• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Analisis Residu Klorpirifos dalam Minyak Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) Menggunakan Kromatografi Gas dengan Detektor Penangkap Elektron

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Analisis Residu Klorpirifos dalam Minyak Sawit (Elaeis Guineensis Jacq) Menggunakan Kromatografi Gas dengan Detektor Penangkap Elektron"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON

SKRIPSI

OLEH: YOGI SUGIANTO

NIM 060804036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: YOGI SUGIANTO

NIM 060804036

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON OLEH:

YOGI SUGIANTO NIM 060804036

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.) NIP. 19531128198303 1 002

(Prof. Dr. rer nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt.) NIP. 19530619198303 1 001

Pembimbing I,

(Prof. Dr. rer nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt.) NIP. 19530619198303 1 001

(Dr. M. Pandapotan Nasution, MPS., Apt.) NIP. 19490811197603 1 001

(Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt.) NIP. 19510816198003 1 002

(Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt.) NIP. 19490706198002 1 001

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT Yang Maha

Agung yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, karunia dan kemudahan kepada

penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang

berjudul “Studi Analisis Residu Klorpirifos dalam Minyak Sawit (Elaeis

Guineensis Jacq) Menggunakan Kromatografi Gas dengan Detektor Penangkap Elektron” sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang tak terhingga dan

mendalam kepada Ayahanda tercinta H. Rapon dan Ibunda tersayang Hj. Hadijah

yang telah memberikan semangat, dukungan, kasih sayang dan cinta yang teramat

tulus, juga untuk mas Erianto (Arai Ponsel), kakanda Ernawati, S.Pd., kak ipar

Umy Rahmawati serta abang ipar Gatot Susantoro atas segala semangat, bantuan,

dan kasih sayang yang berlimpah yang telah diberikan, kepada keluarga besar

Alm. Giman dan keluarga besar Alm. Marmin atas semua doa, kasih sayang,

semangat, dan pengorbanan baik moril maupun materil. Yang tak terlupakan,

untuk dek Reny Seprianti, terima kasih atas semua pengorbanan, doa, dan kasih

saying tulus yang diberikan sangat membantu penulis mengarungi langkah

menuju sukses. Sebagai sumber inspirasi, si imut Nayla Yosa Anerga (Naya) yang

sangat dinanti perkembangannya menjadi sesosok insan yang berguna bagi nusa,

bangsa, dan agama. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita semua dalam

(5)

Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt. dan bapak Hasrul

Abdi Hasibuan, M. Si. selaku pembimbing yang telah memberikan waktu,

bimbingan dan nasehat selama penelitian hingga terselesaikannya penyusunan

skripsi ini.

2. Bapak Dekan dan Bapak/Ibu Pembantu Dekan, Bapak dan Ibu staf pengajar

Fakultas Farmasi USU yang telah mendidik penulis selama masa perkuliahan

dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt. selaku penasehat

akademik yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis.

3. Bapak Dr. M. Pandapotan Nasution. MPS., Apt., Dr. Ginda Haro, M.Sc., Apt.,

dan Drs. Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt. selaku dosen penguji yang

telah memberikan saran, arahan dan kritik kepada penulis dalam penyelesaian

skripsi ini.

4. Bapak dan Ibu staf Laboratorium Pengolahan Hasil dan Mutu (PAHAM)

PPKS Medan yang telah memberikan arahan dan fasilitas selama penulis

melakukan penelitian dan pengalaman berharga penulis sebagai laboran.

5. Bapak dan Ibu staf Laboratorium Kimia Farmasi Kualitatif, rekan-rekan

asisten Laboratorim Kimia Farmasi Kualitatif yang telah memberikan bantuan

ilmu dan didikan serta pengalaman yang sangat berarti bagi penulis sebagai

asisten laboratorium.

6. Sahabat-sahabat penulis anggota pengajian farmasi : Muammar Alfarouq

(Mammert), Aulia Sumantri (Oli), Hendra Agustian (Obeng), Azhar Aliza

(6)

Prasetya (Ribud), Gokman U. Sidabutar (Daboe), Roni M. Situmorang

(Baron), Niki Agustina (Nidol), Fathul Jannah (Oel), Bang Riyan, Bang

Antun, Bang Yakub, Bang riza, Bang Reva, Bang Bagus, Bang Surya,

rekan-rekan mahasiswa farmasi khususnya stambuk 2006 atas dukungan, semangat,

bantuan dan persahabatan yang indah selama ini serta seluruh pihak yang telah

memberikan kasih sayang, bantuan, motivasi dan inspirasi bagi penulis selama

masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini.

7. Rekan-rekan HMF periode 2009-2010 : Danny Parawita, Ayu Puspita,

Riwandy Yusuf Siregar, Ernal Salita, Nensi Kurnia Putri, Syafridah, Darwin,

Taufik, Jali, Febri, serta anggota HMF lainnya yang turut membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman penghuni setia 51: Hariyo Handoyo, Adnan, Budi, mas Putra

dan pak Rendra yang telah memberikan ketulusan dan keikhlasan atas

partisipasinya membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda dan pahala

yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak

guna perbaikan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, Agustus 2010

Penulis,

(7)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang residu klorpirifos yang digunakan sebagai bahan aktif pestisida yang terdapat dalam minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq). Penggunaan pestisida klorpirifos yang sangat luas di dunia pertanian dan perkebunan sehingga meninggalkan residu pada hasil pertanian dan perkebunan yang akan diproduksi. Bahaya adanya residu klorpirifos sangat fatal yaitu dapat mengakibatkan kematian.

Klorpirifos (suatu pestisida yang mengandung fosfor dan klorin) dapat ditentukan kadarnya dengan menggunakan kromatografi gas dilengkapi detektor penangkap elektron, kolom Rtx-1® pada suhu 300 0C, laju alir gas pembawa 1,61 ml/menit, suhu injektor dan detektor 325 0C. Suatu metode yang sederhana telah dilakukan untuk pembersihan analit dari pengotor yang terdapat dalam matriks berminyak (minyak sawit mentah dan minyak goreng). Metode ini meliputi elusi analit dengan kromatografi serapan menggunakan penyerap alumina dan pelarut petroleum eter. Metode ini mampu mengekstrak klorpirifos sehingga terbebas dari matriks minyak.

Validasi metode menunjukkan bahwa prosedur penelitian yang dilakukan memiliki akurasi dan presisi yang baik yakni dengan persen perolehan kembali pada rentang 85,67-108,80% dan koefisien variasi pada rentang 0,71-8,42%. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantitasi berturut-turut adalah 0,036 µg/ml dan 0,12 µg/ml. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron cocok untuk penentuan kadar klorpirifos dalam minyak sawit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa sampel yang diuji yaitu minyak sawit mentah dan minyak goreng tidak tercemar residu klorpirifos sehingga dapat meningkatkan sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit.

(8)

ANALYSIS STUDY OF CHLORPYRIFOS RESIDUE IN PALM OIL

(Elaeis guineensis Jacq) USING GAS CHROMATOGRAPHY WITH ELECTRON CAPTURE DETECTOR

ABSTRACT

A research has been done about the residue of chlorpyrifos, a substance which was used as active content in pesticide, in coconut palm oil (Elaeis

guineensis Jacq). The extensive usage of chlorpyrifos pesticide in the field of

farming and plantation leaves residue of chlorpyrifos in the farming and plantation product. The danger of chlorpyrifos residue presence is very fatal. It can lead to death.

Chlorpyrifos (a pesticide containing phosphorus and chlorine) was determined by using gas chromatography equipped with electron capture detector, Rtx-1 column at 300 oC temperature, flow rate of carrier gas 1.61 ml/minute, and injector and detector temperature of 325 oC. A simple method has been done to clean the analyte from the impurities in the oily matrix (crude palm oil and frying oil). The method involves elution of analyte with absorption chromatography using alumina as absorbant and petroleum ether as solvent. This method is capable of extracting chlorpyifos and freeing it from oil matrix.

The method validation showed that the research procedure conducted has good accuracy and precision with percent recovery at range 85.67-108.80% and variation coefficient at range 0.71-8.42%. While the limit of detection and limit of quantitation are 0.036 µg/ml and 0.12 µg/ml respectively. The result obtained showed that gas chromatography with electron capture detector is a suitable detector for the quantification of chlorpyrifos in crude palm oil.

From the result of the research, it was concluded that the tested sample, which were raw coconut palm oil and frying oil, are not contaminated with chlorpyrifos residue so that they can improve the food safety system in palm oil industries.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesa ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Kelapa Sawit ... 6

2.2 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit ... 7

2.3 Pestisida ... 7

2.3.1 Bahaya Pencemaran Pestisida ... 9

(10)

2.3.2.1 Klorpirifos ... 10

2.3.2.2 Cara Kerja Klorpirifos ... 11

2.3.3 Proses Analisis Residu Pestisida ... 11

2.4 Analisis Kualitatif/Kuantitatif ... 12

2.5 Kromatografi Gas ... 13

2.5.1 Detektor ECD (Electron Capture Detektor) ... 21

2.6 Kromatografi Kolom ... 22

2.6.1 Pengisian Kolom... 22

2.6.2 Penyerap ... 22

2.7 Validasi Data Analisis ... 23

2.7.1 Akurasi/Kecermatan ... 23

2.7.2 Presisi/Keseksamaan ... 24

2.7.3 Batas Deteksi ... 25

2.7.4 Batas Kuantitasi ... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 26

(11)

10 µg/ml ... 27

3.3.3.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi ... 32

(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 48

5.1 Kesimpulan ... 48

5.2 Saran ... .49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi dengan Metode Kromatografi

Gas ... 38

Tabel 2. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi ... 41

Tabel 3. Hasil Pengukuran Uji Perolehan Kembali ... 44

Tabel 4. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengujian Akurasi ... 45

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Diagram Blok Kromatografi Gas ... 15

Gambar 2. Bagan Injektor dalam Kromatografi Gas ... 18

Gambar 3. Jenis Kolom Kromatografi Gas ... 19

Gambar 4. Kromatogram yang Diperoleh dari Kondisi Kromatografi yang Optimum dari Standar Klorpirifos 0,01 µg/ml... 34

Gambar 5. Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 39

Gambar 6. Kromatogram Kurva Kalibrasi 1 µg/ml ... 39

Gambar 7. Kromatogram n-Heksan ... 40

Gambar 8. Kromatogram Petroleum Eter ... 42

Gambar 9. Kromatogram Blanko ... 43

Gambar 10. Kromatogram Uji Perolehan Kembali Klorpirifos 1 µg/ml ... 43

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Gambar Sampel dan Proses Clean-up Sampel ... 53

Lampiran 2. Gambar Instrumen Kromatografi Gas ... 54

Lampiran 3. Gambar Perangkat Pendukung Penelitian Lainnya ... 56

Lampiran 4. Gambar Bahan yang Dipakai dalam Penelitian... 57

Lampiran 5. Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 58

Lampiran 6. Contoh Perhitungan Simpangan Baku (SB) dan Koefisien Variasi (KV) Hasil Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 61

Lampiran 7. Data Perolehan Kembali dari Standar Klorpririfos ... 62

Lampiran 8. Contoh Perhitungan Uji Perolehan Kembali Standar Klorpirifos ... 64

Lampiran 9. Contoh Perhitungan Simpangan Baku Hasil Perolehan Kembali Standar Klorpirifos……... 65

Lampiran 10. Perhitungan Penetapan Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi... 66

Lampiran 11. Bagan Pembuatan Aktifasi Penyerap Alumina ... 67

Lampiran 12. Bagan Pembuatan Larutan Standar klorpirifos ... 68

Lampiran 13. Bagan Pengemasan Kolom Kromatografi untuk Proses Clean-up ... 69

Lampiran 14. Kromatogram Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos ... 70

(16)

STUDI ANALISIS RESIDU KLORPIRIFOS DALAM MINYAK SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI GAS

DENGAN DETEKTOR PENANGKAP ELEKTRON ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang residu klorpirifos yang digunakan sebagai bahan aktif pestisida yang terdapat dalam minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq). Penggunaan pestisida klorpirifos yang sangat luas di dunia pertanian dan perkebunan sehingga meninggalkan residu pada hasil pertanian dan perkebunan yang akan diproduksi. Bahaya adanya residu klorpirifos sangat fatal yaitu dapat mengakibatkan kematian.

Klorpirifos (suatu pestisida yang mengandung fosfor dan klorin) dapat ditentukan kadarnya dengan menggunakan kromatografi gas dilengkapi detektor penangkap elektron, kolom Rtx-1® pada suhu 300 0C, laju alir gas pembawa 1,61 ml/menit, suhu injektor dan detektor 325 0C. Suatu metode yang sederhana telah dilakukan untuk pembersihan analit dari pengotor yang terdapat dalam matriks berminyak (minyak sawit mentah dan minyak goreng). Metode ini meliputi elusi analit dengan kromatografi serapan menggunakan penyerap alumina dan pelarut petroleum eter. Metode ini mampu mengekstrak klorpirifos sehingga terbebas dari matriks minyak.

Validasi metode menunjukkan bahwa prosedur penelitian yang dilakukan memiliki akurasi dan presisi yang baik yakni dengan persen perolehan kembali pada rentang 85,67-108,80% dan koefisien variasi pada rentang 0,71-8,42%. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantitasi berturut-turut adalah 0,036 µg/ml dan 0,12 µg/ml. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa kromatografi gas dengan detektor penangkap elektron cocok untuk penentuan kadar klorpirifos dalam minyak sawit.

Dari hasil penelitian, disimpulkan bahwa sampel yang diuji yaitu minyak sawit mentah dan minyak goreng tidak tercemar residu klorpirifos sehingga dapat meningkatkan sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit.

(17)

ANALYSIS STUDY OF CHLORPYRIFOS RESIDUE IN PALM OIL

(Elaeis guineensis Jacq) USING GAS CHROMATOGRAPHY WITH ELECTRON CAPTURE DETECTOR

ABSTRACT

A research has been done about the residue of chlorpyrifos, a substance which was used as active content in pesticide, in coconut palm oil (Elaeis

guineensis Jacq). The extensive usage of chlorpyrifos pesticide in the field of

farming and plantation leaves residue of chlorpyrifos in the farming and plantation product. The danger of chlorpyrifos residue presence is very fatal. It can lead to death.

Chlorpyrifos (a pesticide containing phosphorus and chlorine) was determined by using gas chromatography equipped with electron capture detector, Rtx-1 column at 300 oC temperature, flow rate of carrier gas 1.61 ml/minute, and injector and detector temperature of 325 oC. A simple method has been done to clean the analyte from the impurities in the oily matrix (crude palm oil and frying oil). The method involves elution of analyte with absorption chromatography using alumina as absorbant and petroleum ether as solvent. This method is capable of extracting chlorpyifos and freeing it from oil matrix.

The method validation showed that the research procedure conducted has good accuracy and precision with percent recovery at range 85.67-108.80% and variation coefficient at range 0.71-8.42%. While the limit of detection and limit of quantitation are 0.036 µg/ml and 0.12 µg/ml respectively. The result obtained showed that gas chromatography with electron capture detector is a suitable detector for the quantification of chlorpyrifos in crude palm oil.

From the result of the research, it was concluded that the tested sample, which were raw coconut palm oil and frying oil, are not contaminated with chlorpyrifos residue so that they can improve the food safety system in palm oil industries.

(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepedulian terhadap sistem keamanan pangan dalam industri kelapa sawit

di masa mendatang sangat diperlukan mengingat sebagian besar minyak sawit

mentah (Crude Palm Oil, CPO) Indonesia digunakan sebagai bahan pangan,

selanjutnya CPO Indonesia juga diekspor ke luar negeri dengan total sekitar 12

juta ton. Data minyak dunia (Oilworld) menyebutkan, Indonesia berkontribusi 43

persen terhadap produksi CPO dunia (Hamzirwan, 2007; MPOB, 2007; Siahaan,

2008).

Penggunaan pestisida dalam menopang peningkatan produk pertanian

maupun perkebunan seperti kelapa sawit telah banyak membantu untuk

meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan. Namun demikian penggunaan

pestisida ini dapat meninggalkan residu juga memberikan dampak negatif baik

terhadap manusia, biota maupun lingkungan (Andresima, 2008; Manuaba, 2009).

Pestisida yang digunakan pada perkebunan kelapa sawit terutama adalah

insektisida golongan organofosfat karena jenis pestisida ini mudah terurai di alam.

Karena insektisida relatif murah, penggunaannya cenderung berhasil, misalnya

klorpirifos yang digunakan untuk memberantas serangga pemakan (Handojo,

2009).

Insektisida dapat mempunyai efek samping terhadap lingkungan dan

kesehatan manusia, dan residunya merupakan masalah dalam kualitas dan

(19)

buah yang tidak terurai, kemudian akan diabsorbsi melalui kulit buah, juga masuk

melalui akar pada saat terjadi penyerapan mineral dari dalam tanah (Halimah,

2008; Handojo, 2009).

Klorpirifos bekerja dengan menghambat enzim kolin esterase pada sinaps

saraf sehingga aktivitas saraf tidak terkendali. Hal ini dapat mengakibatkan

kematian pada manusia dan hewan serta biota lainnya. Untuk mencegah terjadinya

gangguan kesehatan tersebut, kadar residu klorpirifos tidak boleh melebihi batas

yang diizinkan, yaitu data acceptable daily intake (ADI). ADI merupakan jumlah

maksimum pestisida yang boleh termakan perhari, untuk klorpirifos sebesar 0,01

mg/kg bb (Djojosumarto, 2008). Dengan adanya gannguan kesehatan yang

ditimbulkan oleh residu pestisida sehingga dibutuhkan metode analisis yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk penentuan kadar pestisida pada minyak sawit demi

keamanan pangan dan menjaga kualitas CPO Indonesia (Halimah, 2008).

Penentuan zat yang bersifat toksik seperti residu pestisida dalam kadar

yang sangat rendah, misalnya dalam skala µg atau ng dapat dideteksi dengan teknik kromatografi (Adnan, 1997).

Richard (2006) melakukan penelitian tentang metode penentuan

klorpirifos pada minyak biji bunga matahari dengan metode High Performance

Liquid Chromatography (HPLC). Ainie (2000) menetapkan metode isolasi

pestisida organofosfat dari matriks berminyak dengan kromatografi permeasi gel

dimana analisisnya menggunakan kromatografi gas dengan detektor fotometri

nyala/flame photometric detector (FPD). Syahbirin (2001) melakukan penetapan

(20)

ionisasi nyala/Flame Ionization detector (FID) dimana prosedur pembersihan

menggunakan kromatografi kolom dengan penyerap florisil.

Muhamad (2002) mengoptimalkan prosedur ekstraksi dan pemurnian

klorpirifos dalam matriks berminyak dengan analisis metode menggunakan

kromatografi gas memakai detektor penangkap elektron/electron capture detector

(ECD). Suatu metode telah dilaporkan untuk penentuan kadar klorpirifos pada

minyak dan mentega dengan menggunakan suatu kolom tanah diatom dan

cartridge ekstraksi fase gerak/solid phase extraction (SPE) untuk memisahkan

senyawa yang diinginkan dari minyak (Gillespie, 1994).

Penentuan kadar klorpirifos pada olein kelapa sawit telah dilakukan oleh

Halimah (1999) menggunakan metode kromatografi gas dengan membandingkan

nilai validasi dari 2 detektor, yaitu detektor fotometri nyala dan detektor

penangkap elektron. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa detektor penangkap

elektron lebih tepat untuk pendeteksian klorpirifos jika dibanding dengan detektor

fotometri nyala.

Dengan adanya masalah yang ditimbulkan dari residu klorpirifos terhadap

kesehatan manusia dan lingkungan serta mempengaruhi kualitas produksi dari

minyak sawit, maka peneliti tertarik untuk memperoleh data mengenai metode

analisis residu klorpirifos yang terdapat dalam minyak sawit yang penetapannya

diukur secara kromatografi gas dilengkapi dengan detektor penangkap elektron,

dimana proses clean-up dilakukan dengan elusi memakai kromatografi serapan

dengan penyerap alumina menggunakan pelarut petroleum ether. Metode ini

terpilih karena dinilai lebih sederhana dan memungkinkan analisis pestisida

(21)

1.2 Perumusan Masalah

Apakah residu klorpirifos dalam minyak sawit (Elaeis guineensis Jacq) dapat ditentukan dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap

elektron

• Apakah penggunaan metode kromatografi kolom dengan penyerap alumina mampu memurnikan residu pestisida dari minyak sawit

• Apakah minyak sawit tercemar residu klorprifos

1.3 Hipotesis

• Analisis residu klorpirifos dalam minyak sawit dapat ditentukan dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron

• Metode kromatografi kolom dengan penyerap alumina dapat digunakan dalam

clean-up residu klorpirifos dari minyak sawit

• Minyak sawit tidak tercemar residu klorpirifos

1.4 Tujuan Penelitian

Mengembangkan teknik analisis residu klorpirifos dalam minyak sawit

dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap elektron

Melakukan metode clean-up menggunakan kromatografi serapan dengan

penyerap alumina memakai pelarut petroleum eter untuk memurnikan residu

klorpirifos dari minyak sawit

Menganalisis minyak sawit baik minyak sawit mentah dan minyak goreng

brand dengan metode kromatografi gas menggunakan detektor penangkap

(22)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat pengguna khususnya industri pengolahan kelapa sawit tentang cara analisis residu

klorpirifos dalam minyak sawit sehingga dapat mendukung sistem keamanan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Klasifikasi kelapa sawit adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Keluarga : Palmaceae

Sub keluarga : Cocoideae

Genus : Elaeis

Spesies : Elaeis guineensis Jacq

Pohon Kelapa Sawit terdiri daripada dua spesies Arecaceae atau famili

Palma yang digunakan untuk pertanian komersil dalam pengeluaran minyak

kelapa sawit. Pohon kelapa sawit afrika, Elaeis guineensis Jacq, berasal dari

Afrika Barat di antara Angola dan Gambia, manakala pohon kelapa sawit amerika,

Elaeis oleifera, berasal dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Kelapa sawit

termasuk tumbuhan pohon. Tingginya dapat mencapai 24 meter. Bunga dan

buahnya berupa tandan, serta bercabang banyak. Buahnya kecil dan apabila

masak, berwarna merah kehitaman. Daging buahnya padat. Daging dan kulit

buahnya mengandungi minyak. Minyaknya itu digunakan sebagai bahan minyak

goreng, sabun, dan lilin. Hampasnya dimanfaatkan untuk makanan ternak,

khususnya sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya

(24)

2.2 Standar Mutu Minyak Kelapa Sawit

Mutu minyak kelapa sawit dapat dibedakan menjadi dua arti, pertama,

benarbenar murni dan tidak bercampur dengan minyak nabati lain. Mutu minyak

kelapa sawit tersebut dapat ditentukan dengan menilai sifatsifat fisiknya, yaitu

dengan mengukur titik lebur angka penyabunan dan bilangan yodium. Kedua,

pengertian mutu sawit berdasarkan ukuran. Dalam hal ini syarat mutu diukur

berdasarkan spesifikasi standar mutu internasional yang meliputi kadar ALB, air,

kotoran, logam besi, logam tembaga, peroksida, residu pestisida dan ukuran

pemucatan (Anonim a, 2007).

Kebutuhan mutu minyak kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan baku

industri pangan dan nonpangan masingmasing berbeda. Oleh karena itu keaslian,

kemurnian, kesegaran, cemaran maupun aspek higienisnya harus lebih

diperhatikan. Rendahnya mutu minyak kelapa sawit sangat ditentukan oleh

banyak faktor. Faktorfaktor tersebut dapat langsung dari sifat induk pohonnya,

penanganan pascapanen, atau kesalahan selama pemrosesan dan pengangkutan

(Anonim a, 2007).

2.3 Pestisida

Telah disadari bahwa pada umumnya pestisida merupakan bahan

berbahaya yang dapat menimbulkan pengaruh negatif terhadap kesehatan manusia

dan kelestarian lingkungan hidup. Namun demikian, pestisida juga dapat

memberikan manfaat, sehingga pestisida banyak digunakan dalam pembangunan

di berbagai sektor, termasuk pertanian. Memperhatikan manfaat dan dampak

(25)

diperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dengan dampak negatif yang

sekecil-kecilnya (Anonim b, 2010).

Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO 1986) mendefinisikan pestisida

adalah setiap zat atau campuran yang diharapkan sebagai pencegahan,

menghancurkan atau pengawasan setiap hama termasuk vector terhadap manusia

atau penyakit pada binatang, dan tanaman yang tidak disukai atau binatang yang

menyebabkan kerusakan selama atau dalam proses pencampuran dengan produksi,

penyimpanan atau pemasaran makanan, komiditi pertanian, kayu dan produksi

kayu, atau bahan makanan binatang, atau yang dapat dilakukan pada binatang

sebagai kontrol terhadap serangga, arachnoid, atau hama lain di dalam atau pada

tubuh binatang tersebut (Sari, 2002).

Pestisida secara luas diartikan sebagai suatu zat yang bersifat racun,

menghambat pertumbuhan atau perkembangan, tingkah laku, bertelur,

perkembangbiakan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat

mandul, sebagai pemikat, penolak dan aktivitas lainnya yang mempengaruhi

kesehatan. Pestisida sintetis telah berhasil menghantarkan sektor pertanian menuju

terjadinya “revolusi hijau”, yang ditandai dengan peningkatan hasil panen dan

pendapatan petani secara signifikan, sehingga Indonesia bisa mencapai

swasembada pangan pada tahun 1986 (Setyono, 2009).

Sebagai produk perlindungan tanaman, pestisida pertanan meliputi semua

zat kimia, campuran zat kimia, atau abhan lain (ekstrak tumbuhan,

(26)

• Mengendalikan atau membunuh organisme pengganggu tanaman (OPT). sebagai contoh insektisida, akarisida, fungisida, nematisida, moluskisida, dan

herbisida.

• Mengatur pertumbuhan tanaman, dalam arti merangsang atau menghambat pertumbuhan dan mengeringkan tanaman. Sebagai contoh obat pengatur

tumbuh, defoliant (senyawa kimia untuk merontokkan daun), dan dessicant

(senyawa untuk mengeringkan daun) (Djojosumarto, 2006).

2.3.1 Bahaya Pencemaran Pestisida

Penggunaan pestisida pertanian berpotensi menimbulkan dampak negatif

bagi pengguna, konsumen, lingkungan, serta dampak sosial ekonomi. Oleh karena

itu, penggunaan pestisida harus digunakan hati-hati. Penggunan pestisida bisa

mengontaminasi pengguna secara langsung sehingga mengakibatkan keracunan.

Keracunan tersebut dapat bersifat akut ringan, akut berat, dan kronis. Keracunan

akut ringan menimbulkan pusing, sakit kepala, iritasi kulit ringan, badan terasa

sakit, dan diare. Keracunan akut bert menimbulkan gejala mual, menggigil, kejang

perut, sulit bernafas, keluar air liur, pupil mata mengecil, dan denyut nadi

meningkat. Dapat juga mengakibatkan pingsan, kejang-kejang, bahkan

mengakibatkan kematian. Keracunan kronis lebih sulit dideteksi karena tidak

segera terasa dan tidak menimbulkan gejala serta tanda yang spesifik. Namun,

keracunan kronis dalam jangka waktu yang lama bisa menimbulkan gangguan

kesehatan seperti iritasi mata dan kulit, kanker, keguguran, cacat pada bayi, serta

(27)

Residu beberapa pestisida tetap tinggal dalam tanah dalam waktu yang

lama (persistent) dan dapat terbawa atau berpindah ke tempat lain

bahkan masuk kedalam rantai makanan.

Contoh: DDT, Endrin, Lindane, Endosulfan, klorpirifos

Pestisida tidak hanya membunuh serangga hama perusak, tetapi juga akan

membunuh serangga lain yang menguntungkan manusia (musuh alami hama).

Residu pestisida yang masih tertinggal di dalam buah, daun atau batang, bila tidak

hilang tercuci dapat ikut masuk termakan oleh manusia dan berbahaya bagi

kesehatan tubuh kita (Setyono, 2009).

2.3.2 Residu Pestisida

Pengertian residu adalah sisa insektisida yang ditinggalkan sesudah

perlakuan dalam jangka waktu yang telah menyebabkan terjadinya

peristiwa-peristiwa khemis dan fisis mulai bekerja. Ini untuk membedakan pengertian residu

dengan deposit. Deposit adalah bahan insektisida yang ditinggalkan segera

sesudah perlakuan. Karena residu mempunyai pengertian bahan sisa yang telah

dtinggal cukup lama, maka bahan residu sudah tak efektif lagi sebagai racun

langsung, namun masih berbahaya karena dapat terakumulasi. Oleh karena itu

diperlukan suatu cara untuk mendeteksi atau menganalisisnya, menggunakan

metode-metode tertentu yang umumnya telah dibakukan (Martono, 2009).

(28)

Struktur Molekul : C9H11Cl3NO3PS

Nama Kimia : O,O-diethyl O-3,5,6-trichloro-2-pyridyl phosphorothioate

Nama Dagang : Dursban

Densitas : 1,398 g/cm3 (43,5 0C)

Titik Uap : 160 oC

Berat Massa : 350,59 g/mol (WHO, 2004)

Klorpirifos merupakan insektisida selektif, diperkenalka tahun 1965, serta

bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. Mengendalikan

serangga hama dari ordo Coleoptera, Diptera, Homoptera, dan Lepidoptera baik di

daun maupun di dalam tanah (Djojosumarto, 2006).

2.3.2.2 Cara kerja klorpirifos

Klorpirifos bekerja sebagai penghambat asetil kolin esterase (acetyl cholin

esterase inhibitor), bekerja dengan menghambat enzim kolin esterase pada sinaps

saraf sehingga aktivitas saraf tidak terkendali (Djojosumarto, 2006).

2.3.3 Proses Analisis Residu Pestisida

Ekstraksi atau pemisahan residu pestisida dari bahan utama yang dianalisis

(bagian tumbuhan, tanah, air dll.) dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam

suatu pelarut atau campuran pelarut. Pelarut harus mampu mengekstraksi residu

dalam jumlah maksimum dengan bahan-bahan sertaan yang minimal, supaya tidak

mengganggu hasil dan proses analisis. Komponen utama yang sering mengganggu

adalah lemak, pigmen dan gula. Pelarut yang sering dipergunakan: asetonitril,

dimetilsulfoksida, aseton, air (untuk pestisida polar); petroleum eter, dietil eter,

(29)

Pemurnian ekstrak dilakukan untuk menyingkirkan bahan-bahan

sisa/pengganggu seperti misalnya lemak, lilin, dan pigmen. Residu kemudian

dapat juga difraksinasi. Hasil fraksinasi kemudian dianalisis dengan

metode-metode kromatografi.. Metode-metode-metode kromatografi dilakukan dengan

memperhatikan mekanismenya (adsorpsi, pertukaran ion) atau kedudukan alatnya

(vertikal/kolom, horisontal atau datar) (Martono, 2009).

2.4 Analisis Kualitatif/Kuantitatif

Analisis dengan metode kromatografi antara lain :

Kromatografi Cairan-Gas (KCG) atau Gas Liquid Chromatography (GLC) Merupakan metode yang paling umum dipakai, proses pemisahannya

berdasar pada partisi senyawa yang diuapkan melalui suatu fase stasioner

(cairan non-volatil pada suatu bahan padat pendukung) dengan fase gerak

berupa gas inert/gas mulia. Fase diam terdapat di dalam kolom dengan

diameter 2 - 4 mm, panjang 1000 - 2000 mm (baja tahan karat, gelas atau

teflon), terdapat juga kolom kapiler (dapat mencapai panjang 5-60 m). Bahan

penyangga fase diam harus memiliki sifat adsorpsi minimum, luas permukaan

besar, stabilitas yang baik (tanah diatom, teflon). Dalam menentukan fase cair

harus diperhatikan polaritas senyawa yang dipisahkan. Setelah komponen

yang dipisahkan melewati kolom, dilakukan deteksi dengan detektor. Respon

detektor dicatat dalam bentuk kromatogram, kemudian dapat dihitung secara

kuantitatif. Perhitungan kualitatif dilakukan dengan membandingkan puncak

(30)

Kromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid Chromatography, HPLC)

Metode pemisahannya didasarkan pada perbedaan keseimbangan distribusi

komponen sampel antara dua fase: diam (kolom) dan gerak (sistem pelarut

yang mengalir).

• Spektrofotometri

Antara lain absorpsi cahaya UV dan tampak. Sesuai dengan hukum

Lambert-Beer :

A = log Io/I = (.c)/d

A adalah absorbansi, Io dan I adalah intensitas cahaya sebelum dan sesudah

melalui sampel, adalah koefisien ekstinsi, c konsentrasi dan d adalah jarak

tempuh cahaya dalam substansi sampel. Absorbansi merupakan fungsi

konsentrasi dari senyawa yang dianalisis (Martono, 2009).

2.5 Kromatografi gas

Dasar pemisahan secara kromatografi gas ialah penyebaran cuplikan

diantara dua fase, yaitu fase diam yang permukaannya luas dan fase lain berupa

gas yang melewati fase diam. Kromatografi gas ialah suatu cara untuk

memisahkan senyawa atsiri dengan mengalirkan arus gas melalui fase diam

berupa zat padat (Kromatografi gas padat). Jika fase diam berupa zat cair, cara

tadi disebut Kromatografi gas cair. Fase cair diselaputkan berupa lapisan tipis

pada zat padat yang lembam dan pemisahan didasarkan pada partisi cuplikan yang

(31)

Kromatografi gas cairan mekanisme pemisahan dengan partisi, teknik

kolom dan nama alat GLC dan kromatografi gas padat dengan mekanisme

pemisahan absorbsi, teknik kolom dan nama alat GSC. Namun GSC jarang

digunakan sehingga pada umumnya yang disebut dengan GC saat ini adalah GLC

(Madbardo, 2010).

Pada prinsipnya pemisahan dalam GC adalah disebabkan oleh perbedaan

dalam kemampuan distribusi analit diantara fase gerak dan fase diam di dalam

kolom pada kecepatan dan waktu yang berbeda (Madbardo, 2010).

Dalam kromatografi gas, fase gerak berupa gas lembam seperti helium,

nitrogen, argon, atau bahkan hydrogen yang digerakkan dengan tekanan melalui

pipa yang berisi fase diam. Untuk pemisahan secara kromatografi, fase diam cair

berada sebagai lapisan tipis yang diserap atau diikat secara kimia oleh

penyangga padat yang dikemas di dalam pipa logam, kaca, atau plastic yang

berdiameter kecil (2-8 mm) dan panjangnya sedang (1-10 m). Ini disebut kolom

kemas. Dalam sistem lain disebut kolom kapiler atau pipa terbuka fase diam

berupa film tipis (0,1-2 um) yang melekat pada dinding dalam pipa logam

kapiler atau pipa kaca kapiler berdiameter sangat kecil (0,2-1 mm) dan sangat

panjang (10-100 m) (Gritter, 1991).

Alat GLC atau GC terdiri atas 7 bagian, yaitu:

1. Silinder tempat gas pembawa/pengangkut

2. Pengatur aliran dan pengatur tekanan

3. Tempat injeksi cuplikan

4. Kolom

(32)

6. Pencatat

7. Terminal untuk 3, 4 dan 5

Gambar 1. Diagram Blok Kromatografi Gas

Bagian-bagian dari kromatografi gas :

1. Gas pengangkut/pemasok gas

Gas pengangkut (carrier gas) ditempatkan dalam silinder bertekanan

tinggi. Biasanya tekanan dari silinder sebesar 150 atm. Tetapi tekanan ini

sangat besar untuk digunakan secara Iangsung (Madbardo, 2010).

Gas pengangkut harus memenuhi persyaratan :

• Harus inert, tidak bereaksi dengan cuplikan, cuplikan-pelarut, dan material dalam kolom.

• Murni dan mudah diperoleh, serta murah.

• Sesuai/cocok untuk detektor.

• Harus mengurangi difusi gas (Madbardo, 2010)..

Gas-gas yang sering dipakai adalah : helium, argon, nitrogen, karbon

dioksida dan hidrogen. Gas helium dan argon sangat baik, tidak mudah

(33)

berhati-hati dalam pemakaiannya. Kadang-kadang digunakan juga CO2 (Madbardo,

2010).

Pemilihan gas pengangkut atau pembawa ditentukan oleh detektor yang

digunakan. Tabung gas pembawa dilengkapi dengan pengatur tekanan

keluaran dan pengukur tekanan. Sebelum masuk ke kromatografi, ada

pengukur kecepatan aliran gas serta sistem penapis molekuler untuk

memisahkan air dan pengotor gas lainnya. Pada dasarnya kecepatan alir gas

diatur melalui pengatur tekanan dua tingkat yaitu pengatur kasar (coarse)

pada tabung gas dan pengatur halus (fine) pada sistem kromatograf. Tekanan

gas masuk ke kromatograf (yaitu tekanan dari tabung gas) diatur pada 10 s.d

50 psi (di atas tekanan ruangan) untuk memungkinkan aliran gas 25 s.d 150

mL/menit pada kolom terpaket dan 1 s.d 25 mL/menit untuk kolom kapiler

(Madbardo, 2010).

2. Pengatur aliran dan pengatur tekanan

Ini disebut pengatur atau pengurang Drager. Drager bekerja baik pada

2,5 atm, dan mengalirkan massa aliran dengan tetap. Tekanan lebih pada

tempat masuk dari kolom diperlukan untuk mengalirkan cuplikan masuk ke

dalam kolom. Ini disebabkan, kenyataan lubang akhir dari kolom biasanya

mempunyai tekanan atmosfir biasa. Suhu kolom adalah tetap, yang diatur

oleh termostat, maka aliran gas tetap yang masuk kolom akan tetap juga.

Demikian juga komponen-komponen akan dielusikan pada waktu yang tetap

yang disebut waktu penahanan (the retention time), tR. Karena kecepatan gas

(34)

pengangkut sama dengan volume penahanan (the retention volume), vr.

Kecepatan gas akan mempengaruhi effisiensi kolom (Madbardo, 2010).

3. Tempat injeksi (The injection port)

Dalam pemisahan dengan GLC cuplikan harus dalam bentuk fase uap.

Gas dan uap dapat dimasukkan secara langsung. Tetapi kebanyakan senyawa

organik berbentuk cairan dan padatan. Hingga dengan demikian senyawa

yang berbentuk cairan dan padatan pertama-tama harus diuapkan. Ini

mem-butuhkan pemanasan sebelum masuk dalam kolom (Madbardo, 2010).

Tempat injeksi dari alat GLC selalu dipanaskan. Dalam kebanyakan alat,

suhu dari tempat injeksi dapat diatur. Aturan pertama untuk pengaturan suhu

ini adalah suhu tempat injeksi sekitar 50°C lebih tinggi dari titik didih

campuran dari cuplikan yang mempunyai titik didih yang paling tinggi. Bila

kita tidak mengetahui titik didih komponen dari cuplikan maka kita harus

mencoba-coba. Sebagai tindak lanjut suhu dari tempat injeksi dinaikkan. Jika

puncak-puncak yang diperoleh lebih baik, ini berarti bahwa suhu percobaan

pertama terlalu rendah. Namun demikian suhu tempat injeksi tidak boleh

terlalu tinggi, sebab kemungkinan akan terjadi perubahan karena panas atau

penguraian dari senyawa yang akan dianalisis (Madbardo, 2010).

Cuplikan dimasukkan ke dalam kolom dengan cara menginjeksikan

melalui tempat injeksi. Hal ini dapat dilakukan dengan pertolongan jarum

injeksi yang sering disebut "a gas tight syringe" (Madbardo, 2010).

Perlu diperhatikan bahwa kita tidak boleh menginjeksikan cuplikan

(35)

diinjeksikan pada waktu kita mengadakan analisa 0,5 -50 ml gas dan 0,2 -

20 ml untuk cairan seperti pada gambar di bawah (Madbardo, 2010).

Gambar 2. Bagan Injektor dalam Kromatografi Gas 4. Kolom

Kolom merupakan jantung dari kromatografi gas. Bentuk dari kolom

dapat lurus, bengkok, misal berbentuk V atau W, dan kumparan/spiral.

Biasanya bentuk dari kolom adalah kumparan. Kolom selalu merupakan

bentuk tabung. Tabung ini dapat terbuat dari :

• Tembaga (murah dan mudah diperoleh)

• Plastik (teflon), dipakai pada suhu yang tidak terlalu tinggi.

• Baja (stainless steel), (mahal)

• Alumunium

• Gelas (Madbardo, 2010).

Ada 2 jenis kolom pada kromatografi gas yaitu kolom kemasdan kolom

(36)

penyangga yang lembam (inert) yang terdapat dalam tabung yang relatif

besar (diameter dalam 1-3 mm). Kolom kapiler jauh lebih kecil (diameter

dalam 0,10-,53 mm) dan dinding kapiler bertindak sebagai penyangga

lembamu untuk fase diam cair. Fase diam ini dilapiskan pada dinding kolom

atau bahkan dapat bercampur dengan sedikit penyangga lembam yang sangat

halus untuk memperbesar luas permukaan efektif. Tabung terbuat dari Silika

(SiO3) dengan kemurnian yang sangat tinggi. Panjang kolom 5-60 m dengan

tebal lapisan film 0,05-1 mikron (Rohman, 2007).

Gambar 3. Jenis Kolom Kromatografi Gas

5. Detektor

Detektor berfungsi sebagai pendeteksi komponen-komponen yang telah

dipisahkan dari kolom secara terus-menerus, cepat, akurat, dan dapat

digunakan pada suhu yang lebih tinggi. Detektor harus dapat dipercaya dan

mudah digunakan. Fungsi umumnya mengubah sifat-sifat molekul dari

senyawa organik menjadi arus listrik kemudian arus listrik tersebut diteruskan

ke rekorder untuk menghasilkan kromatogram. Detektor yang umum

(37)

Detektor hantaran panas (Thermal Conductivity Detector)

Detektor ionisasi nyala (Flame Ionization Detector)

Detektor penangkap elektron (Electron Capture Detector)

Detektor fotometrik nyala (Falame Photomertic Detector)

• Detektor nyala alkali

• Detektor spektroskopi massa

Detektor yang peka terhadap senyawa organik yang mengandung fosfor

adalah FID, ECD, dan FPD (Madbardo, 2010).

6. Oven kolom

Kolom terletak didalam sebuah oven dalam instrumen. Suhu oven harus

diatur dan sedikit dibawah titik didih sampel. Jika suhu diset terlalu tinggi,

cairan fase diam bisa teruapkan, juga sedikit sampel akan larut pada suhu

tinggi dan bisa mengalir terlalu cepat dalam kolom sehingga menjadi terpisah

(Madbardo, 2010).

7. Rekorder

Rekorder berfungsi sebagai pengubah sinyal dari detektor yang diperkuat

melalui elektrometer menjadi bentuk kromatogram. Dari kromatogram yang

diperoleh dapat dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif

dengan cara membandingkan waktu retensi sampel dengan standar. Analisis

kuantitatif dengan menghitung luas area maupun tinggi dari kromatogram.

Sinyal analitik yang dihasilkan detektor dikuatkan oleh rangkaian

elektronik agar bisa diolah oleh rekorder atau sistem data. Sebuah

rekorder bekerja dengan menggerakkan kertas dengan kecepatan tertentu. Di

(38)

detektor sehingga posisinya akan berubah-ubah sesuai dengan dinamika

keluaran penguat sinyal detektor. Hasil rekorder adalah sebuah

kromatogram berbentuk pik-pik dengan pola yang sesuai dengan kondisi

sampel dan jenis detektor yang digunakan. Rekorder biasanya dihubungkan

dengan sebuah elektrometer yang dihubungkan dengan sirkuit pengintregrasi

yang bekerja dengan menghitung jumlah muatan atau jumlah energi listrik

yang dihasilkan oleh detektor. Elektrometer akan melengkapi puncak-puncak

kromatogram dengan data luas puncak atau tinggi puncak lengkap dengan

biasnya (Madbardo, 2010).

Sistem data merupakan pengembangan lebih lanjut dari rekorder dan

elektrometer dengan melanjutkan sinyal dari rekorder dan elektrometer ke

sebuah unit pengolah pusat (CPU, Central Processing Unit) (Madbardo, 2010).

2.5.1 Detektor ECD (Electron Capture Detector)

Detektor ECD merupakan modifikasi dari FID yaitu pada bagian tabung

ionisasi. Dasar dari ECD ialah terjadinya absorbsi e- oleh senyawa yang

mempunyai afinitas terhadap e- bebas (senyawa-senyawa elektronegatif). Dalam

detektor gas terionisasi oleh partikel yang dihasilkan dari 3H atau 63Ni. Detektor

ini mengukur kehilangan sinyal ketika analit terelusi dari kolom kromatografi.

Detektor ini peka terhadap senyawa halogen, karbonil terkoyugasi, nitril, nitro,

dan organo logam, namun tidak peka terhadap hidrokarbon, keton, dan alkohol

(39)

2.6 Kromatografi Kolom

Kolom kromatografi dapat berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran

dan gelas penyaring di dalamnya. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya zat

yang akan dipisahkan. Untuk menahan penyerap yang diletakkan di dalam kolom

dapat digunakan gelas wool atau kapas (Sastrohamidjojo, 1985).

2.6.1 Pengisian kolom

Pengisian kolom harus menggunakan teknik yang tepat dan berhati-hati.

Pengisian yang tidak teratur dari penyerap akan mengakibatkan merusak

batas-batas pita kromatografi karena terdapat gelembung udara selama pengisian. Untuk

mencegah hal tersebut zat penyerap dibuat menjadi bubur dengan pelarut

kemudian dituangkan perlahan-lahan dalam kolom. Jika penyerap dibiarkan turun

perlahan-lahan dapat ditolong dengan mengguncang perlahan-lahan sisi kolom

maka akan diperoleh pengisian yang homogen (Sastrohamidjojo, 1985).

2.6.2 Penyerap

Ukuran partikel dan tingkat keaktifan dari penyerap berperan penting

dalam pengembangan sistem kromatografi. Alumina (Al2O3) adalah salah satu

penyerap yang banyak dipakai dalam beberapa bentuk modifikasi. Alumina

mempunyai titik aktif Al+, Al-OH, Al-, Al-OH+, dan bergantung pada

pembuatannya (Gritter, 1991).

Suatu pengertian yang digunakan dalam hubungannya dengan

penyerap-penyerap ialah aktifasi. Kadang-kadang dihubungkan dengan luas permukaan

spesifik dari zat padat, yaitu luas pemukaan yang diukur dalam meter persegi tiap

gram. Alumina dapat dibuat menjadi aktif dalam luas permukaan beratus-ratus

(40)

sebelum dipakai. Hal ini dapat dikerjakan dengan pemanasan, mungkin dengan

pengurangan tekanan. Untuk kebanyakan zat-zat padat, dengan tidak ada

keterangan lebih lanjut aktifasi dapat dilakukan dengan pemanasan pada suhu 200

o

C selama 2 jam (Sastrohamidjojo, 1985).

2.7 Validasi Data Analisis

Validasi adalah suatu tindakan penilaian terhadap parameter tertentu pada

prosedur penetapan yang dipakai untuk membuktikan bahwa parameter tersebut

memenuhi persyaratan untuk penggunaannya (WHO, 1992).

Validasi metode analisis bertujuan untuk memastikan dan mengkonfirmasi

bahwa metode telah sesuai dengan penggunaannya. Validasi biasanya

diperuntukkan untuk metode analisis yang baru dibuat dan dikembangkan

(Riyadi, 2009). Validasi merupakan persyaratan mendasar yang diperlukan untuk

menjamin kualitas dan reabilitas hasil dari semua aplikasi analitik (Ermer, 2005)

Validasi metode untuk prosedur analitik dimulai dengan pengumpulan

data validasi oleh pelaksana guna mendukung prosedur analitiknya (Bliesner,

2006). Data validasi mencakup pemaparan karakteristik metode yang dipakai,

faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik tersebut dan membuktikan bahwa

metode yang digunakan sesuai dengan tujuan yang dikehendaki (MacNeil, 2000).

2.7.1 Akurasi/kecermatan

Persen perolehan kembali digunakan untuk menyatakan kecermatan.

Kecermatan merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil

analisis dengan kadar analit sebenarnya. Kecermatan dapat ditentukan dengan dua

(41)

baku (standard addition method). Dalam metode simulasi, sejumlah analit bahan

murni pembanding kimia ditambahkan ke dalam campuran bahan pembawa

(plasebo) lalu campuran tersebut dianalisis dan hasilnya dibandingkan dengan

kadar analit yang ditambahkan. Metode adisi dapat dilakukan dengan

menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang

diperiksa lalu dianalisis lagi dengan metode tersebut (WHO, 1992).

% Perolehan kembali = A F

C C

x 100%

Keterangan : CF = konsentrasi analit yang diperoleh setelah penambahan

larutan baku

CA = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan (Harmita, 2004)

2.7.2 Presisi/keseksamaan

Presisi/keseksamaan biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku relatif

dari jumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik (Rohman, 2007).

Berdasarkan rekomendasi ICH (the International Conference on the

Harmonisation), karakteristik presisi dilakukan pada 3 tingkatan, yakni

keterulangan (repeatability), presisi antara (intermediate precision) dan

reprodusibilitas (reproducibility). Keterulangan dilakukan dengan cara

menganalisis sampel yang sama oleh analis yang sama menggunakan instrumen

yang sama dalam periode waktu singkat. Presisi antara dikerjakan oleh analis

yang berbeda. Sedangkan reprodusibilitas dikerjakan oleh analis yang berbeda dan

(42)

2.7.3 Batas Deteksi

Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat

dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan

blangko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas (Harmita, 2004).

Penentuan batas deteksi suatu metode berbeda-beda tergantung pada

metode analisis itu menggunakan instrumen atau tidak. Pada analisis yang tidak

menggunakan instrumen batas tersebut ditentukan dengan mendeteksi analit

dalam sampel pada pengenceran bertingkat. Pada analisis instrumen batas deteksi

dapat dihitung dengan mengukur respon blangko beberapa kali lalu dihitung

simpangan baku respon blangko (Harmita, 2004).

Batas deteksi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Batas Deteksi =

Batas kuantitasi merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan

sebagai kuantitas terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi

kriteria cermat dan seksama (Harmita, 2004).

Simpangan baku respon dapat ditentukan berdasarkan simpangan baku

blanko, simpangan baku residual dari garis regresi atau simpangan baku intersep y

pada garis regresi (Rohman, 2007).

Batas Kuantitasi =

Slope SB

10

(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimental. Penelitian

ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil dan Mutu (PAHAM) Pusat

Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan Sumatera Utara, pada bulan Januari 2010

hingga April 2010.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah satu unit alat

Kromatografi Gas Simadzu 2010 dengan kolom Rtx-1® menggunakan detektor

penangkap elektron (Laboratorium PAHAM Pusat Penelitian Kelapa Sawit

Sumatera Utara), neraca analitik (Sartorius BL-2105), oven (Memmert), kapas,

kertas saring, bola karet, rotary evaporator (BUCHI R-210), penangas air,

desikator dan alat-alat gelas yaitu gelas tentukur (Pyrex), labu takar (Pyrex), pipet

volume (Duran), pipet tetes, dan kolom kromatografi.

3.2 Bahan

Sampel berupa minyak sawit mentah yang diperoleh di Pusat Penelitian

Kelapa Sawit Sumatera Utara dan minyak goreng kelapa sawit yang ada di

pasaran di daerah Medan.

Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah petroleum eter Ligroine

(44)

natrium sulfat anhidrous p.a. (MERCK), dan pestisida standar klorpirifos

(Dursban).

3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Penyiapan Bahan

3.3.1.1 Pembuatan Aktifasi Penyerap Alumina

Diambil 300 g alumina, lalu dimasukkan ke dalam gelas beaker 500 ml.

Kemudian dimasukkan ke dalam tanur. Diaktivasi pada suhu 400 0C selama 4

jam, lalu ditutup dengan aluminium voil dan dimasukkan ke dalam desikator.

3.3.1.2 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 1000 µg/ml

Ditimbang sebanyak 100 mg standar klorpirifos, lalu dimasukkan ke

dalam labu tentukur 100 ml. Kemudian ditambah dengan sedikit pelarut

n-heksan, kocok hingga larut. Setelah larut, diencerkan lagi dengan pelarut sampai

garis tanda.

3.3.1.3 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 100 µg/ml

Dipipet 5 ml larutan standar klorpirifos 1000 µg/ml, lalu dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml. Setelah itu, ditambahkan pelarut n-heksan sampai

garis tanda.

3.3.1.4 Pembuatan Larutan Standar Klorpirifos 10 µg/ml

Dipipet 5 ml larutan standar klorpirifos 100 µg/ml, lalu dimasukkan ke

dalam labu tentukur 50 ml. Setelah itu, ditambahkan pelarut n-heksan sampai

(45)

3.3.2 Analisis Kuantitatif

3.3.2.1 Penentuan Kondisi Optimum Kromatografi Gas

Kromatografi gas : Simadzu model 2010, dilengkapi dengan detektor

penangkap elektron 63Ni

Kolom : Rtx-1®, ketebalan film 0,25 µ m, 15 m x 0,25 mm.

Gas Pembawa : Gas Nitrogen

Laju Alir Gas Pembawa : 1,61 ml/menit

Temperatur Kolom : 150 0C ditahan selama 2 menit, lalu 300 0C ditahan

selama 1 menit

Temperatur Injeksi : 325 0C

Temperatur Detektor : 325 0C

3.3.2.2 Penentuan Deteksi Minimum Standar Klorpirifos

Dibuat standar klorpirifos dari 0,01 µg/ml; 0,02 µg/ml; 0,05 µg/ml; 0,1

µg/ml; 0,5 µg/ml; dan 1 µg/ml dari standar klorpirifos 10 µg/ml dengan

melarutkannya ke dalam n-heksan. Kemudian masing-masing konsentrasi

disuntikkan ke dalam sistem Kromatografi Gas dengan detektor penangkap

elektron. Diamati konsentrasi terkecil yang mampu dideteksi oleh alat

kromatografi gas dengan memunculkan area kromatogram pada waktu retensi

tertentu.

3.3.2.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos

Jika batas deteksi minimum 0,02 µg/ml, dibuat standar klorpirifos dari

0,02 µg/ml; 0,04 µg/ml; 0,06 µg/ml; 0,1 µg/ml; 0,2 µg/ml; 0,4 µg/ml; 0,6 µg/ml;

dan 1 µg/ml dengan melarutkannya ke dalam n-heksan. Kemudian masing-masing

(46)

3.3.2.4 Penentuan Uji Perolehan Kembali dan Clean-Up

Persen perolehan kembali ditentukan dengan menggunakan metode

simulasi (spiked-placebo recovery) yaitu dibuat konsentrasi standar klorpirifos

dalam minyak sawit yang bebas dari cemaran klorpirifos dengan konsentrasi 0,1

µg/ml; 0,2 µg/ml; 0,4 µg/ml; 0,6 µg/ml; dan 1 µg/ml, kemudian dikocok selama

30 menit.

Setelah itu, dilakukan elusi dari analit dimana kolom kromatografi

dikemas dengan cara :

1. Alumina yang telah diaktifasi dibuburkan dengan petroleum eter, diaduk

sampai alumina terbebas dari udara dan terbuburkan sempurna

2. Dimasukkan kapas ke dasar kolom, kemudian dialirkan petroleum eter secara

kontinu sampai kapas terbebas dari gelembung udara

3. Dimasukkan 15 g alumina yang telah diaktifasi dan terbebas dari udara (2/3

tinggi kolom) kedalam kolom yang telah diisi kapas dengan pengaliran

petroleum eter berkelanjutan. Kolom dipadatkan dengan mengetuk dinding

kolom hingga alumina terdistribusi merata dalam kolom

4. Dialirkan terus petroleum eter selama 50 menit

5. Dimasukkan natrium sulfat anhydrous 1 gr ke dalam kolom, diratakan

permukaannya

6. Dimasukkan 1 gr analit

7. Dielusi dengan 50 ml petroleum eter. Dikumpulkan eluat dalam rotary

evaporator

8. Dipekatkan pada suhu 65 oC hingga 1 ml

(47)

3.3.2.5 Penetapan Kadar Klorpirifos dalam Sampel

1. Alumina yang telah diaktifasi dibuburkan dengan petroleum eter, diaduk

sampai alumina terbebas dari udara dan terbuburkan sempurna

2. Dimasukkan kapas ke dasar kolom, kemudian dialirkan petroleum eter secara

kontinu sampai kapas terbebas dari gelembung udara

3. Dimasukkan 15 gr alumina yang telah diaktifasi dan terbebas dari udara (2/3

tinggi kolom) kedalam kolom yang telah diisi kapas dengan pengaliran

petroleum eter berkelanjutan. Kolom dipadatkan dengan mengetuk dinding

kolom hingga alumina terdistribusi merata dalam kolom

4. Dialirkan terus petroleum eter selama 50 menit

5. Dimasukkan natrium sulfat anhydrous 1 gr ke dalam kolom, diratakan

permukaannya

6. Dimasukkan 1 gr sampel ke dalam kolom

7. Dielusi dengan 50 ml petroleum eter. Dikumpulkan eluat dalam rotary

evaporator

8. Dipekatkan pada suhu 65 oC hingga 1 ml

9. Disuntikkan ke dalam sistem alat kromatografi gas

Kadar klorpirifos yang terdapat dalam larutan sampel (X) dihitung dengan

mensubstitusikan luas puncak ke dalam persamaan regresi yang diperoleh dari

kurva kalibrasi pada bagian 3.3.2.3 sebagai Y. Hasilnya lalu dikali volume

larutan sampel (1 ml), kemudian dibagi dengan berat penimbangan sampel

sehingga diperoleh kadar klorpirifos dengan satuan µg/g sampel. Rumus

(48)

X(µg/ml)xVolume larutan sampel(ml) Berat penimbangan sampel(g)

KV = SB X

x 100%

Kadar klorpirifos dalam sampel (µg/g sampel)

3.3.3 Validasi Metode

3.3.3.1 Akurasi/Kecermatan

Akurasi ditentukan dengan menggunakan metode simulasi (spiked-placebo

recovery). Hasil dinyatakan dalam persen perolehan kembali.

Persen perolehan kembali dari analit dapat dihitung menurut persamaan

berikut :

% Perolehan kembali = A

CA = konsentrasi larutan baku yang ditambahkan

(Harmita, 2004)

3.3.3.2 Presisi

Presisi metode penelitian dinyatakan oleh simpangan baku relatif (Relative

Standard Deviation (RSD) atau disebut juga koefisien variasi (KV) dari

serangkaian data. KV dapat dirumuskan sebagai berikut :

Keterangan:

SB = simpangan baku

(49)

3.3.3.3 Batas Deteksi dan Batas Kuantitasi

Batas deteksi (Limit Of Detection/LOD) dan batas kuantitasi (Limit Of

Quantitation/LOQ) dihitung dari persamaan regresi kurva kalibrasi baku

pembanding. Batas deteksi dan batas kuantitasi dapat dihitung dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

Sy/x =

2 Yi)

-(Y 2

n

Batas Deteksi =

Slope xSy/x

3

Batas Kuantitasi =

Slope xSy/x

10

Keterangan: Sy/x = residual standard deviation/simpangan baku residual

(50)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penentuan Kondisi Kromatografi Gas yang Optimum

Kadar klorpirifos dalam minyak sawit ditentukan dengan kromatografi gas

memakai detektor penangkap elektron. Untuk mendapatkan hasil yang baik,

terlebih dahulu dicari kondisi optimum dari sistem kromatografi.

Pada analisis residu klorpirifos dengan metode kromatografi gas langkah

yang pertama dilakukan adalah mencari kondisi optimum dan kesesuaian sistem

kromatografi gas yang akan digunakan agar sistem dapat memisahkan residu

klorpirifos dalam analit dengan baik.

Kondisi sistem kromatografi gas diatur sedemikian sehingga didapat

teknik analisis yang optimum dimana gas pembawa memakai gas Nitrogen

dengan detektor penangkap elektron sehingga terjadi absorbsi elektron oleh

senyawa yang mempunyai afinitas terhadap elektron bebas. Dalam detektor, gas

terionisasi oleh partikel yang dihasilkan dari Ni63 sehingga kehilangan sinyal

dapat diukur ketika analit terelusi dari kolom kromatografi. Jenis detektor ini peka

terhadap senyawa halogen, karbonil terkunjugasi, nitril, nitro, dan organo logam.

Temperatur kolom 150 0C ditahan selama 2 menit, kemudian 300 0C

ditahan selama 1 menit, Temperatur Injeksi 325 0C, dan temperatur detektor 325

0

C. Suhu detektor lebih tinggi dibandingkan dengan suhu kolom sehingga

komponen yang dianalisis dapat terdorong keluar dari kolom menuju detektor.

Sebelum detektor dinyalakan, laju aliran gas pembawa Nitrogen diukur dengan

(51)

pembawa nitrogen sangat berpengaruh terhadap waktu retensi. Laju aliran gas

pembawa nitrogen dalam sistem kromatografi gas yang digunakan yaitu 1,61

ml/menit.

Kolom yang dipakai adalah jenis Rtx-1® yang mengandung fase diam

dimethyl polysiloxane 100% pabrikan Crossbond® yang bersifat nonpolar mampu

memisahkan dengan baik pestisida golongan organofosfat yang diuji, panjang

kolom 15 m, diameter dalam 0,25 mm dan ketebalan film 0,25 µ m.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, didapat hasil optimum dalam

pengukuran standar klorpirifos dengan metode kromatografi gas menggunakan

detektor penangkap elaktron. Salah satu kromatogram yang diperoleh dari kondisi

kromatografi gas yang optimum dapat dilihat pada gambar.

Gambar 4. Kromatogram yang Diperoleh dari Kondisi Kromatografi yang

(52)

Standar klorpirifos terdeteksi pada waktu retensi 3,382 menit, hal ini

menunjukkan secara kualitatif adanya senyawa klorpirifos pada analit yang diteliti

pada waktu retensi tersebut.

Waktu retensi merupakan waktu sejak penyuntikan sampai maksimum

puncak. Sifat ini merupakan ciri khas cuplikan dan fase cair pada suhu tertentu.

Tiap senyawa hanya memiliki satu waktu retensi saja, dimana waktu retensi ini

tidak terpengaruh oleh adanya komponen lain (Bonelli, 1988).

Pada kondisi tekanan tetap, laju aliran berbanding lurus dengan waktu

retensi. Waktu retensi merupakan ciri suatu cuplikan sehingga dapat digunakan

untuk mengidentifikasi suatu cuplikan dengan syarat suhu kolom harus tetap.

Identifikasi didasarkan pada perbandingan waktu retensi komponen yang tidak

dikenal dengan waktu retensi senyawa yang dikenal, yang dianalisis pada kondisi

yang sama (Bonelli, 1988).

Ainie (2000) melakukan analisis residu klorpirifos dalam matriks

berminyak dengan kromatografi gas Hewlett Parkard, Palo Alto menggunakan

kolom DB-1 (Folsom, California) panjang 30 m dengan diameter dalam 0,53 mm

dengan detektor fotometrik nyala (Flame Photometric Detector/FPD). Kondisi

operasi yang dipakai yaitu temperatur injektor dan detektor 250 0C, temperatur

Oven 90 0C, gas pembawa Helium dengan laju alir total 30 ml/menit. Temperatur

kolom 90 0C ditahan selama 6 menit, sampai 200 0C ditahan selama 6 menit

dengan kenaikan temperatur 6 0C.

Halimah (1999) melakukan penentuan kadar klorpirifos pada olein kelapa

sawit yang dimurnikan dengan kromatografi gas Hewlett Packard model 5890 seri

(53)

sebagai kolom nonpolar. Kondisi kerja yang digunakan sebagai berikut: aliran

kolom 2,7 ml/menit, suhu injektor 280 0C, suhu detektor 250 0C, suhu oven

diprogram untuk meningkat dari 190 0C sampai 220 0C pada 5 0C/menit yang

ditahan selama 4 menit.

Muhamad (2002) melaporkan tentang penentuan kadar residu klorpirifos

dalam matriks minyak dengan kromatografi gas Hewlett Packard model 5890

memakai detektor penangkap elektron menggunakan kolom kapiler HP5-MS

dimana parameter yang digunakan yaitu aliran kolom Nitrogen 2,7 ml/menit, suhu

injektor diatur pada 250 0C dalam mode kontinu dengan katup pembagi dimatikan

selama 0,75 menit.

4.2 Proses Clean-up

Proses Clean-up dilakukan dengan elusi menggunakan kromatografi

kolom, dimana digunakan penyerap alumina dan pelarut petroleum eter. Terlebih

dahulu sebelum digunakan alumina diaktivasi pada suhu 400 0C selama 4 jam

agar didapat permukaan alumina yang mampu menyerap lebih kuat. Alumina

sangat luas digunakan sebagai penyerap karena memiliki luas permukaan yang

spesifik beratus-ratus meter persegi, juga sangat mudah diperoleh dalam

perdagangan. Pelarut petroleum eter merupakan pelarut dengan polaritas yang

rendah sehingga mampu menarik senyawa klorpirifos melewati fase diam dalam

pemisahan dengan kromatografi kolom. Sifat pelarut yang mampu memisahkan

senyawa klorpirifos dari analit lainnya dijadikan alasan pemilihan pelarut dalam

(54)

Pengisian kolom harus menggunakan teknik yang tepat dan berhati-hati.

Pengisian yang tidak teratur dari penyerap akan mengakibatkan merusak

batas-batas pita kromatografi karena terdapat gelembung udara selama pengisian. Untuk

mencegah hal tersebut zat penyerap dibuat menjadi bubur dengan pelarut

kemudian dituangkan perlahan-lahan kedalam kolom. Jika penyerap dibiarkan

turun perlahan-lahan dapat ditolong dengan mengguncang perlahan-lahan sisi

kolom agar diperoleh pengisian yang homogen (Sastroamidjojo, 1985).

Elusi dilakukan selama 50 menit dengan mengalirkan pelarut petroleum

eter secara terus-menerus dengan tujuan agar klorpirifos terbawa oleh pelarut

melewati penyerap yang akan menghambat pengotor dalam analit minyak sawit.

Eluat yang diperoleh dipekatkan dan dianalisis dengan metode kromatografi gas.

Ainie (2000) melakukan proses clean-up dari matriks berminyak terhadap

klorpirifos dengan Kromatografi Permeasi Gel. Halimah (1999) memakai sistem

kromatografi serapan dalam melakukan proses clean-up dari olein kelapa sawit

dimana persiapannya sebagai berikut : Suatu kolom kromatografi yang

mengandung 1,5 cm lapisan dasar Na2SO4 anhidrat, 5 cm asam silikat dan 1,5 cm

lapisan atas Na2SO4 anhidrat disiapkan untuk prosedur clean-up. Kolom yang

berisi ekstrak sampel dielusi dengan 180 ml diklorometan dalam heksan 7,5% v’v

pada kecepatan 3-5 ml/menit. Eluat ditampung dalam labu alas kemudian

dipekatkan dengan rotavapor hingga 5 ml.

Mohamad (2002) melakukan penelitian tentang optimalisasi prosedur

ekstraksi dan clean-up pada penentuan kadar klorpirifos dalam matriks minyak,

dimana ekstraksi memakai petroleum eter. Proses clean-up menggunakan

(55)

4.3 Penentuan Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos

Analisis secara kuantitatif ditentukan dari kurva kalibrasi standar

klorpirifos berdasarkan luas puncak. Kurva kalibrasi standar klorpirifos dibuat

dengan konsentrasi 0,02 μg/ml; 0,04 μg/ml; 0,06 μg/ml; 0,1 μg/ml; 0,2 μg/ml; 0,4

μg/ml; 0,6 μg/ml; dan 1 μg/ml menggunakan pelarut n-heksan. Pengukuran luas

puncak tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi dibandingkan dengan

tinggi puncak, kecuali laju alir. Tetapi laju alir saat ini telah dapat diatur oleh

instrumen secara tepat dan konstan, sehingga pengukuran luas puncak merupakan

pilihan yang terbaik dalam analisis kuantitatif secara kromatografi gas.

Analisis yang dilakukan dengan metode kromatografi gas menggunakan

detektor penangkap elektron menunjukkan garis regresi yang baik dan memenuhi

persyaratan validasi. Hal tersebut dapat terlihat dari hasil pengukuran kurva

kalibrasi dimana didapat kurva yang linear dengan nilai yang mendekati 1.

Hasil pengukuran kurva kalibrasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi dengan Metode Kromatografi Gas No. Konsentrasi (μg/ml) Luas Puncak

1 0,02 7633,33

2 0,04 8705,67

3 0,06 10164,2

4 0,10 10983,93

5 0,20 14452

6 0,40 21931,67

7 0,60 30695,33

(56)

Konsentrasi Luas Area

Dari hasil pengukuran kurva kalibrasi didapat gambar kurva kalibrasi yang

dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 5. Kurva Kalibrasi Standar Klorpirifos 4.3.1 Persamaan Garis Regresi

Dari hasil perhitungan kurva kalibrasi diperoleh persamaan garis regresi Y =

38530,08X + 7122,21.

Salah satu kromatogram hasil analisis dari standar klorpirifos untuk

pembuatan kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar.

Gambar

Gambar 3. Jenis Kolom Kromatografi Gas
Gambar 4. Kromatogram yang Diperoleh dari Kondisi Kromatografi yang
Tabel 2. Nilai Koefisien Variasi dari Hasil Pengukuran Kurva Kalibrasi
Gambar kromatogram pelarut, minyak sawit yang bebas dari cemaran
+7

Referensi

Dokumen terkait

Disimpulkan bahwa manajemen pengelolaan klub sepakbola berprestasi di divisi I Pengcab PSSI Kabupaten Jepara sudah baik dan sesuai dengan fungsi manajemen dan pengelolaan

Hubungan strategi CSR perusahaan terhadap implementasi CSR dapat diketahui dari nilai probabilitas (Sig) untuk seluruh hubungan variabel strategi CSR perusahaan dengan

Fenomena berbeda terjadi pada bak eksperimen dimana semakin dalam lapisan sampah, setelah 3 minggu percobaan, dengan adanya lapisan GCLs, maka kualitas lindi

Bahan abrasif digunakan pada pasta gigi pemutih untuk mengeluarkan stain ekstrinsik dengan meminimalisir kerusakan struktur dan jaringan gigi geligi, termasuk kekerasan

Dalam penelitian ini dibandingkan kadar hemoglobin darah pada pria perokok dan bukan perokok mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manando semester

Pendidikan di sekolah adalah sarana pengembangan pribadi manusia untuk dapat menjadi manusia yang mampu bersanding dengan manusia lainnya dalam bingkai

Alasan tersebut antara lain karena perawat merasa kurang nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan

Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kesegaran jasmani dengan hasil belajar pendidikan jasmani siswa