• Tidak ada hasil yang ditemukan

Alur Pikir Proses Penelitian

Kerangka berpikir dan proses penelitian ini, dimulai dengan tinjauan terhadap kebijakan pembangunan pertanian berkelanjutan termasuk pembangunan hortikultura (buah-buahan, sayuran, tanaman obat dan tanaman hias). Mengacu kepada pengalaman dan menyikapi krisis ekonomi pada akhir abad 20, pemerintah telah menempatkan kembali sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Subsektor hortikultura sebagai bagian dari sektor pertanian telah menjadi salah satu prioritas, mengingat hortikultura mempunyai potensi, peluang, dan prospek untuk dikembangkan dan dikelola melalui pendekatan pengembangan dan pembinaan usaha agribisnis secara intensif kepada masyarakat tani, sehingga mampu mengelola usahanya dengan nuansa bisnis yang profesional.

Komoditas hortikultura, merupakan komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan mengingat potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, ketersediaan teknologi, serta potensi serapan pasar di dalam negeri dan pasar internasional yang terus meningkat. Dengan meningkatnya pendidikan dan kesejahteraan masyarakat, akan mendorong peningkatan kemampuan daya beli dan preferensi permintaan masyarakat terhadap komoditas hortikultura dalam rangka diversifikasi konsumsi dan peningkatan gizi. Dengan demikian, komoditas hortikultura merupakan satu potensi besar yang dapat dikembangkan sebagai basis perekonomian nasional dan dapat memberikan keuntungan dan nilai tambah yang tinggi bagi petani dan pelaku usaha lainnya. Langkah strategis yang dipandang tepat adalah, memperbaiki manajemen usaha pada tingkat petani dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan petani dan dapat diakses dengan relatif lebih mudah sehingga petani lebih berdaya dan dinamis serta progresif secara berkelanjutan.

Pembangunan agribisnis hortikultura dan pemberdayaan petani perlu dilakukan melalui pendekatan sistem dengan meningkatkan partisipasi semua

stakeholders (pemerintah sebagai fasilitator, masyarakat tani sebagai pelaku usaha, dan pihak swasta sebagai pengelola usaha). Dalam hal ini, diperlukan upaya pengintegrasian karakter sosial dan budaya masyarakat, kondisi

agroekologi, pemilihan dan karakteristik komoditas, karakteristik petani, sasaran pasar, dan letak geografis. Partisipasi dan keterlibatan berbagai pihak atau

stakeholders, perlu dikoordinasikan secara baik dan terencana agar introduksi dan adopsi berbagai inovasi dapat mengarah kepada peningkatan produksi dan mutu (sesuai dengan permintaan pasar) serta pemberdayaan petani.

Sehubungan dengan itu, peningkatan kemampuan (kognitif, afektif, dan psikomotor) petani dalam manajemen usaha hortikultura merupakan suatu faktor yang sangat penting yang menentukan tingkat keberdayaan petani sayuran, sehingga harus didukung dengan penyediaan informasi serta sarana dan prasarana yang memadai. Artinya, petani hanya akan berdaya apabila mereka memiliki kemampuan dalam merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengatasi masalah usahatani sayuran melalui pemanfaatan informasi pertanian yang relevan, akurat, lengkap, tajam, tepat waktu dan terwakili. Oleh sebab itu, perlunya suatu model penyediaan informasi pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan informasi bagi petani dalam berusahatani sayuran. Model penyediaan informasi pertanian yang akan diterapkan tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi merupakan faktor-faktor yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Penelitian ini, mencoba merumuskan suatu model pemberdayaan melalui penyedian informasi pertanian untuk meningkatkan kemampuan manajemen usaha petani yang diharapkan akan mampu memberdayakan petani sayuan dan pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya. Alur pikir proses penelitian ini, disajikan pada Gambar 3.

Berdasarkan rumusan dari tinjauan pustaka, ada beberapa faktor yang saling berhubungan dengan tingkat keberdayaan petani dalam mengembangkan usahatani sayuran, yaitu: (1) karakteristik pribadi petani sayuran, (2) tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, (3) kekondusifan faktor lingkungan, (4) kualitas sumber informasi pertanian, (5) kemudahan mendapatkan informasi pertanian, dan (6) penyediaan informasi pertanian. Faktor-faktor tersebut dalam penelitian ini, digolongkan sebagai peubah bebas sedangkan peubah terikat adalah, tingkat keberdayaan petani sayuran. Hubungan antara berbagai peubah bebas dengan peubah terikat, dapat disajikan pada Gambar 4.

z 55

Gambar 3 Alur Pikir Proses Penelitian

Karakteristik Pribadi Petani Sayuran

• Status sosial ekonomi Kesadaran pentingnya informasi • Kemampuan mengakses informasi Motivasi terhadap usaha tani sayuran Keinovatifan

TUNTUTAN PEMBERDAYAAN PETANI SAYURAN

Tuntutan agar dapat memenuhi kebutuhan pelanggan

Pelanggan internal (petani sayuran dan keluarganya)

• Pelanggan eksternal (konsumen/ masyarakat / pemerintah

KONDISI EKSTERNAL PETANI SAYURAN

Kekondusifan Faktor Lingkungan Lingkungan fisik • Lingkungan sosial Ketersediaan informasi • Kondisi megapolitan Kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan sub sektor hortikultura Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Pelanggan Eksternal • Kuantitas produk Kualitas produk Kontinuitas produk PENYEDIAAN INFORMASI PERTANIAN

Tuntutan agar dapat menyediakan: Informasi yang relevan • Informasi yang akurat Informasi yang lengkap • Informasi yang tajam Informasi yang tepat waktu Informasi yang terwakili KONDISI INTERNAL PETANI SAYURAN Tuntutan Memenuhi Kebutuhan Petani Sayuran dan Keluarganya Fisik • Keamanan Sosial • Penghargaan Aktualisasi diri Modal Manajemen Pasar Akses informasi PENYEDIAAN INFORMASI SAAT INI

Belum mampu menigkatkan kemampuan petani dalam mengembangkan usaha tani

sayuran

PENYEDIAAN INFORMASI YANG DIHARAPKAN

Mampu meningkatkan kemampuan petani dalam mengembangkan usaha tani

sayuran

MODEL HIPOTESIS PEMBERDAYAAN PETANI SAYURAN MELALUI PENYEDIAAN INFORMASI

PERTANIAN Pola Lama :

Pengembangan agribisnis sayuran yang berorientasi produksi,sentralisasi, top down, kurang memperhatikan informasi tentang kebutuhan pasar (kuantitas, kualitas, kontinuitas) untuk memberdayakan petani sayuran.

Pola Baru :

Pengembangan agribisnis sayuran yang berorientasi pasar, berdaya saing, dan memberikan kontribusi dalam menopang ekonomi nasional, dengan meningkatkan partisipasi masyarakat serta menyediakan informasi untuk memberdayakan dan meningkatkan

kesejahteraan petani sayuran dan keluarganya.

ANALISIS DEDUKTIF

Kajian teori Hasil pengamatan • Masukan para ahli

ANALISIS INDUKTIF

Pengujian model hipotesis Survai

• Analisi deskriptif Analisis data sekunder Uji statistik

MODEL OPERASIONAL

Model Pemberdayaan Petani Melalui Penyediaan Informasi

Pertanian Pemenuhan Kebutuhan Pelanggan Eksternal Kuantitas Produk • Kualitas Produk Kontinuitas Produk Peningkatan Pendapatan & Kesejahteraan Petani Sayuran dan Keluarganya TUNTUTAN KEBUTU-HAN DAN MEMPEROLEH INFORMASI PERTANIAN

KEKONDUSIFAN FAKTOR PENDUKUNG

Kualitas Sumber Informasi Pertanian Ketersediaan sumber informasi • Kemampuan menyedi- akan informasi Pelayanan Kualitas saluran informasi Kemudahan Mendapatkan Informasi Pertanian Komunikatif Penggunaan saluran

dan alat komunikasi Penyuluhan Keterjangkauan

Mayarakat Berdaya vs Tidak/Kurang Berdaya

Pola pemberdayaan yang memberdayakan petani adalah, penyuluhan yang dikelola secara profesional, berbasis pada kemampuan petani sebagai subyek yang mencari kekuatan diri sendiri. Perbedaan penyuluhan dengan pemberdayaan vs penyuluhan tidak/ kurang pemberdayaan, disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Model Penyuluhan dengan Pemberdayaan vs Tidak / Kurang Pemberdayaan

Komponen Tidak/Kurang Pemberdayaan

Pemberdayaan

Paradigma Penyuluhan

Transfer teknologi - Proses pendidikan - Pelayanan jasa informasi Tujuan

Penyuluhan

Memenuhi kepentingan pemerintah/organisasi penyuluhan

- Sesuai kebutuhan klien dan kebutuhan masyarakat - Pelayanan jasa informasi

- Pemecahan masalah klien dan Pemerintah Sasaran Penyuluhan - Penerima informasi - Sebagai obyek - Lebih menekankan motivasi ekstrinsik

- Penerima dan saluran informasi - Sebagai subyek

- Motivasi intrinsik dan ekstrinsik secara bersama

Penyuluh - Sumber informasi - Merasa serba ahli

- Sumber dan saluran informasi - Fasilitator, mediator, motivator Materi

Penyuluhan

- Uniform/keseragaman - Bersumber dari suatu paket

- Spesifik lokasi

- Bersumber dari pengalaman, hasil analisis, dan kebutuhan petani

- Informasi/ide-ide baru Metode

Penyuluhan

Terpusat pada media interpersonal

- Pemanfaatan multimedia

- Learning by doing

Penerima Manfaat

Penyuluh dan pemerintah Klien, swasta, dan pemerintah

Organisasi/ Kelembagaan

Dikelola secara kurang profesional

Dikelola secara profesional

Model/Proses Komunikasi

- Linier - Top down

- Konvergen dan interaktif

- Bottom up - Interface

Saluran Komunikasi

Interpersonal - Media massa dan interpersonal - Lembaga pemerintah

- Lembaga/pusat informasi (pemerintah, swasta) Perubahan

Perilaku

Ketergantungan klien - Inovatif - Komunikatif Sifat Penyuluhan Ad-hock Berkelanjutan Pelaksanaan Penyuluhan

Program pemerintah Program klien dan pemerintah

Strategi Penyuluhan Mobilisasi Partisipasi Ukuran Keberhasilan Penyuluhan - Linier

- Tergantung pada penyuluh - Terbatasnya informasi

- Tergantung pada klien - Tersedianya informasi - Klien berdaya

Pemberdayaan sebagai Proses Berkesinambungan

Pemberdayaan masyarakat harus dilihat dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu proses yang berkesinambungan, bukan dari kerangka pemberdayaan sebagai suatu program. Sebagai suatu program, pemberdayaan masyarakat dapat saja berhenti karena batas waktu yang sudah selesai (terminasi karena keterbatasan waktu), atau program tersebut berhenti karena tidak ada dana lagi yag dapat dimanfaatkan untuk program pemberdayaan tersebut (terminasi karena keterbatasan dana).

Penjelasan lebih lanjut mengenai pemberdayaan sebagai proses yang relatif terus berjalan, dapat dikutip dari pandangan Rotter (1966) dan Selignan (1975), Hopson dan Scally (1995) yang dikemukakan oleh Hogan (2000) yang melihat proses pemberdayaan individu, sebagai suatu proses yang relatif terus berjalan sepanjang usia individu tersebut yang diperoleh dari pengalaman individu tersebut dan bukannya suatu proses yang berhenti pada suatu masa saja.

Selanjutnya, Hogan (2000) menggambarkan proses pemberdayaan yang berkesinambungan sebagai suatu siklus yang terdiri dari lima tahapan utama, sepeti disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5 Siklus Proses Pemberdayaan

Tahap I:

Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan

Tahap II:

Mendiskusikan alasan, mengapa terjadi pemberdayaan dan penti- dakberdayaan

Tahap V:

Mengembangkan rencana aksi dan mengimplemen- tasikannya

Tahap IV:

Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna

Tahap III:

Mengidentifikasikan suatu masalah ataupun proyek

Berdasarkan pendapat Hogan ini, peneliti mencoba merangkaikan peubah-peubah penelitian seperti tertera dalam kerangka berpikir penelitian ini, ke dalam masing-masing tahapan pemberdayaan, yaitu:

(1) Tahap I: Mengevaluasi upaya pemberdayaan yang pernah dilakukan sebelumnya (berdaya atau tidak berdaya).

(2) Tahap II: Mendiskusikan kondisi internal petani (karakteristik pribadi petani) meliputi: status sosial ekonomi, kesadaran pentingnya informasi, kemampuan mengakses informasi, motivasi terhadap usahatani, dan keinovatifan.

(3) Tahap III: Mengidentifikasi tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi yang dibutuhkan petani, meliputi: informasi on farm dan of farm. (4) Tahap IV: - Mengidentifikasi kondisi eksternal petani (kekondusifan faktor

lingkungan), meliputi: lingkungan fisik, lingkungan sosial, ketersediaan informasi, kondisi megapolitan, dan kebijakan.

- Mengidentifikasi kualitas sumber informasi, meliputi: ketersediaan sumber informasi, kemampuan menyediakan informasi, pelayanan, dan kualitas saluran informasi.

- Mengidentifikasi kemudahan mendapatkan informasi, meliputi: komunikatif, penggunaan saluran dan alat komunikasi, penyuluhan, dan keterjangkauan.

(5) Tahap V: Mengembangkan penyediaan informasi, meliputi: relevansi, akurasi, kelengkapan, ketajaman, ketepatan waktu, dan keterwakilan informasi.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peningkatan Kualitas SDM Petani

Klausmeier dan Goodwin (1966) mengungkapkan adanya tujuh faktor yang mempengaruhi efektivitas dan efisiensi proses belajar seseorang. Dalam penelitian ini, ketujuh hal tersebut dianalogikan dalam bentuk proses belajar petani yang dengan kesadarannya sendiri aktif mencari informasi.

Secara lebih rinci, analogi konsep Goodwin dan Klausmeir dengan model peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) karakteristik pribadi petani (analog dengan learner characteristic), (2)

tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi (analog dengan subject matter), (3) kekondusifan faktor lingkungan (analog dengan outsides forces), (4) kualitas sumber informasi (analog dengan teacher characteristic), (5) Kualitas penyuluh (analog dengan learner teacher behavior), (6) Kualitas kelembagaan petani (analog dengan group characteristics), dan (7) kemudahan mendapatkan informasi (analog dengan facilities).

Mengacu pada pemikiran Klausmeier dan Goodwin (1966), disusun preposisi dalam penelitian ini, bahwa pada dasarnya efektivitas pencapaian peningkatan kualitas SDM petani melalui penyediaan informasi pertanian yang mempengaruhi proses belajar petani, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang dipengaruhi oleh tujuh kelompok besar faktor-faktor penentunya yaitu: (1) Karakteristik pribadi petani sayuran, meliputi: (a) status sosial ekonomi, (b)

kesadaran pentingnya informasi, (c) kemampuan mengakses informasi, (d) motivasi terhadap usahatani sayuran, dan (e) keinovatifan.

(2) Tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, meliputi informasi tentang: (a) peningkatan produksi dan mutu sayuran, (b) ketersediaan sarana produksi, (c) ketersediaan permodalan, (d) teknologi pengolahan hasil sayuran, (e) dukungan pemasaran sayuran, dan (f) metode analisis usahatani sayuran.

(3) Kekondusifan faktor lingkungan,meliputi: (a) lingkungan fisik, (b) lingkungan sosial, (c) ketersediaan informasi pertanian, (d) kondisi megapolitan, dan (e) kebijakan bidang penyuluhan dan pembangunan subsektor hortikultura.

(4) Kualitas sumber informasi, meliputi: (a) ketersediaan sumber informasi, (b) kemampuan menyediakan informasi, (c) pelayanan, dan (d) kualitas saluran informasi.

(5) Kemudahan mendapatkan informasi pertanian, meliputi: (a) komunikatif, (b) penggunaan saluran dan alat komunikasi, (c) penyuluhan, dan (d) keterjangkauan.

(6) Penyediaan informasi pertanian, meliputi: (a) relevansi informasi, (b) akurasi informasi, (c) kelengkapan informasi, (d) ketajaman informasi, (e) ketepatan waktu informasi, dan (f) keterwakilan informasi.

Karakteristik Petani Berdasarkan Tipologi Petani

Karakteristik petani pada penelitian ini, digambarkan sebagai: profil, potensi dan kinerja petani dilihat dari indikator-indikator yang berkaitan erat dengan kondisi internal petani yang berhubungan dengan tuntutan akan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian. Petani sebagai sasaran pemberdayaan memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehingga model pemberdayaan tidak akan memperlakukan semua sasaran sama. Dengan demikian, tipologi petani perlu diperhatikan berdasarkan karakteristik yang dimilikinya untuk mengefektifkan suatu pemberdayaan.

Menurut Krech, Richard dan Egerton (1962), tidak mungkin ada dua individu memiliki kognitif yang sama karena tiap individu dciptakan dalam kapasitas yang berbeda-beda. Mosher (1983) mengemukakan bahwa sebagai perorangan para petani memiliki empat kapasitas penting untuk pembangunan pertanian, yaitu: (1) bekerja, (2) belajar, (3) bepikir kreatif, dan bercita-cita.

Dalam kaitan dengan kecepatan adopsi terhadap inovasi yang dipengaruhi oleh sasaran inovasi, maka Rogers (1983) mengelompokkkan petani dalam lima kelompok berdasarkan tingkat kecepatannya mengadopsi inovasi yaitu: (1) kelompok perintis, (2) kelompok pelopor, (3) kelompok penganut dini, (4) kelompok penganut lambat, dan (5) kelompok kolot (laggard).

Sehubungan dengan adopsi inovasi, Lionberger (1960) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kecepatan seseorang untuk mengadopsi inovasi, meliputi: (1) luas usahatani, semakin luas usahatani biasanya semakin cepat mengadopsi karena memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik, (2) tingkat pendapatan, seperti halnya tingkat luas usahatani, petani dengan tingkat pendapatan semakin tinggi biasanya akan semakin cepat mengadopsi inovasi, (3) keberanian mengambil resiko, pada tahap awal biasanya tidak selalu berhasil seperti yang diharapkan, sehingga indvidu yang memiliki keberanian menghadapi resiko biasanya lebih inovatif, (4) umur, semakin tua (>50 tahun), biasanya semakin lamban mengadopsi inovasi, dan cenderung hanya melaksanakan kegiatan-kegiatan yang sudah biasa diterapkan oleh petani sekitarnya, (5) tingkat partisipasinya dalam kelompok/organisasi di luar lingkungannya sendiri.

Petani yang suka bergantung dengan orang-orang di luar sistem sosialnya sendiri, umumnya lebih inovatif dibanding mereka yang hanya melakukan kontak pribadi dengan petani dan warga masyarakat, (6) aktivitas mencari informasi dan ide-ide baru, biasanya lebih inovatif dibanding petani yang pasif apalagi yang selalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru, dan (7) sumber informasi yang dimanfaatkan, golongan inovatif biasanya banyak memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas terkait, media massa, tokoh masyarakat, petani maju, pedagang, dan lain-lain.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, pengelompokkan petani pada penelitian ini, dilakukan menurut kapasitas yang dimiliki individu petani dan tingkat respon petani terhadap inovasi. Oleh sebab itu, petani yang akan diberdayakan dikelompokkan dalam dua tipe, yaitu: (1) petani maju, dan (2) petani berkembang. Pengelompokkan petani ini, akan dikaitkan dengan model pemberdayaan yang berbeda sesuai dengan tipologi yang dimilikinya. Semua manfaat informasi tersebut, pada hakikatnya tertuju pada satu sasaran yaitu, peningkatan pendapatan yang akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya serta pembangunan pertanian yang berkelanjutan.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, dan kerangka berpikir penelitian, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut:

(1) Penyediaan informasi pertanian, secara nyata dipengaruhi oleh: karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, dan kemudahan mendapatkan informasi pertanian.

(2) Tingkat keberdayaan petani sayuran, secara nyata dipengaruhi oleh karakteristik pribadi petani sayuran, tuntutan kebutuhan dan memperoleh informasi pertanian, kekondusifan faktor lingkungan, kualitas sumber informasi pertanian, kemudahan mendapatkan informasi pertanian, dan penyediaan informasi pertanian.

Dokumen terkait