KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU
Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR
FISIK KIMIA DI EKOSISTEM MANGROVE
BELAWAN SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh
ELVI JULIANIDA DAULAY
117030010/BIO
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU
Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR
FISIK KIMIA DI EKOSISTEM MANGROVE
BELAWAN SUMATERA UTARA
TESIS
Oleh:
ELVI JULIANIDA DAULAY
117030010/BIO
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU
Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR
FISIK KIMIA DI EKOSISTEM MANGROVE
BELAWAN SUMATERA UTARA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Biologi pada Program Pascasarjana
Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ELVI JULIANIDA DAULAY
117030010/BIO
PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2013
PENGESAHAN TESIS
Judul Tesis : KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING
BAKAU Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA
Nama Mahasiswa : ELVI JULIANIDA DAULAY Nomor Induk Mahasiswa : 117030010
Program Studi : Magister Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Menyetujui Komisi Pembimbing
Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si
Ketua Anggota
Dr. T. Alief Aththorick, M.Si
Ketua Program Studi, Dekan,
Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed Dr. Sutarman, M.Sc
Tanggal Lulus : 17 Desember 2013
PERNYATAAN ORISINALITAS
KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU
Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR
FISIK KIMIA DI EKOSISTEM MANGROVE
BELAWAN SUMATERA UTARA
TESIS
Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah dijelaskan sumbernya dengan benar.
Medan, 17 Desember 2013
ELVI JULIANIDA DAULAY
NIM : 117030010
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ELVI JULIANIDA DAULAY
NIM : 117030010
Program Studi : Magister Biologi Jenis Karya Ilmiah : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :
KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR FISIK KIMIA DI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai pemegang dan atau pemilik hak cipta.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
Medan, Desember 2013
ELVI JULIANIDA DAULAY
Telah diuji pada
Tanggal : 17 Desember 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si Anggota : Dr. T. Alief Aththorick, M.Si
Dr. Salomo Hutahaean, M.Si Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S
RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama Lengkap berikut gelar : Elvi Julianida daulay, S.Pd, M.Si
Tempat dan tanggal Lahir : Binjai, 22 Maret 1979
Alamat Rumah : Kompleks Asrama Brimob Detasemen A
Jl. Soekarno Hatta Lk. 5 Kel. Dataran
Tinggi Kecamatan Binjai Timur Kota
Binjai
Telepon/Faks/Hp : 081 264 175 368
Instansi Tempat Bekerja : SMA Negeri 1 Sunggal
Alamat Kantor : Jalan Sei Mencirim - Sei Semayang
Kabupaten Deli Serdang
Telepon/Faks/HP : 085362975333
DATA PENDIDIKAN
SD : SD Negeri No. 024763 Binjai Tamat : 1991
SMP : SMP Negeri Peralihan Binjai Tamat : 1994
SMA : SMA Negeri 3 Binjai Tamat : 1997
Strata-1 : FPMIPA Universitas Negeri Medan Tamat : 2002
Strata-2 : PSM Biologi PPs FMIPA USU Tamat : 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dalam waktu yang telah ditetapkan.
Selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan, bimbingan, dan arahan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) atas kesempatan yang diberikan dalam mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister.
Dekan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan yang diberikan menjadi mahasiswa program Magister pada program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Kepada Ketua Program Studi Pascasarjana Biologi, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed, dan Sekretaris Program Studi Pascasarjana Biologi, Dr. Suci Rahayu, M.Si serta seluruh staff pengajar pada Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu penulis dalam setiap prosesnya.
Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Gubernur Sumatera Utara dan ketua Bappeda atas kesempatan yang diberikan kepada penulis dalam melanjutkan pendidikan melalui program beasiswa.
Penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si dan Dr. T. Alief Aththorick, M.Si selaku pembimbing I dan II, yang telah banyak memberikan nasehat, arahan, ilmu dengan penuh ketulusan dan kesabaran membimbing penulis dalam setiap proses penyelesaian tesis. Kepada Dr. Salomo Hutahaean, M.Si dan Prof. Dr. Retno Widhiastuti, M.S. selaku komisi penguji yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan dan saran dalam menyempurnakan tesis ini.
Terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda H. Ikhwan Dly, S.Pd dan Bunda Hj. Nurlia, S.Pd serta kedua mertua A.Gani Damanik dan M.Sinaga yang senantiasa memberikan doa, harapan, pengorbanan dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Terima kasih kepada adik-adik: Abd Hakim Dly, S.Com, A. Zulkhairy Dly, S.Com, Wardah Dly, S.S, terkhusus penulis ucapkan terima kasih kepada suami tercinta Brigadir Z. Damanik, S.H dan anakku tersayang Rafif Zulvi Damanik dan Fatya Zulvi Damanik atas segala bantuan, doa, waktu, pengorbanan yang telah banyak membantu penulis dalam penyelesaian program Magister.
Medan, Desember 2013
Elvi Julianida Daulay KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU
Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR
FISIK KIMIADI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Penelitian tentang kepadatan dan distribusi kepiting bakau Scylla spp. serta hubungannya dengan faktor fisik kimia di ekosistem mangrove Belawan Kota Medan Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2013. Sampel diambil dari empat stasiun pengamatan, dan setiap stasiun dilakukan tiga kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode
Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan bubu masing-masing sebanyak 25 buah dan indentifikasi dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian didapatkan 2 jenis kepiting bakau yakni kepiting bakau Scylla oceanica dan Scylla serrata yang berasal dari 1 genus. Nilai kepadatan tertinggi Scylla spp. sebesar 30,05 ind/m3 dan terendah sebesar 21,18 ind/m3
. Pola distribusi kepiting bakau Scylla oceanica dan Scylla serrata termasuk distribusi berkelompok. Hasil analisis korelasi Uji Pearson antara parameter faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan populasi kepiting bakau Scylla spp. didapatkan fraksi substrat pasir berkorelasi negatif dan kedalaman berkorelasi positif. Fraksi substrat pasir dan kedalaman berpengaruh sangat nyata dengan tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap kepadatan populasi kepiting bakau jenis Scylla serrata, sedang parameter fisik kimia perairan didapatkan fraksi substrat liat dan kedalaman berkorelasi positif berpengaruh sangat nyata dengan tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap kepadatan kepiting bakau jenis Scylla oceanica.
Kata kunci : distribusi, ekosistem mangrove, kepadatan, kepiting bakau,
Scylla oceanica, Scylla serrata.
THE DENSITY AND DISTRIBUTION OF MUD CRAB’S Scylla spp. AND CORRELATION TO PHYSICAL AND CHEMICHAL IN
MANGROVE BELAWAN, NORTH SUMATRA
ABSTRACT
The research about The density and distribution of mud crab’s Scylla spp. and its correlation to physical and chemichal in mangrove ecosystem Belawan, Medan North Sumatra was done from Mei to Juli 2013. Sample were taken from four observation and were performed three times for each station. Sample point was determined by using Purposive Random Sampling. Sample were taken by using Crab’s net 25’s and identification was done in Natural and Environmental Resources Management Mathematic and Natural Science Laboratory, Faculty of North Sumatra University. The result of research showed that two species of the mud crabs were found mangrove ecosystem Belawan namely were Scylla oceanica and Scylla serrata which come from one gets. The result of research found the highest diversity index print of mud crabs Scylla spp. are between 30,05 ind/m3 and the lowest is 21,18 ind/m3. The distribution index Scylla oceanica and Scylla serrata types are distribution group. Pearson correlation analysis test result between water chemistry parameters of the physical factors with a population density of mud crabs Scylla spp. fractions obtained sand substrate and depth werw negatively correlated positively correlated. Fraction of sand substrate and depth was highly significant with a very strong degree of correlation to the population density of mud crab Scylla serrata types, physical and chemical parameters of water were obtained and the depth of the clay fraction of the substrate was highly significant positively correlated with the degree of correlation is very strong against the type of mud crab density Scylla oceanica.
Key word : density, distribution, ecosystem mangrove, mud crab, Scylla oceanica, Scylla serrata.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK ii
ABSTRACT iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Rumusan Permasalahan 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1. Kepiting Bakau Scylla spp. 3
2.2. Habitat dan Siklus Hidup Kepiting bakau 2.3. Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp.)
2.4. Keanekaragaman dan Kelimpahan Organisme 6 2.5. Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.) 6
2.6. Pengertian Hutan Mangrove 8
2.7. Tipe Komunitas Mangrove 8 2.8. Hubungan Ketergantungan Kepiting Bakau dengan
Ekosistem Hutan Mangrove 10
2.9. Hubungan Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Terhadap Perkembangan Kepiting Bakau
2.9.1. Suhu 11
2.9.2. Kecerahan 12
2.9.3. Kedalaman Air dan Pasang Surut 12
2.9.4. Salinitas Air 12
2.9.5. Derajat Keasaman (pH) 13 2.9.6. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) 13 2.9.7. Biochemical Oxygen Demand (BOD) 13
2.9.8. Nitrat (NO3 2.9.9. Phosphat (PO
) 14
4
) 14
BAB III METODE PENELITIAN 15
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 15
3.2. Metode Penelitian 17
3.3. Alat dan Bahan 17
3.4. Pengukuran Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat 17 3.5. Pengambilan Sampel Kepiting Bakau 18 3.6. Analisis data
3.6.1. Kepadatan Populasi Kepiting Bakau (KP) 19 3.6.2. Kepadatan Relatif Kepiting Bakau (KR) 19 3.6.3. Frekuensi Kehadiran (FK) 19
3.6.4. Indeks Distribusi Morisita 20
3.6.5. Analisis Korelasi 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4.1. Analisis Parameter Faktor Fisik Kimia Air dan Substrat
1. Suhu perairan 22
2. Nilai pH air dan pH substrat 23
3. Kedalaman Air 23
4. Salinitas Air 24
5. Tekstur Substrat Dasar Perairan 24 6. Kadar Organik Substrat 25 7. N & P Substrat 26 8. Kandungan Oksigen Terlarut (DO) 27 9. Biochemichal Demand Oxygen (BOD) 27 10. NO3
11. PO
28
4
4.2. Jenis-Jenis kepiting Bakau Hasil Penelitian 29 28
4.3. Nilai Kepadatan Populasi (ind/m2
Frekuensi Kehadiran (%) 31 ), Kepadatan Relatif (%)
4.4. Nilai Distribusi Morisita 33
4.6. Analisis Korelasi antara Parameter Fisik Kimia Perairan Terhadap Indeks Kepadatan Kepiting Bakau 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 37
5.1. Kesimpulan 37
5.2. Saran 37
DAFTAR PUSTAKA 38
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat
yang Diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian di
Ekosistem Mangrove Belawan Kabupaten Deli Serdang 21
2. Klasifikasi Kepiting Bakau Hasil Penelitian 29
3. Nilai Kepadatan Populasi (KP ind/m2
dan Frekuensi Kehadiran (FK%) di Setiap Stasiun
), Kepadatan Relatif (KR%)
Pengamatan Penelitian 31
4. Nilai Indeks Distribusi Morisita pada Seluruh Pengamatan pada Stasiun
Penelitian 33
5. Nilai Analisis Korelasi Pearson dengan Parameter Fisik
Kimia Perairan terhadap Indeks Kepadatan Kepiting Bakau
Scylla spp. Pada Stasiun Penelitian 35
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. Siklus Hidup Kepiting Bakau Scylla spp. 5 2. Jenis Kepiting Bakau Scylla spp. 6
3. Peta Lokasi Penelitian 16
4. a. Scylla serrata 30
b. Scylla oceanica 30
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur
Kelarutan Oksigen (DO) 43
2. Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5
3. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat 45 44
4. Parameter Fisik Kimia Air pada Tiap Stasiun 46
5. Hasil Penangkapan Kepiting Bakau pada Setiap Stasiun
Penelitian di Ekosistem Mangrove Belawan 47
6. A. Alat Tangkap Bubu yang Digunakan dalam Pengambilan
Contoh Kepiting Bakau 48
B. Kepiting Bakau yang Tertangkap di Lokasi Penelitian 49
7. Foto Penelitian Stasiun 50
8. Lampiran PP No.82/KEPPRES/2001 tentang Pengelolaan
Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air 52
Elvi Julianida Daulay KEPADATAN DAN DISTRIBUSI KEPITING BAKAU
Scylla spp. SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR
FISIK KIMIADI EKOSISTEM MANGROVE BELAWAN SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Penelitian tentang kepadatan dan distribusi kepiting bakau Scylla spp. serta hubungannya dengan faktor fisik kimia di ekosistem mangrove Belawan Kota Medan Sumatera Utara telah dilakukan pada bulan Mei hingga Juli 2013. Sampel diambil dari empat stasiun pengamatan, dan setiap stasiun dilakukan tiga kali ulangan. Titik pengambilan sampel ditentukan dengan metode
Purposive Random Sampling. Sampel diambil dengan menggunakan bubu masing-masing sebanyak 25 buah dan indentifikasi dilakukan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PSDAL), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian didapatkan 2 jenis kepiting bakau yakni kepiting bakau Scylla oceanica dan Scylla serrata yang berasal dari 1 genus. Nilai kepadatan tertinggi Scylla spp. sebesar 30,05 ind/m3 dan terendah sebesar 21,18 ind/m3
. Pola distribusi kepiting bakau Scylla oceanica dan Scylla serrata termasuk distribusi berkelompok. Hasil analisis korelasi Uji Pearson antara parameter faktor fisik kimia perairan dengan kepadatan populasi kepiting bakau Scylla spp. didapatkan fraksi substrat pasir berkorelasi negatif dan kedalaman berkorelasi positif. Fraksi substrat pasir dan kedalaman berpengaruh sangat nyata dengan tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap kepadatan populasi kepiting bakau jenis Scylla serrata, sedang parameter fisik kimia perairan didapatkan fraksi substrat liat dan kedalaman berkorelasi positif berpengaruh sangat nyata dengan tingkat hubungan yang sangat kuat terhadap kepadatan kepiting bakau jenis Scylla oceanica.
Kata kunci : distribusi, ekosistem mangrove, kepadatan, kepiting bakau,
Scylla oceanica, Scylla serrata.
THE DENSITY AND DISTRIBUTION OF MUD CRAB’S Scylla spp. AND CORRELATION TO PHYSICAL AND CHEMICHAL IN
MANGROVE BELAWAN, NORTH SUMATRA
ABSTRACT
The research about The density and distribution of mud crab’s Scylla spp. and its correlation to physical and chemichal in mangrove ecosystem Belawan, Medan North Sumatra was done from Mei to Juli 2013. Sample were taken from four observation and were performed three times for each station. Sample point was determined by using Purposive Random Sampling. Sample were taken by using Crab’s net 25’s and identification was done in Natural and Environmental Resources Management Mathematic and Natural Science Laboratory, Faculty of North Sumatra University. The result of research showed that two species of the mud crabs were found mangrove ecosystem Belawan namely were Scylla oceanica and Scylla serrata which come from one gets. The result of research found the highest diversity index print of mud crabs Scylla spp. are between 30,05 ind/m3 and the lowest is 21,18 ind/m3. The distribution index Scylla oceanica and Scylla serrata types are distribution group. Pearson correlation analysis test result between water chemistry parameters of the physical factors with a population density of mud crabs Scylla spp. fractions obtained sand substrate and depth werw negatively correlated positively correlated. Fraction of sand substrate and depth was highly significant with a very strong degree of correlation to the population density of mud crab Scylla serrata types, physical and chemical parameters of water were obtained and the depth of the clay fraction of the substrate was highly significant positively correlated with the degree of correlation is very strong against the type of mud crab density Scylla oceanica.
Key word : density, distribution, ecosystem mangrove, mud crab, Scylla oceanica, Scylla serrata.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kepiting bakau Scylla spp. menurut Keenan et al., (1998) termasuk dalam kelas
Crustacea, famili Portunidae, dan genus Scylla. Dalam perdagangan internasional,
kepiting bakau lebih dikenal dengan sebutan mangrove crab atau mud crab. Di
Indonesia kepiting ini dikenal dengan nama kepiting lumpur (mud crab) sedangkan di
Medan lebih dikenal dengan nama ketam kelapa. Kepiting bakau sangat digemari
oleh masyarakat karena memiliki daging yang lezat dan bernilai gizi tinggi. Daging
kepiting bakau juga mengandung 47,5% protein dan 11,20% lemak (Catacutan, 2002;
Karim, 2005). Kepiting bakau sejak tahun 1980-an telah menjadi komoditas
perikanan penting di Indonesia. Pada saat ini permintaan terhadap kepiting bakau
cukup tinggi. Harga jual kepiting bakau di Medan mencapai kisaran harga antara Rp
60.000,- hingga Rp 80.000.-/kg. Pemenuhan permintaan pasar terhadap komoditas
kepiting bakau Scylla spp. sampai saat ini masih berasal dari hasil tangkapan di alam.
Kepiting bakau yang tertangkap mulai berukuran kecil, dewasa, sampai matang
gonad. Tertangkapnya induk kepiting matang gonad dapat mengakibatkan kepiting
tidak sempat untuk melakukan reproduksi, sehingga penambahan baru (recruitment)
terhambat.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem hutan yang tumbuh di lingkungan
pantai dan sebagai sumber produktivitas primer, sehingga berfungsi sebagai daerah
untuk mencari makan (feeding ground), tempat berlindung/daerah asuhan (nursery
ground) dan tempat pemijahan (spawning ground) berbagai biota perairan, termasuk
kepiting bakau. Ekosistem mangrove juga berfungsi menghasilkan berbagai makanan
yang dibutuhkan oleh kepiting bakau dalam bentuk material organik maupun jenis
ekosistem mangrove sangat mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kepiting
bakau di dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
Ekosistem mangrove Belawan adalah kawasan transisi antara dua lingkungan
perairan yang terletak di pesisir Timur Sumatera Utara. Hutan mangrove Belawan
memiliki luasan 1.967,32 Ha dengan kondisi rusak sebesar 76,42% ( Departemen
Kehutanan Sumatera Utara, 2011). Kerusakan kawasan ekosistem mangrove Belawan
disebabkan adanya kegiatan konversi lahan menjadi peruntukan lain seperti
pemukiman penduduk, pertanian dan pertambakan menyebabkan pengurangan luasan
mangrove sebagai habitat kepiting bakau.
Kepiting bakau dalam menjalani hidupnya sangat bergantung pada kondisi
lingkungan habitatnya. Sampai saat ini data mengenai kepadatan dan distribusi
kepiting bakau Scylla spp. di ekosistem mangrove Belawanbelum pernah didapatkan,
sehingga perlu diadakan penelitian.
1.2.Perumusan Masalah
Kondisi ekosistem mangrove Belawan pada saat ini telah mengalami degradasi
akibat adanya konversi lahan menjadi peruntukan lain yang dapat berdampak negatif
terhadap perubahan fungsi ekologis ekosistem mangrove, khususnya kerusakan
daerah asuhan dan mencari makan serta penurunan kualitas lingkungan untuk
sumberdaya kepiting bakau. Konversi hutan mangrove menjadi peruntukan lain juga
dapat mengurangi fungsi ekosistem sebagai habitat kepiting bakau yang
keberadaannya sangat bergantung terhadap ekosistem mangrove. Selain itu, adanya
penangkapan juga dapat menyebabkan menurunnya populasi kepiting bakau di alam.
Apabila kondisi ini terus berlangsung tanpa dicari alternatif pencegahannya,
dikhawatirkan akan mempengaruhi keberlangsungan kehidupan kepiting bakau yang
berdampak terhadap penurunan populasi kepiting bakau di masa yang akan datang.
1.3.Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kepadatan dan distribusi
kepiting bakau Scylla spp. serta hubungannya dengan faktor fisik kimia perairan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data awal bagi usaha
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kepiting Bakau Scylla spp
Kepiting bakau menurut Moosa (1985) tergolong dalam famili Portunidae
yang terdiri atas enam subfamili yaitu : Carcininae, Polyhiinae, Caphyrinae,
Catoptrinae, Podophthalminae dan Portuninae. Mulya (2009) menyatakan ada
sekitar 234 jenis yang tergolong biota yang termasuk dalam famili Portunidae di
wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di Indonesia. Portunidae tergolong dalam
kelompok kepiting perenang (swimming crabs), karena memiliki pasangan kaki
terakhir yang memipih, dan dapat digunakan untuk berenang. Famili Portunidae
mencakup rajungan (Portunus, Charybdis dan Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla
spp.). Karena banyak ditemukan di wilayah hutan bakau (mangrove) maka
dinamakan kepiting bakau (Scylla spp.).
Nama kepiting bakau di wilayah Indopasifik sangat beragam. Di Jawa,
masyarakat mengenalnya dengan nama kepiting saja, sedangkan disebagian
Sumatera, Singapura dan Malaysia dikenal sebagai ketam batu, kepiting Cina, atau
kepiting hijau. Kepiting bakau juga lebih dikenal dengan nama kepiting lumpur
(Kasry, 1996).
Menurut Keenan et al., (1998) ada empat jenis kepiting bakau, yaitu Scylla
serrata, Scylla transquabarica, Scylla paramamosin, dan Scylla olivacea.
Estampador (1949) dalam Mulya (2000) menyatakan keempat jenis genus Scylla
tersebut dapat dibedakan melalui warna sebagai salah satu faktor pembeda utama.
Perbedaan morfologis untuk membedakan keempat jenis dari genus Scylla juga dapat
dilihat dengan adanya bentuk H pada karapaks, bentuk duri pada dahi karapaks,
bentuk duri pada fingerjoint dan bentuk rambut (setae). Kepiting bakau S. oceanica
atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var.
paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah kecokelatan atau coklat
keabu-abuan.
2.2. Habitat dan Siklus Hidup Kepiting Bakau
Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau dalam menjalani hidupnya beruaya
dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan
berusaha kembali ke perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan atau
membesarkan diri. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan bakau,
setelah selesai maka secara perlahan-lahan sesuai dengan perkembangan telurnya
yang betina akan beruaya ke laut menjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya
cocok untuk melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan
perkawinan atau yang telah dewasa akan tetap berada di perairan bakau, tambak, atau
sekitar perairan pantai yang berlumpur dan memiliki organisme makanan berlimpah.
Kepiting bakau dapat menghasilkan dua ribu sampai delapan ribu telur
tergantung dari ukuran dan umur dari kepiting betina yang memijah. Pemijahan
kepiting bakau umumnya berlangsung sepanjang tahun, namun kegiatan bertelur pada
setiap perairan tidak semua pemijahan berlangsung pada dasar perairan yang dalam
dan mengikuti periode bulan, khususnya bulan-bulan yang baru dengan jarak ruaya
yang tidak lebih dari satu kilometer dari pantai (Kordi, 1997).
Kepiting bakau memiliki daya toleransi hidup pada salinitas air yang rendah
(10 – 24 o/oo). Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi atas tiga fase yaitu
fase telur (embrionik), fase larva dan fase kepiting (Estampador, 1949 dalam Mulya,
2000). Tingkat perkembangan tersebut antara lain tingkat zoea, tingkat megalova,
tingkat kepiting muda dan tingkat kepiting dewasa (Boer et al., 1993 dalam
Rosmaniar, 2008). Setelah telur menetas maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang
terus menerus berganti kulit (moulting) kemudian terbawa arus ke perairan pantai
sampai lima kali (zoea V), membutuhkan waktu 18 hari selanjutnya akan berganti
kecuali masih memiliki bagian ekor yang panjang. Tingkat megalova ke tingkat
kepiting muda membutuhkan waktu 11 - 12 hari pada salinitas 29 – 33 o/oo sebelum
berganti kulit menjadi tingkat kepiting pertama. Kasry (1996) menyatakan apabila
salinitas air lebih rendah (21 – 27 o/oo) pada tingkat megalova, kepiting muda
bergerak ke arah pantai memasuki perairan payau. Siahainenia (2000) menyatakan
dari tingkat megalova ke kepiting muda memerlukan waktu 15 menit. Kepiting muda
akan bermigrasi kembali ke hulu estuaria, kemudian berangsur-angsur memasuki
hutan mangrove, hingga berkembang menjadi kepiting dewasa.
Gambar 1. Siklus Hidup Kepiting Bakau (Kasry, 1991)
2.3. Jenis Kepiting Bakau (Scylla spp)
Moosa et al., (1985) membagi genus Scylla spp. dalam tiga spesies dan satu
varian, antara lain Scylla serrata (First crab), Scylla oceanica (dana), Scylla
[image:24.612.118.538.280.587.2]a.Scylla serrata, warna hijau coklat sampai kemerah – merahan seperti karat.
b.Scylla oceanica, warna kehijauan menuju keabu – abuan hampir seluruh bagian
tubuh kecuali bagian perut.
c.Scylla tranquabarica,berwarna kehijauan buah zaitun agak hitam dengan sedikit
garis coklat pada kaki renangnya.
d.Scylla serrata van paramamosin, warna dasar hijau merah kecoklatan atau
coklat keungu – unguan, keabu – abuan.
Ketiga spesies dan satu varian dapat dilihat pada Gambar 2 sebagai berikut :
Scylla serrata Scylla transquabarica
Scylla oceanica Scylla paramamosin
Sumber : http://www.google.co.id/imgres?q=morfologi+kepiting+bakau
Gambar 2. Jenis Kepiting bakau (Scylla spp) 2.4. Keanekaragaman dan Kelimpahan Organisme
Soegianto (1994) menyatakan jumlah jenis atau kekayaan jenis merupakan
konsep pertama dan paling tua mengenai keanekaragaman jenis. Konsep kedua dari
keanekaragaman jenis adalah kesamarataan. Konsep ini memperhitungkan bagaimana
sebaran jumlah individu dari setiap jenis yang ada, dengan demikian pengukuran
terhadap keanekaragaman akan selalu mengacu pada sejumlah jenis maupun individu
Dalam ekologi, kelimpahan memiliki pengertian sebagai total individu suatu
spesies yang menempati areal tertentu (Soecipta, 1993). Pengamatan terhadap
kelimpahan didukung pula oleh data mengenai distribusi dari jenis-jenis fauna di
suatu kawasan (Soegianto, 1994).
2.5. Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp.)
Kasry (1996) menyatakan kepiting bakau tersebar pada perairan berkondisi
tropis yang meliputi wilayah Indo-Pasifik. Kepiting bakau merupakan kepiting yang
bisa berenang dan hampir terdapat di seluruh perairan pantai Indonesia, terutama di
daerah mangrove juga daerah tambak air payau atau muara sungai. Kepiting bakau
dalam menjalani kehidupannya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut,
kemudian induk dari anak-anaknya berusaha kembali ke perairan pantai, muara
sungai, atau daerah hutan mangrove untuk berlindung, mencari makan atau
membesarkan diri. Pada umumnya kepiting banyak ditemukan di daerah hutan
mangrove sehingga di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan kepiting bakau atau
mangrove crabs (Kordi, 1997).
Soetjipta (1993) menyatakan distribusi merupakan gambaran pergerakan
makhluk hidup dari suatu tempat ke tempat lain. Distribusi suatu spesies dalam satu
area tertentu dapat disusun dalam tiga pola dasar yaitu acak, mengelompok dan
teratur (reguler). Untuk menjelaskan fenomena pergerakan ini biasa digunakan istilah
migrasi yaitu pergerakan sejumlah besar spesies dari suatu tempat ke tempat lain.
Gunarto, dkk (2001) menyatakan distribusi merupakan penyebaran spesies yang
dipengaruhi oleh adanya selang geografi (geographic range) suatu perairan.
Informasi mengenai distribusi kepiting bakau pada suatu perairan sangat membantu
usaha penangkapan kepiting bakau, terutama berkaitan dengan kemudahan
mendapatkan fishing ground dan nilai komersiel penangkapan.
Pola distribusi tergantung pada beberapa faktor antara lain : musim pemijahan,
tingkat kelangsungan hidup dari tiap-tiap umur serta hubungan antara kepiting
lumpur berpasir, keberadaan mangrove dan masukan air laut sampai sungai
(Sulaiman dan Hanafi, 1992).
Secara ekosistem, penyebaran kepiting bakau di bagi dua daerah,yaitu daerah
pantai dan daerah perairan laut. Pada perairan pantai yang merupakan daerah nursery
ground dan feeding ground kepiting bakau berada pada stadia muda; menjelang
dewasa; dan dewasa, sedangkan di perairan laut merupakan spawning ground,
kepiting bakau berada pada stadia dewasa (matang gonad), zoea sampai megalops
(Suryani, 2006).
2.6. Pengertian Hutan Mangrove
Menurut Snedaker (1978) dalam Susanti (2008), hutan mangrove adalah
kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai sampai sub-tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan
bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah an-aerob.
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue yang
berarti tumbuhan dan bahasa Inggris grove belukar. Dalam bahasa Inggris kata
mangrove digunakan baik untuk komunitas pohon atau rumput/semak belukar yang
tumbuh di wilayah pesisir intertidal maupun untuk individu jenis tumbuhan lainnya
yang berasosiasi dengan mangrove, sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove
dipergunakan untuk jenis-jenis tumbuhan dan kata mangal untuk komunitas hutan
yang terdiri atas individu jenis mangrove tersebut (Macnae, 1968).
Mulya (2000) menyatakan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem
penghubung antara daratan dan lautan yang meliputi populasi tumbuhan, hewan dan
jasad renik serta lingkungan fisiknya, diikat oleh berbagai proses internal dan
didalamnya terjadi proses pertukaran dan asimilasi energi. Proses internal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal seperti ketersediaan air, ketersediaan zat
(1992) menyatakan faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi komunitas hutan
mangrove antara lain adalah suhu, pH, salinitas, arus, kekeruhan dan substrat dasar.
2.7. Tipe Komunitas Mangrove
Sumitro (1993) membagi komunitas mangrove Indonesia berdasarkan komposisi
flora serta struktur penampakan umum hutan. Komunitas mangrove Indonesia
tersebut adalah :
1. Komunitas Semak
Komunitas semak dibentu oleh jenis-jenis pionir dan terdapat di tepi laut yang
berlumpur lunak. Floranya didominasi oleh Avicennia marina, A. alba dan
Sonneratia caseolaris. Semai ceriops tagal mampu pula tumbuh pada komunitas ini
namun terdapat pada tempat transisi pasang rendah dan pasang tinggi.
Kadang-kadang komunitas ini bercampur dengan tumbuhan non mangrove seperti Pandanus
spp., Glochidion littorale, Ficus retusa, Phragmites karka.
2. Komunitas Mangrove Muda
Komunitas ini mempunyai satu tajuk hutan yang seragam tingginya dan tersusun
terutama oleh Rhizophora spp., Pada tempat yang terlindung dari hempasan ombak
kuat, Rhizophora spp., berperan pula sebagai pionir. Jenis-jenis lain akan berkembang
pula seperti kolonisasi jenis Avicennia dan Sonneratia pada habitat yang tidak baik
untuk pertumbuhan Rhizophora. Salah satu jenis tersebut adalah Avicennia alba,
mampu bertahan terus dan dapat tumbuh hingga mencapai tinggi melampaui tajuk
Rhizophora. Pada tingkat perkembangan lebih lanjut, terjadi percampuran antara
jenis-jenis Rhizophora dan beberapa jenis mangrove lainnya seperti Bruguiera,
Xylocarpus dan di bagian yang jauh dari tepi laut bercampur dengan Excoecaria
agallocha.
3. Komunitas Mangrove Tua
Tipe ini merupakan komunitas mangrove yang sudah mencapai perkembangannya
(klimaks). Sering didominasi jenis-jenis Rhizophora dan Bruguiera yang pohonnya
lumpur lunak. R. stylosa habitat pasir dan Bruguiera spp. lumpur padat. Pada keadaan
klimaks ini keseimbangan telah tercapai, tetapi tidak stabil. Pohon-pohon mangrove
penyusun tipe komunitas ini dapat mencapai diameter 50 cm.
4. Komunitas Nipah
Pada komunitas ini tumbuhan nipah (Nypa frugticans) tumbuh melimpah dan
merupakan jenis utama, bahkan sering pula berkembang menjadi komunitas murni
yang luas. Dalam komunitas nipah beberapa jenis pohon mangrove tumbuh tersebar
tidak merata seperti Lumnitzera spp., Excoecaria agallocha, Heritiers littoralis,
Intsia bijuga, Cerbera manghas.
Berdasarkan ketahanannya terhadap genangan pasang air laut, Supriharyono
(2000) mengelompokkan tumbuhan mangrove menjadi lima yaitu :
1. Spesies tumbuhan yang selamanya tumbuh di daerah genangan pasang naik
yang tinggi; pada umumnya tidak semua spesies dapat hidup pada kondisi ini,
kecuali Rhizophora mucronata;
2. Spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah genangan pasang naik medium;
adalah genera Avicennia, yaitu A. alba, A. marina, A. intermedia, dan
Sonneratia serta Rhizophora mucronata, yang tumbuh di tepi sungai.
3. Spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah genangan pasang naik dengan
tinggi pasang normal; umumnya mangrove dapat hidup di daerah ini, namun
yang paling dominan adalah spesies dari genera Rhizophora.
4. Spesies tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah genangan pasang naik yang
tinggi (spring tide); daerah ini sedikit kering untuk Rhizophora dan cocok
untuk genera Bruguiera gymnorrhiza.
5. Spesies tumbuhan yang hanya tumbuh di daerah genangan pasang pada saat
lain; Bruguiera gymnorrhiza dominan, akan tetapi Rhizophora apiculata dan
Keberadaan masing-masing spesies pada kondisi atau zonasi diatas, disebabkan
karena perbedaan salinitas tanah. Klasifikasi zonasi untuk komunitas mangrove
adalah zona air payau ke arah laut, dengan kisaran salinitas 10 – 30 o
0 - 10
/oo dan zona
air tawar ke air payau dengan salinitas antara
o
/00 pada waktu air pasang.
2.8. Hubungan Ketergantungan Kepiting Bakau dengan Ekosistem Mangrove Ekosistem mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang
dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi untuk jumlah
mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan,
sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Fitoplankton, ikan
dan Krustasea, sampai akhirnya dimangsa oleh manusia berbagai konsumen utama.
Mulya (2000) menyatakan kepiting bakau Scylla spp adalah salah satu biota perairan
yang bernilai ekonomis penting dan kehidupannya sangat dipengaruhi oleh
keberadaan hutan mangrove. Struktur fisik vegetasi mangrove dengan akar-akar
tunjangnya yang saling membelit dan padat serta cabangnya yang memanjang ke
bawah menjadikannya sebagai habitat yang baik bagi kehidupan kepiting bakau.
Hutan mangrove juga dapat berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground),
pemijahan (spawning ground) dan mencari makan (feeding ground) bagi kepiting
bakau terutama kepiting muda, karena ketersediaan makanan alami yang melimpah
pada ekosistem tersebut. Kepiting bakau hidup di sekitar hutan mangrove, memakan
akar-akarnya dan merupakan habitat yang sangat cocok untuk menunjang
kehidupannya karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.
Ekosistem mangrove merupakan tempat yang sangat ideal bagi kepiting bakau
untuk berlindung. Nontji (1987) dalam Siaheinina (2008) menyatakan bahwa
beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan
yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang (Paneus), kepiting bakau
2.9. Hubungan Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat Terhadap Perkembangan Kepiting Bakau
Parameter fisik kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang
berbeda-beda berdasarkan stadia pada daur hidupnya.
2.9.1. Suhu
Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam pengkajian kelautan.
Data suhu dimanfaatkan untuk mempelajari gejala-gejala fisik di dalam laut serta
kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan (Nontji, 2005). Apabila suhu di
permukaan air meningkat, kepiting akan lebih lama tinggal dalam lubang. Rosmaniar
(2008) menyatakan perairan yang mempunyai suhu tinggi cenderung menaikkan
angka pertumbuhan kepiting bakau dan waktu dewasa menjadi singkat. Suhu air yang
lebih rendah dari 20 o
2.9.2. Kecerahan
C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting
bakau turun secara drastis.
Selama periode pasang surut maupun pasang naik menunjukkan bahwa perbedaan
waktu menyebabkan adanya perbedaan kecerahan. Waktu pasang surut pengaruh
daratan lebih dominan sehingga tingkat kecerahannya lebih rendah sedangkan pada
waktu pasang naik laut memiliki kecerahan lebih tinggi berpengaruh terhadap kondisi
perairan, juga dipengaruhi oleh adanya limbah yang menutupi permukaan perairan
sehingga dapat menghalangi penetrasi cahaya (Nontji, 2005).
2.9.3. Kedalaman Air dan Pasang Surut
Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi
perkawinan, namun demikian kepiting bakau juga dapat hidup pada perairan yang
dangkal. Pasang surut terjadi karena interaksi antara gaya tarik (gravitasi) matahari
sistem bulan. Akibat gaya-gaya ini, air samudera tertarik ke atas, naik turunnya
permukaan laut secara periodik selama satu interval waktu tertentu disebut pasang
surut. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling penting yang
mempengaruhi kehidupan di zona intertidal (Nybakken, 1992). Larva kepiting bakau
yang berasal dari perairan laut banyak dijumpai di sekitar daerah estuaria dan hutan
mangrove dikarenakan terbawa oleh arus pada saat pasang. Larva-larva tersebut
selanjutnya akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Mulya,
2000).
2.9.4. Salinitas Air
Salinitas disebut kadar garam atau kegaraman. Jumlah berat semua garam
yang terlarut dalam 1 liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan o/oo (permil, garam
per mil) (Nontji, 2005). Salinitas berpengaruh terhadap setiap fase kehidupan kepiting
bakau, terutama pada saat moulting (Hill, 1976 dalam Rosmaniar, 2008). Kasry
(1996) menyatakan kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada
perairan yang mempunyai salinitas 15 o/oo – 29 o/oo walaupun belum diketahui
pengaruh salinitas terhadap pertumbuhannya. Kepiting bakau akan mengubah
konsentrasi cairan tubuhnya sesuai dengan lingkungannya melalui kombinasi proses
osmosis dan difusi (Anwar et al., 1984). Kisaran salinitas yang sesuai bagi kepiting
adalah 10 – 30 o/oo atau digolongkan ke dalam air payau (Kasry, 1996).
2.9.5. Derajat Keasaman (pH)
Kehidupan organisme aquatik sangat dipengaruhi oleh fluktuasi nilai pH.
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa membahayakan
kelangsungan hidup organisme karena menyebabkan terjadinya gangguan
metabolisme dan respirasi. Soim (1999) menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk
kepiting bakau berkisar antara 7,2 - 7,8. Sedangkan menurut Kasry (1996) pH yang
2.9.6. Kandungan Oksigen Terlarut atau Disolved Oxygen (DO)
Disolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu
perairan. Oksigen terlarut ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam
ekosistem perairan, terutama dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar
organisme air. Oleh sebab itu kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi suhu.
Kepiting dapat hidup pada perairan yang memiliki kandungan oksigen terlarut lebih
dari 4 mg/liter (Kordi, 1997).
2.9.7. Biochemichal Oxygen Demand (BOD)
Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada
temperatur 20 oC (Forstner, 1990 dalam Barus, 2004). Faktor – faktor yang dapat
mempengaruhi pengukuran BOD adalah jumlah senyawa organik yang akan
diuraikan, tersedianya mikroorganisme aerob yang mampu menguraikan senyawa
organik tersebut dan tersedianya sejumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses
penguraian itu.
2.9.8. Nitrat (NO3
Nitrat adalah zat nutrisi yang merupakan produk akhir dari penguraian
mikroorganisme. Mikroorganisme mengoksidasi amonium menjadi nitrit dan
akhirnya menjadi nitrat, penguraian ini dikenal sebagai nitrifikasi (Borneff, 1982
dalam Barus, 2004). )
2.9.9. Phosphat (PO4
Phosphat merupakan nutrient yang paling penting dalam menentukan
produktivitas perairan. Fitoplankton dan tumbuhan air lainnya membutuhkan nitrogen
dan fosfor sebagai sumber nutrisi utama bagi pertumbuhannya. Peningkatan unsur
fosfor dalam air akan dapat meningkatkan populasi algae secara massal yang dapat
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei – Juli 2013 di ekosistem mangrove
Belawan Kota Medan Sumatera Utara. Secara geografis lokasi penelitian terletak
pada posisi 03047’ LU dengan 98042’
Penentuan stasiun penelitian ditentukan berdasarkan kawasan pemanfaatan dan
karakteristik khusus yang terdapat pada tiap stasiun (Gambar 3). Ditentukan 4 stasiun
dengan kriteria sebagai berikut :
BT. Sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Malaka, sebelah Timur berbatasan dengan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang,
sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hamparan Perak, sebelah Selatan
berbatasan dengan Kecamatan Medan Labuhan (Anonimus, 2011).
1. Stasiun 1 berada di lingkungan XX Kecamatan Belawan Sicanang yang
berdekatan dengan pemukiman penduduk, pada koordinat N 03°44’57,7” dan
E 098°
2. Stasiun 2 berada di Kecamatan Medan Marelan yang merupakan kawasan
alami, pada koordinat N 03
38’50,1” umumnya ditumbuhi oleh asosiasi mangrove (Rhizophora
spp., Sonneratia spp., Hisbiscus tiliaceus, Xylocarpus granatus). Tipe substrat
dasarnya berpasir.
°
44’16,5” dan E 098°
3. Stasiun 3 berada di desa Paluh Sembilan yang merupakan daerah Demonstrasi
Provinsi Dinas Perikanan dekat dengan pertambakan , pada koordinat N
03
38’44,3” umumnya ditumbuhi
oleh mangrove jenis Nypa frugticans. Tipe subsrat dasarnya berpasir.
°
45’22,9” dan E 098°38’29,8” umumnya ditumbuhi oleh mangrove jenis
4. Stasiun 4 berada di desa Paluh Harimau, pada koordinat N 03°45’03,4” dan E
098°38’22,0” umumnya ditumbuhi oleh mangrove jenis Sonneratia spp. Tipe
substrat dasarnya berpasir.
Gambar 3. Peta Lokasi Penetitian
Keterangan :
(Asosiasi Mangrove : Rhizophora spp., Sonneratia spp., Hisbiscus tiliaceus, Xylocarpus granatus)
Stasiun 2 : Kecamatan Medan Marelan/Kawasan alami (Nypa frugticans) Stasiun 3 : Desa Paluh Sembilan/Pertambakan (Rhizophora spp.)
Stasiun 4 : Desa Paluh Harimau (Sonneratia spp.)
3.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk penentuan lokasi dan dalam pengambilan sampel
menggunakan Purposive Random Sampling pada 4 stasiun penelitian.
3.3. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi bubu, thermometer Hg, soil pH,
nilon sepanjang 10 meter, gabus, tali penduga, refractometer, sediment core, oven,
sieve shaker, tanur, botol warna gelap, kantong plastik dan alat tulis menulis.
Bahan yang diteliti adalah kepiting bakau yang terdapat di Belawan Sicanang
sebagai bahan kajian penelitian.
3.4. Pengukuran Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat
Pengukuran parameter fisik kimia air dan substrat dilakukan pada tiap stasiun
dengan pengulangan sesuai periode pengambilan sampel kepiting. Pengukuran fraksi
substrat pengukuran dilakukan di laboratorium Lembaga Penelitian dan laboratorium
Riset dan Teknologi Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Prosedur
pengukuran parameter fisik kimia air dan substrat adalah sebagai berikut :
a. Suhu air diukur menggunakan thermometer Hg.
b. pH air diukur dengan pH meter, dan pH substrat menggunakan soil pH.
c. Kecepatan arus dengan menggunakan nilon sepanjang 10 meter yang
ujungnya diikat dengan gabus.
d. Kedalaman air dan ketinggian pasang surut diukur menggunakan tali penduga.
f. Fraksi substrat diukur dengan mengambil contoh substrat sebanyak 100 gr
pada kedalaman 10 cm dan 40 cm menggunakan sediment core, kemudian
dibawa ke laboratorium untuk dikeringkan menggunakan oven pada suhu
800
g. Kadar organik substrat dengan menggunakan Gravimetri dengan
menggunakan oven dan tanur.
C, lalu diayak dengan sieve shaker untuk dianalisa fraksi substratnya.
h. N & P substrat dengan menggunakan oven dan tanur.
i. Oksigen terlarut (DO) dilakukan secara manual dengan menggunakan metode
Winkler.
j. BOD5
k. Pengukuran NO
dilakukan dengan menggunakan metode Winkler.
3 dan PO4 dilakukan dengan mengambil contoh air dan
sedimen pada tiap stasiun. Pengambilan contoh air dilakukan menggunakan
botol warna gelap, sedangkan untuk sampel sedimen diambil menggunakan
sediment core, lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan ditutup rapat,
lalu dibawa ke laboratorium untuk dianalisis kandungan unsur haranya.
3.5.Pengambilan Sampel Kepiting Bakau
Pengambilan sampel kepiting bakau dilakukan di kawasan ekosistem mangrove,
mulai dari daerah estuari, tepi sungai, dan di dalam kawasan hutan mangrove
menggunakan bubu berdiameter 42 cm dan tinggi 20 cm. Pengambilan sampel
kepiting bakau dilakukan seminggu sekali pada keempat stasiun pengamatan secara
serentak dalam waktu yang sama pada waktu surut siang hari. Pengambilan hasil
tangkapan sampel kepiting bakau dilakukan setelah 4 jam pemasangan bubu. Pada
tiap stasiun dipasang 25 buah bubu yang ditanam pada luasan area 20 m x 20 m,
selanjutnya dikelompokkan menurut ciri – ciri morfologi yang sama dan dihitung
jumlah dari masing – masing jenis. Setiap jenis kepiting bakau diambil beberapa ekor
sebagai sampel, kemudian dimasukkan ke plastik yang berisi larutan formalin 10%
sebagai pengawet dan diberi label. Identifikasi dilakukan di Laboratorium
Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dengan
menggunakan acuan Watanabe (1996).
3.6.Analisis Data
3.6.1. Kepadatan Populasi Kepiting Bakau (K)
Data Kepadatan Kepiting Bakau dapat diketahui dengan menggunakan
persamaan menurut Bower et al.,(1990) sebagai berikut :
K =
���
dengan : K = Kepadatan suatu jenis (ind/m3 ni = Jumlah individu suatu jenis
)
A = Volume bubu (m3)
3.6.2. Kepadatan Relatif (KR)
KR = ��
∑N� 100%
dengan : ni = Jumlah individu
∑N = Total seluruh individu
(Bower et al., 1990)
3.6.3. Frekuensi Kehadiran (FK)
�K =Jumlah Ulangan yang Ditempati oleh Suatu Jenis
Total Ulangan � 100%
dengan : FK 0 – 25% = Sangat jarang 25 – 50% = Jarang
50 – 75% = Banyak
> 75% = Sangat banyak
3.6.4. Indeks Distribusi Morista
�� =� �∑ �2− �
�(� −1)�
dengan : n = Jumlah seluruh plot
N = Jumlah total individu dalam total plot ∑x2
Kriteria pola distribusi dikelompokkan sebagai berikut :
= Kuadrat jumlah individu perplot untuk total n plot
Jika Id, 1 - 0 (Distribusi Random/Acak)
Id, 1 ˂ 0 (Distribusi Normal)
Id, 1 ˃ 0 (Distribusi Berkelompok)
(Bengen, 1998)
3.6.5. Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang
berkorelasi terhadap nilai kepadatan kepiting bakau. Analisis korelasi (r) dilakukan
dengan menggunakan metode analisis korelasi Pearson dengan program komputer
SPSS Ver. 16.00.
Keterangan :
0,00 - 0,199 = Sangat rendah 0,20 - 0,399 = Rendah 0,40 - 0,599 = Sedang 0,60 - 0,799 = Kuat 0,80 – 1,00 = Sangat kuat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Analisis Parameter Faktor Fisik Kimia Air dan Substrat
Hasil pengukuran terhadap parameter faktor fisik kimia air dan substrat yang
mencakup suhu air, pH air dan substrat, kecepatan arus, kedalaman air, salinitas air,
[image:40.612.114.516.327.692.2]fraksi substrat, kadar organik substrat, N & P Substrat, DO, BOD5, NO3 dan PO4
Tabel 1. Hasil Pengukuran Parameter Fisik Kimia Air dan Substrat yang diperoleh pada Setiap Stasiun Penelitian
dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Parameter Satuan
Stasiun Baku
Mutu 1 2 3 4
Fisik-Kimia Air
Suhu perairan 0C 27,50 26,30 26,30 26,30 28 - 32
pH air - 7,1-7,2 6,6-6,9 6,7-6,9 7,2-7,6 6 - 9
pH substrat - 6,2-6,4 6,1-6,5 6,1-6,3 6,0-6,3 6 - 9
Kedalaman perairan M 1,30 1,50 2,10 1,50 -
Fraksi substrat Pasir Debu Liat % % % 51,00 31,00 18,00 49,00 25,00 26,00 47,00 23,00 30,00 53,00 21,00 26,00 - - -
Salinitas air °/00 17,90 16,40 17,50 12,50 28 - 34
K. organik substrat % 2,80 1,80 2,60 2,60 -
P substrat ppm 12,40 11,58 13,20 12,16 -
DO mg/L 4,80 3,60 3,70 3,70 3 - 4
BOD5 mg/L 1,00 0,80 0,80 0,60 3 - 6
NO3 mg/L 1,26 2,17 1,66 1,17 0,008
PO4 mg/L 0,12 0,25 0,16 0,13 0,2 - 1
Keterangan :
St. 1. Lingkungan XX Kecamatan Sicanang/Pemukiman Penduduk St. 2. Kecamatan Medan Marelan/Kawasan Alami
St. 3. Desa Paluh Sembilan/Pertambakan St. 4. Desa Paluh Harimau
1. Suhu Perairan
Hasil pengukuran memperlihatkan bahwa rata-rata suhu air pada tiap stasiun
berkisar antara 26,30 °C – 27,50 °C. Suhu air tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar
27,50 °C sedang suhu terendah dijumpai pada stasiun 2, 3, dan 4. Tingginya suhu
pada stasiun 1 dikarenakan pada stasiun tersebut dekat dengan pemukiman penduduk
yang menimbulkan banyaknya aktivitas penduduk dan juga pengaruh kanopi pohon
mangrove yang sedikit sehingga panas matahari langsung ke badan air. Rendahnya
suhu pada stasiun 2, 3, dan 4 disebabkan adanya pengaruh kanopi pohon yang lebih
rapat sehingga intensitas cahaya yang masuk ke permukaan air menjadi lebih rendah.
Hal ini secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kondisi suhu perairan di
sekitarnya. Baliao et al. (1981) dalam Mulya (2000) menyatakan kepiting bakau
dapat bertoleransi dan hidup pada perairan yang mempunyai kisaran suhu 12,00 °C -
35,00 °C dan tumbuh cepat pada perairan yang mempunyai kisaran suhu 23,00 °C -
32,00 °C. Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kisaran suhu di ekosistem
perkembangan kepiting bakau. Pendapat ini didukung oleh Mulya (2000) yang
menyatakan kepiting bakau dapat dijumpai pada kisaran suhu 28,00 °C - 29,25 °C di
perairan hutan mangrove Karang Gading Langkat Timur Laut Sumatera Utara,
selanjutnya Nazar (2002) menyatakan bahwa kepiting bakau pada kisaran suhu
14,00 °C - 32,00 °C di perairan Karang Anyar Segara Anakan Cilacap, sedang
penelitian yang dilakukan Suryani (2006) mendapatkan kepiting bakau pada kisaran
suhu 20,73 °C - 21,30 °C di ekosistem mangrove Desa Kahyapu Pulau Enggano
Bengkulu. Siaheinina (2008) mendapatkan kepiting bakau pada kisaran suhu 29,70 °C
- 31,30 °C di ekosistem mangrove Kabupaten Subang-Jawa Barat, selanjutnya
Rosmaniar (2008) yang mendapatkan kepiting bakau pada kisaran suhu 29,60 °C -
32,10 °C di perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang.
2. Nilai pH Air dan pH Substrat
Hasil pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian mendapatkan nilai
pH air dan pH substrat pada tiap stasiun di ekosistem mangrove Belawan berkisar
antara 6,70 - 7,60 (pH air) dan 6,00 - 6,50 (pH substrat) (Tabel 1). Nilai pH air
tertinggi dijumpai pada stasiun 4 sebesar 7,20 - 7,60 dan nilai terendah dijumpai pada
stasiun 2 sebesar 6,60 - 6,90 sedang nilai pH substrat tertinggi dijumpai pada stasiun
1 dan 2 sebesar 6,10 - 6,50 dan nilai terendah dijumpai pada stasiun 4 sebesar 6,0 -
6,3. Sindiarta dalam Siaheinina (2000) menyatakan bahwa perairan yang kisaran
pHnya 6,50 – 7,50 dikategorikan perairan yang cukup baik, sedangkan perairan
dengan kisaran pH 7,50 – 8,50 dikategorikan sangat baik, selanjutnya Mulya (2000),
Nazar (2002) dan Suryani (2006) juga menyatakan kepiting bakau dapat hidup pada
perairan yang berkondisi agak asam sampai basa (pH 6,00 - pH 10,5). Rosmaniar
(2008) juga mendapatkan kepiting bakau pada kisaran pH 7,2 - 8,1 di perairan Pantai
Labu Kabupaten Deli Serdang. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi pH air dan pH
substrat pada ekosistem mangrove Belawan masih cukup layak bagi keberadaan
3. Kedalaman Air
Hasil pengukuran terhadap kedalaman air yang telah dilakukan selama
periode surut siang hari berkisar 1,30 m - 2,10 m. Kedalaman air tertinggi dijumpai
pada stasiun 3 sebesar 2,10 m sedang kedalaman terendah dijumpai pada stasiun 1
sebesar 1,30 m. Moosa et al., (1985) menyatakan bahwa distribusi kepiting bakau
menurut kedalaman hanya terbatas pada daerah litoral dengan kisaran kedalaman 0 -
32 meter dan sebagian kecil hidup di laut dalam. Nazar (2002) melaporkan bahwa
kepiting bakau dapat dijumpai pada kedalaman air berkisar 32 - 350 cm di perairan
Karang Anyar Segara Anakan Cilacap, sedang Siaheinina (2008) mendapatkan
kepiting bakau dapat dijumpai pada kedalaman air yang berkisar 2,45 - 4,70 m di
ekosistem mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Berdasarkan hal tersebut
menggambarkan bahwa kedalaman air di ekosistem mangrove Belawan masih dapat
mendukung kehidupan kepiting bakau.
4. Salinitas Air
Salinitas air dari hasil penelitian pada tiap stasiun berkisar antara 12,50 o/oo
-21,90 o/oo. Nilai salinitas tertinggi dijumpai pada stasiun 2 berkisar 21,90 o/oo sedang
salinitas terendah dijumpai pada stasiun 4 berkisar 12,50 o/oo. Hal ini karena adanya
sumber-sumber air tawar yang ada pada lokasi penelitian seperti aliran sungai
maupun paluh-paluh sungai yang terdapat pada tiap stasiun sehingga terjadinya
variasi pada tiap stasiun. Salinitas merupakan salah satu factor lingkungan yang
berpengaruh pada kehidupan organisme akuatik termasuk kepiting bakau. Wahyuni
dan Sunaryo (1981) dalam Mulya (2000) menyatakan kepiting bakau terutama pada
fase juvenil dan dewasa termasuk golongan hewan eurihalin yang dapat mentolerir
dan hidup pada kisaran salinitas luas yakni sebesar 0 - 34,00 o/oo, sementaraKasry
(1996) menyatakan kepiting bakau dewasa kawin dan mematangkan telurnya pada
perairan dengan salinitas 15 o/oo - 20 o/oo dan kemudian beruaya ke perairan laut
Segara Anakan Cilacap dapat dijumpai pada kisaran salinitas 1,86 o/oo - 6,31 o/oo,
sedang Nazar (2002) menyatakan kepiting bakau dapat dijumpai pada kisaran
salinitas 1 - 28 o/oo, selanjutnya Suryani (2006) telah melaporkan bahwa kepiting
bakau dapat dijumpai pada kisaran salinitas 16,03 o/oo - 17,26 o/oo di ekosistem
mangrove Desa Kahyapu Pulau Enggano Bengkulu. Hal ini menggambarkan bahwa
kondisi salinitas di ekosistem mangrove Belawan masih layak dalam mendukung
pertumbuhan dan perkembangan kepiting bakau.
5. Tekstur Substrat Dasar Perairan
Hasil pengukuran tekstur substrat dasar perairan yang didapatkan memiliki
nilai yang bervariasi berkisar antara 47,00 % - 53,00 % (Tabel 1). Fraksi substrat
pasir tertinggi dijumpai pada stasiun 4 berkisar 53,00 % sedang terendah dijumpai
pada stasiun 3 berkisar 47,00 %. Tingginya fraksi substrat pasir pada stasiun 4
dikarenakan pada stasiun ini vegetasi mangrove umumnya ditumbuhi Sonneratia spp.
Nazar (2002) menyatakan Sonneratia spp. merupakan jenis pionir, tidak toleran
terhadap air tawar dalam periode yang lama, menyukai tanah yang bercampur lumpur
dan pasir, sedang tekstur debu tertinggi dijumpai pada stasiun 1 berkisar 31% dan
terendah dijumpai pada stasiun 4 berkisar 21%, selanjutnya tekstur liat tertinggi
dijumpai pada stasiun 3 berkisar 30% dan terendah dijumpai pada stasiun 1 berkisar
18%. Tingginya tekstur liat yang dijumpai pada stasiun 3 dikarenakan pada stasiun
ini umumnya vegetasi mangrove yang banyak adalah Rhizophora spp. Poedjirahajoe
(1996) menyatakan Rhizophora spp. memiliki perakaran yang menjangkar dan
bersifat pneumatophore. Adanya perakaran ini menjadikan proses penangkapan
partikel debu di tegakan Rhizophora spp. berjalan secara sempurna, sedang Kordi
(2000) menyatakan tanah liat dan berlumpur merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan kepiting bakau, selanjutnya Arief (2003) menyatakan fraksi substrat
partikel liat dan partikel debu mampu menangkap unsur hasil serasah. Perrine (1979)
dalam Suryani (2006) menyatakan bahwa daerah perairan yang memiliki fraksi liat
analisis tekstur tanah yang telah dilakukan di ekosistem mangrove Belawan
menunjukkan bahwa secara umum terlihat pada setiap stasiun penelitian fraksi pasir
memiliki nilai lebih dari 45% sementara untuk fraksi liat dan debu nilai setiap
stasiunnya kecil. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi pasir tidak memberikan peran
yang cukup besar untuk terjadinya tanah lumpur pada hutan mangrove sebagai tempat
berkembangbiaknya kepiting bakau Scylla spp. Keadaan ini menggambarkan bahwa
substrat dasar perairan ekosistem mangrove Belawan cukup baik bagi pertumbuhan
kepiting bakau.
6. Kandungan Organik Substrat
Hasil pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian mendapatkan nilai
kandungan organik substrat pada tiap stasiun di ekosistem mangrove Belawan
berkisar 1,81% - 2,81%. Nilai kandungan organik substrat tertinggi dijumpai pada
stasiun 1 sebesar 2,81% dan kandungan organik substrat terendah dijumpai pada
stasiun 2 berkisar 1,81%. Tingginya kandungan organik substrat pada stasiun 1
disebabkan pada stasiun ini terdiri dari asosiasi mangrove sehingga terdapat
banyaknya sumber bahan organik, seperti guguran daun vegetasi mangrove yang
jatuh di sekitar stasiun tersebut, sedang rendahnya kandungan organik substrat pada
stasiun 2 disebabkan vegetasi mangrove yang terdapat umumnya banyak ditumbuhi
Nypa frugticans atau bahasa lokalnya nipah. Nipah ini sering dipanen oleh para
nelayan untuk dijual sehingga sumber bahan organik di sekitar stasiun tersebut sedikit.
Nontji (2005) menyatakan guguran daun bakau merupakan bahan organik yang
penting dalam lingkungan perairan yang bisa mencapai 7 - 8 ton/tahun. Dalam hal ini
menunjukkan bahwa secara umum nilai kandungan organik substrat di ekosistem
mangrove Belawan termasuk kriteria rendah dan sedang (Djaenuddin et al., 1994).
7. N & P Substrat
Hasil pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian mendapatkan nilai N
0,19% (N substrat) dan 11,58 ppm - 13,20 ppm (P substrat). Nilai tertinggi N
substrat dijumpai pada stasiun 1 dan 3 sebesar 0,19% dan nilai terendah dijumpai
pada stasiun 2 berkisar 0,15%, sedang nilai P substrat tertinggi dijumpai pada stasiun
3 sebesar 13,20 ppm dan P substrat terendah dijumpai pada stasiun 2 sebesar 11,58
ppm. Variasi nilai N & P substrat pada masing-masing stasiun disebabkan banyaknya
serasah yang jatuh ke dalam perairan yang diuraikan oleh detritus kemudian diubah
menjadi N & P yang berada di substrat perairan, selanjutnya dimanfaatkan oleh
benthos untuk perkembangannya sehingga benthos dapat dijadikan untuk sumber
bahan pakan untuk keberlangsungan hidup bagi biota perairan di sekitar mangrove,
terutama kepiting bakau. Effendi (1997) menyatakan pada perairan mangrove banyak
terdapat bangkai hewan dan sisa tumbuhan yang dapat dijadikan makanan bagi
kepiting bakau. Suryani (2006) melaporkan mendapatkan kepiting bakau yang
memiliki nilai N & P substrat bervariasi di ekosistem mangrove Desa Kahyapu Pulau
Enggano Bengkulu. Nilai N substrat yang didapat berkisar 0,01 – 0,16%, sedang nilai
P substrat berkisar 2,73 ppm – 12,07 ppm. Dalam hal ini menunjukkan bahwa nilai N
& P substrat di ekosistem mangrove Belawan cukup baik bagi pertumbuhan dan
perkembangan kepiting bakau.
8. Oksigen Terlarut (DO)
Hasil Pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian di ekosistem
mangrove Belawan mendapatkan nilai oksigen terlarut (DO) berkisar 3,60 mg/L –
4,80 mg/L (Tabel 1). Nilai oksigen terlarut (DO) pada stasiun 1 dijumpai berkisar
4,80 mg/L, stasiun 2 berkisar 3,60 mg/L, sedang pada stasiun 3 dan 4 memiliki nilai
DO yang sama berkisar 3,70 mg/L. Nybakken (1992) menyatakan Disolved Oxygen
(DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut
ini merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan,
terutama sekali dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air. Nilai
oksigen terlarut (DO) yang bervariasi tersebut menunjukkan bahwa kepiting bakau di
ekosistem mangrove Belawan masih dapat ditolerir dalam menunjang
9. Biochemichal Oxygen Demand (BOD5
Hasil pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian mendapatkan nilai
BOD
)
5 pada tiap stasiun ekosistem mangrove Belawan berkisar 0,60 mg/L-1,00 mg/L.
Nilai BOD5 tertinggi dijumpai pada stasiun 1 sebesar 1,00 mg/L sedang nilai BOD5
terendah dijumpai pada stasiun 4 sebesar 0,60 mg/L. Wardhana (1995) menyatakan
peristiwa penguraian bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh
mikroorganisme di dalam lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi
apabila air mengandung oksigen yang cukup. Tingginya nilai BOD5 pada stasiun 1
disebabkan banyaknya aktivitas dari masyarakat yang berpotensi menimbulkan
limbah organik yang merupakan substrat utama untuk mikroorganisme dalam
menguraikan senyawa organik, sedang rendahnya nilai BOD5 dijumpai pada stasiun 4
sebesar 0,6 mg/L disebabkan sedikitnya bahan organik yang diuraikan oleh
mikroorganisme. Rosmaniar (2008) melaporkan kepiting bakau dapat dijumpai pada
kisaran BOD 4,1 mg/L - 4,4 mg/L di perairan Pantai Labu kabupaten Deli Serdang.
Hal ini menggambarkan bahwa nilai BOD5 di ekosistem mangrove Belawan masih
dapat batas optimal dalam mendukung keberlangsungan kehidupan kepiting bakau.
10. Nitrat (N-NO3
Hasil pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian mendapatkan nilai
nitrat pada tiap stasiun ekosistem mangrove Belawan berkisar 1,17 mg/L -2,17 mg/L.
Nilai nitrat tertinggi dijumpai pada stasiun 2 sebesar 2,17 mg/L sedang nilai nitrat
terendah dijumpai pada stasiun 4 sebesar 1,17 mg/L. Moosa (1985) menyatakan
unsur nitrogen merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi pertumbuhan
organisme dan sebagai pembentuk protein. Robertson (1998) mengatakan bahwa di
perairan, nitrogen terdapat dalam bentuk gas nitrit (NO )
2) dan nitrat (NO3). Menurut
Rheinheimen et al., (1988) dalam Barus (2004) menyatakan nitrat merupakan zat
nutrisi yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang. Murdiyanto
(2003) menyatakan bahwa daun bakau yang jatuh akan terurai oleh bakteri tanah dan
Plankton dan alga yang berkembang akan menjadi makanan bagi berbagai jenis
organisme yang ada di daerah tersebut, termasuk kepiting bakau. Siaheinina (2008)
menyatakan kepiting bakau dapat dijumpai pada kisaran nitrat 0,01 mg/L-0,18 mg/l
di perairan hutan mangrove Teluk Pelita Jaya Seram Maluku. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi nitrat pada ekosistem mangrove Belawan masih baik dalam
mendukung perkembangan kepiting bakau.
11. Fosfat (PO4
Berdasarkan hasil pengukuran yang telah dilakukan selama penelitian
mendapatkan nilai kandungan fosfat berkisar antara 0,12 mg/L - 0,25 mg/L. Nilai
fosfat tertinggi dijumpai pada stasiun 2 berkisar 0,25 mg/L, sedang nilai fosfat
terendah dijumpai pada stasiun 1 berkisar 0,12 mg/L. Tinggi rendahnya nilai
ka