Studi Eksperimen Metode Latihan Plyometrics Knee Tuck Jumps dan Metode Latihan Squat Jumps Terhadap Siswa SMP Negeri 4 Wates Kulon Progo
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Keolahragaan
Oleh
TUTI NUR RAHAYU
A.120907016PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
ii
Studi Eksperimen Metode Latihan Plyometrics Knee Tuck Jumps dan Metode Latihan Squat Jumps Terhadap Siswa SMP Negeri 4 Wates Kulon Progo
Disusun Oleh TUTI NUR RAHAYU
A.120907016
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Pada Tanggal: Desember 2008
Pembimbing I
Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd NIP.130205394
Pembimbing II
Prof. Dr. Siswandari, M.Stat NIP.131479662 Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keolahragaan
iii Disusun Oleh TUTI NUR RAHAYU
A.120907016
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Penguji
Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal
Ketua : Prof. Dr. HM. Furqon H, M.Pd ……… …………
Sekretaris : Dr. dr. Muchsin Doewes, MARS ……… …………
Anggota Penguji
: 1. Prof. Dr. Sudjarwo, M.Pd
2. Prof. Dr. Siswandari, M.Stat
iv Yang bertanda tangan di bawah ini. saya :
Nama : TUTI NUR RAHAYU NIM : A.120907016
Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis yang berjudul "PERBEDAAN PENGARUH METODE LATIHAN PLYOMETRICS DAN POWER OTOT TUNGKAI TERHADAP PRESTASI LOMPAT JAUH" adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia mcnerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, Desember 2008 Yang Membuat Pernyataan,
v
atas segala Nikmat, Karunia, Hidayah, dan Barokhah-Nya, sehingga penulisan tesis dengan judul "Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Plyometrics dan Power Otot Tungkai terhadap Prestasi Lompat Jauh” dapat diselesaikan.
Tesis ini dapat diselesaikan berkat bimbingan, petunjuk dan nasihat dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan tak terhingga kepada :
1. Rektor Universitas Sebelas Maret yang telah membenkan kesempatan untuk tnengikuti Program Pascasarjana di UNS Surakarta.
2. Direktur Progam Pascasarjana UNS yang telah memberikan bebagai bekal, fasilitas studi dan motivasi.
3. Ketua Program Stndi Ilmu Keolahragaan Program Pascasarjana UNS atas dukuncan dan arahan guna kelancaran studi.
4. Prof. Dr. Sujarwo, M.Pd dan Prof. Dr. Siswandari, M.Stat selaku pembimbing tesis yang dengan penuh ketelitian dan kesabaran memberikan motivasi dan bimbingan.
5. Semua dosen staf pengajar Program Studi Ilmu Keolahragaan Program Pascasarjana UNS yang telah memberikan transfer ilmu.
vi
yang telah mengizinkan dan membantu kelancaran pelaksanaan penelitian. 9. Seluruh keluarga, Bapak/ Ibu. Kakak, Adik, Ananda dan terutama Suami tercinta dan tersayang yang dengan penuh kesabaran, ketekunan dan segala pengorbanan baik secara moril maupun materiil dalam mendukung, menghiburdan memotivasi demi kelancaran studi.
10. Rekan-rekan sesama angkatan 2007 Program Studi Ilmu Keolahragaan Program Pascasarjana UNS, yang sama-sama merasakan perjuangan dalam menimba ilmu.
11. Semua pihak yang tak mungkin dapat disebutkan satu per satu yang tclah membantu meringankan dan melancarkan penelitian ini.
Semoga Allah SWT, membalas semua amal dan kebaikan yang telah diberikan dengan tulus dan ikhlas. Kritik dan saran yang bcrsifat membantu demi kesempurnaan tesis ini diterima dengan senang hati dan terbuka. Semoga Allah selalu melindungi dan meridhoi langkah kita semua. Amiiin.
vii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN... xii
ABSTRAK ... xiii
ABSTRACT ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 8
C. Pembatasan Masalah ... 10
D. Rumusan Masalah ... 10
E. Tujuan Penelitian ... 11
viii
a. Latihan Fisik ... 12
b. Tujuan Latihan Fisik ... 13
c. Prinsip-Prinsip Latihan ... 15
d. Pengaruh Latihan ... 20
e. Mekanisme Kontraksi Otot ... 23
f. Sistem Energi ... 30
2. Latihan Plyometrics ... 39
a. Definisi ... 39
b. Prinsip-Prinsip Latihan Plyometrics... 41
c. Bentuk-Bentuk Latihan Plyometrics... 46
3. PowerOtot Tungkai ... 55
4. Prestasi Lompat Jauh ... 63
5. Hubungan antara Latihan Plyometrics, Power Otot dan Lompat Jauh ... 78
B. Penelitian Yang Relevan ... 79
C. Kerangka Pemikiran ... 80
D. Perumusan Hipotesis ... 84
BAB III. METODE PENELITIAN ... 85
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 85
B. Metode Penelitian ... 85
C. Variabel Penelitian ... 86
ix
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN…………... 92
A. Deskripsi Data ………. 92
B. Uji Reliabilitas ………. 96
C. Pengujian Persyaratan Analisis ……… 97
D. Pengujian Hipotesis ………. 98
E. Pembahasan Hasil Penelitian ………... 103
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ……… 106 A. Kesimpulan ……….. 106
B. Implikasi ……….. 106
C. Saran ……… 107
DAFTAR PUSTAKA
x
Tabel 2. Ilustrasi Latihan Knee Tuck Jumps dan Squat Jumps. 84
Tabel 3. Rancangan Penelitian Eksperimen 86
Tabel 4. Ringkasan Anava untuk Menghitung Eksperimen Faktorial 2 x 2
91
Tabel 5. Deskripsi Data Hasil Tes Prestasi Lompat Jauh Berdasarkan Pengunaan Metode Latihan dan Tingkat Power Otot
Tabel 8. Range Kategori Reliabilitas 96
Tabel 9. Ringkasan Hasil Uji Reliabilitas Data 97
Tabel 10. Rangkuman Hasil Uji Normalitas Data 97
Tabel 11. Rangkuman Hasil Uji Homogenitas Data 98 Tabel 12. Rangkuman Hasil Analisis Deskripsi Variabel 99 Tabel 13. Rangkuman Hasil Analisis Varians 1 Jalur tentang Prestasi
Lompat Jauh berdasarkan Penggunaan Metode Latihan
99
Tabel 14. Rangkuman Hasil Analisis Varians 1 Jalur tentang Prestasi Lompat Jauh berdasarkan Kategori Kekuatan Otot (Power)
99
Tabel 15. Rangkuman Hasil Analisis Varians 2 Jalur tentang Prestasi Lompat Jauh berdasarkan Interaksi Metode Latihan dan Kategori Kekuatan Otot (Power)
100
Tabel 16. Rangkuman Hasil Analisis Kovarians tentang Prestasi Lompat Jauh
102
xii
Gambar 3. Struktur ATP 31
Gambar 4. Hubungan Kedua Fosfat Berenergi Tinggi 31
Gambar 5. Glikolisis Anaerobik 34
Gambar 6. Proses Glikolisis Aerobik dalam Metochondria 94 Gambar 7. Proses Glikolisis Aerobik dan Glikolisis Anaerobik 36
Gambar 8. Siklus Kerb’s 37
Gambar 9. Sistem Transport Elektron 38
Gambar 10. Latihan Knee Tuck Jumps 53
Gambar 11. Latihan Squat Jumps 54
Gambar 12. Ilustrasi Keterkaitan diantara Biomotorik 56
Gambar 13. Konsep Variasi Latihan Berbeban 61
Gambar 14. Teknik Awalan (Approach) 67
Gambar 15. Fase Gerakan Menumpu 69
Gambar 16. Teknik Melayang Gaya Jongkok 70
Gambar 17. Teknik Melayang Gaya Menggantung 71
Gambar 18. Teknik Melayang Gaya Walking in The Air 71
Gambar 19. Teknik Pendaratan (Landing) 72
Gambar 20. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada Perla-kuan Metode Knee Tuck Jumps
94 Gambar 21. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada
Perlakuan Metode Squat Jumps
95 Gambar 22. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada kategori
Power (Kekuatan) Otot Tinggi
95 Gambar 23. Histogram Skor Peningkatan Prestasi Lompat Jauh pada kategori
Power (Kekuatan) Otot Rendah
xiii
Lampiran 3. Program Latihan Tiap Pertemuan
Lampiran 4. Petunjuk Pelaksanaan Program Latihan Plyometrics Lampiran 5. Petunjuk Pelaksanaan Tes Power Otot Tungkai Lampiran 6. Data PowerOtot Tungkai
Lampiran 7. Klasifikasi Sample Berdasarkan Power Otot Tungkai Urut Berdasarkan Kategori Tinggi dan Rendah
Lampiran 8. Data Hasil Tes Awal Prestasi Lompat Jauh Lampiran 9. Data Hasil Tes Akhir Prestasi Lompat Jauh
Lampiran 10. Hasil Pengujian Reliabilitas Hasil Tes Awal dan Akhir Lampiran 11. Hasil Pengujian Hipotesis dengan Anava dan kelengkapannya Lampiran 12. Surat Izin Penelitian
xv
Program Studi Ilmu Keolahragaan Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta, Tesis.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) perbedaan pengaruh latihan plyometrics (knee-tuck jumps dan squat jumps) terhadap peningkatan prestasi lompat jauh, (2) perbedaan prestasi lompat jauh antara siswa putra yang memiliki power otot tinggi dan power otot rendah, (3) interaksi antara metode latihan plyometrics (knee-tuck jumps dan squat jumps) dengan tinggi rendahnya power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh.
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen dengan rancangan faktoral 2 X 2 . Sampel penelitian sebanyak 40 orang siswa, dibagi menjadi 2 kelompok eksperimen yaitu kelompok eksperimen 1 sebanyak 20 orang dengan metode latihan knee tuck jumps dan kelompok eksperimen 2 sebanyak 20 orang dengan metode latihan squat jumps. Kelompok eksperimen 1 terdiri dari 10 0rang siswa yang memiliki power otot tungkai tinggi dan 10 orang siswa yang memiliki power otot rendah. Kelompok eksperimen 2 terdiri dari 10 orang siswa yang memiliki power otot tinggi dan 10 orang siswa yang memiliki power otot rendah. Setiap siswa melakukan tes awal lompat jauh, tes pertengahan lompat jauh, tes akhir lompat jauh. Latihan dilaksanakan 3 kali per minggu selama 2 bulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Tidak ada perbedaan prestasi yang signifikan antara latihan knee tuck jumps dan latihan squat jumps (F-hitung = 0,547, p = 0,464), (2) Ada perbedaan prestasi lompat jauh yang signifikan antara power otot tinggi dengan power otot rendah (F-hitung = 14,811, p = 0,000). (3) Tidak ada interaksi antara metode latihan (knee tuck jumps dan squat jumps) dengan tinggi rendahnya power otot tungkai terhadap prestasi lompat jauh (F-hitung = 1,530 p = 0,224).
xv
Trainning and Power Muscle on Long Jumps Prestations. The Study of Sport Science Program of the Postgraduate Program of Sebelas Maret University. Thesis.
The aims of research target are find out : (1) the difference of influence of practice plyometrics (knee tuck jumps and squat jumps) to make up of achievement long jumps. (2) the difference of a achievement of long jump of between make students awning high power muscle and low power muscle. (3) the interaction of between method of practice of plyometrics (knee tuck – jumps and squad jumps) highly lower the power of muscle to long jump achievement.
Research method used by experiment with the factorial design. Research sample is much 40 students people devided to become 2 experiment groups that is experiment group I as much 20 people with method of practice of knee tuck jumps and experiment group 2 as much squat jumps. Group experiment I consisted of by by 10 students people owning power of muscle of low. Every student conduct the test of early long jumps. Test of long jumps, pretest, jumps mid, final test long jumps. Practice executed by 3 times per week of during 2 mouths.
Result of this research indicate that : (1) there is not influence difference which significant of between practice of knee tuck jumps and practice of squat jumps to achievement long jumps; (2) there is difference of achievement of long jumps which significant of among high and lower the power muscle; (3) there is no interaction of between practice of knee tuck jumps and practice of squat jumps highly lower the power muscle of achievement long jump.
A. Latar Belakang Masalah
Pembinaan dan pengembangan atletik di Indonesia pada dasarnya merupakan
bagian dalam pembangunan olahraga di Indonesia yang diarahkan pada usaha
meningkatkan kualitas manusia Indonesia sehingga memiliki tingkat kesehatan dan
kebugaran yang cukup yang harus dimulai sejak usia dini melalui pendidikan
olahraga dan masyarakat. Serta tercapainya sasaran prestasi yang membanggakan di
tingkat internasional.
Untuk mewujudkan keinginan pemerintah tersebut, telah dilakukan berbagai
upaya serta pendekatan yang strategis oleh pemerintah, induk organisasi atletik di
Indonesia dan masyarakat. Upaya pembinaan dan pengembangan atletik yang
diselenggarakan melalui jalur sekolah, luar sekolah maupun melalui
perkumpulan-perkumpulan/klub-klub yang ada, mengalami pasang surut dan tidak berjalan mulus
seperti yang diharapkan. Tidak lancarnya pembinaan dan pengembangan atletik di
Indonesia antara lain disebabkan masih tendahnya partisipasi masyarakat, kurangnya
minat generasi muda terhadap atletik. Para kaum muda umumnya lebih tertarik
terhadap olahraga permainan seperti soft ball, basket, bulu tangkis, bola voli dan
cabang-cabng olahraga lainnya yang dapat dinikmati dalam jangka waktu yang cukup
lama, tidak membosankan, serta tidak menguras energi dan ada unsur hura-huranya.
diselenggarakan pemerintah dengan unsur-unsur terkait yang melaksanakan
pembinan atletik di Indonesia.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya, bahkan ikut menghambat
perkembangan pembinaan prestasi atletik di Indonesia adalah masih lemahnya sistem
pembinaan serta keterbatasan pengetahuan dan kemampuan melatih dari pelatih, dan
guru pendidikan jasmani yang terlibat langsung di lapangan. Melihat kondisi
pembinaan dan perkembangan atletik di Indonesia seperti sekarang ini, maka
dipandang perlu adanya penanganan serius yang didukung oleh pemerintah serta
keterlibatan para pakar atletik baik yang berada di kalangan akademis perguruan
tinggi, maupun yang ada dimasyarakat, guna mencari dan menemukan solusi serta
alternatif pemecahannya.
Upaya melahirkan atlet atletik yang berprestasi tinggi tidaklah mudah, dan
merupakan suatu yang rumit dan memerlukan waktu yang panjang, sekaligus
melibatkan berbagai komponen/unsur yang secara simultan harus difungsikan secara
bersamaan dengan tanpa mengenal lelah, dan dengan dukungan dana yang tidak
sedikit. Latihan yang merupakan proses penyempurnaan dan pendewasaan atlet untuk
mencapai prestasi yang optimal memerlukan keterlibatan semua pihak baik itu
Pembina/pengurus, pelatih, serta unsur-unsur yang terkait lainnya seperti halnya
sekolah-sekolah yang membina para siswa untuk mengembangkan minat dan
bakatnya guna mencapai prestasi yang diinginkan.
Pembinaan olahraga melalui jalur sekolah-sekolah memang seharusnya
diperjuangankan dan bahkan ditingkatkan kualitas pembinaannya, sebab melalui
unggul yang mampu mengangkat harkat dan martabat Indonesia di mata dunia
melalui olahraga. Sedang untuk mendapatkan calon olahragawan (bibit unggul)
melalui sekolah dilakukan melalui pemanduan bakat.
Melalu sekolah penanaman kesadaran akan pentingnya olahraga bagi peserta
didik/siswa sangat dimungkinkan untuk dikembangkan.
Penanaman dasar-dasar atletik melalui pembelajaran pendidikan jasmani
secara benar merupakan modal dasar dalam upaya mengembangkan
kemampuan/kebebasan bergerak bagi siswa yang pada akhirnya dengan mudah untuk
diarahkan kepada pembinaan olahraga atletik. Pembinaan yang mengarah pada
peningkatan kemampuan berprestasi yang optimal tidak dapat dicapai hanya dengan
waktu yang singkat melainkan memerlukan waktu yang panjang 8-10 tahun, sehingga
diperlukan sistem pembinaan yang terencana, dan berkesinambungan serta didukung
dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai.
Mengingat sekolah sebagai basis pembinaan, maka keterlibatan kepala
sekolah, guru pendidikan jasmani, guru-guru mata pelajaran lainnya, serta pengawas
sekolah sangat diperlukan toleransinya. Untuk itu perlu mendapatkan perhatian dan
diketahui oleh semua pihak agar tidak terjadi sesuatu yang dapat merugikan siswa
selaku objek pembinaan.
Atletik merupakan salah satu cabang olahraga yang mempunyai kekhusunan
dan sangat komplek karena keterlibatan seluruh anggota tubuh dan banyak
memberikan kemungkinan gerak bagi anggota tubuh, maka dirasa perlu untuk
Pemberian ini hendaknya dilakukan dengan tidak mengabaikan pertumbuhan dan
perkembangan tubuh.
Prestasi berbagai cabang olahraga yang dicapai oleh bangsa Indonesia
diberbagai kejuaraan baik tingkat nasional, regional maupun internasional, sampai
saat ini belum begitu menggembirakan, banyak faktor yang berpengaruh terhadap
tercapainya prestasi yang optimal, diantaranya adalah metode latihan yang diterapkan
dan kondisi fisik atlet yang bersangkutan.
Berdasarkan fungsinya metode latihan merupakan suatu cara yang bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan seorang atlet. Dengan metode
latihan yang baik dan bervariasi, seorang atlet diharapkan dapat mencapai prestasi
yang optimal. Sedangkan kondisi fisik merupakan satu persyaratan yang sangat
penting dan diperlukan dalam usaha peningkatan prestasi seorang atlet. Sajoto (1985:
8) mengemukakan bahwa “Kondisi fisik adalah suatu kesatuan yang utuh dari
komponen-komponen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja, baik peningkatan
maupun pemeliharaannya”. Artinya bahwa di dalam ushaa peningkatan kondisi fisik
maka seluruh komponen tesebut harus dikembangkan, meskipun pengembangannya
dilakukan dengan skala prioritas sesuai dengan kebutuhan. Komponen kondisi fisik
yang utama terdiri dari kecepatan, kekuatan dan daya tahan. Perpaduan antara
kecepatan dan kekuatan menghasilkan kekuatan kecepatan (power), kekuatan dan
daya tahan mengasilkan daya kekuatan sedangkan kecepatan dan daya tahan
menghasilkan daya tahan kecepatan (stamina).
Power merupakan salah satu komponen kondisi fisik yang turut pula
memerlukan power khususnya power otot tungkai dalam aktivitasnya. Sebagai contoh
untuk cabang atletik nomor lompat, lempar maupun lari, power memegang peranan
utama keberhasilan dalam cabang tersebut. Cabang bola voli, bola basket, sepak bola
dan sebagainya termasuk juga senam artistic, memerlukan power dalam setiap
gerakannya.
Power otot tingkai mempunyai peranan penting yang menunjang keberhasilan
dan tercapainya prestasi yang optimal. Ada beberapa metode atau jenis latihan yang
dapat digunakan untuk meningkatkan dan mengembangkan power otot tungkai
seorang atlet. Jenis latihan yang efektif dan dapat digunakan untuk meningkatkan
power otot tungkai diantaranya adalah latihan berbeban (Wiley dan Smith: 1971;
Wilmore: 1978) dan latihan melompat-lompat atau pliometrik (Chu: 1992; 1995);
Bompa: 1993).
Latihan pliometrics merupakan latihan dengan memanfaatkan berat badan
sendiri atau menggunakan beberapa alat untuk merangsang latihan. Peningkatan
energi elastic yang tersimpan di dalam otot selama kontraksi eksentrik (masa
persiapan), energi dilepaskan segera sebelum kontraksi konsentrik (masa pelepasan)
dilakukan. Energi simpanan ini memudahkan gerakan meninggi atau melompat.
Lebih lanjut latihan ini terkait dengan peningkatan power bagian bawah badan atlet.
Keterkaitan antara eksplosive power tungkai, dan jenis-jenis latihan
plyometrics, menurut peneliti terdahulu dapat dipakai sebagai predictor terhadap
peningkatan performance atau kemajuan latihan atlet, sedangkan vertical jump test
merupakan ukuran baku yang menyertai smpulan keterkaitan itu (James CR. 1985:
salah satu bentuk dan jenis latihan untuk meningkatkan power otot tungkai yang baik,
hal ini didukung oleh hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa latihan
plyometrics ternyta dapat memperbaiki kemunduran power anggota badan bagian
bawah atlet lari gawang yang menjadi penyebab buruknya performance saat
pertandingan maupun latihan rutin (James CR, 1985: 58; Sunarko, 1992: 20).
Sampai saat ini telah banyak penelitian ilmiah yang dilakukan khususnya
yang terkait dengan program latihan plyometrics, dengan hasil yang masih bevariasi.
Penelitian Sunarko, (1992: 21) atlet yang diberi latihan plyometrics dengan frekuensi
3 kali perminggu, selama 12 minggu menunjukkan adanya peningkatan kemampuan
kaki yang terukur melalui kekuatan otot kaki, power kaki, dan kecpatan reaksi,
namun demikian jika dilihat secara menyeluruh variasi antar atlet sangat tinggi. Lebih
lanjut, diterangkan bahwa mungkin bentuk dan ukuran loncat-mendarat dalam
prosedur latihan yang diterapkan ukuran akomodatif (Sunarko, 1992: 21). Di samping
itu ada peneliti lain yang menyatakan bahwa berbagai program latihan fisik belum
sepenuhnya memberikan sumbangan yang berarti dalam upaya peningkatan power
bilamana faktor rest dalam (di sela-sela latihan) terabaikan, sehingga muncul
kelelahan pada periode sesaat (acut) dalam latihan, bahkan pembebanan latihan fisik
tertentu yang berat justru dapat menurunkan kualitas organ tubuh sepetti pembuluh
darah akibat kemungkinan adanya pemaparan oksidan yang cukup tinggi.
Latihan plyometrics terdiri dari bermacam-macam bentuk pembebanan
latihan. Ada beberapa bentuk gerakan dasar latihan plyometrics untuk kelompok otot
panggul dan kaki, diantaranya: bounding (double leg baund, box jumps, alternate leg
1994: 74-141, Donald A Chu, 1992: 27-61). Bentuk latihan yang berbeda merupakan
salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan kondisi fisik melalui proses
adaptasi fisiologi dan psikologis yang sistematis dan berkesinambungan, sebagai
bentuk latihan yang bervariasi dan tetap pada koridor upaya untuk meningkatkan
latihan.
Pada latihan plyometrics dengan bentuk loncat gawang pembebanan
dilakukan tidak hanya pada repetisi namun juga terhadap ketinggian loncatan, dengan
harapan adaptasi fisiologis yang dihasilkan akan semakin maksimal. Pembebanan
yang dilakukan dengan memperhitungkan ketinggian gawang dan saat rest juga perlu
dirancnag sedemikian rupa sehingga tubuh dapat merespon secara positip.
Latihan plyometrics dengan bentuk loncat boks lebih mengutamakan
intensitas dari pada kualitas pembebanan. Rintangan yang diberikan dengan
ketinggian yang sama dapat dipakai untuk mendarat, sehingga gerakan dilakukan
dengan cepat dalam waktu tertentu dimaksudkan latihan ini untuk mengendalikan
intensitas menjadi cukup tinggi. Intensitas latihan yang cukup tinggi akan memacu
sistem kinerja faal tubuh secara maksimal. Kondisi yang demikian jika diterapkan
pada atlet yang terlatih akan menghasilkan proses penyesuaian tubuh yang optimal.
Sehingga secara fisiologis latihan ini tampak ringan, namun tetap dapat memberikan
pengaruh yang lebih baik pada peningkatan kualitas power otot tungkai.
Power otot tungkai memegang peranan penting dalam prestasi lompat jauh
gaya jongkok. Kemampuan power otot tungkai akan sangat mempengaruhi
keberhasilan seseorang dalam meningkatkan prestasinya. Namun untuk menjaga
atlet yang akan dilatih terutama dalam kemampuan power otot tungkainya maka perlu
dilakukan modifikasi. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu alternatif latihan
yang murah, aman, menyenangkan, dan efektif sesuai dengan karakteristik atlet, demi
memperbaiki performance dan prestasinya. Berdasar uraian di atas rancangan
penelitian ini mengkaji lebih jauh mengenai pengaruh plyometrics, dan power otot
tungkai terhadap prestasi lompat jauh pada siswa. Selanjutnya, dengan mengetahui
karakter ototnya dipandang sebagai hal yang penting dalam upaya penyusunan
program latihan fisik, sehingga dapat memberikan advis secara praktis tentang
kemampuan lompat jauh siswa terhadap nilai normal olahragawan.
Dari pengamatan dan pengalaman penulis, metode-metode tersebut masih
jarang digunakan oleh pelatih-pelatih nomor lompat khusunya lompat jauh. Dan bagi
sebagian besar pelompat yang memiliki karakteristik power otot rendah maupun yang
memiliki karakteristik power otot tinggi masih melakukan bentuk latihan
plyometrics dengan teknik yang sama. Berdasarkan tinjauan di atas maka, perlu
dikembangkan metode latihan plyometrics yang sesuai dan berguna bagi
peningkatan prestasi lompat jauh.
B. Identifikasi Masalah
Penggunaan metode latihan yang tepat dan mengadakan evaluasi berdasarkan
metodologi latihan merupkaan wujud keberhasilan dan kemajuan latihan-latihan
cabang atletik. Pelatih yang mengacu pada pengalaman selama menjadi atlet dan
merusak penampilan atlet. Kelemahan-kelemahan yang terjadi harus dicari alternatif
pemecahannya sehingga peningkatan prestasi yang maksimal dapat tercapai.
Inovasi dalam bidang metode latihan yang mengkaji pada pengembangan teori
dan metodologi latihan serta penemuan-penemuan baru hasil penelitian yang relevan
dan selaras dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah perlu
mendapat perhatian, sehingga peningkatan hasil latihan dapat dicapai lebih cepat dan
akurat.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
masalah-masalah yang timbul dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Latihan plyometrics dapat meningkatkan prestasi lompat jauh
2. Power otot tungkai merupakan salah satu faktor kondisi fisik yang
berpengaruh terhadap prestasi lompat jauh.
3. Cara-cara melatih prestasi lompat jauh
4. Knee Tuck Jump merupakan salah satu media yang dapat meningkatkan
prestasi lompat jauh.
5. Dept Jump juga merupakan salah satu media yang dapat meningkatkan
prestasi lompat jauh.
6. Seseorang dengan kemampuan power otot tinggi dan power otot rendah
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap prestasi lompat jauh.
7. Pemberian bentuk latihan plyometricsyg berbeda pada kondisi power otot
C. Pembatasan Masalah
Guna membatasi ruang lingkup penelitian agar tidak menimbulkan penafsiran
yang berbeda, maka perlu ada batasan-batasan pada permasalahan yang akan diteliti.
Dalam penelitian ini tidak akan dikaji keseluruhan faktor-faktor yang mempengaruhi
prestasi lompat jauh, namun hanya akan meneliti pada permasalahan sebagai berikut:
1. Perbedaan pengaruh antara latihan plyometrics Knee Tuck Jump dan latihan
plyometrics squat jump terhadap prestasi lompat jauh.
2. Perbedaan prestasi lompat jauh antara siswa yang memiliki power otot tinggi
dan power otot rendah.
3. Interaksi antara latihan plyometrics dan power otot tungkai terhadap prestasi
lompat jauh.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Adakah perbedaan oengaruh antara latihan plyometrics knee tuck jump dan
latihan plyometrics squat jump terhadap prestasi lompat jauh?
2. Adakah perbedaan prestasi lompat jauh antara siswa yang memiliki power
otot tinggi dan power otot rendah?
3. Adakah interaksi antara latihan plyometrics dan power otot tungkai terhadap
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh antara latihan
plyometrics knee tuck jump pada power otot tinggi dan rendah terhadap prestasi
lompat jauh siswa SMP 4 Wates Kulon Progo.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya teori dan metodologi latihan serta
menambaah pemahaman mengenai peran latihan fisik yang terkait dengan prestasi
lompat jauh. Pelatih dapat menggunakan metode latihan plyometrics yang tepat dan
power otot tungkai terhadap peningkatan prestasi lompat jauh.
Metode latihan yang digunakan secara tepat dan efisien akan dapat
memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu keolahragaan di
Indonesia. Di samping memberikan kajian mendasar tentang pentingnya metode
latihan plyometrics dan power otot tungkai terhadap prestasi nomor lompat secara
umum.
Penelitian ini dapat dipakai sebagai pedoman untuk membuat program
latihan plyometrics yang bertujuan untuk meningkatkan exsplosive power dalam
usaha meningkatkan prestasi cabang olahraga atletik, khususnya nomor lompat
12
A. Kajian Teori
1. Latihan Fisik
a. Latihan Fisik
Definisi latihan menurut Bompa (1990: 3) adalah latihan merupakan kegiatan yang sistematis dalam waktu yang lama ditingkatkan secara progresif dan individual yang mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Melalui latihan kemampuan seseorang dapat meningkatkan sebagian besar sistem fisiologi dapat menyesuaikan diri pada tuntutan fungsi yang melebihi dari apa yang biasa dijumpai dari biasanya (Pate, Rotella dan Clenaghan. 1993: 318). Peningkatan kemampuan tubuh tersebut terjadi sebagai wujud dari adaptasi tubuh terhadap beban yang diberikan.
Latihan fisik merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan berulang-ulang dan dengan tujuan untuk meningkatkan respon fisiologi terhadap intensitas, durasi dan frekwensi latihan, keadaan lingkungan dan status fisiologis individu (Lamb, 1984: 2).
serta metodik tertentu yang mengarah pada fungsi fisiologis dan psikologis untuk mencapai tujuna yaitu meningkatkan prestasi olahraga.
Latihan fisik merupakan salah satu unsur dari latihan olahraga secara menyeluruh dalam latihan fisik penekanannya adalah terhadap peningkatan fisik yaitu peningkatan kemampuan untuk melakukan kerja.
b. Tujuan Latihan Fisik
Tujuan latihan fisik menurut Bompa (1990: 3-5) disampaikan bahwa dalam rangka mencapai tujuan utama latihan yaitu puncak penampilan prestasi yang lebih, perlu kiranya memperhatikan tujuan-tujuan latihan sebagai berikut:
1) Mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara menyeluruh
Tujuan ini merupakan dasar-dasar latihan yang sangat penting karena menyangkut peningkatan daya tahan umum, kekuatan dan kecepatan, memperbaiki fleksibilitas untuk pelaksanaan gerak, memiliki tingkat koordinasi yang tinggi dan akhirnya mencapai perkembangan tubuh secara harmonis.
2) Menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus sebagai suatu kebutuhan yang telah ditentukan di dalam praktek olahraga.
3) Menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi serta disiplin untuk tingkah laku, ketekunan dan keinginan untuk menanggulangi kerasnya latihan dan menjamin persiapan psikologis yang cukup.
4) Mempertahankan keadaan kesehatan
Realisasi tujuan ini menuntut tes kesehatan teratur, tepat antara intensitas latihan dengan kapasitas usaha individual, latihan berat yang secara selang-seling dengan fase program yang diperhatikan dengan tepat, menelusuri penyakit atau cidera, dan yang lebih penting adalah melalui latihan harus membuat orang menjadi lebih sehat.
5) Mencegah cidera melalui pengamanan terhadap penyebabnya dan juga meningkatkan fleksibilitas di atas tingkat tuntutan untuk melaksanakan gerakan yang lebih penting, memperluas otot, tendon dan ligament khususnya selama fase-fase awal, mengembangkan kekuatan dan elastisitas otot sampai tingkat tertentu sehingga akan menghindarkan diri dari kemungkinan cidera sewaktu melakukan gerakan-gerakan yang tak terbiasa.
6) Memberikan sejumlah pengetahuan teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar fisiologis dan psikologis latihan, perencanaan gizi dan regenerasi.
kebutuhan cabang olahraga tertentu. Pengembangan daya tahan umum kemudian menuju pada persiapan yang lebih khusus atau anaerobiknya. c. Prinsip-Prinsip Latihan
Agar dapat mencapai hasil sesuai yang diharapkan latihan yang dilakukan harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Prinsip pemanasan dan pendinginan
Setiap latihan harus didahului dengan latihan pendahuluan, hal ini penting yaitu untuk mempersiapkan kondisi fisik atlet untuk melaksanakan aktivitas yang lebih berat di dalam latihan inti. Sejalan dengan hal tersebut Fox (1988: 278) menyebutkan latihan pemanasan atau warming up meningkatkan suhu badan dan otot, meningkatkan enzim, meningkatkan jumlah darah dan oksigen ke otot rangka. Efek lain dari suhu yang meningkat adalah peningkatan kontraksi dan kecepatan reflek dari otot. Cidera pada otot dan sendi akan jarang terjadi apabila selama berlatih atau bertanding didahului dengan pemanasan.
pendapat Fox (1998: 279) bahwa “keadaan asam laktat akan menurun lebih cepat selama pulih kerja”.
2) Prinsip intensitas tinggi
Intensitas merupakan faktor penting dalam latihan plyometrics. Kecepatan pelaksanaan dengan kerja maksimal sangat penting untuk memperoleh efek latihan yang optimal. Kecepatan peregangan otot lebih penting daripada besarnya peregangan. Respons refleks yang dicapai makin besar jika otot diberi beban yang cepat. Karena latihan-latihan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh (intensif), maka penting untuk diberikan kesempatan beristirahat yang cukup diantara serangkaian latihan yang terus menerus.
3) Prinsip beban lebih secara progresif
4) Prinsip memaksimalkan gaya/meminimalkan waktu
Baik gaya maupun kecepatan gerak sangat penting dalam latihan plyometrics. Dalam berbagai hal, titik beratnya adalah kecepatan di mana suatu aksi tertentu dapat dilakukan. Misalnya, dalam nomor tolak peluru, sasaran utama adalah menggunakan gaya maksimum selama gerak menolak. Makin cepat rangkaian aksi yang dilakukan, makin besar gaya yang dihasilkan dan makin jauh jarak yang dicapai.
5) Prinsip pengulangan
Gerakan yang dilatihkan harus dilakukan berulang-ulang sehingga terjadi otomatisasi gerakan. Hal ini seusai dengan pendapat Harsono (1988: 102) bahwa dengan berlatih secara sistematis dan melalui pengulangan-pengulangan (repetition) yang konstanta maka organisasi mekanisme neurophysiologis akan menjadi bertambah baik, gerakan-gerakan yang diulang lama kelamaan akan merupakan gerakan-gerakan yang otomatis maka gerakan tersebut akan dilakukan dengan cepat dan efisien dalam penggunaan tenaga hal ini akan memungkinkan pencapaian prestasi olahraga yang lebih baik.
menyarankan 3 sampai 6 set, terutama untuk latihan-latihan lompat yang lebih berat.
6) Prinsip istirahat yang cukup
Periode istirahat 1-2 menit di sela-sela set biasanya sudah memadai untuk sistem neuromuskuler yang mendapat tekanan karena latihan untuk pulih kembali. Periode istirahat yang cukup juga penting untuk pemulihan yang semestinya untuk otot, ligemen, dan tendon. Latihan plyometrics 2-3 hari per minggu tampaknya dapat memberikan hasil optimal. Yang penting, jangan mendahului plyometrics, terutama latihan-latihan lompat dan gerakan-gerakan kaki lainnya, dengan latihan berat pada tubuh bagian bawah. Otot, tendon dan legamen yang telah lelah sebelumnya dalam mengalami tekanan yang berlebihan dengan adanya beban resistif yang tinggi yang dibebankan pada otot, tendon dan legamen tersebut harus mendapat istirahat.
7) Prinsip bangun landasan yang kuat terlebih dahulu
Karena dasar atau landasan kekuatan penting dan bermanfaat dalam plyometrics, maka suatu program latihan beban harus dirancang untuk mendukung, dan bukannya menghambat pengembangan power eksplosif.
Pemula seyogyanya memulai dengan latihan-latihan sedang, seperti lompat dari tanah atau lantai, dan hops, bounds, dan leaps dengan kedua tungkai. Dengan meningkatnya kekuatan dan power eksplosif, dapat dimulai dengan latihan dengan satu tungkai, depth jump dan decline dan incline. Latihan kekuatan dan fleksibilitas otot perut dan otot punggung bagian bawah disarankan selama beberapa minggu sebelum melakukan gerakan-gerakan skipping, swinging, dan latihan-latihan untuk togok yang serupa.
8) Prinsip perbedaan individu
Manfaat latihan akan lebih berarti jika program latihan tersebut direncanakan dan dilaksanakan berdasarkan karakteristik dan kondisi atlet. Oleh karena itu faktor-faktor karakteristik individu atlet harus dipertimbangkan dalam menyusun dan memberikan latihan secara rinci. Bompa (1990: 36-37) mengemukakan bahwa faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, bentuk tubuh kedewasaan, latar belakang pendidikan, kemampuan berlatih, tingkat kesegaran jasmani, ciri-ciri psikologisnya semua itu harus ikut dipertimbangkan dalam mendesain program latihan. 9) Prinsip kekhususan
Menurut Pyke, (1991: 119) latihan harus ditunjukkan khusus terhadap sistem energi atau serabut otot yang digunakan juga dikaitkan dengan peningkatan keterampilan motorik khusus.
Jadilah latihan yang dilakukan akan mendapat hasil sesuai dengan yang diaharapkan jika latihan tersebut mengembangkan kemampuan tubuh dan keterampilan yang sesuai dengan karakteristik cabang olahraga yang bersangkutan.
10) Prinsip makanan yang baik (Nutrisium)
Untuk menunjang tercapainya tujuan latihan fisik, maka prinsip ini harus diperhatikan. Sebab dalam melakukan aktivitas olahraga sangat dibutuhkan energi yang cukup. Dimana dalam hal ini menurut Pate, Clanaghan, Rottela, (1993: 272) bahwa makanan olahragawan harus menyediakan cukup masukan energi untuk memelihara keseimbangan kalori dan mengandung cukup zat makanan yang dibutuhkan untuk mendukung metabolisme tubuh. Maka aktivitas fisik dengan makanan yang baik dan memadai merupakan faktor yang tak boleh diabaikan untuk pertumbuhan otot dan tulang. Dengan demikian unsur gizi harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh di dalam proses latihan olahraga. d. Pengaruh Latihan
yang lebih berat dengan lebih baik. Perubahan-perubahan ini antara lain adalah :
1) Perubahan sistem dan fungsi organisme dalam tubuh
Pengaruh latihan terhadap perubahan sistem dan fungsi organisme dalam tubuh tersebut terdiri dari:
a) Perubahan biokimia dan sistem otot rangka
Kegiatan fisik yang dilakukan secara teratur dan kontinyu dapat merangsang kerja enzim di dalam tubuh dan merangsang pertumbuhan sel otot (hypermetropi). Hal ini sesuai dengan pendapat Guyton (1983: 190) bahwa dengan latihan akan terdapat peningkatan jumlah mitochondria dalam otot rangka dan meningkatkan aktivitas enzim untuk metabolisme energi baik secara aerobic maupun anaerobic. Selanjutnya disampaikan pula otot yang terlatih pada umumnya menjadi lebih besar dan lebih kuat daripada yang tidak terlatih karena ukuran penampang lintang maupun volumenya lebih besar.
b) Perubahan kardiorespirasi
(1) Frekwensi denyut nadi berkurang dan denyut jantung keras waktu istirahat.
(2) Pengembangan otot jantung (delatasi)
(3) Haemoglobin (HB) dan glikogen dalam otot bertambah (4) Frekwensi pernapasan turun dan kapasitas vital bertambah
Dari uraian tersebut bahwa dengan latihan fisik akan dapat menyebabkan kemampuan kerja jantung dan pernapasan. Sehingga hal itu akan dapat meningkatkan kesegaran jasmani atlet secara umum. 2) Perubahan mekanisme organisme sistem syaraf
Dalam melakukan latihan olahraga gerakan yang dilatih selalu diulang-ulang secara teratur. Melalui pengulangan gerakan secara teratur tersebut akan dapat memperoleh koordinasi gerakan sehingga terjadi otomatisasi dalam gerakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Bompa (1990: 132) bahwa dengan berlatih secara teratur dan waktu pengulangan (repetition) yang resisten, maka organisme-organisme mekanisme neurophysiologis kembali akan bertambah baik gerakan yang semula sikap dilakukan lama-kelamaan akan merupakan gerakan yang otomatis dari reflektif yang semakin kurang membutuhkan konsentrasi pasif syaraf daripada sebelum melakukan latihan tersebut.
e. Mekanisme Kontraksi Otot
Latihan plyometrics diperlukan untuk menstimulasi berbagai perubahan dalam sistem neuromuscular, memperbesar kemampuan kelompok-kelompok otot untuk memberikan respon lebih cepat dan lebih kuat terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan cepat pada panjangnya otot. Salah satu ciri penting latihan plyometrics adalah pengkondisian sistem neuromusculer sehingga memungkinkan adanya perubahan-perubahan arah yang lebih cepat dan lebih kuat, misalnya gerakan turun naik pada lompat dan gerakan kaki arah anterior dan posterior pada waktu lari. Dengan mengurangi waktu untuk perubahan arah ini, maka kekuatan dan kecepatan dapat ditingkatkan (Redeliffe and Farentinos, 1985: 8)
Gerakan plyometrics diyakini berdasarkan kontraksi reflek serabut-serabut otot sebagai akibat pembebanan yang cepat dari serabut-serabut-serabut-serabut otot yang sama. Reseptor sensori utama yang bertanggung jawab atas deteksi pemanjangan serabut-serabut otot yang cepat ini adalah mucle-spindle, yang mampu memberi respon kepada besaran dan kecepatan perubahan panjang serabut-serabut otot. Jenis respon peregangan lainnya, yakni organ tendon golgi, terletak dalam tendon-tendon dan memberi respon terhadap tegangan yang berlebihan sebagai akibat kontraksi yang kuat atau peregangan otot (Redliffe and F arentinos, 1985: 111).
nuclear chain fiber. Gelendong otot tersebut ada di antara serabut otot. Di dalam gelendong otot ada dua bentuk sensorik yaitu, the primary ending/annu lospiral ending dan the secondary ending flower spary ending, sedangkan efferent-infusal fibers dilakukan oleh gamma motorneuron (dinamic fober or static fiber). Dynamic gamma motorneuron hanya mensyarafi nuclear bag fiber. Sedangkan static gamma motorneuron mensyarafi baik nuclear bag fiber, maupun nuclear chain (Bompa, 1990: 19, 23).
Gambar 1. Gelendong Otot (Powers and Howly, 1990: 167)
kira-kira 100 meter per detik, yang kira-kira-kira-kira sama cepatnya dengan serabut syaraf manapun dalam tubuh (Radeliffe and Farentinos, 1985: 70).
The Secondary Ending (SE). Letaknya di samping-samping annulospiral reseptor-reseptor primer. Reseptor-reseptor sekunder hanya terkait dengan bagian-bagian yang tidak berkontraksi dari serabut-serabut intrafusal mata rantai nucleus, yang mengelilinginya seperti ujung-unjung annulospirali dari reseptor primer. Neuron-neuron affern pada ujung-ujung reseptor sekunder adalah jauh lebih kecil diameternya (kurang lebih 8 mikron) daripada neuron-neuron reseptor primer dan dengan demikian mampu menghantar impuls-impuls syaraf ke sumsum tulang belakang dengan kecepatan sekitar 50 meter per detik (Radeliffe and Farentinos, 1985: 113)
Otot rangka mendapat dua persyarafan motorik, yaitu alfa motorneuron dan gama motorneuron. Alfa motorneuron akan memberikan rangsangan motorik pada serabut otot extrafusal, sedangkan gama motorneuron akan memberikan rangsang motorik pada serabut otot intrafusal. Efek kontraksi tersebut dapat timbul dari rangsangan peregangan yang mendadak pada muscle spindle. Sehingga latihan yang disengaja dengan peregangan otot yang mendadak akan menyebabkan dua efek motorik pada otot, baik melalui gamma motorneuron maupun alfa motorneuron, sehingga menimbulkan efek kontraksi yang lebih kuat (Bompa, 1994: 23)
Reseptor-reseptor primer maupun sekunder dapat diaktifkan dengan cara yang berlainan. Karena ujung-ujung serabut intrafusal itu yang di sekitar ujung-ujung reseptor primer (ujung-ujung-ujung-ujung annulospiral) membentuk kumparan menempel pada serabut otot rangka, maka setiap pemanjangan pada serabut-serabut otot rangka akan menyebabkan peregangan pada serabut-serabut-serabut-serabut intrafusal dan pada gilirannya juga ujung-ujung reseptor primer yang membentuk kumparan itu. Terbukanya ujung annulospiral memulai ledakan impuls-impuls syaraf yang dikirim ke sumsum tulang belakang melalui neuron-neuron sensori afferent gamma, stimulasi serabut-serabut intrafusal yang demikian itu dapat menyebabkan serabut-serabut itu berkontraksi, meregangkan bagian-bagian sentralnya, dan pada gilirannya mengaktifkan resptor-reseptor primer. Ini dapat terjadi sekalipun serabut-serabut otot rangka itu sendiri (yang ditempeli serabut intrafusal) tetap tidak meregang.
Seluruh serabut otot dikendalikan oleh motorneuron yang membentuk suatu unit gerak. Sejumlah serabut dalam sejumlah unit gerak sangat bervariasi daerahnya, sekurang-kurangnya lima sampai sebanyak-banyaknya beberapa ribu. Pada umumnya unit gerak yang terbesar dijumpai dalam otot terbesar pada punggung dan anggota badan, sementara otot terkecil di wajah dan tangan tersusun dari unit gerak yang relatif berisi serabut otot yang lebih sedikit.
Gambar 2. Serabut Otot Rangka (Pate, Mc Clenaghan and Rotella, 1993:227) Dengan mengabaikan letak anatomisnua, seluruh serabut otot dalam suatu unit gerak tertentu senderung berkontraksi secara bersamaan selama mereka dikendalikan oleh motorneuron yang sama.
rangsang meluas ke simpangan mioneural, suatu impuls syaraf menyebabkan lepasnya zat kimia yang disebut acetikholin dari syaraf terakhir. Acetikholin adalah perantara yang memungkinkan perjalanan rangsang listrik menyeberangi simpangan mioneural. Jika rangsang listrik tiba, sarkolema serabut otot dibawa keluar dari serabut oleh tubulus-T dan reticulum sarkoplasma. Hasil kontraksi reticulum sarkoplasma meninggalkan ion kalsium ke dalam sarkoplasma, dalam merespon rangsangan listrik. Ion-ion kalsium mempercepat kontraksi dengan memungkinkan kontraksi sel-sel actin dan myosin dengan mempermudah pemisahan ATP. Jadi bahan-bahan kimia yang dihasilkan dalam kontraksi otot mulai dengan impuls syaraf dari otak dan simpul spinall.
Kontraksi otot adalah proses rangsangan listrik dari otak dan sumsum tulang belakang akan sampai pada muscle fiber melalui akson dari neuron motorik. Rangsangan listrik yang sampai diakson terminalis menyebabkan terjadinya potensial aksi. Potensial aksi tersebut akan mengakibatkan terjadinya pelepasan asetilkolin dan synoptic vesicle pada presynaptic ke dalam synaptic-gutter.
dari gaya tarik otot dalam menggerak pengungkit tulang. Makin besar sudut antara 0 derajat dan 90 derajat, makin besar komponen vertikalnya dan makin kecil komponen horisontalnya.
Komponen dari kontraksi otot selalu tegak lurus pada batang pengungkit dan disebut komponen rotasi. Komponen rotasi inilah yang menggerakkan pengungkit. Komponen horizontal sejajar dengan batang pengungkit dan disebut dengan komponen nonrotasi. Komponen nonrotasi ini tidak menggerakkan pengungkit. Sudut tarikan dari kebanyakan otot dalam keadaan istirahat besarnya kurang dari 90 derajat. Hal ini berarti bahwa komponen nonrotasi arahnya menuju ke fulerum atau sendi sebagai sumbu putar, yang merupakan stabilisator. Dengan menarik tulang menurut sumbu memanjangnya menuju ke sendi akan membantu memelihara keterpaduan sendi. Oleh karenanya, dikatakan bahwa gaya otot mempunyai dua fungsi sekaligus, yaitu untuk menggerakkan dan stabilitas, tugas stabilitas ialah membantu ligamenta-ligamenta.
Sudut tarikan otot menjadi lebih besar dari sudut siku-siku, yang berarti bahwa komponen nonrotasi otot arahnya menjauhi sendi dan oleh karenanya merupakan komponen dislikasi yang akan memperlemah sendi. Dalam banyak hal keadaan ini tidak akan terjadi, dan kalau sampai terjadi otot sudah mendekati kemampuan memendeknya dan oleh karenanya tidak menghasilkan gaya yang besar.
tarikan otot biasanya kurang dari 45 derajat, lebih banyak gaya otot pada waktu bekerja menstabilkan sendi daripada menggerakkan pengungkit atau segmen. Kenyataanya ada beberapa otot yang sudut tarikannya begitu kecilnya sehingga sumbangannya kepada gerak nampaknya dapat diabaikan. Hal ini nampak pada otot-otot coracobrachialis dan subclavisu. Menarik untuk dicatat bahwa anggota badah sebelah atas seringkali dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan yang kuat penuh tenaga maupun menahan berat badan dalam posisi menggantung. Sendi-sendi yang memikul beban yang berat adalah sendi bahu dan sendi stercoclavicularis. Sendi-sendi itu akan mudah mengalami dislikasi jika tidak ada otot-otot coracobracialis dan subelavisu yang menarik tulang-tulang menuju kearah sendi-sendi proksimalnya dan dengan demikian bekerja menstabilkan atau memperkuat sendi-sendi ini. Dengan panjangnya otot tungkai juga akan mempengaruhi sudut tarikan otot dan efisiensi gerakan. Atau dengan kata lain semakin panjang otot dan semakin kecil sudut tarikkan maka akan menghasilkan gaya yang lebih besar.
f. Sistem Energi
Setiap melakukan kerja atau aktivitas memerlukan energi kemampuan fisik. Untuk melakukan kerja tergantung kepada energi yang ada di dalam tubuh. Sehingga energi dapat diartikan sebagai kapasitas untuk melakukan kerja.
dari makanan tersebut. Tetapi menurut Fox (1998: 270) ”diperoleh persenyawaan yang disebut ATP” (Adenosine Triphospate)”. Persenyawaan ATP itu dihasilkan dari penguraian makanan yang dimakan. Lebih lanjut Fox (1998: 19) menjelaskan “struktur ATP terdiri dari satu komponen yang sangat komplek taitu adenosine dan tiga bagian lainnya yaitu kelompok-kelompok fospat”.
Gambar 3. Struktur ATP (Fox, 1998: 19)
Kedua fosfat yang terakhir merupakan hubungan yang berenergi tinggi, yaitu apabila hubungan tersebut dilepas, maka akan mengeluarkan energi yang tinffi. ATP dan Pi, maka sejumlah energi akan keluar seperti terlihat pada gambar 4.
digunakan oleh otot sebanyak 1,3 kilo kalori. Pada saat istirahat seluruh tubuh energi yang digunakan oleh otot sebanyak 1,3 kilo kalori setiap menitnya. Dalam 1-2 menit kebutuhan energi meningkat sampai 35 kcal/menit, maka kebutuhan ATP akan besar. Sedangkan ATP yang tersedia dalam otot hanya 4-6 milimol/kg otot. Untuk aktivitas yang berlangsung terus menerus ATP yang tersedia hanya dapat digunakan selama 3 detik. Sehingga harus ada mekanisme untuk dapat memenuhi kebutuhan energi, mekanisme ini dikenal sebagai resintesa ATP dari ADP dan Pi. Ada tiga proses untuk memproduksi ATP menurut Foz (1998: 20-26) yaitu:
1) Sistem ATP-PC (Phosphagen). Dalam sistem ini resintesa ATP hanya berasal dari suatu persenyawaan phosphocreatine (PC).
2) Sistem Glykolysis Anaerobik atau asam laktat. Sistem ini menyediakan ATP dari sebagian pemecahan glukosa atau glikogen.
3) Sistem Aerobik atau Sistem Oksigen. Sistem ini terdiri dari dua bagian. Bagian A merupakan penyelesaian dari oksidadi karbohidrat. Bagian B merupakan penyelesaian dari oksidasi lemak. Kedua sistem ini perjalanan terakhir oksidasinya melalui siklus kreb’s.
Sistem ATP-PC atau Phosophagen
senyawa fosfat (P), maka sistem ini disebut sebagai “phospagen sistem”, PC pecah akan kelaur energi, pemecahan ini tidak memerlukan oksigen. PC jumlahnya hanya sedikit, tetapi PC merupakan sumber energi yang tercepat untuk membentuk ATP kembali. Sistem phosphagen merupakan sumber energi yang dapat secara tepat yang diperlukan untuk kecepatan, karena sistem ini mempunyai reaksi kimia yang pendek, tanpa oksigen dan ATP-PC tertimbun dalam mekanisme kontraktil dalam otot. Persendian PC dalam otot sekitar 15-17 milimol/kg otot atau untuk seluruh tubuh berkisar 4,5 kcal-5,1kcal. Jumlah sistem ATP-PC tersebut dapat ditingkatkan dengan latihan yang cepat dan berat Fox (1998: 20). Lebih lanjut dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 1. Estimasi of the Energy Available in the Body Through the Phosphagen (ATP-PC) Sistem (Fox, 1998: 20).
Glikosis Anaerobik (Lactid Acid Sistem)
Untuk membentuk ATP kembali setelah cadangan ATP-PC habis dan tanpa O2 dapat dilakukan dengan cara pemecahan glycogen atau dikenal dengan sistem Glykolisis Anaerobik. Pembentukan lewat sistem ini berjalan lambat dan prosesnya lebih rumit dibandingkan dengan sistem ATP-PC. Proses glikolisis anaerobic dibambarkan menurut Fox (1998: 20) sebagai berikut:
or
Gambar 5. Glikolisis Anaerobik (Fox, 1998: 23)
Daapat dikemukakan rangkaian reaksi-reaksi kimia yang sederhana dalam proses tersebut di atas adalah:
Glikogen Asal Laktat + Energi Glycogen
(from muscle)
Glucosa
Glycolytic squence
Pyruvic acid
Blood glucose
Lactid acid ADP + Pi
Energi + 3 ADP + 3 pi 3 ATP
Phospho Fruktokinase (PFK) di sini adalah enzim yang penting sebagai pengatur kecepatan reaksi dalam setiap reaksi. Kelelahan atau kontraksi bertambah lembah di sini dapat terjadi bila terlambatnya reaksi kimia yang diakibatkan Ph dalam otot maupun darah rendah dan terbentuknya asal latat yang banyak. Proses glikolisis anaerobic secara sederhana dapat disimpulkan bahwa proses ini menyebabkan kelelahan, tanpa oksigen, menggunakan karbohidrat, dan memberikan energi untuk resistensa beberapa molekul ATP saja.
Sistem Aerobik atau Sistem Oksigen
Reaksi aerobic terjadi di dalam “metachondira” yang terdapat pada setiap serabut otot. Dalam metachindria berlangsung proses metabolisme aerobic dengan oksigen, sehingga menghasilkan ATP dalam jumlah yang besar, maka metochondria ini disebut juga warung energi (power house). Reaksi yang sangat rumit dan komplek memerlukan cukup oksigen, maka satu mole glycogen dipecah secara sempurna menjadi CO2 dan H2O, serta mengeluarkan energi yang cukup untuk resintesa sejumlah ATP (Hazeldine, 1989: 7). Proses ini lebih lanjut dapat dilihat sebagai berikut:
Sistem Aerobik menurut Fox (1998: 26) dapat berlangsung dengan tiga cara, yaitu :
1) Glikolisis Aerobik
Tersedianya oksigen yang cukup dan asam laktat yang tidak tertimbun dalam reaksi glykolisis aerobic dikarenakan oksigen menghambat penumpukan asam laktat tetapi tidak menghalangi pembentukan ATP, oksigen membantu mengubah asam laktat menjadi piruvat setelah ATP diresintesis. Reaksi glykolisis aerobic terjadi sebagai berikut :
Glukosa + 2 ADP + 2 fosfat dengan energi 2 asam piruvat + 2 ATP + 4 H
Proses ini lebih lanjut terlihat pada gambar di bawah ini
2) Siklus Kreb’s
Siklus Kerb’s menghasilkan karbondioksida, terjadinya oksidasi dan menghasilkan ATP (Fox, 1998: 30).
Pemecahan glukosa dilanjutkan dengan memecah dua macam piruvat dengan pertolongan Coenzym A
Asam piruvat + Coenzym A Acetyl Coenzym
A + 2 CO2 + 4H. asam lemak aktif ini masuk ke dalam siklus oksidasi yang dinamakan beta oksidasi dan menjadi acetyl coenzyme A. Acetyl coenzyme A ini lalu masuk ke dalam siklus kreb’s. ATP yang dihasilkan tergantung macam asam lemak yang dioksidasi. Proses siklus kreb’s lebih lanjut terlihat pada gambar di bawah ini :
3) Sistem Transport Ekektron
Reaksi yang terjadi di dalam membran dalam (inner membrane) dari metochondria adalah serangkaian reaksi hingga terjadi H2O disebut dengan istlah transport eletkron atau rantai respiratori. Di mana ion-ion hydrogen dan elektron masuk ke dalam sistem transport electron memiliki tingkat sedikit lebih tinggi dari FADH2, yang mana NADH meyediakan tiga molekul ATP sedangkan FADH2, hanya dua molekul ATP. Inti reaksinya adalah
4H+ + 4c + O2 I H2O
Sejumlah energi dikeluarkan sewaktu terjadi transport dari electron di dalam rante rispiratori (Lamb, 1984: 49)
2. Plyometrics
a. Plyometrics
Radcliffe and Farentinos (1985 : 1) mengemukakan Plyometrics adalah suatu metode untuk mengembangkan daya ledak (ezplosive power), suatu komponen penting dari sebagian prestasi olahraga. Asal istilah Plyometrics diperkirakan dari bahasa Yunani “pletyhuen”, berarti memperbesar “ukuran” Chu (1992 : 5). Sekarang ini Plyometrics mengacu pada latihan-latihan yang ditandai dengan kontraksi-kontraksi otot yang kuat sebagai respon terhadap pembebanan yang cepat dan dinamis atau peregangan otot-otot yang terlibat.
Pada latihan beberapa cabang olahraga sering kita lihat bentuk laihan loncat-lompat untuk meningkatkan kekuatan dan daya ledak otot. Beberapa bentuk latihan tersebut dinamakan latihan Plyometrics. Latihan Plyometrics dilakukan tanpa alat maupun dengan alat yang sederhana.
Pada dasarnya latihan Plyometrics adalah gerakan dari rangsangan peregangan otot secara mendadak supaya terjadi kontraksi yang lebih kuat. Latihan tersebut dapat menghasilkan peningkatkan daya ledak dan kekuatan kontraksi. Daya ledak dan kekuatan kontraksi otot merupakan cermin peningkatan adaptasi fungsional neuromoscular. Peningkatan kontraksi otot merupakan perbaikan fungsi reflek peregangan (strech reflex) dari muscle spindle (Radcliffe and Farentinos 1985 : 6).
melompat tinggi melampaui net untuk memblokade smash lawan, pelompat jauh yang melesat untuk mencapai lompatan yang tinggi dan sejauh-jauhnya. Sebagian besar cabang olahraga dapat dilakukan dengan lebih terampil jika atlet memiliki power yang merupakan gabungan dari kekuatan dan kecepatan Plyometrics adalah salah satu cara terbaik untuk mengembangkan eksplosif power untuk berbagai cabang olahraga.
Latihan Plyometrics menggunakan kekuatan gaya berat untuk meningkatkan energi elastis yang tersimpan di otot selama kontraksi eksentrik dari suatu kegiatan, beberapa energi yang disimpan itu kemudian dilepaskan pada saat kontraksi konsentrik yang menyusul dengan segera. Daya penggerak dan pengakuan Plyometrics sebagai teknik yang bermanfaat untuk mengingkatkan ezplosive power.
b. Prinsip-Prinsip Latihan Plyometrics
Latihan Plyometrics dibuat berdasarkan elemen structural tubuh manusia yang didukung oleh sistem mekanika, elastisitas, kekuatan, pembebanan tekanan dan tegangan otot, juga katilago tulang, tendon dan ligamen adalah merupakan unsur penting dalam Plyometrics.
Pada kenyataanya penampilan dari banyak pola gerakan Plyometrics atau bentuk gerakan olahraga lainnya adalah holistic (menyeluruh) dan nature (alami) yang merupakan intergrasi total dari semua unsur-unsur.
Adapun prinsip latihan Plyometrics secara umum sama dengan prinsip-prinsip dasar latihan fisik. Sedangkan prinsip khusus dan latihan Plyometrics adalah memberi stretch (regangan) yang cepat pada otot-otot yang terlibat sebelum melakukan kontraksi (gerak) secara fisiologis yaitu : (a) Memberi panjang awal yang optimum pada otot, (b) Mendapat tenaga elastis, (c) Menimbulkan stretch reflex (refleks regangan).
1. Memberikan panjang awal yang optimum pada otot
berkontraksi. Berdasarkan hasil penelitiannya kontraksi otot yang paling kuat dihasilkan pada panjang awal 120% dari resting length. Dan bila diregangkan lebih dari 120 % dari resting length kemudian dirangsang untuk berkontraksi maka kekuatan kontraksinya akan menurun. Demikian pula bila otot sudah memendek mencapai 50% dari resting length maka tidak akan mampu berkontraksi bila diberi rangsangan, sedangkan menurut Guyton (1991 : 594) dari hasil penelitiannya diperoleh hasil yang sama yaitu bahwa kekuatan otot tergantung dari panjang awal (sarcomer) sebelum berkontraksi. Otot akan berkontraksi paling kuat apabila dirangsang pada saat otot dalam keadaan resting length (panjang fisiologis) atau agak teregang sedikit. Semakin banyak cross bridge yang menghubungkan aktin dan myosin, makin besar pula kekuatan kontraksi otot. Kekuatan kontraksi maksimal terjadi bila jumlah cross bridge yang menghubungkan antar filamen aktin dan myosin paling banyak.
2. Untuk mendapatkan tenaga elastis
Penemuan terbaru tampak bahwa bagian-bagian kontraktil dari serabut otot bisa memberikan rangkaian komponen elastis. Pada waktu otot berkontraksi, struktur seri komponen elastis teregang sepanjang 3% - 5% panjang serabut otot. Peregangan seri komponen elastis selama otot berkontraksi menghasilkan suatu energi potensial yang mirip dengan pembebanan pegas atau tarikan busur. Pada waktu energi ini akan terlepas, energi ini bertambah sedikit demi sedikit dari energi kontraksi yang dihasilkan oleh serabut-serabut otot (Donald A Chu, 1992 : 47). Pada gerakan Plyometrics selama fase eksentrik atau fase menyerah (vielding) ketika otot diregangkan secara cepat komponen seri elastis juga diregangkan, jadi menyimpan sebagian kekuatan beban dalam bentuk energi potensial elastis. Simpanan energi elastis diperoleh selama terjadi fase konsentrik atau penanggulangan dari kontraksi otot yang digerakkan oleh reflek miostatik (Thys H, Farragiana, R. Margaria, 1972 : 194).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Thys H, Farragiana, R. Margaria (1972 : 194), kecepatan serta pemanjangan otot sebelum melakukan gerakan, akan mengakibatkan timbulnya suatu simpanan tenaga elastis, yaitu tenaga yang disimpan selama kerja negatif dan dilepaskan pada saat positifnya.
3. Menimbulkan reflek regangan (stretch reflex)
tidak disadari (involuntary) atau dalam Plyometricsdisebut dengan stretch reflex (reflek regangan), miotatik reflek atau muscle spindle reflex.
Alat spindle dan stretch reflex adalah komponemn penting dari sistem syaraf yang mengontrol gerakan tubuh. Dalam latihan Plyometrics mekanisme kemauan (akal) yang mengendalikan dan mengkoordinasikan otot skelet adalah setingkat lebih penting dari pada serabut ototnya sendiri. Perbaikan kontrol otot dan penggabungan power dengan latihan Plyometrics rupanya akan berhubungan dengan perbaikan susunan syaraf otot dan jalur sensor motorik yang komplek.
Latihan Plyometrics dimaksud untuk merangsang sebagai perubahan dalam sistem syaraf otot, meningkatkan kemampuan kelompok otot untuk dapat merespon dengan cepat dan kuat pada perubahan sedikit dan cepat pada panjang otot. Suatu keistimewaan terpenting latihan Plyometrics adalah penyesuaian sistem syaraf otot untuk memberikan suatu perubahan yang cepat dan lebih kuat secara terarah. Latihan Plyometrics menerapkan prinsip overload dalam hal beban atau tahanan (resistive, kecepatan (temporal) dan jarak (spasial). Resistive (tahanan / beban ) yang overload pada latihan Plyometrics diperoleh dari anggota badan atau tubuh yang cepat, seperti menanggulangi force gravitasi sebagai akibat menjatuh, meloncat, meloncat melambung, memantul dan sebagainya.
dilakukan melalui penambahan pada tinggi atau jarak jarak gerakan yang dilakukan secara bertahap atau berangsur-angsur meningkat.
Kekhususan pada latihan Plyometrics ini terutama pada neuromuscular atau kekhususan pada predominan energi sistem dalam merespon latihan serta kekhususan dari pola gerakan. Kekhususan neuromuscular atau kekhususan kelompok otot yang dilatih dalam latihan Plyometrics pengelompokannya berdasarkan pada fungsi anatomi dan hubungannya dengan gerakan olahraga. Jadi latihan dapat dibagi berdasarkan kelompok otot yang terlibat dalam bagaimana hubungannya dengan gerakan-gerakan khusus dari olahraga yang akan dikembangkan.
Berdasarkan kelompok otot yang dilatih dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu : (1) leg and hip (kelompok anggota gerak bawah), (2) midsection (kelompok otot bagian tengah yaitu togok atau meliputi batang tubuh), (3) chest, shoulder girdle abf arm (yaitu yang termasuk terlibat pada anggota gerak atas). Ketiga kategori diatas secara fungsional saling berhubungan (terintegrasi), ketiganya merupakan bagian dari “power chain” (rantai power) manusia.
(pengerahan) tenaga secara cepat, karena ATP-PC mempunyai tenaga atau daya terbesar dibandingkan sistem energi yang lain
c. Bentuk-bentuk Latihan Plyometrics
Latihan-latihan Plyometrics mungkin tidak ada batasnya mengenai jenis dan macam latihan yang dapat dirancang. Imajinasi dan rasa ingin, serta pemahaman dasar tentang proses neuromuskuler yang terlibat, memungkinkan dikembangkan latihan-latihan Plyometrics yang bermanfaat. Namun demikian tidaklah praktis atau perlu untuk menganalisa setiap pola gerakan keterampilan olahraga dan setiap rancangan latihan Plyometrics untuk keterampilan olahraga tersebut. Kenyataannya, hanya sedikit gerakan-gerakan power utama dalam olahraga, dan seperangkat latihan untuk gerakan-gerakan power tersebut. Menurut James C. Radelife dan Robert C. Farentinos (2002: 28) terdapat beberapa bentuk gerakan yang dikatagorikan sebagai latihan Plyometrics diantaranya :
1) Bounding
a) Double Leg Bound
Posisi Awal : Mulailah dengan posisi half-sguart. Lengan berada di samping badan, bahu condong ke depan melebihi posisi lutut. Usahakan punggung lurus dan pandangan ke depan.
Pelaksanaan : loncatlah ke depan dan ke atas, menggunakan ekstensi pinggul dan gerakan lengan untuk mendorong ke depan. Usahakan mencapai ketinggian dan jarak maksimum dengan posisi tubuh tegak. Setelah mendarat kembali lagi keposisi awal dan memulai bounding berikutnya. Lakukan 3-5 set. Jumlah ulangan 8-12 kali, dan waktu istirahat kira-kira 2 menit diantara set.
b) Alternate Leg Bound
Latihan ini hampir sama dengan latihan double leg bound, untuk mengembangkan power tungkai dan pinggul. Dengan mengubah kedua tungkai khususnya kerja flexors dan extensors paha dan pinggul, maka latihan ini digunakan untuk meningkatkan lari, langkah, dan gerakan lari cepat.
Posisi awal : ambillah sikap berdiri yang enak dengan salah satu kaki agak didepan untuk memulai melangkah; lengan rilaks di samping badan.