PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Penp :mbangan Sumberdaya Manusia (SDM) merupakan salah satu kunci utama
kesinambungan suatu pembangunan. Di masa-masa yang lalu orientasi pembangunan
pertanian lebih dilihat dari ukuran pembangunan ekonomi, dan masih kurang perhatian
dalam pembangunan sosial atau aspek manusianya. Sejak Pembangunan Jangka Panjang
Tahap
I1
di Indonesia mulai tarnpak lebih nyata adanya perhatian yang lebih serius tentang
pembangunan aspek sosial, pada saat inilah pengembangan sumberdaya manusia menjadi
perhatian.
Hal tersebut terlihat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Indonesia
1993 d~ 1998 yang tetap menempatkan pembangunan pertanian lebih diarahkan untuk
.
meningkatkan pendapatan petani, serta mengisi dan memperluas pasar, baik pasar dalam
negeri maupun pasar luar negeri, melalui pertanian yang maju, efisien dan "tangguh"
sehingga makin mampu meningkatkan hasil, mutu dan derajat pengolahan produksi, serta
menunjang pembangunan wilayah. Pembangunan pertanian tersebut mengarah pada
terpeliharanya kemantapan swasembada pangan, dan pe~ngkatan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat.
Penyuluhan pertanian mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam
pembangunan pertanian tersebut di masa lalu maupun di masa-masa yang akan datang,
karena mempunyai mandat menyelenggarakan pendidikan luar sekolah (non formal) bagi
petani terutama di pedesaan. Ciri-ciri pendidikan luar sekolah ini adalah (1) tidak ada
Dalam Undang-Undang Nomor
12Tahun
1992tentang budidaya pertanian pada
dasarnya dinyatakan bahwa dalam pembangunan pertanian perlu adanya keseimbangan
antara kekuatan petani dan pemerintah Petani mendapat kebebasan untuk mengusahakan
komoditas pertanian yang dinilai oleh petani paling menguntungkan. Meskipun telah
dinilai lebih sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, narnun, sampai sejauh ini
penerapannya masih jauh dari jiwa Undang-3ndang tersebut. Cala1.1 UnJang-Undang
tersebut juga secara tegas dicantumkan bahwa dalarn mengelola sumberdaya pertanian
hams berorientasi pada pelestarian lingkungan bagi kesejahteraan hidup manusia.
Hal ini berarti, arah dan tujuan pembangunan pertanian akan terwujud, bila mandat
yang diemban, penyuluhan pertanian sebagai penyelenggara pendidikan non formal bagi
petani dapat dilaksanakan secara konsisten dan Undang-Undang Nomor
12benar-benar
dijadikan pedoman dalam melaksanakan pembangunan pertanian, Disini kuncinya adalah
perlunya terwujud kualitas perilaku petani sedemikian rupa, sehingga petani dapat
mengambil keputusan secara tepat tentang macarn tindakan yang paling menguntungkan
dalam berusahatani dan meningkatkan kesejahteraan rumahtangganya. Kemampuan
seperti itu juga lebih menjamin terwujudnya partisipasi petani secara penuh dalam
pembangunan pertanian.
Crlobalisasi ekonomi sesuai kesepakatan yang dicapai negara-negara
APEC telah
semakin dekat
dan
globalisasi infonnasi yang telah berlangsung membawa pada semakin
terbukanya pola komunikasi petani terhadap "dunia luar" yang semakin intensif.
Mengingat ha1 ini, semakin mendesak penyuluhan pertanian segera menemukan dan
menerapkan strategi yang tepat untuk mampu mewujudkan kualitas petani yang tinggi
Menurut Margono Slamet (1995), perubal ;in dan kecenderungan yang terjadi
dalam "dunia pertanian" Indonesia dan perkembangan pesat di bidang-bidang pendidikan,
telekomunikasi, elektronika, media massa dan la'n-lainnya perlu diantisipasi dengan
strategi penyuluhan pertanian yang tepat. Penyul lhan hams bisa memberi pelayanan
pendidikan dan informasi yang bermutu bagi masyarakat petani agar mereka dengan
kelnampuannya sendiri dapat terus melakukan pembangunan pe,tanian secara
berkelanjutan. Penyuluhan bermutu dapat diwujudkan apabila lembaga penyuluhan
dikelola dengan prinsip-prinsip Manajemen Mutu Terpadu.
Mengingat tingkat
perkembangan yang berbeda antara berbagai daerah, menurut Margono Slarnet (1995)
diperlukan desentralisasi pernrograrnan penyuluhan yang ditunjang dengan desentralisasi
penelitian dan pengkajian teknologi pertanian yang lebih sesuai dengan ekosistem
masing-masing daerah.
,Hal
ini sejalan dengan
arah
kebijaksanaan pembangunan daerah
(GBHN, 1993) bahwa "peranan aktif masyarakat dalam pembangunan di Indonesia perlu
lebih dikembangkan melalui pelimpahan wewenang dan tanggungjawab kepada daerah
otonomi." Sejalan dengan ha1 ini secara konseptual telah dilaksanakan penyerahan Balai
Penyuluhan Pertanian (BPP) ke dalam wewenang Pemerintah Daerah.
Berkenaan dengan ha1 itu, yang dapat dinilai positif adalah kebijaksanaan
Departemen Pertanian melalui SK Mentan No 798/KptslQT.210/1U94 yang telah
mensyahkan terbentuknya organisasi tata kerja Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) dan Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP). Lembaga h i diharapkan akan
menjadi pendukung tersedianya inovasi tepatguna secara lokal
hi
tingkat daerah. Oleh
karena itu, harapan t m j u d n y a pertanian berkelanjutan lebih berpeluang makin dekat
t
mebut diharapkan dapat menghasilkan teknologi unggul, tepat guna dan spesifik lokal
sebagai inovasi
Bagaimana keterkaitan .yang sebaiknya terjadi antara kedua lembaga pengkajian
t
:rsebut sebagai penghasil teknologi tepat guna dengan lembaga pemerintah daerah lainnya
yang terkait, seperti BPP, maupun kelembagaan tradisional yang telah ada dan para petani
?
Tampaknya masih p e r l ~
ditemukan rumusan keterkaitan yang tepdefektif antara aspek
penelitian, penyuluhan, pengaturan, pelayanan dan pengguna
(users)
seperti petani dan
dunia usaha termasuk koperasi dan lembaga agribisnis lainnya.
Dalam menghadapi
open market
menjelang era globalisasi, Indonesia melalui
GBHN telah mengisyaratkan perlunya pembangunan pertanian yang menekankan
pengembangan kualitas sumberdaya manusia, sehingga mampu mandiri, memiliki daya
saing, daya tahan dan daya adaptasi terhadap potensi sumberdaya yaug ada dalam mengha-
dapi gejolak perubahan pasar. Berbagai isyarat lain juga telah tampak menyambut
fenomena tersebut, seperti menempatkan pola agribisnis sebsgai tumpuan dalam
pembangunan pertanian, serta mengarahkan pembangunan pertanian menuju
sustainable
development.
Isyarat itu juga tampak dari upaya pelembagaan
UU
No.
121
1992 yang
menekankan perlunya keseimbangan antara kekuatan petani dan pemerintah, pelestarian
lingkungan, dan kebebasan petani dalam mengembangkan usahatani yang paling
menguntungkannya atau jaminan penghasilan bila petani
hams
mengikuti anjuranl
kebijaksanaan atas pengembangan komoditi tertentu. Hal lain juga tampak dengan adanya
teknologi
(IPTEK)
dapat dilihat dari dikembangankannya BalailLoka Pengkajian
Teknologi dan pengelolaan BPP (BPP) oleh Pemerintah Daerah.
Disisi lain, pada saat ini ada kecenderungan telah terjadi perubahan pola
komunikasi, dari pola tradisional yang lebih tertutup dan bertumpu pada
interpersonal
communication
ke pola komunikasi modern yang lebih
impersonal,
terbuka dan
dipengaruhi oleh pola komunikasi massa. Sejalan dengan itu diduga- juga telah terjadi
peningkatan kuditas sumberdaya manusia (SDM) petani, namun dalam penanganannya
masih belum rnenyesuaikan dengan kondisi perubahan tersebut, sehingga hasilnya terjadi
ketidak-efektifan atau bahkan mungkin ketidak-efisienan dalam proses pengembangan
sumberdaya petani tersebut. Namun perlu disadari pula bahwa tingkat perubahan tersebilt
terbukti tidak merata antara daerah, dilihat dari segi prasarana, teknologi, produktivitas dan
kelembagaan (Jamie, 1995).
ITerkait sangat erat dengan aspek pengembangan kemandirian petani tersebut adalah
pengembangan sumberdaya manusia khususnya petani, dengan kelembagaan pendidikan
(non formal), sarana dan prasarana penunjang serta kualitas agen pembaharu yang
diharapkan untuk mampu mewxj~dhnnya. Penyuluhan merupakan tulang punggung
pengembangan kualitas sumberdaya petani tersebut.
Penelitian ini, sesuai dengan bidang ilmu peneliti
&an
dibatasi pada aspek
pendidikan non formal (penyuluhan) tersebut. Oleh karena itu, ditempatkan sebagai
masalah utama dalam kajian deduktif penelitian ini adalah
:Bagaimana mengembangkan
model atau sistem penyuluhan yang efektif mengembangkan kemandirian petani?
Sumberdaya penyuluh yang bagaimana yang diperlukan untuk itu
?
Bagaimanakah struktur
ideal
?;serta Bagaimana sebenarnya fbngsi dan peran penyuluhan yang ideal tersebut
?Pengertian ideal disini bertumpu pada
harapan
(ideal
me)
terwujudnya pembangunan
pertanian yang berkelanjutan; pada
I
ondisi yang dimaksud itu, petani dan sektor pertanian
pada umumnya, yaitu yang mampL menjawab tantangan pasar domestik maupun pasar
global.
Pada saat ini paradigma penyuluhan pertanian seharusnya tidak sama dengan ketika
penyuluhan pertanian mulai dibangun (Baharsjah, 1994). Alasannya, pendekatan terhadap
pembangunan pertanian pun telah berubah.
Sekarang perencana seharusnya tidak
berasumsi bahwa perencana berada pada posisi yang sama dengan pada awal masa
Pembangunan Jangka Panjang
(PJP)
I.
Oleh karena itu, yang mesti dibangun sebetulnya
adalah paradigma penyuluhan pertanian. Margono Slamet (1995) juga mengungkapkan hal
yang sejalan, bahwa pada saat ini telah terjadi perubahan perilaku pada petani, sehingga
petani menjadi lebih siap untuk senantiasa berusaha meraih inovasi dalam pembangunan
pertanian.
Hal ini agak berbeda dengan pendapat Salmon Padmanagma (1995), yang melihat
bahwa pada saat ini masih belum terjadi perubahan sikap pada
petani.
Perubahan ini tidak
terjadi disebabkan oleh tidak terjadinya perubahan sikap petugas (aparat) terhadap petani.
Petani dianggap sebagai hanya penerima inovasi yang dibawakan oIeh petugas. Akibatnya
petani menjadi pasif menunggu. Artinya, premis yang muncul pada tahun 1987 (Suwardi,
1987) tentang ha1 ini tampaknya masih berlaku.
Perbedaan pendapat ini perlu diteliti, benarkah penyuluh rnasih menganggap petani
Kepastian jawabannya menjadi kunci dalam penentuan strategi yang tepat dalam
penyuluhan pembangunan pertanian.
Menurut Baharsjah (1994), sebagai Menteri Pertanian (Mentan), menyatakan
bahwa sebagian besar petani sudah berada dalam suatu tahap bahwa mereka itu mempunyai
kemampuan yang cukup besar untuk mengambil keputusan yang tepat, menghadapi
sumberdaya yang ada padanya, menghadapi masalah teknologi
atau
menghadapi usd~anya
ke depan. Pada saat ini, kehidupan kelompok
tani
sudah mewarnai pola pertanian di
Indonesia, masihkah paradigma lama masih tetap digunakan
?
Baharsjah (Ekstensia,
Oktober 1994) menyatakan, "Saya khawatir kita masih menggunakan cara-cara dan
metodologi penyuluhan seolah-olah tidak terjadi perubahan pada masyarakat pertanian
kita."
Menurut Baharsjah (1994), ada dua hal yang sangat penting yang ingin dicapai dari
kegiatan penyuluhan.
Dua
hal itu, bukan menaikkan produksi, bukan untuk menggunakan
teknologi tertentu, atau mengikuti/taat pada suatu program yang dilancarkan oleh
pemerintah. Yang penting adalah mengubah perilaku petani, yang dengan perilaku itu
memungkinkan petani mampu melihat dengan baik sekali faktor-Wor yang harus
diperhatikannya kemana dia hams bergerak. Yang kedua adalah
petani
mampu mengambil
keputusan dengan tepat. Dalam ha1 ini, telah terlihat ada perkembangan yang menarik
bahwa di dalam kelompok petani yang telah mampu mengambil keputusan, juga ada
kemampuan masyarakat tani untuk membantu rekan-rekan para
petanilainnya (Baharsjah,
1994). Hal ini sejalan pula dengan hasil penelitian Marse dan Sumardjo (1994) yang
menunjukkan bahwa penerapan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT)
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, masalahnya adalah sampai si jauhmana
upaya-upaya intervensi pemerintah berupa penerapan PHT melalui pengembangan SLPHT
dan pembentukan lembaga pengkajian di tingkat daerah tersebut dapat dimanfa; tkan oleh
masyarakat petani secara optimal, serta mengarah pada upaya menemukan p :mecahan
permasalahan yang dihadapi petani dapat menjadi kenyataan
?Bagaimana
arah
pngembangan jaringan komrlnikasi yang lebih memungkinkan terjangkaunya upaya
intervensi dari
atastersebut oleh petani, sehingga tujuan-tujuan nasional, tercapai
bersamaan dengan terpenuhinya kepentingan petani meningkadran kesejahteraannya
melalui pengakuan atas eksistensi diri, keberadaannya dan meningkatnya pendapatannya
?
Tampaknya berdasarkan pengamatan dan hasil kajian deduktif jawaban
ataspertanyaan-pertanyaan tersebut adalah masih diperlukan pembenahan pengembangan
mekanisme informasi (jaringan komunikasi yang efektif), sehingga memungkinkan
terjadinya "link and match" antara kepentingan petani dengan kdemediaan teknologi dan
pengembangannya, dan kepentingan dari atas (nasional).
Di
tingkat operasional dinilai
perlu tersedia sumberdaya penyuluh yang berkualitas untuk mewujudkan kualitas petani
yang ti~ggi.
Tantangan utama bagi pembangunan pertanian (agrimltural development),
penelitian dan penyuluhar, adalah meningkatkan baik keberlanjutan (sustainabili~) dan
produktivitas sistem pertanian, maupun terjadinya peningkatan keefektifan pembiayaan.
Pertumbuhan penduduk dan peningkatan permintaan pasar internasional telah membawa
tekanan yang makin berat terhadap pelayanan pembangunan pertanian, yang meliputi
IPTEK )rang tepatguna (research) dan penyebarannya (dissemination) menjadi semakin
penting bagi pengembangan pertanian (IAC, 1998).
9unia pertanian pada saat ini dihadapkan pada tiga tantangan berikut
:pertama,
Era glo ~alisasi ekonomi, AFTAI NAFTA dan APEC semakin mendesak dan semakin
dekat. Ini berimplikasi pada penghapusan berbagai kemudahan-kernudahan yang selama
ini telah menjadi implementhi dalam pembangunan pertanian, seperti subsidi, proteksi
dan sejenisnya. Di sisi lain semakin gencar dan terbuka informasi, yang antara lain
menyebabkan berkembangnya desakan produk ekspor
dan
peningkatan selera konsumen,
baik domestik maupun global.
Kedua, sejalan dengan itu, telah mendorong tumbuhnya persaingan agibisnis yang
semakin ketat sejalan dengan perkembangan IPTEK yang semakin canggih. Hal ini telah
mendorong perlunya kemampuan untuk meraih dan menyaring derasnya arus informasil
inovasi bagi pelaku-pelaku bisnis pertanian yang dihadapkan pada tuntutan perlunya
kemampuan untuk mengembangkan pertanian berkelanjutan. Apabila pelaku bisnis
pertanian baik tingkat hulu maupun hilir tidak mampu menjawab dengan tepat tuntutan
ini, maka akan ada pihak-pihak yang tertindas dan menjadi korban perkembangan sistem
agribisnis yang sudah mendunia tersebut.
Kedua tantangan tersebut, telah mendorong semakin beratnya tantangan ketiga,
yaitu kebutuhan keluarga pelaku-pelaku usahatani (petani) berupa
:
tuntutan nafkah yang
semakin meningkat, tuntutan kemampuan mengembangkan manajeman usaha pertanian
(agribisnis) dan berbagai tuntutan lainnya seperti kemampuan meraih peluang dan
Ketiga tantangan tersebut telah semakin mendorong berkembangnya tuntutan
usahatani modern bagi petani khususnya sebagai pelaku sistem agribisnis hulu, yaitu
usahatani yang berwaw asan agribisnis. Usahat ani atau usaha pertanian yang modem
tersebut dinilai merupakan bentuk usaha pertanian yang dimaksud dengan pertanian
berkelanjutan, yaitu dengan ciri-ciri petani berperilaku modem, efisien dan berdaya saing
tinggi. Tu;;utan pengembangari us;hatmi atau usaha pertanian yang modern, inilah yang
hams dipersiapkan sebagai jawaban atas tuntutan era globalisasi ekonomi tersebut,
yaitu
pertanian berkelanjutan.
Masalah Penelitian
Berbagai tantangan 'dan tuntutan sebagaimana telah diuraikan tersebut,
berimplikasi
pada timbulnya masalah besar yang hams mampu dijawab dalam
pembangunan pertanian pa& saat ini dan dimasa dua dekade mendatang, bahkan
mungkin pada rnasa-rnasa berikutnya.
Sulit dibayangkan betapa darnpak buruk atau
bahaya yang terjadi apabila -petani tidak siap atau tidak mampu menjawab tantangan
tersebut, yaitu petani tertindas dan tersubordinasi serta te rjajah secara ekonomi di dalam
negerinya sendiri. Secara spesifik ada tiga masalah besar pada
saatini, yang dihadapi
oleh dunia ke tiga pada umumnya dan Indonesia khususnya, yaitu
:(1)
Sejauhmana kesiapan petani (kesiapan petani) menghadapi tuntutan dan tantangan
lingkungan yang berkembang di era globalisasi ekonomi tersebut
?
(2)
Faktor-faktor apa saja yang berperan penting dalam proses pengembangan kesiapan
petani menghadapi tuntutan di era globalisasi ekonomi tersebut, sehingga dapat
(3)
Bagaimana model (intervensi) penyuluhan yang tepat dan efektif bagi upaya
pengembangan kemandirian petani di era globalisasi tersebut
?(4)
Bagaimana kedinarnisan penyuluh berperan mengembangkan kemandirian petani
menghadapi era persaingan bebas yang makin ketat di era globalisasi ekonomi ini
?Penelitian ini berusaha memperoleh gambaran yang lebih pasti atas jawaban permasalahan
tersebut. Oleh karena
itu,
dalam penelitian ini melalui pendekatan deduktif telah
dirumuskan terlebih dahulu baik nunusan kualitas perilaku petani yang ideal
dan
kualitas
sumberdaya penyuluh yang memadai sebagai tolok
ukur
penelitian, maupun rumusan
h g s i dan peran penyuluhan yang ideal, agar dapat merumuskan
struktur
dan mekanisme
kelembagaan penyuluhan dan kelembagaan penunjang penyuluhan secara tepat dan jelas.
Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan
untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang pola pengembangan pertanian,
melalui
suatujaringan komunikasi dalam sistem penyuluhan yang efektif
Jaringan
komunikasi yang dimaksud disini adalah model penyuluhan pembangunan pertanian
menuju pembangunan berkelanjutan, yang memungkinkan terjadinya
interj4ace
antara
potensi lingkungan fisik, kepentingan petani dan kepentingan pernerintah.
Hal
ini hanya
dimungkinkan bila petani mempunyai kemampuan untuk mengambil keputusan sendiri
dalam merencanakan usahatani yang menguntungkannya berdaswkan potensi yang dapat
dijangkaunya dan peluang yang dapat dikenalinya.
Asumsi dasar dari penelitian ini adalah apabila jaringan komunikasi pembangunan
pertanian efektif, maka kemandirian petani akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
ekonomi dan teknologi) yang senantiasa berubah dan kebutuhan masyarakat yang juga
senantiasa meningkat, serta terjangkaunya sarana dan teknologi unggul yang tepat guna.
Jadi aspek manusia memegang peran utarna dalam pembangunan pertanian berkelanjutan,
di samping aspek lingkungan fisik dan sistem sosial yang ada.
Penghapusan berbagai bentuk implementasi pembangunan selama ini berupa
subsidi, proteksi dan sejenisnya perlu &ubah dengan bentul: intervecsi lain yang lebih
kondusif bagi pengembangan kemampuan petani. Petani hams menjadi mandiri untuk
mampu meraih berbagai peluang dan mengatasi ancaman yang ada, dengan
meningkatkan potensi yang dimilikinya dan menghilangkan kelernahan yang ada.
Sesuai dengan pembatasan bidang permasalahan yang ada, rnaka tujuan utama
penelitian ini adalah
(1)menemukan alternatif Model Penyuluhan Pembangunan Pertanian
untuk Pengembangan Kemandirian Petani dan, (2) Mencari Alternatif Pengembangan
IKedinamisan Penyuluh Pertanian yang tepat untuk tujuan pertama tersebut.
Memperhatikan berbagai tantangan, tuntutan $an berbagai permasalahan yang
berkembang tersebut, maka secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah
:(1)
Mengetahui tingkat kesiapan petani, berupa tingkat kernandirian petani dalam
menghadapi berbagai tantangan, tuntutan yang berkembailg menjelang dan di era
globalisasi ekonomi tersebut.
(2)
Memperoleh gambaran rumusan pola intervensi yang tepat untuk untuk
pengembangan kemandirian petani tersebut
J(4)
Mer! setahui tingkat kedinamisan penyuluh dalam proses pengembangan kemandirian
petani, sehingga dapat dirumuskan konsep pengembangan kedinamisan penyuluh
yang sesuai dengan upaya pengembangan kemandirian petani tersebut.
Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil-hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk merintis dasar penyusunan
konsep kemandirian petani dan pengukuran tingkat kemandirian petani pada saat ini.
Dari segi pragmatis, atas dasar pemahaman faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
kemandirian tersebut dapat dirumuskan konsep interversi yang tepat bagi pengembangan
kemandirian petani. Secara akademik diharapkan dapat merumuskan model intervensi
dalam bentuk model penyuluhan yang tepat bagi pembangunan pertanian pada
masyxakzt di dunia ke tiga dan secara praktis bagi implementasi penyuluhan di Jawa
Barat.
Hasil-hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat berguna untuk memberikan
dasar pertimbangan yang tepat dalam merumuskan suatu
arah
pembinaan atau
pengembangan sumberdaya penyuluh dalam upaya mewujudkan pembangunan pertanian
berkelanjutan khususnya di Jawa Barat pada masa mejelang era globalisasi
APEC
tahun
2020.
Di sarnping itu, juga memberikan rumusan model penyuluhan alternatif yang dapat
dipertimbangkan untuk diterapkan dalam sistem penyuluhan pembangunan pertanian di
Jawa Barat pada massa yang sama, serta menghasilkan rekomendasi tentang metoda
menemukan model penyuluhan yang tepat untuk suatu wilayah tertentu..
Pada giliranannya hasil-hasil penelitian ini dapat berguna untuk menjadi
pertimbangan dalam mengembangkan kualitas sumberdaya petani agar t e m j u d suatu
TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan Pembangunan di Indonesia
Banyak altc rnatif pemecahan masalah kemiskinan telah diterapkan tetapi masih
ditemukan ketidakefektifan di dalam pelaksanaannya, antara lain
:telah diperkenalkan
berbagai program di Indonesia. Di samping keberhasilannya,
tak
sedikit terdapat puia
kelemahan-kelemahan sehingga mengurangi efektivitas pencapaian tujuan program
pembangunan tersebut (Sumardjo, 1994; Rusli et
aZ.,
1995).
Kelemahan yang muncul, terutarna disebabkan oleh heterogenitas ciri masyarakat dan
keragaman permasalahan yang kurang menjadi perhatian perencana di tingkat Pusat, pada hal
sebenarnya memerlukan spesifikasi pula dalam pemecahannya.
Kelemahan lainnya,
bersumber dari pendekatan yang lebih bersifat top
down,
yang ternyata cenderung terjadi-
penyeragaman dalam penerapan berbagai program pembangunan pada hasyarakat yang
demikian majemuk. Akibatnya sulit dihindarkan timbulnya berbagai konflik kepentingan
yang bersumber pada ketidaksesuaian antira jenis program dengan potensi permasalahan
yang cenderung bersifat-spesifik tersebut. Pada gilirannya program yang tidak sesuai dengan
potensi dan permasalahan tersebut terasa kurang berdampak nyata dan kurang melembaga
pada kehidupan masyarakat.
Manakala model pembangunan yang diterapkan meletakkan pemerintah pusat sebagai
pemrakarsa, perencana dan pelaksana pembangunan seperti yang sudah terjadi, maka peranan
pemerintah daerah pada hakikatnya hanyalah terbatas sebagai fasilitator dari progradproyek
pembangunan. Model pembangunan seperti ini ternyata mengandung beberapa kelemahan.
Salah satu kelemahan utama adalah terjadinya ketidaksesuaian program atau proyek
16
Akibatnya pembangunan menjadi sangat mahal. Pada ha1 kesesuaian ini, menurut Soetrisno
(1995), merupakan suatu prasyarat akan terciptanya suatu pembangunan yang berkelanjutan.
Kelemahan lainnya yaitu terjadi penumpulan kreativitas pemerintah daerah dan aparatnya
dalam upaya mencari ide-ide atau strategi pembangunan alternatif yang dibutuhkan untuk
menunjang keberhasilan upaya pembangunan daerah mereka. Ke~ergantungan pemerintah
daerah dan aparatnya yang luar biasa besar terhadap petunjuk pelaksanaan proyek (Juklak)
dan petunjuk teknis (Juknis) yang dikeluarkan oleh Pusat untuk proyek pembangunan, telah
menyebabkan pelaksanaan proyek di daerah menjadi kaku. Pelaksana di daerah menjadi
lebih terfokus pada kesesuaian pelaksanaan proyek dengan Juklak clan Juknis
dari
pada
berusaha menyesuaikan progradproyek itu dengan permasalahan dan ptensi lingkungan
fisik, sosial dan budaya setempat.
Selama ini pendekatan program yang lebih bersifat "top down," di dalamnya 'lebih
banyak bertumpu pada pola komunikasi yang linier, yang berciri
searahdari sumber
("atas"1petugas pemerintah) ke penerima (petani). Pendekatan program seperti ini, padabatas
tertentu membawa hasil, ketika itu tingkat pendidikan dan pengetahuan petani tentang
berbagai informasi pembangunan masih relatif rendah. Kini tingkat pendidikan masyarakat
sudah jauh meningkat dan keterdedahan media massa, khusus~ya
elektronik telah menye-
babkan informasi tersebut dapat langsung sampai ke khalayak (masyarakat). Timbul dugaan
bahwa pendekatan "memaksa" pada masyarakat dengan tingkat komersialisasi perekonomian
yang sudah tinggi pada saat ini akan berdampak pada tingkat partisipasi yang rendah.
Makin terbukanya isolasi daerah sampai ke pelosok desa, ternyata membawa darnpak
langsung pada penetrasi uang ke pedesaan, yaitu masyarakat pedesaan ternyata tidak selalu
17
perekonomian tradisio la1 cenderung melemahkan ikatan solidaritas asli dari masyarakat
tradisional tersebut, sehingga nilai kegotong-royongan, keswadayaan yang lebih didasarkan
pada solidaritas sosial
..ang normatif telah mulai bergeser pada kecenderungan yang lebih
bersifat parnrih. Kehadiran proyek dalam proses pembangun an ke pedesaan tampaknya
mempercepat proses pergeseran nilai tersebut (Sumardjo,
1994).
Ikatan kelompok diduga
mengalami erosi atau setidaknya terjadi perubahan pola pijakan, dari semula yang berciri
gemeinschji yang lebih bersifat guyub, berangsur mengarah pada ciri gesselschajl yang lebih
bersifat pamrih.
Perencanaan program yang bersifat top dawn tersebut bila icurang didasarkan pada
identifikasi potensi dan permasalahan atau semacam pemetaan potensi dan permasalahan
wilayai~ pengembangan yang aktual dan realistis, telah menyebabkan rendahnya efektivitas
-
upaya pembangunan. Hal ini ternyata berdampak kurang menguntungkan b& golongan
lemah dan sebaliknya golongan ekonomi kuat atau lapisan atas (elire) masyarakat menjadi
lebih dapat meraih manfaat. Akibatnya, ketidakrnerataan makin meningkat, kemiskinan
meski secara kuantitatif relatif terjadi penurunan namun secara kualitatif makin tampak nyata
sejalan dengan terjadinya polarisasi di bidang ekonomi sebagai dampak kebijaksanaan politik
yang Iebih mengutamakan pertumbuhan. Kebijaksanaan yang sarna dibarengi dengan
penggunaan teknologi padat modal, peningkatan tingkat pendidikan, se~nentara
pertumbuhan
penduduk masih relatif tinggi (diatas
zero
growth)
telah pula menyebabkan tingkat
pengangguran pada kelompok usia produktif yang cukup memprihatinkan. Fenomena lain,
juga tarnpak berkembangnya arus urbanisasi, penurunan minat generasi muda ke sektor
18
Permasalahan Pembangunan Pertania
IPengertian pertanian dalam arti luas mencakup sektor kehutanan dan sektor pertanian.
Sektor pertanian mencakup sub sektor tanaman pangan
dar
Mikultura, perkebunan,
peternakan dan perikanan. Sasaran yang hendak dicapai dalam pendayagunaan jangka
panjang adalah suatu struktur ekonomi yang seimbang, yaitu indusb-i yang h a t didukung
oleh pertanian yang maju, efisien dan berkelanjutan. Sektor pertanian dalam ekonomi
nasional memegang peranan yang sentral dan strategis (Bunasor, 1990: 126).
Hal ini dapat
disimak sejak ditetapkannya pembangunan ekonomi nasional Orde
Baru
semenjak Pelita
I
sampai dengan Pelita V.
Peranan sektor pertanian tampak terjadi penurunan, antara lain -dapat dilihat dari
sumbangannya terhadap Gross Domestic product
(GDP), dari
44.0persen pada tahun 1971
menjadi 23.1 persen tahun 1985; kemampuan sektor pertanian menyaap tenaga kerja secara
relatif juga menurun, dari
66.4persen pada tahun 1971 menjadi 5 1.4 persen pada tahun 1985.
Nainun, secara mutlak sumbangan sektor pertanian terhadap
GDP
masih lebih ti'nggi
dibanding sektor-sektor lain. Kemampuan menyerap tenaga kerja juga masih memegang
peranan atama. Demikian juga dalam pencapai penghematan devisa sektor pertanian melalui
peningkatan produksi pangan nasional mempunyai peranan yang sangat penting, bahkan pada
tahun 1984 mencapai swasembada beras.
Menurut analisis Bunasor (1990) pada periode 1978- 1985, pertumbuhan sektor
pertanian mencapai 4.3 persen, sedangkan perekonomian nasional mencapai 4.6 persen.
Pertumbuhan tercepat terjadi pada sub sektor tanaman pangan, sebesar 5.4 persen per tahun,
19
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I, kebijaksanaan pembangunan sektor pertanian
diwarnai oleh hal-ha1 berikut
:(1) Besarnya pengeluaran pemerintah (public expendzture). Hal ini dimungkinkan oleh
karena penerimaan devisa pemerintah yang besar adalah dari sektor migas. Secara
tradisional investasi pemerintah di sektor pertanian sebagian besar atialah untuk
-
pembangunan prasarana pengairan, pembukaan areal pertanian
baru,
pembangunan dan
penyuluhan pertanian.
(2)
Pengeluaran yang besar untuk subsidi sarana produksi (pupuk, pestisida dan kredit) dan
subsidi distribusi.
(3) Program pembangunan sektor pertanian menekankan pada peningkatan produksi pangan
dengan produksi padi merupakan titik sentr- dan pelaksanaannya melalui penetapan
target
baik
di tingkat nasiond maupun regional. Ini berarti tidak berdasar orientasi pasar
atau prinsip ekonomi keunggulan komparatif.
Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan dari
:migas, meningkatriya
proteksionisme negara maju dalam perdagangan internasional, laju pengangguran yang
semakin meningkat dan iklim serta kepastian berusaha yang kurang mendukung kegiatan
investasi di sektor pertanian.
Berdasarkan pe.iga1aman tersebut, Indonesia dinilai perlu melakukan reorientasi
dalam menetapkan program pembangunan sektor pertanian. Bunasor (1990) menyarankan,
hendaknya program pembangunan pertanian beralih dari mengutamakan program
peningkatan produksi tanaman pangan, khususnya padi, dengan campur tangan pemerintah
yang sangat besar, ke arah program diversifikasi pertanian yang berorientasi pada mekanisme
20
mengambil peranan.
Dengan demikian akan lebih di~nungkinkan tercapainya suatu
masyarakat petani dan pertanian yang berkelanjutan. Secara khusus beberapa faktor
penghambat perubahan struktur ekonomi pedesaan menurut B lnasor antara lain
:(1)
Masalah hak dan penguasaan sumberdaya khususnya faktor produksi lahan, di sarnping
dikuasai oleh masyarakat terbatas, pemanfaatannya kurang maksimal karena banyaknya
tanah guntai.
(2)
Tingkat adopsi teknologi baru yang lambat dari masyarakat desa: Program Insus yang
diperkirakan meliputi 80 persen petani, setelah dalam kurun
waktu
lima tahun hanya
berkisar 40 persen dari jumlah petani (kasus Jawa Barat).
(3)
Tingkat ketrampilan dan pengetahuan masyarakat desa rnasih rendah.
(4)
Kemampuan menghimpun dandmodai yang lemah dan kelangkaan modal sangat
11
dirasakan, sementara pendapatan petani yang rendah lebih banyak digunakan untuk
pengeluaran konsumtif.
- ( 5 )
Jiwa kewirausahaan masyarakat desa masih relatif rendah.
(6)
Keadaan kelembagaan ekonomi dan sosial pedesaan belum mantap dan belum mapan
(seperti lernbaga keuangan formal).
Beberapa kendala dapat dikemukakan berkaitan dengan diversifikasi yang berorientasi pasar
dan yang dinilai menjadi arah pembangunan pertanian berkelanjutan antara lain
:Subsektor
pertanian tanaman pangan belum terintegrasi dengan kebijaksanaan pada subsektor industri
pengolahan hasil pertanian. Sebagai contoh, pengembangan diversifikasi dengan perwilaya-
han komoditi hanya didasarkan pada pertimbangan ago-klimat, belurn mempertimbangkan
aspek sosial ekonomi seperti "bagaimana kaitan diversifikasi tersebut dengan pengembangan
2 1
Kendala utama aspek kelembagaan dan sistem pelayanan terlihat pada strategi
kelembagaan dan pelayanan, seperti lembaga penyuluhan, KUD, BRI Unit Desa, kios
saprotan, lembaga penyediaan benih, juga berorientasi pada peningkatan produksi padi.
Tidak jarang daya hidup kelembagaan tersebut di wilayah tertentu tergantung pada
perkembangan produksi padi di wilayah tersebut.
Dalam pengembangan pertanian berkelanjutan hams menempatkan diversifikasi
tanaman pangan sebagai prioritas dalam strategi pelayanan dan penyuluhan.
Artinya,
penyuluhan dan pelayanan perlu ditingkatkan baik kuantitas maupun kualitasnya tidak hanya
memfokus pada komoditas padi, tetapi juga pada komoditas lain. Peningkatan tersebut
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan sasaran dalam diversifikasi.
Sejalan dengan
upaya meningkatkan kemampuan petani sasaran maka :kualitas penyuluh maupun aparat
pelayanan perlu ditingkatkan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi ketangguhan pertanian adalah kaitan antara
pertanian dan industri seperti yang disampaikan Baharsjah
(1988) danBunasor
(1990)
antara
lain
:(1)
Adanya efisiensi produksi dari sektor pertanian;
(2)
Sistem pemasaran produk pertanian yang efisien untuk diproses oleh industri. Ketidak
efisienan sistem pemasarail produk selama ini menyebabkan besarnya kehilangan,
kerusakan dan penurunan mutu serta ongkos angkut yang mahal sehingga sebagai bahan
mentah produk in dustri menjadi mahal dan kualitasnya juga rendah;
22 (4)
Tingkat campurtangan pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan dan peraturan
52rta
perundang-undangan lainnya.
Kenyataan campur tangan yang berlebihan justru
mengakibatkan inefisiensi dari alokasi sumberdaya untuk kegiatan ekonorni baik di
sektor pertanian maupun industri. Campur tangan yang intensif pada PJP I mengakibat-
kan bias kebijakan dan menimbulkan biaya sosial yang cukup tinggi.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan interdependensi ekonorni
dan lingkungan (environment) merupakan konsep yang semakin penting di dunia sejak awal
tahun 1970 an (Cole et al, 1973). Konsep sustainable development pertama dipublikasikan
secara meluas oleh the World Conce~ation
Strategy (IUNC, 1980). Mengacu laporan World
Commission on Environment and Development (1 987) dan World
Bank (1987; 1988),
I
Pezzey (1992) mempromosikan konsep pembangunan berkelanjutan dengan definisi sebagai
berikut (WCED, 1987:43):
"Sustainable development is development that meets the needs of future generations without compromising the ability of future generations to meet their own needs dan World Bank
(1988:i) memasukkan proposisi bahwa economic growt, the ellmiation of poverfy, and sound environmental management are in many cases mutually consistent objectives".
Dalam penelitian ini, visi pembangunan berkelanjutan telah mewarnai rumusan
konsep pembangunan pertanian bei-kelanjutan yang disusun secara deduktif Pada dasarnya
dalam konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mengandung aspek-aspek pertumbuhan
ekonomi secara berkesinambungan, pelestarian sumberdaya lingkungan (environmental
23
Konsep Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Konsep pertanian berkelanjutan yang ingin diwujudkan di Indonesia dan menjadi
t
)pik penelitian ini menurut GBHN
1993
diartikan sebagai suatu kondisi yang petaninya
mampu mengelola produksi secara komersial dan benvawasan pada keserasian dan
pelestarian lingkungan alami, secara berkelanjutan. Dalam GBHN
1993
konsep pertanian
berkelanjutan ini disebut sebagai "Pertanian tangguh"
Reijntjes et al. (1992)
mengajukan konsep sustainable agriculture yang dapat dinilai
relevan dengan konsep pertanian tangguh tersebut.
Sustainability pada dasarnya mengacu
pada
the capacity to remain productive while maintaining the resource base
(Reijntjes,
1992).
Pertanian yang berkelanjutan, menurut konsep ini, adalah keberhasilan mengelola
sumberdaya untuk pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan manusia (human
need)
dengan
a
menjaga kualitas lingkungan dan melestarikan
(conce$ng)
sumberdaya alam. Atas dasar
itu, dalam penelitian ini "pertanian tangguh" versi GBHN
1993-1998
dianalogikan sebagai
pertanian berkelanjutari
(sustainable agriculture).
Selanjutnya, menyangkut konsep
"pertanian berkelanjutan" ini, banyak ahli berpendapat penggunaan definisi ini secara lebih
meluas antara lain yang menyangkut konsep ekologis, ekonomis, sosial, kemanusiaan dan
daya adaptasi (Reijntjes et al., 1992).
Dalam penelitian ini konsep pertanian berkelanjutan mengacu pada suatu kondisi
pertanian yang berorientasi komersial dan petani mampu memenuhi kebutuhan hidupnya
secara mandiri, serta dalam mengelola sumberdaya dilakukan secara optimal. Artinya, dalam
mengelola agribisnis, petani mandiri berorientasi komersial.
Agribisnisnya itu akan bisa
beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada lingkungan fisik,
sosial-ekonomi dan budaya.
Ciri-ciri Pertanian Berkelanjutan
Di sektor pertanian, sasaran pembangunan jangka panjang
I1
adalah mencapai
pertanian yai~g akan mampu mendu~ung industri yang h a t , sehingga tercapai struktur
ekonomi yang seimbang. Menurut Departemen Pertanian (Bunasor, 1990), citra pertanian
seperti itu pada dasarnya mempunyai ciri-ciri umum sebagai berikut
:(1) Pertanian itu hams mampu memanfaatkan semua sumberdaya yang dijumpai se-cara
optimal. Disini perlu memperhitungkan efisiensi dari aspek-aspek
:ekonomi (.finance),
aspek sosial (pemerataan) dan aspek keamanan nasional sehingga pada akhirnya tercapai
kemakmuran sebesar-besarqya bagi seluruh rakyat.
(2)
Mengingat sifat produksi pertanian yang tergantung dari proses biologis alamiah (lahan,
air, sinar matahari, iklim dan sebagainya), maka pertanian mempunyai banyak hambatan.
Pertanian berkelanjutan berciri mampu mengatasi hambatan baik fisik alamiah maupun
ekonomi.
(3)
Pertanian harus mampu menyesuaikan diri dalam pola dan struktur produksinpa terhadap
perubahan yang te rjadi baik perubahan permintaan pasar maupun perubahan teknologi.
Dengan demikian diperlukan teknologi usahatani yang unggul
dm
fleksibel.
(4)
Pertanian memegang peranan yang aktif dalam konteks pembangunan nasional. Peranan
tersebut meliputi pertumbuhan ekonomi, peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga
25
Sistem Pertanian Berkelanjutan
Mengacu pada konsep Departemen Pertanian (1985; Bunasor,
1990)pendekatan sistem pertanian sebagai suatu sistem terdiri atas empat komponen subsistem.
Komponen tersebut ialah
(1)aparat pertanian, yang befingsi sebagai pembina, pengatur dan
aparat pelayanan
(2)petani yang merupakan pelaku langsung dalam produksi pertanian;
(3)lembaga ekonomi sebagai wadah maupun fkngsi dalam melaksanakan kegiatan aspek
ekonomilkerjasama ekonorni; dan
(4)lembaga sosial/pedesaan wadah fungsi dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan aspek msial dalam bentuk ke rjasama sosial.
Adapun ciri-ciri umum kemampuan dari keempat komponen sistem pertanian, yang
diperlukan untuk menunjang pertanian berkelanjutan adalah sebagai berikut (Departemen
Pertanian, 1985)
: a(1)
Aparat pertanian.
Di bidang
petzgatirrmt
mampu menciptakan kebijaksanaan yang
mantap dan efektif. Di bidang
yelayanan (yenelitian, pedclikan)
haruslah peka
terhadap masalah-masalah pertanian yang berkembang. Aparat pertanian seharusnya
mampu berkreasi secara dominan (berkualitas perilaku yang memadai) untuk
menghasilkan inovasi (teknik maupun sosial).
Organisasi aparat :~aru,i mampu
mendorong daya kreatifitas petugas sehingga berkembang kealdian, ketrampilan yang
tepat dan produktivitas yang tinggi.
(2) Petani.
Petani haruslah memiliki kemampuan mengambil keputusan dan ketrampilan
dalam menerapkan inovasi (teknik maupun sosial), terutama penerapan inovasi dari
temuan ilmu pengetahuan. Petani mampu memperoleh tingkat pelIdapatan yang layak
26
ekonomi petani hams mampu menghadapi berbagai resiko dan memanfaatkan azas skala
usaha untuk pengembangan usahanya. Baik secara perorangan maupun berkelompok,
para petani hams mampu mandiri.
(3) Lembaga Ekonomi.
Lembaga ekonomi harus memiliki kemampuan dalam menerapkan
inovasi untuk terus meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha, sehingga senantiasa
berusaha untuk memperoleh tingkat kewajaran yang terus berkembang. Lembaga
ekonomi haruslah mampu mengahadapi resiko usaha dari perubahan situasi ekonomi di
dalam maupun di luar negeri, juga dapat memanfaatkan skala usaha untuk mencapai
efisiensi yang tinggi.
Di sini diperlukan lembaga ekonorni yang mempunyai
kemampuan mandiri menghadapi pihak-pihak lain dalam dunia usaha.
9(4) Lembaga Sosial Pedesaan.
Lemaga sosial haruslah mampu menciptakan iklim yang
sehat baik jasmaniah maupun rokhaniah, sehingga
petani dapat mengembzngkan
usahanya secara aman dan tentram. Juga menciptakan iklim bersaing secara kreatif
dengan menegakkan azas usaha bersarna dan kekeluargaan. Akhirnya dari lembaga
sosial dituntut untuk menciptakan iklim yang mendorong anggota masyarakat bekerja
keras, ulet dan jujur untuk mencapai tujuan.
Aparat pertanian khusus~ya bidang pengaturan, kemampuan perencanaan
dan
penyusunan kebijaksanaan masih belum memuaskan dan bersifat kurang integratif, sektoral,
horison perencanaan yang relatif pendek dan kurang evaluatif (World Bank,
1987).
Demikian pula aparat pelayanan kurang kreatif, kurang peka terhadap pembahan-perubahan,
dedikasi dan integritas serta motivasi yang kurang kuat (Direktorat Jendral Pengerahan dan
27
Petani masih dihadapkan pada aspek sosio-kultural yang merupakan faktor
penghambat, menurut hasil penelitian Affandi (1988), antara lain
:latar belakang hidup,
t
ngkat pendidikan, status dalam pengusahaan lahan dan lainnya. Aspek ekonomi yang
dlanggap menghambat antara lain
:rendahnya tingkat pendapatan
di sektor pertanian dan
usahataninya, sempitnya lahan yang dikuasai sebagai pencerminan dari skala usahanya
(petani gurem) dan kapasitas manajemen usaha1 bisnis yang masih rendah.
Hal yang perlu juga dicatat adalah bahwa kelembagaan penyuluhan dan pelayanan
yang ada di pedesaan masih terbatas melaksanakan penyuluhan dan pelayanan dalam rangka
pengelolaan usahatani, khususnya tanaman pangan. Menurut Bunasor (1 990) dalam rangka
diversifikasi tanaman pangan, baik horizontal maupun vertikal, diperhkan model penyuluhan
dan pelayanan yang terintegrasi terhadap pengelolaan usahatani dan industri pengolahan hasil
pertanian. Data empiris benunjukkan adanya kelerr~ahah yang menjadi penghambat pembi-
naan kelembagaan petani, antara lain
:pendekatan petugas dari berbagai dinas/instansi yang
kurang koordinatif, kurangnya kemampuan, kemauan dan penghayatan pelgas dala~n
menganalisis keadaan sosio-kultural dan ekonomi petani, juga kelernahan untuk rnelihat diri
petani seperti yang telah diuraikan di atas.
Berbagai ha1 yang menyangkut upaya menuju pertanian berkelanjutan yang telah
diuraiakan oleh Bunasor dan peneliti lainnya seperti Affandi, Baharsjah serta hasil kajian dari
pihak World Bank dan juga Direktorat Jenderal Pengerahan dan Pembinaan perlu dijadikan
pertimbangan dalam menyusun tolok ukur dan indikator dalam penelitian ini. Dalam ha1 ini,
Bunasor juga mengajukan variabel-variabel yang sangat bermanfaat untuk mengukur tingkat
kesiapan sistem pertanian menuju sistem pembangunan pertanian yang berkelanjutan, yang
Diversifikasi dan Agribisnis sebagai Pendekatan
menuju Pertanian Berkelanjutan
Kasryno (1988) dan Baharsjah (1988) memandang diversifikasi pertanian sebagai
suatu proses untuk mentransformasikan sektor pertanian menjadi pertanian yang tangguh dan
struktur ekonomi pedesaan yang lebih berimbang.
Dari
berbagai definisi diversifikasi
(Dalrymple, 1968; Kasryno, 1988; dan Baharsiah, 1988; Bunasor, 1990) dapat dirangkum
pengertian diversifikasi pertanian sebagai suatu usaha yang kompleks
dan
luas untuk
meningkatkan perekonomian pertanian melalui upaya penganekaragaman komoditas
(deversifikasi harizontal), pada sub sistem produksi, konsumsi dan distribusi baik ditingkat
usahatani regional maupun nasional (diversifikasi vertikal) menuju tercapainya transformasi
struktural sektor pertanian ke arah pertanian berkelanjutan.
Sejalan dengan ha1 itu, Saragih (1995) berpendapat bahwa, paling tidak selama masa
transisi dalam pembangunan jangka panjang kedua
(PJP-I.),
Indonesia perlu
mengembangkan strategi dan kebijaksanaan yang menempatkan agribisnis (dan agroindustri)
sebagai salah satu sektor unggulan. Sumber-sumber pertumbuhan 'yang cukup potensial perlu
dimanfaatkan untuk memacu pertumbuhan, namun sekaligus juga memperbaiki berbagai
kesenjangm d ~ l a m
tingkct kesejahteraan antar golongan dan antar daerah, apabila sasarannya
adalah sebagian besar penduduk berpendapatan rendah atau miskin yang terutama
terkonsentrasi di sektor pertanian dan pedesaan. Perbaikan kesejahteraan itu sendiri sebagai
upaya menekan kesenjangan merupakan sumber pertumbuhan yang cukup potensial. Hal
itulah hakekat dari
demand approach
yang dimaksud oleh Saragih.
Mengacu pada Jazairy
el
al.(1992) dan Saragih (1995) dapat dinyatakan bahwa bias
Pendudu
:miskin, terutama petani kecil dan buruh tani tidak mampu lagi mempertahankan
produktivitas sumberdaya alam yang dikuasainya (terutama lahan). Sebagian merambah
hutan ya ~g dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang menjadi sistem penyangga
kehidupa;,~. Pengembangan agribisnis dan agroindustri yang meningkatkan kesejahteraan
penduduk berpendapatan rendah dan tergolong rniskin turut membantu dalam pelestarian
hngsi lingkungan hidup dengan mengurangi ketergantungan terhadap alam. Artinya,
pengembangan usaha agribisnis berskala kecil sangat penting
dan
strategis ditinjau dari
berbagai pemikiran tersebut. Masalah yang paling mendasar adalah lemahnya posisi-tawar
para pengusaha kecil tersebut.
Masih menurut Saragih, sejalan dengan pemiluran Crawford (1991), di masa depan
peranan agribisnis berskala kecil ini
akan
semakin penting dan memiliki keunggulan karena
beberapa faktor berikut (Saragih, *1995):
(1) Agribisnis bersakala kecil relatif tidak memerlukan banyak modal investasi terutama bagi
yang bergerak di bidang jasa;
(2) Usaha agribisnis kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang
berubah karena tidak perlu terharnbat oleh persoalan-persoalan birokrasi seperti yang
dihadapi oleh perusahaan besar;
(3)
Usaha kecil memiliki tenaga-tenaga penjualan dan wirausaha yang tertempa secara alami
yang tidak berminat (vested interest) dalam sistem produksi yang sudah ada dan sudah
mantap; dan
(4)
Perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produk-produk tahan lama yang
dihasilkan secara massal ke produk-produk yang lebih manusiawi (persormlized goods)
Jumlah pengusaha kecil berikut anggota rumahtangganya bisa mencapai 80 persen
dari penduduk Indonesia, suatu potensi pasar yang sangat besar. Beberapa faktor unggulan
usaha agribisnis kecil bisa juga tidak tercapai antara lain karena kurangnya akses usaha kecil
terhadap kredit komersial perbankan.
PHT sebagai Suatu Pilihan Pendekatan
menuju Pertanian ~erkelanjutan
Pengendalian Harna Terpadu (PHT) yang telah dikembangkan di Indonesia,
merupakan suatu alternatif bentuk pengendalian hama atau organisme pengganggu
tanaman
pada umurnnya secara terintegrasi berdasarkan ekosistem lingkungan secara komprehensive
(Oka, 1991). Melalui Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SLPHT), seorang
Pengamat Hama dan Penyakit
(PHP)
bekerjasama dengan Penyuluh Pertanian Lapangan
yang sudah dilatih sebelurnnya, telah melaksanakan penyuluhan kepada petani yang terpilih
menjadi peserta SLPHT.
Konsep pengendalian hama terpadu berimplikasi bahwa untuk melbdungi tanaman
dari serangan harna hams ditekankan pada usaha-usaha yang mengupayakan lingliungan
tidak sesuai bagi perkembangan hama dan jazat pengganggu lainnya. Untuk itu, dalam
penerapan PHT ditempuh cara-cara menjaga kelestarian musuh alami hama sehingga
menghambat perkembangan organisme pengganggu tanaman, dengan sedapat mungkin
menghindari penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang mengandung racun itu telah
terbukti menghasilkan residu pada tanaman, yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusial
ternak yang mengkonsi produk pertanian, karena residu tersebut dalam batas tertentu
3 1
Konsep pengendalian hama yar
gbenvawasan lingkungan tersebut dapat diterapkan
apabila petani memahami elemen dasar PHT (Bappenas dan PPSEP, 1991), yaitu
:(1)
pemahaman tentang bioekologi hama, 2) pengetahuan tentang pengendalian alamiah,
(3)penetapan tentang ambang ekonomis pengendalian hama, dan (4) penguasaan teknik
pemantauan populasi hama. Agar aplikasi pengetahuan tersebut efektif, maka petani perlu
menguasai dengan baik komponen PHT yang terdiri dari (1) pola tanam, (2) budidaya,
(3)varietas tahan hama,
(4)pengendalian hayati,
dan
(5) pengendalian mekanik dan fisik, serta
kimiawi.
Beberapa keuntungan penerapan usahatani benvawasan lingkungan melalui semacam
PHT ini antara lain: Produk usahatani dengan penerapan PHT terhindar dari residu racun
yang terkandung dalam pestisida. Residu racun akibat penggunaan pestisida ini sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia, maupun keamanan ternak dari racun pestisida.
Di
samping itu juga sekaligus merupakan upaya pelestarian lingkungan alami dari kepunahan
jazat yang berguna bagi kehidupan manusia. SLPHT sebagai suatu metode pendidikan, telah
menempatkan petani untuk mampu belajar mandiri, mampu mengenali dan mengembangkan
kemampuan petani untuk mengendalikan proses produksi usahataninya, tanpa hams
menderita kerugian. Artinya, SLPHT telah memanusiakan
(hwr.zanisasi)
petani, sehingga
menumbuhkan kesadaran petani untuk senantiasa belajar dan menumbuhkan kepercayaan
pada diri petani bahwa petani dapat belajar secara mandiri. Dalam kondisi seperti ini, iebih
memungkinkan petani memanfaatkan tenaga dan fasilitas penyuluhan secara lebih optimal.
Hal ini disebabkan, petani menjadi pihak yang belajar secara aktif karena telah memiliki
3 2
makin mampu memutuskan sesuatu yang terbaik atau paling menguntungkan bagi usahata-
ninya (Marse dan Sumardjo, 1993).
Peranan Penyuluh dalam Pembangunan
Pertanian di Indonesia
Konsep Penyuluhan Pembangunan
Ilmu penyuluhan pembangunan- adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajar~
bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia
dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggan-
tikannya dengan perilaku baru yang membawa pada perbaikan kualitas kehidupan orang yang
.bersangkutan (Slamet,
1992).
Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan
memulai proses perkembangannya dengan memijam dan merangkum konsep-konsep ilmiah
dari berbagai disiplin i!mu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi,
.sosiologi, psikologi sosial, dan manajemen. Penyuluhan pembangunan selalu menitik-
beratkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan batin, sehingga kegiatan yang
dilakukan pun selalu berkaitan erat dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, pertanian,
kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya. Jadi sebagai ilmu, penyuluhan
pembangunan bersifat interdisipliner. Hal ini berkaitan erat dengan praktek penyuluhan
pembangunan di iapangan yang menuntut pendekatan interdisiplin. Kenyataan menunjukkan
bahwa beberapa keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia terjadi karena ditopang
oleh penggunaan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi, dan
komunikasi, seperti yang teranghxm dalam ilmu penyuluhan pembangunan (Slamet, 1992).
Ilmu penyuluhan pembangunan, pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai
33
Serikat, Inggris, dan Belanda.
Kemudian ternyata berkembang penggunaannya ke
bidang-bidang lain maka berubah namanya menjadi fitension Education, dan di beberapa
negara lain disebut Development Communzca, ion. Meskipun antara tiga istilah itu ada
perbedaan, namun pada dasarnya semua mer.gacu pada disiplin ilmu yang sama. Di
Indonesia, disiplin ilmu itu disebut ilmu penyuluhan pembangunan sebagai pengembangan
dari ilmu penyuluhan pertanian (Slamet, 1992). Lahirnya ilmu penyuluhan pembangunan
mendapat sarnbutan luas dari berbagai pihak yang bergerak di berbagai sektor pembangunan,
karena praktek-praktek penyuluhan sangat dirasakan kemanfaatamya dalam pembangunan.
Kenyataan sdiap upaya pembangunan memerlukan adanya dukungan ilmu pengetahuan dan
metodologi yang relevan. Keberhasilan pembangunan nasional, dirasakan perlu segera
ditopang oleh program penyuluhan yang mangkus dan mampu menghasilkan
perubahan-perubahdn nyata dan bukan sekadar perubahan-perubahan &mu. Kendala utama
yang dirasakan pada saat ini adalah keterbatasan tenaga ahli atau tenzga profesional di bidang
penyuluhan pembangunan.
Menurut Slamet (1992), program penyuluhan pembangunan yang san&l dan
mangkus dapat dikembangkan oleh tenaga-tenaga profesional di bidang penyuluhan
pembangunan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila program itu tenvadahi dalam suatu
sistern kelembagaan penyuluhan dan pelaksanaannya didukung oleh tenaga-tenaga semi
profesional di bidang penyuluhan. Program semacam itu, berdasarkan empiris, perlu
dilandasi oleh kemauan politik yang kuat untuk menjamin adanya kesepakatan semua pihak
yang terkait.
Pembangunan juga perlu mengintegrasikan pendekatan yang topdown maupun yang
r,
34
ekstra untuk mempelajari hal-ha1 baru yang dibawa oleh pembangunan. Kalau kriteria
keberhasilan pembangunan adalah meningkatkan kualitas hidup rakyat banyak dan
peningkatan itu hanya tercapai kalau ada partisipasi rakyat dalam pembangunan
(GBHN,
1993), maka tantangan utama pada pembangunan nasional adalah "bagaimana meningkatkan
partisipasi rakyat?." Kalau penyuluhan pembangunan diharapkan dapat meningkatkan
partisipasi rakyat, maka tantangannya ialah "bagaimana menciptakan, mengembangan d m
melaksanakan progam penyuluhan pembangunan yang sangkil dan mangkus
?"Penyuluhan adalah suatu usaha pendidikan non formal, merupakan suatu sistem
pendidikan praktis, yang orang-orangnya belajar sambil menge rjakan (Slamet dan Asngari,
1969). Sejalan dengan definisi tersebut, Wiriaatmadja (1986) menyatakan bahwa penyuluhan
pertanian adalah suatu sistem pendidikan di luar sekolah untuk keluarga-keluarga tani
di
pedesaan; mereka belajar sambil berbuat untuk menjadi mau, tahb d m dapat menyelesaikan
sendiri masalah-masalah yang dihadapinya secara baik, menguntungkan dan memuaskannya.
Jadi penyuluhan adalah suatu bentuk pendidikan di luar s&olah, yang cara, bahan dan
sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan, baik dari sasaran,
waktu
maupun keadaan. Mosher (1966) menyebutkan bahwa penyuluhan disebut pendidikan
pembangunan karena sifatnya yang selektif, dalam aiti memilih bahan
dan
metoda
pendidikannya yang bersifat langsung dan segera menunjang pembangunan yarig
dikehendaki.
Melalui suatu upaya pendidikan pembangunan berupa penyuluhan,
kemampuan orang-orang, keluarga dan masyarakat untuk menerima perubahan yang dapat
meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat.
Dalam melakukan peke rjaannya seorang penyuluh seharusnya menghayati dan
I
I
!
i
3 5
pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses den okrasi dan (3) penyuluhan adalah proses
kontinyu. Oleh karena itu, pada falsafah penyuluhan bermakna "Menolong orang agar orang
tersebut mampu menolong dirinya sendiri, n-elalui pendidikan yang ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraannya"
(To
help people to help themselves through educational
means to improve their level of living).
Penyuluhan sebagai proses pendidikan, penyuluh hams dapat membawa perubahan
manusia dalam ha1 aspek-aspek perilaku, baik koqnitif, afektif maupun psikomotoriknya.
Penyuluhan sebagai proses demokrasi, penyuluh hams mampu mengembangkan suasana
bebas, untuk mengembangkan kemampuan masyarakat. Penyuluh harus mampu mengajak
sasaran penyuluhan befikir, berdiskusi, menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan
bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang diantara mereka, sehingga berlaku
penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Sebagai prbses yang kontinyu,
penyuluhan hams dimulai dari keadaan petani pada waktu itu kearah tujuan yang mereka
kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang,
yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi
kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padahal kebutuhan tersebut dinilai
sangat
vital
dan
mendesak, maka penyuluh perlu berusaha terlebih dahulu untuk
menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang ada tersebut
(real need)
menjadi kebutuhan yang
dirasakan oleh sasaran
Cfelt teed).
Elemen-elemen Penyuluhan
Roling
(1983)mendefinisikan penyuluhan sebagai "suatu intervensi komunikasi yang
secara sukarela (wluntare change) bagi kesejahteraan masyarakat."
Elemen-elemen
penyuluhan mencakup
:(1) penyuluhan merupakan suatu intervensi (intervention),
(2) penyuluhan menggunakan komunikasi sebagai alat untuk menimbulkan perubahan
(3)
penyuluhan dapat efektif hanya jika terjadi perubahan secara sukarela,
(4) penyuluhan memusatkan perhatian pada sejumlah sasaran (target) proses dan hasil yang
beragam, yang berbeda dari bentuk intervensi yang lainnya,
(5)
penyuluhan dilaksanakan oleh suatu lembaga.
Sebagai suatu intervensi (intervention), penyuluhan merupakan suatu upaya sistematis
melalui penerapan strategi dengan mengkondisikan (maniplate) sumberdaya bagi berlang-
sungnya proses sosial, perubahan orientasi sehingga mengarahkan proses pada dorongan
terjadinya perubahan yang dikehendaki bersama.
Penyuluhan adalah sesuatu yang
dipikirkan, direncanakan, diprogramkan, dirancang secara sistematis, diarahkan pada suatu
tujuan dan aktivitas yang disengija (purposefil activity).
Komunikasi dalam penyuluhan adalah suatu alat untuk menimbulkan perubahan di
dalam penyuluhan. Beberapa profesional di tingkat dinas mungkin menggunakan cara lain,
misalnya subsidi, regulasi untuk menimbulkan perubahan, tetapi berbeda dengan peny~luhan
yang menekankan pada pengaruh penggunaan strategi komunikasi. Komunikasi diantaranya
dapat berupa tindakan profesional seperti advertensi (advertising), public relation,
pendidikan orang dewasa atau propaganda. Melalui penyuluhan, profesional, ilmuwan dapat
belajar banyak dari pengetahuan dan pengalaman dari berbagai tipe komunikasi tersebut.
Perubahan sukarela merupakan suatu yang dikehendaki terjadi sebagai dampak
37
perubahan yang disengaja. Beberapa definisi (yang nampaknya konsep ini
jerlu ditinjau
kembali) menyebutkan bahwa penyuluhan adalah transfer (trrmsferring) informasi,
pengetahuan atau teknologi atau promosi sesuatu penggunaan sesuatu. Bebera )a yang lain
mendefinisikan bahwa penyuluhan menyangkut urusan pengambilan keputusan dan
pembentukan pendapat (opinion formation), tidak hanya sebagian idormasi eksternal, tetapi
juga membantu memecahkan sesuatu tujuan yang b e r t e n t q atau merestruktur
pengetahuan yang tepat.
PrinsipPrinsip Penyulu
ban
Setidaknya ada dua belas prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh
dalam bertugas (Dahama dan Bhatnagar (1
980),antara lain
:(1)
Penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat
dan
kebutu'nan masyarakat
i
(Princ@les of interest and needs).
(2)
Penyuluhan harus marnpu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluargd
kerabatnya (Grass-roots principle of organization).
(3)
Penyuluhan hams menyadari adanya keragaman budaya rnemerlukan keragaman
pendekatan (Princrple of cultural dzference).
(4)
Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan
perubahan budaya (Priinciple of cultural change).
( 5 )
Penyuluhan harus marnpu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerja-sama
dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan (Principle of cooperation
38 (6)
Penyuluhan hams selalu memberikan kesempatan kepada mas yarakat sasaran untuk ikut
memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah dan metoda apa yang digunakan
dalarn penyuluhan (Principle of applied science and democra'
icapproach).
(7)
Prinsip belajar sambil beke rja (Principle of learning by doing).
(8)
Penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang
sesuai dengan fbngsi seorang penyuluh (Principle of trained specialist)
(9)
Penyuluhan harus dilakukan dengan penera