• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak alokasi dana desa pada era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dampak alokasi dana desa pada era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia"

Copied!
207
0
0

Teks penuh

(1)

PEREKONOMIAN DAERAH DI INDONESIA

DISERTASI

EKO PRASETYANTO PP

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya berjudul;

DAMPAK ALOKASI DANA DESA

PADA ERA DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH DI INDONESIA

Merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi sendiri dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukan dengan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Agustus 2012

Eko Prasetyanto PP H363070111

(3)

EKO PRASETYANTO PP. Impact of Allocation Rural Fund Policy in Decentralization Era on Regional Economy in Indonesia (MANUNTUN PARULIAN HUTAGAOL as Chairman, BONAR MARULITUA SINAGA and MUHAMMAD FIRDAUS as Members of the Advisory Committee).

This research attempts to describe and analyze the impact of allocation rural fund in decentralization era on regional economy in Indonesia.The analysis applied in this research are Klassen Typologi, Williamson index and econometric model. This study has succesfully formulated a model and using panel data method (time series data of 2005-2009 and cross section data of twenty five Province in Indonesia). The model was developed into a simultaneous equations, consisting of 14 structural equations and 11 identity equations. The results of this research obtain an evidence that Provinces of Indonesia spread in 4 (four) criteria in the Klassen Tipology. In addition, this study also indicates that the disparity among Province of Indonesia in the period of 2005 to 2009 will be higher if allocation rural fund conducted as Government Regulation Number 72 Year 2005.The result of simulation also shows that ADD in rural area could reduce poverty level and increase original regional income (PAD). Finally, the research concludes that the increase of ADD in decentralization era can increase fiscal and economic performance, however the transfer of ADD also increases the disparity among regions in Indonesia. In order to reduce the negative impact of ADD, the government needs to use a affirmative policy in the implementing of ADD.

Key words: decentralization era, allocation rural fund, poverty, disparity, econometric model.

(4)

Eko Prasetyanto PP. Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia (MANUNTUN PARULIAN

HUTAGAOL sebagai Ketua, BONAR MARULITUA SINAGA dan

MUHAMMAD FIRDAUS, sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Era desentralisasi telah membawa perubahan dalam sistem pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Kewenangan Pemerintah Daerah menjadi lebih besar bila dibanding penyelenggaraan pemerintahan sebelum era desentralisasi. Era desentralisasi dengan berbagai kewenangannya membuat ketaatan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan aturan Pemerintah menjadi lebih rendah. Salah satu contoh yang menjadi topik penelitian adalah mengenai Alokasi Dana Desa (ADD), dimana aturan mengenai hal ini sudah jelas dan tegas termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Namun dalam implementasinya sejak tahun 2005 hingga saat ini kurang lebih baru 60% Pemerintah Daerah yang melaksanakan.

Memperhatikan hal ini, maka perlu suatu upaya yang sinergis dan berkelanjutan untuk membuka wawasan atau pemahaman mengenai arti penting desa dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Salah satu kebijakan yang seharusnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka memperkuat pemerintah desa dan masyarakatnya adalah memberikan ADD. Mengapa penyaluran ADD ini menjadi sangat penting? Karena mengingat fakta sampai saat ini dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, ADD merupakan anggaran yang paling utama yang digunakan pemerintah desa dalam memberdayakan masyarakat serta pelaksanaan pembangunan yang dikelola langsung oleh pemerintah desa dan masyarakat.

Berdasarkan hal di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui arah dan tingkat signifikansi pelaksanaan ADD dalam meningkatkan perekonomian daerah,khususnya dalam mengentaskan angka kemiskinan di desa. Selanjutnya, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan ADD, maka telah disimulasikan peran ADD dengan berbagai skenario. Dari hasil simulasi yang telah dilakukan diperoleh suatu kesimpulan bahwa pelaksanaan ADD yang selama ini diatur secara seragam dan dengan cara prosentase (yaitu minimal 10% dari Dana Perimbangan setelah dikurangi belanja pegawai), ternyata kurang tepat untuk mewujudkan tujuan ADD secara optimal, yaitu antara lain untuk mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan antar wilayah. Hasil simulasi telah membuktikan bahwa peningkatan pemberian ADD selain meningkatkan kinerja fiskal dan perekonomian daerah, namun akan meningkatkan pula kesenjangan antar wilayah. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka Indeks Williamson.

(5)
(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

(7)

PEREKONOMIAN DAERAH DI INDONESIA

EKO PRASETYANTO PP

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup:

1. Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S.

Guru Besar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

2. Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec.

Staf Pengajar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka

1. Prof. Dr. Mangara Tambunan, M.Sc.

Guru Besar pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB

2. Drs. Sumedi Andono Mulyo, Ph.D.

(10)

1

1..KKoommiissiiPPeemmbbiimmbbiinngg

Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA Anggota

Muhammad Firdaus, SP, M.Si.,Ph.D Anggota

MMeennggeettaahhuuii ::

2. Koordinator Mayor Ilmu Ekonomi Pertanian,

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

TTaannggggaall UUjjiiaann :: 2277 JJuullii 22001122 TTaannggggaall LLuulluuss:: terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia

Nama Mahasiswa : Eko Prasetyanto PP

Nomor Pokok

Mayor

:

:

H 363070111

(11)

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: “Dampak Alokasi Dana Desa pada Era Desentralisasi Fiskal terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia”.

Sebagai suatu syarat kelulusan pada Program Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan disertasi ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian disertasi ini, oleh karena pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Ir. Manuntun Parulian Hutagaol, MS sebagai Ketua Komisi Pembimbing yang

telah berkenan meluangkan banyak waktu untuk berkonsultasi, memberikan pengarahan, bimbingan serta dorongan semangat yang sangat berarti bagi penyelesaian desertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Bonar Marulitua Sinaga, MA sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang selalu meluangkan waktu untuk mendorong, membimbing, mengarahkan dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.

3. Muhammad Firdaus, SP, M.Si, Ph.d. sebagai Anggota Komis Pembimbing yang selalu mendorong dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan studi ini.

4. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS, Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan masukan dan klarifikasi yang sangat berarti pada waktu ujian tertutup dan terbuka.

5. Prof. Dr. Ir. Noer Azam Achsani, M.S. dan Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. selaku Penguji Luar Komisi pada waktu ujian tertutup, yang telah memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi penyempurnaan disertasi.

6. Dr. Ir. Anna Fariyanti, M.Si. selaku Pimpinan Sidang pada waktu ujian tertutup yang banyak memberikan masukan dan saran yang sangat berarti bagi penyempurnaan disertasi.

(12)

dan sarannya.

9. Drs. Sumedi Andono Mulyo, Ph.D. selaku penguji luar komisi pada waktu ujian terbuka, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah berkenan meluangkan waktu untuk mengkritisi, memberikan saran serta masukan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan disertasi.

10. Segenap jajaran Pimpinan di Kementerian Dalam Negeri, khususnya di Direktorat Jenderal PMD yang selalu memberikan dorongan dan kesempatan untuk menyelesaikan studi, serta kepada Kepala Badan Diklat Depdagri beserta jajaran yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mendapatkan bea siswa yang sangat berguna untuk menyelesaikan studi.

11. Seluruh Guruku mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu atas jasa dan kasih sayangnya yang tidak akan pernah penulis lupakan sampai akhir hayat.

12. Buat teman-teman di Direktorat Jenderal PMD yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya selama menyelesaikan studi ini.

13. Buat teman-teman seperjuangan di EPN’2007: Bu Dewi Sahara, Bu Elinur, Pak Sugiyono, Mas Gatot Subroto, Mas Gatot Soehardono, Pak Yanizar, Pak Abdullah, Mas Rizal, Bu Dwi Rachmina, Bu Wini, Bu Neti, Bu Ita dan Bu Lilis, penulis ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya karena dengan kebersamaan dan kekeluargaan, perjuangan ini dapat kita lalui tahap demi tahap.

14. Semua Staf di Program Studi EPN, antara lain Mbak Ruby, Mbak Yani, Bu Kokom, Pak Husen dan Mas Johan yang telah banyak memberikan bantuan selama menempuh dan menyelesaikan studi di IPB.

15. Buat Pak Usman terima kasih banyak atas bantuan dan kerelaannya meluangkan waktu untuk membantu dalam mengolah data.

16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian disertasi ini.

(13)

penulis di Yogyakarta dari kecil hingga lulus mahasiswa. Buat Istriku (Esther Liswantiyani), Anakku yang sangat kukasihi (Yosua Rama Mada Krisna Purnama, Kezia Ugmisita Purnomo dan Keynes David Purnomo), dukungan dan keceriaanmu merupakan semangat tersendiri sebagai pendorong untuk menyelesaikan disertasi ini. Buat Adik-adikku: Iwan, Deasy dan Rony beserta keluarganya serta semua Saudara-saudaraku yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu terima kasih atas dukungannya. Akhirnya penulis menyadari pepatah tiada gading yang tak retak, penulisan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran.

Bogor, Agustus 2012

(14)

Penulis dilahirkan di Bantul, Yogyakarta pada tanggal 4 Juni 1968 dari pasangan Bapak Sutardjo Purnomo B.Sc., S.Pd. (Alm) dan Ibu Retnaningdyah Ninik Prasetyanti. Penulis adalah anak sulung dari empat bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dari sekolah dasar hingga tingkat universitas di Kota Yogyakarta, yaitu pada SD Bopkri I Demangan Yogyakarta, SMP Negeri 8 Yogyakarta dan SMA Bopkri 1 Yogyakarta. Selanjutnya pendidikan sarjana (S1) penulis selesaikan pada tahun 1993 di Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Pada tahun 1996 penulis diterima bekerja di Kementerian Dalam Negeri dan lulus sebagai CPNS pada tahun 1996. Pada tahun 1998 penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Pascasarjana (S2) di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan beasiswa dari Program Inpres Desa Tertinggal, Ditjen PMD, Kementerian Dalam Negeri dan penulis lulus pada tahun 2000. Kemudian tahun 2005 penulis kembali mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana (S2) di La Trobe University Australia pada bidang Development Studies dengan beasiswa dari Program CERD. Selanjutnya pada tahun 2007 penulis dengan Beasiswa dari Badan Diklat Depdagri melanjutkan studi pada Program Pascasarjana (S3) Ilmu Ekonomi Pertanian, IPB.

Jenjang karier penulis dimulai pada tahun 2000 sebagai Kasi Administrasi Kelurahan pada Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan pada Ditjen PMD Kementerian Dalam Negeri, Kasi Pelatihan pada Direktorat Pelatihan, Ditjen PMD dan Kasi Penataan Kelembagaan pada Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD, Kementerian Dalam Negeri. Pada tahun 2008 hingga sekarang jabatan penulis sebagai Kasubdit Fasilitasi Pengembangan Desa dan Kelurahan, pada Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Ditjen PMD, Kemendagri.

(15)
(16)
(17)
(18)
(19)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Desentralisasi ... 11

2.2. Desentralisasi Fiskal... 13

2.3. Sumber Penerimaan Daerah ... 15

2.4. Dana Alokasi Umum ... 18

2.5. Pengeluaran Oleh Pemerintah ... 21

2.6. Pertumbuhan Ekonomi ... 26

2.7. Kemiskinan ... 27

2.8. Kesenjangan Antar Daerah ... 29

2.9. Tenaga Kerja dan Angkatan Kerja ... 30

2.10. Alokasi Dana Desa ... 32

2.11. Desa dan Sejarah Pengaturannya ... 35

2.11.1. Jaman Kerajaan ... 35

2.11.2. Jaman Penjajahan ... 36

2.11.2.1. Jaman Penjajahan Belanda ... 36

2.11.2.2. Jaman Penjajahan Jepang ... 37

2.11.3. Jaman Kemerdekaan ... 38

(20)

ii

2.12.1. Mancanegara ... 46

2.12.2. Indonesia ... 47

III. KERANGKA PEMIKIRAN KONSEPTUAL ... 51

IV. METODOLOGI PENELITIAN ... 57

4.1. Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ... 57

4.2. Model Ekonometrika ... 58

4.3. Prosedur Analisis ... 67

4.3.1. Identifikasi Model ... 67

4.3.2. Metode Estimasi Model ... 69

4.3.3. Validasi Model. ... 69

4.3.4. Simulasi Kebijakan ... 71

4.4. Sumber Data ... 73

V. EVALUASI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ... 75

5.1. Evaluasi Umum ... 75

5.2. Evaluasi Kinerja Fiskal ... 77

5.3. Evaluasi Kinerja Perekonomian ... 86

5.3.1. Pertumbuan Ekonomi... 86

5.3.2. Kemiskinan ... 88

5.3.3. Klasifikasi Daerah Berdasar Tipologi Klassen ... 88

VI. ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ... 93

6.1. Hasil Estimasi Model Ekonometrika ... 93

6.2. Kinerja Blok Fiskal dan Perekonomian Daerah ... 94

VII. EVALUASI DAMPAK ALOKASI DANA DESA TERHADAP KINERJA FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH ... 109

7.1. Hasil Validasi Model ... 109

7.2. Dampak Alokasi Dana Desa ... 110

(21)

iii

VIII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... ...139

8.1. Simpulan ... 139

8.2. Implikasi Kebijakan ... 140

8.3. Saran Penelitian Lanjutan ... 141

DAFTAR PUSTAKA ... 143

(22)

iv

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan ... 6 2. Tipologi Klassen ... 58 3. Gambaran Umum Kewilayahan dan Administrasi Pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia ... 75 4. Gambaran Umum Faktor-Faktor Demografi di Setiap Kepulauan di

Indonesia Tahun 2009 ... 77

5. Tingkat Perkembangan Pendapatan Asli Daerah Berdasarkan Provinsi

di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 78

6. Tingkat Perkembangan Pajak Daerah Berdasarkan Provinsi di

Indonesia Tahun 2005-2009 ... 80 7. Tingkat Perkembangan Dana Alokasi Umum Berdasarkan Provinsi di

Indonesia Tahun 2005-2009 ... 82 8. Persentase Jumlah Kabupaten/Kota Berdasarkan Provinsi yang

Memberikan Alokasi Dana Desa di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 84 9. Perkembangan Penyaluran ADD menurut Provinsi ... 85

10. Pertumbuhan Perekonomian Daerah Menurut Povinsi di Indonesia

Tahun 2005-2009 ... 87

11. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin per Pulau di Indonesia

Tahun 2009 ... 88

12. Tipologi Klassen Provinsi di Indonesia ... 89 13. Jumlah Provinsi per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen

Tahun 2005-2009 ... 90

14. Jumlah Provinsi per Pulau di Indonesia Menurut Tipologi Klassen yang

Kesenjangan Antar Daerahnya Menurun Tahun 2005-2009 ... 91

15. Keragaan Umum Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan

(23)

v

19. Hasil Estimasi Perilaku Dana Alokasi Umum ... 98 20. Hasil Estimasi Perilaku Dana Bagi Hasil ... 99 21. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Pertanian ... 100 22. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Infrastruktur ... 100 23. Hasil Estimasi Perilaku Pengeluaran Industri ... 101 24. Hasil Estimasi Produk Domestik Regional Bruto Sektor Pertanian... 101 25. Hasil Estimasi Perilaku Produk Domestik Regional Bruto Sektor

Non Pertanian ... 102` 26. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Tenaga Kerja Pertanian ... 104 27. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Tenaga Kerja Non Pertanian ... 104 28. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin di Perkotaan ... 105 29. Hasil Estimasi Perilaku Jumlah Penduduk Miskin di Desa ... 107 30. Hasil Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan

Perekonomian Daerah ... 110 31. Dampak disalurkannya ADD (Persentase) Secara Nasional Terhadap

Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ... 112 32. Dampak disalurkannya Alokasi Dana Desa (Rupiah) Secara Nasional

terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ... 114 33. Dampak Penataan Wilayah Desa Secara Nasional terhadap Kinerja

Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ... 117

34. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 10 Persen terhadap Kinerja Fiskal

dan Perekonomian Daerah di Indonesia Menurut Tipologi Klassen ... 118 35. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 20 Persen terhadap Kinerja Fiskal

dan Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen ... 120 36. Dampak Alokasi Dana Desa Sebesar 250 Juta Rupiah terhadap Kinerja

Fiskal dan Perekonomian Daerah Menurut Tipologi Klassen ... 121

37. Dampak Dilaksanakan ADD Sebesar 500 Juta Rupiah terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indfonesia Menurut Tipologi

Klassen ... 123` 38. Dampak Penambahan 5 Desa per Kabupaten/Kota Menurut Tipologi

Klassen terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di

(24)

vi

39. Dampak Penambahan 10 Desa per Kabupaten/Kota Menurut Tipologi Klassen Terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah di

Indonesia ... 126 40. Dampak Dilaksanakan ADD Secara Seragam dan ADD Afirmatif

terhadap Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah ... 129` 41. Dampak dilaksanakan ADD (prosentase) Secara Affirmatif yang

Dikombinasikan dengan Penataan Wilayah Desa terhadap Kinerja

Fiskal dan Perekonomian Daerah di Indonesia ... 131 42. Ringkasan Hasil Simulasi Dampak Pelaksanaan ADD dan Penataan

Wilayah Desa terhadap Perekonomian Daerah di Indonesia ... 133 43. Perbandingan Hasil Simulasi Penyaluran ADD terhadap Indikator

(25)

vii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perbandingan ADD Riil dan ADD Seharusnya Sesuai Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa ... 7 2. Pengaruh Belanja Pemerintah dan Pajak terhadap Pengeluaran

Agregat ... 16

3. Hubungan Kenaikan Belanja Pemerintah dengan Pengeluaran

yang direncanakan ... 21

4. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner ... 23 5. Teori Peacock dan Wiseman ... 25 6. Kurva Perkembangan Pengeluaran Pemerintah ... 25

7. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 54 8. Alokasi Sumber yang Optimum ... 55

9. Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Penyaluran ADD ... 56 10. Keterkaitan Antar Blok ... 66 11. Hubungan PAD dan Pajak Daerah di Indonesia Tahun 2005-2009 ... 79

12. Perbandingan Berbagai Simulasi Kebijakan Alokasi Dana Desa dan Penataan Wilayah Desa dalam Mengurangi Jumlah Penduduk Miskin

di Perdesaan ... 134

(26)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Program Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur TSCSREG dan Metode

Fixone dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 150 2. Hasil Estimasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan

Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur TSCSREG dan Metode

Fixone dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 150

3. Program Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode

NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 152

4. Hasil Validasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode

NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 169

5. Program Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode

NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 172 6. Hasil Simulasi Model Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan

Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode

NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 175 7. Ringkasan Program Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan

Perekonomian Daerah Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode

NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3. Portable ... 178 8. Ringkasan Hasil Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian

Daerah Secara Nasional Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3.

Portable... ... 179 9. Ringkasan Hasil Alokasi Dana Desa, Kinerja Fiskal dan Perekonomian

Daerah Menurut Tipologi Klassen Menggunakan Prosedur SIMNLIN dan Metode NEWTON dengan Software SAS/ETS Versi 9.1.3.

(27)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah untuk ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...”. Dalam rangka mencapai tujuan nasional ini Undang-Undang Dasar 1945 beserta peraturan perundang-undangan yang ada telah menetapkan suatu pilihan bahwa Negara Indonesia adalah sebagai negara kesatuan yang didesentralisir.

Kebijakan Otonomi Daerah yang disertai desentralisasi dibidang kewenangan, administrasi dan fiskal ini sangat penting bagi keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat dengan berbagai argumentasi. Pertama, dengan desentralisasi fiskal, memungkinkan para pengambil keputusan di daerah akan semakin cepat dan tepat dalam merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan pengelolaan keuangan dalam rangka mendukung berbagai kebijakan penting dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, termasuk akselerasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat. Di era desentralisasi fiskal para pengambil keputusan di daerah mempunyai kewenangan atau otoritas untuk mengelola anggarannya. Dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan dalam pengelolaan anggaran akan lebih cepat dibanding apabila diatur secara sentralistis. Kedua, dengan desentralisasi fiskal akan semakin mendekatkan para pengambil kebijakan dengan para pelaku atau pemanfaat dari keputusan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya kedekatan dan komunikasi yang lebih baik antara pengambil keputusan di daerah dengan masyarakatnya.

(28)

akan lebih mudah dalam menstabilkan kondisi perekonomian wilayahnya. Namun demikian sebagai negara kepulauan yang sangat luas, yaitu dengan luas wilayah kurang lebih 1,9 juta Km² dan terdiri dari 17 ribu pulau, 33 Provinsi, 497 Kabupaten/Kota, 6.694 Kecamatan, 69.249 Desa serta 8.216 Kelurahan (Permendagri Nomor 66 Tahun 2011), Indonesia menghadapi berbagai permasalahan yang begitu kompleks. Di era desentralisasi fiskal saat ini, permasalahan dan kendala yang masih dihadapi antara lain dapat dikelompokkan dalam tiga persoalan utama, yaitu masalah kewilayahan, kemasyarakatan dan pemerintahan.

Masalah kewilayahan yang sering muncul antara lain masalah pemekaran daerah dan desa yang terus meningkat serta masalah peningkatan kesenjangan antar wilayah. Masalah kemasyarakatan antara lain masalah kemiskinan yang sebagian besar berada di daerah perdesaan. Selanjutnya masalah pemerintahan yang masih menjadi persoalan adalah masalah ketidakjelasan penyerahan urusan antar jenjang susunan pemerintahan yang mengakibatkan kurang optimalnya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Dari hasil penelitian Lin (1992) di China dengan data panel yang kemudian dilanjutkan oleh Lin dan Liu di China (2000) ditemukan bukti bahwa faktor kunci pertumbuhan ekonomi di China adalah reformasi fiskal seiring dengan reformasi perdesaan. Selanjutnya berdasarkan penelitian Lai (1989) ditemukan bukti bahwa keberhasilan strategi pembangunan di Taiwan dikarenakan pembangunan sektor industri diletakkan di dekat daerah perdesaan.

(29)

Aspek penting untuk dikaji dalam melakukan reformasi perdesaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa antara lain adalah penyaluran Alokasi Dana Desa (ADD), penyerahan urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa, pengembangan perencanaan pembangunan partisipatip dan penataan wilayah desa. Dalam penelitian ini aspek yang menjadi penekanan utama adalah penyaluran ADD, sedangkan penyerahan urusan dari Kabupaten/Kota kepada Desa tidak dikaji karena berdasarkan hasil laporan yang ada masih sangat sedikit sekali Kabupaten/Kota yang menyerahkan sebagian urusannya kepada Desa. Demikian pula mengenai perencanaan partisipatip tingkat desa tidak dikaji karena ketiadaan data. Selanjutnya untuk penataan wilayah Desa akan dikaji variasinya saja terhadap penyaluran ADD.

ADD yaitu suatu alokasi dana yang diambilkan dari dana perimbangan dikurangi belanja pegawai dan minimal 10 persen dipergunakan untuk desa. Tujuan disalurkannya ADD antara lain adalah untuk menanggulangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan, pemberdayaan masyarakat, meningkatkan pembangunan infrastruktur perdesaan, meningkatkan pelayanan pada masyarakat desa dalam rangka pengembangan kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat serta mendorong peningkatan keswadayaan dan gotong royong masyarakat. Memperhatikan tujuan ini, dapat diketahui bahwa penyaluran ADD di era desentralisasi fiskal saat ini sangat penting bagi pemerintahan desa dalam mendorong kemajuan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Bahkan fakta empiris membuktikan bahwa hampir sebagian besar pemerintah desa mengandalkan ADD dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.

(30)

ketentuan, seperti: DAU-Belanja Pegawai, persentasenya kurang dari 10 persen, pelaksanaannya diatur secara rigid oleh Pemerintah Daerah, dan sebagainya.

Memperhatikan permasalahan di atas, pengaturan ADD yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa adalah sangat tepat. Disamping untuk meningkatkan ”status” pengaturannya dari Peraturan Pemerintah ke Undang-Undang, tentu saja hal ini akan meningkatkan efektifitas pelaksanaan ADD. Persoalannya sekarang, penyaluran ADD yang efektif baru berjalan 5 tahun ini belum dievaluasi dengan metoda ilmiah mengenai dampaknya terhadap perekonomian daerah termasuk dalam penurunan penduduk miskin. Evaluasi ini sangat penting dilakukan, karena berbagai alasan. Pertama, untuk mengetahui dampak ADD dalam mengentaskan kemiskinan dan perekonomian daerah. Kedua, sebagai bahan masukan penyempurnaan substansi ADD dalam RUU Desa dalam rangka untuk mewujudkan komitmen pemerintah yang selalu pro job, pro poor, dan pro environment.

(31)

1.2. Perumusan Masalah

Perubahan sistem penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dari yang bersifat sentralistis ke sistem yang bersifat desentralistis diharapkan akan semakin mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah Daerah diharapkan akan lebih mampu untuk mengakomodir berbagai kepentingan lokal baik dalam urusan pemerintahan, pembangunan maupun pemberdayaan masyarakat yang ada di wilayahnya. Pemerintah Daerah dengan fungsi otorisasi dalam pengelolaan anggaran, diharapkan akan lebih baik dalam melakukan perencanaan, pengawasan, pengalokasian, pendistribusian serta dalam menjaga stabilisasi dan pertumbuhan perekonomian yang ada di wilayahnya.

(32)

Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan di Indonesia, Tahun 1976-2004

Tahun Garis Kemiskinan

Rp/kapita/bln Penduduk di bawah garis Kemiskinan Jumlah (Juta) Persentase (%) Kota Desa Kota Desa K+D Kota Desa K+D 1976 4.522 2.849 10.0 44.2 54.2 38.8 40.4 40.1 1978 4.969 2.981 8.3 38.9 47.2 30.8 33.4 33.3 1980 6.831 4.449 9.5 32.8 42.3 29.0 28.4 28.6 1981 9.777 5.877 9.3 31.3 40.6 28.1 26.5 26.9 1984 13.731 7.746 9.3 25.7 35.0 23.1 21.2 21.6 1987 17.381 10.294 9.7 20.3 30.0 20.1 16.1 17.4 1990 20.614 13.295 9.4 17.8 27.2 16.8 14.3 15.1 1993 27.905 18.244 8.7 17.2 25.9 13.5 13.8 13.7 1996 38.246 27.413 7.2 15.3 22.5 9.7 12.3 11.3 1999 92.409 74.272 15.7 32.7 48.4 19.5 26.1 23.5 2001 100.110 80.382 8.6 29.3 38.7 9.8 24.8 18.4 2004 143.455 108.725 11.4 24.8 37.9 14.5 21.1 18.2 Sumber: Arifin, 2005 (diolah)

(33)

pegawai minimal 10 persen untuk desa atau ADD = (DP-PLBPG)*0.10). Secara jelas hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: Ditjen PMD, 2005-2009 (diolah)

Gambar 1. Perbandingan ADD Riil dan ADD Seharusnya Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 72/2005 tentang Desa

(34)

Pertanyaannya selanjutnya sekarang bagaimana untuk menjawab semua pertanyaan di atas, kalau kebijakan penyaluran ADD sampai saat ini belum pernah dievaluasi secara komprehensif dengan menggunakan metode ilmiah. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada berbagai permasalahan di atas, dengan maksud agar pengaturan mengenai penyaluran ADD ke depan dapat lebih optimal untuk mendorong kinerja fiskal dan perekonomian daerah, termasuk dalam menurunkan jumlah penduduk miskin dan kesenjangan antar daerah.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1.Tujuan Umum

Meneliti dampak alokasi dana desa (ADD) di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia.

1.3.2.Tujuan Khusus

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja fiskal daerah dan kinerja perekonomian daerah dalam hubungannya dengan kebijakan alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal

2. Mengevaluasi dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap kinerja fiskal daerah, kinerja perekonomian daerah, dan upaya mengurangi kemiskinan serta kesenjangan antar daerah dari tahun 2007-2009

3. Merumuskan rekomendasi alternatif kebijakan yang dapat digunakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengenai kebijakan alokasi dana desa dalam mendorong kinerja fiskal daerah, kinerja perekonomian daerah dan upaya mengurangi kemiskinan serta kesenjangan antar daerah.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pemerintah dapat dijadikan salah satu bahan pertimbangan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya, khususnya pengaturan mengenai alokasi dana desa dan penataan wilayah desa. 2. Bagi Pemerintah Daerah dapat dijadikan bahan pertimbangan pengaturan

(35)

3. Sebagai bahan pertimbangan untuk akselerasi pencapaian tujuan nasional dan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah.

4. Bagi para perencana pembangunan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun rencana strategis pembangunan nasional, daerah dan desa dalam mengembangkan perekonomian nasional, daerah dan desa.

5. Mendorong semangat para penyelenggara Pemerintahan untuk semakin menyadari bahwa desa sebagai sebuah “sub sistem” mempunyai peranan yang sangat penting dalam mendorong keberhasilan penyelenggaraan “sistem” pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat baik nasional, regional maupun lokal.

6. Bagi mahasiswa dan peneliti diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai bahan rujukan maupun perbandingan dalam menganalisis berbagai permasalahan di era desentralisasi fiskal dalam hubungannya dengan peningkatan perekonomian desa.

1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah di Indonesia menjadi topik utama penelitian. Penelitian ini ruang lingkupnya difokuskan pada dampak ADD terhadap kinerja fiskal dan perekonomian daerah dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Penetapan tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 ini dikarenakan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang ADD baru ditetapkan pada tahun 2005, yaitu dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Selanjutnya karena keterbatasan dalam pengumpulan data, seperti data alokasi dana desa, jumlah desa dan pengeluaran menurut sektor maka data yang dianalisis hanya dibatasi sampai dengan tahun 2009.

Simulasi dibatasi dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009, karena berdasarkan data yang ada untuk tahun 2005 belum ada daerah yang melaksanakan alokasi dana desa sedangkan untuk tahun 2006 masih sangat sedikit sekali daerah yang sudah melaksanakan. Sebagai ”langkah awal” untuk memahami mengenai arti penting alokasi dana desa dalam penyelenggaraan pembangunan desa, daerah dan nasional, penelitian ini penting untuk segera dilakukan walaupun mengalami keterbatasan cakupan, skala anggaran serta efektifitas kebijakan yang baru berjalan.

(36)

umum, bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak. Sedangkan dari sisi pengeluaran daerah, akan dianalisis tentang belanja pembangunan sektor Pertanian, belanja pembangunan sektor industri, belanja pembangunan sektor infrastruktur serta penyaluran bantuan dari dana perimbangan untuk Desa dari Kabupaten/Kota yang diagregasi ditiap-tiap Provinsi atau yang lebih dikenal dengan alokasi dana desa (ADD). Dari sisi perekonomian daerah hanya diteliti mengenai produk domestik regional bruto sektor pertanian, produk domestik regional bruto sektor non pertanian, produk domestik regional bruto, produk domestik regional bruto per kapita, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja sektor non pertanian, kemiskinan di perkotaan, kemiskinan di perdesaaan dan kesenjangan antar daerah.

Dibatasi pada model ekonomi tertutup karena ketiadaan data ekspor impor di setiap Provinsi. Dampak alokasi dana desa di era desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah menurut Provinsi di Indonesia, sehingga pengklasifikasian Tipologi Klasennya berdasarkan Provinsi sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melakukan analisis secara lebih mendalam. Selanjutnya simulasi dibatasi pada dampak diberikannya alokasi dana desa secara nasional dan menurut pengelompokan Tipologi Klassen.

(37)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Desentralisasi

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Muluk, 2007). Dengan kata lain dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia di era otonomi daerah ini tidak mungkin ada daerah yang bersifat staat, tetapi yang ada adalah hubungan hukum antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Desentralisasi adalah azas penyelenggaraan pemerintahan yang dipertentangkan dengan sentralisasi. Desentralisasi menghasilkan pemerintahan lokal (local government), dimana terjadi “….a “superior”government assigns responsibility, authority, or function to “lower” government unit that is assumed to have some degree

of authority”. Selanjutnya World Bank mendefinisikan Desentralisasi sebagai transfer kewenangan dan tanggungjawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintahan menengah dan lokal atau organisasi pemerintahan quasi-independent dan atau kepada sektor swasta (Green, 2002).

Azas Desentralisasi dianut agar kebijaksanaan pemerintah tepat sasaran, dalam arti sesuai dengan kondisi wilayah serta masyarakat setempat (Imawan, 2002). Selanjutnya menurut Imawan (2002), bentuk konkret dianutnya azas desentralisasi adalah adanya daerah otonom. Ciri utama dari daerah Otonom adanya lembaga perwakilan daerah dan eksekutif yang berfungsi sebagai lembaga politik lokal.

Menurut Kaho (1988), sistem desentralisasi memiliki keuntungan dan kelemahan. Keuntungannya antara lain adalah:

1. Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di Pusat Pemerintahan

2. Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, Daerah tidak perlu menunggu instruksi lagi dari Pemerintah Pusat. 3. Dapat mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk karena setiap keputusan dapat

(38)

4. Dalam sistem desentralisasi, dapat diadakan pembedaan (differensiasi) dan pengkhususan (spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi territorial, dapat lebih mudah menyesuaikan diri kepada kebutuhan atau keperluan dan kedaan khusus daerah.

5. Dengan adanya desentralisasi territorial, Daerah Otonom dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh Negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat diterapkan di seluruh wilayah Negara, sedangkan yang kurang baik, dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih mudah untuk ditiadakan.

6. Mengurangi kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.

7. Dari segi psikologis, desentralisasi dapat lebih memberikan kepuasan bagi daerah-daerah karena sifatnya yang lebih langsung.

Sedangkan kelemahan sistem desentralisasi antara lain adalah:

1. Karena besarnya organ-organ pemerintahan, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks yang mempersulit koordinasi;

2. Keseimbangan dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan Daerah dapat lebih mudah terganggu;

3. Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau provisilisme;

4. Keputusan yang diambil memerlukan waktu yang lama karena memerlukan perundingan yang bertele-tele;

5. Dalam menyelenggarakan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh keseragaman/uniformitas dan kesederhanaan.

(39)

Penyelenggaraan pemerintahan akan semakin dekat dengan masyarakat, karena berbagai kebutuhan masyarakat akan lebih terakomodir dan disesuaikan dengan kebutuhan daerah setempat. Memperhatikan hal ini era desentralisasi seharusnya membawa Pemerintah dan Pemerintah Daerah lebih dekat dengan masyarakatnya dan akan membawa peningkatan kualitas pelayanan publik.

2.2. Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi terjadi dalam berbagai bidang, tidak hanya dibidang politik namun juga terjadi dibidang ekonomi atau yang lebih dikenal dengan nama desentralisasi fiskal. Menurut Kumorotomo (2008) desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai penyerahan sebagian dari tanggungjawab fiskal atau keuangan negara dari pemerintah pusat kepada jenjang pemerintahan di bawahnya (provinsi, kabupaten atau kota). Dengan demikian gagasan dasar dari desentralisasi fiskal ialah penyerahan beban tugas pembangunan, penyediaan layanan publik dan sumberdaya keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah sehingga tugas-tugas itu akan lebih dekat ke masyarakat. Dalam melaksanakan desentralisasi fiskal, prinsip money should follow function merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan (Bahl, 1999). Selain itu di era desentralisasi fiskal harus pula mempertimbangkan terjadinya instabilitas ekonomi makro di daerah (Sumarsono dan Utomo, 2009).

Dari pemahaman di atas jelas bahwa desentralisasi fiskal memegang peranan yang sangat penting di era otonomi daerah. Oleh karena itu menurut Bahl (1999), ada 3 (tiga) argumentasi penting yang harus diperhatikan di era desentralisasi fiskal. Pertama, jika unsur-unsur belanja, tingkat pajak dan pinjaman ditentukan pada jenjang pemerintahan yang lebih dekat ke masyarakat, layanan publik di daerah memang akan dapat diperbaiki dan seharusnya masyarakat akan lebih puas dengan layanan yang diberikan pemerintah daerah, oleh karena itu perlu ada pengawasan dari Pemerintah Pusat. Kedua, dengan desentralisasi fiskal dan fleksibilitas kebutuhan pemerintah daerah akan dapat saling bersaing untuk melakukan yang terbaik bagi rakyatnya yang akhirnya akan mempengaruhi stabilitas secara keseluruhan. Dalam memobilisasi sumberdaya. akan bertambah baik karena pihak pemerintah daerah dapat lebih tanggap dan mudah menarik pajak dari sektor-sektor ekonomi yang tumbuh cepat jika dibanding pemerintah pusat.

(40)

Dengan pemberian tanggungjawab dalam pengelolaan keuangan yang lebih besar diharapkan mobilisasi sumberdaya akan dapat dilakukan dengan lebih baik. Bahkan seharusnya desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena pemerintah sub nasional/pemerintah daerah akan lebih efisien dalam berproduksi dan penyediaan barang-barang publik (Oates, 2006; Pujiati, 2006; Wibowo, 2008).

Menurut Bird (2000), ada 3 (tiga) variasi desentralisasi fiskal dalam kaitannya dengan derajat kemandirian pengambilan keputusan yang dilakukan daerah. Pertama, desentralisasi berarti pelepasan tanggungjawab yang berada dalam lingkungan pemerintah pusat ke instansi vertikal di daerah atau ke pemerintah daerah. Kedua, delegasi berhubungan dengan suatu situasi, yaitu daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu atas nama pemerintah. Ketiga, devolusi (pelimpahan) berhubungan dengan suatu situasi yang bukan saja implementasi tetapi juga kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan berada di daerah. Selanjutnya menurut Bird (2000), pendekatan desentralisasi dapat dibedakan dari bawah ke atas (bottom up) dan dari atas ke bawah (top down). Pendekatan desentralisasi dari bawah ke atas umumnya menekankan nilai politis, misalnya perbaikan pemerintahan dalam kaitannya dengan kemauan menerima saran dan partisipasi politik lokal dan efisiensi alokasi dalam arti perbaikan kesejahteraan.Dengan demikian dari pendekatan dari bawah ke atas ini, desentralisasi fiskal tidak hanya menghasilkan pengadaan pelayanan yang efisien dan adil melalui pemanfaatan pengetahuan lokal tetapi juga akan merangsang partisipasi demokrasi yang lebih besar. Sedangkan pendekatan dari atas ke bawah dasar pemikirannya adalah untuk meringankan beban pusat ke bawah. Langkah ini ditempuh dalam rangka untuk mencapai tujuan alokasi yang lebih efisien melalui pendelegasian atau desentralisasi kewenangan ke daerah. Dengan demikian dari sudut pandang pendekatan dari atas ke bawah sebenarnya tujuan dilakukannya desentralisasi fiskal adalah untuk membantu Pemerintah dalam rangka mencapai tujuan kebijaksanaan nasional.

(41)

mengendalikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Dengan demikian desentralisasi fiskal akan semakin memberikan manfaat apabila ada kemampuan finansial daerah otonom yang bersangkutan. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa sumber penerimaan pemerintah daerah dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah: pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), pinjaman daerah dan lain-lain penerimaan yang sah. Desentralisasi fiskal seharusnya juga memberikan harapan dan manfaat seperti perbaikan pelayanan umum, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pengentasan orang miskin, manajemen ekonomi makro yang lebih baik serta sistem tata pemerintahan (governance) yang baik (Kumorotomo, 2008). Menurut Sasana (2009), Desentralisasi fiskal diperlukan untuk perbaikan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Dengan kata lain, penyaluran otonomi daerah melalui desentralisasi fiskal terkandung 3 (tiga) misi utama, yaitu (a) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumberdaya daerah; (b) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat; (c) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisipasi) dalam proses pembangunan.

2.3. Sumber Penerimaan Daerah

(42)

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Menurut Salvatore dan Diulio (2003), pajak akan mengurangi pendapatan disposabel perorangan dan karenanya juga mengurangi konsumsi dan pengeluaran agregat, sementara belanja pemerintah meningkatkan pengeluaran agregat. Kenaikan penerimaan pajak lump-sum neto, ceteris paribus, akan menggeser kurva pengeluaran agregat ke bawah menjadi (C+I+Xn+G)’, karena pajak yang lebih besar mengurangi pendapatan disposabel konsumen dan karenanya juga akan mengurangi pengeluaran konsumen pada setiap tingkat output. Sebaliknya belanja pemerintah, ceteris paribus, menggeser kurva pengeluaran agregat ke atas menjadi (C+I+Xn+G)”. Selanjutnya pengaruh belanja pemerintah dan pajak yang dipungut pemerintah terhadap pengeluaran agregat ditunjukkan pada Gambar 2 dibawah ini dalam bentuk pergeseran kurva pengeluaran agregat (C+I+Xn+G):

C, I, Xn, G

(C+I+Xn+G)” (C+I+Xn+G) (C+I+Xn+G)’

450

0 Y

Sumber: Salvatore dan Diulio, 2003

Gambar 2. Pengaruh Belanja Pemerintah dan Pajak Terhadap Pengeluaran Agregat

(43)

hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Sedangkan dalam Pasal 108 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 disebutkan bahwa terdapat 3 obyek retribusi, yaitu : jasa umum, jasa usaha dan perizinan tertentu. Obyek retribusi jasa umum terdiri dari 14 jenis retribusi, yaitu retribusi pelayanan kesehatan, pelayanan persampahan/kebersihan, penggantian biaya cetak kartu tanda penduduk dan akta catatan sipil, pelayanan pemakaman dan pengabuan mayat, pelayanan parkir di tepi jalan umum, pelayanan pasar, pengujian kendaraan bermotor, pemeriksaan alat pemadam kebakaran, penggantian biaya cetak Peta, penyediaan dan/atau penyedotan kakus, pengolahan limbah cair, retribusi pelayanan tera/tera ulang, pelayanan pendidikan dan pengendalian menara telekomunikasi. Dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, yang dikelompokkan dalam obyek retribusi jasa usaha ada 11 jenis retribusi, yaitu: pemakaian kekayaan daerah, pasar grosir dan/atau pertokoan, tempat pelelangan,terminal,tempat khusus parkir, tempat penginapan /pesanggrahan/ villa, rumah potong hewan, pelayanan kepelabuhan, tempat rekreasi dan olahraga, penyeberangan di Air dan penjualan produksi usaha daerah.Sedangkan Dalam Pasal 141 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, disebutkan bahwa obyek retribusi perizinan tertentu terdiri dari 5 jenis retribusi, yaitu retribusi: izin mendirikan bangunan, tempat penjualan minuman berakhohol, izin gangguan, izin trayek dan izin usaha perikanan. Selanjutnya yang dimaksud dengan lain-lain PAD yang sah meliputi: hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.

(44)

Dana Bagi Hasil dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dibagi antara daerah Provinsi, daerah Kabupaten/Kota dan Pemerintah. Selanjutnya dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 diatur bahwa Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian: (a) 16,2 persen untuk daerah provinsi yang bersangkutan; (b) 64,8 persen untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; dan (c) 9% untuk biaya pemungutan. Selanjutnya 10 persen bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan 65 persen dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota dan 35 persen dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. Dana bagi hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80 persen dengan rincian 16 persen untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan 64 persen untuk daerah kabupaten/kota penghasil. Sedangkan 20 persen bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh Kabupaten/Kota. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang PPh, mulai tahun anggaran 2001 daerah memperoleh bagi hasil dari pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax).

Menurut Sidik (2002), maksud ditetapkannya PPh perorangan sebagai objek bagi hasil adalah untuk kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki Sumberdaya alam tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara (APBN). Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21yang merupakan bagian daerah adalah 20 persen. Dimana dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21 dibagi dengan imbangan 60 persen untuk Kabupaten/Kota dan 40 persen untuk Provinsi.

2.4. Dana Alokasi Umum

(45)

umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK). Secara konseptual, DAU sebenarnya merupakan bentuk lain dari subsidi daerah otonom (SDO) dan dana Inpres sebelum era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, ditetapkan bahwa jumlah keseluruhan DAU kurang lebih adalah 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto (penerimaan negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan penerimaan negara yang dibagi hasilkan kepada daerah) yang ditetapkan dalam APBN. Dengan adanya dana alokasi umum (DAU), bagi daerah hal ini merupakan sumber pendapatan untuk membiayai kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggungjawabnya. DAU ditentukan dengan menggunakan pendekatan celah fiskal (fiscal gap), dimana kebutuhan DAU suatu Daerah ditentukan atas kebutuhan daerah (fiscal needs) dengan potensi daerah atau kemampuan fiskal (fiscal capacity).

Kebutuhan daerah (fiscal needs) suatu daerah antara lain dipengaruhi oleh variabel: jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, total area dan kondisi geografis. Suatu daerah akan mendapatkan DAU dalam jumlah yang besar apabila daerah tersebut memiliki jumlah penduduk yang besar, jumlah penduduk miskin yang banyak, total area yang luas serta kondisi geografis yang sulit. Dalam perhitungan, jumlah penduduk dan luas wilayah dapat diketahui dengan pasti, selanjutnya untuk jumlah penduduk miskin pendekatannya menggunakan konsep kemiskinan dengan ukuran poverty line, sedangkan untuk kondisi geografis didekati dengan indeks konstruksi.

(46)

potensi daerahnya melebihi kebutuhan daerahnya, dapat dipastikan hitungan DAUnya akan negatif (Sidik, 2002).

Secara lebih jelas dapat dikemukakan bahwa DAU untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal diperoleh dari kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal. Dimana yang dimaksud dengan kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum, seperti penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan infrastruktur dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum tersebut diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk regional bruto per kapita dan indeks pembangunan manusia. Arti penting dari variabel jumlah penduduk ini karena merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah. Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. Indeks kemahalan konstruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar daerah.

(47)

2.5. Pengeluaran oleh Pemerintah

Keynes dalam tulisannya yang berjudul The General Theory (dalam Mankiw, 2006) menyatakan bahwa dalam jangka pendek pendapatan total perekonomian sangat ditentukan oleh keinginan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Selanjutnya menurut Mankiw (2006), karena belanja pemerintah adalah salah satu komponen pengeluaran, maka belanja pemerintah yang lebih tinggi mengakibatkan pengeluaran yang direncanakan yang lebih tinggi untuk semua tingkat pendapatan. Jika belanja pemerintah naik sebesar ∆G, maka kurva pengeluaran yang direncanakan bergeser ke atas sebesar ∆G, sehingga ekuilibrium bergerak dari titik A ke titik B dan pendapatan meningkat dari Y1 ke Y2. Secara lebih jelas hal ini dapat diperhatikan pada Gambar 3 dibawah ini:

Pengeluaran, E

Pengeluaran Aktual

B Pengeluaran yg direncanakan

E2=Y2 ∆G

∆Y Pengeluaran yg direncanakan

E1=Y1 A

45o

Y1 ∆Y Y2 Pendapatan, Output, Y

Sumber: Mankiw, 2006

Gambar 3. Hubungan Kenaikan Belanja Pemerintah Dengan Pengeluaran yang di Rencanakan

(48)

Pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah dapat dibedakan antara pengeluaran konsumsi pemerintah yang biasa disebut pengeluaran pemerintah atau government expenditure atau government purchase serta pengeluaran pemerintah yang disebut government transfer. Government expenditure meliputi semua pengeluaran pemerintah dimana pemerintah secara langsung menerima balas jasanya, seperti pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang/jasa serta pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai negeri. Sedangkan pengeluaran pemerintah yang termasuk government transfer adalah semua pengeluaran pemerintah dimana pemerintah tidak menerima balas jasa yang langsung misalnya, pembayaran subsidi/bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat (Boediono, 1997; Reksoprayitno, 1992).

(49)

pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Selanjutnya berdasarkan pengamatan Wagner di negara Eropa, U.S. dan Jepang pada abad 19, dikemukakan bahwa pengeluaran pemerintah semakin besar dalam persentase terhadap GNP. Pengeluaran pemerintah yang semakin besar ini menurut Wagner dikarenakan pemerintah harus mengatur hubungan yang timbul dalam masyarakat, hukum pendidikan, rekreasi, kebudayaan dan sebagainya. Hukum Wagner ini lebih banyak didasarkan pada teori organis pemerintah (organic theory of the state) dan teori ini dapat diformulasikan sebagai berikut:

PPK1 PkPP1

< PPK2 PkPP2

< PPKn PkPPn

dimana:

PkPP1 : Pengeluaran Pemerintah Per Kapita PPK : Pendapatan per kapita

1,2,...n : Jangka waktu

Secara lebih jelas hal ini ditunjukkan pada Gambar 4 :

PkPP Kurva1 PPK

Kurva 2

0 1 2 3 4

Tahun

Sumber: Mangkoesoebroto, 1998 Gambar 4. Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah Menurut Wagner

(50)

Menurut Mangkoesubroto (1998), teori Peacock dan Wiseman mengemukakan adanya kenyataannya kecenderungan yang dilakukan oleh pemerintah untuk semakin memperbesar pengeluaran pemerintah sedangkan masyarakat ada kecenderungan untuk enggan membayar pajak, sedangkan besarnya pengeluaran pemerintah sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan pemerintah. Apabila keadaan normal terganggu, misanya karena terjadi perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk memenuhi pengeluarannya tersebut adalah meningkatkan penerimaannya dari pajak dengan cara meningkatkan tarif pajak. Akibatnya dana swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (displacement effect), yaitu adanya suatu gangguan sosial yang menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah. Selain dengan menaikkan tarif pajak, untuk membiayai perang pemerintah terkadang juga harus meminjam dari negara lain. Akibatnya ketika perang telah selesai pemerintah tidak menurunkan tarif pajak pada tingkat sebelum terjadi perang, karena pemerintah harus membayar bunga pinjaman dan angsuran utang yang telah dipergunakan untuk membiayai perang. Dengan kata lain setelah terjadi perang pengeluaran pemerintah menjadi meningkat dan banyak aktivitas yang baru setelah terjadinya perang dan ini disebut dengan efek inspeksi (inspection effect). Bahkan dengan adanya perang atau gangguan sosial yang lain, menyebabkan berpindahnya konsentrasi kegiatan yang sebelum gangguan sosial dilaksanakan oleh pihak swasta berpindah ke pihak pemerintah. Hal ini disebut dengan efek konsentrasi (concentration effect).

(51)

pemerintah harus menyediakan dana untuk membayar utang dan bunga pinjaman. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada pada Gambar 5.

Pengeluaran Pemerintah/GDP

F

D C

G pengeluaran pemerintah

A

Pengeluaran swasta

t t+1

Sumber: Mangkoesoebroto, 1998 Gambar 5. Teori Peacock dan Wiseman

Berdasarkan teori di atas, diketahui kalau menurut Wagner perkembangan pengeluaran pemerintah berbentuk garis eksponensial sedang menurut Peacock dan Wiseman, berbentuk seperti tangga. Secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 6.

Pengeluaran Pemerintah/GDP

Wagner, Solow,

Musgrave

Peacock dan Wiseman

0 Tahun

Sumber: Mangkoesoebroto, 1998

(52)

2.6. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang (Boediono, 1992). Artinya dalam pertumbuhan ekonomi penekanannya pada 3 aspek utama yaitu: proses, output perkapita dan jangka panjang. Pertumbuhan output sendiri didapat melalui peningkatan input dan melalui peningkatan produktivitas dan melalui perkembangan teknologi. Menurut ekonom Solow dari MIT, fungsi produksi dapat dikatakan sebagai cara berpikir tentang hubungan input dan output. Diasumsikan bahwa dalam fungsi produksi yang akan dipakai adalah labor (L), kapital (K) dan kemajuan tekhnologi (A). Ini adalah input yang paling penting menurut Solow. Selanjutnya, semakin tinggi level teknologi maka akan semakin banyak output yang dihasilkan. Jadi pertumbuhan output dipengaruhi oleh input dan level dari teknologi. Secara ringkas dapat diformulasikan, Y= AF (K,L). Dalam model ini, suatu fungsi produksi bisa menampung berbagai kemungkinan substitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L). Dengan model Solow ini, masalah “ketidakstabilan” yang merupakan ciri warranted rate of growth dalam model Harrod-Domar dapat dihindari dan bahkan dapat digunakan untuk mengambil kesimpulan mengenai distibusi pendapatan dalam proses pertumbuhan.

Labor merupakan sumber daya manusia yaitu Human Capital (HC) yang produktif karena dapat menghasilkan produksi. Human Capital (HC) terbagi berdasarkan sifatnya produktif atau tidak. Produktif dalam arti menghasilkan sesuatu sedangkan tidak produktif sifatnya adalah mengkonsumsi sesuatu. Jadi HC itu ada yang berfungsi sebagai konsumen, adapula sebagai produsen. Semua HC tersebut menjadi faktor yang sama-sama mempengaruhi peningkatan PDRB. Konsumsi HC terhadap produk daerah akan memberikan pendapatan bagi industri daerah tersebut sehingga outputpun meningkat. Karena sifat dari HC ini meningkatkan pertumbuhan ekonomi, maka faktor ini dapat dimasukkan menjadi salah satu variabel independent yang mempengaruhi PDRB suatu daerah. Sehingga persamaannya menjadi; Y = A F(K,L,HC)

(53)

Selanjutnya menurut beberapa ahli, model pertumbuhan ekonomi yang dianut Indonesia adalah model pertumbuhan ekonomi yang menitik beratkan pada stimulasi peningkatan pendapatan masyarakat melalui percepatan pertumbuhan sektor-sektor ekonomi yang efisien dan dinamis tanpa memperhatikan dampak negatif yang terjadi terhadap masyarakat luas seperti terkurasnya sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan. Memperhatikan hal ini maka perlu adanya perencanaan pembangunan yang tepat dan memperhatikan daya dukung lingkungannya (Hadi, 2005). Kuznet (1955) sebenarnya sudah mempersoalkan pembangunan ekonomi yang menitik beratkan kepada pertumbuhan ekonomi, tetapi melupakan persoalan meluasnya kemiskinan, ketidak merataan dan meningkatnya pengangguran. Oleh karena itu tujuan dari pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan yang setinggi-tingginya, harus pula dapat mengurangi tingkat kemiskinan, kesenjangan pendapatan dan tingkat pengangguran (Todaro dan Smith, 2006; Sinaga, 2009).

2.7. Kemiskinan

Desentralisasi mempunyai hubungan yang erat dalam pengentasan kemiskinan. Oleh karena itu sistem desentralisasi sangat diperlukan dalam mempercepat pengentasan kemiskinan. Bahkan dengan sistem desentralisasi seharusnya dapat memberi ruang kepada penduduk miskin dengan meningkatan partisipasi yang lebih besar dalam proses politik dan pembangunan (Gunatilaka, 2001; Ahmad dan Tanzi, 2002),

Indonesia sebenarnya telah mampu menurunkan jumlah penduduk miskin dari kurang lebih 70 juta penduduk miskin atau sekitar 60 persen dari total penduduk pada tahun 1970 menjadi hanya 54,4 juta jiwa atau 40 persen dari total penduduk pada tahun 1976 dan turun kembali menjadi 27.2 juta atau 15.1 persen pada tahun 1990 dan menurun lagi menjadi 25.9 juta penduduk miskin atau 13.67 persen pada tahun 1993. Selanjutnya pada tahun 1996, jumlah penduduk miskin menurun kembali jumlahnya menjadi 22.4 juta jiwa. Namun jumlah penduduk miskin ini meningkat kembali pada tahun 1998 ketika Indonesia dilanda krisis ekonomi, yaitu sekitar 79.4 juta penduduk miskin (Kartasasmita, 1997; Sumodiningrat, 1998).

(54)

menurun kembali menjadi 30.02 juta orang (12.49%). Sedangkan pada Triwulan III tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun kembali menjadi 29.28 juta orang (12.36%) atau turun sekitar 0.13 juta orang dibandingkan pada bulan Maret 2011.

Apabila diperbandingkan antara jumlah penduduk miskin di perkotaan dan diperdesaan, dapat diketahui bahwa penduduk miskin di perkotaan dan perdesaan juga menurun. Penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang dari 11.05 juta orang pada bulan Maret 2011 menjadi 10.95 juta orang pada Triwulan III tahun 2011 atau berkurang 0.09 juta orang. Sedangkan untuk daerah perdesaan, pada bulan Maret 2011 jumlah penduduk miskin masih sebanyak 18.97 juta orang dan pada bulan September 2011 turun menjadi 18.94 juta orang atau turun 0.04 juta orang.

Kemiskinan dapat diukur dalam berbagai sudut pandang. Menurut Kartasasmita (1997), kemiskinan dapat dibedakan dalam kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk, yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup dan martabat kemanusiaan. Kemiskinan relatif, adalah perbandingan antara suatu golongan pendapatan dan golongan lainnya.

Menurut Sumodiningrat (1998), berdasarkan penyebabnya kemiskinan dapat dibedakan dalam 3 (tiga) pengertian, yaitu: kemiskinan natural (alamiah), kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan natural (alamiah) adalah keadaan kemiskinan yang disebabkan memang dari asalnya miskin, tidak mempunyai sumberdaya yang memadai, baik itu sumberdaya manusia, sumberdaya alam maupun sumberdaya pembangunan lainnya. Sedangkan kemiskinan kultural lebih banyak disebabkan oleh sikap hidup seseorang atau masyarakat, seperti gaya hidup, kebiasaan hidup maupun budayanya. Selanjutnya yang dimaksud kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebakan oleh hasil pembangunan yang tidak seimbang.

Gambar

Tabel 1. Jumlah Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan di Indonesia,
Gambar 6. Kurva Perkembangan Pengeluaran  Pemerintah
Gambar 8 sebagai berikut.
Gambar 9. Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Penyaluran ADD
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan perlu mempercepat dalam proses penetapan zonasi Ketiga, akses masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di dalam

SUMBA

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap ibu rumah tangga di Surabaya terhadap film kartun Spongebob Squarepants setelah membaca berita online

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan kelekatan sebagai ikatan emosional antara anak dengan orang terdekatnya dalam bentuk interaksi, komunikasi yang

BUYER Marketing CV Mugiharjo LIPPO BANK Bagian Produksi Barang Dikirim Dokumen Dikirim.. bagian produksi untuk mempersiapkan barang yang dipesan oleh buyer. Bagian

Untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini peneliti. akan menggunakan beberapa cara

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.. Peraturan Menteri Kesehatan No 75 Tahun

[r]