• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani sayuran pengembangan model penyediaan informasi pertanian dalam pemberdayaan petani, kasus di provinsi Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani sayuran pengembangan model penyediaan informasi pertanian dalam pemberdayaan petani, kasus di provinsi Jawa Barat"

Copied!
247
0
0

Teks penuh

(1)

Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian

dalam

Pemberdayaan

Petani,

Kasus di Provinsi Jawa Barat

MARIATI TAMBA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

vi

KEBUTUHAN INFORMASI PERTANIAN DAN

AKSESNYA BAGI PETANI SAYURAN:

Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian

dalam

Pemberdayaan

Petani,

Kasus di Provinsi Jawa Barat

MARIATI TAMBA

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2007

(4)

iii

ABSTRAK

MARIATI TAMBA. Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat. Di bawah bimbingan oleh MA’MUN SARMA, H.R.MARGONO SLAMET dan BASITA GINTING SUGIHEN.

Pembangunan agribisnis hortikultura merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi nasional dari sektor pertanian. Dengan diberlakukannya pasar bebas, sebagian pasar domestik telah diisi oleh produk hortikultura impor, mengakibatkan timbulnya persaingan agribisnis yang semakin ketat. Di samping itu, adanya tuntutan kebutuhan keluarga petani yang semakin meningkat menyebabkan dihadapkannya pada tuntutan kebutuhan akan informasi tentang usahatani modern untuk meningkatkan kemampuan (manajemen usaha) petani dalam mengembangkan usahatani dan menghasilkan produk yang berdaya saing dengan ciri-ciri petani berperilaku efisien. Kebutuhan informasi sama pentingnya dengan faktor produksi utama seperti: “tanah, tenaga kerja, dan modal”.

Pemberdayaan selama ini, umumnya belum secara nyata memberdayakan petani. Faktanya adalah, petani masih belum mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. Salah satu strategi pemberdayaan adalah, bagaimana membuat petani mampu memperbaiki kehidupannya sendiri dalam arti: tahu, termotivasi, dan mampu mengembangkan usahataninya dengan mencari dan memanfaatkan informasi pertanian yang tersedia. Pemerintah berkewajiban memberi pelayanan informasi pertanian bagi petani sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.

Penelitian ini, bertujuan untuk menganalisis: (1) faktor-faktor yang mempengaruhi penyediaan informasi pertanian, (2) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat keberdayaan petani sayuran, dan (3) merumuskan konsep model penyediaan informasi pertanian bagi petani sayuran. Penelitian dilakukan di tiga kabupaten (Bogor, Cianjur, dan Bandung), Provinsi Jawa Barat pada Juli 2006-Februari 2007 dengan teknik survai, wawancara, dan indepth interview. Teknik pengambilan sampel adalah, Sampel Gugus Sederhana (Simple Cluster Sampling) dengan jumlah responden 240 kepala keluarga. Analisis statistik yang digunakan adalah: Cronbach Alpha, uji t, korelasi Rank Spearman, dan Structural Equation Modeling. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat keberdayaan petani sayuran, dipengaruhi oleh: karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian; kemudahan mendapatkan informasi, dan penyediaan informasi pertanian. Model penyediaan informasi pertanian dirumuskan dengan beberapa upaya, antara lain: membangun komitmen antar lembaga terkait untuk berkerjasama dan berkoordinasi dalam penyediaan informasi pertanian dan merancang mekanisme aliran informasi bagi petani sayuran.

(5)

ABSTRACT

MARIATI TAMBA. The Need of Agricultural Information and Its Accessibility for Vegetables’ Farmers: Developing Agricultural Information Provision Model in Order to Empowerment Farmers, Case in West Java Province. Under Supervision of MA’MUN SARMA, H.R. MARGONO SLAMET and BASITA GINTING SUGIHEN.

The agribusiness development of horticulture products is one of national economical growth sources of agricultural sector. Free market made part of domestically market filled by import products of horticulture, which cause more rigid competitiveness. In addition, the increase of farmer’s family member demands was faced to the need of demand of information of modern farming to increase the management capability in yielding competitive products from the efficient farmers. The information needs plays the similar role with as the prime factors such as “land, labor and capital”.

Yet, the empowerment hasn’t significantly empowered the farmers. The fact indicated that farmers show inadequate information that they need. One of empowerment strategy is how to make independent farmer to maintain their lives incluiding: ability to know, ability to motivate, and ability to develop their farm by searching and employing the available agricultural information. The government task is to provide agricultural information services for farmers as stated in law No.16 year 2006 about Agricultural, Fishery and Forestry Extension System.

This research were aimed to analyze: (1) factors influenced the provision of agricultural information, (2) factors influenced the empowerment of vegetables’ farmers, and (3) formulation of the concept of the provision of agricultural information model for vegetables’ farmers. The research was conducted in three districts (Bogor, Cianjur, and Bandung), West Java Province since July 2006 to February 2007 by using survey technique, interview, and indepth interview. The sampling technique was Simple Cluster Sampling with 240 respondents of head families. Statistical analysis were using Cronbach Alpha, t-test, Rank Spearman correlation, and Structural Equation Modeling. The analysis shows that farmers’ empowerment level influenced significantly by personal charateristics, need of demand and obtaining agricultural information, environment conduciveness, quality of agricultural information sources, accessibility of agricultural information, and the provision of agricultural information. Agricultural information model was formulated with: developing commitment cooperation between the stakeholders and coordination in the provision of agricultural information and design mechanism of information flows for vegetables’ farmers.

(6)

v

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007

Hak cipta dilindungi

(7)

Judul Disertasi : Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuran: Pengembangan Model Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di Provinsi Jawa Barat

Nama : Mariati Tamba

NRP : P061040101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S. M.Ec. Ketua

Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc. Dr. Ir. Basita Ginting S., M.A. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Komunikasi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M.Kolopaking, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(8)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan rahmatNya, disertasi yang berjudul “Kebutuhan Informasi Pertanian dan Aksesnya bagi Petani Sayuan: Pengembangan Model

Penyediaan Informasi Pertanian dalam Pemberdayaan Petani, Kasus di

Provinsi Jawa Barat” ini dapat selesai sesuai waktu yang direncanakan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat: (1) Dr. Ir. Ma’mun Sarma, M.S. M.Ec., (2) Prof. Dr. H.R. Margono Slamet, M.Sc., (3) Dr. Ir. Basita Ginting. S, M.A., (4) Prof. Dr. Pang. S. Asngari, dan (5) Prof. Dr. Ign. Djoko Susanto, SKM, APU, selaku Komisi Pembimbing atas bimbingan yang telah diberikan, selama penyelenggaraan studi hingga penulisan disertasi ini. Di samping itu, penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor beserta stafnya, Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, M.S. selaku Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, dan Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc. selaku Koordinator Program Mayor Penyuluhan Pembangunan beserta stafnya yang telah memberikan pelayanan administrasi.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh dosen pada Program Mayor Penyuluhan Pembangunan yang telah memberikan kontribusi, masukan dan saran selama proses belajar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Herien Puspitasari, Msc., Msc. yang telah memberikan kontribusi dalam analisis data dan Dr. Ir. Ninuk Purnaningsih, M.S. yang telah memberikan masukan dalam persiapan penelitian.

(9)

Pertanian Bogor terutama mahasiswa program studi PPN yang telah memberikan saran dalam penulisan disertasi ini.

Akhirnya, ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orangtua yaitu Bapak Japinail Tamba (alm) dan Ibu Ramotina br. Haro, suami, anak dan keluarga atas segala doa dan dukungannya.

Bogor, Agustus 2007

(10)

ix

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pangururan pada tanggal 16 Oktober 1958 sebagai anak ke lima dari pasangan Djapinail Tamba dan Ramotina Haro. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, lulus pada tahun 1981. Selama menempuh pendidikan S1, penulis mendapat beasiswa “Bakat dan Prestasi” dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, karena memperoleh penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi dengan peringkat pertama pada tahun 1976.

Pada tahun 1998, penulis memperoleh izin belajar untuk melanjutkan ke Program Pascasarjana Magister Management di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Institut Sains Manajemen (STIE ISM) Jakarta dan menamatkannya pada tahun 2000 dengan memperoleh penghargaan sebagai wisudawan terbaik. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Mayor Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, diperoleh tahun 2004 dengan biaya sendiri.

Pada tahun 1981-1983, penulis bekerja di Departemen Pertanian sebagai Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS) dan ditempatkan di Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan. Sejak akhir tahun 1983 sampai sekarang, penulis bekerja di Kantor Pusat Departemen Pertanian. Berbagai pengalaman jabatan yang pernah diemban penulis selama bekerja di Departemen Pertanian, adalah sebagai berikut: - Staf Sub Bagian Peternakan dan Perikanan, Badan Pengendali Bimas pada

tahun 1983-1985

- Kepala Sub Bagian Tanaman Perkebunan, Badan Pengendali Bimas pada tahun 1985-1990

- Kepala Sub Bagian Evaluasi Program dan Proyek, Badan Pengendali Bimas pada tahun 1990-1994

(11)

- Kepala Sub Bagian Bimbingan Tani, Badan Pengendali Bimas pada tahun 1998-2001

- Kepala Sub Direktorat Kelembagaan Petani, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura pada tahun 2001-2004

- Kepala Sub Direktorat Tanaman Anggrek, Direktorat Jenderal Bina Produksi Hortikultura pada tahun 2004-2005

Selama penulis bekerja, penulis memperoleh pendidikan dan pelatihan yang ditugaskan oleh Departemen Pertanian untuk menunjang karir penulis, antara lain:

- Latihan Orientasi Penyuluhan, pada tahun 1981 di Departemen Pertanian, Jakarta.

- Latihan Penyuluh Pertanian Spesialis tahun 1982 di Universitas Gajah Mada, Jogyakarta.

- Latihan Agronomi tahun 1983 di Institut Pertanian Bogor.

- Pendidikan Administrasi Pembangunan tahun 1986 di Universitas Indonesia, Jakarta.

- Trainer of Trainers (TOT) “Preparation, Monitoring, EvaluationAgricultural and Rural Development Project, pada tahun 1989/1990 di Asean Institute Technology (AIT) Bangkok/Thailand, kerjasama FAO dengan Departemen Pertanian.

- Sekolah Pimpinan Administrasi Madya (SPAMA), pada tahun 1998 di BPLP Ciawi-Bogor dengan karya ilmiah: “Rencana Kerja Peningkatan Kinerja Pelaksanaan Pemantauan dan Evaluasi Pembinaan Motivasi dan Partisipasi Petani/Kelompok Tani Tahun 1999”.

(12)

xi

- Workshop on Tropical Agriculture Technology for China-ASEAN, pada tahun 2003 di Haiko/China.

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

PENDAHULUAN ………... 1

Latar Belakang ... 1

Masalah Penelitian ... 7

Tujuan Penelitian ... 8

Kegunaan Penelitian ... 8

DEFINISI ISTILAH ... 10

TINJAUAN PUSTAKA ... 15

Kebijakan Pembangunan Pertanian Jangka Panjang …... 15

Kebijakan Penyuluhan Pertanian dalam UU No. 16 Tahun 2006 ….. 18

Eksistensi Petani dalam Pembangunan Pertanian ………... 21

Konsep Kebutuhan dan Kesadaran akan Kebutuhan ……… 25

Konsep Pemberdayaan Masyarakat ……….. 28

Pentingnya Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat ……... 31

Penyuluhan Pembangunan dalam Perspektif Pemberdayaan …….. 34

Paradigma Penyuluhan Pembangunan ……….... 34

Prinsip-prinsip Penyuluhan ………. 35

Tujuan Penyuluhan ………... 37

Pemilihan Materi dan Metode Penyuluhan ………... 39

Penyuluhan sebagai Proses Perubahan Perilaku …... 42

Peran, dan Kualifikasi Penyuluh ... 43

Kedudukan Penyuluh dalam Proses Pembelajaran Petani ... 44

Penyuluhan sebagai Proses Komunikasi Pembangunan ... 46

Proses Komunikasi ... 46

Peranan Informasi dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia ………. 49

Model Komunikasi dalam Penyediaan Informasi ………... 50

Sistem Informasi Pertanian ... 51

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ………. 53

Alur Pikir Proses Penelitian ... 53

Masyarakat Berdaya vs Tidak/Kurang Berdaya ... 57

Pemberdayaan sebagai Proses Berkesinambungan ... 58

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Kualitas SDM Petani ... 59

(14)

xiii

Hipotesis Penelitian ... 62

METODE PENELITIAN ……… 63

Rancangan Penelitian ... 63

Lokasi, Objek dan Waktu Penelitian ... 64

Populasi dan Sampel Penelitian ... 64

Data dan Instrumen Penelitian ... 68

Data ... 68

Instrumen ... 70

Validitas Instrumen ... 70

Reliabilitas Instrumen ... 72

Peubah Penelitian ... 73

Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah ... 74

Teknik Pengumpulan Data ... 81

Teknik Analisis Data ... 82

HASIL DAN PEMBAHASAN ………. 85

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Tahun 2006 ... 85

Kondisi Umum Lokasi Penelitian ... 85

Kondisi Kelembagaan Penyuluhan Pertanian ... 86

Kondisi Ketenagaan Penyuluhan Pertanian ... 88

Kondisi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian... 88

Kondisi Ketersediaan Informasi Pertanian ………... 90

Profil Petani Sayuran ……….... 91

Kondisi Internal Petani Sayuran ……....…... 96

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani …... 96

Tingkat Kesadaran Petani akan Pentingnya Informasi ... 99

Aksesibilitas Petani terhadap Informasi Pertanian ... 101

Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran... 103

Tingkat Keinovatifan Petani ... 106

Tingkat Kebutuhan Petani Sayuran tehadap Berbagai Informasi Pertanian ... 109

Kondisi Eksternal Petani Sayuran ... 113

Kesiapan Sumber Informasi Menyediakan dan Menyalurkan Informasi Pertanian ... 119

Ketersediaan Sumber Informasi ………... 121

Kemampuan Menyediakan Informasi ... 122

Kualitas Pelayanan Sumber Informasi ………... 124

Kualitas Saluran Informasi ……... 125

Faktor-faktor yang Mendukung Kemudahan Petani Mendapatkan Informasi Pertanian …………... 128

Interaksi Petani dengan Sumber Informasi ... 130

Penggunaan Saluran dan Alat Komunikasi ... 132

Pelaksanaan dan Pemanfaatan Kegiatan Penyuluhan ... 134

Kemampuan Petani Mendapatkan Informasi ... 138

Tingkat Penyediaan Informasi Pertanian ... 140

(15)

Petani Sayuran ... 154

Model Penyediaan Informasi Pertanian bagi Petani Sayuran ... 190

Peningkatan Kesadaran Petani akan Pentingnya Informasi ... 190

Identifikasi Kebutuhan Informasi Petani ... 192

Penyediaan Sumber dan Saluran Informasi ... 195

Pemanfaatan Saluran dan Alat Komunikasi ... 199

Rancangan Mekanisme Aliran Informasi ke Petani ... 199

Implementasi UU No.16 Tahun 2006 ... 200

SIMPULAN DAN SARAN ... 203

Simpulan . ... 203

Saran ………... 206

DAFTAR PUSTAKA ... 207

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Pergeseran Paradigma Penyuluhan... 34

2. Tahapan Adopsi Inovasi ... 40

3. Hubungan antara Tahap-tahap dalam Komunikasi dengan Tahap Adopsi dan Metode Penyuluhan ... 41

4. Model Penyuluhan dengan Pemberdayaan vs Tidak/Kurang Pemberdayaan ... 57

5. Nilai Koefisien Korelasi Hasil Uji Validitas ... 71

6. Nilai Koefisien Alpha Hasil Uji Reliabilitas ... 73

7. Indikator dan Parameter Karakteristik Pribadi Petani Sayuran ... 76

8. Indikator dan Parameter Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh Informasi Pertanian ... 77

9. Indikator dan Parameter Kekondusifan Faktor Lingkungan ... 78

10. Indikator dan Parameter Kualitas Sumber Informasi Pertanian ... 79

11. Indikator dan Parameter Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian ... 79

12. Indikator dan Parameter Penyediaan Informasi Pertanian ... 80

13. Indikator dan Parameter Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran ... 81

14. Sebaran Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani, Jenis Sayuran pada Lokasi Penelitian ... 93

15. Karakteristik Pribadi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani ... 95

16. Status Sosial Ekonomi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani . dan Jenis Sayuran ………... 97

17. Tingkat Kesadaran Petani Sayuran terhadap Pentingnya Informasi ... 99

18. Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dengan Peubah Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh Informasi Pertanian ... 101

19. Kemampuan Petani Sayuran Mengakses Informasi Pertanian ... 102

20. Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran dengan Peubah Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian ... 103

21. Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran ... 104

(17)

23. Hubungan antara Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran

dengan Peubah Tingkat Keberdayaan Petani ... 109 24. Tingkat Kebutuhan Petani Sayuran terhadap Berbagai Jenis

Informasi Pertanian ... 110 25. Hubungan antara Peubah Tuntutan Kebutuhan dan Memperoleh

Informasi dengan Peubah Penyediaan Informasi Pertanian ... 112 26. Kekondusifan Faktor Lingkungan Petani Sayuran ... 114 27. Hubungan antara Peubah Kekondusifan Faktor Lingkungan

dengan Peubah Penyediaan Informasi Pertanian ... 116 28. Hubungan antara Peubah Kekondusifan Faktor Lingkungan

dengan Peubah Karakteristik Pribadi Petani Sayuran ... 118 29. Hubungan antara Peubah Kekondusifan Faktor Lingkungan

dengan Peubah Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran ... 118 30. Kualitas Sumber Informasi Pertanian ... 119 31. Hubungan antara Peubah Kualitas Sumber Informasi dengan

Peubah Penyediaan Informasi Pertanian ... 120 32. Ketersediaan Sumber Informasi Pertanian ... 121 33. Kemampuan Sumber Informasi Menyediakan

Informasi Pertanian ... 123 34. Kualitas Pelayanan Sumber Informasi Pertanian ... 124 35. Kualitas Saluran Informasi Pertanian ... 126 36. Tingkat Kemudahan Petani Mendapatkan Informasi

Pertanian ... 129 37. Hubungan antara Peubah Kemudahan Mendapatkan Informasi

Pertanian dengan Peubah Penyediaan Informasi Pertanian ... 130 38. Kualitas Interaksi (Kekomunikatifan) Petani Sayuran

dengan Sumber Informasi Pertanian ... 131 39. Penggunaan Saluran dan Alat Komunikasi ………... 133 40. Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan ... 135 41. Keterjangkauan Petani Sayuran Mendapatkan Informasi

Pertanian ... 139 42. Tingkat Penyediaan Informasi Pertanian ... 141 43. Hubungan antara Peubah Penyediaan Informasi Pertanian

dengan Peubah Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran ... 144 44. Tingkat Keberdayaan Petani dalam Mengembangkan Usahatani

(18)

xvii

46. Dekomposisi Efek Model Analisis Faktor-faktor yang

Berpengaruh pada Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran ... 185 47. Kebutuhan Informasi Pertanian Berdasarkan Aspek

Manajemen Usaha ... 194 48. Lembaga/Instansi yang Berperan dalam Penyediaan Informasi

Pertanian ... 198

(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ragam Pesan Informatif ... 39

2. Proses Komunikasi dalam Penyuluhan ... 47

3. Alur Pikir Proses Penelitian ... 55

4. Kerangka Berpikir Hubungan antar Peubah Penelitian ... 56

5. Siklus Proses Pemberdayaan ... 58

6. Model Hubungan antar Peubah-peubah yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran ... 155

7. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran ... 156

8. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Sub Model 1) ... 179

9. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Sub Model 2) ... 180

10. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Institusi Pemerintah) ... 182

11. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Kelembagaan Petani) ... 183

12. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Menurut Tipologi Petani) ….. 187

13. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Menurut Jenis Sayuran) ... 188

14. Model Hubungan dan Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Keberdayaan Petani Sayuran (Menurut Lokasi Petani) ... 189

15. Mekanisme Aliran Informasi Pertanian ... 200

(20)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Tabel Tingkat Kesadaran Petani Sayuran terhadap Pentingnya

Informasi Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran ... ... 213 2. Tabel Kemampuan Petani Sayuran Mengakses Informasi

Pertanian Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran ... 214 3. Tabel Tingkat Motivasi Petani terhadap Usahatani Sayuran

Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran ... 215 4. Tabel Tingkat Keinovatifan Petani Sayuran Menurut Tipologi

Petani dan Jenis Sayuran ... ... 216 5. Tabel Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Berbagai Informasi

Peningkatan Produksi dan Mutu Sayuran Menurut Tipologi

Petani dan Jenis Sayuran ... 217 6. Tabel Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Berbagai Informasi

Ketersediaan Sarana Produksi Menurut Tipologi Petani dan

Jenis Sayuran ... 218 7. Tabel Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Berbagai Informasi

Ketersediaan Permodalan Menurut Tipologi Petani dan

Jenis Sayuran ... 219 8. Tabel Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Berbagai Informasi

Teknologi Pengolahan Hasil Menurut Tipologi Petani dan

Jenis Sayuran ... 220 9. Tabel Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Berbagai Informasi

Dukungan Pemasaran Sayuran Menurut Tipologi Petani dan

Jenis Sayuran ... 221 10. Tabel Tingkat Kebutuhan Petani terhadap Berbagai Informasi

Metode Analisis Usahatani Menurut Tipologi Petani dan

Jenis Sayuran ... 222 11. Tabel Tingkat Ketersediaan Informasi Pertanian Menurut

Tipologi Petani dan Jenis Sayuran ... 223 12. Tabel Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Kubis

Menurut Propinsi Tahun 2005 ... 224 13. Tabel Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Kentang

Menurut Propinsi Tahun 2005... 225 14. Tabel Luas Panen, Hasil per Hektar dan Produksi Cabai

(21)
(22)

15

TINJAUAN PUSTAKA

Kebijakan Pembangunan Pertanian Jangka Panjang

Pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, ternyata telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Pengalaman krisis multidimensi pada tahun 1997, menunjukkan bahwa tidak seorangpun dapat memungkiri sektor pertanian berperan sebagai fundamen yang tangguh dalam sistem perekonomian nasional. Paradigma pembangunan sektor pertanian yang hingga tahun 2000 cenderung berorientasi pada pertumbuhan produksi, mengalami perubahan ke paradigma “terwujudnya sistem pertanian berkelanjuan yang berdaya saing dan mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani”. Paradigma ini merupakan visi pembangunan pertanian jangka panjang (2005-2025) dengan landasan utama adalah “Revitalisasi Pertanian”.

Pencanangan revitalisasi pertanian oleh pemerintah yang menempatkan kembali (reposisi) arti penting sektor pertanian sebagai salah satu sektor strategis dalam tata perekonomian dan pembangunan nasional, merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan dalam menata kembali strategi dan kebijakan pembangunan pertanian nasional. Tantangan pembangunan pertanian nasional adalah, kenyataan bahwa sektor pertanian didominasi oleh: usaha kecil, berlahan sempit, bermodal rendah, produkstivitas rendah, dan daya saing produk yang lemah serta kualitas sumber daya manusia pertanian yang rendah.

Pembangunan pertanian ke depan harus dapat mengeliminasi tantangan-tantangan tersebut. Dari banyak pemikiran yang berkembang, pada prinsipnya pembangunan pertanian perlu mengubah paradigma dari sekedar memproduksi komoditas ke peningkatan kapabilitas dengan mengembangkan cara-cara baru agar mampu menghasilkan produk yang berkarakter, yaitu: unggul, lebih baik, lebih bercitra, dan dengan input yang sedikit (Pakpahan dkk, 2005). Hanya dengan strategi inilah pertanian Indonesia mampu bersaing dalam pasar global.

(23)

bagi jutaan penganggur, dan (3) mengentaskan kemiskinan. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor, (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian mengandung arti, sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain (Anonim, 2005).

Program dalam revitalisasi pertanian, bukan dimaksudkan membangun pertanian dengan cara-cara yang sentralistik, bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi merupakan upaya menggalang komitmen dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Melalui pendekatan ini, diharapkan akan dicapai perubahan paradigma pola pikir masyarakat yang sebelumnya melihat pertanian sekedar bercocok tanam menjadi pertanian yang memiliki multifungsi. Sesuai dengan semangat revitalisasi, kebijakan yang digulirkan meliputi: (1) pendayagunaan sumber daya lahan pertanian, (2) revitalisasi penyuluhan pertanian, (3) pembiayaan pertanian, (4) pengembangan ekspor produk pertanian, (5) peningkatan ketahanan pangan, (6) akselerasi inovasi dan penerapan teknologi pertanian, dan (7) pengembangan produk baru pertanian.

(24)

17

pembangunan pertanian 2005-2009 yang dilandasi dengan semangat revitalisasi pertanian, seakan-akan “melakukan semangat baru” dalam kehidupan petani.

Program revitalisasi pertanian ini sangat relevan, mengingat sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam kondisi yang masih sangat memprihatinkan. Kondisi mereka selama ini sering terjepit antara dua sisi yaitu: (1) lemahnya kondisi internal dari petani itu sendiri dan (2) lemahnya perhatian dan tanggung jawab pemerintah serta lembaga lain pendukung pembangunan pertanian. Dalam kondisi seperti inilah, petani bersifat pasrah dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Jadi penyebab kemelaratan petani sebenarnya bukan semata-mata karena petani tidak mau berubah, tapi kondisi yang tidak kondusiflah yang membuat mereka sulit untuk berubah.

Dalam menggerakkan sumber daya lokal untuk mempertinggi pencapaian kesejahteraan petani, dapat dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia petani, antara lain kegiatan penyuluhan yang dapat memberikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi petani dan membantu dalam memecahkan masalah usahataninya serta pembentukan kelompok-kelompok swadaya. Kebijakan pembangunan pertanian, diharapkan harus mampu mengatasi kelemahan ataupun hambatan yang dihadapi petani dalam melakukan usahataninya agar dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Para petani sayuran dalam pembangunan pertanian selama ini, sedikit terabaikan padahal kontribusi mereka sangat besar dalam memenuhi kebutuhan produk pertanian dalam negeri. Oleh sebab itu, pemberda-yaan untuk mengoptimalkan sumber daya mereka dapat diupayakan agar dapat hidup sejahtera dan bermartabat.

(25)

Mosher (1983), yang mengemukakan tiga struktur yang harus dilihat dalam membangun pertanian progresif yaitu: (1) menyangkut masalah usahatani itu sendiri yang terkait dengan semua komponen produksi pertanian, (2) menyangkut masalah kegiatan yang mendukung pertanian yang terkait dengan aktivitas industri dan komersialisasi yang mendukung pembangunan pertanian, (3) menyangkut masalah “aturan main” yang harus dilaksanakan, termasuk masalah nilai-nilai sosial dan politik serta kebijakan di bidang pertanian, sehingga tercipta suatu iklim yang kondusif bagi pembangunan pertanian. Ketiga struktur tersebut harus saling mendukung untuk terjadinya pembangunan pertanian progresif. Selanjutnya, Mosher mengemukakan bahwa untuk membangun pertanian yang progresif, membutuhkan perubahan perilaku dalam bidang pertanian pada seluruh struktur ini (petani, pelaku usaha atau swasta, dan pemerintah). Jadi, perubahan perilaku mencakup, baik faktor internal (petani itu sendiri) maupun faktor eksternal (di luar petani).

Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mendukung revitalisasi pertanian adalah, revitalisasi penyuluhan pertanian sebagai upaya pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar petani tahu, mau, dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya untuk bekerja sama, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Program revitalisasi penyuluhan pertanian diharapkan mampu menjawab secara tepat permasalahan yang dihadapi sistem penyuluhan selama ini.

Kebijakan Penyuluhan Pertanian dalam UU NO. 16 Tahun 2006

(26)

19

diperkuat dengan diberlakukannya otonomi daerah, sehingga timbul permasalahan karena perhatian pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap kegiatan penyuluhan pertanian berbeda antar daerah dengan kecenderungan berkurang dibanding sebelumnya ketika ditangani langsung oleh pemerintah pusat (sentralisasi).

Dalam era otonomi daerah, para penyelenggara penyuluhan pertanian melakukan kegiatan penyuluhan dengan persepsi, pendekatan dan sistem yang berbeda-beda, tidak terintegrasi karena tidak berdasarkan pada filosofi dan prinsip-prinsip penyuluhan. Hal demikian menjadikan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak efisien dan efektif, sehingga tidak mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Akhirnya, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak dapat memberikan dukungan terhadap tercapainya pembangunan pertanian, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal.

Berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan pembangunan pertanian berkelanjuan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut, sistem penyuluhan perlu direvitalisasi sejalan dengan telah dicanangkannya revitalisasi pertanian oleh Presiden RI pada tahun 2005. Revitalisasi pertanian tidak akan berjalan lancar apabila tidak didukung dengan sistem penyuluhan pertanian. Semangat revitalisasi penyuluhan pertanian ini sudah diakomodasikan oleh pemerintah dengan ditetapkannya UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 15 November 2006 (selanjutnya disebut UU No.16), sebagai dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, mengingat selama ini pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan topik penelitian ini, ada beberapa hal dalam pasal-pasal UU No.16 ini yang dianggap penulis dapat mendukung hasil penelitian ini, yaitu: (1) Sistem penyuluhan, merupakan seluruh rangkaian pengembangan kemampuan,

(27)

(2) Penyuluhan pertanian, merupakan proses pembelajaran bagi petani agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, (3) Tujuan pengaturan sistem penyuluhan, meliputi pengembangan sumber daya

manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu memberdayakan petani dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan, serta fasilitasi,

(4) Fungsi sistem penyuluhan, antara lain: (a) mengupayakan kemudahan akses petani ke sumber informasi pasar, teknologi permodalan, dan sumber daya lainnya, (b) membantu menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola usahataninya,

(5) Kelembagaan penyuluhan pemerintah, yang menangani penyelenggaraan penyuluhan akan terbentuk mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa/ kelurahan,

(6) Kelembagaan penyuluhan non pemerintah (Komisi Penyuluhan), untuk membantu Menteri Pertanian dalam menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan akan terbentuk mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten,

(7) Balai Penyuluhan (pada tingkat kecamatan), mempunyai tugas antara lain: menyebarkan informasi pasar, teknologi, sarana produksi, permodalan, dan sumber daya lainnya,

(8) Program penyuluhan desa/kelurahan, mempunyai tugas antara lain: (a) menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya, (b) memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan, dan pelatihan bagi petani,

(9) Kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau swadaya, mempunyai tugas antara lain: (a) membentuk forum, jaringan, dan kelembagaan petani, (b) menyampaikan informasidan teknologi usaha kepada petani,

(10) Kelembagaan petani (beranggotakan petani), baik formal maupun non formal dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi, (11) Penyuluhan dilakukan oleh tenaga penyuluh, terdiri atas: penyuluh PNS,

(28)

21

(12) Pemerintah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS, melalui pendidikan dan pelatihan serta memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya,

(13) Materi penyuluhan: (a) dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan petani dan (b) berisi unsur pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan,

(14) Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai.

Penetapan UU No.16 sebagai “payung hukum” bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, sudah tepat seiring dengan dinamika perubahan global yang menuntut keterbukaan dan kebebasan mendapatkan informasi serta perubahan sistem pemerintahan yang semula terpusat menjadi terdesentralisasi. Dengan demikian, sistem penyuluhan pertanian ke depan diharapkan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan akan perubahan-perubahan pada masa yang akan datang. Keberadaan UU No.16, dapat kita pahami sebagai niat baik dan keberpihakan pemerintah terhadap upaya percepatan pemberdayaan petani.

Penyuluhan pertanian ke depan adalah, bagian integral dari pemberdayaan dan pemartabatan petani, artinya pendekatan yang dilakukan tetap berpijak pada “pendekatan kemanusiaan”. Petani harus dipandang sebagai subyek, mereka mutlak dijadikan mitra dialog dalam merumuskan materi penyuluhan dalam sebuah programa penyuluhan, termasuk menyediakan informasi pertanian yang dibutuhkan dan memberikan kemudahan untuk memperoleh informasi (akses ke sumber informasi). Dengan adanya UU ini, diharapkan dapat merevitalisasi penyelenggaraan penyuluhan secara nasional yang dulu dianggap berhasil dalam khasanah pembangunan pertanian nasional melalui pencapaian swasembada beras pada tahun 1984.

Eksistensi Petani dalam Pembangunan Pertanian

(29)

manusia lainnya. Selanjutnya, dijelaskan bahwa petani sebagai orang yang menjalankan usahatani, di samping sebagai juru tani sekaligus juga pengelola (manajer) nya. Menurut Soejitno (1968), batasan pengertian tentang petani adalah, sebagai penduduk atau orang-orang yang untuk sementara atau secara tetap memiliki dan atau menguasai sebidang ”tanah pertanian” dan mengerjakannya sendiri, baik dengan tenaganya sendiri (beserta keluarganya) maupun dengan menggunakan tenaga orang lain atau orang upahan. Termasuk dalam pengertian ”menguasai” di sini, adalah: menyewa, menggarap (penyakap), memaro (bagi hasil), sedangkan buruh tani tak bertanah tidak masuk dalam kategori petani. Dengan demikian, pada dasarnya petani mempunyai eksistensi ganda di dalam kehidupannya sehari-hari, baik petani sebagai manusia, sebagai juru tani maupun selaku manajer dari usahataninya. Sehubungan dengan itu, setiap kegiatan penyuluhan pertanian yang menjadikan petani sebagai sasaran utamanya harus selalu memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki petani sebagai ciri-ciri pokok yang akan mempengaruhi keberhasilan usaha dan perubahan perilaku yang ingin dicapai melalui kegiatan penyuluhan pertanian tersebut.

Petani sebagai Manusia

Setiap orang termasuk juga petani selalu memiliki rasa, karsa, dan cipta yang memungkinkannya untuk memiliki rasa harga diri yang mendorong untuk berpikir, berkeinginan atau bercita-cita, dan yang menuntutnya untuk selalu berusaha bekerja serta berkreasi, baik guna mempertahankan dan menjamin kelangsungan kehidupannya maupun untuk dapat mencapai tingkat kesejahteraan lahir batin yang dimiliki lebih memuaskan. Berkaitan dengan sifat-sifat ini, dapat dikemukakan beberapa ciri-ciri petani, sebagai berikut:

(1) Petani mempunyai harga diri

Petani sebagai manusia biasa, selalu merasa punya harga diri yang dapat membuatnya merasa bangga atau pantas dihargai oleh lingkungannya sendiri dan oleh orang lain di luar lingkungannya itu.

(2) Petani mempunyai cita-cita

(30)

23

martabatnya di mata orang lain. Oleh sebab itu, jika timbul masalah atau hambatan dalam penyuluhan sebaiknya jangan menyalahkan petani tetapi hendaklah dicari sebab-sebab keengganan petani tersebut. Pernyataan yang sangat menarik pernah disampaikan oleh Soeharsono (1971), sebagai berikut: “petani itu bukannya tidak mau maju, tetapi mereka memang tidak mau maju menurut cara-cara yang tidak disetujuinya”.

Petani sebagai Juru Tani

Sebagai juru tani, petani pada umumnya melaksanakan kegiatannya berdasarkan pengalaman praktek yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para nenek moyang mereka sebagai suatu ”kebiasaan”. Hidup berdasarkan atas kebiasaan, sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh petani saja tetapi juga oleh golongan masyarakat yang lain, sebab sampai batas-batas tertentu kebiasaan itu sangat berharga karena merupakan sesuatu yang sangat ditaati dan dilaksanakan. Di dalam masyarakat petani, dapat dikemukakan adanya beberapa kebiasaan yang sangat penting artinya bagi pembangunan pertanian yaitu:

(1) Kebiasaan memperhatikan iklim, fluktuasi harga, dan lain-lain yang berkaitan dengan usahataninya. Kebiasaan tersebut adalah, pencerminan dari kejelian hasil pengamatan petani tentang berbagai pengaruh alam di dalam usahataninya yang telah teruji oleh waktu dan rasional. Di samping itu, ketaatan petani dalam mengikuti kebiasaan-kebiasaan masyarakat, juga merupakan manifestasi dari sikap berhati-hati dan penuh perhitungan untuk tidak terlalu cepat mudah mengikuti informasi teknologi baru yang belum dapat dipastikan memberikan manfaat yang lebih baik,

(2) Kebiasaan bertanya “mengapa”, baik terhadap segala sesuatu yang telah dikerjakan atau dihadapinya sehari-sehari maupun sesuatu yang masih ‘baru”, petani selalu ingin tahu dan bertanya “mengapa”,

(3) Kebiasaan petani melakukan perhitungan-perhitungan kuantitaif. Petani umumnya tidak cukup puas dengan pernyataan kualitatif seperti: subur, baik, luas, tetapi lebih cenderung menilai atau mengukur dengan kuantitatif, dan (4) Kebiasaan petani untuk selalu mencari alternatif baru yang dianggap atau

(31)

usahataninya. Kebiasaan seperti itu, terutama terdorong oleh punya rasa harga diri yang tinggi, sehingga petani akan merasakan bangga bila dapat memperoleh kenaikan produksi dan atau pendapatannya dibanding petani tetangganya, teta pi sebaliknya dia akan malu dan iri jika ternyata tanamannya tumbuh lebih kerdil dibanding tetangganya.

Sebaliknya, petani sebagai juru tani juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah menerima bahkan cenderung untuk menolak atau menghambat kelancaran pembangunan seperti:

(1) Tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama yang belum kenal dan atau bukan dari kalangan petani seperti mereka. Kebiasaan seperti ini, sering memperlambat kelancaran adopsi teknologi baru yang disuluhkan para petugas penyuluhan dari lingkungan di luar mereka.

(2) Tidak mudah menerima atau tidak bersedia (menolak) perilaku dan atau kegiatan-kegiatan yang dianggapnya berbeda, apalagi yang bertentangan dengan kebiasaan adat setempat. Penyimpangan dari kebiasaan, tidak saja dianggap sebagai keanehan atau tindak kebodohan tetapi dipandang telah menimbulkan pergesekan yang merupakan pelanggaran atau ”dosa” terhadap norma-norma tradisional yang harus dipertahankan atau dihormati serta dijunjung tinggi.

Petani sebagai Manajer Usahatani

Tingginya rasa harga diri di kalangan petani, mereka tidak mau ”digurui” oleh siapapun apalagi dari kalangan yang belum dikenalnya. Sebagai pengelola (manajer), mereka merasa punya tanggung jawab penuh dan ingin dianggap mampu menghadapi tantangannya sendiri. Keterampilan sebagai pengelola, tercakup di dalamnya terutama pengambilan keputusan atau penetapan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada.

(32)

25

penggunaan tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Petani harus menentukan apakah perlu menambah tenaga kerja untuk pekerjaan di lahan usahataninya, berapa banyak hasil produksinya yang digunakan untuk kebutuhan hidup keluarganya dan usahataninya serta kapan dan kepada siapa harus menjual produknya.

Oleh sebab itu, pentingnya petani meningkatkan kemampuannya sebagai pengelola, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya, berusaha membuat usahataninya lebih produktif dengan memperoleh keuntungan yang semakin meningkat.

Konsep Kebutuhan dan Kesadaran akan Kebutuhan

Perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan adalah, apabila kebutuhan tidak dipenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara fisiologis dengan psikologisnya, sedangkan keinginan, apabila tidak dipenuhi tidak akan menimbulkan ketidakseimbangan pada fisiologis dan psikologisnya (Slamet, 2000). Menurut Goodin (1990), kebutuhan tidaklah selalu bersifat absolut. Kebutuhan mempunyai dua komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: prioritas dan kerelatifan. Dalam kaitan dengan prioritas, bila terjadi konflik, pihak yang memiliki otoritas sedapat mungkin berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat, bukannya keinginan masyarakat. Di sini agen pembaruan atau penyuluh harus membantu masyarakat untuk mengenali secara lebih tepat, manakah yang sebenarnya lebih penting untuk komunitas tersebut. Hal ini, sebaiknya dilakukan dengan cara diskusi sehingga terjadi proses pengambilan keputusan oleh masyarakat berdasarkan perkembangan pengetahuan dan kesadaran mereka sendiri, sehingga bukan karena paksaan atau instruksi dari agen pembaruan.

(33)

Dari contoh di atas, terlihat bahwa kebutuhan yang tadinya kelihatan seperti sesuatu yang absolut bila diperdalam lagi akan dapat terlihat komponen kerelatifannya. Dalam kaitan dengan hal ini, agen pembaruan/penyuluh dituntut untuk selalu memperbarui atau mengkaji ulang kebutuhan dari komunitas binaan mereka, karena dengan berjalannya waktu dan perubahan lingkungan sosial (kondisi sosial ekonomi) maka kebutuhan suatu kelompok masyarakat dapat saja terjadi perubahan.

Stufflebean (1985) dan Kaufman (1979) mengemukakan beberapa pandangan terhadap kebutuhan, antara lain: (1) pandangan kesenjangan, kebutuhan merupakan kesenjangan atau jarak antara pengukuran atau persepsi terhadap performan yang diharapkan dengan performan yang teramati atau yang aktual, (2) pandangan demokratik, kebutuhan merupakan suatu perubahan atau arah yang diinginkan oleh sebagian besar dari beberapa kelompok acuan, (3) pandangan analitis, kebutuhan adalah arah “ke mana” perbaikan-perbaikan dapat diperkirakan terjadi dengan memperhatikan keadaan yang sedang terjadi, dan (4) pandangan diagnostik, kebutuhan adalah sesuatu yang tidak ada atau kekurangan menyebabkan menderita atau yang kalau ada membuat kemanfaatan. Oleh sebab itu, seorang agen pembaruan/penyuluh dalam memberikan informasi kepada petani, dia harus tau dan menganalisis terlebih dahulu level hirarki dari kebutuhan petani tersebut agar informasi yang diberikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan petani sehingga mendapat respon positif dari petani yang bersangkutan.

Miller dalam Doyal dan Ian (1991) mengemukakan bahwa kesadaran individu merupakan akibat dari interaksi dengan yang lain, berupa bentuk belajar mengajar yang lebih kondusif dan hubungannya dengan para ahli atau pakar. Dewey dalam Maslow (1984) mengungkapkan bahwa untuk menjadi sadar akan kebutuhannya merupakan suatu prestasi psikologis yang sulit, karena hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat kompleks, termasuk motivasi dari individu yang bersangkutan. Kebutuhan ditentukan oleh laporan dari orang yang mengalami kebutuhan itu dan disadari atau tidak disadari, bahwa semua perilaku manusia ditujukan pada pemuasan kebutuhannya.

(34)

27

pengalaman sebelumnya, (2) kebutuhan yang dirasakan, (3) keinovatifan, dan (4) nilai-nilai dari sistem sosial. Lionberger (1960) mengemukakan bahwa ada dua peubah penting yang mempengaruhi kesadaran seseorang terhadap kebutuhannya, yaitu karakteristik pribadi dan kemampuan mengakses informasi dari sumber informasi yang memberinya informasi yang dibutuhkannya.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, adanya tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi, Bradford (1961) mengemukakan bahwa orang akan bisa kreatif dan produktif jika individu tersebut dilatih kesadarannya. Pendapat ini menunjukkan, bahwa ada hubungan antara tingkat kesadaran individu terhadap pentingnya informasi (kesadaran terhadap kebutuhan) dengan tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi. Selain itu, agar seseorang cepat menyadari kebutuhannya, perlu diciptakan kondisi-kondisi tertentu yang dapat mengungkapkan kebutuhan serta dapat mendorong (memotivasi) dan memungkinnya mencapai kebutuhan tersebut.

Menurut Maslow (1970), motivasi merupakan daya gerak yang mendorong seseorang atau diri sendiri untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai suatu kepuasan atau suatu tujuan. Suatu motivasi timbul berdasarkan kebutuhan hidup, kebutuhan merupakan unsur yang paling kuat untuk membentuk motivasi. Unsur motivasi sangat penting baik bagi kehidupan individu maupun kelompok, karena dengan motivasi inilah akan timbul kekuatan potensial manusia untuk berprestasi.

(35)

kebutuhan yang lainnya dan sifatnya relatif, artinya tidak harus suatu kebutuhan dipenuhi 100% sebelum muncul kebutuhan lainnya.

Identifikasi terhadap perilaku individu yang sadar dan yang tidak sadar akan kebutuhannya masih sulit dibedakan, namun pada umumnya orang lebih banyak yang tidak sadar daripada yang sadar akan kebutuhannya, padahal kebutuhan yang belum disadari sama pentingnya bagi individu dengan kebutuhan yang disadari. Setiap orang yang belajar mengenal kekurangan dirinya dan mengetahui pokok-pokok kebutuhannya, maka secara garis besar orang tersebut akan mengetahui gejala yang menunjukkan kurangnya wawasan terhadap pokok-pokok kebutuhan ini dan dengan sadar dia akan dapat mencoba mengejar kekurangan-kekurangan ini, karena berusaha dengan sadar akan lebih baik dan efektif daripada menutupi kekurangannya tanpa sadar. Rogers dalam Krech, Richard dan Egerton (1962) menyatakan bahwa kesadaran seseorang terhadap suatu kebutuhan akan menentukan keberhasilannya dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai upaya yang dapat menyadarkan individu terhadap kebutuhan “real” nya.

Berdasarkan pendapat beberapa ahli tersebut, penelitian ini melihat ada lima faktor penting yang menentukan adanya tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, yaitu: (1) status sosial ekonomi petani, (2) kesadaran petani akan pentingnya informasi, (3) kemampuan petani mengakses informasi, (4) motivasi terhadap usahatani, dan (5) keinovatifan.

Konsep Pemberdayaan Masyarakat

Secara konseptual, pemberdayaan pada intinya membahas cara individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengkontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Menurut Pranarka dan Vidyandika (1996), munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang berkembang di suatu negara.

Proses pemberdayaan pada hakekatnya, dapat dipandang sebagai

(36)

29

berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan (humanisme) serta menolak segala bentuk power yang bermuara pada proses dehumanisasi eksistensi manusia.

Parson dalam Hikmat (2001) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan. Dengan pengertian ini, kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan.

Kartasasmita (1996) dan Sumodiningrat (1999) menyatakan bahwa inti memberdayakan adalah, memampukan dan memandirikan masyarakat dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Sumodiningrat (1999) mengartikan keberdayaan masyarakat sebagai kemampuan individu yang bersenyawa dengan masyarakat dalam membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Kartasasmita (1996) berpendapat, pendekatannya harus dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi. Hal ini didasarkan pada pemikiran, bahwa setiap manusia atau masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya.

Penciptaan iklim yang kondusif tersebut, selanjutnya harus diikuti dengan upaya memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat dengan menyusun langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, menyangkut penyediaan berbagai masukan dan membuka akses kepada berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Langkah selanjutnya, memberi perlindungan melalui pemikiran kepada yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang dan menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan.

(37)

proses dialog. Seringkali terwujudnya kecenderungan primer harus didahului kecenderungan sekunder.

Pemberdayaan adalah, model pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Menurut Chambers (1993), paradigma baru pembangunan tersebut lebih bersifat people-centered, participatory, empowering dan

sustainable. Dalam tingkat konsepsional, daya diartikan sebagai kekuatan dari dalam yang dapat diperkuat oleh unsur-unsur penguatan dari luar. Oleh sebab itu, pemberdayaan dapat ditujukan pada dua sasaran, yaitu: (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan serta (2) memperkuat posisi lapisan penduduk lokal dalam struktur kekuasaan.

Pemberdayaan dan partisipasi, merupakan dua konsep yang sangat erat kaitannya satu dengan yang lainnya. Pemberdayaan, pada hakekatnya merupakan tahap awal untuk terjadinya partisipasi dalam diri individu, kelompok, komunitas, ataupun masyarakat dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian. Menurut Mc.Ardle dalam Hikmat (2001), hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, partisipasi mensyaratkan proses pemberdayaan terlebih dahulu. Menurut Mikkelsen (1999), sebagai sebuah tujuan, partisipasi menghasilkan “pemberdayaan”, yakni setiap orang berhak menyatakan pendapat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupannya.

Dari beberapa pendapat ahli ini, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan merupakan proses memanusiakan manusia, sebagai makhluk yang memiliki hak untuk mengambil keputusan yang terbaik bagi diri dan masa depannya. Banyak program penyuluhan kurang memberdayakan dan memandirikan masyarakat sasaran karena menyimpang dari falsafah penyuluhan itu sendiri. Program penyuluhan sering dimanfaatkan untuk kepentingan politis dan ekonomi yang berkuasa, sehingga kurang dirasakan manfaatnya dari sisi sasaran penyuluhan (Sumardjo, 2000).

(38)

31

kegiatan penyuluhan boleh ada atau boleh tidak ada dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Pekerjaan penyuluh, juga belum dapat apresiasi yang semestinya dan belum difasilitasi secara memadai (Hubeis, 1994).

Selanjutnya, Slamet (2000) menyatakan bahwa tantangan penyuluhan masa kini, antara lain adalah: (1) menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas menuju masyarakat madani, (2) menyiapkan sumber daya manusia yang mampu melaksanakan dan memanfaatkan otonomi daerah, dan (3) memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan. Masyarakat madani, pada dasarnya adalah masyarakat yang mempunyai ciri-ciri yaitu: (1) berdaulat, komunikatif, antisipatif dan adaptif terhadap perubahan lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungan fisik (SDA), (2) berkeswadayaan tinggi, (3) menerima adanya keragaman, (4) selalu berusaha mengembangkan diri, (5) tahu prioritas apa yang dibutuhkan bagi kehidu pannya dan bagaimana mendapatkannya, dan (6) berani mengambil keputusan dan merasa bertanggung jawab atas setiap perilakunya tersebut.

Menurut Sumardjo (2000), bila hendak memberdayakan masyarakat melalui penyuluhan perlu dipahami beberapa hal berikut:

(1) Apa itu penyuluhan: falsafah, prinsip-prinsip, tujuan dan metode yang tepat untuk dipilih dalam suatu program maupun kegiatan penyuluhan ?

(2) Apa hubungan pemberdayaan masyarakat, masyarakat madani dengan tujuan penyuluhan ?

(3) Bagaimana peran penyuluhan dalam pemberdayaan masyarakat ?

Pentingnya Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat

Konsep modal sosial dapat diterapkan untuk upaya pemberdayaan masyarakat. Modal sosial adalah, pengertian abstrak namun rasional karena landasan utamanya adalah akal budi masusia dan system thinking (Senge, 1999). Modal sosial merupakan cerminan sejauh mana masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang bersifat unik mampu mengembangkan hubungan-hubungan, interaksi dan ‘transaksi’ sosial sehingga terwujud struktur sosial.

(39)

paling kuat (kental) yang dicirikan oleh struktur sosial masyarakat dari loose structure sampai ke solid structure (Coleman, 1999). Aspek kebersamaan antar individu di dalam masyarakat guna memenuhi berbagai kebutuhan, merupakan salah satu indikator dari encer/kentalnya kadar modal sosial.

Menurut World Bank (1998), modal sosial tidaklah sederhana hanya sebagai jumlah dari seluruh institusi yang ada, namun modal sosial juga semacam perekat yang mengikat semua orang dalam masyarakat. Dalam modal sosial dibutuhkan adanya “nilai saling berbagi” (shared value) serta pengorganisasian peran-peran (rules) yang diekpresikan dalam hubungan-hubungan personal, kepercayaan, dan common sense tentang tanggung jawab bersama sehingga masyarakat menjadi lebih dari sekedar kumpulan individu belaka.

Modal sosial memiliki konstruksi penting dalam pembangunan, khususnya agar tercapainya pembangunan berkelanjutan. Pada konsep awal pembangunan berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan baru terbatas pada modal alamiah, modal fisik, dan modal manusia. Kemudian disadari, ketiga kapital tersebut baru menjelaskan secara parsial dari keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi. Satu mata rantai yang hilang adalah, modal sosial (Grootaert, 1997). Jadi, modal sosial tidak dapat diciptakan oleh seorang individual, namun sangat tergantung kepada kapasitas masyarakat (ataupun organisasi) untuk membentuk asosiasi atau jaringan baru. Modal sosial hadir karena adanya kontrak sosial, yaitu persetujuan antara sesama warga atau kelompok tentang asas-asas tertentu, berkenan dengan kehidupan bersama dalam masyarakat. Kontrak tersebut mengikat secara legal dan dipegang teguh sebagai komitmen moral.

(40)

33

dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan termasuk dalam perlu melibatkan dan memberdayakan organisasi masyarakat yang telah ada.

Pemberdayaan kelembagaan masyarakat yang telah berkembang sesuai dengan sosial budaya setempat (Communal Resources Management) diprioritaskan, karena hal ini merupakan modal sosial dalam mengelola sumber daya alam dan lingkungan. Selain itu, mereka sudah terbiasa dengan kondisi setempat yang mempunyai norma dan kebiasaan lokal dalam pengelolaan lingkungan, di samping telah mempunyai kearifan lingkungan untuk mengelola sumber daya alam setempat. Jadi, kalau dilihat dari aspek keberlanjutan, sebenarnya tidak dapat lepas dari perilaku manusianya. Oleh sebab itu, Firebaugh (1990) mengemukakan bahwa selama aspek manusia diabaikan, maka sulit pembangunan pertanian berkelanjutan akan dapat diwujudkan.

Robert Putnam (1993) mengemukakan tiga elemen utama dalam modal sosial, yaitu: rasa saling percaya (trust), norma yang disepakati dan ditaati (social norms), serta jaringan hubungan sosial (social network). Pengertian trust yaitu, interaksi-interaksi yang didasari perasaan yakin bahwa orang lain akan memberi respon sebagaimana diharapkan dan akan saling mendukung. Jadi, ada perasaan aman ketika berinteraksi dengan orang lain. Social norms, menyediakan kontrak sosial yang efektif, tidak tertulis namun menjadi panduan untuk menentukan apa pola perilaku yang diharapkan dari orang-orang dalam suatu masyarakat, yaitu perilaku-perilaku yang dinilai baik di masyarakat. Selain itu, modal sosial juga melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Ada dua pendekatan untuk mengukur modal sosial, yaitu: (1) pendekatan sensus dengan menghitung jumlah grup atau kelompok sosial yang ada dan keanggotaan grup dalam suatu masyarakat, dan (2) pendekatan survai, dengan mengukur derajat kepercayaan dan daya kohesi dalam masyarakat.

(41)

memberikan tenaganya baik di pertanian maupun di rumah. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dibutuhkan modal sosial agar mudah mendapatkan informasi melalui kerjasama dan interaksi dalam kelompok serta membentuk jaringan kerja. Francis Fukuyama mengemukakan bahwa modal sosial adalah, kemampuan orang bekerjasama untuk suatu tujuan bersama dalam kelompok dan organisasi.

Penyuluhan Pembangunan dalam Perspektif Pemberdayaan

Paradigma Baru Penyuluhan Pembangunan

Pengertian paradigma menurut Kuhn (2000), adalah konstelasi teori, suatu nilai dan tema pemikiran yang dikembangkan atau tempat kita berpijak dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial. Perbedaan paradigma lama dengan paradigma baru penyuluhan, seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pergeseran Paradigma Penyuluhan

Faktor Paradigma Lama Paradigma Baru

1. Model a. Transfer teknologi.Ukuran keberhasilan adalah produksi meningkat. Manusia dipandang sebagai obyek penyuluhan.

b. Keberhasilan sangat tergantung kepada peneliti dan penyuluh. c. Ketergantungan pada satu orang penyuluh.

d. Arus komunikasi bersifat linier. Penyuluh lebih berperan daripada klien dan komunikasi bersifat satu arah (top down).

a. Berdasarkan pada falsafah pendidikan yang berorientasi pada unsur klien. Ukuran keberhasilan adalah, manusia yang tahu dan mampu/berdaya. b. Model pemberdayaan dengan

penyediaan informasi. c. Mengembangkan sinergisme

antar lembaga terkait. d. Partisipasi klien lebih besar

daripada penyuluh. Komunikasi dengan banyak arah bersifat bottom up.

2. Klien Klien sebagai penerima informasi kurang dilibatkan dalam keseluruhan kegiatan.

Klien sebagai mitra. Petani sebagai sumber/saluran informasi.

3.Penyuluh Memiliki ciri-ciri pengajar, melaku-kan kegiatan mengajar dan sebagai sumber informasi serta dianggap sebagai ahli.

Berperan sebagai sumber /saluran informasi, fasilitator, mediator, dan pemandu yang bersifat demokratis dan egaliter.

4. Proses - Proses pemberian ilmu, penyuluh menyiapkan materi penyuluhan. - Hirarkhi penyuluhan dari pusat pusat sampai daerah.

- Proses penemuan ilmu, klien berinteraksi dengan lingkungan

alam, sosial dan akses ke sumber informasi.

- Mengembangkan kemitraan.

(42)

35

Kekuatan suatu paradigma (Karsidi, 2000) terletak pada kemampuan membentuk hal-hal yang dilihat, cara melihat sesuatu yang dianggap masalah, macam masalah yang kita rasa bermanfaat untuk dipecahkan, serta macam metode yang digunakan dalam meneliti dan berbuat. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan para pendukung paradigma yang menang itu lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan dari pengikut paradigma yang dikalahkan dan bukan karena paradigma mereka lebih baik dari yang dikalahkan.

Prinsip-Prinsip Penyuluhan

Pengertian penyuluhan bukan sekedar transfer teknologi dan bukan pula program charity yang bersifat darurat. Akan tetapi, menurut Slamet (2001), penyuluhan adalah program pendidikan luar sekolah yang bertujuan untuk: (1) memberdayakan sasaran, (2) meningkatkan kesejahteraan sasaran secara mandiri, dan (3) membangun masyarakat madani. Penyuluhan tidak bersifat ad-hock, melainkan suatu sistem yang berfungsi secara berkelanjutan. Pada dasarnya penyuluhan adalah, program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.

Pendidikan yang diberikan kepada masyarakat adalah, pendidikan nonformal atau penyuluhan yang berperan memberdayakan sasaran dengan cara sebagai berikut:

(1) Mengembangkan kemampuan masyarakat menjadi semakin kritis dalam mengantisipasi, melihat, dan memahami permasalahan kehidupan,

(2) Secara demokratis, mengembangkan proses adopsi inovasi yang lebih menguntungkan masyarakat sasaran penyuluhan,

(3) Mendampingi sasaran penyuluhan dalam proses pemecahan masalah (saling belajar dan saling berbagi pengalaman),

(4) Menjadi mediator antara pembuat kebijakan dengan kelayan (sasaran), penyuluh sebagai fasilitator, dan masyarakat sebagai pelaku (subjek),

(43)

(6) Mengembangkan kemampuan masyarakat untuk menentukan program pembangunan, berasal lokal serta berorientasi global, dan

(7) Mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menguasai dan beradaptasi terhadap lingkungan fisik dan lingkungan sosial (Slamet, 2000).

Menurut Slamet dan Asngari (1969), falsafah dasar penyuluhan yaitu: (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3) penyuluhan adalah proses kontinyu. Pendidikan, merupakan upaya agar potensi manusia keluar yang intinya adalah interaksi dan bukan transfer ilmu. Falsafah penyuluhan juga bermakna menolong orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri, melalui pendidikan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraannya (to help people to help themselves through educational means to improve their level of living). Jadi, tujuan penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku secara sukarela (atas dasar kesadaran diri dan pemahaman yang tepat) bahwa perubahan perilaku tersebut berguna bagi kepentingannya yakni peningkatan kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi, antara lain (Sumardjo, 2000):

(1) Pengetahuan/pemahaman , baik jenis, kedalaman maupun ketepatannya,

(2) Keterampilan dalam melaksanakan kegiatan yang berkaitan dengan kepentingan diri, keluarga, dan masyarakatnya,

(3) Kecakapan dalam berpikir untuk menyelesaikan persoalan yang menyangkut kehidupannya sehari-hari, dan

(4) Sikap kecenderungan untuk: (a) tidak berprasangka terhadap hal-hal yang belum dikenal, (b) berani mencari dan mencoba sesuatu yang baru untuk memperbaiki kebiasaan hidup yang sudah tidak produktif lagi, (c) mau bekerjasama serta setara dalam menyelesaikan masalah bersama, (d) memupuk sikap swadana dan swadaya.

Menurut Dahama atau Bhatnagar (1980), ada dua belas prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas (Dahama atau Bhatnagar, 1980), yaitu :

(44)

37

(2) Penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga/kerabatnya,

(3) Penyuluhan harus menyadari adanya keragaman budaya yang memerlukan keragaman pendekatan,

(4) Kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya,

(5) Penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan, (6) Penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran

untuk ikut memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah, dan metode apa yang digunakan dalam penyuluhan,

(7) Prinsip belajar sambil bekerja,

(8) Penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh,

(9) Penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metode yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan sosial budaya) spesifik sasaran,

(10) Penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan,

(11) Penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial, dan

(12) Penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan kepuasan sasarannya.

Tujuan Penyuluhan

Tujuan penyuluhan dapat dilihat dari dua arah, yaitu dari arah pemerintah (penyuluh) dan dari arah rakyat atau sasaran penyuluhan (Slamet dan Asngari, 1969). Ditinjau dari arah penyuluh, penyuluh harus mengetahui kepentingan sasaran penyuluhan dan dilihat dari arah sasaran penyuluhan, mereka merasakan adanya sesuatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Tugas penyuluh adalah, menemukan cara yang dapat memadukan kedua tujuan tersebut sehingga tercapailah perbaikan tingkat kesejahteraan sasaran penyuluhan.

(45)

kegiatan dan mendorong orang untuk berusaha, (2) dibutuhkan masyarakat, dirasakan sebagai kebutuhan sasaran penyuluhan, (3) meliputi mayoritas masyarakat sasaran penyuluhan, (4) bersifat mengembangkan/ perbaikan, dan (5) dapat dinilai/diukur dan fakta-faktanya dapat dikumpulkan.

Dalam menyusun tujuan program penyuluhan perlu memperhatikan unsur-unsur tujuan pendidikan berikut (Slamet, 1978): (1) orang yang menjadi sasaran penyuluhan, (2) perubahan perilaku apa yang diinginkan, (3) masalah yang diinginkan dengan perubahan perilaku tersebut, dan (4) situasi lingkungan yang tidak mutlak. Tujuan-tujuan tersebut, dirumuskan sedemikian rupa sehingga jelas dan dapat diukur serta dievaluasi keberhasilannya, sehingga dapat menjadi arah atau tolok ukur dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan penyuluhan.

Selanjutnya, penyelenggaraan penyuluhan perlu diarahkan untuk:

(1) Mengkondisikan berkembangnya kelembagaan tani ke arah terciptanya sistem pengguna aktif informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang muncul sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis. Meningkatkan kemampuan kemandirian dalam mengambil keputusan, dengan mengambil kemanfaatan seoptimal mungkin keberadaan lembaga Balai Penyuluhan Pertanian (BPP),

(2) BPP diperkuat dan diarahkan menjadi pusat pengelolaan penyuluhan pertanian di perdesaan, yang mampu melayani seluruh kepentingan pendidikan non formal bagi petani (yang menjadi pengguna aktif) beserta keluarganya serta masyarakat perdesaan pada umumnya,

(3) Membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian yang mampu mendukung kelembagaan petani serta menciptakan iklim kepemimpinan demokratis dalam mengembangkan agribisnis.

Gambar

Tabel 1  Pergeseran Paradigma Penyuluhan
Gambar 1  Ragam Pesan Informatif
Tabel 2  Tahapan Adopsi Inovasi
Gambar 2  Proses Komunikasi dalam Penyuluhan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Offered the choice between exporting at much higher prices and domestic contracts at lower prices, several French dairy processors broke their purchasing contracts with retailers

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang- Undang Nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah adalah dua undang-undang yang

Keenam jalur tersebut seluruhnya dapat digunakan dalam moneter konvensional namun tidak begitu dengan moneter islam (ekonomi islam), misalnya saja jalur suku bunga , jalur ini

Untuk itulah, tulisan ini terdiri dari dua sub bahasan, yaitu (1) konsepsi tentang hoax, tipologi hoax, dan aspek lain yang terkait secara langsung; (2) model gerakan anti hoax

Pokja Pengadaan Barang Kelompok IV yang dibentuk berdasarkan Keputusan Kepala Unit Layanan Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah Kabupaten Muara Enim Nomor

Dari analisis data di atas peneliti menyimpulkan bahwa melihat latar belakang pijakan yang digunakan SMP Islam Thoriqul Huda tersebut, maka strategi perencanaan

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Karakteristik Bakso Ikan dari Campuran Surimi Ikan Layang ( Decapterus spp) dan Ikan Kakap Merah ( Lutjanus sp)

Dari keempat ie pokok tersebut dapat kita simpulkan bahwa pnelitian tindakan merupakan penelitian dalam bidang social, yang menggunakan refleksi diri sebagai