• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model perubahan garis pantai di sekitar delta sungai jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model perubahan garis pantai di sekitar delta sungai jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL PERUBAHAN GARIS PANTAI DI SEKITAR DELTA

SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN

S A K K A

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

S a k k a

NIM: C661040021

(3)

ABSTRACT

SAKKA, Shoreline Changes Model at Jeneberang Around River Delta, Makassar, South Sulawesi. Under direction of MULIA PURBA, I WAYAN NURJAYA. HIDAYAT PAWITAN AND VINCENTIUS P. SIREGAR.

(4)

RINGKASAN

SAKKA. Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh MULIA PURBA sebagai ketua komisi pembimbing, I WAYAN NURJAYA, HIDAYAT PAWITAN dan VINCENTIUS P. SIREGAR sebagai anggota komisi pembimbing.

Wilayah pantai merupakan zona persinggungan dan interaksi antara atmosfer, daratan dan lautan sehingga sangat dinamik. Zona pantai senantiasa mengalami dampak dari pengaruh eksternal dan internal baik yang bersifat alami maupun campur tangan manusia untuk menuju ke suatu kondisi keseimbangan alami. Faktor alami yang mempengaruhi wilayah pantai diantaranya adalah gelombang, arus, pasang surut, aksi angin, iklim, dan aktivitas tektonik maupun vulkanik. Sedangkan kegiatan campur tangan manusia dalam hal ini adalah pemanfaatan suatu kawasan pantai seperti kegiatan industri, perikanan, pelabuhan, pertambangan, pemukiman dan penutupan sungai.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji karakteristik gelombang laut lepas, transformasi gelombang, besar angkutan sedimen dan memprediksi laju perubahan garis pantai delta Sungai Jeneberang dengan menggunakan model dan dibandingkan dengan hasil citra satelit.

Kebaruan penelitian ini adalah model yang dibuat terdiri dari model perhitungan gelombang laut lepas yang menggunakan data angin harian selama 19 tahun, model transformasi gelombang dari laut lepas ke garis pantai, model angkutan sedimen sejajar pantai dan model perubahan garis pantai, dimana keempat model tersebut menyatu dalam satu program utama dan saling mempengaruhi. Selain itu pada model perhitungan angkutan sedimen dilakukan penyesuaian pada grid dimana garis pantai hasil model terlalu jauh menyimpang dari garis pantai hasil citra.

Profil lereng pantai dari selatan ke utara (dari pantai Barombong sampai Tanjung bunga) cenderung semakin membesar. Lereng pantai di perairan Barombong berkisar antara 0.9-1.3%, di perairan Tanjung merdeka berkisar antara 0.8-1.2% dan di perairan Tanjung bunga berkisar antara 1.0-1.3%,

Hasil perhitungan tinggi gelombang menunjukkan bahwa tinggi gelombang dominan berada pada kisaran 0.40 - 0.59 m (47.98 %) dan 0.60 – 0.79 m (30.53 %). Sedangkan arah gelombang dominan dari arah barat (32.25 %), barat laut (21.46 %) dan barat daya (20.46 %). Tinggi gelombang rata-rata bulanan yang terjadi umumnya lebih besar pada bulan Desember – Februari (musim barat) dibandingkan pada bulan Juni – Agustus (musim timur), kecuali pada tahun 2007 tinggi gelombang rata-rata bulanan terbesar pada bulan Juni. Tinggi gelombang yang terjadi di lokasi penelitian sangat dipengaruhi oleh kondisi angin musiman di Selat Makassar.

(5)

berkurang secara drastis hingga bernilai nol pada garis pantai. Perubahan tinggi dan arah gelombang yang terjadi selama menjalar dari laut lepas ke pantai di sebabkan oleh pengaruh shoaling dan refraksi karena adanya perubahan kedalaman laut.

Pada saat gelombang datang dari arah barat daya besar angkutan sedimen berkisar antara 0.9 sampai 282.5 m3/hari dengan rata-rata 20.6 m3/hari ke arah utara dan 0.8 sampai 11.2 m3/hari dengan rata-rata 2.7 m3/hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat besar angkutan sedimen berkisar antara 0.1 sampai 265 m3/hari dengan rata-rata 19.9 m3/hari ke arah utara dan 7.8 sampai 49.7 m3/hari dengan rata-rata 11.9 m3/hari ke arah selatan. Pada saat gelombang datang dari arah barat laut angkutan sedimen di sepanjang pantai berkisar antara 0.5 sampai 10.1 m3/hari dengan rata-rata 2.6 m3/hari ke arah utara dan 0.1 sampai 280.5 m3/hari dengan rata-rata 19.7 m3/hari ke arah selatan. Hal ini menunjukkan bahwa netto angkutan sedimen di lokasi penelitian dominan ke arah utara.

Hasil prediksi model pada tahun 1990 - 2008 memperlihatkan adanya perbedaan perkembangan daratan yang tidak simetris di sekitar muara sungai pada pantai Barombong bagian utara dan pantai Tanjung Merdeka bagian selatan. Hal ini diduga karena perkembangan daratan di sekitar muara sungai sangat dipengaruhi oleh arah angkutan sedimen yang dibangangkitkan oleh gelombang.

Pantai Tanjung Bunga mempunyai bentuk garis pantai yang melekuk ke darat sehingga secara teori seharusnya mengalami akresi, tetapi orientasi pantai Tanjung Bunga cenderung menghadap barat laut sehingga pada saat gelombang datang dari arah barat daya dan barat sudut gelombang pecah di pantai Tanjung Bunga lebih besar dibandingkan dengan pantai Barombong dan Tanjung Merdeka. Hal ini menyebabkan angkutan sedimen di pantai Tanjung Bunga lebih besar dibandingkan dengan pantai Barombong dan Tanjung Merdeka sehingga pantai Tanjung Bunga mengalami abrasi lebih besar dibandingkan dengan pantai Barombong dan Tanjung Merdeka.

Selain itu pada tahun 1993 muara Sungai Jeneberang bagian utara ditutup sehingga sedimen yang berasal dari Sungai Jeneberang semuanya mengalir ke muara bagian selatan. Hal ini menyebabkan pantai Tanjung Bunga tidak mendapat lagi suplai sedimen dari muara Sungai Jeneberang bagian utara, sedangkan hempasan gelombang yang terjadi setiap saat cukup besar sehingga pantai Tanjung Bunga telah mengalami abrasi sekitar 181.1 m pada tahun 2008. Laju abrasi di pantai Tanjung Bunga selama tahun 1990 sampai 2008 sebesar 9.5 m/tahun.

(6)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(7)

SUNGAI JENEBERANG, MAKASSAR, SULAWESI SELATAN

S A K K A

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu Kelautan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. John I. Pariwono, M.Sc.

Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc.

Staf Pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK, IPB

Penguji pada Ujian Terbuka:

Prof. Dr. Dadang Ahmad Suriamiharja, M.Sc. Guru Besar Jurusan Fisika, FMIPA, UNHAS Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc.

(9)

Judul : Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan

Nama : Sakka NIM : C661040021

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Kelautan

Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

(10)

PRAKATA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas kebesaran nikmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Model Perubahan Garis Pantai di Sekitar Delta Sungai Jeneberang, Makassar, Sulawesi Selatan. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan bantuan dan kemudahan dari berbagai pihak, karenanya penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. dan Dr. Ir. Vincentius P. Siregar, DEA masing-masing selaku anggota komisi pembimbing atas segala masukan dan saran-saran yang diberikan.

2. Dr. Ir. Neviaty Putri Zamani, M.Sc selaku ketua program studi Ilmu Kelautan, Program Pascasarjana IPB.

3. Dr. Ir. John I. Pariwono, M.Sc. dan Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang tertutup.

4. Prof. Dr. Dadang Ahmad Suriamiharja, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. atas kesediaannya menjadi penguji luar komisi pada ujian sidang terbuka.

5. Rektor dan Dekan Fakultas MIPA Universitas Hasanudin yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan Pendidikan Program Doktor (S3) pada Program Studi Ilmu Kelautan IPB.

6. Pemerintah RI, melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Biaya Pendidikan Pascasarjana (BPPS) atas bantuan beasiswa yang diberikan.

7. PEMDA Provinsi Sulawesi Selatan dan Mitra Bahari-Coremap II yang telah memberikan bantuan biaya penulisan disertasi.

8. Dr. M. A. Hamzah, M.Sc. yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian di Makassar.

9. Berbagai pihak yang telah banyak membantu terhadap keberhasilan penulis dalam menyelesaikan program doktor di Program Studi Ilmu Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(11)
(12)

DAFTAR ISI

2.2 Kecepatan Arus Menyusur Pantai ... 14

2.3 Angkutan Sedimen di Pantai ... 16

3.3.2 Pengukuran kedalaman dasar laut ... 27

3.3.3 Pengukuran pasang surut ... 27

3.5.1 Struktur model perubahan garis pantai ... 34

3.5.2 Perhitungan tinggi dan periode gelombang ... 37

3.5.3 Transformasi gelombang ... 42

4.3.1 Karakteristik gelombang laut lepas ... 56

4.3.2 Transformasi gelombang ... 59

(13)

4.5 Sedimen Pantai ... 65

4.5.1 Karakteristik sedimen pantai ... 65

4.5.2 Angkutan sedimen sejajar pantai ... 69

4.6 Perubahan Garis Pantai ... 72

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 87

5.1 Simpulan ... 87

5.2 Saran ... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(14)

DAFTAR TABEL

No. halaman

1. Kriteria gelombang pecah ... 14

2. Klasifikasi ukuran partikel sedimen ... 30

3. Distribusi nilai parameter statistik sedimen ... 31

4. Persentase kecepatan dan arah angin harian selama tahun 1990 – 2008 51 5. Data Kemiringan pantai pada jarak 0 sampai 1 km ke lepas pantai ... 54

6. Presentase tinggi dan arah gelombang laut pada kedalaman 20 m selama tahun 1990 – 2008 ... 58

7. Hasil perhitungan konstanta harmonik pasang surut Kota Makassar... 65

8. Hasil perhitungan tunggang air pasang surut pada referensi MSL ... 65

9. Hasil perhitungan persentase diameter butiran sedimen ... 66

10. Massa jenis dan statistik butiran sedimen di sepanjang patai lokasi penelitian ... 66

11. Jarak maksimum perubahan garis pantai hasil citra tahun 1990 – 2008 74 12. Selisih perubahan garis pantai antara hasil citra pada tahun yang sama dengan hasil model relatif terhadap garis pantai awal tahun 1990 ... 80 13.

14.

Jarak maksimumperubahan garis pantai hasil model

tahun 1990 – 2008 ... Luas lahan yang mengalami abrasi dan akreasi serta jumlah sedimen yang terangkut dan terendapkan dari hasil model dan hasil citra ………

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. halaman

1. Diagram alir rumusan masalah dan pencapaian tujuan penelitian ... 9

2. Peta lokasi penelitian ... 26

3. 4. 5. Peta lokasi pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen ... Penentuan kelerengan pantai ……….. Penentuan posisi muka air pada saat perekaman citra ………... 28 33 34 6. Diagram alir program utama perubahan garis pantai ... 36

7. Hubungan antara RL dengan kecepatan angin di darat (UL) ... 39

8. Diagram alir koreksi kecepatan angin dan perhitungan tinggi serta perioda gelombang laut lepas ... 40

9. Defenisi sudut gelombang pecah terhadap garis pantai ... 43

10. Bentuk grid yang digunakan dalam perhitungan transformasi Gelombang ... 44

11. Diagram alir transpormasi gelombang ... 44

12. Pembagian garis pantai menjadi sederetan sel ... 46

13. Angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel ... 46

14. Perubahan garis pantai akibat angkutan sedimen ... 47

15. Diagram alir perhitungan angkutan sedimen dan perubahan garis pantai ... 49

16. Mawar angin (wind rose) pada tahun 1990 – 2008 ... 52

17. Diagram batang distribusi kecepatan angin tahun 1990 – 2008 ... 52

18. Mawar angin (wind rose) (a) musim baratan, (b) musim timuran ... 53

19. Hasil pengukuran kedalaman dasar laut ... 54

20. Hasil pengukuran kelerengan pantai (a) Tanjung Bunga (b) Tanjung Merdeka, (c) Barombong ... 55

21. Tinggi gelombang harian selama tahun 1990 –2008 ... 57

22. Periode gelombang harian selama tahun 1990 –2008 ... 57

23. Tinggi dan perioda gelombang maksimum bulanan (a) tahun 1990 – 1999, (b) tahun 2000 – 2008 ... 58

(16)

xxii

25. Perubahan tinggi gelombang dari laut lepas sampai pada saat

gelombang pecah, (a) i = 250, (c) i = 630 dan (c) i = 940 ... 61

26. Tinggi gelombang pecah sepanjang pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H0) yang berbeda ... 62

27. Jarak gelombang pecah dari garis pantai dengan tinggi gelombang laut lepas (H0) yang berbeda ... 64

28. Grafik data pasang surut di lokasi penelitian ... 64

29. Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Barombong ... 67

30. Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Merdeka ... 68

31. Persentase jenis sedimen di sepanjang patai Tanjung Bunga ... 69

32. Besar angkutan sedimen di sepanjang pantai dengan arah datang gelombang dari barat daya, barat dan barat laut ... 70

33. Besar angkutan sedimen pada setiap lokasi daerah penelitian ... 72

34. Perubahan garis pantai hasil citra tahun 1990 – 2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) ... 73

35. Jarak perubahan garis pantai hasil citra (a) tahun 1999, (b) 2003 dan (c) 2008 ... 75

36. Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 1999 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) ... 77

37. Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2003 (atas) dan diperbesar padalokasi A, B, C, D, E, F dan G(bawah) ... 78

38. Perubahan garis pantai hasil citra dan hasil model tahun 2008 (atas) dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) ... 79

39. Perubahan garis pantai hasil model tahun 1990 – 2008, atas dan dan diperbesar pada lokasi A, B, C,D, E, F dan G (bawah) ... 81 40.

41.

Lokasi pantai yang mengalami abrasi dan akresi ... Jarak perubahan garis pantai hasil model (a) tahun 1999,

(b) 2003 dan (c) 2008 ...

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

No. halaman

1. Data kecepatan angin harian tahun 1990 – 2008 ... 93

2. Data arah angin harian tahun 1990 – 2008 ... 101

3. Grafik distribusi sedimen ... 109

4. Data hasil pengukuran pasang surut ... 113

5. Data pengukuran posisi untuk koreksi citra ... 115

.6. Program Perubahan garis pantai ... 117

7. Mawar angin (wind rose) setiap tahun (1990 – 2008) ... 131

8. Wind rose data angin reanalisis yang diunduh dari http://ecmwf.int.... 133

9. Hasil perhitungan tinggi gelombang laut lepas ... 135

(18)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pantai merupakan suatu zona yang sangat dinamik karena merupakan zona persinggungan dan interaksi antara udara, daratan dan lautan. Zona pantai senantiasa memiliki proses penyesuaian yang terus menerus menuju ke suatu keseimbangan alami terhadap dampak dari pengaruh eksternal dan internal baik yang bersifat alami maupun campur tangan manusia. Faktor alami diantaranya adalah gelombang, arus, pasang surut, aksi angin, iklim, dan aktivitas tektonik maupun vulkanik. Sedangkan kegiatan campur tangan manusia adalah pemanfaatan suatu kawasan pantai seperti kegiatan parawisata, industri, perikanan, pelabuhan, pertambangan, pemukiman dan penutupan sungai (Suriamihardja 2005).

Perubahan yang terjadi di sepanjang pantai berlangsung dari waktu ke waktu. Pola perubahan dalam waktu yang lama berlangsung pada kurun waktu ratusan atau ribuan tahun, pola perubahan sedang berlangsung pada kurun waktu puluhan tahun, sedangkan pola perubahan dalam waktu yang singkat merupakan perubahan yang terjadi dalam kurun waktu harian atau bulanan (Horikawa 1988 dan Thomas et al. 2002).

Suatu pantai mengalami abrasi, akresi atau tetap stabil tergantung pada sedimen yang masuk dan yang meninggalkan pantai. Abrasi pantai terjadi apabila di suatu pantai yang ditinjau mengalami pengurangan sedimen yaitu sedimen yang terangkut lebih besar dari yang terdeposit (Triatmodjo 1999).

(19)

Upaya manusia dalam memanfaatkan kawasan pantai sering tidak dilandasi dengan pemahaman yang baik tentang perilaku pantai sehingga menimbulkan dampak yang merugikan lingkungan pantai seperti abrasi atau sedimentasi. Dalam pemanfaatan wilayah pantai, diperlukan pengetahuan dan pemikiran ilmiah tentang fenomena pantai sebagai bahan masukan dalam pengembangan perencanaan dan pelestarian daerah pantai.

Pengetahuan tentang karakteristik gelombang yang dibangkitkan oleh angin merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting dalam perencanaan bangunan pantai, dimana data gelombang dalam waktu yang panjang sangat diperlukan (Shahidi et al. 2009). Namun demikian pada beberapa tempat data gelombang hasil pengukuran di lapangan dalam waktu panjang biasanya tidak tersedia sehingga perlu untuk melakukan prediksi gelombang dengan menggunakan data angin.

Sampai saat ini telah dikembangkan beberapa metode prediksi gelombang di laut lepas, seperti metode Sverdrup Munk Bretschneider (SMB), Wilson, JONSWAP, Donelan dan Coastal Engineering Manual (CEM) (Shahidi et al. 2009). Metode tersebut telah digunakan dan diuji ketelitiannya di berbagai tempat seperti metode SMB telah digunakan di U.S. Army dan British Standard, metode Wilson telah digunakan di pelabuhan Jepang. Metode Donelan, SMB dan JONSWAP telah digunakan dan dievaluasi di Ontario, metode CEM juga digunakan dan dievaluasi di Ontario untuk kondisi fetch terbatas (Kazeminezhad

et al. 2005).

Beberapa model telah dikembangkan untuk memprediksi karakter gelombang. Model yang menyelesaikan persamaan kekekalan energi telah dilakukan oleh Booij et al. (1999), Kazeminezhad et al. (2007), Moeini dan Shahidi (2009). Model tersebut memerlukan data batimetri, meteorologi dan oseanografi dalam waktu yang panjang (Browne et al. 2007).

(20)

3

disebabkan karena pengaruh dari beberapa proses seperti shoaling, refraksi, difraksi, refleksi, interaksi nonlinier, gesekan dasar, perkolasi, input energi angin, irregularitas gelombang, penyebaran arah gelombang, gelombang pecah dan interaksi gelombang arus (Maa & Wang 1995, USACE 2003a).

Analisis transformasi gelombang sangat sulit dilakukan jika semua faktor tersebut dimasukkan dalam perhitungan dengan hanya menggunakan program komputer sederhana. Namun demikian, pada saat gelombang merambat dari laut lepas ke garis pantai faktor-faktor tersebut tidak mempunyai pengaruh yang sama pentingnya pada semua kasus. Umumnya, faktor yang sangat penting dalam transformasi gelombang adalah proses refraksi dan shoaling, tetapi jika terdapat struktur maka faktor-faktor yang berpengaruh adalah refraksi, shoaling dan difraksi (Maa & Wang 1995).

Model yang mensimulasikan transformasi gelombang dengan hanya memperhitungkan pengaruh shoaling telah dilakukan oleh Thornton dan Guza (1983) yang didasarkan pada persamaan kekekalan flux energi untuk menjelaskan transformasi distribusi tinggi gelombang di pantai Torrey Pines. Model ini memberikan hasil simulasi transformasi gelombang yang baik dengan memasukkan pengaruh dissipasi akibat gesekan dasar pantai.

Model yang memperhitungkan tiga proses utama (refraksi gelombang,

shoaling dan difraksi gelombang) pada transformasi gelombang telah dilakukan oleh Maa dan Wang (1995) dengan menggunakan model RCPWAVE yang dikembangkan oleh U.S. Army Corps of Engineers. Model ini telah digunakan di teluk Chesapeake, pantai Virginia. Hasil simulasi model menunjukkan bahwa gesekan dasar merupakan faktor yang sangat penting dalam transpormasi gelombang. Jika efek gesekan dasar dikeluarkan, maka hasil perhitungan tinggi gelombang di dekat pantai akan menjadi lebih besar dari pada hasil pengukuran.

(21)

Abdallah et al. (2006) memprediksi parameter gelombang (tinggi, periode dan arah gelombang) laut lepas dan transformasi gelombang di Tanjung Rosetta, Teluk Abu-Qir dengan menggunakan program ACES. Tinggi gelombang rata-rata tahunan sekitar 0.94 m dan periode sekitar 6.5 detik dengan arah gelombang dominan datang dari arah barat daya sepanjang tahun. Hasil simulasi transformasi gelombang menunjukkan bahwa karakteristik gelombang pada kedua sisi Tanjung Rosetta hampir sama.

Untuk keperluan perencanaan pengelolaan kawasan pantai, maka selain penelitian tentang transformasi gelombang juga dibutuhkan penelitian tentang perubahan garis pantai sehingga pembangunan yang dilakukan tidak berdampak terhadap lingkungan. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan garis pantai di suatu lokasi adalah dengan menggunakan model matematik atau numerik (Larson et al. 1987; Koutitas 1988; Dabees & Kamphuis 2000).

Beberapa model numerik telah dibuat untuk mensimulasikan perubahan garis pantai, model ini meliputi model dua dimensi dan tiga dimensi. Model dua dimensi menghitung perubahan garis pantai dengan cara mengamati pergerakan posisi garis pantai dengan asumsi bahwa profil pantai tidak berubah yang biasa disebut metode one-line, sedangkan model tiga dimensi mengamati variasi topografi. Model numerik dua dimensi dibuat oleh Leont’yev (1997) untuk mengamati perubahan garis pantai dalam waktu singkat di sekitar struktur tegak lurus pantai dengan menggunakan metode one-line. Diperoleh bahwa jumlah total material sedimen yang terangkut adalah 25 x 103 m3 untuk daerah sebelah utara groin dan 12 x 103 m3 untuk daerah sebelah selatan groin dengan perubahan garis pantai tertinggi adalah melebihi 4 m.

(22)

5

garis pantai menyerupai bentuk delta Nile dan bentuk yang lebih komplek seperti Delta Ebro atau Danube. Shibutani et al. (2007) membuat model transpormasi gelombang dan perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line, dan memperoleh bahwa ukuran butiran sedimen yang terdapat di pantai mempunyai pengaruh terhadap perubahan garis pantai yaitu semakin kecil ukuran butiran, maka semakin besar jarak perubahan garis pantai yang terjadi.

Hung et al. (2008) membuat model transpormasi gelombang dan perubahan garis pantai akibat pengaruh pemecah gelombang dengan menggunakan metode

one-line dan memperoleh bahwa terjadi bentuk garis pantai menonjol yang terbentuk di belakang pemecah gelombang serta perubahan garis pantai menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hasil eksperimen. Shibutani et al. (2008) membuat model evolusi pantai menggunakan metode N-line dengan memasukkan pengaruh difusi dan adveksi sedimen. Model ini memberikan hasil yang baik pada pemulihan garis pantai mundur.

Kim dan Lee (2009) mengembangkan model perubahan garis pantai dengan menggunakan persamaan logarithmic spiral bay untuk memprediksi konfigurasi garis pantai yang berbentuk teluk. Triwahyuni et al. (2010) membuat model perubahan garis pantai Timur Tarakan dengan menggunakan metode one-line. Tinggi, kedalaman dan sudut gelombang pecah dihitung dengan menggunakan persamaan matematik, kemudian digunakan sebagai input dalam model. Secara umum profil garis pantai hasil akhir model menunjukkan kemiripan dengan garis pantai hasil citra.

1.2 Rumusan Masalah

Perairan delta muara Sungai Jeneberang yang terletak di wilayah Kota Makassar, Propinsi Sulawesi Selatan merupakan perairan yang sangat strategis, karena fungsi ekonomis dan ekologisnya memberikan manfaat bagi Kota Makassar. Manfaat ekonomi yang diperoleh Kota Makassar tidak luput diiringi pula oleh sejumlah permasalahan terhadap lingkungan perairan pantai Kota Makassar.

(23)

Sungai Jeneberang. Selain itu, sejumlah aktivitas pembangunan yang dilakukan sangat berpengaruh terhadap perubahan garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang seperti:

• Penutupan muara Sungai Jeneberang bagian utara (1993), menyebabkan pasokan sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai Tanjung Bunga berkurang.

• Pembangunan Bendungan Karet pada aliran Sungai Jeneberang (1995), menyebabkan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai sekitar delta Sungai Jeneberang berkurang

• Pembangunan Bendungan Serbaguna Bilibili (efektif digunakan pada tahun 1997), menyebabkan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai sekitar delta Sungai Jeneberang berkurang

Sebagai dampak dari serangkaian kegiatan di atas, maka garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang selalu mengalami perubahan. Sampai tahun 1993 Sungai Jeneberang mempunyai dua buah muara yang dikenal dengan Muara Utara dan Selatan. Kedua muara tersebut mensuplai material sedimen yang sangat besar yang berasal dari hulu Sungai Jeneberang. Besarnya pasokan sedimen ini menyebabkan terbentuknya daratan Tanjung Bunga ke arah utara (Suriamihardja 2005). Penurunan suplai sedimen dari Sungai Jeneberang dan penutupan muara Utara mengakibatkan sedimen dari Sungai Jeneberang ke pantai Tanjung Bunga berkurang dengan drastis. Dilain pihak hempasan gelombang dan arus terus-menerus mengangkut sedimen yang ada di pantai sehingga garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang dapat mengalami abrasi.

Permasalahannya adalah adanya interfensi manusia pada Sungai Jeneberang mengakibatkan terjadinya pola dinamika pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang sehingga dinamika garis pantai mencari bentuk keseimbangan baru.

(24)

7

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

• Menganalisis karakteristik gelombang laut lepas yang dibangkitkan oleh angin.

• Menganalisis transformasi gelombang yang merambat dari laut lepas menuju ke garis pantai.

• Menganalisis angkutan sedimen sejajar pantai yang terjadi di sekitar delta Sungai Jeneberang.

• Menganalisis perubahan garis pantai di sekitar delta Sungai Jeneberang selama tahun 1990 – 2008.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pengembangan penelitian dalam bidang perubahan garis pantai. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang penting bagi pemerintah Kota Makassar dalam menentukan kebijakan untuk memanfaatkan dan melestarikan delta Sungai Jeneberang dalam pengembangan kawasan wisata dan pemukiman.

1.4 Hipotesis

1. Pantai yang berbentuk tonjolan akan mengalami konsentrasi energi gelombang (konvergen) sedangkan pantai yang berbentuk lekukan terjadi penyebaran energi gelombang (divergen).

2. Penutupan muara sungai menyebabkan pasokan sedimen ke pantai berkurang yang berpengaruh pada sistem angkutan sedimen sehingga dinamika garis pantai mencari bentuk keseimbangan baru.

1.5 Kerangka Pemikiran

Kemampuan untuk memprediksi perubahan garis pantai yang disebabkan oleh angkutan sedimen menjadi kebutuhan yang sangat penting dalam upaya perencanaan kawasan pantai. Kemampuan ini dapat dilakukan melalui beberapa alternatif seperti kajian langsung di lapangan, pemodelan secara fisik dan pemodelan secara numerik.

(25)

kesulitan dalam pengambilan skala yang tepat. Dengan semakin berkembangnya kemampuan komputer, menjadikan model numerik sebagai alternatif yang cukup ekonomis dalam penyelesaian masalah ini (Dean & Zheng 1997).

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dijabarkan secara umum pada Gambar 1. Diagram tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian dengan mengacu pada tinjauan pustaka, maka dalam penelitian ini dibuat model perubahan garis pantai yang aplikasikan pada pantai di sekitar Delta Sungai Jeneberang. Uji hasil model dilakukan dengan membandingkan perubahan garis pantai yang diperoleh dari hasil interpretasi citra sampai diperoleh bahwa hasil model sudah sesuai dengan hasil citra.

1.6 Kebaruan

Kebaruan (novelty) yang di peroleh dalam penelitian ini antara lain:

• Dalam penelitian ini dibuat model perhitungan gelombang laut lepas dengan menggunakan data angin harian selama 19 tahun, model transformasi gelombang, model angkutan sedimen sejajar pantai dan model perubahan garis pantai, keempat model tersebut menyatu dalam satu program utama yang menerapkan prinsip cascades (output dari hasil proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya).

(26)

9

Gambar 1 Diagram alir rumusan masalah dan pencapaian tujuan penelitian.

Latar Belakang Pustaka

Hipotesis Rumusan Masalah

Tujuan Penelitian

Perubahan garis pantai hasil model

Perbandingan hasil model denga Citra

Garis Pantai Akhir

Selesai Ya Tidak

Metode Penelitian Pengumpulan Data

Model Citra

(27)

2.1 Gelombang

Dinamika yang terjadi di pantai dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah gelombang, suplai sedimen dan aktifitas manusia (Sorensen 1993). Mula-mula angin membangkitkan gelombang di laut lepas, kemudian gelombang merambat menuju ke pantai. Selama penjalaran gelombang menuju pantai terjadi transformasi gelombang dan membangkitkan arus menyusuri pantai (longshore current) atau arus tegak lurus pantai (rip current) yang dapat mengubah bentuk garis pantai.

Gelombang yang dominan terjadi di laut adalah gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Angin yang berhembus di atas permukaan laut mentransfer energi ke permukaan air sehingga dapat membangkitkan gelombang yang merambat menjauhi daerah asal terbentuknya. Tinggi dan periode gelombang yang terbentuk tergatung pada kecepatan angin, lama hembusan angin dan jarak hembusan angin tanpa rintangan (Komar 1976 dan Massel 1989).

Jika suatu muka barisan gelombang datang dengan membentuk sudut terhadap garis pantai yang mempunyai kedalaman dasar pantai dangkal, maka gelombang tersebut akan mengalami refraksi. Dalam hal ini arah perambatan gelombang berangsur-angsur berubah dengan berkurangnya kedalaman, sehingga muka gelombang cenderung sejajar dengan kontur kedalaman laut. Proses pembiasan gelombang ini disebabkan oleh perubahan kedalaman yang mengakibatkan perubahan kecepatan dan amplitudo gelombang (Carter 1988 dan Dean & Dalrymple 1984).

Beberapa model transformasi gelombang telah dibuat untuk melihat perubahan tinggi dan arah gelombang yang merambat dari laut lepas ke garis pantai. Misalnya, model yang dibuat oleh Thornton dan Guza (1983) untuk mengamati transformasi gelombang dengan menggunakan persamaan distribusi

Rayleigh dalam menjelaskan distribusi tinggi gelombang yaitu:

(28)

12

dimana:

p(H) = distribusi tinggi gelombang

H0 = Tinggi gelombang laut lepas

Ks = koefisien soaling

Hh = tinggi gelombang pada kedalaman h

Hasil ini menunjukkan bahwa metode distribusi Rayleigh memprediksi gelombang secara detail sedikit lebih tinggi dari hasil pengukuran lapangan, walaupun demikian metode ini mampu memprediksi H1/3 dan H1/10 dengan baik.

Selain itu, metode distribusi Rayleigh mampu meramalkan peningkatan tinggi gelombang rata-rata akibat shoaling dan penurunan tinggi gelombang akibat gelombang pecah. Perhitungan tinggi gelombang pada surf zone dilakukan dengan menggunakan koefisien gesekan dasar Cf = 0.01 dan menghasilkan penurunan tinggi gelombang maksimum sebesar 3%.

Maa dan Wang (1995) mengamati transformasi gelombang di pantai Virginia dengan menggunakan model RCPWAVE. Dalam model ini perhitungan transformasi gelombang dilakukan dengan memasukkan pengaruh shoaling, refraksi dan difraksi menggunakan persamaan mild slope. Hasil perhitungan metode ini menunjukkan bahwa gesekan dasar merupakan suatu faktor penting yang mempengaruhi transpormasi gelombang. Jika efek gesekan dasar dikeluarkan dalam perhitungan, hasil perhitungan spectra gelombang di dekat pantai akan menjadi sangat lebih besar dari pada hasil pengukuran. Dengan menggunakan konstanta faktor gesekan dasar yang kecil (fw = 0,01 untuk

frekuensi ≤ 0,07 Hz, fw = 0,02 untuk 0,07 < frekuensi < 0,08 Hz, dan fw = 0,03

untuk frekuensi ≥ 0,08 Hz), maka diperoleh spectra gelombang yang baik pada stasiun dekat pantai.

Hung et al. (2008) membuat model transformasi gelombang dengan menggunakan persamaan mild slope bergantung waktu yang dinyatakan sebagai berikut:

(2)

(29)

dimana:

adalah operator gradien horizontal

η = elevasi permukaan air laut (m)

C = kecepatan gelombang (m/s)

= percepatan gravitasi (m/det2)

h = kedalaman air laut (m)

db = ketebalan medium pemecah gelombang (m) k = bilangan gelombang

εb = Porositas medium pemecah gelombang

Cr = Koefisien energi aliran

f = Faktor gesekan

Untuk keperluan penentuan tinggi gelombang pecah, maka model ini menggunakan kriteria gelombang pecah dari Goda (1975) yaitu:

(4) dimana:

Hb = Tinggi gelombang pecah (m)

L0 = Panjang gelombang di laut lepas (m)

tan β = Kelerengan pantai

h = kedalaman laut (m)

(30)

14

kedalaman air di mana gelombang pecah (hb) berkisar antara 0.7 sampai 1.2 (Messel 1988).

Beberapa hasil penelitian telah dibuat untuk memformulasikan hubungan antara tinggi gelombang pecah dengan tinggi gelombang laut lepas (Hb/Ho) yaitu

Komar dan Gaughan (1972) dalam Sunamura (1992) menggunakan hubungan fluks energi dalam teori gelombang linier untuk mendapatkan persamaan semi-empiris. Le Mehaute dan Koh (1967) dalam Sunamura (1992) menurunkan hubungan Hb/Ho dengan memasukkan efek kemiringan dasar pantai. Kriteria

gelombang pecah telah diformulasikan oleh beberapa penulis seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kriteria gelombang pecah (Thornton & Guza 1983)

Penulis Sifat

Shoaling Kriteria Gelombang Pecah

Collins (1970) Linier Battjes (1972) Linier Kuo & Kuo (1974) Linier Goda (1975) Nonlinier

2.2 Kecepatan Arus Menyusur Pantai

Salah satu aspek penting dari gelombang yang berambat menuju pantai adalah terbentuknya arus menyusur pantai dan arus tegak lurus pantai yang akan mempengaruhi pergerakan material sedimen sepanjang pantai (Ippen 1966). Apabila garis puncak gelombang sejajar dengan garis pantai, maka akan terjadi arus tegak lurus pantai yang menuju ke laut. Selain itu, apabila gelombang yang datang membentuk sudut terhadap garis pantai akan membangkitkan arus menyusur pantai (Horikawa 1988).

(31)

pantai, maka tekanan radiasi akan timbul di sepanjang pantai. Setelah gelombang pecah, maka komponen geser tekanan radiasi semakin berkurang dan akan menghasilkan suatu tenaga pembangkit (driving force) untuk membangkitkan arus menyusur pantai. Kecepatan arus menyusur pantai (V) dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan :

(32)

16

Jeneberang kearah utara, sedangkan gelombang yang datang dari arah barat laut membangkitkan arus menyusuri pantai ke arah selatan.

2.3 Angkutan Sedimen di Pantai

Laju angkutan sedimen sejajar pantai merupakan faktor utama dalam mengevaluasi perubahan garis pantai (Hung et al. 2008 dan Elfrink & Baldock 2002). Untuk mempelajari angkutan sedimen akibat gelombang, maka daerah dekat pantai dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu daerah offshore zone, surf zone

dan wash zone (Horikawa 1988). Offshore zone adalah daerah yang terbentang dari garis dimana gelombang pecah sampai laut lepas. Surf zone adalah daerah yang terbentang antara bagian dalam dari gelombang pecah dan batas naik-turunnya gelombang di pantai. Dalam daerah ini angkutan sedimen terutama disebabkan oleh gelombang pecah dan arus yang diinduksi oleh gelombang. Wash zone adalah daerah yang dibatasi oleh garis batas tertinggi naiknya gelombang dan batas terendah turunnya gelombang di pantai.

Arah angkutan sedimen di sepanjang pantai dapat berupa angkutan sedimen dari pantai ke laut atau dari laut ke pantai yang dapat terjadi oleh gerakan gelombang dan arus balik dasar serta arus tegak lurus pantai. Angkutan sedimen sejajar pantai (Long shore transport) yaitu angkutan sedimen sepanjang pantai atau biasa disebut angkutan sedimen sejajar pantai yang berkaitan erat dengan arus menyusuri pantai.

Dalam mengestimasi perubahan garis pantai, maka diperlukan suatu evaluasi kuantitatif laju angkutan sedimen pada setiap titik di grid horizontal dua dimensi. Untuk tujuan ini, angkutan sedimen yang terjadi di daerah pantai dibagi menjadi angkutan sedimen lintas pantai (cross-shore transport) dan angkutan sedimen sejajar pantai (longshore transport). Mekanisme angkutan sedimen dibagi dalam dua tipe yaitu (Horikawa 1988):

• Angkutan sedimen dasar (bed load transport) adalah gerakan material sedimen pada dasar perairan yang terseret oleh arus secara menggelinding, bergeser dan saltasi.

(33)

Madsen dan Grant (1976) dalam Horikawa (1988) membuat hubungan antara besar angkutan sedimen lintas pantai yang tak berdimensi dengan parameter shields dengan mengembangkan hasil yang diperoleh oleh Brown (1950) dalam kasus aliran searah. Pendekatan ini menghasilkan laju transpor sedimen rata-rata terhadap setengah periode gelombang, tanpa arah transpor sedimen ke pantai atau ke lepas pantai dan nilai laju transpor pada setiap fase satu periode gelombang, yaitu :

(6) dimana:

Ql = angkutan sedimen menyusur pantai (m3/det)

= Amplitudo dari

= Parameter shield

um = kecepatan maksimum orbital gelombang (m/det)

u = kecepatan orbital gelombang (m/det)

Cf = koefisien gesekan dasar pantai

ρs = Massa jenis sedimen (kg/m3)

= percepatan gravitasi (m/det2)

d50 = diameter sedimen rata-rata (mm)

Ozasa dan Brampton (1980) merumuskan angkutan sedimen menyusuri pantai untuk digunakan dalam mengamati perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line. Metode one-line adalah model dua dimensi yang menghitung perubahan garis pantai dengan cara mengamati pergerakan posisi garis pantai dengan asumsi bahwa profil pantai tidak berubah. Laju angkutan sedimen menyusuri pantai didasarkan pada komponen fluks energi gelombang pada daerah gelombang pecah. Persamaan angkutan sedimen menyusur pantai dinyatakan sebagai:

(7)

dimana:

Hbs = tinggi gelombang signifikan pada saat pecah (m)

(34)

18

Ad = koefisien kalibrasi

= Koefisien empiris = kelerengan pantai

Shibutani et al. (2007) menghitung laju angkutan sedimen sejajar pantai untuk mengamati perubahan garis pantai dengan menggunakan persamaan Ozasa dan Brampton (1980).

Hung et al. (2008) menggunakan persamaan angkutan sedimen sejajar pantai yang dibuat oleh Komar dan Inman (1970) untuk mengamati perubahan garis pantai di sekitar pemecah gelombang. Persamaan angkutan sedimen ini didasarkan pada flux energi gelombang yang dinyatakan sebagai berikut:

(8) dimana:

Ql = angkutan sedimen menyusur pantai (m3/det)

= flux energi gelombang pada saat gelombang pecah = Koefisien empiris

n = porositas sedimen

= percepatan gravitasi (m/det2)

θb = sudut gelombang pecah (derajat)

ρs = Massa jenis sedimen (kg/m3) ρ = Massa jenis air (kg/m3)

2.4 Perubahan Garis Pantai

(35)

pantai dipengaruhi oleh angkutan sedimen sejajar pantai dan angkutan sedimen tegak lurus pantai. Gelombang badai yang terjadi dalam waktu singkat dapat menyebabkan terjadinya erosi pantai. Selanjutnya gelombang biasa yang terjadi sehari-hari akan membentuk kembali pantai yang tererosi sebelumnya. Dengan demikian dalam satu siklus yang tidak terlalu lama profil pantai kembali pada bentuk semula, atau dalam satu siklus pantai dalam kondisi stabil. Sebaliknya, akibat pengaruh transpor sedimen sejajar pantai, sedimen dapat terangkut sampai jauh dan menyebabkan perubahan garis pantai. Untuk mengembalikan perubahan garis pantai pada kondisi semula diperlukan waktu cukup lama. Dengan demikian, maka transpor sedimen sejajar pantai merupakan penyebab utama terjadinya perubahan garis pantai (USACE 2003b).

Dinamika lautan atau proses-proses yang berasal dari laut dapat mengakibatkan perubahan pada pantai, baik karena proses abrasi maupun sedimentasi. Kemudian karena adanya perubahan garis pantai tersebut, maka dinamika laut, seperti arah datang gelombang, atau pembiasan gelombang akan mengalami perubahan. Jika arah arus mengalami perubahan, maka arah transpor sedimen juga berubah, sehingga bentuk pantai juga berubah. Jadi perubahan bentuk pantai dan arah gelombang saling mempengaruhi.

Berbagai penelitian tentang perubahan garis pantai telah dilakukan baik secara analitik maupun secara numerik, seperti:

Komar (1973), membuat model numerik perubahan garis pantai dengan menggunakan metode one-line yang mengamati evolusi delta yang didominasi gelombang. Model ini menggunakan sumber sedimen yang berlokasi tetap dan gelombang yang merambat ke pantai hanya dari satu arah dengan puncak gelombang sejajar garis pantai. Model Komar menghasilkan delta yang tumbuh dengan bentuk melengkung berhubungan dengan delta “tipe Nile”. Gelombang dengan sudut miring, menunjukkan sedikit asimetri di samping arah angkutan sedimen.

Leont’yev (1997) membuat model numerik perubahan garis pantai untuk waktu singkat di sekitar struktur tegak lurus pantai dengan menggunakan metode

(36)

20

telah dipakai untuk mengestimasi perubahan garis pantai selama musim panas di pantai Yamal, Teluk Baidara (Laut Kara). Dampak gabungan dari pipa dan dermaga terlihat jelas setelah 70 hari. Durasi total kondisi gelombang ketika tinggi gelombang rms melebihi 0.7 adalah sekitar 500 jam, periode gelombang adalah 4-7 detik dan sudut gelombang dari -40 sampai +45. Material dasar pantai adalah pasir halus dengan ukuran rata-rata 0.12-0.15 mm dan kemiringan dasar pantai landai dengan kontur kedalaman paralel terhadap garis pantai. Fluks sedimen sejajar pantai bergerak ke arah utara atau selatan tergantung pada situasi gelombang. Pengaruh nyata groin ditinjau pada jarak sekitar 10 km. Hasil simulasi diperoleh bahwa perubahan garis pantai yang tertinggi melebihi 4 m. Jumlah total material sedimen yang terangkut adalah 25 x 103 m3 untuk daerah sebelah utara groin dan 12 x 103 m3 untuk daerah sebelah selatan groin.

Dabees dan Kamphuis (2000) membuat model perubahan kontur kedalaman pantai dalam skala spasial dan temporal dengan metode NLine. Model ini mensimulasikan transformasi gelombang pada kondisi batimetri yang tidak teratur dan menghitung hubungan antara transformasi sedimen dengan perubahan morfologi pantai serta pengaruh pemecah gelombang terhadap perubahan morfologi pantai. Hasil simulasi model ini memperlihatkan perubahan profil pantai berdasarkan perubahan musim, yaitu pada musim panas terjadi sedimentasi pada pantai depan sedangkan pada musim dingin terjadi abrasi pada pantai depan dan terjadi bar (gundukan pasir) bagian bawah. Model ini dicoba diterapkan di pantai Pulau Gasparilla di sebelah barat daya pantai Florida di Teluk Meksiko. Panjang pantai yang digunakan dalam model adalah 10600 m dengan jumlah grid tegak lurus pantai 100 dan sejajar pantai 11 (dari kedalaman 1.5 sampai -9 m). model disimulasikan selama 20 tahun (1975-1995) dengan menggunakan data gelombang interval 3 jam dari U.S Army Corps of Engineers Wave Information Study. Hasil simulasi memperlihatkan adanya lokasi yang mengalami abrasi dan akresi. Daerah yang mengalami erosi menunjukkan adanya peningkatan angkutan sedimen sedangkan yang mengalami akresi menunjukkan adanya penurunan angkutan sedimen.

(37)

dan 2002. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada tahun 1981-1992 pantai utara telah mengalami abrasi seluas 2.02 ha dan akresi seluas 0.11 ha dan pada tahun 1992-2002 telah mengalami abrasi seluas 0.68 ha. Perubahan garis pantai pada tahun 1992-2002 dipengaruhi oleh adanya konstruksi bagunan pengaman pantai sehingga abrasinya lebih kecil. Pada pantai selatan telah mengalami abrasi seluas 1.13 ha dan akresi seluas 0.04 ha pada tahun 1981-1992, sedangkan pada tahun 1992-2002 mengalami abrasi seluas 0.12 ha dan akresi seluas 2.81 ha.

Purba dan Jaya (2004) melakukan penelitian tentang perubahan garis pantai dan penutupan lahan di pesisir Lampung timur dengan menggunakan citra Landsat-TM tahun 1991, 1999, 2001 dan 2003. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perubahan garis pantai dan karakteristik gelombang tergantung pada kekuatan angin yang terjadi. Bagian pantai yang berbentuk tonjolan, disisi hilir dari arah arus menyusuri pantai umumnya angkutan sedimen dominan ke utara menyebabkan terjadinya erosi. Hasil gerusan sedimen tersebut diangkut ke sisi utara dalam proses littoral drift kemudian diendapkan pada bagian tertentu sehingga terjadi proses sedimentasi.

(38)

22

Shibutani et al. (2007) menggunakan persamaan kontinuitas sedimen untuk membuat model perubahan garis pantai dengan metode one-line. Model ini diaplikasikan di pantai Yumigahama Jepang sepanjang 4 km sejajar pantai. Hasil simulasi model setelah 2 tahun menunjukkan terjadinya abrasi pada pantai bagian atas dan pada sisi lain yaitu pantai bagian bawah mengalami sedimentasi. Model ini juga melihat pengaruh ukuran butiran sedimen terhadap perubahan garis pantai. Hasil simulasi menunjukkan bahwa ukuran butiran sedimen yang terdapat di pantai mempunyai pengaruh terhadap besarnya perubahan garis pantai. Semakin kecil ukuran butiran, maka semakin besar jarak perubahan garis pantai yang terjadi.

Hung et al. (2008) membuat model perubahan garis pantai akibat adanya pemecah gelombang di sekitar pantai. Model perubahan garis pantai dibuat berdasarkan perhitungan dari persamaan kontinuitas sedimen yang menggunakan metode one-line yaitu:

(9) dimana:

Q = laju angkutan sedimen

hs = Kedalaman kritis

Persamaan (8) dapat ditulis dalam bentuk beda hingga (finite-difference) yaitu:

(10) Hasil simulasi model ini menunjukkan adanya perubahan garis pantai yaitu terjadi bentuk garis pantai menonjol yang terbentuk di belakang pemecah gelombang. Hasil simulasi model perubahan garis pantai menunjukkan kecenderungan yang sesuai dengan hasil eksperimen.

(39)

gelombang harus dihitung di luar model yang kemudian digunakan sebagai input dalam model. Hasil simulasi model ini menunjukkan bahwa selama 10 tahun (1991 – 2001) telah terjadi kemajuan garis pantai (sedimentasi) yang lebih intensif di bagian utara dibandingkan pada pantai bagian selatan. Secara umum profil garis pantai hasil akhir model menunjukkan kemiripan dengan garis pantai hasil citra.

(40)

III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan data lapangan seperti pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen dilakukan pada bulan Maret 2008 di pesisir sekitar muara Sungai Jeneberang, Kota Makassar. Panjang garis pantai yang ditelaah adalah sekitar 10 km yang terbentang mulai dari pantai Barombong sebelah selatan hingga ujung spit Tanjung Bunga di sebelah utara. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 5o 08’ 40’’ sampai 5o 12’ 40’’ LS dan 119o 21’ 00’’ sampai 119o 24’ 10’’ BT. Lokasi pengukuran data angin (Stasiun Potere) terletak pada 5o 07’ 12” LS dan 119o 24’ 36’’ BT. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

• Echosounder digunakan untuk mengukur kedalaman laut

Bottom grab sampler digunakan untuk pengambilan sampel sedimen dasar

• GPS (Global Positioning System) digunakan untuk penentuan posisi pengukuran.

• Tiang skala digunakan untuk pengukuran pasang surut.

• Perahu digunakan untuk transportasi selama pengukuran.

• Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) skala 1 : 50000, digunakan sebagai peta dasar.

• Peta citra Landsat tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008 digunakan untuk mengetahui perubahan garis pantai.

Sieve Net digunakan untuk menentukan ukuran butiran sedimen.

• Timbangan digital digunakan untuk mengukur massa jenis sedimen.

(41)

G

am

b

ar

2

P

eta

lo

k

as

i p

en

elitia

n

(42)

27

3.3 Pengumpulan Data

3.3.1 Data kecepatan dan arah angin

Dalam penelitian ini data kecepatan dan arah angin diperoleh dari Badan Meteorologi dan Gefisika Wilayah IV Kota Makassar yang direkam pada stasiun Potere (Gambar 3). Data kecepatan dan arah angin diukur di pantai pada ketinggian 12 m di atas permukaan laut dengan menggunakan alat anemometer. Data yang dikumpulkan adalah data kecepatan angin harian mulai tahun 1990-2008.

3.3.2 Pengukuran kedalaman dasar laut

Pengukuran kedalaman dasar laut (batimetri) dilakukan dengan menggunakan echosounder, sedangkan posisi pengukuran menggunakan GPS. Pengukuran kedalaman dilakukan di sepanjang pantai delta Sungai Jeneberang dengan membentuk lintasan, seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Untuk memperoleh kedalaman laut dengan referensi MSL (muka laut rata-rata), maka hasil pengukuran ini dikoreksi dengan hasil pengukuran pasang surut. Hasil pengkuran batimetri diplotkan ke dalam gambar guna mendapatkan kontur kedalaman laut daerah penelitian.

3.3.3 Pengukuran pasang surut

(43)
(44)

29

3.3.4 Pengambilan sampel sedimen

Pengambilan sampel sedimen dasar pantai dilakukan untuk analisis distribusi ukuran butir dan massa jenissedimen di lokasi penelitian. Pengambilan sampel sedimen dasar dilakukan dengan menggunakan alat Bottom grab sampler, sedangkan posisi pengambilan sampel ditentukan dengan menggunakan GPS. Sampel sedimen diambil sebanyak 7 lokasi, seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Sampel sedimen yang diambil, kemudian dianalisis di laboratorium untuk memperoleh besar ukuran butir dan massa jenis sedimen.

3.3.5 Citra Landsat

Citra satelit landsatdiperoleh melalui internet yang diunduh di situs http://www. earthexplorer.usg.gov.html. Citra satelit landsat yang digunakan adalah citra tanggal 4 April 1990, 20 September 1999, 22 Agustus 2003 dan 3 Agustus 2008 dengan resolusi spasial 30 x 30 m. Garis pantai yang diperoleh dari citra satelit landsat tahun 1990 digunakan sebagai garis pantai awal, sedangkan garis pantai citra tahun 1999, 2003 dan 2008 digunakan untuk membandingkan garis pantai hasil model.

3.4 Analisis Data 3.4.1 Analisis data angin

(45)
(46)

31

3.4.2 Analisisdata sedimen

Data sedimen yang diperoleh dari lapangan dianalisis dengan cara ayakan dan menggunakan metode sieve net yang mengikuti prosedur ASTM (American Society for Testing and Material). Kemudian data ukuran butir sedimen dihitung dengan memplot persentase berat kumulatif terhadap diameter sedimen pada kertas semilog (Lampiran 3). Berdasarkan plot ini, maka dapat ditentukan nilai diameter sedimen. Selanjutnya pengelompokan klasifikasi sedimen dilakukan menurut Skala Wenworth seperti diperlihatkan pada Tabel 2. Analisis parameter statistik sedimen (mean, skewness, sorting dan kurtosis) dilakukan dengan menggunakan persamaan (Allen 1985 dan Lindholm 1987):

Berdasarkan hasil perhitungan nilai skewness, sorting dan kurtosis maka parameter statistik sedimen ditentukan dengan menggunakan Tabel 3.

Tabel 3 Distribusi nilai parameter statistik sedimen (Allen 1985)

(47)

3.4.3 Analisis data pasang surut

Data pasang surut yang diperoleh dari hasil pengukuran (Lampiran 4) dianalisis dengan menggunakan metode Admiralty (Beer 1997). Analisis ini bertujuan untuk mendapatkan nilai konstanta harmonis pasang surut yaitu : S0,

K1, S2, M2, O1, P1, N2, M4, MS4. Nilai konstanta pasang surut tersebut

selanjutnya digunakan untuk memperoleh tipe pasang surut dan tunggang pasang surut untuk penentuan kedalaman dan pembuatan peta batimetri.

Tipe pasang surut ditentukkan berdasarkan bilangan Formzal (F) yang dihitung dengan menggunakan persamaan (Beer 1997):

(15) dimana:

F = bilangan Formzahl

O1 = amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan,

K1 = amplitudo komponen pasang surut tunggal utama yang disebabkan gaya tarik bulan dan matahari,

M2 = amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan gaya tarik bulan

S2 = amplitudo komponen pasang surut ganda utama yang disebabkan gaya tarik matahari

Berdasarkan nilai F, maka tipe pasang surut kemudian dikelompokkan sebagai berikut;

F ≤ 0,25 = pasang surut tipe ganda

0,25 < F ≤ 1,5 = pasang surut campuran condong tipe ganda 1,5 < F ≤ 3,0 = pasang surut campuran condong bertipe tunggal

F > 3.0 = pasang surut tipe tunggal

3.4.4 Analisiscitra

(48)

33

geometrik dimaksudkan untuk mengoreksi distorsi spasial obyek pada citra sehingga posisi obyek yang terekam sesuai dengan koordinat di lapangan (real world coordinate). Data raster umumnya ditampilkan dalam bentuk ”raw” data yang memiliki kesalahan geometrik sehingga perlu dikoreksi secara geometrik ke dalam sistem koordinat bumi.

Koreksi geometri dilakukan dengan cara pengambilan Ground control point

(GCP) yang disebut titik kontrol di bumi yang dilakukan dengan proyeksi Universal Tranverse Mercator (UTM) sebanyak 32 titik kontrol (Lampiran 5) dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Pengukuran titik kontrol dilakukan pada lokasi-lokasi yang kodisinya dianggap tidak berubah dari tahun 1990 – 2008, seperti simpangan jalan dan jembatan pada lokasi penelitian. Titik kontrol tersebut menjadi titik ikat pada semua citra Landsat yang akan dianalisis sehingga didapatkan citra yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan (di muka bumi).

Penentuan garis pantai dilakukan dengan menggunakan citra tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008. Citra satelit yang telah dikoreksi secara geometrik digunakan untuk menentukan garis pantai yang dilakukan dengan komposit RGB 542. Dari hasil komposit warna ini, selanjutnya dilakukan deliniasi garis pantai pada setiap citra.

Hasil deliniasi garis pantai dari citra akan menghasilkan garis pantai pada tahun 1990, 1999, 2003 dan 2008. Garis pantai tersebut kemudian dikoreksi terhadap pasang surut. Koreksi garis pantai terhadap pasang surut dilakukan dengan cara :

(1) Mula-mula ditentukan kelerengan pantai (tan β) dengan menggunakan persamaan (Gambar 4):

(16)

(49)

(2) Menentukan selisih tinggi muka air pada saat perekaman citra dengan MSL

(∆η), seperti pada Gambar 5.

Gambar 5 Penentuan posisi muka air pada saat perekaman citra.

(3) Menentukan jarak pergeseran garis pantai hasil koreksi pasang surut (x) dengan menggunakan persamaan :

(17) (4) Jika perekaman citra dilakukan pada saat tinggi muka air laut lebih besar dari

pada MSL (keadaan pasang), maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah laut. Sebaliknya jika keadaan surut maka garis pantai digeser sejauh x meter ke arah darat.

3.5 Desain Model

3.5.1 Struktur model perubahan garis pantai

Tujuan model ini adalah untuk memprediksi perubahan garis pantai akibat pengaruh angkutan sedimen sejajar pantai yang dibangkitkan oleh gelombang pecah. Pada model ini dilakukan berbagai penyederhanaan terhadap fenomena kompleks dengan tujuan untuk mendapakan model yang sederhana dengan tetap mempertimbangkan akurasi perhitungan. Model ini lebih ditujukan untuk pantai berpasir yang didominasi oleh pengaruh gelombang dan angkutan sedimen sejajar pantai, sedangkan pengaruh pasang surut dan angkutan sedimen tegak lurus pantai tidak diperhitungkan. Model ini terdiri atas empat submodel yaitu (Lampiran 6):

(1) Submodel prediksi gelombang laut lepas yang dibangkitkan oleh angin.

(50)

35

(3) Submodel angkutan sedimen sejajar pantai

(4) Submodel perubahan garis pantai

Keempat submodel ini dikendalikan oleh satu program utama yang mengatur proses secara keseluruhan termasuk input data dan pencetakan output. Struktur model utama diperlihatkan pada Gambar 4. Model utama ini dimulai dengan pembacaan data seperti : data angin, batimetri, sedimen yang tersimpan dalam bentuk file. Proses pertama yang dilakukan adalah menghitung gelombang yang terbangkit oleh angin pada laut lepas sehingga diperoleh rekaman tinggi, periode dan sudut datang gelombang di laut lepas. Informasi ini digunakan sebagai kondisi batas di grid terluar (lepas pantai).

Proses kedua adalah penentuan posisi garis pantai awal berdasarkan data batimetri. Diasumsikan bahwa batimetri dengan kedalaman lebih besar dari nol (hi,j> 0) dianggap sebagai sel laut, sebaliknya kedalaman lebih kecil dari nol (hi,j< 0) dianggap sebagai sel darat. Model akan mendeteksi garis pantai dengan menghitung panjang lintasan dari titik referensi (j = 1) sampai dengan sel laut yang terdekat. Kelerengan pantai dihitung pada setiap grid ke i berdasarkan data bentangan dari tepi pantai sampai grid ke 100 dan kedalaman pada sel tersebut.

Proses ketiga adalah menghitung penjalaran gelombang dari laut lepas ke garis pantai. Dalam perhitungan diasumsikan bahwa proses yang dominan adalah proses refraksi dan shoaling. Proses difraksi, refleksi, interaksi nonlinier, gesekan dasar, perkolasi, energy angin, irregularitas gelombang tidak ditinjau dalam model karena dianggap tidak dominan (Balas & Inan 2002). Berdasarkan informasi tinggi, periode dan sudut datang gelombang di laut lepas, maka model kemudian menghitung transformasi gelombang dari laut lepas menuju pantai. Selain itu dideteksi pula posisi gelombang pecah dengan menggunakan kriteria indeks gelombang pecah (γ).

(51)

Gambar 6 Diagram alir program utama perubahan garis pantai.

Garis menunjukkan proses cascades yaitu output proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya.

ya ya Mula

Data Gelombang Laut

Lepas

Transformasi Gelombang Penentuan Posisi

Garis Pantai

Jika t > 1 hari Perhitungan Angkutan Sedimen

Update Batimetri Perhitungan Perubahan Garis

Transformasi Gelombang

Cetak Hasil

Selesai hrke =1

h

rk

e = h

rk

e+1

t =

t+

∆t

tidak

Jika hrke > hrke-n

(52)

37

Proses looping pertama dilakukan untuk menghitung angkutan sedimen dan

perubahan garis pantai yang dilakukan setiap interval ∆t = 0.001 hari selama

sehari. Setelah t > 1 hari maka proses looping pertama telah selesai kemudian data batimetri diperbaharui berdasarkan posisi garis pantai terakhir dan dilakukan lagi perhitungan transformasi gelombang. Proses looping kedua dilakukan setiap interval 1 hari sampai hari ke 6840 (19 tahun). Looping kedua merupakan proses

cascades yaitu output proses terakhir menjadi input pada proses berikutnya. Jika perhitungan perubahan garis pantai belum cukup 6840 hari, maka perhitungan dilakukan terus sampai hari ke 6840 (19 tahun).

3.5.2 Perhitungan tinggi dan periode gelombang

Untuk menghitung angkutan sedimen dan prediksi perubahan garis pantai, maka perlu diketahui karakteristik gelombang laut lepas dan transformasi gelombang serta gelombang pecah. Karakteristik gelombang pecah dihitung berdassarkan tinggi gelombang laut lepas yang mengalami proses transformasi pada saat bergerak menuju ke pantai. Tinggi gelombang di laut lepas dihitung melalui parameter angin dengan menggunakan metode CEM.

a) Koreksi data angin

Data angin yang digunakan untukmemprediksi tinggi dan periode gelombang laut lepas adalah data angin yang diukur di darat pada ketinggian 12 m dari permukaan laut, sehingga sebelum digunakan dalam perhitungan tinggi dan perioe gelombangdata angin tersebut perlu dikoreksi. Adapun koreksi yang dilakukan adalah (USACE 2003a):

• Koreksi ketinggian

• Koreksi kecepatan angin rata-rata untuk durasi 1 jam

• Koreksi pengukuran kecepatan angin di darat ke laut

• Koreksi stabilitas

(53)

dimana : U10 = kecepatan angin yang diukur pada ketinggian 10 meter (m)

Uz = kecepatan angin pada ketinggian z (m).

(2) Koreksi durasi, koreksi ini dilakukan untuk memperoleh kecepatan angin dengan durasi satu jam. Koreksi durasi dilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a):

(19)

untuk t < 3600 (20) untuk 3600 < t < 36000 (21) dimana : t = waktu (detik)

Ut = kecepatan angin dengan durasi waktu t

Ut=3600 = kecepatan angin dengan durasi 1 jam

(3) Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut. Koreksi ini dilakukan untuk data angin yang diukur di darat. Koreksi pengukuran angin dari darat ke laut dilakukan dengan menggunakan Gambar 7untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile. Berasarkan grafik hubungan antara RL dan UL pada Gambar 5, maka

diperoleh persamaan (USACE 2003a):

(22) Sehingga UW dihitung dengan menggunakan persamaan :

(23) dimana RL = perbandingan kecepatan angin di laut dan di darat

UL = kecepatan angin di laut (m/detik)

(4) Koreksi stabilitas. Untuk fetch yang lebih besar dari 10 mile, maka diperlukan koreksi stabilitas. Koreksi stabilitas dilakukan dengan menggunakan nilai RT = 1.1 (USACE 2003a), yang dihitung dengan menggunakan persamaan :

(24)

(54)

39

Gambar 7 Hubungan antara RL dengan kecepatan angin di darat (UL) (USACE 2003a).

b) Panjang fetch

Panjang fetch efektif (Fef) pada penelitian ini ditentukan mulai dari kedalaman 20 m kemudian ditarik garis lurus ke arah laut hingga membentur daratan. Apabila panjang fetchyang diperoleh lebih dari 200 km, maka panjang

fetchmaksimum yang digunakan adalah 200 km. Panjang fetch yang digunakan selama penelitian diasumsikan tidak berubah. Panjang fetchditentukan dengan menggunakan peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) melalui langkah-langkah sebagai berikut:

• Mula-mula ditentukan arah angin

• Menghitung panjang jari-jari di titik peramalan sampai titik dimana jari-jari tersebut memotong daratan (Xi)

• Panjang fecth dihitung melalui persamaan :

p i S

X

F = • (25)

(55)

Gambar 8 Diagram alir koreksi kecepatan angin dan perhitungan tinggi serta periode gelombang laut lepas.

c) Prediksi gelombang

Prediksi tinggi (H0) dan periode gelombang (Tp) di laut lepas berdasarkan data kecepatan angin dan fetchdilakukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a):

(26)

Fetch

Data Angin

Koreksi pengkuran di darat ke Laut UW = RL Ut=3600

Koreksi

Koreksi Durasi

Koreksi Stabilitas RT = 1.1

U* = (CD UC2)0.5

UC = RT UW

(56)

41

(27) (28) (29) dimana : Ho = Tinggi gelombang di laut lepas (m)

Tp = Periode gelombang (detik)

g = Percepatan gravitasi (m/det2)

F = Fetch (m)

UC = Kecepatan angin yang telah dikoreksi (m/det).

Perhitungan koreksi data angin dan tinggi serta periode gelombang dilakukan dengan menggunakan bahasa program FORTRAN dengan langkah-langkah perhitungan diperlihatkan pada Gambar 8.

3.5.3 Transformasi Gelombang

Setelah gelombang di laut lepas terbentuk oleh angin, maka gelombang akan merambat menuju ke pantai. Gelombang yang merambat dari laut lepas menuju ke garis pantai akan mengalami perubahan bentuk seperti perubahan tinggi dan arah gelombang (Balas & Inan 2002). Pada penelitian ini transformasi gelombang menuju pantai hanya mempertimbangkan pengaruh shoaling dan refraksi. Daerah studi dibagi menjadi beberapa titik grid yang berbentuk persegi empat. Tinggi gelombang pada kedalaman h dihitung dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a):

(30) dimana:

Ks = koefisien shoaling

(31)

(57)

(35)

Kr = koefisien refraksi

(36) Sudut gelombang ditentukan dengan menggunakan persamaan (USACE 2003a): yaitu:

(37)

Saat gelombang merambat dari laut lepas menuju pantai maka kelancipan gelombang semakin meningkat karena pengaruh perubahan kedalaman laut. Bila kelancipan gelombang telah mencapai nilai maksimum maka gelombang akan pecah. Tinggi, sudut dan kedalaman diman gelombang pecah dihitung dengan menggunakan asumsi (Horikawa 1988):

bila

maka (38)

(39)

dan (40)

dimana :Hh = Tinggi gelombang pada kedalaman h (m)

Hb = Tinggi gelombang pecah (m)

hb = Kedalaman dimana gelombang pecah (m) αb = Sudut gelombang pecah (derajat)

αh = sudut gelombang pada kedalaman h (derajat)

Apabila gelombang pecah membentuk sudut αb terhadap sumbu x seperti

diperlihatkan pada Gambar 9, maka sudut datang gelombang pecah terhadap garis pantai αbs dihitung dengan menggunakan persamaan (Horikawa 1988):

(41) dimana :

= sudut garis pantai terhadap sumbu x

(58)

43

(42)

Gambar 9 Defenisi sudut gelombang pecah terhadap garis pantai (USACE 2003a).

Perhitungan tinggi dan sudut gelombang dilakukan pada setiap titik grid dengan menggunakan grid yang berbentuk persegi empat seperti diperlihatkan pada Gambar 10. Jumlah grid dalam arah sejajar pantai (arah x) adalah 978 titik dengan jarak antara titik grid 10 meter, sedangkan dalam arah tegak lurus pantai (arah y) adalah 2028 titik dengan jarak antara titik grid 5 meter. Perhitungan tinggi dan periode gelombang di laut lepas dilakukan dengan menggunakan persamaan 26 dan 27. Perhitungan tinggi dan sudut gelombang pada setiap titik grid dilakukan dengan menggunakan persamaan 30 dan 37. Pada perhitungan ini tinggi dan sudut gelombang pada semua titik grid j = 2028 menggunakan tinggi dan sudut gelombang di laut lepas. Perhitungan tinggi gelombang pecah, kedalaman dan sudut gelombang pecah sepanjang pantai menggunakan persamaan 38, 39 dan 40. Perhitungan transformasi gelombangdilakukan dengan menggunakan bahasa program FORTRAN dengan kondisi awal dan kondisi batas sebagai berikut:

a. Kondisi awal

Pada saat awal siasumsikan bahwa tinggi gelombang pada setiap titik grid sama dengan nol (Hij = 0).

b. Kondisi Batas

Kondisi batas di perairan dalam diasumsikan bahwa tinggi gelombang pada seluruh grid terluar sama dengan tinggi gelombang laut lepas.

αg

αb

αbs

Garis Pantai Arah Gelombang

(59)
(60)

45

3.5.4 Perhitungan Angkutan Sedimen

Menurut Grant (1943) dalam USACE (2003b) angkutan sedimen di pantai merupakan hasil kombinasi dari angkutan sedimen akibat gelombang dan angkutan sedimen akibat arus. Dalam penelitian ini, angkutan sedimen tegak lurus pantai tidak diperhitungkan, tetapi hanya memperhitungkan angkutan sedimen sejajar pantaiyangdiakibatkan oleh gelombang pecah. Besar angkutan sedimen sejajar pantai akibat gelombang pecah dihitung dengan menggunakan persamaan :

(43)

Dimana:

ρs = Massa jenis sedimen (kg/m3) ρ = Massa jenis air laut (kg/m3)

γb = Indeks gelombang pecah n = Porositas sedimen

αbx= Sudut gelombang pecah (derajat)

Dalam perhitungan angkutan sedimen menggunakan persamaan (43), terlebih dahulu dilakukan konversi tinggi gelombang pecah signifikan (Hbs) menjadi tinggi gelombang pecah root mean square (Hbrms), dengan menggunakan persamaan :

(44)

3.5.5 Perubahan Garis Pantai

Model perubahan garis pantai dapat dibuat berdasarkan pada persamaan

Budget sedimen (Perlin 1983, Van Rijn 1997 dan Horikawa 1988) yaitu sepanjang pantai dibagi menjadi sejumlah sel dengan panjang yang sama (∆x), seperti pada Gambar 12.

(61)

satuan waktu. Gambar 13 menunjukkan angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel dan perubahan volume yang terjadi di dalamnya.

Gambar 12 Pembagiangaris pantai menjadi sederetan sel (Horikawa 1988).

Gambar 13 Angkutan sedimen yang masuk dan keluar sel (Horikawa 1988).

Gambar

Gambar 2  Peta lokasi penelitian.
Gambar 3  Peta lokasi pengukuran batimetri, pasang surut dan sedimen.
Tabel 2  Klasifikasi ukuran partikel sedimen (USACE 2003b)
Gambar 8  Diagram  alir  koreksi  kecepatan  angin  dan  perhitungan  tinggi  serta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Konsep permukiman masyarakat Desa Pegayaman Bali dalam mempertahankan kehidupannya sampai dengan saat ini meliputi proses terbentuknya Desa Pegayaman sebagai hadiah

timbunan yang digunakan, dimana semakin kecil berat volume bahan yang digunakan maka semakin kecil selisih tekanan antara timbunan dan galian yang dihasilkan sehingga total berat

Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta IPB, Bogor.. Biskuit, Crackers, dan Cookies Pengenalan Tentang; Aspek Bahan Baku, Teknologi,

Namun oknum yang melakukan pelanggran tidak dapat dijerat dengan undang-undang yang berlaku karena dalam media masa yang besifat social global sulit mendeteksi oknum yang

Turunnya indeks yang diterima petani lebih dipengaruhi oleh penurunan subkelompok padi sebesar 2,57 persen, sedangkan turunnya indeks yang dibayar dominan dipengaruhi

Ogan Komering Ilir 487 15110215610842 DESI AGUSTINA ROHMADHAWATI SMP/MTs Bahasa Indonesia SMPN 2 SIRAH PULAU PADANG Kab.. Ogan

Sebagai seorang mahasiswa muslim, mereka harus memiliki pandangan dunia yang mencerminan keyakinannya sebagai muslim tetapi tetap bisa berdialog dengan berbagai

Metode penelitian yang digunakan dalam pendekatan kuantitatif adalah metode survey.Metode survey merupakan realisasi pernyataan-pernyataan atau pertanyaan-pertanyaan