukan pembatasan yaitu hanya mengambil beberapa ayat al-Qur’ân
menurut penafsiran Al-Sya’râwî. Dan penulis membahas ayat-ayat al-Qur’ân
yang mendukung penelitian ini, yaitu : QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’
[4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195.
Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul
permasalahan mendasar yang menjadi rumusan penelitian ini, yaitu :
Bagaimana pandangan al- Sya’râwî terhadap wanita karir?
Demikianlah, beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dalam
pembahasan skripsi ini.
C. Kajian Pustaka
Sejauh ini, penulis menemukan karya tulis yang berjudul “Wanita
Karir dalam Perspektif Hadis : Sebuah Kajian Tematik.”Karya Munawwarah.
Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis.9 Di dalam
tulisannya ini Munawwarah hanya mengklasifikasikan wanita karir, peluang
dan tantangan wanita karir serta hukum wanita karir menurut hukum Islam.
Tetapi karena kepentingan Munawwarah hanya untuk ruang lingkup hadis
dalam skripsinya, sehingga tulisannnya tentang peran wanita karir dalam
perspektif al-Qur’ân tersebut tidak ada dan tidak mendalam; “Pengaruh
Wanita Karir Terhadap Perkembangan Keberagaman Anak Remaja” karya
9
Lilis.10 Di dalam tulisan ini, Lilis melakukan metode survei lapangan. Namun
Lilis sama sekali tidak membahas ayat-ayat al-Qur’ân yang menunjukkan
bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk
bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah; “Pengaruh Wanita Karir
Terhadap Perceraian” karya Taufiqurrohman.11 Di dalam tulisan ini membahas
tentang sejauh mana problematika wanita karir dapat memicu terjadinya
perceraian. Taufiq menggunakan metode penelitian lapangan, yakni penelitian
yang langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data yang berkaitan
dengan pokok permasalahan.
Penulis juga menemukan buku oleh Istibsyaroh, (penulis disertasi dari
S3 UIN Syarif Hidayatullah) tentang Hak-hak Perempuan Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya’râwî. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Istibsyaroh ialah, Istibsyaroh meneliti tentang relasi jender oleh
al-Sya’râwî dalam tafsir al-Sya’râwî. Sedang penulis meneliti tentang ayat-ayat
berkaitan wanita karir yang ditafsirkan oleh al-Sya’râwî.
Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan
Istibsyaroh ialah sama-sama membahas tokoh al-Sya’râwî, serta sama-sama
memusatkan perhatian pada penelitian kepustakaan.
Sedangkan tulisan tentang masalah jender sudah banyak buku, artikel,
atau jurnal yang membahasnya, tetapi wanita karir yang dihubungkan dengan
salah satu tafsir tidak penulis temukan.
10
Skripsi UIN tahun 2002.
11
8
Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada.
Kajian ini merupakan kajian tentang “Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap Ayat
-ayat al-Qur’ân tentang Wanita Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] :
32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195).” Penulis mengkaji penafsiran ayat-ayat
dalam al-Qur’ân bahwa tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan
untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.
D. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi
ini adalah:
1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang
berhubungan dengan Tafsir.
2. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum
intelektual) terhadap peran wanita karir.
3. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta ayat-ayat al-Qur’ân
yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki
atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.
4. Mengetahui bagaimana pandangan al-Sya’râwî mengenai hal-hal yang
terkait dengan wanita karir.
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi
masyarakat umum mengenai “Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap al-Qur’ân
tentang Wanita Karir”, diharapkan muncul gambaran objektif dan penilaian
yang jujur.
F. Metodologi Penelitian
Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap
pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk
menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan
berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail
dan dapat dipahami.
Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan
(library research). Yang dimaksud library research adalah menghimpun buku-buku dan bahan-bahan lain dari berbagai sumber yang berkaitan dengan
topik yang dibahas dalam skripsi ini.
Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau
metode tafsir maudhu’i. Adapun yang dimaksud dengan metode tafsir
maudhu’i tersebut adalah menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat yang
berkenaan dengan topik pembahasan tertentu untuk mencari benang merah
dari suatu pesoalan. Atau seperti dikemukakan M.Quraish Shihab bahwa tafsir tematik adalah karya-karya tafsir yang menetapkan suatu topik tertentu,
dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat,
yang berbicara tentang topik tersebut,untuk kemudian dikaitkan dengan yang
10
masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’ân .12 Dalam kaitan ini, maka
topik yang dimaksud adalah ayat-ayat al-Qur’ân yang berkenaan dengan
masalah wanita karir.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007”.
G. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima
bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,
signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab Kedua, Pada bagian ini akan membahas perdebatan tentang wanita karir maka pada pembahasan ini akan dijelaskan peta pemahaman tentang
pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif
wanita berkarir, dan etika diperbolehkannya wanita berkarir.
Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwî Dan Tafsirnya, yang terdiri dari riwayat hidup Muhammad
Mutawallî al-Sya’râwî, karya-karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî,
pandangan ulama tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, serta
pengenalan tafsir al-Sya’râwî.
12
Bab Keempat, Pada bagian ini akan membahas ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan tentang wanita karir serta penafsiran al-Sya’râwî dalam QS.
al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195.
Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab
12
BAB II
SEKILAS TENTANG WANITA KARIR
Al-Qur’ân dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, memberi perhatian
yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan baik
sebagai anak, istri, ibu, maupun sebagai anggota keluarga lainnya dan sebagai
anggota masyarakat. Islam yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunah Rasul itu
menghapuskan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada perbedaan
derajat dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Kalau ada perbedaan, itu
hanya akibat dari fungsi utama masing-masing jenis, sesuai dengan kodratnya.
Perbedaan yang ada, bukan merupakan sesuatu kekurangan, melainkan sebagai
sesuatu yang mengharuskan kerjasama, tolong menolong dan saling melengkapi.
Namun, posisi perempuan seperti ini sering diperdebatkan di masyarakat,
karena adat istiadat yang menetapkan bahwa tidak layak bagi perempuan untuk
bergerak bebas seperti kaum laki-laki, sehingga menurut adat, bahwa perempuan
yang mulia adalah perempuan yang berada dalam rumah (pingitan). Dan
timbulnya anggapan atau ungkapan yang mengatakan, bahwa ajaran Islam itu
menghambat perempuan untuk maju, karena Islam tidak membolehkan
perempuan bekerja di luar rumah dan mengembangkan karirnya, tidak
membolehkan perempuan melakukan kegiatan sosial.1
Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk mengkaji
tentang pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif
1
wanita berkarir, etika diperbolehkannya wanita berkarir, dan fatwa ulama tentang
wanita karir.
A. Pengertian Wanita Karir
Dilihat dari susunan katanya “wanita karir” terdiri dari dua kata, yaitu
wanita dan karir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “wanita” berarti “
perempuan dewasa, dalam artian anak kecil tidak termasuk dalam istilah ini”.2
Sedangkan kata “karir” dalam bahasa Inggris “Career”, yang berarti
perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dengan jabatan dan
sebagainya. Dapat juga diartikan sebagai, pekerja yang dapat memberikan harapan
untuk maju.3 Jadi wanita karir itu adalah wanita yang bergerak atau wanita yang
berusaha untuk memperoleh kemajuan dan perkembangan yang dilandasi dengan
pendidikan dan keahlian.
Sedangkan yang dimaksud dengan wanita karir menurut Hafiz Anshory
adalah wanita yang menekuni salah satu atau beberapa pekerjaan dengan keahlian
tertentu yang dimiliki atau untuk mencapai kemajuan hidup, pekerjaan atau
jabatan.4
Wanita Karir adalah wanita yang aktif berkecimpung dalam kegiatan
profesi. Menurut Kamus Ungkapan Bahas Indonesia berkarir berarti :
a. Perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan.
2
WJS.Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet.Ke-10, h.447.
3
Anton M.Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), Cet.Ke-2, h.207.
4
14
b. Pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.5
Jadi, suatu pekerjaan baru dapat dikatakan karir apabila pekerjaan itu
diperoleh berdasarkan pendidikan khusus atau keterampilan dan merupakan suatu
program tetap yang membutuhkan keseriusan dalam pengembangannya. Di sini
yang paling menentukan adalah adanya keahlian tertentu yang dimiliki dan tidak
bersifat sampingan, yakni merupakan pekerjaan tetap dan memiliki ambisi maju
dalam pekerjaannya.
Berdasarkan uraian di atas, wanita karir mempunyai gambaran tersendiri
seperti yang diungkapkan Siti Muri’ah, bahwa wanita karir memiliki ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Wanita yang aktif untuk melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan.
b. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional sesuai
dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial,
ilmu pengetahuan, ketentaraan, pendidikan maupun bidang-bidang
lainnya.
c. Bidang-bidang yang ditekuni wanita karir dapat mendatangkan kemajuan
dalam kehidupan, pekerjaan atau jabatan dan sebagainya.6
5
Maman S.Mahayana, Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997), h.338.
6
B. Alasan Wanita Berkarir
Ada pun alasan yang mendorong wanita terjun ke dunia karir antara lain:7
1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan wanita karir dalam berbagai
lapangan kerja.
2. Keadaan keuangan suami yang tidak menentu dan memadai mendesak
wanita untuk terjun ke dunia karir.
3. Agar lebih mandiri dalam bidang ekonomi.
4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan
oleh wanita yang menganggap bahwa uang di atas segalanya.
5. Untuk mengisi waktu yang luang. Di antara wanita ada yang merasa bosan
diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah
tangganya.
6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang wanita mungkin
mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah
diatasi. Oleh sebab itu, ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di
luar rumah.
7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan wanita karir.
Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka
kesempatan bagi wanita untuk terjun ke dunia karir.
7
16
Para ulama fikih dalam hal ini membatasi keadaan-keadaan yang
membolehkan wanita bekerja di luar rumah, di antaranya :
1. Rumah tangga memerlukan biaya untuk pengeluaran kebutuhan primer
dan sekunder. Jika suami telah meninggal atau sedang sakit dan rumah
tangga tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami, serta pemerintah
tidak dapat membantu rumah tangga yang kondisinya seperti itu, seorang
istri dibolehkan bekerja di luar rumah dengan pekerjaaan-pekerjaan yang
dibolehkan syara’. Kisah Nabi Musa dan putri-putri Nabi Syu’aib
merupakan contoh untuk keadaan seperti ini. Allah berfirman dalam
QS.al-Qashash [28] : 23-25.
kebaikan8 yang Engkau turunkan kepadaku." Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."
2. Masyarakat memerlukan tenaga wanita untuk bidang-bidang yang sesuai
dengan karakter wanita. Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat
membutuhkan tenaga wanita untuk menjadi dokter, guru dan dosen, serta
pembimbing sosial. Selain itu, masyarakat Islam pun membutuhkan
wartawati untuk majalah-majalah wanita dan membutuhkan
akuntan-akuntan wanita untuk bank-bank Islam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh
agama tidak boleh melarang wanita bekerja di luar rumah, sepanjang
pekerjaannya itu sesuai dengan kodratnya.9
C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam tidak melarang wanita berkarir,
dengan catatan tetap mengikuti aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan. Jika
wanita karir itu tidak mengikuti aturan-aturan Islam maka akan timbul berbagai
dampak positif dan negatif yang menyangkut harga diri dan kepribadian wanita
yang bersangkutan, hak-hak suami dan anak-anak, serta secara otomatis berakibat
buruk terhadap perekonomian rumah tangga dan masyarakat.
8
Yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam ayat ini menurut sebagian besar ahli Tafsir ialah barang sedikit makanan.
9
18
Adapun dampak positif dengan adanya wanita karir antara lain:10
1. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga
yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi
kebutuhan.
2. Wanita dapat memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarganya,
utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan yang
diikutinya, sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam karirnya,
putra-putrinya akan gembira dan bangga, bahkan menjadikan ibunya sebagai
panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.
3. Dalam memajukan serta menyejahterakan masyarakat dan bangsa
diperlukan partisipasi serta keikutsertaan kaum wanita, karena dengan
segala potensinya, wanita mampu dalam hal ini, bahkan ada di antara
pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pria dapat berhasil ditangani
oleh wanita, baik karena keahliannya, maupun karena bakatnya.
4. Wanita dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih bijaksana,
demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan karirnya itu ia bisa memiliki
pola pikir yang moderat. Kalau ada problem dalam rumah tangga yang
harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan keluar secara tepat dan
benar.
5. Dengan berkarir, wanita yang menghadapi kemelut dalam rumah
tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan
jiwanya akan menjadi sehat. Untuk kepentingan kesehatan jiwanya, wanita
10
itu harus gesit bekerja, jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia
akan melamun, berhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang
dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakannya.
Demikian antara lain dampak positif dari wanita karir, tetapi kalau
dipandang dari dimensi lain, sangat memprihatinkan karena membawa dampak
negatif, baik secara sosiologis maupun agamis. Adapun dampak negatif yang
timbul dengan adanya wanita karir antara lain :11
1. Terhadap anak-anak, wanita yang hanya mengutamakan karirnya akan
berpengaruh pada pembinaan dan pendidikan anak-anak, maka tidak aneh
kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan, seperti perkelahian
antarremaja antarsekolah, penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman
keras, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya. Apabila hal ini tidak
diatasi dengan segera maka akan merugikan anak-anak dan masyarakat.
Hal ini harus diakui sekalipun tidak bersifat menyeluruh bagi setiap
individu yang berkarir. Akibat dari kurangnya komunikasi antara ibu dan
anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa tidak
diperhatikan oleh orang tuanya. Sopan santun mereka terhadap orang
tuanya akan memudar. Bahkan sama sekali tidak mau mendengar nasihat
orang tuanya. Pada umumnya hal ini disebabkan karena sang anak merasa
tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya, sehingga jiwanya
memberontak. Sebagai pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka
11
20
berbuat dan bertindak seenaknya tanpa memperhatikan norma-norma yang
ada dilingkungan masyarakatnya.
2. Terhadap suami, di balik kebanggaan suami yang mempunyai istri wanita
karir yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan masyarakat tidak
mustahil menemui persoalan-persoalan dengan istrinya. Istri yang bekerja
di luar rumah setelah pulang dari kerjanya tentu ia merasa capek, dengan
demikian kemungkinan ia tidak dapat melayani suaminya dengan baik,
sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami.
3. Terhadap rumah tangga, kadang-kadang rumah tangga berantakan
disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai wanita karir yang
waktunya banyak tersisa oleh pekerjaannya di luar rumah. Sehingga ia
tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga.
4. Terhadap kaum laki-laki banyak yang menganggur akibat adanya wanita
karir, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena
jatahnya telah direnggut, atau dirampas oleh kaum wanita.
5. Terhadap masyarakat, wanita karir yang kurang memedulikan segi-segi
normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan
atau dalam kehidupan sehari-hari, akan menimbulkan dampak negatif
terhadap kehidupan suatu masyarakat.
6. Wanita lajang yang mementingkan karirnya kadang-kadang bisa
menimbulkan budaya “nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya sebagai
kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan kumpul
kebo”.12
12
D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir
Sebenarnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para pemikir
kontemporer menyangkut perlunya mendudukkan perempuan pada kedudukannya
yang sebenarnya serta memberi mereka peranan, bukan saja dalam kehidupan
rumah tangga melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, semua pihak
mengakui perlunya keadilan, kebebasan, kemajuan, dan pemberdayaan
perempuan. Yang mereka perselisihkan adalah batas-batas dari hal tersebut. Ada
yang sangat sempit dan ketat, tapi ada juga yang sangat luas dan longgar.13
Keterpaksaan atau darurat dilihat dari segi keurgensiannya. Oleh karena
itu, apabila seorang perempuan terpaksa harus bekerja di luar rumahnya, maka dia
haruslah memenuhi etika sebagai berikut :
1. Mendapat izin dari walinya, yaitu Ayah atau suaminya untuk sebuah
pekerjaan yang halal seperti menjadi tenaga pendidik para siswi, atau
menjadi perawat khusus bagi pasien wanita.
2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki, atau melakukan khalwat dengan
lelaki lain.
3. Tidak berlaku tabarruj dan menampakkan perhiasan yang dapat
mengundang fitnah..14
Sedangkan diantara persyaratan yang telah ditetapkan para ulama fiqih
bagi wanita karir adalah :
13
M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.31.
14
22
1. Persetujuan Suami
Adalah hak suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk
bekerja di luar rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan suami
bagi wanita karir merupakan syarat pokok yang harus dipenuhinya karena
laki-laki adalah pengayom dan pemimpin bagi wanita. Dalam QS.
An-Nisa [4] : 34, Allah SWT berfirman :
…
Artinya : “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”
Di antara petunjuk Rasulullah tentang kepergian wanita menuju masjid
adalah sabda berikut ini.
Artinya : “Apabila istri salah seorang kamu minta izin (untuk pergi ke
masjid), maka janganlah di cegah”. (HR.Bukhari)
Berdasarkan hadis itu dapat dikatakan bahwa sekalipun hendak pergi ke
masjid, istri harus meminta izin terlebih dahulu kepada suami, apalagi jika
dia hendak pergi bekerja.
Jadi, penulis berpendapat istri boleh ikut bekerja sama dengan suami, jika
mau, tetapi kewajiban istri untuk menciptakan suasana yang penuh rasa
kasih dan sayang dalam rumah tangga tidak terabaikan serta tidak
memengaruhi ketenangan dan ketentraman rumah tangga.
15
2. Menyeimbangkan Tuntutan Rumah Tangga dan Tuntutan Kerja
Sebagian besar wanita muslimah yang dibolehkan bekerja di luar rumah
karena tuntuntan kebutuhan primer rumah tangganya, tidak mampu
menyamakan dan menyeimbangkan antara tuntutan rumah tangga dan
kerja. Adanya aturan-aturan pekerjaan, baik dari segi waktu maupun dari
segi kesanggupan, menyebabkan seorang istri mengurangi kualitas
pemenuhan kewajiban rumah tangganya atau bahkan memengaruhi
kesehatannya.
Dalam hal ini, istri muslimah harus selalu berkeyakinan bahwa sifat
bekerjanya itu hanyalah sementara, yang pada saatnya nanti akan dilepas
bila telah terpenuhinya kebutuhan. Istri tidak boleh beranggapan bahwa
keluarnya dari rumah itu merupakan hiburan atau pengisi waktu luang,
atau lebih jauh lagi karena motivasi emansipasi atau untuk dapat meraih
kebebasan dalam bidang perekonomian.
3. Pekerjaan Itu Tidak Menimbulkan Khalwat
Yang dimaksud khalwat adalah berduannya laki-laki dan wanita yang
bukan mahram. Pekerjaan yang di dalamnya besar kemungkinan terjadi
khalwat, akan menjerumuskan seorang istri ke dalam kerusakan, misalnya
seorang istri yang menjadi sekretaris pribadi seorang direktur.
4. Menghindari Pekerjaan yang Tidak Sesuai dengan Karekter Psikologis
Wanita
Selain itu, istri harus dapat menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang tidak
24
Dengan demikian, wanita tidak boleh bekerja di pub atau diskotik yang
melayani kaum laki-laki sambil menyanyi atau menari.
5. Menjauhi Segala Sumber Fitnah
Dalam hal ini, keluarnya wanita untuk bekerja harus memegang
aturan-aturan berikut ini :
a. Wanita yang bekerja harus memakai pakaian yang dibolehkan syara’,
berdasarkan QS.al-Ahzab [33] : 59 Allah berfirman :
Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya16ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
b. Wanita yang bekerja harus merendahkan suaranya, dan berkata baik.
c. Wanita yang bekerja tidak boleh memakai wewangian sebab di antara
yang dapat menjadi sumber fitnah adalah aroma wewangian.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda :
16
Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.
17
Artinya : “Wewangian laki-laki adalah yang jelas aromanya, tetapi samar warnanya. Dan wewangian wanita adalah yang
jelas warnanya, tapi samar aromanya”. (HR. Tirmidzi dan Abu Hurairah)
d. Wanita karir harus menundukkan pandangan agar terhindar dari
kemaksiatan dan godaan setan. Allah telah memerintahkan kaum
laki-laki dan wanita untuk menundukkan pandangan dalam QS.an-Nûr [24]
: 30-31, yaitu :
Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
26
lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Rasulullah bersabda :
Artinya : “Tidaklah kutinggalkan fitnah setelah masaku yang lebih berbahaya bagi lelaki selain fitnah yang
ditimbulkan wanita”. (HR.Muslim)19
6. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, Pekerjaan itu
tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita
yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris
khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering
berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya
demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk
menghidangkan minum-minuman keras - padahal Rasulullah Saw. telah
melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya.
Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan
minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram,
bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain
yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun
khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.20
18
Lihat Hadis Tirmidzi, Bab ءاسنلا ةنتف ريذحت يف ء اج ام , Juz 9, h. 459
19
Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, h.145-152.
20
27
A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
Nama Lengkap al-Sya’râwî adalah Muhammad bin Mutawallî al-Sya’râwî
al-Husainia. Al-Sya’râwî lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabi’ Al Tsani 1329 H
bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamir,
ad-Dakhaliyyah. Tentang nasab (keturunan), al-Sya’râwî dalam sebuah kitab berjudul
Anâ Min Sulâlat Ahli al-Bait, menyebutkan bahwa dia merupakan keturunan dari cucu Nabi SAW.,yaitu Husein ra.1
Ketekunan al-Sya’râwî dalam studi al-Qur’ân sudah nampak sejak kecil
di mana sejak ia berusia 11 tahun sudah hafal al-Qur’ân di bawah bimbingan
gurunya ‘Abd al-Majîd Pasha.2 Karenanya, tidak aneh ketika ia dewasa menjadi
salah satu tokoh dalam bidang tarsir kontemporer abad 21.
Adapun pendidikan resminya diawali dengan menuntut ilmu di sekolah
dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Setelah memperoleh ijazah sekolah
dasar al-Azhar pada tahun 1932 M, ia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah
di Zaqaziq dan meraih ijazah sekolah menengah al-Azhar pada tahun 1936 M.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar jurusan bahasa Arab
pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. Ia melanjutkan ke jenjang doctoral
1Sa’îd Abû Al
-‘Ainain, Al-Sya’râwî Anâ Min Sulâlat Ahli Al-Bait, (Al-Qâhirah: Akhbâr Al-Yawm,1955),h.6.
2
28
pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar ‘Âlamiyyat (Lc sekarang) dalam
bidang bahasa dan sastra Arab.3
Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau MA di
Indonesia) al-Sya’râwî menekuni keilmuan bidang syair dan sastra Arab. Hal ini
tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan
Kesusastraan di daerah Zaqaziq. Kemudian pada tahun 1930-an merasakan
bangku kuliah pada Fakultas Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan
S1, ia melanjutkan studi (setingkat S2) mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada
Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum laude.
Setelah menyelesaikan studinya tersebut, al-Sya’râwî menghabiskan
hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga pengajar pada beberapa
perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar
Iskandariyyah, Zaqaziq, Universitas Mâlik Ibn Abdul Azîz Makkah, Universitas
al-Anjal Arab Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selain
mengajar, al-Sya’râwî juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti
menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da’i), mengisi pengajian tafsir al
-Qur’ân yang disiarkan secara langsung melalui layar televisi di Mesir dalam
acara Nûr ‘alâ Nûr. Selanjutnya Mesir mulai mengenal nama al-Sya’râwî. Semua
masyarakat melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya
terhadap al-Qur’ân selama kurang lebih 25 tahun.4
Pada tahun 1976 M, al-Sya’râwî dipilih oleh pimpinan Kabinet Mamdûh
Salim sebagai Menteri Wakaf dan pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk
3
Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwî: Imâm Al-„Asr, (Al-Qâhirah: Handat Misr,1990), h.74.
4
kembali menjadi Menteri Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan
al-Azhar dalam kabinet yang dibentuk oleh Mamdûh Sâlim.
Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat dalam
formatur kabinet yang dibentuk oleh Mustofâ Khalîl. Kemudian ia ditunjuk
menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya universitas “Al-Syu’ûb Al-Islâmiyah
Al-‘Ârabiyyah”, namun al-Sya’râwî menolaknya. Pada tahun 1980 M al-Sya’râwî
diangkat sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia
menolak jabatan strategis ini.
Atas jasa-jasa tersebut, al-Sya’râwî mendapat penghargaan dan lencana
dari Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di
tahun 1983 M pada acara peringatan hari lahir al-Azhar yang ke-1000.
Al-Sya’râwî ditunjuk sebagai anggota litbang (penelitian dan
pengembangan) bahasa Arab oleh lembaga “Mujamma’ al-Khâlidîn”,
perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun
1987 M. Tahun 1988 M memperoleh Wisâm al-Jumhuriyyah, medali kenegaraan
dari presiden Husni Mubarak di acara peringatan hari da’i dan mendapatkan
Jâ’izah al-Daulah al-Taqdîriyyah, penghargaan kehormatan kenegaraan.5
Pada tahun 1990 M, al-Sya’râwî mendapat gelar “Profesor” dari
Universitas Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia
memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Syakhsiyyah al Islâmiyyah al-Ulâ profil
Islami pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapat penghargaan dalam bentuk
uang dari putera mahkota al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini
5
30
kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu’ûts al-Islâmiyah (pelajar yang berasal dari
negara-negara Islam di seluruh dunia).6
Al-Sya’râwî dikenal sebagai seorang da’i yang berwawasan santun, bijak,
dan tegas, sehingga tidak heran jika banyak artis yang mendapatkan hidayah
setelah mendengar dan berdialog dengannya. Di antaranya adalah seorang artis
wanita Mesir yang beragama Yahudi, kemudian meninggalkan dunia glamor,
menunaikan ajaran Islam dengan baik dan turut berdakwah menyampaikan ajaran
Islam.
Di usia 87 tahun, pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Mutawallî al-Sya’rawi
wafat. Jasadnya dimakamkan di Mesir.7
B.Karya-Karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
Al-Sya’râwî tidak menulis karangannya, karena beliau berpendapat
kalimat yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih
mengena dari pada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab
semua manusia akan mendengar dari narasumber yang asli. Hal ini sangat berbeda
dengan tulisan, karena tidak semua orang mampu membacanya. Namun demikian
dia tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbahasakannya menjadi bahasa
tulisan dan tertulis dalam sebuah buku, karena tindakan ini membantu program
sosialisasi pemikirannya dan mencakup asas manfaat yang lebih besar bagi
6
Taha Badri, Qâlû’an Al-Sya’râwî ba’da Râhîlihi, (Qâhirah: Maktabah Turâs Al-Islâmî,t.t.),h.5-6.
7
manusia secara keseluruhan.8 Tapi, ceramah-ceramahnya yang dicetak dalam
bentuk buku mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan buku
Mukjizat al-Qur’ân telah dicetak sebanyak 5 juta eksemplar. Hasil penjualan buku-buku beliau ini ia sumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial.
Di antara kata-kata mutiara al-Sya’râwî adalah,
“Sesungguhnya Allah SWT menyembunyikan tiga hal di dalam tiga hal. Dia menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya. Maka jangan sampai meremehkan ketaatan apapun bentuknya, karena ada seseorang yang memberi minum kepada anjing lalu Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya. Dan Allah SWT menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksitan terhadap-Nya. Sesungguhnya ada seorang wanita yang masuk neraka karena kucing yang ia kurung, ia tidak memberinya makan tidak juga membiarkannya pergi. Dan Allah menyembunyikan rahasia-rahasia-Nya pada diri hamba-hamba-Nya. Maka janganlah kalian menghina seorang hamba-Nya, karena banyak orang yang kusut berdebu, namun jika ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mengabulkan sumpah-Nya itu.” 9
Al-Sya’râwi mempunyai sejumlah karangan-karangan, beberapa orang
yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk disebarluaskan,
sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang paling fenomenal adalah
Tafsir al-Sya’râwi terhadap al-Qur’ân yang Mulia. Dan di antara sebagian hasil
karyanya adalah:
1. Al-Isrâ’ wa al- Mi'râj (Isra dan Mi'raj)
2. Asrâr Bismillâhirrahmânirrahîm (Rahasia dibalik kalimat Bismillahirrahmanirrahim)
3. Al-Islâm wa al-Fikr al-Mu'ashir (Islam dan Pemikiran Modern)
8
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.31.
9
32
4. Al-Fatâwâ al-Kubrâ (Fatwa-fatwa Besar). Kitab ini dicetak oleh Maktabah al-Turâs al-Islâmî dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri
atas 441 halaman dan bagian kedua terdiri atas 483 halaman. Kedua
bagian tersebut berisi pemikiran al-Sya’râwî tentang tafsir dan juga
pertanyaan yang memiliki benang merah dengan tema sekaligus
jawabannya. Bagian pertama membahas iman kepada Allah, makna
amanah dan kapan iman menjadi aqidah dan seterusnya.10
5. 100 al-Suâl wa al-Jawâb fî al-Fiqh al-Islâm (100 Soal Jawab Fiqih Islam)
6. Mu'jizat al-Qur’ân (Kemukjizatan Alquran)
7. 'Alâ al-Mâídat al-Fikr al-Islâmî (Di bawah Hamparan Pemikiran Islam). Kitab ini terdiri atas 203 halaman dan mencakup tema yang
beragam, seperti “Polemik tentang Islam”, “Pembicaraan seputar
pemikiran Islam” dan “Islam dan globalisasi, Islam antara kapitalisme
dan komunisme, Islam kanan dan Islam kiri, jaminan dan Islam”.
Tema-tema ini diformat dalam bentuk tanya jawab yang disampaikan
oleh Majdî al-Khafnawî dan dijawab oleh al-Sya’râwî.11
8. Al-Qadhâ wa al-Qadar (Qadha dan Qadar) 9. Ĥâdzâ Ĥuwa al-Islâm (Inilah Islam)
10. Al-Muntakhab fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Pilihan dari Tafsir
al-Qur’ân al-Karîm).12
10
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.37.
11
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.38.
12
C.Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî
Beberapa ulama dan sarjana yang memberi komentar dan pandangan
terhadap al-Sya’râwî, di antaranya :
‘Abdul Fattâh al-Fâwi, dosen Falsafah di Universitas Dâr Al-‘Ulûm Kairo
berkata: “Sya’rawi bukanlah seorang yang tekstual, beku di hadapan nas, tidak
terlalu cenderung ke akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, akan
tetapi beliau menghormati nash, memakai akal, dan terpancar darinya keterbukaan dan kekharismatikannya”.13
Yûsuf al-Qardawi memandang : “al-Sya’râwî sebagai penafsir yang
handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga mencakup
kisi-kisi kehidupan lainnya, bahkan dalam kesehariannya ia terkesan
menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia
tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.”14
Kecenderungan al-Sya’râwî pada tafsir tidak menjadikan ia lupa dengan
kepiawaiannya dalam mengambil kesimpulan hukum fiqh atas realita kehidupan,
sehingga tidak jarang ia mengeluarkan hukum berdasarkan dalil syar’i dan logis.
Akhirnya, kontribusi al-Sya’râwî dalam berbagai bidang ilmu tidak perlu
diragukan lagi, karenanya tidak sedikit pengikut dan pengagumnya merasa
kehilangan ketika al-Sya’râwî wafat.
Yûsuf al-Qardawi menegaskan dalam pidatonya yang berjudul
Al-Sya’râwî Ilmun min A’lâm Al-Hidâyah bahwa :
13
Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwî: Imâm Al-„Asr, (al-Qâhirah: Handat Misr,1990),h.51.
14
34
“Al-Sya’râwî dalam rutinitas kesaharian cenderung menjalani kehidupan
sufi, walaupun tidak semua manusia menjadikan sufisme sebagai langkah
hidupnya”.
Muhammad Mustafâ Ganîm dalam harian Al-Akhbâr 14 Agustus 1980,
seperti yang dikutip oleh Istibsyaroh adalah :
“Sungguh Allah menganugerahkan kepada al-Sya’râwî ilmu yang melimpah, otak cemerlang, akal yang logis, pemikiran sistematis, hati ikhlas, kemampuan luar biasa dalam menjelaskan dan menafsirkan dengan gaya bahasa sederhana dan jelas, dengan perumpamaan yang dapat dipahami oleh kemampuan akal orang awam,…Sungguh hal ini adalah suatu khazanah yang pantas mendapat penghormatan, penghargaan, dan pengakuan tersendiri”.15
Sementara Ahmad ‘Umar Hasyîm, ketika memberi penilaian terhadap
al-Sya’râwî, menyitir sebuah hadis:
“Allah mengutus di setiap seratus tahun sosok yang membangkitkan (memperbaharui) nuansa Islam”. (HR.Abû Dâwud).16
Dalam kaitannya dengan hadis di atas, Ahmad ‘Umar Hasyîm
memprediksikan hanya Allah yang Maha Mengetahui al-Sya’râwî termasuk
pemimpin umat dan pembaharu nuansa pemikiran Islam sebagaimana kandungan
hadis. Al-Sya’râwî merupakan profil da’i yang mampu menyelesaikan
permasalahan umat secara proporsional. Beliau tidak menolak mentah-mentah
inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dengan penemuan ilmiah terutama
yang berkaitan erat dengan substansi al-Qur’ân. Namun demikian ia tetap
menganalisanya. Oleh karenanya, tidak salah apabila ia memperoleh gelar
pembaharu Islam, Mujaddid al-Islâm.
15
Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.42.
16
Ahmad ‘Umar Hasyîm juga mengatakan bahwa karangan-karangan
al-Sya’râwî merupakan harta kekayaan yang sangat berkualitas, karena ia mencakup
semua segi kehidupan. Karangannya tidak hanya memuat satu permasalahan
fenomenal saja, tetapi juga membahas permasalahan kontemporer yang dihadapi
umat di era globalisasi secara keseluruhan. Akhirnya, merupakan kewajaran
apabila umat Islam mengelu-elukannya.
Ibrâhîm al-Dasûkî, teman karib al-Sya’râwî berpendapat, al-Sya’râwî
merupakan pemimpin para da’i. Dia sangat lihai dalam berdakwah. Al-Sya’râwî
tidak hanya berdakwah melalui media lisan dan tulisan, tetapi juga
mengaplikasikannya dalam tataran praktis. Karangan-karangan al-Sya’râwî cukup
menunjukkan tingkat kepandaiannya dalam berdakwah dan berkontemplasi
(perenungan) dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan kecerdasannya ini akan terlihat
jelas manakala al-Sya’râwî mengolah kata-kata yang dirangkum dalam simbol
interprestasinya terhadap al-Qur’ân yang bukan sekedar ucapan saja, melainkan
juga meresap di hati.17
Dari beberapa pandangan para ulama dan sarjana tentang al-Sya’râwî di
atas, dapat diketahui betapa besar pengaruh al-Sya’râwî di masyarakat.
Keikhlasannya, kekharismatikannya, keulamaannya, dan keprofesionalannya
diakui oleh semua lapisan termasuk oleh ulama, sarjana, dan sebagainya. Suatu
hal yang paling penting, dia mempunyai kelebihan, di samping da’i yang mampu
menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang mudah dan sederhana
sehingga dapat dipahami oleh kalangan masyarakat, sekalipun yang paling awam.
17
36
D.Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî
Tafsir ini dinamakan Tafsir al-Sya’râwî, diambil dari nama penulisnya. Menurut Muhammad ‘Alî Iyâzy judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsir Khawâtir al-Sya’râwî Haul al-Qur’ân al-Karim. Pada mulanya, tafsir ini hanya diberi nama Khawâtir al-Sya’râwî yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawatir) dari diri al-Sya’râwî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang tentunya bisa saja salah dan benar.18 Al-Sya’râwî dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan
bahwa :
“Hasil renungan saya terhadap al-Qur’ân bukan berarti tafsiran al-Qur’ân , melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur’ân . Kalau memang al-Qur’ân dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada Rasulullah ia diturunkan. Dia banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur’ân dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur’ân tentang alam semesta, tidak ia sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah SWT.”19
Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya’râwî
yakni Muhammad al-Sinrâwi, ‘Abd al-Wâris al-Dasuqî dari kumpulan
pidato-pidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya’râwî . Sementara itu,
hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-Sya’râwî di takhrij oleh Ahmad ‘Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbâr al-Yawm Idarah al-Kutub wa
al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya’râwî meninggal
dunia). Dengan demikian, Tafsir al-Sya’râwî ini merupakan kumpulan hasil-hasil
18
www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010.
19
pidato atau ceramah al-Sya’râwî yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku
oleh murid-muridnya. 20
Sebelum berbicara tentang suatu tema, al-Sya’râwî biasa menyendiri
beberapa saat untuk berfikir dan merenung. Setelah itu dia keluar dengan ilmu
yang Allah berikan kepadanya. Dengan menyendiri, seseorang dapat lebih
konsentrasi sehingga menghasilkan hasil yang optimal,21 seperti dalam QS.
Saba’[34] : 40 :
“Katakanlah, sesungguhnya aku memperingatkan kepada kalian tentang
suatu hal, yaitu supaya kalian menghadap Allah dengan ikhlas berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kalian fikirkan hal itu…”
Al-Sya’râwî sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu merujuk
beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Râzî, Zamakhsyarî, Sayyid
Quthb, al-Alûsî, dan lain-lain.
Pada saat menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya’râwî tidak
memegang tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur’ân . Dengan teliti,
diuraikan kandungan al-Qur’ân ayat per ayat, bahkan kata per kata dan korelasi
antara satu ayat dengan ayat sebelumnya.
Sistematikanya dimulai dengan muqaddimah, menerangkan makna
ta’awuz, dan tartib nuzul al-Qur’ân . Dalam memulai menafsirkan setiap surat,
beliau mulai dengan menjelaskan makna surat, hikmahnya, hubungan surat yang
ditafsirkan dengan surat sebelumnya kemudian menjelaskan maksud ayat dengan
menghubungkan ayat lain sehingga disebut menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan
al-Qur’ân .
20
www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010.
21
38
Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Qur’ân
merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang
disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat yang lain. Ketentuan
yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam
suatu ayat di-takhsis oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas).22
Dalam menafsirkan ayat atau kelompok ayat, al-Sya’râwî menganalisis
dengan bahasa yang tajam dari lafadz yang dianggap penting dengan berpedoman
pada kaidah-kaidah bahasa dari aspek nahwu, balaghah, dan lain sebagainya.
Sedangkan dalam menafsirkan ayat aqidah dan iman beliau mengikuti mufasir
terdahulu, seperti Muhammad Abduh, Rasyîd Rîda, dan Sayyid Quthb.23 Dalam
hal ini al-Sya’râwî membahasnya secara mendalam dan mendetail dengan
argumen yang rasional dan ilmiah agar keyakinan dan ketauhidan mukminin lebih
mantap, dan mengajak selain mereka untuk masuk dalam agama Allah yaitu
Islam.
Menurut ‘Umar Hasyîm, metodelogi al-Sya’râwî dalam tafsirnya
bertumpu kepada pembedahan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan
mengembangkan ke dalam bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara
asal kata dengan kata jadiannya.24
22
Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’ân Perkenalan dengan Metodelogi Tafsir,terj. M.Muhtar Zoeni dan Abdul Qad’ir Hamid, (Bandung:Pustaka, 1987), h.24-25.
23 Muhammad ‘Alî Iyâzy,
Al-Mufassrûn Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:
Mu’assasah Al-Thabâ’ah wa Al-Nasyr,t.t), h.270.
24
Tafsir al-Sya’râ