• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Pembangunan Pertanian Jangka Panjang

Pembangunan sektor pertanian sebagai salah satu sumber pertumbuhan ekonomi, ternyata telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pembangunan ekonomi nasional. Pengalaman krisis multidimensi pada tahun 1997, menunjukkan bahwa tidak seorangpun dapat memungkiri sektor pertanian berperan sebagai fundamen yang tangguh dalam sistem perekonomian nasional. Paradigma pembangunan sektor pertanian yang hingga tahun 2000 cenderung berorientasi pada pertumbuhan produksi, mengalami perubahan ke paradigma “terwujudnya sistem pertanian berkelanjuan yang berdaya saing dan mampu menjamin ketahanan pangan dan kesejahteraan petani”. Paradigma ini merupakan visi pembangunan pertanian jangka panjang (2005-2025) dengan landasan utama adalah “Revitalisasi Pertanian”.

Pencanangan revitalisasi pertanian oleh pemerintah yang menempatkan kembali (reposisi) arti penting sektor pertanian sebagai salah satu sektor strategis dalam tata perekonomian dan pembangunan nasional, merupakan momentum yang dapat dimanfaatkan dalam menata kembali strategi dan kebijakan pembangunan pertanian nasional. Tantangan pembangunan pertanian nasional adalah, kenyataan bahwa sektor pertanian didominasi oleh: usaha kecil, berlahan sempit, bermodal rendah, produkstivitas rendah, dan daya saing produk yang lemah serta kualitas sumber daya manusia pertanian yang rendah.

Pembangunan pertanian ke depan harus dapat mengeliminasi tantangan-tantangan tersebut. Dari banyak pemikiran yang berkembang, pada prinsipnya pembangunan pertanian perlu mengubah paradigma dari sekedar memproduksi komoditas ke peningkatan kapabilitas dengan mengembangkan cara-cara baru agar mampu menghasilkan produk yang berkarakter, yaitu: unggul, lebih baik, lebih bercitra, dan dengan input yang sedikit (Pakpahan dkk, 2005). Hanya dengan strategi inilah pertanian Indonesia mampu bersaing dalam pasar global.

Revitalisasi pertanian menggunakan tiga jalur pembangunan yang berasaskan kepada: (1) mendorong laju investasi, (2) terciptanya lapangan kerja

bagi jutaan penganggur, dan (3) mengentaskan kemiskinan. Operasionalisasi konsep strategi tiga jalur tersebut dirancang melalui: (1) peningkatan pertumbuhan ekonomi di atas 6,5% per tahun melalui percepatan investasi dan ekspor, (2) pembenahan sektor riil untuk mampu menyerap tambahan angkatan kerja dan menciptakan lapangan kerja baru, dan (3) revitalisasi sektor pertanian dan perdesaan untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan. Revitalisasi pertanian mengandung arti, sebagai kesadaran untuk menempatkan kembali arti penting sektor pertanian secara proporsional dan kontekstual, dalam arti menyegarkan kembali vitalitas, memberdayakan kemampuan dan meningkatkan kinerja pertanian dalam pembangunan nasional dengan tidak mengabaikan sektor lain (Anonim, 2005).

Program dalam revitalisasi pertanian, bukan dimaksudkan membangun pertanian dengan cara-cara yang sentralistik, bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi merupakan upaya menggalang komitmen dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan (stakeholder). Melalui pendekatan ini, diharapkan akan dicapai perubahan paradigma pola pikir masyarakat yang sebelumnya melihat pertanian sekedar bercocok tanam menjadi pertanian yang memiliki multifungsi. Sesuai dengan semangat revitalisasi, kebijakan yang digulirkan meliputi: (1) pendayagunaan sumber daya lahan pertanian, (2) revitalisasi penyuluhan pertanian, (3) pembiayaan pertanian, (4) pengembangan ekspor produk pertanian, (5) peningkatan ketahanan pangan, (6) akselerasi inovasi dan penerapan teknologi pertanian, dan (7) pengembangan produk baru pertanian.

Dalam revitalisasi pertanian, kebijakan dan strategi disusun secara integratif, baik kebijakan di dalam pertanian maupun kebijakan untuk pertanian di sektor/bidang lain, yaitu dengan memadukan kebijakan yang bersifat jangka panjang dan kegiatan operasional jangka pendek, serta memadukan kebijakan yang mempengaruhi pasar (harga, perdagangan) dan kebijakan yang melakukan peningkatan kondisi struktural (infrastruktur, teknologi), serta kebijakan-kebijakan yang terkait dengan aspek kelembagaan. Terkait dengan revitalisasi pertanian, ada tiga program utama pembangu-nan pertanian 2005-2009, yaitu: (1) program peningkatan ketahanan pangan, (2) program pengembangan agribisnis, dan (3) program peningkatan kesejahteraan petani. Menyimak program

pembangunan pertanian 2005-2009 yang dilandasi dengan semangat revitalisasi pertanian, seakan-akan “melakukan semangat baru” dalam kehidupan petani.

Program revitalisasi pertanian ini sangat relevan, mengingat sebagian besar petani di Indonesia hidup dalam kondisi yang masih sangat memprihatinkan. Kondisi mereka selama ini sering terjepit antara dua sisi yaitu: (1) lemahnya kondisi internal dari petani itu sendiri dan (2) lemahnya perhatian dan tanggung jawab pemerintah serta lembaga lain pendukung pembangunan pertanian. Dalam kondisi seperti inilah, petani bersifat pasrah dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Jadi penyebab kemelaratan petani sebenarnya bukan semata-mata karena petani tidak mau berubah, tapi kondisi yang tidak kondusiflah yang membuat mereka sulit untuk berubah.

Dalam menggerakkan sumber daya lokal untuk mempertinggi pencapaian kesejahteraan petani, dapat dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia petani, antara lain kegiatan penyuluhan yang dapat memberikan informasi-informasi yang bermanfaat bagi petani dan membantu dalam memecahkan masalah usahataninya serta pembentukan kelompok-kelompok swadaya. Kebijakan pembangunan pertanian, diharapkan harus mampu mengatasi kelemahan ataupun hambatan yang dihadapi petani dalam melakukan usahataninya agar dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Para petani sayuran dalam pembangunan pertanian selama ini, sedikit terabaikan padahal kontribusi mereka sangat besar dalam memenuhi kebutuhan produk pertanian dalam negeri. Oleh sebab itu, pemberda-yaan untuk mengoptimalkan sumber daya mereka dapat diupayakan agar dapat hidup sejahtera dan bermartabat.

Pembangunan pertanian subsektor hortikultura (termasuk sayuran) ke depan, dibutuhkan suatu pendekatan yang lebih mendasar, bersifat desentralistik, menyeluruh, dan terintegrasi dengan menempatkan kualitas sumber daya manusia sebagai orientasi utama dan tujuan akhir. Selain itu, pemberdayaan petani sayuran juga memerlukan suatu strategi dan model yang adaptif dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk membantu petani mengembangkan usahatani sayurannya dalam rangka mengimplementasikan suatu kebijakan pembangunan pertanian. Kebijakan tersebut sudah sejalan dengan konsep pembangunan menurut

Mosher (1983), yang mengemukakan tiga struktur yang harus dilihat dalam membangun pertanian progresif yaitu: (1) menyangkut masalah usahatani itu sendiri yang terkait dengan semua komponen produksi pertanian, (2) menyangkut masalah kegiatan yang mendukung pertanian yang terkait dengan aktivitas industri dan komersialisasi yang mendukung pembangunan pertanian, (3) menyangkut masalah “aturan main” yang harus dilaksanakan, termasuk masalah nilai-nilai sosial dan politik serta kebijakan di bidang pertanian, sehingga tercipta suatu iklim yang kondusif bagi pembangunan pertanian. Ketiga struktur tersebut harus saling mendukung untuk terjadinya pembangunan pertanian progresif. Selanjutnya, Mosher mengemukakan bahwa untuk membangun pertanian yang progresif, membutuhkan perubahan perilaku dalam bidang pertanian pada seluruh struktur ini (petani, pelaku usaha atau swasta, dan pemerintah). Jadi, perubahan perilaku mencakup, baik faktor internal (petani itu sendiri) maupun faktor eksternal (di luar petani).

Salah satu kebijakan yang digunakan untuk mendukung revitalisasi pertanian adalah, revitalisasi penyuluhan pertanian sebagai upaya pemberdayaan petani dan pelaku usaha pertanian lainnya dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan agar petani tahu, mau, dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya untuk bekerja sama, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraan keluarganya. Program revitalisasi penyuluhan pertanian diharapkan mampu menjawab secara tepat permasalahan yang dihadapi sistem penyuluhan selama ini.

Kebijakan Penyuluhan Pertanian dalam UU NO. 16 Tahun 2006

Penyuluhan pertanian di Indonesia dimulai tahun 1905, dalam perjalanan waktu, kegiatan penyuluhan mengalami pasang surut sesuai dengan kebijakan yang diberlakukan dan komitmen pemerintah. Sebelum penerapan otonomi daerah, kegiatan penyuluhan pertanian telah didesentralisasi dan menjadi kewenangan pemerintah daerah, namun beberapa hal yang strategis masih dibantu secara khusus oleh pemerintah pusat, antara lain: pengangkatan penyuluh, dana operasional penyuluhan, pengembangan metodologi penyuluhan dan teknologi terkini, dan beberapa sarana strategis lainya. Kondisi ini tidak berlanjut dan tidak

diperkuat dengan diberlakukannya otonomi daerah, sehingga timbul permasalahan karena perhatian pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap kegiatan penyuluhan pertanian berbeda antar daerah dengan kecenderungan berkurang dibanding sebelumnya ketika ditangani langsung oleh pemerintah pusat (sentralisasi).

Dalam era otonomi daerah, para penyelenggara penyuluhan pertanian melakukan kegiatan penyuluhan dengan persepsi, pendekatan dan sistem yang berbeda-beda, tidak terintegrasi karena tidak berdasarkan pada filosofi dan prinsip-prinsip penyuluhan. Hal demikian menjadikan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak efisien dan efektif, sehingga tidak mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditentukan. Akhirnya, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak dapat memberikan dukungan terhadap tercapainya pembangunan pertanian, baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal.

Berkaitan dengan peran sektor pertanian dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan pembangunan pertanian berkelanjuan, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan lingkungan hidup. Untuk mewujudkan hal tersebut, sistem penyuluhan perlu direvitalisasi sejalan dengan telah dicanangkannya revitalisasi pertanian oleh Presiden RI pada tahun 2005. Revitalisasi pertanian tidak akan berjalan lancar apabila tidak didukung dengan sistem penyuluhan pertanian. Semangat revitalisasi penyuluhan pertanian ini sudah diakomodasikan oleh pemerintah dengan ditetapkannya UU No.16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 15 November 2006 (selanjutnya disebut UU No.16), sebagai dasar hukum yang kuat dan lengkap bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan, mengingat selama ini pengaturan penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan topik penelitian ini, ada beberapa hal dalam pasal-pasal UU No.16 ini yang dianggap penulis dapat mendukung hasil penelitian ini, yaitu: (1) Sistem penyuluhan, merupakan seluruh rangkaian pengembangan kemampuan,

(2) Penyuluhan pertanian, merupakan proses pembelajaran bagi petani agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumber daya lainnya, (3) Tujuan pengaturan sistem penyuluhan, meliputi pengembangan sumber daya

manusia dan peningkatan modal sosial, yaitu memberdayakan petani dalam peningkatan kemampuan melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif, penumbuhan motivasi, pengembangan potensi, pemberian peluang, peningkatan kesadaran dan pendampingan, serta fasilitasi,

(4) Fungsi sistem penyuluhan, antara lain: (a) mengupayakan kemudahan akses petani ke sumber informasi pasar, teknologi permodalan, dan sumber daya lainnya, (b) membantu menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi petani dalam mengelola usahataninya,

(5) Kelembagaan penyuluhan pemerintah, yang menangani penyelenggaraan penyuluhan akan terbentuk mulai dari tingkat pusat hingga tingkat desa/ kelurahan,

(6) Kelembagaan penyuluhan non pemerintah (Komisi Penyuluhan), untuk membantu Menteri Pertanian dalam menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan akan terbentuk mulai dari tingkat nasional hingga tingkat kabupaten,

(7) Balai Penyuluhan (pada tingkat kecamatan), mempunyai tugas antara lain: menyebarkan informasi pasar, teknologi, sarana produksi, permodalan, dan sumber daya lainnya,

(8) Program penyuluhan desa/kelurahan, mempunyai tugas antara lain: (a) menginventarisasi permasalahan dan upaya pemecahannya, (b) memfasilitasi layanan informasi, konsultasi, pendidikan, dan pelatihan bagi petani,

(9) Kelembagaan penyuluhan swasta dan/atau swadaya, mempunyai tugas antara lain: (a) membentuk forum, jaringan, dan kelembagaan petani, (b) menyampaikan informasidan teknologi usaha kepada petani,

(10) Kelembagaan petani (beranggotakan petani), baik formal maupun non formal dapat berbentuk kelompok, gabungan kelompok, asosiasi, atau korporasi, (11) Penyuluhan dilakukan oleh tenaga penyuluh, terdiri atas: penyuluh PNS,

(12) Pemerintah meningkatkan kompetensi penyuluh PNS, melalui pendidikan dan pelatihan serta memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan penyuluh swadaya,

(13) Materi penyuluhan: (a) dibuat berdasarkan kebutuhan dan kepentingan petani dan (b) berisi unsur pengembangan sumber daya manusia dan peningkatan modal sosial serta unsur ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, ekonomi, manajemen, hukum, dan pelestarian lingkungan,

(14) Untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan penyuluhan dan kinerja penyuluh, diperlukan sarana dan prasarana yang memadai.

Penetapan UU No.16 sebagai “payung hukum” bagi penyelenggaraan penyuluhan pertanian, sudah tepat seiring dengan dinamika perubahan global yang menuntut keterbukaan dan kebebasan mendapatkan informasi serta perubahan sistem pemerintahan yang semula terpusat menjadi terdesentralisasi. Dengan demikian, sistem penyuluhan pertanian ke depan diharapkan mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi dan dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan akan perubahan-perubahan pada masa yang akan datang. Keberadaan UU No.16, dapat kita pahami sebagai niat baik dan keberpihakan pemerintah terhadap upaya percepatan pemberdayaan petani.

Penyuluhan pertanian ke depan adalah, bagian integral dari pemberdayaan dan pemartabatan petani, artinya pendekatan yang dilakukan tetap berpijak pada “pendekatan kemanusiaan”. Petani harus dipandang sebagai subyek, mereka mutlak dijadikan mitra dialog dalam merumuskan materi penyuluhan dalam sebuah programa penyuluhan, termasuk menyediakan informasi pertanian yang dibutuhkan dan memberikan kemudahan untuk memperoleh informasi (akses ke sumber informasi). Dengan adanya UU ini, diharapkan dapat merevitalisasi penyelenggaraan penyuluhan secara nasional yang dulu dianggap berhasil dalam khasanah pembangunan pertanian nasional melalui pencapaian swasembada beras pada tahun 1984.

Eksistensi Petani dalam Pembangunan Pertanian

Menurut Mosher (1966), petani adalah orang yang mengubah tanam-tanaman dan hewan serta sifat-sifat tubuh tanah supaya lebih berguna baginya dan

manusia lainnya. Selanjutnya, dijelaskan bahwa petani sebagai orang yang menjalankan usahatani, di samping sebagai juru tani sekaligus juga pengelola (manajer) nya. Menurut Soejitno (1968), batasan pengertian tentang petani adalah, sebagai penduduk atau orang-orang yang untuk sementara atau secara tetap memiliki dan atau menguasai sebidang ”tanah pertanian” dan mengerjakannya sendiri, baik dengan tenaganya sendiri (beserta keluarganya) maupun dengan menggunakan tenaga orang lain atau orang upahan. Termasuk dalam pengertian ”menguasai” di sini, adalah: menyewa, menggarap (penyakap), memaro (bagi hasil), sedangkan buruh tani tak bertanah tidak masuk dalam kategori petani. Dengan demikian, pada dasarnya petani mempunyai eksistensi ganda di dalam kehidupannya sehari-hari, baik petani sebagai manusia, sebagai juru tani maupun selaku manajer dari usahataninya. Sehubungan dengan itu, setiap kegiatan penyuluhan pertanian yang menjadikan petani sebagai sasaran utamanya harus selalu memperhatikan sifat-sifat yang dimiliki petani sebagai ciri-ciri pokok yang akan mempengaruhi keberhasilan usaha dan perubahan perilaku yang ingin dicapai melalui kegiatan penyuluhan pertanian tersebut.

Petani sebagai Manusia

Setiap orang termasuk juga petani selalu memiliki rasa, karsa, dan cipta yang memungkinkannya untuk memiliki rasa harga diri yang mendorong untuk berpikir, berkeinginan atau bercita-cita, dan yang menuntutnya untuk selalu berusaha bekerja serta berkreasi, baik guna mempertahankan dan menjamin kelangsungan kehidupannya maupun untuk dapat mencapai tingkat kesejahteraan lahir batin yang dimiliki lebih memuaskan. Berkaitan dengan sifat-sifat ini, dapat dikemukakan beberapa ciri-ciri petani, sebagai berikut:

(1) Petani mempunyai harga diri

Petani sebagai manusia biasa, selalu merasa punya harga diri yang dapat membuatnya merasa bangga atau pantas dihargai oleh lingkungannya sendiri dan oleh orang lain di luar lingkungannya itu.

(2) Petani mempunyai cita-cita

Petani sebagai manusia, juga mempunyai cita-cita untuk dapat hidup lebih baik, mempunyai pendidikan (beserta keluarganya) yang cukup, hidup yang lebih sejahtera, dan lain-lain yang dapat menaikkan harga diri dan

martabatnya di mata orang lain. Oleh sebab itu, jika timbul masalah atau hambatan dalam penyuluhan sebaiknya jangan menyalahkan petani tetapi hendaklah dicari sebab-sebab keengganan petani tersebut. Pernyataan yang sangat menarik pernah disampaikan oleh Soeharsono (1971), sebagai berikut: “petani itu bukannya tidak mau maju, tetapi mereka memang tidak mau maju menurut cara-cara yang tidak disetujuinya”.

Petani sebagai Juru Tani

Sebagai juru tani, petani pada umumnya melaksanakan kegiatannya berdasarkan pengalaman praktek yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh para nenek moyang mereka sebagai suatu ”kebiasaan”. Hidup berdasarkan atas kebiasaan, sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh petani saja tetapi juga oleh golongan masyarakat yang lain, sebab sampai batas-batas tertentu kebiasaan itu sangat berharga karena merupakan sesuatu yang sangat ditaati dan dilaksanakan. Di dalam masyarakat petani, dapat dikemukakan adanya beberapa kebiasaan yang sangat penting artinya bagi pembangunan pertanian yaitu:

(1) Kebiasaan memperhatikan iklim, fluktuasi harga, dan lain-lain yang berkaitan dengan usahataninya. Kebiasaan tersebut adalah, pencerminan dari kejelian hasil pengamatan petani tentang berbagai pengaruh alam di dalam usahataninya yang telah teruji oleh waktu dan rasional. Di samping itu, ketaatan petani dalam mengikuti kebiasaan-kebiasaan masyarakat, juga merupakan manifestasi dari sikap berhati-hati dan penuh perhitungan untuk tidak terlalu cepat mudah mengikuti informasi teknologi baru yang belum dapat dipastikan memberikan manfaat yang lebih baik,

(2) Kebiasaan bertanya “mengapa”, baik terhadap segala sesuatu yang telah dikerjakan atau dihadapinya sehari-sehari maupun sesuatu yang masih ‘baru”, petani selalu ingin tahu dan bertanya “mengapa”,

(3) Kebiasaan petani melakukan perhitungan-perhitungan kuantitaif. Petani umumnya tidak cukup puas dengan pernyataan kualitatif seperti: subur, baik, luas, tetapi lebih cenderung menilai atau mengukur dengan kuantitatif, dan (4) Kebiasaan petani untuk selalu mencari alternatif baru yang dianggap atau

usahataninya. Kebiasaan seperti itu, terutama terdorong oleh punya rasa harga diri yang tinggi, sehingga petani akan merasakan bangga bila dapat memperoleh kenaikan produksi dan atau pendapatannya dibanding petani tetangganya, teta pi sebaliknya dia akan malu dan iri jika ternyata tanamannya tumbuh lebih kerdil dibanding tetangganya.

Sebaliknya, petani sebagai juru tani juga mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang tidak mudah menerima bahkan cenderung untuk menolak atau menghambat kelancaran pembangunan seperti:

(1) Tidak mudah percaya kepada orang lain, terutama yang belum kenal dan atau bukan dari kalangan petani seperti mereka. Kebiasaan seperti ini, sering memperlambat kelancaran adopsi teknologi baru yang disuluhkan para petugas penyuluhan dari lingkungan di luar mereka.

(2) Tidak mudah menerima atau tidak bersedia (menolak) perilaku dan atau kegiatan-kegiatan yang dianggapnya berbeda, apalagi yang bertentangan dengan kebiasaan adat setempat. Penyimpangan dari kebiasaan, tidak saja dianggap sebagai keanehan atau tindak kebodohan tetapi dipandang telah menimbulkan pergesekan yang merupakan pelanggaran atau ”dosa” terhadap norma-norma tradisional yang harus dipertahankan atau dihormati serta dijunjung tinggi.

Petani sebagai Manajer Usahatani

Tingginya rasa harga diri di kalangan petani, mereka tidak mau ”digurui” oleh siapapun apalagi dari kalangan yang belum dikenalnya. Sebagai pengelola (manajer), mereka merasa punya tanggung jawab penuh dan ingin dianggap mampu menghadapi tantangannya sendiri. Keterampilan sebagai pengelola, tercakup di dalamnya terutama pengambilan keputusan atau penetapan pilihan dari alternatif-alternatif yang ada.

Keputusan yang diambil petani sebagai pengelola, antara lain mencakup: menentukan pilihan dari antara berbagai jenis komoditas yang akan ditanam dan pengaturan waktu kerja di antara berbagai tugas, terutama pada saat-saat berbagai pekerjaan itu dilakukan serentak. Sejalan dengan majunya pertanian, para petani harus mengembangkan kemampuannya dalam hal penggunaan sarana produksi,

penggunaan tenaga kerja, dan pemasaran hasil. Petani harus menentukan apakah perlu menambah tenaga kerja untuk pekerjaan di lahan usahataninya, berapa banyak hasil produksinya yang digunakan untuk kebutuhan hidup keluarganya dan usahataninya serta kapan dan kepada siapa harus menjual produknya.

Oleh sebab itu, pentingnya petani meningkatkan kemampuannya sebagai pengelola, sehingga dapat mengambil manfaat dari setiap kesempatan baik yang terbuka baginya, berusaha membuat usahataninya lebih produktif dengan memperoleh keuntungan yang semakin meningkat.

Konsep Kebutuhan dan Kesadaran akan Kebutuhan

Perbedaan antara kebutuhan dengan keinginan adalah, apabila kebutuhan tidak dipenuhi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara fisiologis dengan psikologisnya, sedangkan keinginan, apabila tidak dipenuhi tidak akan menimbulkan ketidakseimbangan pada fisiologis dan psikologisnya (Slamet, 2000). Menurut Goodin (1990), kebutuhan tidaklah selalu bersifat absolut. Kebutuhan mempunyai dua komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: prioritas dan kerelatifan. Dalam kaitan dengan prioritas, bila terjadi konflik, pihak yang memiliki otoritas sedapat mungkin berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat, bukannya keinginan masyarakat. Di sini agen pembaruan atau penyuluh harus membantu masyarakat untuk mengenali secara lebih tepat, manakah yang sebenarnya lebih penting untuk komunitas tersebut. Hal ini, sebaiknya dilakukan dengan cara diskusi sehingga terjadi proses pengambilan keputusan oleh masyarakat berdasarkan perkembangan pengetahuan dan kesadaran mereka sendiri, sehingga bukan karena paksaan atau instruksi dari agen pembaruan.

Komponen berikutnya adalah, kerelatifan dari kebutuhan itu sendiri. Goodin melihat kebutuhan seringkali lebih bersifat relatif daripada absolut (pasti). Contohnya, kebutuhan yang bersifat absolut, melihat bahwa kebutuhan akan sandang (pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan) merupakan kebutuhan yang absolut. Kebutuhan yang bersifat relatif sangat tergantung dengan unsur waktu, tempat, dan lingkungan sosial. Misalnya, kebutuhan akan pakaian pada tempat yang berbeda akan berbeda pula kebutuhannya.

Dari contoh di atas, terlihat bahwa kebutuhan yang tadinya kelihatan seperti sesuatu yang absolut bila diperdalam lagi akan dapat terlihat komponen kerelatifannya. Dalam kaitan dengan hal ini, agen pembaruan/penyuluh dituntut untuk selalu memperbarui atau mengkaji ulang kebutuhan dari komunitas binaan mereka, karena dengan berjalannya waktu dan perubahan lingkungan sosial (kondisi sosial ekonomi) maka kebutuhan suatu kelompok masyarakat dapat saja terjadi perubahan.

Stufflebean (1985) dan Kaufman (1979) mengemukakan beberapa pandangan terhadap kebutuhan, antara lain: (1) pandangan kesenjangan, kebutuhan merupakan kesenjangan atau jarak antara pengukuran atau persepsi terhadap performan yang diharapkan dengan performan yang teramati atau yang aktual, (2) pandangan demokratik, kebutuhan merupakan suatu perubahan atau arah yang diinginkan oleh sebagian besar dari beberapa kelompok acuan, (3) pandangan analitis, kebutuhan adalah arah “ke mana” perbaikan-perbaikan dapat diperkirakan terjadi dengan memperhatikan keadaan yang sedang terjadi, dan (4) pandangan diagnostik, kebutuhan adalah sesuatu yang tidak ada atau kekurangan menyebabkan menderita atau yang kalau ada membuat kemanfaatan. Oleh sebab itu, seorang agen pembaruan/penyuluh dalam memberikan informasi kepada petani, dia harus tau dan menganalisis terlebih dahulu level hirarki dari kebutuhan petani tersebut agar informasi yang diberikan sesuai dengan situasi dan kebutuhan petani sehingga mendapat respon positif dari petani yang bersangkutan.

Miller dalam Doyal dan Ian (1991) mengemukakan bahwa kesadaran individu merupakan akibat dari interaksi dengan yang lain, berupa bentuk belajar

Dokumen terkait