• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran al-syarawi terhadap ayat-ayat al-qur'an tentang wanita karir: Qs. Al-Taubah (90:71, Qs Al-Nisa' (4): 32 dan Qs.Ali imran :'195

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penafsiran al-syarawi terhadap ayat-ayat al-qur'an tentang wanita karir: Qs. Al-Taubah (90:71, Qs Al-Nisa' (4): 32 dan Qs.Ali imran :'195"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENAFSIRAN AL-

SYA’RÂWÎ

TERHADAP AL-

QUR’ÂN

TENTANG

WANITA KARIR

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)

Oleh

Riesti Yuni Mentari

NIM: 107034001469

PROGRAM STUDI TAFSIR-HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan Kepada: Nenek, Mama, Papa, Adik,

Sahabat dan Keluarga Besar Ibu Supriyati

Hati Tercinta

(5)
(6)

i

“Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap al-Qur’ân tentang Wanita Karir”

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum intelektual) terhadap peran wanita karir. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta penafsiran al-Sya’râwî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.

Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan

(library research). Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau metode tafsir maudhu’i.

Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur’ân yang terkenal pada masa modern dan merupakan Imam pada masa kini, beliau memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Qur’ân, dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya, hal tersebutlah yang menjadikan penulis merasa metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan.

(7)

ii

PEDOMAN TANSLITERASI (ARAB-LATIN) A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak Dilambangkan

ب

B Be

ت

T Te

ث

Ts Te dan Es

ج

J Je

ح

H Ha dengan garis bawah

خ

Kh Ka dan Ha

د

D De

ذ

Dz De dan Zet

ر

R Er

ز

Z Zet

س

S Es

ش

Sy Es dan Ye

ص

S Es dengan garis di bawah

ض

D De dengan garis di bawah

ط

T Te dengan garis di bawah

ظ

Z Zet dengan garis di bawah

ع

‘ Koma terbalik di atas hadap kanan

غ

Gh Ge dan Ha

ف

F Ef

ق

Q Ki

ك

K Ka

ل

L El

م

M Em

ن

N En

ه

H Ha

و

W We

ء

‘ Apostrof

ى

Tidak dilambangkan
(8)

iii

---

Fathah a a

---

Kasrah i i

Dhammah u u

C. Vokal Rangkap (Madd)/Diftong

Simbol Arab Nama Latin Keterangan

---ي

Fathah dan Ya ai A dan I

---و

Fathah dan Waw au A dan U

D. Vokal Panjang (Madd)

Simbol Arab Nama Latin Keterangan

---ا

---ى

Fathah diikuti

oleh Alif atau Ya â a dengan tanda di atas

و

---

Dhammah diikuti oleh Wawu û u dengan tanda di atas

---ي

Kasrah diikuti

Ya î i dengan tanda di atas

E. Partikel (لا)

Transliterasi partikel (لا) adalah dengan huruf /l/, baik diikuti oleh huruf-huruf Syamsiyyah maupun huruf-huruf Qomariyah. Contoh: al-Sama’, bukan

as-Sama’, al-Ridha, bukan ar-Ridha.

F. Ta Marbûţah (ۃ)

Ada 2 trasliterasi atau alih aksara bagi ‘Ta Marbûţah (ۃ)’, yaitu:

1. Jika ta terdapat pada kata yang berdiri sendiri, atau diikuti oleh kata sifat (Na’at), atau harakatnya disukunkan, atau berada pada akhir kalimat, maka transliterasinya adalah dengan huruf /h/. contoh: al-Madrasah, al-Jami’ah al-Islamiyyah, atau hujjah, dan lain sebagainya

(9)

iv

G. Tasydîd

Transliterasi tasydid adalah dengan menggandakan hurufnya (konsonan), contoh: Allafa, Saqqaf, dan lain sebagainya.

H. Kata-kata yang telah populer

(10)

v

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat dan salam selalu dicurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarganya, sahabatnya, dan seluruh pengikutnya yang setia mentaati, mengikuti

dan memegang teguh ajarannya hingga akhir zaman.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penyelesaian skripsi ini,

penulis menyadari dengan sepenuh hati, banyak sekali kekurangan dan mengalami

berbagai kesulitan dan hambatan, namun berkat bantuan, dorongan dan

pengarahan dari berbagai pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna

memenuhi persyaratan akademik yang harus ditempuh dalam mencapai gelar

sarjana Theologi Islam Program Strata Satu (S1) Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan

terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah banyak membantu dan mendukung penulis, secara khusus penulis

menghanturkan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. Bustamin, M.Si, dan Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku

ketua jurusan dan Sekretaris jurusan Tafsir Hadis UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan

dan administrasi.

2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA dan Bapak Drs. Ahmad Rifqi Mukhtar,MA

yang telah banyak meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,

pengarahan dan petunjuk-petunjuk kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

3. Segenap Bapak dan Ibu Dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak memberikan ilmunya kepada

(11)

vi

4. Pimpinan perpustakaan UIN Jakarta Fakultas Ushuluddin, perpustakaan

Lentera milik Bapak Quraish Shihab serta seluruh stafnya, dan

perpustakaan Iman Jama serta seluruh stafnya, yang telah memberikan

bantuan kepada penulis untuk mengumpulkan dan melengkapi bahan

skripsi ini.

5. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Suryatiningsih dan Bapak Rizal,

serta nenek tercinta, Keluarga Besar Hj.Sudharsono, SH, serta adik-adikku

tersayang (Riva, Rio, Shinta) yang telah banyak berjasa baik moril

maupun materil, yang tidak terbatas, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-teman penulis di manapun berada dan sahabat-sahabat Tafsir Hadis

B angkatan 2007/2008, khususnya teman seperjuangan Zahrul Athriyah

yang selalu memberikan masukan dan ilmunya, Ni’ma Diana, Nur Faiza,

Zieh, dan Imam Zaki Fuad yang selalu bisa memberikan masukan dan

rekan kerja SOLUSI BINTARO, khususnya; Bapak Tarnoto, Izzah Nasir,

Mas Roby dan Sholihin yang memberikan kemudahan penulis sehingga

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

7. Sahabat-sahabat yang setia, teman-teman KKN yang selalu kompak,

Lukman Al-dillah yang selalu setia, dan seluruh sahabat penulis yang tidak

dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan serta doa.

Jazakumullah khairun katsiron.

Atas semua itu, penulis hanya dapat memanjatkan doa kepada Allah SWT,

semoga amal baiknya di terima oleh Allah SWT dan mendapat balasan yang lebih

banyak serta menjadi amal saleh.

Akhirnya, penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi

penulis khususnya dan bagi segenap pencari ilmu pada umumnya.

Jakarta, Maret 2011

(12)

vii

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

ABSTRAK ... i

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Kajian Pustaka ... 6

D. Tujuan Penelitian ... 8

E. Signifikansi Penelitian ... 8

F. Metodelogi Penelitian ... 9

G. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II SEKILAS TENTANG WANITA KARIR ... 12

A. Pengertian Wanita Karir ... 13

B. Alasan Wanita Berkarir ... 15

C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga ... 17

1. Dampak Positif ... 18

2. Dampak Negatif ... 19

D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir ... 21

BAB III MUHAMMAD MUTAWALLÎ AL-SYA’RÂWÎ DAN TAFSIRNYA ... 27

A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî ... 27

(13)

viii

C. Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî

al-Sya’râwî ... 33

D. Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî ... 36

BAB IV PENAFSIRAN AL-SYA’RÂWÎ TENTANG WANITA KARIR DALAM AYAT-AYAT AL-QUR’ÂN ... 43

A. Wanita Karir Dalam Dunia Politik ... 43

B. Hak Wanita untuk Berprestasi ... 48

C. Hak Wanita untuk Berkarir ... 55

BAB V PENUTUP ... 61

A. Kesimpulan ... 61

B. Kritik dan saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(14)

1

A. Latar Belakang Masalah

Pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai status dan

peran perempuan masih terbagi dalam dua kutub yang berseberangan. Di satu

sisi, umumnya berpendapat bahwa perempuan harus di dalam rumah,

mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik. Di sisi lain,

berkembang pula anggapan bahwa perempuan harus bebas sesuai dengan

haknya tentang kebebasan.

Bagi umat Islam sendiri, perbedaan pandangan tersebut sangat

berkaitan erat dengan adanya perbedaan dalam memahami teks-teks al-Qur’ân

yang berbicara tentang perempuan.

Perempuan pada era sekarang banyak mengambil peran publik dan

sosial. Fenomena ini diklaim sebagi simbol equality (keadilan) antara laki-laki dan perempuan, bahkan tidak sedikit dari pihak perempuan menuntut keadilan

dan persamaan hak di segala bidang. Tetapi agama masih sering dijadikan

dalih untuk menekan laju konsep kesetaraan jender (gender equity) dan memarjinalkan peran perempuan dalam bidang-bidang yang bersinggungan

dengan publik. 1

1

(15)

2

Kaitannya dengan peran ganda yang diambil oleh perempuan, para

ulama banyak mempertanyakan apakah formasi kesetaraan bagi perempuan

seperti bekerja di luar rumah tidak bertentangan dengan firman Allah:



“...Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari

perempuan (istrinya)...”2













…..

“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah

menafkahkan sebagian dari harta mereka...”3

Al-Sya’râwî menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut :

"Laki-laki bertanggung jawab kepada perempuan" pada awalnya sebagian mufassir tidak menafsirkan ayat ini kecuali tentang seorang laki-laki terhadap istrinya. Padahal sesungguhnya ayat ini berbicara tentang laki-laki dan perempuan secara mutlak (umum) bukan hanya laki-laki (suami) kepada istri, juga bapak bertanggung jawab kepada anak perempuan, saudara laki-laki kepada saudara perempuan.

Menurut Al-Sya’râwî :

"Qawwâm adalah mubalaghah dari qiyâm itu capai atau payah. Sehingga laki-laki yang bertanggung jawab kepada perempuan, berarti berusaha untuk memperbaiki kehidupan perempuan dengan susah payah. Laki-laki sebenarnya hanya berkepentingan memperbaiki masalah andaikata laki-laki itu baik.

Kata al-rijâl itu umum, al-nisâ' juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memeberikan keutamaan kepada sebagian

2

Lihat Q.S Al-Baqarah [2]: 228

3

(16)

mereka. Keutamaan atau tafdhîl disini yang dimaksud adalah laki-laki yang kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan.4

Dari Q.S An-Nisa’[4]: 34 di atas, artinya laki-laki bertanggung jawab pada

keluarga karena memberi nafkah. Bagaimana jika yang kerja dan memberi

nafkah adalah istri atau wanita, tentu lain masalahnya.

Sebenarnya Islam membolehkan perempuan melakukan peran-peran

yang tidak bertentangan dengan kodratnya untuk ditanganinya karena Islam

tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal apa pun, termasuk hal

pekerjaan.

Dalam banyak hal, wanita diberikan hak-hak dan kewajiban serta

kesempatan yang sama dengan pria. Namun dalam masalah-masalah yang

berkaitan dengan kodrat dan martabat wanita, Islam menempatkan sesuai

dengan kedudukannya.5

Islam menghormati wanita dengan penghormatan yang sangat luhur

serta mengangkat martabatnya dari sumber keburukan dan kehinaan, dari

penguburan hidup-hidup dan perlakuan buruk ke kedudukan yang terhormat

dan mulia, sebab wanita menjadi ibu dan sebagai istri yang harus diperlakukan

dengan lemah lembut dan kehalusan.6

Seorang wanita mukminah yang teguh dalam ketaatannya, maka Allah

telah menyediakan baginya seperti apa yang telah disediakan-Nya bagi kaum

4

M.Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsir Sya’rawi, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid IV, h.2202.

5

Mohammad Koderi, Bolehkah Wanita Menjadi Imam Negara, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h.49-50.

6

(17)

4

mukminin, tidak ada perbedaan antara pria dan wanita dalam hal ini. Dalam

Q.S.Al-Nahl [16] : 97, Allah berfirman :

Artinya : “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki laki

maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sungguh akan

kami berikan kepadanya kehidupan yang baik..”

Al-‘Aqqâd mengatakan dalam bukunya Al-Mar’ah fi Al-Qur’ân, seperti yang dikutip oleh Muhammad al-Bar adalah :

“ Konsep hak, dasarnya sama, bahwa pria dan wanita sama dalam segala sesuatu. Wanita mempunyai hak seperti yang dimiliki pria, dan mempunyai kewajiban seperti kewajiban pria. Kemudian, bahwa laki-laki dilebihkan dengan satu derajat, yaitu sebagai pemimpin yang telah ditetapkan dengan fitrahnya. Dalam hal ini bukan berarti keluar dari konsep persamaan yang telah disamakan dalam hak dan kewajiban, sebab setiap tambahan hak diimbangi dengan tambahan serupa dalam kewajiban, demikianlah persamaan yang bijaksana.7

Diskusi tentang wanita dalam Islam selalu menarik. Islam memberikan

perhatian yang besar terhadap kaum wanita dan segi-segi kehidupan mereka.

Dari ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis-hadis Nabi. Tidak sulit membuktikan

betapa Islam sungguh-sungguh memperhatikan persoalan wanita dan

menempatkan mereka pada tempat yang terhormat.8

Di dalam ajaran Islam, wanita juga mempunyai hak dan kesempatan

untuk berkarir dengan tidak melalaikan fungsi dan kedudukannya sebagai

wanita. Islam juga memberikan dorongan yang kuat agar para muslimah dapat

7

Muhammad Albar, Wanita Karir Dalam Timbangan Islam : Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual, h.18-19.

8

(18)

berkarir di segala bidang. Islam membebaskan wanita dari belenggu

kebodohan, ketertinggalan, dan perbudakan.

Islam telah melarang semua itu, bahkan telah menyatakan bagian

tetentu bagi wanita, dalam Q.S.An-Nisa [4] : 7, Allah berfirman :

Artinya : “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harga peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak

menurut bagian yang telah ditetapkan.”

Dalam hal ini penulis membatasi pembahasan pada wanita karir dalam

tafsir Al-Sya’râwî. Penulis mengambil penafsir kontemporer seperti

Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwi karena salah satu ahli tafsir al-Qur’ân

yang terkenal pada masa modern dan merupakan tokoh pada masa kini, beliau

memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan

sangat mudah dan sederhana, beliau juga memiliki usaha yang luar biasa besar

dan mulia dalam bidang dakwah Islam.

Untuk itu penulis merasa tertarik untuk mengkaji, selanjutnya penulis

merumuskan tema penelitian ini dalam sebuah judul skripsi ini yaitu:

“Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap Ayat-ayat al-Qur’ân tentang Wanita

Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3]

(19)

6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Mengingat banyaknya ayat-ayat tentang wanita, maka penulis

melakukan pembatasan yaitu hanya mengambil beberapa ayat al-Qur’ân

menurut penafsiran Al-Sya’râwî. Dan penulis membahas ayat-ayat al-Qur’ân

yang mendukung penelitian ini, yaitu : QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’

[4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195.

Berangkat dari Latar Belakang Masalah tersebut di atas, muncul

permasalahan mendasar yang menjadi rumusan penelitian ini, yaitu :

Bagaimana pandangan al- Sya’râwî terhadap wanita karir?

Demikianlah, beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dalam

pembahasan skripsi ini.

C. Kajian Pustaka

Sejauh ini, penulis menemukan karya tulis yang berjudul “Wanita

Karir dalam Perspektif Hadis : Sebuah Kajian Tematik.”Karya Munawwarah.

Mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, jurusan Tafsir Hadis.9 Di dalam

tulisannya ini Munawwarah hanya mengklasifikasikan wanita karir, peluang

dan tantangan wanita karir serta hukum wanita karir menurut hukum Islam.

Tetapi karena kepentingan Munawwarah hanya untuk ruang lingkup hadis

dalam skripsinya, sehingga tulisannnya tentang peran wanita karir dalam

perspektif al-Qur’ân tersebut tidak ada dan tidak mendalam; “Pengaruh

Wanita Karir Terhadap Perkembangan Keberagaman Anak Remaja” karya

9

(20)

Lilis.10 Di dalam tulisan ini, Lilis melakukan metode survei lapangan. Namun

Lilis sama sekali tidak membahas ayat-ayat al-Qur’ân yang menunjukkan

bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan untuk

bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah; “Pengaruh Wanita Karir

Terhadap Perceraian” karya Taufiqurrohman.11 Di dalam tulisan ini membahas

tentang sejauh mana problematika wanita karir dapat memicu terjadinya

perceraian. Taufiq menggunakan metode penelitian lapangan, yakni penelitian

yang langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data yang berkaitan

dengan pokok permasalahan.

Penulis juga menemukan buku oleh Istibsyaroh, (penulis disertasi dari

S3 UIN Syarif Hidayatullah) tentang Hak-hak Perempuan Relasi Jender menurut Tafsir al-Sya’râwî. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Istibsyaroh ialah, Istibsyaroh meneliti tentang relasi jender oleh

al-Sya’râwî dalam tafsir al-Sya’râwî. Sedang penulis meneliti tentang ayat-ayat

berkaitan wanita karir yang ditafsirkan oleh al-Sya’râwî.

Adapun persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan

Istibsyaroh ialah sama-sama membahas tokoh al-Sya’râwî, serta sama-sama

memusatkan perhatian pada penelitian kepustakaan.

Sedangkan tulisan tentang masalah jender sudah banyak buku, artikel,

atau jurnal yang membahasnya, tetapi wanita karir yang dihubungkan dengan

salah satu tafsir tidak penulis temukan.

10

Skripsi UIN tahun 2002.

11

(21)

8

Dengan demikian, kajian ini berbeda dengan kajian yang telah ada.

Kajian ini merupakan kajian tentang “Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap Ayat

-ayat al-Qur’ân tentang Wanita Karir (QS. al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] :

32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195). Penulis mengkaji penafsiran ayat-ayat

dalam al-Qur’ân bahwa tidak ada larangan bagi laki-laki atau perempuan

untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.

D. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan utama penelitian dalam proposal skripsi

ini adalah:

1. Memberikan sumbangsih dalam kajian-kajian keislaman terutama yang

berhubungan dengan Tafsir.

2. Mengetahui dan mendeskripsikan tanggapan dan sikap ulama (kaum

intelektual) terhadap peran wanita karir.

3. Mengetahui syarat dan dampak wanita berkarir, serta ayat-ayat al-Qur’ân

yang menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada larangan bagi laki-laki

atau perempuan untuk bekerja, baik di dalam ataupun di luar rumah.

4. Mengetahui bagaimana pandangan al-Sya’râwî mengenai hal-hal yang

terkait dengan wanita karir.

E. Manfaat/Signifikansi Penelitian

Kiranya hasil penelitian ini akan berguna untuk memberikan informasi

(22)

masyarakat umum mengenai “Penafsiran al-Sya’râwî Terhadap al-Qur’ân

tentang Wanita Karir”, diharapkan muncul gambaran objektif dan penilaian

yang jujur.

F. Metodologi Penelitian

Sebagaimana karya-karya ilmiah pada sebuah disiplin ilmu, setiap

pembahasan masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk

menganalisa permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan

berpijak dalam mengelaborasinya sehingga dapat dijelaskan secara mendetail

dan dapat dipahami.

Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukan penelitian kepustakaan

(library research). Yang dimaksud library research adalah menghimpun buku-buku dan bahan-bahan lain dari berbagai sumber yang berkaitan dengan

topik yang dibahas dalam skripsi ini.

Sementara itu, pembahasannya sendiri menggunakan pendekatan atau

metode tafsir maudhu’i. Adapun yang dimaksud dengan metode tafsir

maudhu’i tersebut adalah menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat yang

berkenaan dengan topik pembahasan tertentu untuk mencari benang merah

dari suatu pesoalan. Atau seperti dikemukakan M.Quraish Shihab bahwa tafsir tematik adalah karya-karya tafsir yang menetapkan suatu topik tertentu,

dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat dari beberapa surat,

yang berbicara tentang topik tersebut,untuk kemudian dikaitkan dengan yang

(23)

10

masalah tersebut menurut pandangan al-Qur’ân .12 Dalam kaitan ini, maka

topik yang dimaksud adalah ayat-ayat al-Qur’ân yang berkenaan dengan

masalah wanita karir.

Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, 2007”.

G. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi bahasan menjadi lima

bab dengan rincian sebagai berikut:

Bab Pertama, Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian,

signifikansi penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab Kedua, Pada bagian ini akan membahas perdebatan tentang wanita karir maka pada pembahasan ini akan dijelaskan peta pemahaman tentang

pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif

wanita berkarir, dan etika diperbolehkannya wanita berkarir.

Bab Ketiga, Pada bagian ini akan membahas Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwî Dan Tafsirnya, yang terdiri dari riwayat hidup Muhammad

Mutawallî al-Sya’râwî, karya-karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî,

pandangan ulama tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, serta

pengenalan tafsir al-Sya’râwî.

12

(24)

Bab Keempat, Pada bagian ini akan membahas ayat-ayat al-Qur’ân yang berkaitan tentang wanita karir serta penafsiran al-Sya’râwî dalam QS.

al-Taubah [9] : 71, QS. al-Nisā’ [4] : 32, dan QS.Ali Imrân [3] : 195.

Bab Kelima, Penutup. Sebagai penutup pembahasan ini akan ditarik kesimpulan dan menjawab permasalahan yang telah dibahas di bab-bab

(25)

12

BAB II

SEKILAS TENTANG WANITA KARIR

Al-Qur’ân dan hadis sebagai sumber ajaran Islam, memberi perhatian

yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada perempuan baik

sebagai anak, istri, ibu, maupun sebagai anggota keluarga lainnya dan sebagai

anggota masyarakat. Islam yang bersumber dari al-Qur’ân dan sunah Rasul itu

menghapuskan diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Tidak ada perbedaan

derajat dan kedudukan perempuan dengan laki-laki. Kalau ada perbedaan, itu

hanya akibat dari fungsi utama masing-masing jenis, sesuai dengan kodratnya.

Perbedaan yang ada, bukan merupakan sesuatu kekurangan, melainkan sebagai

sesuatu yang mengharuskan kerjasama, tolong menolong dan saling melengkapi.

Namun, posisi perempuan seperti ini sering diperdebatkan di masyarakat,

karena adat istiadat yang menetapkan bahwa tidak layak bagi perempuan untuk

bergerak bebas seperti kaum laki-laki, sehingga menurut adat, bahwa perempuan

yang mulia adalah perempuan yang berada dalam rumah (pingitan). Dan

timbulnya anggapan atau ungkapan yang mengatakan, bahwa ajaran Islam itu

menghambat perempuan untuk maju, karena Islam tidak membolehkan

perempuan bekerja di luar rumah dan mengembangkan karirnya, tidak

membolehkan perempuan melakukan kegiatan sosial.1

Berkenaan dengan hal tersebut, maka penulis mencoba untuk mengkaji

tentang pengertian wanita karir, alasan wanita berkarir, dampak positif dan negatif

1

(26)

wanita berkarir, etika diperbolehkannya wanita berkarir, dan fatwa ulama tentang

wanita karir.

A. Pengertian Wanita Karir

Dilihat dari susunan katanya “wanita karir” terdiri dari dua kata, yaitu

wanita dan karir. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “wanita” berarti “

perempuan dewasa, dalam artian anak kecil tidak termasuk dalam istilah ini”.2

Sedangkan kata “karir” dalam bahasa Inggris “Career”, yang berarti

perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan dengan jabatan dan

sebagainya. Dapat juga diartikan sebagai, pekerja yang dapat memberikan harapan

untuk maju.3 Jadi wanita karir itu adalah wanita yang bergerak atau wanita yang

berusaha untuk memperoleh kemajuan dan perkembangan yang dilandasi dengan

pendidikan dan keahlian.

Sedangkan yang dimaksud dengan wanita karir menurut Hafiz Anshory

adalah wanita yang menekuni salah satu atau beberapa pekerjaan dengan keahlian

tertentu yang dimiliki atau untuk mencapai kemajuan hidup, pekerjaan atau

jabatan.4

Wanita Karir adalah wanita yang aktif berkecimpung dalam kegiatan

profesi. Menurut Kamus Ungkapan Bahas Indonesia berkarir berarti :

a. Perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, dan jabatan.

2

WJS.Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), Cet.Ke-10, h.447.

3

Anton M.Moelyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989), Cet.Ke-2, h.207.

4

(27)

14

b. Pekerjaan yang memberikan harapan untuk maju.5

Jadi, suatu pekerjaan baru dapat dikatakan karir apabila pekerjaan itu

diperoleh berdasarkan pendidikan khusus atau keterampilan dan merupakan suatu

program tetap yang membutuhkan keseriusan dalam pengembangannya. Di sini

yang paling menentukan adalah adanya keahlian tertentu yang dimiliki dan tidak

bersifat sampingan, yakni merupakan pekerjaan tetap dan memiliki ambisi maju

dalam pekerjaannya.

Berdasarkan uraian di atas, wanita karir mempunyai gambaran tersendiri

seperti yang diungkapkan Siti Muri’ah, bahwa wanita karir memiliki ciri-ciri

sebagai berikut :

a. Wanita yang aktif untuk melakukan kegiatan untuk mencapai suatu tujuan.

b. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan professional sesuai

dengan bidang yang ditekuninya, baik di bidang politik, ekonomi, sosial,

ilmu pengetahuan, ketentaraan, pendidikan maupun bidang-bidang

lainnya.

c. Bidang-bidang yang ditekuni wanita karir dapat mendatangkan kemajuan

dalam kehidupan, pekerjaan atau jabatan dan sebagainya.6

5

Maman S.Mahayana, Kamus Ungkapan Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia, 1997), h.338.

6

(28)

B. Alasan Wanita Berkarir

Ada pun alasan yang mendorong wanita terjun ke dunia karir antara lain:7

1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan wanita karir dalam berbagai

lapangan kerja.

2. Keadaan keuangan suami yang tidak menentu dan memadai mendesak

wanita untuk terjun ke dunia karir.

3. Agar lebih mandiri dalam bidang ekonomi.

4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan

oleh wanita yang menganggap bahwa uang di atas segalanya.

5. Untuk mengisi waktu yang luang. Di antara wanita ada yang merasa bosan

diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah

tangganya.

6. Untuk mencari ketenangan dan hiburan. Seorang wanita mungkin

mempunyai kemelut yang berkepanjangan dalam keluarganya yang susah

diatasi. Oleh sebab itu, ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di

luar rumah.

7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan wanita karir.

Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka semakin terbuka

kesempatan bagi wanita untuk terjun ke dunia karir.

7

(29)

16

Para ulama fikih dalam hal ini membatasi keadaan-keadaan yang

membolehkan wanita bekerja di luar rumah, di antaranya :

1. Rumah tangga memerlukan biaya untuk pengeluaran kebutuhan primer

dan sekunder. Jika suami telah meninggal atau sedang sakit dan rumah

tangga tidak memiliki pendapatan lain selain dari suami, serta pemerintah

tidak dapat membantu rumah tangga yang kondisinya seperti itu, seorang

istri dibolehkan bekerja di luar rumah dengan pekerjaaan-pekerjaan yang

dibolehkan syara’. Kisah Nabi Musa dan putri-putri Nabi Syu’aib

merupakan contoh untuk keadaan seperti ini. Allah berfirman dalam

QS.al-Qashash [28] : 23-25.

(30)

kebaikan8 yang Engkau turunkan kepadaku." Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu."

2. Masyarakat memerlukan tenaga wanita untuk bidang-bidang yang sesuai

dengan karakter wanita. Tidak diragukan lagi bahwa masyarakat

membutuhkan tenaga wanita untuk menjadi dokter, guru dan dosen, serta

pembimbing sosial. Selain itu, masyarakat Islam pun membutuhkan

wartawati untuk majalah-majalah wanita dan membutuhkan

akuntan-akuntan wanita untuk bank-bank Islam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh

agama tidak boleh melarang wanita bekerja di luar rumah, sepanjang

pekerjaannya itu sesuai dengan kodratnya.9

C. Dampak Wanita Berkarir Dalam Rumah Tangga

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Islam tidak melarang wanita berkarir,

dengan catatan tetap mengikuti aturan dan persyaratan yang telah ditetapkan. Jika

wanita karir itu tidak mengikuti aturan-aturan Islam maka akan timbul berbagai

dampak positif dan negatif yang menyangkut harga diri dan kepribadian wanita

yang bersangkutan, hak-hak suami dan anak-anak, serta secara otomatis berakibat

buruk terhadap perekonomian rumah tangga dan masyarakat.

8

Yang dimaksud dengan Khair (kebaikan) dalam ayat ini menurut sebagian besar ahli Tafsir ialah barang sedikit makanan.

9

(31)

18

Adapun dampak positif dengan adanya wanita karir antara lain:10

1. Dengan berkarir, wanita dapat membantu meringankan beban keluarga

yang tadinya hanya dipikul oleh suami yang mungkin kurang memenuhi

kebutuhan.

2. Wanita dapat memberikan pengertian dan penjelasan kepada keluarganya,

utamanya kepada putra-putrinya tentang kegiatan-kegiatan yang

diikutinya, sehingga kalau ia sukses dan berhasil dalam karirnya,

putra-putrinya akan gembira dan bangga, bahkan menjadikan ibunya sebagai

panutan dan suri tauladan bagi masa depannya.

3. Dalam memajukan serta menyejahterakan masyarakat dan bangsa

diperlukan partisipasi serta keikutsertaan kaum wanita, karena dengan

segala potensinya, wanita mampu dalam hal ini, bahkan ada di antara

pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan oleh pria dapat berhasil ditangani

oleh wanita, baik karena keahliannya, maupun karena bakatnya.

4. Wanita dalam mendidik anak-anaknya pada umumnya lebih bijaksana,

demokratis dan tidak otoriter, sebab dengan karirnya itu ia bisa memiliki

pola pikir yang moderat. Kalau ada problem dalam rumah tangga yang

harus diselesaikan, maka ia segera mencari jalan keluar secara tepat dan

benar.

5. Dengan berkarir, wanita yang menghadapi kemelut dalam rumah

tangganya atau sedang mendapat gangguan jiwa, akan terhibur dan

jiwanya akan menjadi sehat. Untuk kepentingan kesehatan jiwanya, wanita

10

(32)

itu harus gesit bekerja, jika seorang tidak bekerja atau diam saja, maka ia

akan melamun, berhayal memikirkan atau mengenangkan hal-hal yang

dalam kenyataan tidak dialami atau tidak dirasakannya.

Demikian antara lain dampak positif dari wanita karir, tetapi kalau

dipandang dari dimensi lain, sangat memprihatinkan karena membawa dampak

negatif, baik secara sosiologis maupun agamis. Adapun dampak negatif yang

timbul dengan adanya wanita karir antara lain :11

1. Terhadap anak-anak, wanita yang hanya mengutamakan karirnya akan

berpengaruh pada pembinaan dan pendidikan anak-anak, maka tidak aneh

kalau banyak terjadi hal-hal yang tidak kita harapkan, seperti perkelahian

antarremaja antarsekolah, penyalahgunaan obat-obat terlarang, minuman

keras, pencurian, pemerkosaan, dan sebagainya. Apabila hal ini tidak

diatasi dengan segera maka akan merugikan anak-anak dan masyarakat.

Hal ini harus diakui sekalipun tidak bersifat menyeluruh bagi setiap

individu yang berkarir. Akibat dari kurangnya komunikasi antara ibu dan

anak-anaknya bisa menyebabkan keretakan sosial. Anak-anak merasa tidak

diperhatikan oleh orang tuanya. Sopan santun mereka terhadap orang

tuanya akan memudar. Bahkan sama sekali tidak mau mendengar nasihat

orang tuanya. Pada umumnya hal ini disebabkan karena sang anak merasa

tidak ada kesejukan dan kenyamanan dalam hidupnya, sehingga jiwanya

memberontak. Sebagai pelepas kegersangan hatinya, akhirnya mereka

11

(33)

20

berbuat dan bertindak seenaknya tanpa memperhatikan norma-norma yang

ada dilingkungan masyarakatnya.

2. Terhadap suami, di balik kebanggaan suami yang mempunyai istri wanita

karir yang maju, aktif dan kreatif, pandai dan dibutuhkan masyarakat tidak

mustahil menemui persoalan-persoalan dengan istrinya. Istri yang bekerja

di luar rumah setelah pulang dari kerjanya tentu ia merasa capek, dengan

demikian kemungkinan ia tidak dapat melayani suaminya dengan baik,

sehingga suami merasa kurang hak-haknya sebagai suami.

3. Terhadap rumah tangga, kadang-kadang rumah tangga berantakan

disebabkan oleh kesibukan ibu rumah tangga sebagai wanita karir yang

waktunya banyak tersisa oleh pekerjaannya di luar rumah. Sehingga ia

tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri dan ibu rumah tangga.

4. Terhadap kaum laki-laki banyak yang menganggur akibat adanya wanita

karir, kaum laki-laki tidak memperoleh kesempatan untuk bekerja, karena

jatahnya telah direnggut, atau dirampas oleh kaum wanita.

5. Terhadap masyarakat, wanita karir yang kurang memedulikan segi-segi

normatif dalam pergaulan dengan lain jenis dalam lingkungan pekerjaan

atau dalam kehidupan sehari-hari, akan menimbulkan dampak negatif

terhadap kehidupan suatu masyarakat.

6. Wanita lajang yang mementingkan karirnya kadang-kadang bisa

menimbulkan budaya “nyeleneh” nyaris meninggalkan kodratnya sebagai

kaum hawa, yang pada akhirnya mencuat budaya “lesbi dan kumpul

kebo”.12

12

(34)

D. Etika Diperbolehkannya Wanita Berkarir

Sebenarnya, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para pemikir

kontemporer menyangkut perlunya mendudukkan perempuan pada kedudukannya

yang sebenarnya serta memberi mereka peranan, bukan saja dalam kehidupan

rumah tangga melainkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Kini, semua pihak

mengakui perlunya keadilan, kebebasan, kemajuan, dan pemberdayaan

perempuan. Yang mereka perselisihkan adalah batas-batas dari hal tersebut. Ada

yang sangat sempit dan ketat, tapi ada juga yang sangat luas dan longgar.13

Keterpaksaan atau darurat dilihat dari segi keurgensiannya. Oleh karena

itu, apabila seorang perempuan terpaksa harus bekerja di luar rumahnya, maka dia

haruslah memenuhi etika sebagai berikut :

1. Mendapat izin dari walinya, yaitu Ayah atau suaminya untuk sebuah

pekerjaan yang halal seperti menjadi tenaga pendidik para siswi, atau

menjadi perawat khusus bagi pasien wanita.

2. Tidak bercampur dengan kaum laki-laki, atau melakukan khalwat dengan

lelaki lain.

3. Tidak berlaku tabarruj dan menampakkan perhiasan yang dapat

mengundang fitnah..14

Sedangkan diantara persyaratan yang telah ditetapkan para ulama fiqih

bagi wanita karir adalah :

13

M.Quraish Shihab, Perempuan, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h.31.

14

(35)

22

1. Persetujuan Suami

Adalah hak suami untuk menerima atau menolak keinginan istri untuk

bekerja di luar rumah, sehingga dapat dikatakan bahwa persetujuan suami

bagi wanita karir merupakan syarat pokok yang harus dipenuhinya karena

laki-laki adalah pengayom dan pemimpin bagi wanita. Dalam QS.

An-Nisa [4] : 34, Allah SWT berfirman :











Artinya : “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita…”

Di antara petunjuk Rasulullah tentang kepergian wanita menuju masjid

adalah sabda berikut ini.

Artinya : “Apabila istri salah seorang kamu minta izin (untuk pergi ke

masjid), maka janganlah di cegah”. (HR.Bukhari)

Berdasarkan hadis itu dapat dikatakan bahwa sekalipun hendak pergi ke

masjid, istri harus meminta izin terlebih dahulu kepada suami, apalagi jika

dia hendak pergi bekerja.

Jadi, penulis berpendapat istri boleh ikut bekerja sama dengan suami, jika

mau, tetapi kewajiban istri untuk menciptakan suasana yang penuh rasa

kasih dan sayang dalam rumah tangga tidak terabaikan serta tidak

memengaruhi ketenangan dan ketentraman rumah tangga.

15

(36)

2. Menyeimbangkan Tuntutan Rumah Tangga dan Tuntutan Kerja

Sebagian besar wanita muslimah yang dibolehkan bekerja di luar rumah

karena tuntuntan kebutuhan primer rumah tangganya, tidak mampu

menyamakan dan menyeimbangkan antara tuntutan rumah tangga dan

kerja. Adanya aturan-aturan pekerjaan, baik dari segi waktu maupun dari

segi kesanggupan, menyebabkan seorang istri mengurangi kualitas

pemenuhan kewajiban rumah tangganya atau bahkan memengaruhi

kesehatannya.

Dalam hal ini, istri muslimah harus selalu berkeyakinan bahwa sifat

bekerjanya itu hanyalah sementara, yang pada saatnya nanti akan dilepas

bila telah terpenuhinya kebutuhan. Istri tidak boleh beranggapan bahwa

keluarnya dari rumah itu merupakan hiburan atau pengisi waktu luang,

atau lebih jauh lagi karena motivasi emansipasi atau untuk dapat meraih

kebebasan dalam bidang perekonomian.

3. Pekerjaan Itu Tidak Menimbulkan Khalwat

Yang dimaksud khalwat adalah berduannya laki-laki dan wanita yang

bukan mahram. Pekerjaan yang di dalamnya besar kemungkinan terjadi

khalwat, akan menjerumuskan seorang istri ke dalam kerusakan, misalnya

seorang istri yang menjadi sekretaris pribadi seorang direktur.

4. Menghindari Pekerjaan yang Tidak Sesuai dengan Karekter Psikologis

Wanita

Selain itu, istri harus dapat menjauhi pekerjaan-pekerjaan yang tidak

(37)

24

Dengan demikian, wanita tidak boleh bekerja di pub atau diskotik yang

melayani kaum laki-laki sambil menyanyi atau menari.

5. Menjauhi Segala Sumber Fitnah

Dalam hal ini, keluarnya wanita untuk bekerja harus memegang

aturan-aturan berikut ini :

a. Wanita yang bekerja harus memakai pakaian yang dibolehkan syara’,

berdasarkan QS.al-Ahzab [33] : 59 Allah berfirman :

Artinya : Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya16ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

b. Wanita yang bekerja harus merendahkan suaranya, dan berkata baik.

c. Wanita yang bekerja tidak boleh memakai wewangian sebab di antara

yang dapat menjadi sumber fitnah adalah aroma wewangian.

Dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW

bersabda :

16

Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, muka dan dada.

17

(38)

Artinya : “Wewangian laki-laki adalah yang jelas aromanya, tetapi samar warnanya. Dan wewangian wanita adalah yang

jelas warnanya, tapi samar aromanya”. (HR. Tirmidzi dan Abu Hurairah)

d. Wanita karir harus menundukkan pandangan agar terhindar dari

kemaksiatan dan godaan setan. Allah telah memerintahkan kaum

laki-laki dan wanita untuk menundukkan pandangan dalam QS.an-Nûr [24]

: 30-31, yaitu :

Artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:

(39)

26

lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Rasulullah bersabda :

Artinya : “Tidaklah kutinggalkan fitnah setelah masaku yang lebih berbahaya bagi lelaki selain fitnah yang

ditimbulkan wanita”. (HR.Muslim)19

6. Hendaklah pekerjaannya itu sendiri disyariatkan. Artinya, Pekerjaan itu

tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram, seperti wanita

yang bekerja untuk melayani lelaki bujang, atau wanita menjadi sekretaris

khusus bagi seorang direktur yang karena alasan kegiatan mereka sering

berkhalwat (berduaan), atau menjadi penari yang merangsang nafsu hanya

demi mengeruk keuntungan duniawi, atau bekerja di bar-bar untuk

menghidangkan minum-minuman keras - padahal Rasulullah Saw. telah

melaknat orang yang menuangkannya, membawanya, dan menjualnya.

Atau menjadi pramugari di kapal terbang dengan menghidangkan

minum-minuman yang memabukkan, bepergian jauh tanpa disertai mahram,

bermalam di negeri asing sendirian, atau melakukan aktivitas-aktivitas lain

yang diharamkan oleh Islam, baik yang khusus untuk wanita maupun

khusus untuk laki-laki, ataupun untuk keduanya.20

18

Lihat Hadis Tirmidzi, Bab ءاسنلا ةنتف ريذحت يف ء اج ام , Juz 9, h. 459

19

Husein Syahatah, Ekonomi Rumah Tangga Muslim, h.145-152.

20

(40)

27

A. Riwayat Hidup Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî

Nama Lengkap al-Sya’râwî adalah Muhammad bin Mutawallî al-Sya’râwî

al-Husainia. Al-Sya’râwî lahir pada hari Ahad tanggal 17 Rabi’ Al Tsani 1329 H

bertepatan dengan 16 April 1911 M di desa Daqadus, Mait Ghamir,

ad-Dakhaliyyah. Tentang nasab (keturunan), al-Sya’râwî dalam sebuah kitab berjudul

Anâ Min Sulâlat Ahli al-Bait, menyebutkan bahwa dia merupakan keturunan dari cucu Nabi SAW.,yaitu Husein ra.1

Ketekunan al-Sya’râwî dalam studi al-Qur’ân sudah nampak sejak kecil

di mana sejak ia berusia 11 tahun sudah hafal al-Qur’ân di bawah bimbingan

gurunya ‘Abd al-Majîd Pasha.2 Karenanya, tidak aneh ketika ia dewasa menjadi

salah satu tokoh dalam bidang tarsir kontemporer abad 21.

Adapun pendidikan resminya diawali dengan menuntut ilmu di sekolah

dasar al-Azhar Zaqaziq pada tahun 1926 M. Setelah memperoleh ijazah sekolah

dasar al-Azhar pada tahun 1932 M, ia melanjutkan ke jenjang sekolah menengah

di Zaqaziq dan meraih ijazah sekolah menengah al-Azhar pada tahun 1936 M.

Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Universitas al-Azhar jurusan bahasa Arab

pada tahun 1937 M hingga tahun 1941 M. Ia melanjutkan ke jenjang doctoral

1Sa’îd Abû Al

-‘Ainain, Al-Sya’râwî Anâ Min Sulâlat Ahli Al-Bait, (Al-Qâhirah: Akhbâr Al-Yawm,1955),h.6.

2

(41)

28

pada tahun 1940 M dan memperoleh gelar ‘Âlamiyyat (Lc sekarang) dalam

bidang bahasa dan sastra Arab.3

Sejak duduk di bangku sekolah menengah (setingkat SLTA atau MA di

Indonesia) al-Sya’râwî menekuni keilmuan bidang syair dan sastra Arab. Hal ini

tampak ketika ia di angkat menjadi Ketua Persatuan Pelajar dan Ketua Persatuan

Kesusastraan di daerah Zaqaziq. Kemudian pada tahun 1930-an merasakan

bangku kuliah pada Fakultas Ushuluddin di Zaqaziq, dan setelah lulus pendidikan

S1, ia melanjutkan studi (setingkat S2) mengambil konsentrasi Bahasa Arab pada

Universitas al-Azhar dan lulus pada tahun 1943 dengan predikat cum laude.

Setelah menyelesaikan studinya tersebut, al-Sya’râwî menghabiskan

hidupnya dalam dunia pendidikan, yakni sebagai tenaga pengajar pada beberapa

perguruan tinggi di kawasan Timur Tengah, antara lain: al-Azhar Tanta, al-Azhar

Iskandariyyah, Zaqaziq, Universitas Mâlik Ibn Abdul Azîz Makkah, Universitas

al-Anjal Arab Saudi, Universitas Ummul Qura Makkah, dan lain-lain. Selain

mengajar, al-Sya’râwî juga mengisi kegiatan-kegiatan sosial keagamaan, seperti

menjadi Khatib, mengisi kegiatan ceramah (da’i), mengisi pengajian tafsir al

-Qur’ân yang disiarkan secara langsung melalui layar televisi di Mesir dalam

acara Nûr ‘alâ Nûr. Selanjutnya Mesir mulai mengenal nama al-Sya’râwî. Semua

masyarakat melihatnya dan mendengarkan ceramah keagamaan dan penafsirannya

terhadap al-Qur’ân selama kurang lebih 25 tahun.4

Pada tahun 1976 M, al-Sya’râwî dipilih oleh pimpinan Kabinet Mamdûh

Salim sebagai Menteri Wakaf dan pada tanggal 26 Oktober 1977 M, ia ditunjuk

3

Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwî: Imâm Al-„Asr, (Al-Qâhirah: Handat Misr,1990), h.74.

4

(42)

kembali menjadi Menteri Wakaf dan Menteri Negara yang berkaitan erat dengan

al-Azhar dalam kabinet yang dibentuk oleh Mamdûh Sâlim.

Pada tanggal 15 Oktober 1978 M, ia diturunkan dengan hormat dalam

formatur kabinet yang dibentuk oleh Mustofâ Khalîl. Kemudian ia ditunjuk

menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya universitas “Al-Syu’ûb Al-Islâmiyah

Al-‘Ârabiyyah”, namun al-Sya’râwî menolaknya. Pada tahun 1980 M al-Sya’râwî

diangkat sebagai anggota MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), akan tetapi ia

menolak jabatan strategis ini.

Atas jasa-jasa tersebut, al-Sya’râwî mendapat penghargaan dan lencana

dari Presiden Husni Mubarak dalam bidang pengembangan ilmu dan budaya di

tahun 1983 M pada acara peringatan hari lahir al-Azhar yang ke-1000.

Al-Sya’râwî ditunjuk sebagai anggota litbang (penelitian dan

pengembangan) bahasa Arab oleh lembaga “Mujamma’ al-Khâlidîn”,

perkumpulan yang menangani perkembangan bahasa Arab di Kairo pada tahun

1987 M. Tahun 1988 M memperoleh Wisâm al-Jumhuriyyah, medali kenegaraan

dari presiden Husni Mubarak di acara peringatan hari da’i dan mendapatkan

Jâ’izah al-Daulah al-Taqdîriyyah, penghargaan kehormatan kenegaraan.5

Pada tahun 1990 M, al-Sya’râwî mendapat gelar “Profesor” dari

Universitas Al-Mansurah dalam bidang adab, dan pada tahun 1419 H/1998 M, ia

memperoleh gelar kehormatan sebagai al-Syakhsiyyah al Islâmiyyah al-Ulâ profil

Islami pertama di dunia Islam di Dubai serta mendapat penghargaan dalam bentuk

uang dari putera mahkota al-Nahyan, namun ia menyerahkan penghargaan ini

5

(43)

30

kepada al-Azhar dan pelajar al-Bu’ûts al-Islâmiyah (pelajar yang berasal dari

negara-negara Islam di seluruh dunia).6

Al-Sya’râwî dikenal sebagai seorang da’i yang berwawasan santun, bijak,

dan tegas, sehingga tidak heran jika banyak artis yang mendapatkan hidayah

setelah mendengar dan berdialog dengannya. Di antaranya adalah seorang artis

wanita Mesir yang beragama Yahudi, kemudian meninggalkan dunia glamor,

menunaikan ajaran Islam dengan baik dan turut berdakwah menyampaikan ajaran

Islam.

Di usia 87 tahun, pada hari Rabu 17 Juni 1998 M, Mutawallî al-Sya’rawi

wafat. Jasadnya dimakamkan di Mesir.7

B.Karya-Karya Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî

Al-Sya’râwî tidak menulis karangannya, karena beliau berpendapat

kalimat yang disampaikan secara langsung dan diperdengarkan akan lebih

mengena dari pada kalimat yang disebarluaskan dengan perantara tulisan, sebab

semua manusia akan mendengar dari narasumber yang asli. Hal ini sangat berbeda

dengan tulisan, karena tidak semua orang mampu membacanya. Namun demikian

dia tidak menafikan kebolehan untuk mengalihbahasakannya menjadi bahasa

tulisan dan tertulis dalam sebuah buku, karena tindakan ini membantu program

sosialisasi pemikirannya dan mencakup asas manfaat yang lebih besar bagi

6

Taha Badri, Qâlû’an Al-Sya’râwî ba’da Râhîlihi, (Qâhirah: Maktabah Turâs Al-Islâmî,t.t.),h.5-6.

7

(44)

manusia secara keseluruhan.8 Tapi, ceramah-ceramahnya yang dicetak dalam

bentuk buku mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan buku

Mukjizat al-Qur’ân telah dicetak sebanyak 5 juta eksemplar. Hasil penjualan buku-buku beliau ini ia sumbangkan untuk kegiatan-kegiatan sosial.

Di antara kata-kata mutiara al-Sya’râwî adalah,

“Sesungguhnya Allah SWT menyembunyikan tiga hal di dalam tiga hal. Dia menyembunyikan ridha-Nya di dalam ketaatan kepada-Nya. Maka jangan sampai meremehkan ketaatan apapun bentuknya, karena ada seseorang yang memberi minum kepada anjing lalu Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya. Dan Allah SWT menyembunyikan murka-Nya di dalam kemaksitan terhadap-Nya. Sesungguhnya ada seorang wanita yang masuk neraka karena kucing yang ia kurung, ia tidak memberinya makan tidak juga membiarkannya pergi. Dan Allah menyembunyikan rahasia-rahasia-Nya pada diri hamba-hamba-Nya. Maka janganlah kalian menghina seorang hamba-Nya, karena banyak orang yang kusut berdebu, namun jika ia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mengabulkan sumpah-Nya itu.” 9

Al-Sya’râwi mempunyai sejumlah karangan-karangan, beberapa orang

yang mencintainya mengumpulkan dan menyusunnya untuk disebarluaskan,

sedangkan hasil karya yang paling populer dan yang paling fenomenal adalah

Tafsir al-Sya’râwi terhadap al-Qur’ân yang Mulia. Dan di antara sebagian hasil

karyanya adalah:

1. Al-Isrâ’ wa al- Mi'râj (Isra dan Mi'raj)

2. Asrâr Bismillâhirrahmânirrahîm (Rahasia dibalik kalimat Bismillahirrahmanirrahim)

3. Al-Islâm wa al-Fikr al-Mu'ashir (Islam dan Pemikiran Modern)

8

Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.31.

9

(45)

32

4. Al-Fatâwâ al-Kubrâ (Fatwa-fatwa Besar). Kitab ini dicetak oleh Maktabah al-Turâs al-Islâmî dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri

atas 441 halaman dan bagian kedua terdiri atas 483 halaman. Kedua

bagian tersebut berisi pemikiran al-Sya’râwî tentang tafsir dan juga

pertanyaan yang memiliki benang merah dengan tema sekaligus

jawabannya. Bagian pertama membahas iman kepada Allah, makna

amanah dan kapan iman menjadi aqidah dan seterusnya.10

5. 100 al-Suâl wa al-Jawâb fî al-Fiqh al-Islâm (100 Soal Jawab Fiqih Islam)

6. Mu'jizat al-Qur’ân (Kemukjizatan Alquran)

7. 'Alâ al-Mâídat al-Fikr al-Islâmî (Di bawah Hamparan Pemikiran Islam). Kitab ini terdiri atas 203 halaman dan mencakup tema yang

beragam, seperti “Polemik tentang Islam”, “Pembicaraan seputar

pemikiran Islam” dan “Islam dan globalisasi, Islam antara kapitalisme

dan komunisme, Islam kanan dan Islam kiri, jaminan dan Islam”.

Tema-tema ini diformat dalam bentuk tanya jawab yang disampaikan

oleh Majdî al-Khafnawî dan dijawab oleh al-Sya’râwî.11

8. Al-Qadhâ wa al-Qadar (Qadha dan Qadar) 9. Ĥâdzâ Ĥuwa al-Islâm (Inilah Islam)

10. Al-Muntakhab fi Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm (Pilihan dari Tafsir

al-Qur’ân al-Karîm).12

10

Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.37.

11

Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.38.

12

(46)

C.Pandangan Ulama Tentang Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî

Beberapa ulama dan sarjana yang memberi komentar dan pandangan

terhadap al-Sya’râwî, di antaranya :

‘Abdul Fattâh al-Fâwi, dosen Falsafah di Universitas Dâr Al-‘Ulûm Kairo

berkata: “Sya’rawi bukanlah seorang yang tekstual, beku di hadapan nas, tidak

terlalu cenderung ke akal, tidak pula sufi yang hanyut dalam ilmu kebatinan, akan

tetapi beliau menghormati nash, memakai akal, dan terpancar darinya keterbukaan dan kekharismatikannya”.13

Yûsuf al-Qardawi memandang : “al-Sya’râwî sebagai penafsir yang

handal. Penafsirannya tidak terbatas pada ruang dan waktu, tetapi juga mencakup

kisi-kisi kehidupan lainnya, bahkan dalam kesehariannya ia terkesan

menggandrungi sufisme, kendati sebagian orang menentang kehidupan sufi. Ia

tetap bersikukuh dengan prinsip hidupnya.”14

Kecenderungan al-Sya’râwî pada tafsir tidak menjadikan ia lupa dengan

kepiawaiannya dalam mengambil kesimpulan hukum fiqh atas realita kehidupan,

sehingga tidak jarang ia mengeluarkan hukum berdasarkan dalil syar’i dan logis.

Akhirnya, kontribusi al-Sya’râwî dalam berbagai bidang ilmu tidak perlu

diragukan lagi, karenanya tidak sedikit pengikut dan pengagumnya merasa

kehilangan ketika al-Sya’râwî wafat.

Yûsuf al-Qardawi menegaskan dalam pidatonya yang berjudul

Al-Sya’râwî Ilmun min A’lâm Al-Hidâyah bahwa :

13

Ahmad Al-Marsi Husein Jauhar, Muhammad Mutawallî Al-Sya’râwî: Imâm Al-„Asr, (al-Qâhirah: Handat Misr,1990),h.51.

14

(47)

34

“Al-Sya’râwî dalam rutinitas kesaharian cenderung menjalani kehidupan

sufi, walaupun tidak semua manusia menjadikan sufisme sebagai langkah

hidupnya”.

Muhammad Mustafâ Ganîm dalam harian Al-Akhbâr 14 Agustus 1980,

seperti yang dikutip oleh Istibsyaroh adalah :

“Sungguh Allah menganugerahkan kepada al-Sya’râwî ilmu yang melimpah, otak cemerlang, akal yang logis, pemikiran sistematis, hati ikhlas, kemampuan luar biasa dalam menjelaskan dan menafsirkan dengan gaya bahasa sederhana dan jelas, dengan perumpamaan yang dapat dipahami oleh kemampuan akal orang awam,…Sungguh hal ini adalah suatu khazanah yang pantas mendapat penghormatan, penghargaan, dan pengakuan tersendiri”.15

Sementara Ahmad ‘Umar Hasyîm, ketika memberi penilaian terhadap

al-Sya’râwî, menyitir sebuah hadis:

Allah mengutus di setiap seratus tahun sosok yang membangkitkan (memperbaharui) nuansa Islam”. (HR.Abû Dâwud).16

Dalam kaitannya dengan hadis di atas, Ahmad ‘Umar Hasyîm

memprediksikan hanya Allah yang Maha Mengetahui al-Sya’râwî termasuk

pemimpin umat dan pembaharu nuansa pemikiran Islam sebagaimana kandungan

hadis. Al-Sya’râwî merupakan profil da’i yang mampu menyelesaikan

permasalahan umat secara proporsional. Beliau tidak menolak mentah-mentah

inovasi masa kini, bahkan ia sangat antusias dengan penemuan ilmiah terutama

yang berkaitan erat dengan substansi al-Qur’ân. Namun demikian ia tetap

menganalisanya. Oleh karenanya, tidak salah apabila ia memperoleh gelar

pembaharu Islam, Mujaddid al-Islâm.

15

Istibsyaroh, Hak-hak perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’râwî, h.42.

16

(48)

Ahmad ‘Umar Hasyîm juga mengatakan bahwa karangan-karangan

al-Sya’râwî merupakan harta kekayaan yang sangat berkualitas, karena ia mencakup

semua segi kehidupan. Karangannya tidak hanya memuat satu permasalahan

fenomenal saja, tetapi juga membahas permasalahan kontemporer yang dihadapi

umat di era globalisasi secara keseluruhan. Akhirnya, merupakan kewajaran

apabila umat Islam mengelu-elukannya.

Ibrâhîm al-Dasûkî, teman karib al-Sya’râwî berpendapat, al-Sya’râwî

merupakan pemimpin para da’i. Dia sangat lihai dalam berdakwah. Al-Sya’râwî

tidak hanya berdakwah melalui media lisan dan tulisan, tetapi juga

mengaplikasikannya dalam tataran praktis. Karangan-karangan al-Sya’râwî cukup

menunjukkan tingkat kepandaiannya dalam berdakwah dan berkontemplasi

(perenungan) dengan ajaran-ajaran Islam, bahkan kecerdasannya ini akan terlihat

jelas manakala al-Sya’râwî mengolah kata-kata yang dirangkum dalam simbol

interprestasinya terhadap al-Qur’ân yang bukan sekedar ucapan saja, melainkan

juga meresap di hati.17

Dari beberapa pandangan para ulama dan sarjana tentang al-Sya’râwî di

atas, dapat diketahui betapa besar pengaruh al-Sya’râwî di masyarakat.

Keikhlasannya, kekharismatikannya, keulamaannya, dan keprofesionalannya

diakui oleh semua lapisan termasuk oleh ulama, sarjana, dan sebagainya. Suatu

hal yang paling penting, dia mempunyai kelebihan, di samping da’i yang mampu

menjelaskan sesuatu yang rumit dengan bahasa yang mudah dan sederhana

sehingga dapat dipahami oleh kalangan masyarakat, sekalipun yang paling awam.

17

(49)

36

D.Pengenalan Tafsir al-Sya’râwî

Tafsir ini dinamakan Tafsir al-Sya’râwî, diambil dari nama penulisnya. Menurut Muhammad ‘Alî Iyâzy judul yang terkenal dari karya ini adalah Tafsir Khawâtir al-Sya’râwî Haul al-Qur’ân al-Karim. Pada mulanya, tafsir ini hanya diberi nama Khawâtir al-Sya’râwî yang dimaksudkan sebagai sebuah perenungan (Khawatir) dari diri al-Sya’râwî terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang tentunya bisa saja salah dan benar.18 Al-Sya’râwî dalam muqaddimah tafsirnya, menyatakan

bahwa :

“Hasil renungan saya terhadap al-Qur’ân bukan berarti tafsiran al-Qur’ân , melainkan hanya percikan pemikiran yang terlintas dalam hati seorang mukmin saat membaca al-Qur’ân . Kalau memang al-Qur’ân dapat ditafsirkan, sebenarnya yang lebih berhak menafsirkannya hanya Rasulullah SAW, karena kepada Rasulullah ia diturunkan. Dia banyak menjelaskan kepada manusia ajaran al-Qur’ân dari dimensi ibadah, karena hal itulah yang diperlukan umatnya saat ini. Adapun rahasia al-Qur’ân tentang alam semesta, tidak ia sampaikan, karena kondisi sosio-intelektual saat itu tidak memungkinkan untuk dapat menerimanya. Jika hal itu disampaikan akan menimbulkan polemik yang pada gilirannya akan merusak puing-puing agama, bahkan akan memalingkan umat dari jalan Allah SWT.”19

Kitab ini merupakan hasil kreasi yang dibuat oleh murid al-Sya’râwî

yakni Muhammad al-Sinrâwi, ‘Abd al-Wâris al-Dasuqî dari kumpulan

pidato-pidato atau ceramah-ceramah yang dilakukan al-Sya’râwî . Sementara itu,

hadis-hadis yang terdapat di dalam kitab Tafsir al-Sya’râwî di takhrij oleh Ahmad ‘Umar Hasyim. Kitab ini diterbitkan oleh Akhbâr al-Yawm Idarah al-Kutub wa

al-Maktabah pada tahun 1991 (tujuh tahun sebelum al-Sya’râwî meninggal

dunia). Dengan demikian, Tafsir al-Sya’râwî ini merupakan kumpulan hasil-hasil

18

www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010.

19

(50)

pidato atau ceramah al-Sya’râwî yang kemudian diedit dalam bentuk tulisan buku

oleh murid-muridnya. 20

Sebelum berbicara tentang suatu tema, al-Sya’râwî biasa menyendiri

beberapa saat untuk berfikir dan merenung. Setelah itu dia keluar dengan ilmu

yang Allah berikan kepadanya. Dengan menyendiri, seseorang dapat lebih

konsentrasi sehingga menghasilkan hasil yang optimal,21 seperti dalam QS.

Saba’[34] : 40 :

“Katakanlah, sesungguhnya aku memperingatkan kepada kalian tentang

suatu hal, yaitu supaya kalian menghadap Allah dengan ikhlas berdua-dua atau sendiri-sendiri, kemudian kalian fikirkan hal itu…”

Al-Sya’râwî sebelum merenungi suatu ayat, terlebih dahulu merujuk

beberapa pendapat para mufassir, seperti Fakhr al-Râzî, Zamakhsyarî, Sayyid

Quthb, al-Alûsî, dan lain-lain.

Pada saat menerangkan kandungan suatu ayat, al-Sya’râwî tidak

memegang tafsir yang berjilid, melainkan hanya mushaf al-Qur’ân . Dengan teliti,

diuraikan kandungan al-Qur’ân ayat per ayat, bahkan kata per kata dan korelasi

antara satu ayat dengan ayat sebelumnya.

Sistematikanya dimulai dengan muqaddimah, menerangkan makna

ta’awuz, dan tartib nuzul al-Qur’ân . Dalam memulai menafsirkan setiap surat,

beliau mulai dengan menjelaskan makna surat, hikmahnya, hubungan surat yang

ditafsirkan dengan surat sebelumnya kemudian menjelaskan maksud ayat dengan

menghubungkan ayat lain sehingga disebut menafsirkan ayat al-Qur’ân dengan

al-Qur’ân .

20

www.islamiyyat.com. Akses 08 Desember 2010.

21

(51)

38

Menurut Mahmud Basuni Faudah bahwa, sebagian ayat al-Qur’ân

merupakan tafsiran dari sebagian yang lain. Yang dimaksud ialah sesuatu yang

disebutkan secara ringkas di satu tempat diuraikan di tempat yang lain. Ketentuan

yang mujmal dijelaskan dalam topik yang lain. Sesuatu yang bersifat umum dalam

suatu ayat di-takhsis oleh ayat yang lain. Sesuatu yang berbentuk mutlak di suatu pihak disusul oleh keterangan lain yang muqayyad (terbatas).22

Dalam menafsirkan ayat atau kelompok ayat, al-Sya’râwî menganalisis

dengan bahasa yang tajam dari lafadz yang dianggap penting dengan berpedoman

pada kaidah-kaidah bahasa dari aspek nahwu, balaghah, dan lain sebagainya.

Sedangkan dalam menafsirkan ayat aqidah dan iman beliau mengikuti mufasir

terdahulu, seperti Muhammad Abduh, Rasyîd Rîda, dan Sayyid Quthb.23 Dalam

hal ini al-Sya’râwî membahasnya secara mendalam dan mendetail dengan

argumen yang rasional dan ilmiah agar keyakinan dan ketauhidan mukminin lebih

mantap, dan mengajak selain mereka untuk masuk dalam agama Allah yaitu

Islam.

Menurut ‘Umar Hasyîm, metodelogi al-Sya’râwî dalam tafsirnya

bertumpu kepada pembedahan kata dengan mengembalikan asal kata tersebut, dan

mengembangkan ke dalam bentuk lain, kemudian mencari korelasi makna antara

asal kata dengan kata jadiannya.24

22

Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir Al-Qur’ân Perkenalan dengan Metodelogi Tafsir,terj. M.Muhtar Zoeni dan Abdul Qad’ir Hamid, (Bandung:Pustaka, 1987), h.24-25.

23 Muhammad ‘Alî Iyâzy,

Al-Mufassrûn Hayatuhum wa Manhajuhum, (Teheran:

Mu’assasah Al-Thabâ’ah wa Al-Nasyr,t.t), h.270.

24

(52)

Tafsir al-Sya’râ

Referensi

Dokumen terkait

Seperti dalam skripsi ini penulis berupaya menggali unsur kesetaraan gender yang ada dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 195 dengan menggunakan pendekatan hermeneutika

Bertolak dari landasan pemikiran itu, dan dihubungkan dengan penafsiran terhadap surat al-Nisâ’ ayat 3 dan 129, Muhammad ‘Abduh berkesimpulan bahwa, kebolehan berpoligami dalam

Lalu dalam menafsirkan surah Al-Maidah ayat 3 ia bependapat bahwa jika seseorang yang tidak mengikuti syariat yang sesuai dengan agama Islam, maka ia telah melakukan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kemampuan menghafal ayat-ayat al-Qur`an pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bagi siswa di

Menurut hasil analisis yang diperoleh bahwa konsep pendidikan Islam dalam al-Qur‟an surat al-Jumu‟ah ayat 1-5 menurut tafsir al-Maraghi adalah konsep pendidikan Islam

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa konsep pendidikan demokratis dengan prinsip syura dalam perspektif islam terhadap kajian teoritis ayat ayat Al-Quran diantaranya 1 QS Yusuf ayat

Analisis tafsir QS. Al-Baqarah ayat 102-103 terkait praktik sihir dan penyimpangannya dalam ajaran