• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Lokasi Penelitian Tahun 2006 Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Secara umum, Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, dan Kabupaten Bandung memiliki topografi yang tidak terlalu beda yaitu, termasuk daerah lahan kering, dataran tinggi, dan penghasil sayuran. Jenis sayuran yang dihasilkan dari masing-masing kabupaten sangat beragam dan tiap kabupaten memiliki jenis sayuran tertentu yang dominan dihasilkan petani. Di Kabupaten Bogor, jenis sayuran yang dominan dihasilkan antara lain: cabai, kacang panjang, petsai, bawang daun, kubis dan kacang merah, di Kabupaten Cianjur, antara lain: kubis, tomat, petsai, buncis, cabai, dan wortel, dan di Kabupaten Bandung, antara lain: kentang, kubis, cabai, bawang daun, dan petsai.

Petani memilih sayuran sebagai produk usahatani utama mereka, karena petani menilai bahwa sayuran merupakan komoditas yang cocok dengan lahan yang dimliki. Tanaman hias merupakan komoditas yang juga cocok dengan lahan mereka, namun biaya produksinya sangat mahal. Dari modal yang dimiliki, petani hanya mampu mengusahakan komoditas sayuran. Keinginan petani untuk menambah modal usaha masih ada, namun kurang ‘berani’ mengambil resiko. Artinya, walaupun ada koperasi atau lembaga keuangan lainnya dapat meminjamkan modal usaha, petani tidak memanfaatkan lembaga tersebut karena lokasi lembaga-lembaga tersebut jauh dari desa mereka. Di samping itu, petani lebih memilih untuk tidak memanfaatkannya karena jumlah pinjaman dinilai terlalu besar, sehingga ada keraguan bagi petani untuk mampu mengembalikan dengan tepat waktu dan tepat jumlah. Petani lebih memilih tengkulak daripada lembaga keuangan, dengan pertimbangan jaminan pasar dan tengkulak mau menampung hasil mereka, sedangkan lembaga keuangan hanya sebatas memberikan pinjaman.

Permasalahan yang masih dirasakan oleh petani sayuran adalah, masalah harga sarana produksi seperti: pupuk, bibit, dan pestisida yang masih mahal. Apalagi pada kondisi saat penelitian, petani masih sangat merasakan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak yang melebihi 100%. Akibatnya, nilai

pendapatan yang mereka terima jauh menurun dari tahun lalu karena tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok yang harganya juga naik akibat kenaikan harga bahan bakar tersebut. Di samping itu, pendapatan petani sayuran hanya bersumber dari kepala keluarga. Mayoritas kontribusi anggota keluarga hanya membantu dengan bekerja pada pekerjaan yang sama (usahatani sayuran), walaupun ada juga anggota keluarga lain yang memberi kontribusi pendapatan bukan dari sektor pertanian, tetapi dengan bekerja sebagai tenaga kerja (TKI) di luar negeri. Selain usahatani sayuran, umumnya petani memiliki jenis pekerjaan sampingan yaitu: pedagang, jualan kelontong/warung, buruh, peternak, pegawai, dan pensiunan (hanya lebih kurang 20% petani yang tidak ada pekerjaan sampingan).

Permasalahan lain yang dialami petani sayuran adalah, mekanisme pasar dan pasca panen. Petani selalu dibuat tidak berdaya menghadapi pasar. Di satu sisi, biaya produksi meningkat sangat pesat tetapi harga jual tidak pernah meningkat secara signifikan. Pada saat tanam, petani mengetahui bahwa harga jenis sayuran yang mereka tanam memiliki harga yang lebih tinggi namun setelah panen harga sayuran menjadi lebih rendah. Hasil panen harus tetap dijual meskipun dengan harga murah, mengingat sayuran merupakan komoditas yang mudah rusak karena petani tidak memiliki alat penyimpanan dan teknologi pengolahan sayuran.

Adapun pasar yang menjadi tempat penjualan sayuran petani dari tiga lokasi ini (Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bandung), adalah: pasar Bogor, Cisarua, Cipanas, Bandung, Jakarta, Bekasi, Depok, Tangerang, dan pasar induk Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa potensi pasar sayuran dari Jawa Barat masih luas, mengingat jumlah permintaan terhadap komoditas sayuran cenderung meningkat seiring dengan pertambahan penduduk dan peningkatan gizi masyarakat.

Kondisi Kelembagan Penyuluhan Pertanian

Kegiatan penyuluhan adalah, kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus diorganisaikan. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan untuk mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi,

manajemen dan pengelolaan sumber daya. Kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari: kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, petani, dan swasta.

Kondisi sekarang, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di provinsi belum ada, sehingga penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi karena mandat untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan yang selama ini berlaku (UU No.16 tahun 2006 saat penelitian belum diimplementasikan). Di kecamatan, kelembagaan penyuluhan pertanian adalah Balai Penyuluhan Pertanian (BPP)/Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Pemasalahan yang dihadapi kelembagaan penyuluhan pertanian adalah:

(1) Fungsi penyuluhan pertanian di provinsi belum berjalan optimal karena mandat untuk melaksanakan penyuluhan belum tegas,

(2) Beragamnya bentuk kelembagaan penyuluhan di kabuapaten, menggambarkan beragamnya persepsi kabupaten tentang posisi dan peran strategis kelembagaan penyuluhan di kabupaten,

(3) Belum semua kecamatan memiliki BPP. Adapun kecamatan yang memiliki BPP kurang berfungsi, mengakibatkan penyelenggaraan penyuluhan kurang terencana sesuai dengan kebutuhan di lapangan. Kondisi ini juga disebabkan tidak tersedianya biaya operasional penyuluhan di kecamatan/desa,

(4) Penyuluh pertanian belum mendapatkan dukungan sarana penyuluhan yang memadai, sehingga kinerjanya menurun dan berdampak terhadap intensitas kunjungan penyuluh ke petani sangat kurang,

(5) Pengelola kelembagaan penyuluhan di kabupaten, umumnya tidak mempunyai latar belakang bidang penyuluhan sehingga pengelolaan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan, (6) Sistem penyuluhan yang disepakati bersama belum ada, sehingga tidak jelas

hubungan antara kelembagaan penyuluhan di pusat, provinsi, dan kabupaten, akibatnya struktur dan mekanisme pembinaan serta tata hubungan kerja, juga menjadi tidak jelas, dan

(7) Kelembagaan penyuluhan yang dimiliki petani atau swasta, belum dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai mitra kerja.

Kondisi ini menunjukkan bahwa organisasi kelembagaan penyuluhan saat ini, belum mendukung pelaksanaan kegiatan penyuluhan dan penyediaan informasi pertanian bagi petani sayuran.

Kondisi Ketenagaan Penyuluhan Pertanian

Jumlah tenaga penyuluh dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan yang sangat signifikan dan kondisinya adalah:

(1) Kompetensi tenaga penyuluh masih bias kepada subsektor tanaman pangan khususnya padi, sehingga terbatasnya pelayanan penyuluhan kepada petani komoditas hortikultura,

(2) Sebagian penyuluh beralih tugas ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tenaga penyuluh di kabupaten yang mengakibatkan tidak sebandingnya rasio antara jumlah penyuluh dengan petani,

(3) Peningkatan kompetensi penyuluh terutama melalui pendidikan dan pelatihan sudah jarang dilakukan, mengakibatkan rendahnya kemampuan penyuluh dan menurunnya kredibilitas mereka dihadapan petani, dan

(4) Penyuluh pertanian swakarsa dan swasta belum berkembang karena perencanaannya belum terprogram, menyebabkan belum optimalnya peran serta petani dan swasta dalam kegiatan penyuluhan.

Dengan demikian, jumlah penyuluh yang terbatas akan mempengaruhi aktivitas penyuluhan dan terganggunya saluran informasi pertanian bagi petani dalam mengembangkan usahataninya.

Kondisi Penyelenggaran Penyuluhan Pertanian

Sejak pemberlakuan UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, keberadaan para penyuluh bertugas pada wilayah yang tidak memiliki kelembagaan secara administrasi dan pengelolaannya diserahkan pada pemerintah daerah. Penyuluh telah terpisah-pisah pada masing-masing subsektor sesuai latar belakang pendidikan para penyuluh itu sendiri. Di samping itu, status dan keberadaan BPP/ UPTD di Provinsi Jawa Barat berbeda antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Kabupaten Bogor memiliki BPP di tingkat kecamatan dengan status setara dengan Eselon IV, sedangkan Kabupaten Bandung dan

Kabupaten Cianjur belum memiliki status yang jelas, bahkan gedung BPP masih menumpang pada kantor lain dan fasilitasnya sangat terbatas.

Makna revitalisasi penyuluhan pertanian yang sudah dicanangkan, pada dasarnya belum dapat diimplementasikan di daerah, terutama dalam hal:

(1) Mengembalikan kembali falsafah prinsi-prinsip dan pengertian penyuluhan pertanian kepada aslinya, yaitu sebagai sistem pendidikan non formal. Artinya, mengembalikan prinsip-prinsip pendidikan secara utuh dan petani sebagai ‘pemain utama’ atau manajer di lahan usahataninya, serta diterapkannya pendekatan farmers centre bukan officers centre,

(2) Mengembalikan kepada azas kesatuan, yaitu kesatuan pengertian penyuluhan pertanian. Hal ini merupakan konsekuensi logis apabila ingin beritikad sama untuk menerapkan proses pendidikan pada petani dengan benar. Petani membutuhkan aparat pelayanan yang tangguh, utuh, dan tidak tersekat-sekat pada kepentingan subsektor, dan

(3) Memperkuat posisi dan peran pemerintah daerah kabupaten sebagai realisasi dari azas desentralisasi dan otonomi daerah. Memberikan kesempatan kepada aparat daerah untuk tidak lagi selalu menunggu petunjuk dari pusat. Keadaan ini dapat menghambat kreativitas petugas yang selalu terus menunggu. Pada hal diperlukan aparat yang mandiri dalam berpikir dan mengambil keputusan serta bertindak secara otonom.

Penyelenggaran penyuluhan, juga mengalami hambatan di Provinsi Jawa Barat, antara lain dalam hal:

(1) Tidak adanya satu kesatuan kelembagaan manajemen penyuluhan pertanian di kabupaten, mengakibatkan tidak adanya satu kesatuan korps penyuluhan pertanian,

(2) Sulitnya mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokasi karena terbatasnya kemampuan penyuluh untuk mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang berkembangnya pengetahuan dan kemampuan penyuluh dalam menyiapkan materi penyuluhan.

Beragamnya kelembagaan penyuluhan di kabupaten, antara lain juga disebabkan pembentukan lembaga/instansi/dinas dikaitkan dengan kontribusinya

terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pembentukan suatu lembaga atau institusi, diprioritaskan kepada yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan PAD. Dalam pemahaman seperti ini, jelas bahwa penyuluhan pertanian tidak termasuk dalam prioritas karena tidak dapat memberikan kontribusi langsung kepada PAD, padahal penyuluhan pertanian merupakan sistem pendidikan non formal kepada petani yang tidak dapat memberikan kontribusi langsung terhadap PAD, tetapi memberikan kontribusi tidak langsung melalui perkembangan usahatani yang dimiliki petani. Hal ini membuktikan perlunya satu kesatuan pengertian tentang penyuluhan.

Berdasarkan kondisi penyuluhan seperti ini, penyuluh dan aparat kurang termotivasi dalam melakukan kegiatan penyuluhan termasuk menyediakan dan memberikan informasi bagi petani sebagai sasaran penyuluhan. Namun, kondisi ini diharapkan berubah pada masa yang akan datang mengingat adanya ‘payung hukum’ penyuluhan ( UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan) untuk membentuk satu kesatuan pengertian penyuluhan pertanian yang wajib dipatuhi oleh semua pihak dan fenomena 9-10 tahun munculnya revitalisasi penyuluhan pertanian diharapkan tidak terjadi lagi

Dengan demikian, akan ada perubahan paradigma penyuluhan guna merespon tuntutan kebutuhan para petani dan perubahan yang terjadi pada petani. Ada sembilan prinsip dalam paradigma baru penyuluhan pertanian agar penyuluhan pertanian dapat berfungsi dan merespon tantangan-tantangan yang muncul akibat perubahan yang terjadi (Slamet, 2001), yaitu: (1) jasa informasi, (2) lokalitas, (3) berorientasi agribisnis, (4) pendekatan kelompok, (5) fokus pada kepentingan petani, (6) pendekatan humanistik-egaliter, (7) profesionalisme, (8) akuntabilitas, dan (9) memuaskan petani.

Kondisi Ketersediaan Informasi Pertanian

Sumber informasi yang ada di lokasi penelitian seperti: penyuluh, kelompok tani, petani maju, koperasi, sesama petani, tengkulak, dan media massa, pada umumnya tidak dimanfaatkan oleh petani karena berbagai alasan, antara lain: (1) rumah penyuluh yang jauh dari tempat domisili petani, (2) penyuluh hanya melakukan pertemuan dengan petani berdasarkan permintaan kelompok tani, dan (3) penyuluh swakarsa lebih bermanfaat dirasakan petani daripada penyuluh,

karena penyuluh swakarsa lebih inisiatif yang sekaligus mempromosikan produk sarana produksi tertentu.

Selain itu, lembaga penyuluhan, lembaga pemerintah, dan lembaga pusat informasi lainnya serta penyuluh kurang tanggap terhadap kebutuhan informasi petani. Fakta di lapangan menunjukkan, bahwa ada tiga jenis informasi yang sangat dibutuhkan oleh petani di samping informasi lainnnya tetapi dirasakan masih sulit diperoleh, seperti: (1) informasi tentang luas areal tanam untuk jenis sayuran tertentu dan di wilayah tertentu, (2) informasi tentang perkembangan harga pasar untuk masing-masing jenis sayuran, dan (3) informasi tentang analisis usahatani masing-masing jenis sayuran. Di samping itu, pengelolaan (manajemen) sistem informasi, baik di tingkat nasional maupun di tingkat regional belum dikelola secara terpadu, sehingga petani kurang termotivasi untuk mencari informasi. Kondisi ini kurang mendukung bagi petani yang memerlukan informasi untuk usahataninya, sehingga petani terkendala untuk maju.

Profil Petani Sayuran

Profil petani sayuran pada saat penelitian kalau dilihat secara mikro, berbagai masalah yang dihadapi petani tidak dapat diatasi secara mendasar khususnya di sektor pertanian. Masalah pupuk dan sarana produksi lainnya (benih dan pestisida) tidak tersedia tepat waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan secara makro, petani masih dihadapkan pada berbagai masalah mendasar yang tidak berada dalam jangkauan pemikiran mereka, antara lain:

Pertama, data yang ada menunjukkan (BPS, 2004) bahwa lebih dari 10 juta kepala keluaraga petani memiliki lahan sempit, kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan seperti itu, petani tidak akan mampu menghidupi seluruh anggota keluarga secara layak. Apalagi untuk menyekolahkannya ke tingkat sekolah menengah atau perguruan tinggi. Dari data yang ada, lebih dari empat juta anak tidak dapat melanjutkan sekolah dasar, sebagian besar tinggal di perdesaan dan orangtua mereka berusaha di sektor pertanian.

Kedua, produk sayuran yang sangat cepat rusak dengan fasilitas penyimpanan tidak memadai, bahkan boleh dikatakan tidak ada. Tidak jarang, petani terpaksa menjual dengan harga yang rendah pada saat panen.

Ketiga, fasilitas kredit dan pembiayaan untuk usaha pertanian masih sulit diperoleh petani. Prosedur perbankan yang berbeli-belit sangat membingungkan dan merugikan petani karena usahatani sangat terikat pada waktu, baik pada saat tanam maupun saat menjual hasil. Meskipun ada Bank Rakyat Indonesia (BRI) di kecamatan, tapi karena mengurusi seluruh bidang usaha, di sektor pertanian menjadi tidak prioritas. Tidak jarang petani menjadi panik, terpaksa meminjam dari para tengkulak dan pedagang pengecer dengan biaya tinggi atau mengijonkan hasil usahataninya yang belum tahu berapa hasil yang akan diperoleh.

Sebenarnya, yang diperlukan petani hanya sejumlah uang pada waktu yang diperlukan untuk membeli sarana produksi dan biaya hidup seperlunya. Oleh sebab itu, keberadaan bank yang mengkhususkan diri pada sektor pertanian sangat diperlukan. Bank pertanian akan memberikan kesempatan yang lebih terbuka bagi para petani untuk memperluas usahanya, serta dapat memberikan keleluasaan pada mereka kapan waktu meminjam dan kapan waktu untuk mengembalikan sesuai kebutuhan. Meskipun saat ini sudah ada fasilitas kredit mikro, tapi jumlah dan cakupan penanganannya belum cukup. Oleh sebab itu, bank pertanian perlu dibentuk dan dikuatkan secara kelembagaan agar dapat melayani seluruh petani.

Keempat, belum tersedianya fasilitas pemasaran khusus yang dapat menampung hasil pertanian menyebabkan petani dirugikan karena banyak produk sayuran yang rusak atau mutunya turun. Oleh sebab itu, pasar khusus komoditas pertanian perlu segera dibangun terutama di sekitar sentra produksi pertanian.

Kelima, masalah ketenagakerjaan di bidang pertanian masih menjadi perhatian serius. Menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS, 2004), terdapat 24,9 juta rumah tangga yang berusaha di sektor pertanian, hampir setengah dari 53,1 juta rumah tangga yang ada di perdesaan memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah (paling tinggi Sekolah Dasar). Jumlah sebesar ini mengakibatkan produktivitas usahatani sangat rendah.

Berdasarkan hasil identifikasi, penelitian ini dapat mengelompokkan petani sayuran berdasarkan tipologi petani, jenis sayuran yang dihasilkan dan lokasi usahatani petani. Tipologi petani dibedakan atas dua tipe, yaitu petani maju dan petani berkembang. Perbedaan tipologi petani didasarkan pada beberapa indikator yang relatif tidak absolut, yaitu: (1) jumlah tahun pendidikan formal, (2)

luas lahan sayuran, (3) status penguasaan lahan, (4) pengalaman berusahatani sayuran, (5) tingkat motivasi berprestasi dalam berusahatani, (6) permodalan, (7) pendapatan usahatani sayuran, (8) tingkat keinovatifan, (9) tingkat kesadaran akan pentingnya informasi, dan (10) tingkat kemampuan mengakses informasi.

Perbedaan jenis sayuran yang dihasilkan petani, dibedakan atas tiga jenis sayuran yaitu: kubis, kentang, dan cabai. Ketiga jenis sayuran ini, merupakan komoditas unggulan daerah dan komoditas unggulan nasional. Pengertian komoditas unggulan daerah adalah, komoditas sayuran yang dikembangkan merupakan unggulan daerah/spesifik dan memberikan kontribusi pendapatan secara nyata kepada daerah serta tidak banyak diusahakan oleh petani di daerah lainnya. Sedangkan komoditas unggulan nasional adalah, komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomi tinggi, mempunyai sebaran wilayah produksi luas, dengan prospek pasar dalam negeri dan ekspor yang besar serta diusahakan oleh banyak petani di daerah lainnya.

Dalam kaitannya dengan kekosmopolitan dan aksesibilitas petani terhadap sumber informasi, ketiga lokasi usahatani sayuran dibedakan atas tiga kategori, yaitu: Kabupaten Bogor (dekat dari kota Jakarta), Kabupaten Cianjur (jauh dari kota Jakarta), dan kabupaten Bandung (lebih jauh dari kota Jakarta). Selanjutnya, berdasarkan dari jenis sayuran yang dihasilkan, sebaran jumlah petani pada masing-masing lokasi, dapat disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran

Kabupaten

Petani Maju (%) Petani Berkembang (%) Total Petani (%)

Kubis Kentang Cabai Jumlah Kubis Kentang Cabai Jumlah Kubis Kentang Cabai Jumlah

1. Bogor 52, 4 23, 8 23, 8 100, 0 40, 7 5, 1 54, 2 100, 0 43, 8 10, 0 46, 3 100, 0

2. Cianjur 81, 0 4, 8 14, 3 100, 0 54, 2 23, 7 22, 0 100, 0 61, 3 18, 8 20, 0 100, 0

3. Bandung 12, 5 37, 5 50, 0 100, 0 4, 7 71, 9 23, 4 100, 0 6, 3 65, 0 28, 8 100, 0

Total Jabar 51, 7 20, 7 27, 6 100, 0 32, 4 34, 6 33, 0 100, 0 37, 1 31, 3 31, 7 100, 0 Sumber: Data Primer (2006);

Keterangan: (1) Petani Maju ( n=58; 24%); dan Petani Berkembang (n= 182; 76% )

(2) Petani Kubis (n= 89; 37% ); Petani Kentang (n= 75; 31% ); dan Petani Cabai (n= 76; 32%) (3) Petani Bogor (n= 80; 33% ); Petani Cianjur (n= 80; 33% ); Petani Bandung (n= 80; 34% )

Tabel 14 menunjukkan, bahwa jenis sayuran yang dominan dihasilkan oleh petani Kabupaten Bogor, adalah: kubis dan cabai, Kabupaten Cianjur dominan menghasilkan kubis, dan Kabupaten Bandung dominan menghasilkan

kentang. Jenis sayuran lainnya yang dihasilkan selain kentang, kubis, dan cabai adalah: tomat, bawang daun, wortel, petsai, buncis, kacang panjang, kacang merah, dan lain-lain.

Pada penelitian ini, terbatas hanya meneliti petani yang dominan menghasilkan kubis, kentang, dan cabai, karena banyaknya jenis sayuran yang dihasilkan petani tetapi tidak semuanya termasuk komoditas unggulan nasional. Artinya, penanganan pemerintah secara nasional saat ini diprioritaskan pada ketiga jenis sayuran ini, tetapi tidak berarti mengabaikan jenis sayuran lainnya. Selanjutnya, petani maju dan petani berkembang dapat dibedakan berdasarkan beberapa indikator yang menggambarkan karakteristik pribadi petani (Tabel 15). Pada Tabel 15, terlihat bahwa 75% petani sayuran memiliki tingkat pendidikan kategori sedang dengan jumlah tahun pendidikan formal 4-9 tahun. Namun 18% petani maju memiliki tingkat pendidikan tinggi (>9 tahun). Petani maju lebih akses terhadap pendidikan karena mereka umumnya berasal dari keluarga ‘mampu’ dan tokoh masyarakat. Rendahnya pendapatan keluarga petani berkembang mengakibatkan tingkat pendidikan mereka rendah.

Perbedaan lain yang yang terlihat antara petani maju dengan petani berkembang adalah, dalam hal: motivasi berprestasi dalam berusahatani, kondisi permodalan, tingkat pendapatan, tingkat keinovatian, tingkat kesadaran akan pentingnya informasi, dan tingkat kemampuan mengakses informasi, seperti ditunjukkan pada Tabel 15. Motivasi untuk berhasil dalam usahatani sayuran merupakan suatu kekuatan yang mendorong petani untuk terus berupaya mencapai hasil yang lebih baik dalam berusahatani. Umumnya motivasi untuk berhasil (berprestasi) pada petani maju lebih tinggi daripada petani berkembang.

Rendahnya motivasi petani berkembang, akan berpengaruh terhadap kesadaran dan keinginan mereka untuk mencari informasi yang dibutuhkannya. Kondisi ini mengakibatkan keinovatifan juga lemah sehingga mereka terisolasi, kurang dinamis, dan terpaku da lam usahatani rutinitas.

Tabel 15 Karakteristik Pribadi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani

Uraian Petani Maju (%) Petani Berkembang (%) Total Petani (%) 1. Umur - ≤ 30 tahun - 31-40 tahun - 41-50 tahun - 51-60 tahun - > 60 tahun 12, 1 31, 0 20, 7 32, 8 3, 4 7, 1 26, 4 31, 9 26, 4 8, 2 8, 3 27, 5 29, 2 27, 9 7, 1 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 2. Jumlah Tahun Pendidikan Formal

- Rendah (< 4 tahun) - Sedang (4-9 tahun) - Tinggi (> 9 tahun) 6, 9 75, 9 17, 2 17, 6 75, 3 7, 1 15, 0 75, 4 9, 6 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 3. Luas Lahan Sayuran

- < 1000 m2 - 1000 – 2000 m2 - > 2000 m2 20, 7 36, 2 43, 1 27, 5 39, 6 33, 0 25, 8 38, 8 35, 4 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 4. Status Penguasaan Lahan

- Bagi hasil - Sewa - Milik sendiri 13, 8 43, 1 43, 1 6, 6 44, 0 49, 5 8, 3 43, 8 47, 9 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 5. Pengalaman Berusahatani Sayuran

- Kurang (< 7 tahun) - Sedang (7-27 tahun) - Banyak (> 27 tahun) 10, 3 60, 3 29, 3 5, 5 63, 7 30, 8 6, 7 62, 9 30, 4 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 6. Tingkat Motivasi Berprestasi dlm Berusahatani

- Rendah - Sedang - Tinggi 0, 0 22, 4 77, 6 1, 1 46, 2 52, 7 0, 8 40, 4 58, 8 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 7. Kondisi Permodalan Usahatani

- Menurun dari tahun lalu - Tetap

- Meningkat dari tahun lalu

32, 8 24, 1 43, 1 29, 1 56, 1 14, 8 30, 0 48, 3 21, 7 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 8. Kondisi Pendapatan Usahatani Sayuran

- Menurun dari tahun lalu - Tetap

- Meningkat dari tahun lalu

37, 9 15, 5 46, 6 61, 0 14, 8 24, 2 55, 4 15, 0 29, 6 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 9. Tingkat Keinovatifan - Rendah - Sedang - Tinggi 46, 6 44, 8 8, 6 48, 8 41, 3 10, 0 45, 4 45, 4 9, 2 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 10. Tingkat Kesadaran Pentingnya Informasi

- Rendah - Sedang - Tinggi 37, 9 53, 4 8, 6 70. 9 26, 9 2, 2 62, 9 33, 3 3, 8 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0 11. Tingkat Kemampuan Mengakses Informasi

- Rendah - Sedang - Tinggi 20, 7 48, 3 31, 0 34, 1 56, 6 9, 3 30, 8 54,6 14, 6 J u m l a h 100, 0 100, 0 100, 0

Sumber: Data Primer (2006)

Kondisi Internal Petani Sayuran

Upaya pemberdayaan petani sayuran, pada dasarnya tidak dapat mengabaikan kondisi internal petani itu sendiri karena individu yang akan diberdayakan merupakan pelaku usahatani yang perlu ditingkatkan kemampuannya melalui penyediaan informasi pertanian yang dibutuhkannya. Ada lima indikator yang dilihat pada penelitian ini, yaitu: status sosial ekonomi, kesadaran pentingnya informasi, kemampuan mengakses informasi, motivasi terhadap usahatani sayuran, dan keinovatifan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Petani

Kondisi sosial ekonomi petani sangat penting diketahui untuk memahami hal-hal yang menyebabkan ketidakmampuan petani dalam memenuhi kebutuhannya, termasuk kemampuan untuk mengakses informasi. Reijntjes, Bertus dan Bayer (1992) mengemukakan beberapa proses sosioal, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi sistem usahatani, antara lain: (1) integrasi ke dalam sistem pasar komersial yang menuntut perubahan jenis dan kualitas produk, mengakibatkan ketergantungan pada suplai input luar, permintaan pasar, transportasi, kredit, dan jasa dan (2) timbulnya gaya hidup lain yang menyebabkan perubahan terhadap kebutuhan. Analisis terhadap status sosial ekonomi petani dapat dilihat antara lain berdasarkan: umur, jumlah tahun pendidikan formal, luas lahan sayuran, seperti disajikan pada Tabel 16.

Berdasarkan data yang digambarkan pada Tabel 16 dapat dijelaskan, bahwa umumnya status sosial ekonomi petani sayuran berada pada kategori sedang (32%) hingga tinggi (60%). Apabila diperhatikan berdasarkan tipologi petani, menunjukkan bahwa petani maju (62%) yang status sosial ekonominya berada pada kategori tinggi, hampir sama dengan petani berkembang (60%). Sedangkan berdasarkan jenis sayuran, menunjukkan bahwa status sosial ekonomi petani Kubis (66%) berada pada kategori tinggi, sama dengan petani Kentang (60%), namun lebih tinggi dari petani Cabai (48%) pada kategori yang sama. Namun dari hasil uji beda dengan t-test, menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,01) antara status sosial ekonomi petani maju dengan petani berkembang, untuk indikator: pendidikan formal dan pendapatan usahatani sayuran.

Tabel 16 Status Sosial Ekonomi Petani Sayuran Menurut Tipologi Petani dan Jenis Sayuran

Indikator Status Sosial Ekonomi

Tipologi Petani Jenis Sayuran Total Petani (%) Petani Maju (%) Petani Berkembang (%) Petani Kubis (%) Petani Kentang (%) Petani Cabai (%) 1. Umur - ≤ 30 tahun - 31-40 tahun - 41-50 tahun - 51-60 tahun - > 60 tahun 12, 1 31, 0 20, 7 32, 8 3, 4 7, 1 26, 4 31, 9 26, 4 0, 2 7, 9 23, 6 33, 7 29, 2 5, 6 5, 3 32, 0 28, 0 25, 3 9, 4 11, 8 27, 6 25, 0 28, 9 6, 7 8, 3 27, 5 29, 2 27, 9 7, 1 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 2. Pendidikan Formal - Rendah (< 4 tahun) - Sedang (4-9 tahun) - Tinggi (> 9 tahun) 6, 9 75, 9 17, 2 17, 6 75, 3 7, 1 14, 6 78, 7 6, 7 12, 0 70, 7 17, 3 18, 4 76, 3 5, 3 15, 0 75, 4 9, 6 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 3. Luas Lahan Sayuran

- < 1000 m2 - 1000 – 2000 m2 - > 2000 m2 20, 7 36, 2 43, 1 27, 4 39, 6 33, 0 33, 7 37, 1 29, 2 17, 3 42, 7 40, 0 25, 0 36, 8 38, 2 25, 8 38, 8 35, 4 Jumlah 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 100, 0 4. Status Penguasaan Lahan

Dokumen terkait