• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Terhadap Dosis Kascing dan Cara Pemberian Pupuk Organik Cair di Pre Nursery

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit Terhadap Dosis Kascing dan Cara Pemberian Pupuk Organik Cair di Pre Nursery"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1. Deskripsi varietas kelapa sawit D x P Simalungun Rerata produksi : 28,4 ton TBS/ha/tahun

Rendemen minyak : 26,5%

Produksi CPO : 7,53 ton/ha/tahun

Rasio inti/buah : 9,2 %

Pertumbuhan meninggi : 75-80 cm/tahun

Rata-rata jumlah Tandan : 13 tandan /pohon/tahun

Rata-rata berat tandan : 19,2 Kg Tandan Buah Segar ( TBS)

Potensi : 33 ton/ha/tahun

Panjang Pelepah : 5,47 Meter

Keunggulan : Pertumbuhan jagur, produksi tandan

tinggi, rendemen minyak sangat tinggi,

mulai berbuah sangat awal yaitu 22

bulan. Dapat ditanam di berbagai areal.

Standart mutu bibit yang baik untuk Pre Nursery : umur 3-4 bulan, jumlah daun

3,5 – 4,5 helai dalam keadaan sempurna, tinggi tanaman 20 – 25 cm, bebas dari

organisme pengganggu tanaman.

(2)
(3)

Lampiran 3. Bagan plot penelitian

50 cm

50 cm

(4)

Lampiran 4. Kandungan unsur hara pupuk organik cair NASA (PT. Natural Nusantara, 2012)

Kandungan senyawa Persentase

N 2,60%

P2O5 1,36%

K2O 1,55%

C/N 5,86%

(5)
(6)

Lampiran 6. Hasil analisis tanah ultisol

Asal Sampel : Kebun Percobaan USU Tambunan

PARAMETER SATUAN NILAI KETEGORI

pH H2O --- 4,75 Masam

pH KCl --- 3,96 Masam

C organiik % 0,64 Sangat Rendah

Al dd KCl/N me / 100 g 1,23 Sangat Rendah

KTK me / 100 g 11,52 Rendah

Kejenuhan Al % 10,68 Sangat Rendah

Tekstur --- --- Lempung Liat

Berpasir

Kadar air % 13,00 ---

Kapasitas Lapang % 49,00 ---

P Ppm 4,75 Sangat Rendah

K me / 100 g 0,253 ---

(7)

Lampiran 7. Data pengamatan tinggi bibit 6 MST

Perlakuan Blok Total Rataan

1 2 3

Lampiran 8. Sidik ragam tinggi bibit 6 MST

(8)

Lampiran 9. Data pengamatan tinggi bibit 8 MST

Lampiran 10. Sidik ragam tinggi bibit 8 MST

(9)

Lampiran 11. Data pengamatan tinggi bibit 10 MST

Lampiran 12. Sidik ragam tinggi bibit 10 MST

(10)

Lampiran 13. Data pengamatan tinggi bibit 12 MST

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 14. Sidik ragam tinggi bibit 12 MST

(11)

Lampiran 15. Data pengamatan diameter batang 6 MST

Lampiran 16. Sidik ragam diameter batang 6 MST

(12)

Lampiran 17. Data pengamatan diameter batang 8 MST

Lampiran 18. Sidik ragam diameter batang 8 MST

(13)

Lampiran 19. Data pengamatan diameter batang 10 MST

(14)

Lampiran 21. Data pengamatan diameter batang 12 MST

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 22. Sidik ragam diameter batang 12 MST

(15)

Lampiran 23. Data pengamatan jumlah daun 6 MST

Perlakuan Blok Total rataan

I II III

Lampiran 24. Sidik ragam jumlah daun 6 MST

(16)

Lampiran 25. Data pengamatan jumlah daun 8 MST

Perlakuan Blok Total rataan

I II III

Lampiran 26. Sidik ragam jumlah daun 8 MST

(17)

Lampiran 27. Data pengamatan jumlah daun 10 MST

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 28. Sidik ragam jumlah daun 10 MST

(18)

Lampiran 29. Data pengamatan jumlah daun 12 MST

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 30. Sidik ragam jumlah daun 12 MST

(19)

Lampiran 31. Data pengamatan bobot basah akar

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 32. Sidik ragam bobot basah akar

(20)

Lampiran 33. Data pengamatan bobot basah tajuk

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 34. Sidik ragam bobot basah tajuk

(21)

Lampiran 35. Data pengamatan bobot kering akar

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 36. Sidik ragam bobot kering akar

(22)

Lampiran 37. Data pengamatan bobot kering tajuk

Perlakuan Ulangan Total Rataan

I II III

Lampiran 38. Sidik ragam bobot kering tajuk

(23)

Lampiran 39. Data pengamatan panjang akar

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 40. Sidik ragam panjang akar

(24)

Lampiran 41. Data pengamatan total luas daun

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

Lampiran 42. Sidik ragam total luas daun

(25)
(26)
(27)

Lampiran 45. Lahan percobaan

(28)

Lampiran 47. Panen tanaman blok I

Lampiran 48. Panen tanaman blok II

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, P. 2013. Kaya dengan bertani kelapa sawit. Pustaka Baru Press. Yogyakarta.

Arancon, N. Q., C. A. Edwards., S. Lee dan R. Byrne. 2006. Effects of humic acids from vermicomposts on plant growth. Soil Ecology Laboratory. Ohio State University. USA.

Andalusia, B., Zainabun., dan T. Arabia. 2016. Karakteristik Tanah Ordo Ultisol di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Perkebunan nusantara I (Persero) Cot Girek Kabupaten Aceh Utara

Badan penelitian dan pengembangan pertanian. 2001. Vermikompos (Kompos Cacing Tanah) Pupuk Organik Berkualitas Dan Ramah Lingkungan. Instalasi Penelitian Dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Diakses di pustaka.litbang.pertanian.go.id [24 januari 2016].

Bangun, A.M. 2010. Pengaruh Beberapa Kombinasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit dengan Pupuk NPKMg 12-12-17-2 terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) pada Pembibitan Utama. Skripsi. Universitas Andalas. Padang.

Departemen Perindustrian. 2007. Gambaran Sekilas Industri Minyak Kelapa Sawit. Diakses di

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Produksi, Produktivitas dan Luas lahan Kelapa Sawit. Jakarta.

Fatahillah. 2014. Pengaruh Vermikompos Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Cabai Merah Besar Capsicum annuum L. Di Kelurahan Mangalli, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Feryono., Armaini., dan A. E. Yulia. 2013. Pertumbuhan Dan Serapan Kalium Bibit Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Di Main-Nursery Dengan Efek Sisa Pemupukan Pada Beberapa Medium Tumbuh. Universitas Riau. Pekanbaru.

Fitriatin, B. N., A. Yuniarti., T. Turmuktini., dan F. K. Ruswandi. 2014. The Effects Of Phospate Solubilizing Microbe Producing Growth Regulators On Soil Phospate, Growth And Yield Of Maize And Fertilizer Efficiency On Ultisol. Eurasian J. Of soil Sci. Indonesia.

Hadi, M. M. 2004. Teknik Berkebun Kelapa Sawit. Adicita Karya Nusa. Yogyakarta

(30)

Irwan, A. W., A. Wahyudin, dan Farida. 2005. Pengaruh Dosis Kascing Dan

Bioaktivator Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Yang Dibudidayakan Secara Organik. Universitas

Padjajaran. Bandung. J. Kultivasi 4 (2).

Kuruparan, P., T. Norbu., dan A. Selvam. 2005. Vermicomposting as an Eco-Tool In Sustainable Solid Waste Management. Anna University

Leovini, H. 2012. Pemanfaatan Pupuk Organik Cair Pada Budidaya Tanaman Tomat (Solanum lycopersicum L.). Skripsi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Lestari, A. P., Hanibal., dan S. Syamsuddin. 2007. Subtitusi Pupuk Anorganik Dengan Kascing Pada Pembibitan Kakao (Theobroma cacao L.) Di Polybag. Universitas Jambi. Jambi. J. Agro 11(2)

Lubis, R. E dan A. Winarko. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Manheli, R. 2007. Pengaruh Pupuk Organik Cair Dan Agensia Hayati Terhadap

Pencegahan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides (Penz.) Sacc.) Pada Pembibitan Tanaman

Kakao (Theobroma cacao L.). Skripsi. USU Press. Medan.

Marliah, A., Nurhayati dan H. Mutia. 2010. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Nasa Dan Zat Pengatur Tumbuh Atonik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Kacang Tanah (Arachis hypogea L.). Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. J.Agrista 14 (3).

Marschner, H. 1986. Mieral Nutrition Of Higher Plants. Academic Press, Horcourt Brace And Company. London.

Maryani., P. Astuti., Dan M. Napitupulu. 2013. Pengaruh Pemberian Pupuk Organik Cair Nasa Dan Asal Bahan Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Stroberi (Fragaria sp). Universitas 17 Agustus 1945. Samarinda. J. Agrifor 7(2).

Nahampun, R. D.C. 2009. Pengaruh Pemberian Pupuk Kascing Dan Pupuk

Organik Cair Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kakao (Theobroma Cacao L.) Di Pre Nursery. Usu Press. Medan.

(31)

Novita, R. Y., Sampoerno., dan M. A. Khoiri. 2014. Efek Pemberian Pupuk

Kascing Dan Urea Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacaoL.). Univrsitas Riau. Pekanbaru. Jom Faperta 1 (2).

Novriani. 2015. Upaya Meningkatkan Pertumbuhan Dan Produksi Tanaman Seledri (Apium graveolens L.) Dengan Pemberian Pupuk Vermikompos Pada Tanah Ultisol. J. Ilmiah AgrIBA 3(1).

Nurahmi, E., F. Harun., dan Ikhwaluddin. 2011. Pengaruh Umur Pindah Bibit Dan Konsentrasi Pupuk Organik Cair Nasa Terhadap Pertumbuhan Bibit Kakao (Theobroma cacao L.). Universitas Syiah Kuala. Banda Aceh. J.Agrista 15(1).

Oka, A. A. 2007. Pengaruh Pemberian Pupuk Kascing Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kangkung Darat (Ipomea reptans Poir). Universitas Lampung. Lampung. J. Sains MIPA.13(1). 26-28

Paoli, G. D., P. Gillespie., P. L. Wells., L. Hovani., A. Sileuw., N. Franklin., dan J. Schweithelm. 2013. Tata Kelola, Pengambilan Keputusan Dan Implikasi Bagi Pembangunan Berkelanjutan. The Nature Conservancy. Jakarta. Indonesia.

Prasetyo, B. H dan D.A. Suriadikarta. 2006. Karakteristik, Potensi, Dan Teknologi Pengelolaan Tanah Ultisol Untuk Pengembangan Pertanian Lahan Kering Di Indonesia. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Prihandini, P. W. 2007. Petunjuk teknis pembuatan kompos berbahan kotoran sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

PT. Natural Nusantara. 2012. Pupuk Organik Cair NASA. Diakses di

Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2016. Diakses di http://www.iopri.org [ 20 Oktober 2016]

Risza, S. 1994. Kelapa Sawit Upaya Peningkatan Produktivitas. Kanisius. Yogyakarta.

_______. 2010. Masa Depan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.

(32)

___________., R. P. Singh., M. H. Ibrahim dan N. Esa. 2010. Review Of Current Palm Oil Mill Effluent (POME) Treatment Methods: Vermicomposting as a Sustainable Practice. University Sains Malaysia. Malaysia. J. World Applied Sciences 10(10): 1190- 1201.

Sembiring, E. L., Sampoerno., dan J. Sjofjan. 2013. Pengaruh Penggunaan Pupuk

Kascing Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) Dari Berbagai Sumber Asal Bibit Di Pembibitan

Utama. Universitas Riau. Pekanbaru. J. Agric

Setiawan, B dan D. Widiyantono. 2012. Pengembangan Life Skill Remaja Usia Produktif Dalam Bidang Produksi Pupuk Organik Kascing Berbasis Kewirausahaan Di Desa Binangun, Butuh, Purworejo. WARTA 15 (1).

Simamora, S., Salundik., Sriwahyuni dan Surajin. 2005. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak dan Gas Dari Kotoran Ternak. Agromedia Pustaka. Bogor.

Sinha, R. K. 2009. Earthworms Vermicompost: A Powerful Crop Nutrient Over The Conventional Compost & Protective Soil Conditioner Against The Destructive Chemical Fertilizers For Food Safety And Security. J. Agric. & Environ. Sci. Vol 5. 01-55.

__________., S. Agarwal., K. Chauhan dan D. Valani. 2010a. The Wonders Of Earthworms & Its Vermicompost In Farm Production: Charles Darwin’s ‘Friends Of Farmers’, With Potential To Replace Destructive Chemical Fertilizers From Agriculture. Griffith University. Australia. J. Agric. 1(2). 76-94.

__________., S. Agarwal., K. Chauhan., V. Chandran., dan B. K. Soni. 2010b. Vermiculture Technology: Reviving The Dreams Of Sir Charles Darwin For Scientific Use Of Earthworms In Sustainable Development Programs.

Griffith University. Australia. J. Technology and Investment. Vol 1. 155-172.

Sitompul, S. M dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Steel, R. G. D dan J. H. Torrie.1995. Prinsip dan Prosedur Statistika. Penterjemah Bambang Sumantri. Gramedia Pustaka. Jakarta..

Sutedjo, M. M., 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Rineka Cipta. Jakarta.

(33)

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas

permukaan laut pada bulan Mei sampai Agustus 2016.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih kecambah kelapa

sawit Tenera (DxP) PPKS Medan varietas Simalungun sebagai objek yang akan

diamati, pupuk organik cair (NASA), pupuk kascingsebagai perlakuan yang akan

diaplikasikan, polybag hitam ukuran 20 cm x 30 cm (2 kg tanah) sebagai tempat

media tanam pembibitan, tanah ultisol, pasir sebagai media tanam, paranet sebagai

bahan naungan, bambu sebagai bahan konstruksi naungan, dan bahan-bahan lain

yang mendukung penelitian ini.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, meteran,

timbangan analitik, gembor, sprayer, kertas label perlakuan dan penanda sampel,

ayakan, spidol, penggaris, jangka sorong, form data, kalkulator, alat tulis, oven,

pisau dan alat-alat lain yang mendukung penelitian ini.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial

dengan 2 faktor perlakuan, yaitu :

Faktor I : Dosis kascing (K) dengan 4 taraf yaitu :

K0 : 0 g/bibit

(34)

K3 : 300 g/bibit

Faktor II : Cara pemberian pupuk organik cair (C) dengan 3 cara yaitu :

C0 : Kontrol (Tanpa pemberian pupuk organik cair)

C1 : Disemprot di daun

C2 : Disiram di tanah

Sehingga diperoleh 12 kombinasi perlakuan yaitu:

K0C0 K1C0 K2C0 K3C0

K0C1 K1C1 K2C1 K3C1

K0C2 K1C2 K2C2 K3C2

Jumlah Ulangan (blok) : 3 blok

Jumlah plot : 36 Plot

Jumlah polybag/Plot : 4 Polybag

Jumlah sampel/plot : 4 Polybag

Jumlah seluruh tanaman : 144 tanaman

Jumlah seluruh tanaman sampel : 144 tanaman

Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam

berdasarkan model linier sebagai berikut:

Yijk = μ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk

Yijk : Hasil pengamatan pada blok ke-i akibat perlakuan dosis kascing (K) pada taraf ke-j dan cara pemberian pupuk organik cair (C) pada cara ke-k

Μ : Nilai tengah

Ρi : Efek dari blok ke-i.

αj : Efek dari perlakuan dosis kascing (K) pada taraf ke-j

(35)

(αβ)jk : Efek interaksi perlakuan dosis kascing (K) pada taraf ke-j dan pupuk organik cair (C) pada cara ke-k

Εijk : Efek galat pada blok ke-i akibat perlakuan pemberian dosis kascing (K) pada taraf ke-j dan pupuk organik cair (C) pada cara ke-k

Jika hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka analisis

dilanjutkan dengan menggunakan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf α = 5%

(36)

PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Areal Pembibitan

Lahan dipersiapkan sebaik mungkin dilahan datar dan terbuka, strategis dan

aman, dekat dengan sumber air permanen dan memiliki drainase yang baik. Areal

yang digunakan dibersihkan dari gulma dan sisa akar tanaman. Dibuat plot

percobaan dengan ukuran 50 x 50 cm dengan jarak antar blok 50 cm dan jarak

antar plot 30 cm. Kemudian dibuat naungan dari bahan paranet dengan tinggi

naungan 2 m dari permukaan lahan.

Persiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan adalah campuran ultisol dan pasir dengan

perbandingan 2 : 1. Sebelum digunakan ultisol dan pasir diayak dengan

menggunakan ayakan pasir berukuran 10 mesh. Media diisikan dalam polybag

hingga media cukup padat lalu ditimbang sehingga berat masing-masing polybag

sama. Kemudian polybag diletakkan dan disusun dengan jarak antar polybag

20 x 20 cm pada plot percobaan. Dalam satu plot terdapat 4 polybag.

Aplikasi Kascing

Aplikasi kascing dilakukan dengan mencampurkan kascing dengan media

tanam kemudian diaduk hingga tercampur rata sesuai dengan dosis perlakuan

masing-masing.

Penanaman Kecambah

Jarak waktu antara penanaman dan persiapan media tanam adalah 1 minggu.

Benih kecambah yang digunakan adalah kecambah normal yang memiliki

plumula dan radikula yang berlawanan arah. Tiap polybag ditanam 1 benih

(37)

Aplikasi Pupuk Organik Cair

Pupuk organik cair diaplikasikan melalui daun dan tanah pada pagi hari

pukul 08.00 – 10.00 WIB atau sore hari pukul 16.00 – 18.00 WIB dengan

menggunakan handsprayer. Konsentrasi pupuk organik cair yang digunakan

adalah 2 ml/liter air. Aplikasi pertama saat tanaman berumur 4 minggu setelah

tanam dengan interval 2 minggu. Setiap akan diaplikasikan melaui daun atau

tanah terlebih dahulu dilakukan kalibrasi pada tanaman pinggiran untuk

menentukan volume semprotnya.

Pemeliharaan Tanaman Penyiraman

Penyiraman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air tanaman bibit dan

agar media pembibitan kelapa sawit tetap terjaga kelembabannya. Penyiraman

dilakukan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari atau disesuaikan dengan

kondisi kelembaban media dan lahan. Penyiraman dilakukan dengan

menggunakan gembor.

Penyiangan

Penyiangan gulma dilakukan secara manual dengan mencabut gulma yang

ada dalam polibag dan lahan percobaan. Penyiangan dilakukan 1 kali seminggu

(38)

Parameter Pengamatan Tinggi Bibit

Pada media tanam diberi patok standar sebagai penanda pangkal bibit.

Tinggi bibit diukur mulai dari patok standar sampai dengan daun tertinggi setelah

diluruskan keatas. Pengukuran tinggi bibit dilakukan setelah bibit berumur 6

minggu setelah tanam (MST) hingga tanaman berumur 12 MST dengan interval 2

minggu menggunakan penggaris.

Diameter Batang

Diameter batang diukur dari dua arah berlawanan yang saling tegak lurus

kemudian dirata-ratakan. Diameter batang diukur pada ketinggian 1 cm diatas

patok standar. Pengukuran diameter batang dilakukan setelah bibit berumur 6

MST hingga tanaman berumur 12 MST dengan interval 2 minggu menggunakan

alat jangka sorong digital (Calliper).

Jumlah Daun

Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka sempurna

membentuk helaian daun. Perhitungan jumlah daun dilakukan setelah bibit

berumur 6 MST hingga tanaman berumur 12 MST dengan interval 2 minggu

Bobot Basah Akar

Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian yaitu setelah bibit berumur 12

MST. Akar dipisahkan dari tajuk kemudian dibersihkan dengan air kemudian

(39)

Bobot Basah Tajuk

Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian yaitu setelah bibit berumur 12

MST. Tajuk dipisahkan dari akar kemudian dibersihkan dengan air kemudian

dikering anginkan lalu ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

Bobot Kering Akar

Pengambilan data bobot kering akar dilakukan pada akhir penelitian yaitu

setelah bibit berumur 12 MST. Akar yang telah dipisahkan dari tajuk kemudian

dimasukkan kedalam amplop coklat selanjutnya diovenkan pada suhu 70°C

selama 48 jam atau sampai beratnya konstan, lalu ditimbang dengan

menggunakan timbangan analitik

Bobot Kering Tajuk

Pengukuran dilakukan pada akhir penelitian yaitu setelah bibit berumur 12

MST. Tajuk dipisahkan dari akar kemudian dibersihkan dengan air kemudian

dimasukkan kedalam amplop coklat selanjutnya diovenkan pada suhu 70°C

selama 48 jam atau sampai beratnya konstan, lalu ditimbang dengan

menggunakan timbangan analitik

Panjang Akar

Untuk parameter panjang akar, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar,

tanaman sampel destruktif yang digunakan sebanyak 2 tanaman. Panjang akar

dihitung dengan menggunakan alat meteran. Dimana setelah bibit dibongkar dari

polybag (12 MST) lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pengukuran dari pangkal

(40)

Total Luas Daun

Pengukuran total luas daun dilakukan pada akhir penelitian yaitu setelah

bibit berumur 12 MST. Panjang daun diukur dari pangkal sampai ujung daun dan

lebar daun diukur pada bagian tengah daun yang terlebar. Pengukuran dilakukan

dengan menggunakan penggaris atau meteran. Luas daun dapat dihitung dengan

menggunakan rumus A = P x L x k, dimana : A = Luas daun (cm2), P = Panjang

daun (cm), L = Lebar daun (cm), dan k = konstanta = 0,57 (daun belum

membelah/lanset pada tahap pre nursery), dihitung luas setiap daun dari satu

tanaman kemudian ditotalkan seluruhnya (Sitompul dan Guritno, 1995).

(41)

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Tinggi Bibit

Data pengamatan tinggi bibit dapat dilihat pada Lampiran 7 sampai 14.

Dari daftar sidik ragam diketahui bahwa perlakuan pemberian dosis kascing

berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit umur 6, 8, 10 dan 12 MST, sedangkan

perlakuan cara pemberian pupuk organik cair berpengaruh tidak nyata terhadap

tinggi bibit. Pada umur 12 MST interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata

terhadap tinggi bibit.

Rataan tinggi bibit terhadap pemberian dosis kascing dan cara pemberian

pupuk organik cair pada umur 6, 8, 10 MST dapat dilihat pada Tabel 1.

(42)

Rataan tinggi bibit terhadap pemberian dosis kascing dan cara pemberian

pupuk organik cair pada umur 12 MST dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Tinggi bibit pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair pada umur 12 MST

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa kascing (K0) dan

pemberian 100 g (K1) dan 200 g (K2), maka cara pemberian pupuk organik cair

berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit. Pada pemberian kascing 300 g

(K3), cara pemberian pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit

(Gambar 1).

Gambar 1. Hubungan berbagai cara pemberian pupuk organik cair dengan tinggi bibit pada berbagai dosis kascing pada umur 12 MST

Pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0), pemberian pupuk

organik cair ke daun (C1), dan pemberian pupuk organik cair ke tanah (C2), maka

(43)

Hubungan interaksi dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair

terhadap tinggi bibit dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan berbagai dosis kascing dengan tinggi bibit pada berbagai cara pemberian pupuk organik cair pada umur 12 MST

Pada umur 12 MST kombinasi perlakuan K1C1 memberikan tinggi bibit

tertinggi sebesar 22,14 cm yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan K1C0

(20,63 cm), K1C2 (20,28 cm), dan K3C0 (20,93) namun berbeda nyata dengan

kombinasi perlakuan lainnya, sedangkan tinggi bibit terendah terdapat pada

perlakuan K0C2 sebesar 16,14 cm.

Diameter Batang

Perlakuan dosis kascing berpengaruh nyata terhadap diameter batang pada

umur 6, 8, 10 dan 12 MST, sedangkan perlakuan cara pemberian pupuk organik

cair berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang (Lampiran 15 - 22 ).

Interaksi kedua perlakuan berpengaruh nyata terhadap diameter batang umur 12

MST .

(44)

Tabel 3. Diameter batang pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kelompok kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Rataan diameter batang terhadap pemberian dosis kascing dan cara

pemberian pupuk organik cair pada umur 12 MST dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Diameter batang pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair pada umur 12 MST

Kascing (g)

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

(45)

tidak nyata terhadap diameter batang. Pada pemberian kascing 200 g (K2) dan 300

g (K3), cara pemberian pupuk organik cair berpengaruh nyata terhadap diameter

batang (Gambar 3).

Gambar 3. Hubungan berbagai cara pemberian pupuk organik cair dengan diameter batang pada berbagai dosis kascing pada umur 12 MST

Pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0), pemberian pupuk

organik cair ke daun (C1), dan pemberian pupuk organik cair ke tanah (C2), maka

dosis kascing berpengaruh nyata terhadap diameter batang.

Hubungan interaksi dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair

terhadap diameter batang dapat dilihat pada Gambar 4.

(46)

Gambar 4. Hubungan berbagai dosis kascing dengan diameter batang pada berbagai cara pemberian pupuk organik cair umur 12 MST

Pada umur 12 MST kombinasi perlakuan K2C2 memberikan diameter

batang terbesar yaitu 9,75 mm yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan K1C0

(9,00 mm), K1C1 (9,03 mm), dan K3C0 (8.97 mm) namun berbeda nyata dengan

kombinasi perlakuan lainnya, sedangkan diameter batang terendah terdapat pada

perlakuan K0C0 yaitu 7,29 mm.

Jumlah Daun

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kascing

berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun umur 6 MST dan berpengaruh

nyata pada umur 8, 10, dan 12 MST, sedangkan Perlakuan cara pemberian pupuk

organik cair serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah

daun umur 6, 8, 10, dan 12 MST (Lampiran 23 - 30 ).

Rataan jumlah daun terhadap dosis kascing dan cara pemberian pupuk

(47)

Tabel 5. Jumlah daun pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kelompok kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Tabel 5 menunjukkan bahwa pada umur 12 MST perlakuan kascing K1

(100 g) memberikan jumlah daun terbanyak yaitu 4,28 helai dan yang terendah

pada K0 (0 g) yaitu 3,47 helai.

Hubungan antara berbagai dosis kascing dengan jumlah daun pada umur 12

(48)

Gambar 5. Hubungan berbagai dosis kascing dengan jumlah daun pada umur 12 MST

Gambar 5 menunjukkan bahwa pada perlakuan dosis kascing menghasilkan

jumlah daun yang mengikuti kurva linear. Dimana semakin tinggi dosis kascing

jumlah daun juga semakin bertambah.

Bobot Basah Akar

Data bobot basah akar terdapat pada Lampiran 31, sedangkan sidik ragamnya

pada Lampiran 32 . Dari Lampiran 32 terlihat bahwa perlakuan dosis kascing

berpengaruh nyata terhadap bobot basah akar, sedangkan perlakuan cara pemberian

pupuk organik cair dan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata. Rataan bobot

basah akar disajikan pada Tabel 6 berikut.

(49)

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa bobot basah akar tertinggi diperoleh pada

perlakuan kascing K1 (100 g/bibit) yaitu 1,09 g yang berbeda tidak nyata dengan

K3, namun berbeda nyata dengan K0 dan K1 dan bobot basah akar terendah

diperoleh pada perlakuan K0 yaitu 0,63 g.

Hubungan antara bobot basah akar dengan dosis kascing dapat dilihat pada

Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan antara dosis kascing dengan bobot basah akar

Gambar 6 menunjukkan bahwa pada perlakuan dosis kascing menghasilkan

bobot basah akar yang mengikuti kurva linear. Dimana semakin tinggi dosis

kascing bobot basah akar juga semakin meningkat.

Bobot Basah Tajuk

Data bobot basah tajuk secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 33,

sedangkan sidik ragamnya pada Lampiran 34. Pemberian dosis kascing

memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot basah tajuk, sedangkan cara

pemberian pupuk organik cair serta interaksi kedua faktor berpengaruh tidak

nyata. Rataan bobot basah akar disajikan pada Tabel 7 berikut.

(50)

Tabel 7. Bobot basah tajuk pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa bobot basah tajuk tertinggi diperoleh pada

perlakuan K1 yaitu 3,99 g yang berbeda nyata dengan K0, K2, K3, dan terendah

pada perlakuan K0 yaitu 2,09 g. Hubungan antara bobot basah tajuk dengan dosis

kascing dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan antara dosis kascing dengan bobot basah tajuk

Gambar 7 menunjukkan bahwa pada perlakuan dosis kascing menghasilkan

(51)

Bobot Kering Akar

Data pengamatan bobot kering akar dan sidik ragam dapat dilihat pada

Lampiran 35 dan 36. Dari sidik ragam diketahui bahwa pemberian kascing, pupuk

organik cair, dan interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap parameter

bobot kering akar. Rataan bobot kering akar pada pemberian kascing dan pupuk

organik cair dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Bobot kering akar pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair

Data bobot kering tajuk secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 37,

sedangkan sidik ragamnya pada Lampiran 38. Perlakuan dosis kascing

berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk, sedangkan perlakuan cara

pemberian pupuk organik cair serta interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata.

Rataan bobot kering tajuk pada pemberian berbagai dosis kascing dan cara

(52)

Tabel 9. Bobot kering tajuk pada berbagai dosis kascing dan cara

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa bobot kering tajuk tertinggi diperoleh pada

perlakuan K1 yaitu 1,62 g yang berbeda nyata dengan K0, K2, namun tidak

berbeda nyata dengan K3 dan terendah pada perlakuan K0 yaitu 0,89 g. Hubungan

antara bobot kering tajuk dengan dosis kascing dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan antara dosis kascing dengan bobot kering tajuk

Dari Gambar 8 dapat diketahui bahwa hubungan dosis kascing dengan

bobot kering tajuk menunjukkan hubungan kurva linear, dimana semakin tinggi

(53)

Panjang Akar

Data panjang akar secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 39,

sedangkan sidik ragamnya pada Lampiran 40. Dosis kascing dan cara pemberian

pupuk organik cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang akar,

sedangkan interaksi kedua faktor berpengaruh tidak nyata. Rataan panjang akar

pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair dapat dilihat

pada Tabel 10.

Tabel 10. Panjang akar pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris atau kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pada perlakuan dosis kascing, panjang

akar tertinggi diperoleh pada perlakuan K3 yaitu 34,01 cm yang berbeda nyata

dengan K0, K1, K2, dan terendah pada perlakuan K0 yaitu 2,09 cm, sedangkan

pada perlakuan cara pemberian pupuk organik cair diperoleh hasil tertinggi pada

perlakuan C1 yaitu 30,17 cm dan terendah pada perlakuan C0 yaitu 24,57 cm.

(54)

Gambar 9. Hubungan antara dosis kascing dengan panjang akar

Gambar 9 menunjukkan bahwa perlakuan dosis kascing menghasilkan

panjang akar yang mengikuti kurva linear. Dimana semakin tinggi dosis kascing

panjang akar juga semakin bertambah.

Hal ini karena penambahan kascing pada medium yang mendapat perlakuan

kascing dapat meningkatkan unsur hara yang dibutuhkan bibit sehingga

mendukung akar dalam menyerap unsur hara tersebut.

Hubungan antara panjang akar dengan cara pemberian pupuk organik cair

dapat dilihat pada Gambar 10.

(55)

Total luas daun

Data pengamatan total luas daun dapat dilihat pada Lampiran 41 dan 42.

Dari daftar sidik ragam diketahui bahwa perlakuan dosis kascing berpengaruh

nyata terhadap total luas daun, sedangkan perlakuan cara pemberian pupuk

organik cair berpengaruh tidak nyata. Interaksi kedua perlakuan berpengaruh

nyata terhadap total luas daun.

Rataan total luas daun terhadap dosis kascing dan cara pemberian pupuk

organik cair dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Total luas daun pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.

Tabel 11 menunjukkan bahwa pada perlakuan tanpa kascing (K0) dan

pemberian kascing 200 g (K2), cara pemberian pupuk organik cair berpengaruh

tidak nyata terhadap total luas daun. Sedangkan pada pemberian kascing 100 g

(K1) dan 300 g (K3) cara pemberian pupuk organik cair berpengaruh nyata

(56)

Gambar 11. Hubungan berbagai cara pemberian pupuk organik cair dengan total luas daun pada berbagai dosis kascing

Pada perlakuan tanpa pemberian pupuk organik cair (C0), pemberian pupuk

organik cair ke daun (C1), dan pemberian pupuk organik cair ke tanah (C2), maka

dosis kascing berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit.

Hubungan interaksi dosis kascing dan cara pemberian pupuk organik cair

terhadap total luas daun dapat dilihat pada Gambar 12.

(57)

Dari Gambar 12 terlihat bahwa total luas daun tertinggi terdapat pada

kombinasi perlakuan K1C1 (115,65 cm2), berbeda tidak nyata dengan K2C2

(95,73 cm2), namun berbeda nyata dengan kombinasi perlakuan lainnya,

(58)

Pembahasan

Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit terhadap pemberian kascing

Data dan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian kascing

pada berbagai taraf berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, jumlah daun,

diameter batang, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, panjang

akar dan total luas daun.

Tabel 2 dan 4 menunjukkan bahwa pemberian kascing berepngaruh nyata

terhadap tinggi bibit dan diameter batang. Tinggi bibit tertinggi terdapat pada

perlakuan K1 dan terendah pada K0. Diameter batang terbesar terdapat pada

perlakuan K2 dan terendah pada K0.

Kascing sebagai bahan organik selain berperan dalam memperbaiki sifat

fisik dan biologi tanah juga menyediakan unsur hara seperti Nitrogen yang dapat

dimanfaatkan oleh bibit untuk proses fisiologis bersama unsur lain seperti Fosfor

dan Kalium sehingga dapat memicu pertambahan tinggi bibit. Nitrogen (N) yang

berperan sebagai penyusun protein dan Fosfor (P) berperan dalam transfer energi,

diperlukan untuk kegiatan fisiologis tanaman dan akan mempengaruhi

pertumbuhan tanaman. Aktivitas fotosintesis menghasilkan fotosintat yang akan

ditranslokasikan kebagian meristem dan dilanjutkan dengan terjadinya

pembelahan serta pemanjangan sel sehingga tanaman dapat menjadi besar. Selain

itu, ketersediaan hormon giberalin dan sitokinin dalam kascing juga

mempengaruhi perbedaan proses pertumbuhan bibit. Giberalin dapat memacu

pertumbuhan batang tanaman dan sitokinin berperan untuk merangsang

pembelahan sel sehingga jumlah pertambahan dari sel-sel yang baru yang

(59)

batang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nainggolan dan Samah (2004) yang

menyatakan bahwa selain pupuk kascing merupakan bahan organik yang dapat

meningkatkan produksi tanaman karena dapat menyediakan unsur hara untuk

memperbaiki sifat fisik kimia dan biologi tanah, meningkatkan kesuburan tanah,

kascing juga mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi kondisi hormonal

baik secara langsung atau tidak langsung, mekanismenya lebih bersifat fisiologis

dan biokemis.

Tabel 5 dan 11 menunjukkan bahwa pemberian kascing berpengaruh nyata

terhadap jumlah daun dan total luas daun. Jumlah daun terbanyak terdapat pada

perlakuan K1 dan paling sedikit pada K0. Total luas daun terbesar terdapat pada

perlakuan K2 dan terkecil pada K0.

Nitrogen yang cukup akan mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih

baik sehingga dapat meningkatkan jumlah daun. Sutedjo (2002) menyatakan

bahwa nitrogen merupakan unsur hara utama dalam pertumbuhan tanaman untuk

pembentukan bagian vegetatif tanaman seperti daun. Fosfor pada kascing sebagai

elemen penyusun protein dan asam nukleat serta magnesium sebagai penyusun

molekul klorofil dan aktivator enzim berperan dalam proses fotosintesis sehingga

fotosintat yang dihasilkan dapat ditranslokasikan untuk mendukung pertambahan

pertumbuhan daun. Selain itu, pada kascing juga terdapat hormon sitokinin yang

dapat merangsang proses sitokinesis atau pembelahan sel sehingga dalam

prosesnya dapat mendukung pertumbuhan untuk pertambahan jumlah daun.

Tabel 6 dan 7 menunjukkan bahwa pemberian kascing berpengaruh nyata

(60)

terdapat pada perlakuan K1 dan terendah pada K0. Bobot basah tajuk tertinggi

terdapat pada perlakuan K1 dan terendah pada K0.

Kotoran cacing (kascing) mengandung unsur hara yang dibutuhkan tanaman

untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Bangun (2010) menyatakan bahwa

walaupun komposisi bahan organik sangat kecil pada tanah ideal yaitu 5 % namun

bahan organik justru menjadi faktor kunci berlangsungnya dinamika kehidupan

dalam tanah karena memiliki peran multifungsi yaitu mampu merubah sifat fisik,

kimia dan biologi tanah sehingga tanah dapat dikelola menuju kondisi yang ideal

bagi tanaman.

Tabel 9 dan 10 menunjukkan bahwa pemberian kascing berpengaruh nyata

terhadap bobot kering tajuk dan panjang akar. Bobot kering tajuk tertinggi

terdapat pada perlakuan K1 dan terendah pada K0. Panjang akar terpanjang

terdapat pada perlakuan K3 dan terendah K0. Kandungan bahan organik yang

terdapat pada kascing dapat membuat struktur tanah menjadi lebih gembur

sehingga mempermudah akar dalam menyerap hara. Hal ini didukung oleh

pernyataan Lestari et al (2007) yang meyatakan bahwa kascing dapat

meningkatkan permeabilitas, aerasi dan kapasitas mengikat air. Dengan semakin

baiknya struktur tanah maka akan membantu mempermudah penetrasi akar

kedalam tanah dan meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap hara

Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit terhadap cara aplikasi pupuk organik cair

Perlakuan cara aplikasi pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata terhadap

hampir semua parameter pengamatan. Perlakuan cara aplikasi pupuk organik cair

(61)

oleh beberapa sebab seperti faktor lingkungan, tehnik kalibrasi, tingkat ketelitian, dan

konsentrasi dari pupuk organik cair tersebut.

kandungan unsur hara yang terdapat pada pupuk organik cair nasa juga

rendah yaitu N 2,6%, P205 1,36%, K20 1,55%. Selain kandungan hara yang rendah,

pupuk organik cair termasuk pupuk yang cepat terurai sehingga ketersediaan unsur

hara untuk bibit kelapa sawit cepat habis dan tidak tersedia lagi. Selain itu pupuk

organik cair nasa yang digunakan terbuat dari limbah ternak unggas dan limbah

alam yang memiliki tekstur lebih besar dari 1 nm sehingga tidak dapat diserap

oleh daun. Hal ini sesuai dengan literatur Marschner (1986) yang menyatakan

bahwa unsur hara yang dapat diserap melalui stomata hanya yang dalam bentuk

gas yaitu C02, H20, dan sebagian kecil SO2, NH3, NO2. Sedangkan pupuk cair

hanya dapat diserap oleh epidermis atas melalui ectodesmata dengan syarat

diameter molekul pupuk cair tersebur lebih kecil dari 1 nm.

curah hujan pada saat penanaman juga sangat tinggi, sehingga diduga curah

hujan yang tinggi menyebabkan terjadinya pencucian unsur hara yang disemprotkan

melalui permukaan daun. Hal ini sesuai dengan literatur Prihandini (2007) yang

menyatakan bahwa penyemprotan pupuk pada daun jangan dilakukan menjelang atau

ketika musim hujan, karena pupuk akan habis tercuci oleh air hujan, lagi pula pada

saat itu, stomata sedang tertutup sehingga pupuk tidak akan dapat masuk secara

optimal.

Interaksi antara pemberian kascing dan cara aplikasi pupuk organik cair terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa nteraksi pemberian kascing

(62)

jumlah daun, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, bobot kering

tajuk, dan panjang akar.

Pengaruh nyata interaksi kascing dengan cara aplikasi pupuk organik cair

terhadap tinggi bibit, diameter batang dan total luas daun disebabkan oleh

membaiknya kondisi media tanam akibat penambahan bahan organik berupa

kascing. Bahan organik yang ditambahkan kedalam tanah dapat memperbaiki sifat

fisik, kimia maupun biologi tanah. Kondisi tanah yang baik menyebabkan

penyerapan hara oleh tanaman menjadi lebih efektif sehingga dapat mendukung

pertumbuhan termasuk pertambahan tinggi tanaman. Hal ini didukung oleh

pernyataan Sinha et al, (2010) yang menyatakan bahwa Kascing mengandung enzim seperti amilase, lipase, selulase dan kitinase, yang mampu memecah

bahan organik dalam tanah (untuk melepaskan nutrisi dan membuatnya tersedia

untuk akar tanaman). kasing juga meningkatkan kadar beberapa enzim tanah

penting seperti dehidrogenase, asam dan alkalin fosfatase dan urease.

Selaian itu Kombinasi kompos kascing dan pupuk organik cair adalah

kombinasi pupuk organik. Simamora, et al, (2005) menyatakan bahwa

pencampuran pupuk cair organik dengan pupuk organik padat dapat mengaktifkan

unsur hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut. Marliah et al (2010)

juga menyebutkan bahwa Penggunaan pupuk organik memberikan keuntungan

karena tidak meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman bagi

kesehatan manusia. Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk organik

tidak lebih baik dari pupuk anorganik, namun secara terus-menerus dalam rentang

(63)

Untuk parameter – parameter produksi, yaitu bobot segar dan bobot kering

kombinasi kompos kascing dan pupuk organik cair tidak berpengaruh nyata. Hal

ini diduga karena pemberian kascing lebih berpengaruh dari pada pupuk organik

cair karena kascing diaplikasikan sebelum tanam, sedangkan pupuk organik cair

diaplikasikan setelah tanam, dimana saat itu curah hujan tinggi, sehingga diduga

(64)

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Perlakuan kascing berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering akar tetapi

berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, jumlah daun, diameter batang,

bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, panjang akar dan

total luas daun. Bobot kering tajuk tertinggi (1,62 g) diperoleh pada

pemberian 100 g kascing/bibit.

2. Perlakuan pupuk organik cair berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi bibit,

jumlah daun, diameter batang, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot

kering akar, bobot kering tajuk, dan total luas daun tetapi berpengaruh nyata

terhadap panjang akar. Panjang akar tertinggi (34,01 cm) diperoleh pada

perlakuan cara pemberian pupuk organik cair disemprot kedaun

3. Interaksi antara pemberian kascing dan cara aplikasi pupuk organik cair

berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun, bobot bobot basah akar,

bobot basah tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk, dan panjang akar

tetapi berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit, diameter batang dan total

luas daun. Total luas daun tertinggi (115,65 cm2) diperoleh pada pemberian

100 g kascing/bibit dengan cara pemberian pupuk organik cair disemprot ke

daun.

Saran

Untuk meningkatkan pertumbuhan bibit kelapa sawit di pre nursery,

disarankan untuk menambahkan kascing dengan dosis 100 g/bibit serta pupuk

(65)

TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman

Berdasarkan Adi (2013) tanaman kelapa sawit termasuk kedalam Kingdom

Plantae, Divisio Spermatophyta, Subdivisio Angiospermae, Kelas

Monocotyledoneae, Ordo Palmales, Famili Palmaceae; Genus Elaeis, Species

Elaeis guinensis Jacq.

Akar kelapa sawit berasal dari pangkal batang dan terdiri dari 4 jenis akar.

Akar primer memiliki diameter 8-10 mm panjangnya dapat mencapai 18 meter.

Akar sekunder memiliki diameter 2-4 mm, akar tersier berdiameter 0,7-1,5 mm

meiliki panjang sekitar 15 cm. Akar kwartier memiliki diameter 0,1-0,5 mm

dengan panjang sekitar 1-4 mm. Akar primer dan sekunder secara umum

berfungsi untuk menyerap air, sedangkan akar kwartier berfngsi untuk menyerap

nutrisi. Sistem perakaran membentuk sudut siku-siku terhadap jenis akar

berikutnya. Akar sekunder berasal dari akar primer dan tegak lurus terhadap akar

sekunder. Akar tersier berasal dari akar sekunder dan tegak lurus terhadap akar

sekunder, demikian juga dengan akar kwartier (Lubis dan Winarko, 2011).

Kelapa sawit termasuk tanaman monokotil dan batangnya tidak memiliki

kambium serta pada umumnya tidak bercabang. Pada pertumbuhan awal setelah

fase muda (seedling) terjadi pembentukan batang yang melebar tanpa terjadi

pemanjangan internodia (ruas). Tinggi batang bertambah kira-kira 45 cm/tahun.

Tinggi maksimum tanaman kelapa sawit yang ditanam diperkebunan 15-18 meter,

sedangkan di alam liar dapat mencapai 30 meter. Titik tumbuh batang kelapa

(66)

sukar terlepas walaupun daun telah kering dan mati. Bagian bawah umumnya

lebih besar disebut bonggol batang. Pada tanaman tua, pangkal-pangkal pelepah

yang masih tertinggal di batang akan terkelupas, sehingga batang kelapa sawit

tampak berwarna hitam beruas sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa

biasa (Adi, 2013).

Daun terdiri dari tangkai daun (petiole) yang kedua sisinya terdapat dua

baris duri. Tangkai daun bersambungan langsung dengan tulang daun utama yang

lebih panjang dari tangkai daun. Pada kiri dan kanan tulang daun terdapat anak

daun (pinnae). Tiap anak daun terdapat tulang daun (lidi) yang menghubungkan

anak daun dengan tulang daun utama. Pada tanaman kelapa sawit pembentukan

daun membutuhkan waktu 4 tahun dari awal pembentukan daun hingga daun

menjadi layu secara alami. pada saat kuncup daun telah mekar, daun kelapa sawit

sudah berumur sekitar 2 tahun dari awal pembentukannya. Kelapa sawit dapat

menghasilkan 1-3 daun setiap bulannya. Daun atau pelepah kelapa sawit

merupakan dapur bagi tanaman, tempat untuk menghasilkan energi yang

dibutuhkan oleh tanaman (Lubis dan Winarko, 2011).

Tanaman kelapa sawit yang berumur tiga tahun sudah mulai dewasa dan

mulai mengeluarkan bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan berbentuk

lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat. Tanaman kelapa sawit

mengadakan penyerbukan silang (cross pollination). Artinya bunga betina dari

pohon yang satu dibuahi oleh bunga jantan dari pohon yang lainnya dengan

perantaraan angin dan atau serangga penyerbuk (Adi, 2013).

Buah kelapa sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam,ungu, hingga

(67)

muncul dari tiap pelepah. Kandungan minyak bertambah sesuai kematangan buah.

Setelah melewati fase matang, kandungan asam lemak bebas akan meningkat dan

buah akan rontok dengan sendirinya. Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80

persen perikarp dan 20 persen buah yang dilapisi kulit yang tipis, kadar minyak

dalam perikarp sekitar 34-40 persen. Buah terdiri dari tiga lapisan yaitu eksokarp,

mesokarp dan endoskarp. Buah yang sangat muda berwarna hijau pucat. Semakin

tua warnanya berubah menjadi hijau kehitaman kemudian menjadi kuning muda

dan setelah matang menjadi merah kuning ((Lubis dan Winarko, 2011).

Setiap jenis kelapa sawit memiliki ukuran dan bobot biji yang yang berbeda.

Biji kelapa sawit umumnya memiliki periode dorman. Perkecambahannya dapat

berlangsung lebih dari 6 bulan dengan keberhasilan sekitar 50%. Agar

perkecambahannya dapat berlangsung lebih cepat dan tingkat keberhasilannya

lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan pre-treatment (Adi, 2013).

Syarat Tumbuh Tanah

Kelapa sawit dapat tumbuh diberbagai jenis tanah seperti podsolik

cokelat, podsolik kuning, podsolik merah kuning, hidromorfik kelabu, alluvial

regosol, gley humik, organosol (tanah gambut). Tanah podsolik merah kuning

termasuk subur dan cocok untuk tanaman kelapa sawit dan banyak tersebar

diseluruh indonesia. Bagi tanaman kelapa sawit sifat fisik tanah lebih penting

daripada sifat kesuburan kimiawinya karena kekurangan suatu unsur hara dapat

diatasi dengan pemupukan (Risza, 2010).

(68)

produksi yang tinggi dibutuhkan kandungan unsur hara yang tinggi juga. Selain

itu pH tanah sebaiknya bereaksi asam dengan kisaran nilai 4,0 – 6,0 dan ber pH

optimum 5,0-5,5. Kelapa sawit memang pada dasarnya bisa tumbuh diberbagai

jenis tanah. Namun jika tumbuh di tanah yang kurang cocok walaupun bisa hidup

kelapa sawit tersebut kurang bisa tumbuh dan berkembang secara cepat

(Adi, 2013).

Kedalaman air tanah merupakan faktor yang sangat penting karena

berkaitan dengan kebutuhan air jika terjadi kemarau panjang. Kedalam air tanah

tanaman kelapa sawit adalah 80- 150 cm dari permukaan. Jika kekurangan air,

kelapa sawit akan mengalami stres, ditandai dengan meningkatnya jumlah bunga

jantan dan menurunnya bunga betina yang dihasilkan. Sebaliknya, jika kedalaman

air tanah terlalu dangkal, akar kelapa sawit akan selalu tergenang sehingga

perkembangan akar dan aerasi menjadi buruk (Hadi, 2004).

Kemiringan tanah yang dianggap masih baik bagi tanaman kelapa sawit

adalah antara 0 – 15°. Sedangkan diatas kemiringan 15° harus dibuat teras kontur.

Pada topografi datar di daerah sumatera biasanya dijumpai tanah gley humik atau

hidromorfik (Risza, 1994).

Iklim

Curah hujan yang ideal bagi pertumbuhan kelapa sawit adalah

2.500 – 3.000 mm per tahun dengan distribusi merata sepanjang tahun, tidak

terdapat bulan kering berkepanjangan dengan curah hujan dibawah 120 mm dan

tidak terdapat bulan basah dengan hujan lebih dari 20 hari. Kelapa sawit masih

dapat tumbuh dengan baik di daerah yang curah hujannya sekitar 1.800 mm per

(69)

kering. Kelapa sawit juga dapat tumbuh baik pada daerah dengan curah hujan

diatas 3.000 mm pertahun, asal distribusinya tidak merata sepanjnag tahun karena

curah hujan yang terlalu tinggi akan berpengaruh buruk terhadap proses

penyerbukan (Hadi, 2004).

Pembagian hujan yang merata dalam satu tahunnya berpengaruh kurang

baik karena pertumbuhan vegetatif lebih dominan daripada pertumbuhan generatif

sehingga bunga atau buah yang terbentuk relatif lebih sedikit. Kelapa sawit

termasuk tanaman yang menyukai cahaya matahari. Penyinaran matahari sangat

berpengaruh terhadap perkembangan buah kelapa sawit. Tanaman yang kurang

mendapat sinar matahari karena jarak tanam yang sempit, pertumbuhannya akan

terhambat karena hasil asimilasinya kurang (Adi, 2013).

Suhu optimal rata-rata yang diperlukan oleh kelapa sawit adalah

27-32 °C. Tinggi rendahnya suhu berkaitan erat dengan ketinggian lahan dari

permukaan air laut. Oleh karena itu, ketinggian lahan yang baik untuk perkebunan

kelapa sawit adalah 0 – 400 mdpl, karena pada ketinggian tersebut temperatur

udara diperkirakan 27 – 32 °C. Kelapa sawit akan tumbuh optimal pada

kelembaban udara 80 – 90% (Hadi, 2004).

Sinar matahari dapat mendorong pembentukan bunga, pertumbuhan

vegetatif dan produksi buah. Berkurangnya lama penyinaran matahari akan

mengurangi proses asimilasi untuk memproduksi karbohidrat dan pembentukan

bunga (sex ratio) yang berakibat berkurangnya jumlah bunga betina. Tetapi jika

penyinaran matahari terlalu lama juga dapat berakibat buruk bagi tanaman, karena

(70)

Untuk meningkatkan produksi, kelapa sawit membutuhkan minimal

1.800 jam penyinaran per tahun atau rata – rata 4,5 jam per hari. Lama penyinaran

matahari yang optimal untuk kelapa sawit adalah sekitar 2.200 jam per tahun atau

6-7 jam per hari (Hadi, 2004).

Kascing

Pupuk organik dihasilkan dari proses pengomposan atau perombakan

bahan organik oleh sejumlah organisme pengurai. Salah satu organisme pengurai

adalah cacing tanah. Produk yang dihasilkan dari hasil penguraian cacing tanah

tersebut adalah pupuk organik yang sering disebut pupuk Kascing

(Bekas kotoran cacing) (Setiawan dan Widiyantono, 2012).

Vermicomposting adalah proses pengomposan limbah organik menjadi

pupuk berkualitas tinggi dengan bantuan cacing tanah. Cacing tanah digunakan

untuk mengubah bahan organik menjadi menjadi humus yang dikenal sebagai

vermikompos atau pupuk kascing (kotoran cacing). Melalui vermicomposting

terjadi proses reaksi fisika, kimia dan biologi yang menyebabkan terjadinya

perubahan dalam bahan organik tersebut (Rupani et al, 2010). Beberapa penelitian

membuktikan potensi penggunaaan cacing tanah dalam meningkatkan unsur hara.

Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa vermicomposting merupakan solusi

efektif dan ekonomis untuk menangani masalah pembuangan limbah organik

(Rupani et al, 2012).

Cacing tanah dapat meningkatkan kesuburan tanah karena mampu

meningkatkan jumlah nitrogen mineral sehingga tersedia untuk pertumbuhan

(71)

humat dalam jumlah yang signifikan yang bertindak sebagai regulator tanaman

(Arancon et al, 2006).

Kascing sebagai pupuk organik memiliki kemampuan untuk

memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga tanah menjadi lebih

gembur. Selain itu kascing juga meningkatkan permeabilitas, aerasi dan kapasitas

mengikat air. Dengan semakin baiknya struktur tanah maka akan membantu

mempermudah penetrasi akar kedalam tanah dan meningkatkan kemampuan akar

dalam menyerap hara (Lestari et al, 2007).

Selain pupuk kascing merupakan bahan organik yang dapat

meningkatkan produksi tanaman karena dapat menyediakan unsur hara untuk

memperbaiki sifat fisik kimia dan biologi tanah sehingga dapat meningkatkan

kesuburan tanah, kascing juga mengandung zat kimia yang dapat mempengaruhi

kondisi hormonal baik secara langsung atau tidak langsung, mekanismenya lebih

bersifat fisiologis dan biokemis. Kascing kaya unsur hara dan dapat berfungsi

sebagai bahan organik (amelioran), dapat digunakan meningkatkan status

kesuburan tanahnya sehingga mampu mengabsorbsi unsur hara yang diberikan

melalui pemupukan dan menyediakan bagi akar tanaman

(Nainggolan dan Samah, 2004).

Kascing mengandung enzim seperti amilase, lipase, selulase dan

kitinase, yang mampu memecah bahan organik dalam tanah (untuk melepaskan

nutrisi dan membuatnya tersedia untuk akar tanaman). Kascing juga

meningkatkan kadar beberapa enzim tanah penting seperti dehidrogenase, asam

(72)

karena menghidrolisis urea dan fosfat agar tersedia bagi tanaman

(Sinha et al, 2010b).

Kascing memiliki kandungan nutrisi NPK yang tinggi

(nitrogen 2-3%, kalium 1,85-2,25% dan fosfor 1,55-2,25%), mikronutrien,

mikroba tanah yang menguntungkan seperti bakteri pengikat nitrogen dan jamur

mikoriza (Sinha, 2009). Selain itu Vermikompos mengandung berbagai unsur Ca,

Mg, S. Fe, Mn, AI. Na, Cu. Zn, Bo dan Mo tergantung pada bahan yang

digunakan (Balitbang, 2001). Kascing memiliki porositas, aerasi, drainase, dan

daya ikat air yang tinggi sehingga aplikasinya pada tanah dapat mengurangi

kebutuhan air untuk irigasi sebesar 30-40% (Sinha et al, 2010a).

Penggunaan pupuk kascing memiliki beberapa kelebihan yaitu memiliki

kadar nutrisi tinggi yang tersedia bagi tanaman, kaya mikroorganisme tanah yang

bermanfaat meningkatkan pertumbuhan tanaman, kaya hormon pertumbuhan,

kaya akan asam humat, bebas patogen, bebas dari bahan kimia beracun,

melindungi tanaman dari serangan hama penyakit, meningkatkan perlawanan

biologis pada tumbuhan, mencegah hama dan menekan penyakit tanaman

(Sinha, 2009).

Hasil penelitian Sembiring et al (2013) menunjukkan bahwa pemberian pupuk kascing pada taraf 60 g/polibeg pada tanaman kelapa sawit di pembibitan

utama memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi bibit,

pertambahan jumlah daun dan pertambahan diameter bonggol. Hasil penelitian

Nainggolan dan Samah (2004) juga menyebutkan bahwa pemberian pupuk

kascing pada dosis 2,5 g/polibeg dapat meningkatkan serapan hara P pada bibit

(73)

Hasil penelitian Nahampun (2009) menyatakan bahwa pemberian pupuk

kascing dengan dosis 300 g/polibeg memberikan hasil terbaik terhadap

peningkatan berat basah bagian atas, berat basah bagian bawah dan berat kering

atas tanaman kakao di pre nursery. Penelitian Novita et al (2014) juga menyebutkan bahwa pemberian pupuk kascing pada dosis 25, 50, dan 75

g/polibeg dapat meningkatkan pertumbuhan bibit kakao dan pemberian pupuk

kascing pada dosis 75 g/polibeg berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, lilit

batang, luas daun, rasio tajuk akar dan berat kering bibit kakao.

Penelitian Novriani (2015) juga menyebutkan bahwa Pemberian kascing

dengan dosis 300 g/polibeg dapat meningkatkan pertumbuhan seledri sebesar

134,13 % dan mampu meningkatkan produksi seledri sebesar 53,90 % jika

dibandingkan perlakuan tanpa pupuk kascing. Hasil penelitian Irwan et al (2005) juga menyatakan pemberian pupuk kascing dengan dosis 5 ton/ha memberikan

pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah dan berat

kering pada tanaman sawi.

Penelitian Fatahillah (2014) menyebutkan bahwa Pemberian pupuk

kascing dengan dosis 1kg dicampur dengan tanah 10 kg memberikan hasil yang

tertinggi terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, luas daun, dan jumlah cabang

cabai merah besar.

Pupuk Organik Cair

Pupuk cair organik adalah pupuk yang bahan dasarnya berasal dari

hewan atau tumbuhan yang sudah mengalami fermentasi dan bentuk produknya

(74)

jika dibandingkan dengan pengplikasian pupuk organik padat, unsur hara yang

terdapat di dalam pupuk cair mudah diserap tanaman, mengandung

mikroorganisme yang jarang terdapat dalam pupuk organik padat, dan

pencampuran pupuk cair organik dengan pupuk organik padat mengaktifkan unsur

hara yang ada dalam pupuk organik padat tersebut (Simamora, et al, 2005).

Bentuk pupuk organik cair yang berupa cairan dapat mempermudah

tanaman dalam menyerap unsur-unsur hara yang terkandung di dalamnya

dibandingkan dengan pupuk lainnya yang berbentuk padat. Dalam

pengaplikasiannya, selain diberikan melalui tanah yang kemudian diserap oleh

akar tanaman, pupuk organik cair juga dapat diaplikasikan melalui daun tanaman

guna mendukung penyerapan unsur hara secara optimal. Hal ini diharapkan dapat

memberikan pertumbuhan, hasil, dan mutu tanaman yang lebih baik

(Leovini, 2012).

Pada umumnya produsen pupuk merekomendasikan pemberian pupuk

cair dilakukan melalui daun. Padahal menurut Marschner (1986) unsur hara yang

dapat diserap melalui stomata hanya yang dalam bentuk gas yaitu C02, H20, dan

sebagian kecil SO2, NH3, NO2. Sedangkan pupuk cair hanya dapat diserap oleh

epidermis atas melalui ectodesmata dengan syarat diameter molekul pupuk cair

tersebur lebih kecil dari 1 nm.

Pupuk organik cair nasa merupakan bahan organik murni berbentuk cair

dari limbah ternak dan unggas, limbah alam dan tanaman serta zat-zat alami

tertentu yang diproses secara alamiah dengan konsep “Zero Emision Concept”.

Manfaat pupuk organik cair nasa dalam bidang pertanian dan perkebunan yaitu

(75)

jumlah hasil produksi serta kelestarian lingkungan, secara berangsur-angsur dapat

memperbaiki kulaitas tanah, melarutkan sisa pemakaian pupuk kimia kedalam

tanah sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman, memberi unsur mikro dan

makro secara lengkap, mengurangi penggunaan pupuk urea dan SP36 serta KCl,

merangsang pertumbahan serta akar tanaman, membantu perkembangan

mikroorganisme dalam tanah dan meningkatkan daya tahan tanaman dari

gangguan hama dan penyakit. Setiap satu liter pupuk organik cair nasa

mengandung fungsi unsur hara mikro yang setara dengan 1 ton pupuk kandang

(PT. Natural Nusantara, 2012).

Pupuk organik cair NASA merupakan salah satu pupuk organik yang

mengandung hara makro dan mikro seperti 2,6% N, 1,36% P205, 1,55% K20,

1,46% Ca, 1,43% S, 0,4% Mg, 1,27% Cl, 0,01% Mn, 0,18% Fe, Cu< 1,19 ppm,

0,02% Zn, 0,11% Na, 0,3% Si, 0,11% Al, 2,09% NaCl, 4,31% SO4, C/N 5,86, pH

8,0, 07% lemak, 16,69% protein, 1,01% karbohidrat, asam organik (humat 1,29%,

vulvat dan lain-lain). Secara umum, konsentrasi pupuk organik cair NASA yang

dianjurkan adalah 2 ml/liter air. Penggunaan pupuk organik memberikan

keuntungan karena tidak meninggalkan residu pada hasil tanaman sehingga aman

bagi kesehatan manusia. Secara kualitatif, kandungan unsur hara dalam pupuk

organik tidak lebih baik dari pupuk anorganik, namun secara terus-menerus dalam

rentang waktu tertentu akan menghasilkan kualitas tanah lebih baik

(Marliah et al, 2010).

Penelitian Manheli (2007) menyebutkan bahwa pemberian pupuk

(76)

Hasil penelitian Nurahmi et al (2011) menyatakan bahwa konsentrasi

pupuk organik cair NASA berpengaruh nyata terhadap tinggi bibit umur 74 HST,

luas daun, panjang akar, berat basah berangkasan, dan berat kering berangkasan

pada bibit kakao. Dari berbagai konsentrasi yang dicobakan, pertumbuhan bibit

terbaik dijumpai pada konsentrasi pupuk organik cair NASA 2,0 ml/l air. Hal ini

diduga karena pada perlakukan tersebut unsur hara yang diberikan tersedia dalam

jumlah yang optimal dan seimbang.

Hasil penelitian Marliah et al (2010) juga menyebutkan bahwa

konsentrasi pupuk organik cair nasa berpengaruh sangat nyata terhadap tinggi

tanaman, dan berat biji kering per plot. Pemberian pupuk cair NASA pada

konsentrasi 3 ml/liter air cenderung meningkatkan pertumbuhan dan hasil kacang

tanah. Penelitian Maryani et al (2013) juga menyebutkan bahwa pemberaian pupuk organik cair nasa dengan dosis 5 ml/l air memberikan hasil terbaik berat

(77)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman perkebunan penghasil minyak nabati yang dominan di masyarakat Indonesia,

khususnya daerah Sumatera. Tanaman kelapa sawit mempunyai arti penting

dalam peningkatan devisa negara dan juga mampu menciptakan lapangan kerja

bagi masyarakat (Feryono et al, 2013). Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong

pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan kelapa

sawit (Departemen perindustrian, 2007).

Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan (2013), luas areal

perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 8.992.824 ha

dan semakin bertambah pada tahun 2012 yaitu sebesar 9.074.621 ha. Produksi

kelapa sawit Indonesia pada tahun 2011 adalah sebesar 115.482.705 ton TBS dan

mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan (1,84 %) pada tahun 2012, yaitu

sebesar 117.605.355 ton TBS.

Dengan bertambahnya luas areal pertanaman kelapa sawit tersebut maka

diperlukan pengadaan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas. Pembibitan

merupakan salah satu faktor penentu budidaya kelapa sawit. Pembibitan kelapa

sawit merupakan langkah permulaan yang sangat menentukan keberhasilan

penanaman di lapangan (Syahfitri, 2007).

Sub soil dapat menjadi alternatif untuk menggantikan peran top soil

(78)

dilapangan, dibandingkan dengan top soil yang berangsur-angsur semakin

menipis dan sulit didapatkan karena terkikis akibat erosi dan penggunaannya yang

terus menerus sebagai media pembibitan. Di Indonesia tanah lapisan sub soil yang

paling potensial untuk digunakan sebagai media tanam bibit alternatif adalah sub

soil ultisol, dikarenakan tanah jenis ini lebih banyak ketersediannya dibandingkan

tanah jenis lain (Andalusia, et al, 2016).

Namun ultisol merupakan tanah yang memiliki masalah keasaman tanah,

bahan organik rendah, nutrisi makro rendah dan memiliki ketersediaan P sangat

rendah (Fitriatin, et al, 2014). Kandungan hara pada tanah ultisol umumnya rendah karena pencucian basa berlangsung intensif, sedangkan kandungan bahan

organik rendah karena proses dekomposisi berjalan cepat dan sebagian terbawa

erosi. Pada tanah utisol yang mempunyai horizon kandik, kesuburan alaminya

hanya bergantung pada bahan organik dilapisan atas. Dominasi kaolinit pada

tanah ini tidak memberi kontribusi pada kapasitas tukar kation tanah, sehingga

kapasitas tukar kation hanya bergantung pada kandungan bahan organik dan fraksi

liat. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas tanah ultisol dapat dilakukan

melalui perbaikan tanah (ameliorasi), pemupukan, dan pemberian bahan organik

(Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Salah satu bahan organik yang banyak digunakan saat ini adalah kascing

(kotoran cacing). kascing merupakan bahan organik yang baik bagi pertumbuhan

tanaman secara optimal karena selain dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan

biologi tanah khususnya pada tanah-tanah yang kurang subur juga tidak memberi

(79)

lebih beragam dibanding dengan kompos dan pupuk organik lainnya.

(Simanjuntak, 2014).

Kascing mengandung berbagai bahan yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan tanaman yaitu suatu hormon seperti giberellin, sitokinin dan auxin,

serta mengandung unsur hara (N, P, K, Mg dan Ca) serta Azotobacter sp yang merupakan bakteri penambat N non-simbiotik yang akan membantu memperkaya

unsur N yang dibutuhkan oleh tanaman (Oka, 2007).

Pupuk organik cair merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi

pemakaian pupuk anorganik yang diberikan melaui akar. Pupuk organik sangat

bermanfaat bagi peningkatan produksi pertanian baik kualitas maupun kuantitas,

mengurangi pencemaran lingkungan, dan meningkatkan kualitas lahan secara

berkelanjutan. Selain itu pupuk organik cair juga memiliki bahan pengikat,

sehingga larutan pupuk yang diberikan dapat langsung digunakan oleh tanaman

(Hadisuwito, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui respons

pertumbuhan tanaman kelapa sawit terhadap pemberian pupuk kascing dan cara

Gambar

Tabel 1. Tinggi bibit pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk    organik  cair pada umur 6, 8, 10 MST
Tabel 2. Tinggi bibit pada berbagai dosis kascing dan cara pemberian pupuk      organik  cair pada umur 12 MST
Gambar 2. Hubungan berbagai dosis kascing dengan tinggi bibit pada berbagai                    cara pemberian pupuk organik cair pada umur 12 MST
Tabel 4.  Diameter batang pada berbagai dosis kascing dan cara  pemberian pupuk organik cair pada umur 12 MST
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesungguhnya pendidikan akhlak merupakan bagian yang penting dalam substansi pendidikan Islam. diutus oleh Allah swt. untuk menjadi rasul dengan tugas menyempurnakan

Apabila jumlah malai per rumpun atau hasil gabah berkurang 1,33 kali atau lebih (lebih kecil atau sama dengan 3/4 kali hasil tegel) karena jarak tanam yang rapat, misalnya dari

Hubungan kerja yang terjadi merupakan perilaku muamalah dalam bab Ija@rah ‘ala al-asykhash yaitu sewa atas jasa, keahlian, atau pekerjaan orang, yang didalam

yang dapat menggambarkan rasa syukur atas terselesaikanya skripsi dengan judul “Potensi Lalat (Musca domestica) di TPA Jatibarang Semarang sebagai Vektor Cacing

Sedangkan sub masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah kemampuan guru merancang pembelajaran pada materi volume bangun ruang kubus dan balok dengan

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yag telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

yang digunakan pada fermentasi tempe mulai berkurang. Salah satu jenis Rhizopus yang langka ditemukan pada tempe adalah R. delemar pada tempe yang diambil dari

Dari hasil pengujian didapat bahwa makin banyak jumlah node hidden layer yang digunakan maka akan menghasilkan error yang kecil dalam iterasi yang makin singkat,