• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Proses Penyembuhan Pada Penderita Kusta Di Kabupaten Bengkalis Riau Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Proses Penyembuhan Pada Penderita Kusta Di Kabupaten Bengkalis Riau Tahun 2010"

Copied!
117
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA

DENGAN PROSES PENYEMBUHAN PADA PENDERITA

KUSTA DI KABUPATEN BENGKALIS RIAU

TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh

NIM: 071000276

M U K H L I S

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DENGAN PROSES PENYEMBUHAN PADA PENDERITA

KUSTA DI KABUPATEN BENGKALIS RIAU TAHUN 2010

S K R I P S I

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM : 071000276 M U K H L I S

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi Dengan Judu l :

HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP KELUARGA DENGAN PROSES PENYEMBUHAN PADA PENDERITA

KUSTA DI KABUPATEN BENGKALIS RIAU TAHUN 2010

Dipersiapkan dan dipertahankan oleh :

NIM : 071000276 M U K H L I S

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 6 Juli 2010 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima

Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Drs. Tukiman, MKM

NIP. 196110241990031003 NIP.195907131987031003 Drs. Eddy Syahrial, MS

Penguji II Penguji III

dr. Taufik Ashar, MKM Drs.Alam Bakti Keloko, MKes NIP. 197803312003121001 NIP. 196206041992031001

Medan, Juli 2010

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan

(4)

ABSTRAK

Kusta adalah penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan hanya aspek medis saja tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya dan kenyamanan. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga dan termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan proses penyambuhan pada penderita kusta di kabupaten Bengkalis Riau tahun 2010.

Jenis penelitian bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota keluarga penderita kusta berjumlah 97 orang dengan sampel 40 orang. Metode pemilihan sampel adalah cluster sample dengan analisis chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden berada pada kategori sedang (67,5%), sikap kategori baik (52,5%) dan proses penyembuhan kategori sedang (77,5%). Diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkatan pengetahuan dengan proses penyembuhan pada penderita kusta (P = 0,007) dan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkatan sikap dengan proses penyembuhan pada penderita kusta (P = 1,000).

Disarankan kepada petugas kesehatan agar lebih meningkatkan pengawasan dan promosi kesehatan kepada anggota keluarga penderita kusta tentang penyakit kusta, penularan, pengobatan dan efek samping obat. Diharapkan keluarga lebih memperhatikan dan memberi dukungan moral pada penderita agar penderita lebih percaya diri dan tekun untuk berobat.

Kata kunci : Keluarga, penderita kusta, proses penyembuhan.

(5)

ABSTRACT

Leprosy is a contagious disease which causes a very complex problem. Such a problem is not only a medical aspect but also it spreads to social, economic and cultural problem and comfort. Leprosy, up till now, is still frightened by all levels of society, families and including partly paramedics and medical officials. This matter is caused by the lack of knowledge and disbelief toward leprosy.

This research has a purpose to learn the relationship between the knowledge and the families responses with the healing process to the leprosy patients in the regency of Bengkalis Riau 2010.

This kind of research has an analytic characteristic with the approach of cross sectional. The population in this research is all the family members of leprosy sufferers with the sample of 40 persons out of 97 persons. The method of sample selection is the cluster sample and uses chi-square analysis.

The result of the research indicates that the respondents’ knowledge is in the medium category (67.5%), the good category attitude (52.5%) and recovery process of medium category (77.5%). It is found out that there is a significant correlation between the level of knowledge and the curative process toward the leprosy sufferers (P=0.007) and there is no significant correlation between the level of attitudes and the curative process upon leprosy sufferers (P=1.000).

It is suggested that health officials increase the supervision and health promotion to the family members of leprosy sufferers toward leprosy, contagion, therapy and the side effects of medication and it is also expected that families will pay more attention and give moral support to the leprosy sufferers in order that they will have more self confidence and perseverance in undergoing medical treatment.

(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Mukhlis

Tempat/ Tanggal Lahir : Teluk Dalam, 24 September 1983

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Kawin

Jumlah Anggota Keluarga : 5 Orang

Alamat Rumah : Jln. Mawar No. 103 Kuala Kampar Kab. Pelalawan Riau

Alamat Kantor : Jln. Masjid No. 7 Kuala Kampar Kab. Pelalawan Riau Riwayat Pendidikan :

1. SDN 07 Teluk Dalam Kec. Kuala Kampar Tahun 1989 − 1995

2. MTsN Kuala Kampar Tahun 1995 – 1998 3. SMAN 01 Kuala Kampar Tahun 1998 – 2001

4. AKPER Muhammadiyah Pekanbaru Tahun 2001 – 2004

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan limpahan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini

dengan judul “ Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Keluarga Dengan Proses Penyembuhan Pada Penderita Kusta Di Kabupaten Bengkalis Riau Tahun

2010”, merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Buah karya ini dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan kepada

yang tersayang kedua orang tua penulis yaitu ayahda H.Asmir dan ibunda Hj.Nurani serta kakak-kakak dan adik penulis, atas doa dan dukungan yang tidak terhingga kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1.Ibu dr.Ria Masniari Lubis,Msi, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

2.Bapak Drs.Tukiman,MKM, selaku kepala Departemen Pendidikan Kesehatan

(8)

3.Bapak Drs.Eddy Syahrial,MS, selaku dosen pembimbing II yang telah

menyediakan waktu dan kesempatan serta memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4.dr. Taufik Ashar, MKM dan Drs. Alam Bakti Keloko, Mkes sebagai dosen penguji yang telah memberikan saran dan kritik serta motivasi kepada peneliti untuk perbaikan skripsi ini.

5.Drs. Jemadi, MKes selaku dosen pembimbing akademik penulis pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

6.Seluruh staf pengajar FKM USU serta dosen Peminatan Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku khususnya yaitu DR. R. Kintoko Rochadi, MKes, Ibu Dra. Syarifah, MS, Ibu Lita Sri Andayani, SKM, MKes. dan Ibu

Linda T. Maas, MPH, serta seluruh pegawai FKM USU.

7.Bapak kepala Dinas kesehatan Kabupaten Bengkalis yang telah memberikan

kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8.Spesial buat sahabat-sahabat diantaranya : Umy, Imel, Intan, Sufnidar, Wina, Jhondry, Liza, Silvi, Rahma, Ami, Afni, Dedek, Edie, Madan dan semua

teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan dorongan kepada penulis baik selama mengikuti pendidikan

(9)

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada kekurangan, untuk itu penulis

berharap adanya masukan berupa kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan dalam skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi para

pembaca.

Medan, Juni 2010

(10)
(11)

2.7.3. Tipe Kusta ………. ... 26

2.7.4. Tanda-Tanda Kusta ……… ... 27

2.7.5. Pengobatan Penderita Kusta ....……….. ... 27

2.7.6. Cara Penularan Kusta ……… 28

2.7.7. Pencegahan Penyakit Kusta ……… ... 29

2.8. Kerangka Konsep Penelitian ……… ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ……….. ... 31

3.1. Jenis Penelitian ……… .... 31

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ………. ... 31

3.2.1. Lokasi Penelitian ……….. ... 31

3.2.2. Waktu Penelitian ………. ... 31

3.3. Populasi dan Sampel ……… ... 31

3.3.1. Populasi ……… ... 31

3.3.2. Sampel ……… ... 32

3.4. Metode Pengumbulan Data ……… ... 33

3.4.1. Data Primer ………... 33

3.4.2. Data Sekunder ……… .... 33

3.5. Definisi Operasional ……… ... 33

3.6. Aspek Pengukuran ……… ... 34

3.7. Instrumen Penelitian ………. ... 36

3.8. Teknik Analisa Data ………. ... 37

BAB IV. HASIL PENELITIAN …... 38

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 38

4.2. Karakteristik Responden ... 39

4.3. Sumber Informasi ... 40

(12)

4.5. Sikap Responden ... 46

4.6. Tindakan Responden ... 50

4.7. Hasil Analisis Bivariat ... 56

BAB V. PEMBAHASAN ... 57

5.1. Karakteristi Responden ... 57

5.2. Sumber Informasi ... 58

5.3. Pengetahuan Responden ... 59

5.4. Sikap Responden ... 65

5.5. Tindakan Responden ... 70

5.6. Pembahasan Analisis Bivariat ... 76

BAB VI. PENUTUP ... 79

6.1. Kesimpulan ... 79

6.2. Saran ……... 79 Daftar Pustaka

Lampiran-Lampiran

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik …. ………...39 Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi ..……...40 Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Penyakit kusta …41 Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Tingkatan Pengetahuan Responden Tentang Penyakit

Kusta ………..46 Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Sikap Responden Tentang Penyakit Kusta ……...46 Tabel 4.6. Distribusi Frekuensi Tingkatan Sikap Responden Tentang Penyakit

Kusta ……….50 Tabel 4.7. Distribusi Frekuensi Tindakan Responden Terhadap Proses Penyembuhan Pada Penderita Kusta ………..51 Tabel 4.8. Distribusi Frekuensi Tingkatan Tindakan Responden Terhadap Proses

Penyembuhan Pada Penderita Kusta ………..55 Tabel 4.9. Hubungan Pengetahuan Responden dengan Proses Penyembuhan Penyakit Kusta ………..56 Tabel 4.10. Hubungan Sikap Responden dengan Proses Penyembuhan Penyakit

Kusta ………56

(14)

ABSTRAK

Kusta adalah penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat komplek. Masalah yang dimaksud bukan hanya aspek medis saja tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya dan kenyamanan. Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga dan termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan proses penyambuhan pada penderita kusta di kabupaten Bengkalis Riau tahun 2010.

Jenis penelitian bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anggota keluarga penderita kusta berjumlah 97 orang dengan sampel 40 orang. Metode pemilihan sampel adalah cluster sample dengan analisis chi-square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan responden berada pada kategori sedang (67,5%), sikap kategori baik (52,5%) dan proses penyembuhan kategori sedang (77,5%). Diperoleh hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara tingkatan pengetahuan dengan proses penyembuhan pada penderita kusta (P = 0,007) dan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkatan sikap dengan proses penyembuhan pada penderita kusta (P = 1,000).

Disarankan kepada petugas kesehatan agar lebih meningkatkan pengawasan dan promosi kesehatan kepada anggota keluarga penderita kusta tentang penyakit kusta, penularan, pengobatan dan efek samping obat. Diharapkan keluarga lebih memperhatikan dan memberi dukungan moral pada penderita agar penderita lebih percaya diri dan tekun untuk berobat.

Kata kunci : Keluarga, penderita kusta, proses penyembuhan.

(15)

ABSTRACT

Leprosy is a contagious disease which causes a very complex problem. Such a problem is not only a medical aspect but also it spreads to social, economic and cultural problem and comfort. Leprosy, up till now, is still frightened by all levels of society, families and including partly paramedics and medical officials. This matter is caused by the lack of knowledge and disbelief toward leprosy.

This research has a purpose to learn the relationship between the knowledge and the families responses with the healing process to the leprosy patients in the regency of Bengkalis Riau 2010.

This kind of research has an analytic characteristic with the approach of cross sectional. The population in this research is all the family members of leprosy sufferers with the sample of 40 persons out of 97 persons. The method of sample selection is the cluster sample and uses chi-square analysis.

The result of the research indicates that the respondents’ knowledge is in the medium category (67.5%), the good category attitude (52.5%) and recovery process of medium category (77.5%). It is found out that there is a significant correlation between the level of knowledge and the curative process toward the leprosy sufferers (P=0.007) and there is no significant correlation between the level of attitudes and the curative process upon leprosy sufferers (P=1.000).

It is suggested that health officials increase the supervision and health promotion to the family members of leprosy sufferers toward leprosy, contagion, therapy and the side effects of medication and it is also expected that families will pay more attention and give moral support to the leprosy sufferers in order that they will have more self confidence and perseverance in undergoing medical treatment.

(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan jangka panjang dibidang kesehatan upaya preventif diaplikasikan dalam bentuk program pemberantasan penyakit menular. Salah satu

program tersebut ditujukan pada penyakit kusta karena pada dasarnya penyakit kusta dapat menimbulkan suatu masalah yang sangat kompleks baik dari segi medis maupun meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain (Depkes

RI,2002).

Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang sifatnya

kronis dapat menimbulkan berbagai masalah yang kompleks. Masalah yang dimaksud tidak hanya secara medis namun juga meluas sebagai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan kesehatan nasional.

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena

dikucilkan masyarakat sekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang ireversibel diwajah dan anggota gerak, motorik dan sensorik, serta dengan adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah mati rasa disertai kelumpuhan dan

mengecilnya otot (Djuanda, 2008).

Berdasarkan laporan organisasi kesehatan dunia WHO, pada akhir tahun

(17)

Indonesia. Pada tahun 2009 Indonesia menempati peringkat ketiga penyumbang

penderita kusta di dunia dengan jumlah 17.723 orang, sementara peringkat satu yakni India sebanyak 137.685 orang dan diikuti Brazil sebagai peringkat kedua dengan

jumlah 39.125 orang (Anonim, 2009).

Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi

penyakit tersebut. Masuknya kusta ke Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam negara sendiri

berbeda-beda. Demikian pula penyakit kusta menurun atau sampai menghilang pada suatu negara sampai saat ini belum jelas benar (Djuanda, 2008).

Secara nasional, Indonesia telah mencapai angka eliminasi kusta pada tahun

2000 yang lalu, namun masih ada 12 provinsi yang memiliki angka morbiditasnya diatas 1 per 10.000 penduduk. Dari 12 provinsi tersebut terdapat beberapa daerah

yang memiliki angka prevalensi yang cukup tinggi yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, NAD, Jakarta, Nusa Tenggara Timur dan Riau diperingkat 12 (Depkes RI, 2005).

Sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 kasus penyakit kusta di Indonesia mengalami penurunan yang berarti dimana pada tahun 2000 angka morbiditas

penyakit kusta sebesar 7,6 per 10.000 penduduk, turun menjadi 5,9 per 10.000 penduduk pada tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002 mengalami penurunan menjadi 2,2 per 10.000 penduduk dan hingga tahun 2003 angka morbiditas penyakit

(18)

Di Indonesia pengobatan dan perawatan penyakit kusta secara terintegrasi

dengan unit pelayanan kesehatan Puskesmas. Adapun sistem pengobatan yang dilakukan sejak tahun 1992 yaitu pengobatan dengan kombinasi MDT (multi drug

therapy) secara teratur sampai selesai sesuai dengan dosis dan waktu yang ditentukan

untuk semua penderita kusta tetapi tampa melibatkan keluarga dengan maksimum (Depkes RI, 2002).

Di Indonesia, Departemen Kesehatan Republik Indonesia bersama dengan dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota seluruh Indonesia telah melakukan

program pencegahan dan penanggulangan kusta melalui pendekatan ilmu kedokteran dan ilmu kesehatan masyarakat dengan melakukan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. Fungsi rehabilitasi tersebut agar penderita, keluarga dan masyarakat

sekitar ikut secara bersama-sama membantu penderita agar dapat hidup mandiri. Optimisme bahwa masalah kusta dapat diatasi apabila penderita, keluarga dan

masyarakat sendiri mau bekerja sama dengan penuh tanggung jawab, sehingga terciptalah iklim yang baik untuk rehabilitasi secara paripurna bagi penderita kusta. Akhirnya semua elemen masyarakat dapat hidup berdampingan tanpa diskriminasi

yang ditimbulkan oleh penyakit kusta (Depkes RI, 2005).

Provinsi Riau sampai tahun 2007 terdapat 194 penderita kusta, sedangkan

tahun 2008 sebanyak 273 orang. Sementara tahun 2009 meningkat menjadi 324 penderita kusta, yang tersebar dibeberapa kabupaten. Pada tahun 2007 di kabupaten Bengkalis terdapat 104 orang penderita kusta, sedangkan tahun 2008 sebanyak 111

(19)

Hilir 71 orang, Rokan Hilir 66 orang, Kampar 20 orang, Pelalawan 17 orang, Dumai

15 orang, Siak 12 orang, Pekanbaru 9 orang, Indragiri Hulu 7 orang, Rokan Hulu 6 orang dan Kuansing 4 orang (Dinkes Riau, 2009).

Dinas kesehatan kabupaten Bengkalis ikut melakukan program pencegahan dan penanggulangan penyakit kusta yang telah dicanangkan oleh departemen kesehatan. Berbagai program telah dilakukan oleh dinas kesehatan, puskesmas,

rumah sakit dan bekerja sama dengan instansi pemerintah maupun swasta yaitu penyuluhan kesehatan baik kepada penderita juga pada keluarga serta masyarakat,

kunjungan dan pemeriksaan kontak serumah, fisioterapi dan pelatihan usaha mandiri bagi penderita kusta.

Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti oleh masyarakat, keluarga dan

termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan, masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta serta cacat yang

ditimbulkannya. Hal inilah yang mendasari konsep perilaku penerimaan penderita terhadap penyakitnya, dimana untuk kondisi ini penderita masih saja menganggap bahwa penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak dapat diobati, penyakit

keturunan, penyakit kutukan tuhan, menyebabkan kecacatan sehingga penderita akan sangat merasa marah, kecewa bahkan cenderung menutup diri yang pada akhirnya

mereka tidak tekun untuk berobat dan merawat diri (Depkes RI, 2002).

Minimnya informasi yang benar tentang penyakit kusta membuat persepsi salah pada masyarakat sehingga kerap menganggap penyakit kusta sebagai penyakit

(20)

oleh masyarakat. Penderita kusta semakin malang. Ketakutan masyarakat tertular,

membuat mereka tega mengusir penderita kusta. Bahkan, yang sudah sembuh dan tidak menular kesulitan untuk memulai hidupnya lagi (Anonim, 2009).

Masalah penyakit kusta tidak hanya disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, tetapi juga dipengaruhi banyak faktor antara lain status sosio-ekonomi, ras, kultur, kebiasaan, dan pandangan masyarakat. Berbagai faktor sosial seperti tingkat

pendidikan, pekerjaan, kepercayaan dan nilai-nilai kebiasaan dari keluarga berpengaruh terhadap usaha penderita mencari kesembuhan sekaligus juga

mempengaruhi keteraturan berobat penderita kusta (Fajar, 2004).

Hasil penelitian oleh Rini Kusumasari (2006) terhadap penderita kusta, sebanyak 21,9% penderita tidak teratur minum obat. Penderita yang berobat tidak teratur disebabkan karena adanya efek samping obat, terjadinya reaksi kusta dan

bosan minum obat. Hal ini terjadi karena penyuluhan dari petugas yang kurang lengkap. Selain itu disebabkan rasa malu dari penderita akibat penyakit kusta serta

sikap masyarakat yang masih menjauhi penderita kusta.

Bagi penderita sendiri jika sudah didiagnosa sebagai penderita kusta oleh petugas kesehatan maka akan cenderung menutup diri terutama sudah nampak ada

kelainan ditubuhnya. Penderita merasa rendah diri, malu dan dikucilkan oleh masyarakat, disamping itu juga penderita kusta susah mencari pekerjaan. Maka dari

itu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi penderita kusta, dibutuhkan peran keluarga yang dapat memberikan dukungan atau semangat untuk lebih meningkatkan kesadaran dan harga diri dalam menjalani hidup tampa rasa malu dan rendah diri

(21)

Menurut penelitian Usman tentang “ Gambaran penderita kusta tipe multy

basiler yang drop out dengan pengobatan MDT (multy drug therapy) di daerah kabupaten Aceh Tenggara tahun 2005”, 17,3% penyebab drop out adalah kurangnya

dukungan keluarga sehingga penderita merasa tidak diperhatikan, merasa dikucilkan, merasa tidak bisa sembuh dan tidak mau melanjutkan minum obat (Usman, 2005).

Dari hasil penelitian Sri Dewi Ningsih (2007) di Rumah Sakit Pirngadi Medan

dengan sampel 54 orang, 48% penderita kusta pernah berhenti berobat. Hal ini menunjukkan tingkat kesadaran penderita kusta belum sepenuhnya baik. Untuk

meningkatkan kesadaran penderita kusta dalam keteraturan berobat diperlukan pengetahuan dan motivasi pada penderita kusta dan dukungan keluarganya, agar penderita tidak berhenti berobat.

Menurut Menteri Kesehatan RI yang dikutip dari penelitian Usman (2005), pentingnya dukungan keluarga kepada penderita kusta dalam menjalani proses

pengobatan dan pemberantasan penyakit kusta merupakan masalah yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan karena penyakit ini bukan hanya menyangkut masalah medis akan tetapi juga masalah psikologi dan ekonomi. Masalah medis karena

penyakit kusta adalah penyakit menular dan dapat menyebabkan kecacatan. Masalah psikososial karena manifestasi penyakit kusta pada kulit, menyebabkan besarnya

stigma dimasyarakat dan menjadikan penderita rendah diri, depresi dan menyendiri. Masalah ekonomi karena adanya kecacatan mengakibatkan penderita tidak dapat bekerja atau kehilangan kesempatan kerja. Keadaan tersebut memerlukan rehabilitasi

(22)

dampaknya bagi kesehatan masyarakat, maka program pemberantasan kusta menjadi

salah satu program prioritas didalam pemberantasan penyakit menular di Indonesia (Usman, 2005).

Dari uraian diatas terlihat betapa pentingnya dukungan keluarga dalam membantu proses penyembuhan pada penderita penyakit kusta maka penulis ingin meneliti tentang perilaku keluarga terhadap proses penyembuhan pada penderita

kusta di Kabupaten Bengkalis tahun 2010.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “ Belum diketahuinya hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan proses penyembuhan pada penderita kusta di Kabupaten Bengkalis

tahun 2010”.

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap keluarga dengan proses penyembuhan pada penderita kusta di Kabupaten Bengkalis tahun 2010.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengetahuan anggota keluarga tentang proses

penyembuhan pada penderita kusta di Kabupaten Bengkalis tahun 2010. 2. Untuk mengetahui sikap anggota keluarga tentang proses penyembuhan pada

(23)

3. Untuk mengetahui hubungan pengatahuan anggota keluarga dengan proses

penyembuhan pada penderita penyakit kusta di Kabupaten Bengkalis tahun 2010.

4. Untuk mengetahui hubungan sikap anggota keluarga dengan proses penyembuhan pada penderita kusta di Kabupaten Bengkalis tahun 2010.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkalis dalam menyusun perencanaan program pemberantasan penyakit

kusta selanjutnya.

2. Sebagai bahan masukan bagi petugas kesehatan dalam promosi kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit kusta dan proses penyembuhannya.

3. Sebagai proses belajar bagi penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

4. Sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk penelitian selanjutnya.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organism (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuhan, hewan, sampai dengan manusia itu

berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas

manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara bicara, berjalan, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua

kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati langsung atau pihak luar, (Notoatmodjo, 2003).

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap derajat kesehatan, Hendrik L. Blum

menggambarkannya sebagai berikut :

Keturunan

Status Kesehatan

Perilaku

Lingkungan : Fisik alamiah buatan manusia

Sosial Budaya Fasilitas

(25)

Dari skema diatas, terlihat bahwa perilaku manusia mempunyai kontribusi,

yang apabila dianalisa lebih lanjut kontribusinya lebih besar. Sebab disamping berpengaruh tidak lsngsung melalui faktor lingkungan terutama lingkungan fisik

buatan manusia, sosio budaya, serta faktor fasilitas kesehatan. Bahwa faktor perilaku ini juga dapat berpengaruh terhadap faktor keturunan karena perilaku manusia terhadap lingkungan dapat menjadi pengaruh yang negatif terhadap kesehatan dank

arena perilaku manusia pula maka fasilitas kesehatan disalahgunakan oleh manusia yang akhirnya berpengaruh kepada status kesehatan (Notoatmodjo, 2003).

2.2. Pengetahuan, Sikap dan Tindakan

2.2.1. Pengetahuan

Pengetahuan adalah merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia yakni melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba (Notoatmodjo, 2007).

Pengetahuan manusia banyak digunakan untuk kabutuhan sehari-hari,

terutama pengetahuan umum sangat bermanfaat untuk keperluan manusia sehari-hari. Pengetahuan ini diperlukan dalam rumah tangga, pertanian, kesehatan serta lainnya. Setiap orang akan menggunakan pengetahuan namun tidak tahu benar akan

seluk-beluk pengetahuan itu. Manusia berani bertindak tidak hanya berguna secara kebetulan melainkan demikian mutlaknya sehingga tidak ragu-ragu lagi. Jadi

(26)

Dalam domain kognitif pengetahuan yang dicakup mempunyai 6 (enam)

tingkatan, yaitu: 1. Tahu (know)

Tahu (know) diartikan sebagai mengingatkan suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Yang termasuk ke dalam pengetahuan ini ialah mengingat kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang

telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Untuk mengukur bahwa seseorang tahu dapat diukur dari kemampuan orang

tersebut menyebutkannya, menguraikannya, mendefinisikan dan sebagainya. 2. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. 3. Aplikasi (aplication)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini dapat diartikan sebagai hokum-hukum, rumus, metode, primsip dan sebagainya dalam konteks atau

situasi lain.

4. Analisis (analysis)

Analisis diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

(27)

penggunaan kata kerja, seperti dapat mengambarkan, membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya. 5. Sintesis (synthetis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi dari formulasi-formulasi

yang telah ada.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini berdasarkan suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan criteria-kriteria yang telah ada.

Unsur yang mengisi akal dan alam jiwa seseorang manusia yang sadar, secara nyata terkandung dalam otaknya. Dalam lingkungan ada bermacam-macam hal yamg

dialami individu itu melalui penerimaan panca inderanya serta alat penerimaan atau reseptor. Hala-hal yang dialaminya tersebut masuk dalam sel-sel otaknya sehingga terjadi bermacam-macam proses seperti proses fisik, fisiolgis dan psikologis

kemudian dipancarkan atau diproyeksikan individu tersebut menjadi suatu penggambaran tentang lingkungan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang antara lain : a. Pendidikan

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang

(28)

informasi dan pada akhirnya makin banyak pula pengetahuan yang mereka

miliki. b. Pekerjaan

Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara langsung maupun tidak langsung.

c. Umur

Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada aspek fisik dan psikologis, dimana dalam aspek psikologis taraf berpikir seseorang

semakin matang dan dewasa. d. Pengalaman

Pengalaman adalah suatu kejadian yang pernah dialami oleh indivinu baik dari

dalam dirinya ataupun dari lingkungannya. Pada dasarnya pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan bagi individu yang melekat menjadi

pengetahuan pada individu secara subjektif. e. Informasi

Kemudahan seseorang untuk memperoleh informasi dapat membantu

mempercepat seseorang untuk memperoleh pengetahuan baru (Wahid, 2007). Untuk mendapatkan informasi salah satunya dari media. Media adalah alat-alat yang

digunakan oleh pendidik dalam menyampaikan bahan pendidikan atau pengajaran. Media ini lebih sering disebut sebagai alat peraga karena berfungsi untuk membantu dan memperagakan sesuatu di dalam proses pendidikan atau pengajaran.

(29)

pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Dengan kata lain media dimaksudkan

untuk mengerahkan pancaindra sebanyak mungkin kepada objek sehingga mempermudah pemahaman (Notoatmodjo, 2003).

2.2.2. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan manifestasi sikap itu tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu

dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari

merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap

belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan suatu predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap masih merupakan suatu reaksi tertutup

bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek dilingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).

Sikap menentukan jenis atau tabiat tingkah laku dalam hubungannya dengan perangsang yang relevan, orang-orang atau kejadian-kejadian. Dapatlah dikatakan

(30)

Adapun ciri sikap adalah sebagai berikut :

1. Sikap itu dipelajari (learnability)

Sikap merupakan hasil belajar. Ini perlu dibedakan dari motif-motif psikologi

lainnya, milasnya : lapar, haus adalah motif psikologi yang tidak dipelajari, sedangkan pilihan kepada makanan eropa adalah sikap. Beberapa sikap dipelajari tidak disengaja dan tampa kesadaran sebagian individu. Barangkali

yang terjadi adalah mempelajari sikap dengan sikap sengaja bila individu mengerti bahwa hal itu akan membawa lebih baik, membantu tujuan

kelompok atau memperoleh sesuatu nilai yang sifatnya perseorang. 2. Memiliki kestabilan (stability)

Sikap bermula dari dipelajari, kemudian menjadi lebih kuat, tetap dan stabil,

melalui pengalaman. Misalnya pengalaman terhadap suka dan tidak suka terhadap warna tertentu yang sifatnya berulang-ulang.

3. Personal Sosial Signifikan

Sikap melibatkan hubungan antara seseorang dengan orang lain dan juga antara orang dan barang atau situasi. Jika seseorang merasa bahwa orang lain

menyenangkan, terbuka serta hangat, maka ini sangat berarti begi dirinya dan merasa bebas dan nyaman.

4. Berisi kogniti dan afekti

(31)

5. Approach-avoidance Directionality

Bila seseorang memiliki sikap yang mudah beradaptasi terhadap sesuatu objek, mereka akan mendekati dan membantunya, sebaliknya bila seseorang

memiliki sikap yang susah beradaptasi mereka akan menghindarinya. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :

1. Menerima (receiving)

Diartikan bahwa orang atau subjek mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan objek.

2. Merespon (responding)

Yaitu memberi jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu yang indikasi dari sikap karena dengan

suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan terlepas pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang

menerima ide tersebut. 3. Menghargai (valuating)

Diartikan mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah.

4. Bertanggung Jawab (responsible)

Yaitu bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Secara

(32)

2.2.3. Tindakan

Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap agar menjadi suatu tindakan nyata diperlukan faktor atau suatu

kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Disamping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak-pihak lain.

Tingkatan tindakan secara teoritis adalah sebagai berikut : 1. Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah praktek tingkat pertama. 2. Respon terpimpin (guided responses)

Melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator tingkat kedua.

3. Mekanisme (mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu secara benar maka secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah

mencapai praktek tingkat ketiga. 4. Adaptasi (adaptation)

Suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya itu sudah

dimodifikasi tampa mengurangi kebenaran tindakan tersebut.

Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung yakni dengan

(33)

2.3. Model Kepercayaan Kesehatan (health belief model)

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari

maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan berbagai faktor yang saling berinteraksi. Sering tidak disadari bahwa interaksi tersebut amat kompleks sehingga kadang-kadang kita tidak sempat memikirkan penyebab seseorang menerapkan

perilaku tertentu. Karena itu amat penting untuk dapat menelaah alasan dibalik perilaku individu, sebelum mampu mengubah perilaku tersebut (Machfoedz, 2006).

Health Belief Models (HBM) adalah suatu model kepercayaan penjabaran dari model sosio-psikologis. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa masalah-masalah kesehatan ditandai oleh kegagalan orang atau masyarakat untuk

menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider. Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku

pencegahan penyakit menjadi model kepercayaan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Health Belief Models (HBM) dikembangkan sejak tahun 1950 oleh kelompok ahli psikologi sosial dalam pelayanan kesehatan masyarakat Amerika. Model ini

digunakan sebagai upaya menjelaskan secara luas kegagalan partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau deteksi penyakit dan sering kali dipertimbangkan

sebagai kerangka utama dalam perilaku yang berkaitan dengan kesehatan manusia yang dimulai dari pertimbangan orang-orang tentang kesehatan (Maulana, 2007).

HBM ini digunakan untuk meramalkan perilaku peningkatan kesehatan. HBM

(34)

melakukan tindakan pencegahan tergantung secara langsung pada hasil dari dua

keyakinan atau penilaian kesehatan yaitu ancaman yang dirasakan dari sakit dan pertimbangan tentang keuntungan dan kerugian.

Penilaian pertama adalah ancaman yang dirasakan terhadap resiko yang akan muncul. Hal ini mengacu pada sejauh mana seseorang berpikir penyakit atau kesakitan betul-betul merupakan ancaman bagi dirinya. Asumsinya adalah bahwa bila

ancaman yang dirasakan tersebut maka perilaku pencegahan juga akan meningkat. Penilaian tentang ancaman yang dirasakan, ini berdasarkan pada

ketidakkekebalan dirasakan yang merupakan kemungkinan bahwa orang-orang dapat mengembangkan masalah kesehatan menurut kondisi mereka. Keseriusan yang dirasakan orang-orang yang mengevaluasi seberapa jauh keseriusan penyakit tersebut

apabila mereka mengembangkan masalah kesehatan mereka atau membiarkan penyakitnya tidak ditangani.

Penilaian kedua yang dibuat adalah antara keuntungan dan kerugian dari perilaku dalam usaha untuk memutuskan tindakan pencegahan atau tidak yang berkaitan dengan dunia medis dan mencakup berbagai ancaman, seperti check up

untuk pemeriksaan awal dan imunisasi.

Penilaian ketiga yaitu petunjuk berperilaku sehat. Hal ini berupa berbagai

informasi dari luar atau nasihat mengenai permasalahan kesehatan, misalnya media massa, promosi kesehatan dan nasihat orang lain atau teman (Maulana, 2009).

Sebagai kesimpulan, apabila individu bertindak untuk melakukan pengobatan

(35)

1. Kerentanan yang Dirasakan

Agar seseorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasa bahwa ia rentan terhadap penyakit tersebut.

2. Keseriusan yang Dirasakan

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan penyakitnya akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau

masyarakat.

3. Manfaat dan Rintangan yang Dirasakan

Apabila individu merasa dirinya rentan untuk penyakit yang dianggap gawat atau serius, ia akan melakukan suatu tindakan tertentu. Tindakan tersebut tergantung pada manfaat dan rintangan yang ditemukan dalam mengambil

tindakan tersebut.

2.4. Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku

Adapun bentuk-bentuk perubahan perilaku, antara lain : 1. Perubahan Alamiah (natural change)

Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian dari perubahan itu disebabkan

karena kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota

masyarakat didalamnya juga akan mengalami perubahan. 2. Perubahan Terencana (planned change)

Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh

(36)

3. Kesediaan Untuk Berubah (readiness to change)

Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat

untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut dan sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang

berbeda-beda (Notoatmodjo, 2003). 2.5. Konsep Sehat-Sakit

Persepsi masyarakat tentang sehat-sakit dipengaruhi oleh unsur pengalaman

masa lalu, disamping unsur sosial budaya, sebaliknya, petugas kesehatan berusaha sedapat mungkin menerapkan kriteria medis yang objektif berdasarkan gejala yang tampak, guna mendiangnosa kondisi fisik seorang individu. Perbedaan persepsi

antara masyarakat dan petugas kesehatan inilah yang menimbulkan masalah dalam melaksanakan program kesehatan. Kadang-kadang orang tidak pergi berobat atau

menggunakan sarana kesehatan yang tersedia sebab mereka tidak merasa mengidap penyakit atau jika individu tersebut merasa bahwa penyakitnya disebabkan oleh makhluk halus, maka mereka akan memilih untuk berobat kepada orang pandai

(dukun) yang dianggap mampu mengusir makhluk halus tersebut dari tubuhnya sehingga penyakit akan hilang (Sarwono, 2004).

(37)

anggota-anggota masyarakat yang secara klinis maupun laboratorium menunjukkan gejala

klinis bahwa mereka diserang atau menderita suatu jenis penyakit, tetapi mereka tidak merasakan sebagai sakit. Oleh karena itu mereka tetap menjalankan kegiatannya

sehari-hari sebagai orang sehat (Notoatmodjo, 2003).

Dari sini keluar suatu konsep sehat masyarakat, yaitu bahwa sehat adalah orang yang dapat bekerja atau menjalankan pekerjaannya sehari-hari dan keluar

konsep sakit, dimana dirasakan oleh seseorang yang sudah tidak dapat bangkit dari tempat tidur dan tidak dapat menjalankan pekerjaannya sehari-hari (Notoatmodjo,

2003).

Persepsi masyarakat menganggap penyakit kusta merupakan penyakit kutukan dan menakutkan, hal ini dikarenakan wajah penderita kusta berbenjol-benjol dan

tegang seperti wajah singa. 2.6. Keluarga

Keluarga adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus

merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang tinggal satu rumah. Keluarga biasanya terdiri dari suami, istri, dan juga anak-anak yang selalu menjaga rasa aman dan ketentraman ketika menghadapi segala suka duka hidup dengan erat

artinya ikatan luhur hidup bersama (Arita, 2008).

2.6.1. Fungsi Keluarga

(38)

1. Fungsi Biologis : Diharapkan agar keluarga dapat menyelenggarakan

persiapan-persiapan perkawinan bagi anak-anaknya, karena dengan perkawinan akan terjadi proses kelangsungan keturunan.

2. Fungsi Pemeliharaan : Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan, yang pada intinya harus dapat mencipta rasa aman, tentram dan nyaman.

3. Fungsi Ekonomi: Fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga seperti memenuhi kebutuhan akan makanan, pakaian dan

tempat tinggal.

4. Fungsi Keagamaan : Diwajibkan uintuk menjalani dan mendalami serta mengamalkan ajaran-ajaran agama sebagai manusia yang taqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

5. Fungsi Sosial: Keluarga berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya

bekal-bekal selengkapnya dengan memperkenalkan nilai-nilai dan sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan-peranan yang diharapkan akan mereka jalankan kelak bila sudah dewasa.

6. Fungsi Kesehatan : untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam

memberikan asuhan kesehatan mempengaruhi status kesehatan keluarga. Keluarga yang dapat melaksanakan tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan keluarga. Adapun tugas kesehatan keluarga

(39)

a. Mengenal masalah kesehatan.

b. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat. c. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.

d. Mempertahankan atau menciptakan suasana rumah yang sehat. 2.6.2. Fungsi Keluarga Terhadap Penyembuhan Pada Penderita Kusta

Ada beberapa fungsi keluarga terhadap penyembuhan pada penderita kusta,

antara lain sebagai berikut :

1. Pemberi dukungan : Keluarga sangat berpengaruh dalam dalam memberikan

dorongan ataupun dukungan untuk melakukan pencegahan penularan salah satunya dengan cara pengobatan sejak dini secara teratur sehinggan dapat sembuh tampa cacat (Fadoli, 2008).

Berada dalam kondisi pernah menjalani kehidupan normal namun harus mengalami suatu penyakit yang besar kemungkinan menimbulkan

kecacatan dan dapat menular pada orang lain adalah suatu keadaan yang sangat berat bagi penderita dan dapat menimbulkan stres. Keberadaan kerabat atau keluarga penderita penyakit kusta dalam memberi dukungan akan

mengurangi stres yang dialami penderita penyakit kusta (Nugraha, 2009). 2. Fungsi Pengawasan : Mengawasi penderita kusta agar menelan obat secara

teratur sampai pengobatan berakhir sehingga penderita kusta bisa sembuh (Usman, 2005).

3. Fungsi Pencegahan : Sikap keluarga dalam pencegahan penularan penyakit

(40)

Menurut Fajar dkk; tingkat pendidikan, sosioekonomi atau penghasilan,

pengetahuan dan kebiasaan keluarga berpengaruh terhadap usaha penderita mencari kesembuhan sekaligus juga mempengaruhi keteraturan berobat penderita kusta (Fajar

dkk, 2004).

Sementara itu menurut Basaria; jenis kelamin, pendidikan dan peran petugas sangat besar pengaruhnya terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta (Basaria,

2007).

2.7. Penyakit Kusta

2.7.1. Definisi Kusta

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun dan penularannya kepada orang lain memerlukan waktu yang cukup lama tidak seperti penyakit lainnya.

Masa inkubasinya adalah 2-5 tahun. Penyakit ini menyerang syaraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran pernafasan bagian atas, mata, otot,

tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat asimtomatik. Namun pada sebagian kecil memperhatikan gejala-gejala yang mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat khususnya pada tangan dan kaki (Depkes RI, 2002).

Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas

pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Djuanda, 2008).

2.7.2. Penyebab Kusta

(41)

penyebaran atau perpindahan penyakit kusta, yang jelas seseorang penderita tidak

dapat menular ke orang lain kecuali mycobacterium leprae yang hidup keluar dari tubuh penderita kemudian masuk ke tubuh orang lain. Jenis bakteri ini juga dikenal

dengan nama Hansen’s bacillus, lantaran ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 (Depkes RI, 2002).

2.7.3. Tipe Kusta

1. Tipe PB (Pausi Basiler) yaitu penderita kusta yang mempunyai kelainan

dengan jumlah lesi 1-5, penebalan syaraf hanya 1 disertai dengan gangguan fungsi dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) negatif.

2. Tipe MB (Multi Basiler) yaitu kelainan kulit dengan jumlah lesi lebih dari 5,

penebalan syaraf lebih dari 2 disertai gangguan fungsi dan pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) positif.

2.7.4. Tanda-Tanda Penyakit Kusta

Tanda-tanda dari penyakit kusta bermacam-macam tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Adapun tanda-tanda yang mudah untuk dikenal yaitu:

1. Adanya bercak putih tipis seperti panu yang mati rasa pada tubuh manusia. 2. Adanya binti-bintik kemerahan yang tersebar pada kulit.

3. Adanya penebalan saraf tepi.

4. Muka berbenjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

2.7.5. Pengobatan Penderita Kusta

(42)

cerah namun masih dalam evaluasi uji klinis, maka regimen MDT (Multi Drug

Therapi) masih dianjurkan pada program pemberantasan kusta diseluruh dunia.

Program MDT (Multi Drug Therapi) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika

kelompok studi kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta regimen kombinasi yang dikenal sebagai regimen kombinasi yang dikenal sebagai regimen MDT WHO yaitu DDS (diamino difenil sulfon), Rifampisin

dan Klofazimin. Selain untuk mengatasi resisten dapsone dan rifampicin yang semakin meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan untuk mengurangi

ketidaktaantan penderita dan menurunkan angka putus obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa terapi. WHO telah menyediakan obat MDT dalam kemasan

blister pack PB dan MB untuk penderita kusta. Lamanya pengobatan penyakit kusta

yaitu, PB selama 6-9 bulan sedangkan MB selama 12-18 bulan (Linuwin, 1997).

2.7.6. Cara Penularan

Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta (Djuanda, 2008).

Kusta mempunyai masa inkubasi 2-5 tahun, akan tetapi dapat juga beberapa bulan sampai beberapa tahun. Penularan terjadi apabila mycobacterium leprae yang

solid (hidup) keluar dari tubuh penderita dan masuk ke dalam tubuh orang lain. Secara teoritis, penularan ini dapat terjadi dengan cara kontak yang lama dengan penderita. Yang jelas seorang penderita yang sudah minum obat sesuai dengan

(43)

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda

tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta

adalah:

• Melalui sekresi hidung, basil yang berasal dari sekresi hidung penderita yang

sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.

• Kontak kulit dengan kulit yang lama dan berulang-ulang dalam jangka 40

hari sampai 40 tahun tetapi umumnya beberapa tahun, rata-rata 2-5 tahun (Djuanda, 2008).

2.7.7. Pencegahan Penyakit Kusta

Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat

dicegah. Pengobatan kepada penderita kusta merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh

manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya

tempat-tempat yang lembab (Linuwin, 1997).

Penting sekali kita mengetahui atau mengerti beberapa hal tentang penyakit kusta ini, yaitu :

• Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.

(44)

• Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain.

• Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan

secara teratur.

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

2.9. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada hubungan antara pengetahuan keluarga dengan proses penyembuhan

pada penderita kusta

2. Ada hubungan antara sikap keluarga dengan proses penyembuhan pada

(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan metode

cross sectional yaitu untuk mencari hubungan antara pengetahuan dan sikap keluarga

dengan proses penyembuhan pada penderita kusta di Kabupaten Bengkalis tahun 2010.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bengkalis Riau. Adapun pertimbangan

pemilihan lokasi penilitian ini adalah :

1. Kabupaten Bengkalis merupakan Kabupaten penderita kusta terbanyak di

propinsi Riau.

2. Belum pernah dilakukan penelitian yang sama sebelumnya.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan saat dimulai penyusunan proposal yaitu bulan Januari sampai selesai melakukan penelitian bulan Juni 2010.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota keluarga penderita kusta

(46)

3.3.2. Sampel

Dalam menentukan besar sampel yang akan diteliti, ditentukan dengan menggunakan rumus Lemeshow (1994), sebagai berikut :

n Orang

Dimana N : Besar populasi n : Besar sampel

d : Galat pendugaan (0,1)

Z : Tingkat kepercayaan (90% = 1,645) P : Proporsi populasi (0,5)

Dari hasil perhitungan yang dilakukan dengan mengunakan rumus diatas, maka diketahui jumlah sampel sebanyak 40 anggota keluarga penderita kusta.

Pengambilan sampel dilakukan secara cluster sample yaitu pengambilan sampel berdasarkan kecamatan yang mempunyai penderita kusta terbanyak. Kecamatan tersebut sebagai berikut :

(47)

2. Kec. Bantan 7 orang yang menjadi sampel dari 18 penderita kusta.

3. Kec. Bukit batu 11 orang yang menjadi sampel dari 29 penderita kusta. 4. Kec. Siak kecil 6 orang yang menjadi sampel dari 15 penderita kusta.

3.4. Metode Pengumpulan Data

3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden dengan

mengunakan kuesioner yang berisi daftar pertanyaan serta jawaban yang telah dipersiapkan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari laporan penyakit menular yang diperoleh dari dinas kesehatan Kabupaten Bengkalis Riau.

3.5. Definisi Operasional

1. Keluarga adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus

merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua, suami, istri, dan anak sudah dewasa yang tinggal satu rumah.

2. Umur adalah lama waktu hidup responden sampai ulang tahun terakhir.

3. Jenis kelamin adalah sifat atau ciri jasmani responden yang membedakan dua makhluk sebagai laki-laki dan perempuan.

4. Pendidikan adalah pendidikan formal yang pernah diikuti responden sampai mendapat ijazah terakhir.

5. Pekerjaan adalah kegiatan rutin responden yang menghasilkan pendapatan

(48)

6. Lama menderita adalah rentang antara waktu didiagnosa sebagai penderita

kusta hingga pada saat dilakukan penelitian.

7. Media adalah wadah atau alat untuk memperoleh informasi tentang penyakit

kusta baik media cetak (leaflet dan koran) dan media elektonik (radio dan televisi).

8. Petugas kesehatan adalah orang yang bekerja dibidang kesehatan(dokter dan

perawat) dan memberikan penyuluhan atau penjelasan tentang penyakit kusta. 9. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui dan dimengerti oleh

responden tentang penyakit kusta.

10.Sikap adalah suatu bentuk pemikiran, pendapat, penilaian, tanggapan responden tentang penyakit kusta.

11.Proses penyembuhan adalah suatu bentuk perbuatan atau praktek yang pernah dilakukan oleh responden terhadap anggota keluarganya yang menderita

kusta.

3.6. Aspek Pengukuran

Adapun dalam mengukur tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga

penderita kusta, dibuat dalam sebuah aspek pengukuran. Menurut Arikunto (2006), aspek pengukuran dengan kategori (baik, sedang, kurang) terlebih dahulu menetukan

kriteria (tolak ukur) yang akan dijadikan penetuan. 3.6.1. Pengetahuan

Pengetahuan diukur melalui 15 pertanyaan dengan menggunakan skala

Thurstone (Riduwan, 2008). Untuk pertanyaan nomor 1,2,3,5,6,8,9,10,12,13 dan 14

(49)

tertinggi yang dapat dicapai responden dari semua pertanyaan adalah 36. Berdasarkan

jumlah nilai yang ada dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu :

a. Tingkat pengetahuan baik, apabila nilai yang diperoleh responden >75% dari

nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 36 yaitu >27

b. Tingkat pengetahuan sedang, apabila nilai yang diperoleh responden 45-75% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 36 yaitu 18-27

c. Tingkat pengetahuan kurang, apabila nilai yang diperoleh responden < 45% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 36 yaitu < 18

3.6.2. Sikap

Sikap diukur melalui 12 pertanyaan dengan menggunakan skala Likert (Riduwan, 2008). Kriteria jawaban dalam pertanyaan sikap yaitu Sangat Setuju,

Setuju, Kurang Setuju dan Tidak Setuju. Nilai tertinggi yang dapat dicapai responden dari semua pertanyaan adalah 48. Berdasarkan jumlah nilai yang ada dapat

diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu :

a. Sikap baik, apabila nilai yang diperoleh responden >75% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 48 yaitu >36

b. Sikap sedang, apabila nilai yang diperoleh responden 45-75% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 48 yaitu 21-36

(50)

3.6.3. Proses Penyembuhan

Tindakan diukur dari 8 pertanyaan dengan mengunakan skala Thurstone (Riduwan, 2008). Untuk pertanyaan nomor 1,3,4,5,6,8,9,10,11,12 dan 13 skor

tertinggi adalah 3. Pertanyaan nomor 2 dan 7 skor tertinggi adalah 2. Nilai tertinggi yang dicapai responden dari semua pertanyaan adalah 37. Berdasarkan jumlah nilai yang ada dapat diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu :

a. Tindakan baik, apabila nilai yang diperoleh responden >75% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 37 yaitu > 27

b. Tindakan sedang, apabila nilai yang diperoleh responden 45-75% dari nilai tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 37 yaitu 16-27

c. Tindakan kurang, apabila nilai yang diperoleh responden < 45% dari nilai

tertinggi seluruh pertanyaan dengan total nilai 37 yaitu < 16

3.7. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah berupa kuesioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang tentang karakteristik keluarga (jenis kelamin, umur, pendidikan, lama menderita penyakit kusta) dan sumber informasi

(petugas kesehatan, media cetak dan media elektronik) pengetahuan, sikap dan tindakan keluarga terhadap proses penyembuhan pada penderita kusta di Kabupaten

(51)

3.8. Teknik Analisa Data

3.8.1. Univariat

Analisis univariat dilakukan pada tiap variabel dari hasil penelitian dengan

mendeskripsikan setiap variabel penelitian dengan cara membuat tabel distribusi frekuensi pada tiap variabel. Diantaranya variabel bebas (independen) karakteristik keluarga seperti jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, lama menderita kusta

dan sumber informasi (petugas kesehatan dan media cetak dan elektonik). Pada variabel antara yang dideskripsikan adalah pengetahuan dan sikap keluarga terhadap

proses penyembuhan pada penderita kusta dan pada variabel terikat (dependen) yang dideskripsikan adalah tindakan keluarga terhadap proses penyembuhan pada penderita kusta di kabupaten Bengkalis Riau.

3.8.2. Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mencari hubungan antara karakteristik,

pengetahuan dan sikap keluarga dengan tindakan keluarga terhadap proses penyembuhan pada penderita kusta di kabupaten Bengkalis Riau. Uji hipotesis Chi-square Test Independent, yaitu untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas

(independen) dengan variabel terikat (dependen) dan variabel antara dengan variabel terikat (Santoso, 2002).

(52)

BAB 1V

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Bengkalis terletak di timur pulau sumatera yang termasuk dalam wilayah provinsi Riau. Luas wilayah kabupaten Bengkalis yaitu 11.481,77 km2 yang terdiri dari pulau-pulau dan dataran-dataran rendah dengan ketinggian rata-rata

sekitar 1-6,1 m dari permukaan laut. Adapun batas-batas wilayah kabupaten Bengkalis adalah sebagai berikut :

 Sebelah utara dengan Selat Malaka

 Sebelah selatan dengan kabupaten Siak

 Sebelah barat dengan kota Dumai dan kabupaten Rokan Hilir

 Sebelah Timur dengan kabupaten Karimun dan Kepulauan Meranti

Kabupaten Bengkalis mempunyai 8 kecamatan (Bengkalis, Bantan, Bukit Batu,

Mandau, Merbau, Rupat, Rupat Utara, Pinggir dan Siak Kecil) dengan jumlah penduduk 520.241 jiwa tahun 2009. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan, petani, buruh, pedagang, pegawai swasta, pegawai negeri dan

lain-lain. Adapun jumlah penderita kusta berdasarkan kecamatan, sebagai berikut : - Kec. Bengkalis 26 orang - Kec. Mandau 2 orang

- Kec. Bantan 18 orang - Kec. Tebing tinggi 2 orang - Kec. Bukit batu 29 orang - Kec. Rangsang Barat 4 orang - Kec. Siak kecil 15 orang

(53)

4.2. Karakteristik Responden

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik

No Kelompok Umur Jumlah

(54)

masing-masing 9 orang (22,5%), dan paling sedikit masing-masing-masing-masing 2 orang (5%) yaitu

anggota keluarga penderita kusta berumur 16-20 tahun, 21-25 tahun dan 51-55 tahun. Jenis kelamin responden yang terbanyak adalah perempuan yaitu sebanyak 25

orang (62,5%), dan paling sedikit laki-laki yaitu 15 orang (37,5%).

pendidikan responden sebagian besar adalah tamat SD yaitu sebanyak 19 orang (42,5%), sedangkan pendidikan responden sebagian kecil adalah tamat SLTA

yaitu sebanyak 7 orang (17,5%).

Pekerjaan responden sebagian besar adalah ibu rumah tangga yaitu sebanyak

20 orang (50%), sedangkan pekerjaan responden sebagian kecil adalah n3elayan dan pegawai swasta yaitu sebanyak 3 orang (7,5%).

Sebagian besar lama menderita kusta adalah > 6 bulan yaitu sebanyak 28

orang (70%), sedangkan lama menderita kusta adalah < 6 bulan yaitu sebanyak 12 orang (30%).

4.3. Sumber Informasi

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi

No Sumber Informasi Jumlah

(Orang) %

1 Petugas Kesehatan 25 62,5

2 Leaflet 13 32,5

3 Teman/tetangga 2 5,0

Total 40 100

Informasi yang didapatkan

1 Tentang penyakit kusta dan penularanya 3 7,5 2 Tentang penyakit kusta serta penularanya dan

cara pencegahan penyakit kusta 23 62,5

3

Tentang penyakit kusta dan penularanya, cara pencegahan penyakit kusta dan tahapan-tahapan pengobatan kusta

14 35,0

(55)

Dari tabel 4.2 di atas diketahui bahwa sumber informasi responden sebagian

besar dari petugas kesehatan yaitu sebanyak 25 orang (62,5%), sedangkan sumber informasi responden sebagian kecil dari teman/tetangga yaitu sebanyak 2 orang (5%).

Informasi yang diperoleh responden sebagian besar hanya 2 yaitu tentang penyakit kusta serta penularannya dan cara pencegahan penyakit kusta sebanyak 23 orang (62,5%), sedangkan 14 orang (35,5%) responden mendapatkan 3 informasi

yaitu tentang penyakit kusta dan penularannya, pencegahan penyakit kusta dan tahapan-tahapan pengobatan kusta, sementara sebanyak 3 orang (7,5%) responden

memperoleh hanya 1 informasi. 4.4. Pengetahuan Responden

Dari hasil penelitian diketahui distribusi frekuensi responden berdasarkan

pengetahuan adalah sebagai berikut :

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Penyakit Kusta

No Definisi Penyakit Kusta Jumlah

(Orang) % 2 Bercak putih tipis terasa gatal-gatal dan tidak

mati rasa 3 7,5

3 Bercak putih tipis seperti panu dan semakin

lebar 7 17,5

4 Tidak tahu 28 70,0

(56)

Lanjutan tabel 4.3.

No Penyakit Kusta Menular Jumlah

(Orang) %

1 Ya 39 97,5

2 Tidak 1 2,5

Total 40 100

Cara Penularan Penyakit Kusta

1 Mengunakan bekas peralatan penderita kusta 25 64,1 2 Bersentuhan dengan penderita kusta dalam

waktu lama 14 35,9

Total 39 100

Akibat Yang Ditimbulkan Penyakit Kusta

1 Kecacatan 14 35,0

Lama Pengobatan Penyakit Kusta

1 Dapat sembuh setelah minum obat tampa

batas waktu tertentu 3 7,9

2 Dalam waktu 6-12 bulan 33 86,9

3 Tidak tahu 2 5,2

Total 38 100

Akibat Tidak Menyelesaikan Pengobatan Penyakit Kusta

1 Penyakitnya kambuh kembali dan tidak

bertambah parah 18 45,0

2 Penyakitnya kambuh kembali dan bertambah

parah 11 27,5

3 Tidak bisa diobati lagi 11 27,5

Total 40 100

Pengobatan Penyakit Kusta Dengan MDT

1 Tahu 3 7,5

2 Tidak Tahu 37 92,5

(57)

Lanjutan tabel 4.3.

No Penyebab Penyakit Kusta Jumlah

(Orang) %

1 Kuman 8 20,0

2 Tidak tahu 32 80,0

Total 40 100

Jenis Obat MDT

1 Obat kombinasi terdiri dari DDS dan

rifampisin 1 33,3

2 Obat terdiri dari DDS, rifampisi dan

klofazimin yang tidak kombinasi 2 66,7

Total 3 100

Waktu Pengambilan Obat Kusta

1 Setiap bulan 37 92,5

2 setiap 2 bulan sekali 3 7,5

Total 40 100

Dari tabel 4.3 di atas diketahui bahwa sebagian besar responden mengatakan defenisi penyakit kusta adalah penyakit menular yaitu sebanyak 27 orang (67,5%),

responden mengatakan penyakit kusta adalah penyakit menular dan menahun yaitu sebanyak 3 orang (7,5%), responden mengatakan penyakit kusta adalah penyakit

keturunan yaitu7 sebanyak 1 orang (2,5%) dan responden mengatakan tidak tahu tentang penyakit kusta yaitu sebanyak 9 orang (22,5%).

sebagian besar responden mengatakan tidak tahu tanda-tanda penyakit kusta

yaitu sebanyak 28 orang (70%), responden mengatakan tanda-tanda penyakit kusta adalah bercak tipis seperti panu dan semakin lebar yaitu sebanyak 7 orang (17,5%),

responden mengatakan tanda-tanda penyakit kusta adalah bercak-bercak putih tipis terasa gatal-gatal dan tidak mati rasa yaitu sebanyak 3 orang (7,5%) dan mengatakan tanda-tanda penyakit kusta adalah Bercak putih tipis seperti panu dan mati rasa yaitu

Gambar

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sumber Informasi
Tabel 4.3.  Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden Tentang Penyakit Kusta
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Tingkatan Pengetahuan Responden Tentang Penyakit Kusta
+4

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu kami juga memberikan pengetahuan sekaligus pelatihan kepada mayarakat mengenai pengoptimalan sumber daya yang ada di Desa ini yaitu penggunaan air nira dan batang pisang

Sesuai dengan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan didapatkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan berfikir kritis matematis menggunakan model

Anak yang memasuki proses peradilan pidana untuk menyelesaikan tindak pidana yang mereka lakukan harus diberikan perlindungan, salah satunya dalam pemberian bantuan hukum

Oozie clients, users, and other applications interact with the Oozie server using the oozie command-line tool, the Oozie Java client API, or the Oozie HTTP REST API.. The oozie

Hasil dari tambak setelah panen sangat melimpah dan sebagian besar petambak hanya menjual ikan segar langsung ke pengumpul dengan harga jual kisaran

Dari hasil pengujian, program penampil digital daya reaktor berhasil menampilkan daya reaktor dari orde kW sampai dengan MW dan perhitungan faktor konversi

Berdasarkan hasil survey, 64,7% responden menyatakan bahwa kualitas air yang telah mereka berkualitas baik, yaitu jernih tidak berbau, berasa, ataupun

a) Variabel Kepemilikan manajerial pada perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014-2017 yang diukur dengan jumlah