FENOMENA KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DOSEN PEMBIMBING DAN MAHASISWA DALAM BIMBINGAN SKRIPSI
(Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa
FISIP USU)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Diajukan Oleh:
TABITA SILITONGA
070904085
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU-ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Fenomena Komunikasi Antarpribadi Dosen Pembimbing dan Mahasiswa dalam Bimbingan Skripsi Suatu Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa FISIP USU.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis interaksi komunikasi antarpribadi, memahami kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing, serta faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.
Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis, penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini menggunakan teori kecemasan berkomunikasi dan pengurangan ketidakpastian dalam komunikasi antarpribadi. Pada penelitian ini melibatkan 17 informan yang berasal dari enam departemen di FISIP USU dengan tingkat kecemasan dan ketidakpastian sangat tinggi, moderat, dan rendah pada tahap penunjukan, tahap masukan, maupun tahap personal komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam proses bimbingan skripsi.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kepada Bapa Surgawi yang selalu
setia memampukan penulis hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini. Bapa yang selalu setia dalam suka dan duka penulis, yang selalu membuka
jalan saat tiada jalan ditemukan penulis. Terimakasih Bapa terkasih.
Penulisan skripsi dengan judul “Fenomena Kecemasan Berkomunikasi
dan Ketidakpastian Mahasiswa dalam Interaksi Komunikasi Antarpribadi dengan Dosen Pembimbing dalam Bimbingan Skripsi” ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi penulis dalam
memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini merupakan hasil dari ilmu yang peneliti peroleh selama
mengikuti proses perkuliahan di Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dan hasil penelitian yang
peneliti peroleh selama di lapangan, buku-buku perpustakaan, kajian literatur,
serta internet.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua penulis, Ir. J. Silitonga dan T.Tobing, untuk kasih sayang dan didikan
yang sangat berharga dan tidak ternilai, terkhusus ucapan terima kasih untuk
penulis banggakan, dr.Fridameria Silitonga, Immanuel Silitonga, Pashima Uli
Silitonga, Jonas Silitonga.
Dan dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Fatmawardi Lubis, MA selaku Ketua Departemen Ilmu
Komunikasi serta Ibu Dra. Dayana Manurung selaku Sekretaris
Departemen Ilmu Komunikasi atas segala dukungan dan dorongan yang
menambah semangat penulis.
3. Bapak Drs. Hendra Harahap, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang
penulis hormati. Penulis sangat bersyukur atas seorang dosen pembimbing
yang luar biasa seperti Bapak. Ucapan terima kasih yang terdalam atas
kesabaran Bapak dalam membimbing dan mendukung penulis sampai
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku Dosen Wali penulis atas
dukungan dan kasih sayang seperti orang tua yang diberikan kepada
penulis .
5. Bapak Pdt. Ony Unitly dan keluarga
7. Seluruh dosen dan Staf Pengajar yang telah mendidik dan membimbing
penulis sejak semester awal hingga penulis menyelesaikan perkuliahan.
8. Kak Icut, Kak Maya,dan Kak Ros atas bantuan dan keceriaan yang
menginspirasi penulis.
9. Herbin Rajagukguk,S.Sos dan Emma Violita Pinem,S.Sos atas
persahabatan yang tidak dapat dibandingkan dengan orang lain.
10.Mama Mian atas ketegaran dan kekuatan seorang mama yang peneliti
kagumi, serta Natasia Simangunsong,S.Sos yang menjadi teman ceria
peneliti.
11.Bapak dan Ibu Simatupang yang telah menginspirasi penulis akan kasih
dan harapan orangtua yang tinggi, serta Perdana Tua Simatupang yang
dewasa dan sayang sama teman-temannya terutama kepada keluarganya.
12.Bapak dan Ibu Silalahi atas kasih sayang dan didikan orangtua yang luar
biasa, serta Firman dan Christina Natalina Silalahi yang luar biasa. Setiap
ajaran dan kasih sayang Bapak dan Ibu tidak sia-sia karena anak-anak
Bapak dan Ibu sungguh telah menjadi kebanggaan dan kebahagiaan setiap
orang.
13.Lindawati Simbolon yang spesial bagi semua orang dan Romi Commando
Girsang atas setiap kekritisan yang super keren
14.Kelompok Kecil Infokatif, kak Rohani dan Jeng Karona Sitepu yang
15.Surya Sihombing,S.Sos dan Andrye Christian,S.Sos atas bantuan yang luar
biasa mengagumkan bagi penulis, serta Fernandez dan Dodi
16.Villya, Roria, Isa atas setiap dukungan yang diberikan kepada penulis.
17.Minat Brontak yang menjadi sahabat diskusi penulis selama kuliah.
18.Kubu Doa FISIP USU atas setiap doa yang dipanjatkan. Terus berdoa
untuk kampus kita.
19.Teman-teman penulis yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu
terkhusus Grace, Fazario, Suci, Kumari, Astri, Inggit, Anggi, Angga,
Yohana, Setya, Ropenta, Mardiandi.
20.Adik penulis Irwan Sitinjak, Vizabinka dan Melisa
21.Setiap informan yang luar biasa atas informasi yang sangat membantu
dalam pengumpulan data skripsi ini. Skripsi ini menjadi berguna karena
informasi yang kalian berikan. Semoga hasil usaha kita bermanfaat bagi
mahasiswa lain.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini jauh dari sempurna. Untuk itu saran
dan kritik sangat dibutuhkan dalam perbaikan skripsi ini. Terima Kasih.
Medan, Agustus 2011
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL
ABSTRAKSI
KATA PENGANTAR………. i
BAB I PENDAHULUAN……… 1
I.1 Latar Belakang Masalah……….. 1
I.2 Perumusan Masalah……….. 8
I.3 Pembatasan Masalah………. 9
I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian………. 10
I.4.1 Tujuan Penelitian……….. 10
I.4.2 Manfaat Penelitian……… 11
I.5 Kerangka Teori……….. 11
I.5.1 Komunikasi Antarpribadi………. 11
I.5.2 Communication Apprehension………. 12
I.5.3 Teori Pengurangan Ketidakpastian……….. 13
I.6 Kerangka Konsep……….. 13
I.7 Operasionalisasi Konsep……… 14
I.8 Defenisi Operasional……….. 16
BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi Antarpribadi……… 21
II.1.1 Defenisi dan Peranan Komunikasi Antarpribadi……….. 21
II.1.2 Peranan Ciri dan Sifat Komunikasi Antarpribadi……….. 25
II.1.3 Fungsi dan Keampuhan Komunikasi Antarpribadi……… 30
II.1.4 Konsepsi Diri dalam Komunikasi Antarpribadi……….... 31
II.2.1 Ciri Communication Apprehension……… 36
II.2.2 Perilaku Cemas……….. 39
II.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan Berkomunikasi….. 41
II.3 Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory)….. 43
II.3.1 Ketidakpastian komunikasi……… 43
II.3.2 Asumsi Teori Pengurangan Ketidakpastian……….. 47
II.3.3 Aksioma Teori Pengurangan Ketidakpastian……… 49
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Metodologi Penelitian……… 53
III.1.1 Metodologi Kualitatif……… 53
III.1.2 Studi Kasus……….... 55
III.2 Lokasi dan Subjek Penelitian……….. 60
III.2.1 Lokasi Penelitian……… 60
III.2.2 Subjek Penelitian……… 63
III.3 Teknik Pengumpulan Data……… . 65
III.4 Teknik Analisis Data……….. 67
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1 Proses Pengumpulan Data………. 69
IV.2 Tahapan Analisis Data……… 70
IV.3 Hasil Pengamatan……… 71
IV.4 Pembahasan………. 182
BAB V PENUTUP V.1 Kesimpulan……… 192
V.2 Saran……….. 193
ABSTRAKSI
Penelitian ini berjudul Fenomena Komunikasi Antarpribadi Dosen Pembimbing dan Mahasiswa dalam Bimbingan Skripsi Suatu Studi Kasus Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Pada Mahasiswa FISIP USU.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis interaksi komunikasi antarpribadi, memahami kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing, serta faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.
Dengan menggunakan metode penelitian studi kasus yang menggunakan berbagai sumber data yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis, penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian ini menggunakan teori kecemasan berkomunikasi dan pengurangan ketidakpastian dalam komunikasi antarpribadi. Pada penelitian ini melibatkan 17 informan yang berasal dari enam departemen di FISIP USU dengan tingkat kecemasan dan ketidakpastian sangat tinggi, moderat, dan rendah pada tahap penunjukan, tahap masukan, maupun tahap personal komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam proses bimbingan skripsi.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan tidak hanya dinilai dari hasil akhir, tetapi proses. Banyak
orang yang mendapatkan hasil yang baik tanpa menjalani proses yang baik dan
benar. Proses yang baik dan benar hampir selalu melalui perjalanan yang panjang,
sukar, dan berliku-liku. Namun proses inilah yang menjadi pembelajaran
terpenting dalam membangun karakter dan hanya orang-orang yang memiliki
karakter yang berkualitas yang benar-benar mau bertahan dan dapat melalui
proses tersebut.
Demikianlah skripsi, karangan ilmiah yang diwajibkan sebagai bagian dari
persyaratan pendidikan akademis (KBBI), dikatakan berhasil tidak hanya dilihat
dari nilai akhir yang diberikan pada bobot 6 SKS saja. Jika keberhasilan skripsi
hanya dilihat dari nilainya saja, maka integritas bukanlah harga yang harus
dimiliki.
Skripsi dikatakan berhasil saat peneliti mengerti dan memahami tujuan dan
manfaat dari dilakukannya penelitian. Skripsi dikerjakan bukan untuk
mendapatkan nilai A pada mata kuliah skripsi, bukan pula sekedar memenuhi
syarat untuk memperoleh gelar sarjana seperti yang selalu tertera pada sampul
depan skripsi. Tujuan penulisan skripsi adalah agar mahasiswa dapat berpikir
dan menuangkan hasil pemikiran dan penelitian tersebut secara sistematis dan
terstruktur (http://www.Infoskripsi.com).
Skripsi adalah bukti integritas mahasiswa, implementasi ilmu yang telah
diperoleh di perguruan tinggi, karya tertinggi mahasiswa S1 yang melibatkan rasa
dan karsa serta kemampuan intelijen dan emosional mahasiswa. Sebagai bukti
integritas serta implementasi teoritis akhir mahasiswa, skripsi bermanfaat untuk
memberikan dedikasi kepada masyarakat dengan seluruh ilmu yang diperoleh
mahasiswa selama di perguruan tinggi. Manfaat ini juga tertera dalam tridarma
perguruan tinggi yakni pengabdian kepada masyarakat. Untuk manfaat inilah,
proses yang baik dan benar adalah kunci keberhasilan skripsi.
Hasil akhir baik berupa nilai memuaskan, sangat memuaskan, maupun
pujian dan pengakuan dari orang-orang adalah bonus dari proses yang telah dilalui
dengan baik dan benar. Namun, sangat disayangkan banyak mahasiswa yang lupa,
pura-pura lupa, atau memang tidak lupa karena sama sekali tidak mengerti
manfaat skripsi pada kodratnya. Skripsi dipandang sebagai beban dan halangan
besar yang harus dilewati secepat mungkin agar bisa maju, bukan lagi sebagai
dedikasi terbaik yang sudah seharusnya diberikan kepada masyarakat pada akhir
pengabdian seorang mahasiswa. Proses tidak lagi berharga bahkan hampir tidak
terlintas dalam benak mahasiswa. Yang dipikirkan mahasiswa hanyalah cara
paling instan dan mulus untuk selesai sampai bab akhir. Yang lebih memalukan
lagi, mahasiswa menginginkan cara termudah dengan nilai tertinggi, waktu
tercepat, dan pujian dari banyak orang tanpa mempedulikan nilai guna
dengan kalimat penutup ‘Jangan lupakan almamater’ dengan bangga
didistribusikan ke masyarakat untuk memajukan nama bangsa dan negara.
Yang menjadi pertanyaannya adalah ‘Mengapa ini semua bisa terjadi?’
dan ‘Mengapa hal ini bisa tergilas dari pandangan dunia pendidikan disaat semua
birokrat pendidikan berlomba-lomba untuk memperbaiki kualitas pendidikan
institusinya?’ Salah satu hal yang sangat berkaitan dengan proses pengerjaan
skripsi yang mengikutsertakan mahasiswa dan perguruan tinggi adalah bimbingan
skripsi.
Bimbingan skripsi makna dasarnya adalah bimbingan dalam proses
skripsi. Beberapa proses dalam pengerjaan skripsi antara lain mahasiswa yang
tidak fokus pada judul penelitiannya, bingung terhadap latar belakang masalah,
kurang mengerti terhadap teori-teori yang akan digunakan, kurang memahami
metodologi penelitian, bahkan sering kali timbul masalah saat mengumpulkan
data, kesulitan dalam menganalisis data, dan kerumitan dalam membahas data
secara sistematis dan terstruktur dan berbagai hal lainnya dalam proses
penyelesaian skripsi yang tidak hanya menguji kecerdasan intelijen mahasiswa
namun menguji kecerdasan emosional mahasiswa juga. Dengan adanya kondisi
seperti ini, bimbingan skripsi adalah metode yang tepat untuk mencapai hasil
maksimal dan berkualitas dari hasil penelitian ilmiah mahasiswa.
Sebenarnya bimbingan skripsi memiliki peran penting dalam proses
pengerjaan skripsi. Namun peran itu kurang dianggap penting oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. Bimbingan skripsi hanya dilihat sebagai formalitas, seperti
Seharusnya pemaknaan seperti ini adalah penghinaan bagi dosen pembimbing
karena ilmu yang dimiliki serta perannya sebagai pembimbing bukan hanya
sekedar berguna untuk paraf saja. Sayangnya, dosen pembimbing juga kurang
menyadari atau seolah-olah tidak menyadari keberadaan mahasiswa yang kurang
memahami tujuan penulisan skripsi.
Berhasil atau tidaknya skripsi adalah tanggung jawab dari mahasiswa yang
melakukan penelitian tersebut. Namun keberhasilan skripsi juga dipengaruhi oleh
lingkungan mahasiswa. Ketika motivasi internal mahasiswa dalam proses
penyusunan skripsi menurun, motivasi eksternal dari lingkungan sangat
dibutuhkan. Dan dosen pembimbing skripsi adalah bagian dari lingkungan
mahasiswa tersebut. Dengan kata lain, keberhasilan skripsi juga merupakan
tanggung jawab dosen pembimbing yang notabene adalah utusan dari perguruan
tinggi agar secara langsung membimbing mahasiswa.
Dosen pembimbing skripsi mempunyai peran membimbing mahasiswa
agar mahasiswa memahami etika penelitian ilmiah terutama yang menyangkut
plagiarisme dan sikap ilmiah, menetapkan masalah penelitian, menelusuri
literatur, menyusun usul penelitian, mampu menerapkan teknik presentasi yang
baik, mampu menulis skripsi, mampu melakukan ujian lisan saat
mempertanggungjawabkan hasil pengerjaan skripsinya di hadapan dosen penguji
(http://www.eng.unri.ac.id). Oleh sebab itu, peranan dosen pembimbing saat
bimbingan skripsi sangatlah penting dalam mendukung mahasiswa dalam
penelitian dan proses pengerjaan skripsinya. Melalui bimbingan skripsi, dosen
dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi, serta menghasilkan skripsi yang
berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat.
Namun fenomena yang ditemukan adalah penyebab kecemasan yang
dialami mahasiswa tingkat akhir bukan hanya karena kerumitan proses penelitian
ilmiah yang akan dihadapi, tetapi juga karena kekhawatiran mahasiswa terhadap
dosen yang membimbing mahasiswa dalam bimbingan skripsi serta terhadap
metode bimbingan skripsi dosen tersebut. Mahasiswa mengalami ketidakpastian
terhadap karakter dosen yang akan membimbing mereka. Mahasiswa
mengharapkan untuk dibimbing oleh dosen tertentu yang sesuai dengan
karakternya dan merasa cemas jika mendapatkan dosen pembimbing yang di
kalangan mahasiswa telah mendapatkan label ’kejam, kaku, perfeksionis, sangat
mendominasi, dan banyak permintaan’.
Kecemasan dan ketidakpastian yang dialami mahasiswa berpengaruh
terhadap interaksi komunikasi antarpribadi mahasiswa dengan dosen pembimbing
dalam bimbingan skripsi. Dalam proses bimbingan skripsi, semua mahasiswa
selalu mengalami kecemasan dan ketidakpastian. Namun yang menjadi perhatian
adalah tidak semua mahasiswa dapat mengatasi kecemasan dan ketidakpastiannya
dalam bimbingan skripsi.
Salah satu contoh mahasiswa yang tidak mampu mengatasi kecemasan dan
ketidakpastian dalam dirinya adalah mahasiswa yang memohon kepada
departemen untuk mengganti dosen pembimbingnya saat dia mengetahui dosen
pembimbingnya adalah seorang dosen yang tidak sesuai dengan karakternya.
karena dia memutuskan untuk tidak melakukan interaksi komunikasi dengan
dosen pembimbingnya. Kecemasan dan ketidakpastian yang sangat tinggi dan
tidak dapat diatasi membuat individu membatasi dirinya berkomunikasi dengan
individu lainnya.
Kecemasan dan ketidakpastian jika tidak dapat diatasi oleh mahasiswa,
maka akan mengalami peningkatan. Kecemasan dan ketidakpastian yang semakin
meningkat dapat menghambat komunikasi antarpribadi dosen pembimbing dan
mahasiswa dalam bimbingan skripsi.
Salah satu kelebihan komunikasi antarpribadi yaitu komunikasi
antarpribadi selalu dimulai dari proses hubungan yang bersifat psikologis dan
proses tersebut mengakibatkan keterpengaruhan diantara individu-individu pelaku
komunikasi antarpribadi. Proses komunikasi yang bersifat psikologis ini yang
menyebabkan komunikasi antarpribadi sangat berperan terhadap psikologi
individu-individu pelaku komunikasi. Komunikasi antarpribadi dapat
mempengaruhi kognitif, afektif, dan behavioral khalayaknya.
Interaksi dosen pembimbing dengan mahasiswa dalam bimbingan skripsi
memerlukan peranan komunikasi antarpribadi yang dapat mempengaruhi kognitif,
afektif, dan behavioral mahasiswa dalam menyelesaikan skripsinya. Peranan
dosen pembimbing diharapkan mampu mengurangi permasalahan yang akan
dialami mahasiswa dalam proses pengerjaan skripsi, namun terdapat kondisi riil
dimana dosen pembimbing skripsi menjadi salah satu permasalahan bagi
mahasiswa dalam proses pengerjaan skripsinya. Mahasiswa merasa khawatir bila
berkomunikasi saat bimbingan skripsi. Bahkan kekuatiran tersebut membuat
mahasiswa menjadikan atau menganggap hal yang wajar bila bimbingan skripsi
hanya sebagai pertemuan untuk persetujuan tiap bab, bukan untuk berdiskusi atau
mendapatkan pengarahan dari dosen pembimbing.
Pada penelitian ini yang menjadi subjek penelitian adalah mahasiswa yang
sedang melakukan bimbingan skripsi di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) USU. Pemilihan lokasi penelitian di FISIP USU dilakukan karena
pada fakultas inilah ditemukan beberapa kasus kecemasan mahasiswa dalam
interaksi komunikasi dengan dosen dalam bimbingan skripsi dikarenakan dosen
pembimbing skripsi yang tidak sesuai dengan harapan mahasiswa. Bila melihat
pada salah satu tujuan komunikasi antarpribadi adalah untuk memelihara
hubungan yang bermakna dengan orang lain, maka yang menjadi pertanyaannya
adalah bagaimana kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam interaksi
komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi,
serta bagaimana komunikasi antarpribadi yang terjadi antara dosen pembimbing
dengan mahasiswa dalam bimbingan skripsi di FISIP USU. Penelitian ini
setidaknya dapat membantu dalam memperoleh pengetahuan mengenai
bagaimana selama ini subjek penelitian membangun komunikasi antarpribadinya
dan sejauhmana hal ini berpengaruh terhadap proses penyelesaian dan hasil tugas
akhir mahasiswa tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti fenomena kecemasan berkomunikasi dan ketidakpastian mahasiswa
dalam interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen pembimbing dalam
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah interaksi komunikasi antarpribadi dosen pembimbing
skripsi dan mahasiswa dalam bimbingan skripsi?
- Apakah persepsi mahasiswa terhadap dosen pembimbingnya dalam
bimbingan skripsi?
- Apakah mahasiswa terbuka untuk berdiskusi dan berinteraksi
dengan dosen pembimbingnya?
- Apakah mahasiswa merasakan perasaan capek, marah, sedih, atau
senang dosen pembimbingnya?
- Apakah mahasiswa menilai dosen pembimbingnya secara positif?
- Apakah terdapat kesamaan antara mahasiswa dengan dosen
pembimbing?
2. Bagaimanakah kecemasan berkomunikasi dan ketidakpastian
mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi mereka dengan
dosen pembimbing dalam tahap penunjukan, perkenalan, dan personal
bimbingan skripsi?
- Apakah mahasiswa merasa antusias atau cemas dalam tahap
penunjukan, perkenalan, maupun tahap personal selama proses
- Apakah kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa meningkat atau
menurun dari satu tahap menuju tahap selanjutnya selama proses
bimbingan skripsi?
3. Faktor-faktor apakah yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya
fenomena kecemasan dan ketidakpastian mahasiswa dalam
pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi dengan dosen
pembimbing dalam bimbingan skripsi?
I.3. Pembatasan Masalah
Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas sehingga dapat
mengaburkan penelitian, maka perlu dibuat pembatasan masalah.
Adapun pembatasan masalah yang akan diteliti oleh peneliti adalah:
1. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan studi kasus sebagai metode riset
peneliti.
2. Yang menjadi perhatian peneliti adalah kecemasan dan ketidakpastian
mahasiswa dalam interaksi komunikasi dengan dosen pembimbing dalam
bimbingan skripsi.
3. Penelitian dilakukan di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara
4. Penelitian terbatas pada mahasiswa S1 Reguler yang sedang mengerjakan tugas
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
I.4.1. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan sudah pasti mempunyai tujuan yang akan
dicapai. Adapun tujuan penelitian ini antara lain:
1. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interaksi komunikasi
antarpribadi dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa dalam
bimbingan skripsi.
2. Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena kecemasan
berkomunikasi dan ketidakpastian mahasiswa dalam pengalaman
interaksi komunikasi mereka dengan dosen pembimbing dalam
bimbingan skripsi.
3. Penelitian ini bertujuan untuk memahami faktor-faktor yang berpotensi
menjadi penyebab terjadinya fenomena kecemasan dan ketidakpastian
mahasiswa dalam pengalaman interaksi komunikasi antarpribadi
dengan dosen pembimbing dalam bimbingan skripsi.
I.4.2. Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan
b. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat melengkapi dan
memperkaya khasanah penelitian tentang komunikasi antarpribadi sebagai
bagian dari ilmu komunikasi.
c. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bersama dalam
memahami konteks komunikasi antarpribadi dalam bimbingan skripsi
yang terjadi di sekitar kita.
I.5. Kerangka Teori
I.5.1. Komunikasi Antarpribadi
Kehidupan manusia ditandai dengan pergaulan di antara manusia dalam
keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah, tempat bekerja, organisasi sosial dan
lain sebagainya. Semua ditunjukkan tidak saja pada derajat suatu pergaulan di
dalam lingkungan, komunikasi, frekuensi pertemuan, jenis relasi mutu dari
interaksi-interaksi di antara mereka tetapi juga terletak pada seberapa jauh
keterlibatan di antara mereka satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi.
Menurut Lasswell dalam bukunya ”The Structure and function of Communication
in Society”, cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab
pertanyaan sebagai berikut: who, says what, in which channel, to whom, with what
effect (Rakhmat, 2002).
Ciri khas komunikasi interpersonal ini ialah sifatnya dua arah atau timbal
balik (two ways traffic communication). Di dalam komunikasi interpersonal,
komunikator dan komunikan saling berganti fungsi. Menurut Joseph A.Devito,
(empathy), dukungan (supportiveness), rasa positif (positiveness), kesetaraan
(equality). (Liliweri, 1991:13)
I.5.2 Communication Apprehension
Tingkat kecemasan ataupun ketakutan individu yang berkaitan dengan
komunikasi yang sedang atau yang akan dilakukan dengan orang lain dinamakan
dengan Communication Apprehension (CA). CA merupakan perilaku yang biasa
dan normal karena setiap individu mengalaminya, namun tidak semua individu
dapat mengatasi hal ini sehingga dapat mengganggu komunikasi individu tersebut
dengan orang lain.
Patterson dan Ritts dalam penelitiannya mengemukakan beberapa parameter yang menunjukkan komunikator mengalami kecemasan sosial dan komunikasi. Menurut mereka kecemasan sosial dan komunikasi memiliki aspek fisik, aspek tingkah laku, serta aspek kognitif.
Terkait dengan pemikiran negatif, Patterson dan Rits mengemukakan: ”Negative thinking can lead to anxious self-perception that keeps a person from
considering all of the information and cues in the environment”. (Pemikiran
negatif menyebabkan seseorang menjadi terlalu khawatir dengan dirinya sendiri sehingga ia harus memperhitungkan segala informasi dan gejala yang muncul dari lingkungan di sekitarnya). Hal ini menyebabkan proses dan pengolahan informasi yang normal terganggu yang pada akhirnya mendorong seseorang untuk menarik diri dari lingkungannya. (Morrisan, 2010:9)
Joseph A. Devito (Devito, 2001:81-82) menuliskan faktor-faktor yang meningkatkan kecemasan berkomunikasi, antara lain:
a. Derajat Evaluasi
b. Subordinate status
c. Degree of conspicuousness
d. Degree of unpredictability
e. Degree of dissimilarity
I.5.3. Teori Pengurangan Ketidakpastian (Uncertainty Reduction Theory)
Teori pengurangan ketidakpastian atau Uncertainty Reduction Theory
(URT) pertama sekali dikembangkan oleh Berger dan Calabrese pada tahun 1975.
Tujuan Berger dan Calabrese dalam membangun teori ini adalah untuk
menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastian
antara orang-orang yang baru saling mengenal yang terlibat dalam percakapan.
Teori pengurangan ketidakpastian membahas proses dasar bagaimana kita
memperoleh pengetahuan mengenai orang lain melalui interaksi komunikasi.
(Morissan, 2010: 86)
Berger dan Calabrese menuliskan tujuh aksioma ketidakpastian, yakni:
a.ketidakpastian tinggi, mendorong komunikasi verbal
b.pernyataan nonverbal rendah, ketidakpastian tinggi
c.ketidakpastian tinggi mendorong pencarian informasi rendah
d.ketidakpastian tinggi, keintiman komunikasi rendah
e. ketidakpastian tinggi, resiprositas tinggi
f.kesamaan mengurangi ketidakpastian
g.ketidakpastian tinggi, kesukaan rendah
(Morrisan, 2010:93)
I.6. Kerangka Konsep
Prof. Dr. H.M. Burhan Bungin mengartikan konsep sebagai generalisasi
dari sekelompok fenomena tertentu yang dapat dipakai untuk menggambarkan
berbagai fenomena yang sama ( Bungin, 2001:73)
perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang dicapai serta perumusan kerangka konsep merupakan bahan yang akan menuntun dalam merumuskan hipotesis penelitian (Nawawi, 1995:40).
Maka konsep operasional yang akan diteliti adalah:
Kecemasan Berkomunikasi dan Ketidakpastian Mahasiswa dalam Komunikasi
Antarpribadi dengan Dosen Pembimbing dalam Bimbingan Skripsi
I.7. Operasionalisasi Konsep
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan di atas, maka konsep
operasional tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep
operasional tersebut dapat membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian,
maka dioperasionalkan sebagai berikut:
Konsep Operasional Operasionalisasi Konsep
Komunikasi Antar Pribadi Mahasiswa Bimbingan dan
- Turut merasakan perasaan orang lain
- Terlibat aktif melalui ekspresi wajah dan gerak
c. Dukungan (Supportiveness)
- Situasi yang terbuka untuk mendukung berlangsungnya komunikasi efektif.
d. Rasa positif (Positiveness)
- Sikap positif karena suasana yang menyenangkan
e. Kesamaan (Equality)
- Memperlakukan orang lain secara horizontal dan demokrasi
- Mengkomunikasikan
penghargaan dan rasa hormat pada perbedaan pendapat.
Faktor Pengaruh dan Eksplorasi
Komunikasi Antarpribadi
1. Uncertainty Reduction Theory
a.ketidakpastian tinggi, mendorong
f.kesamaan mengurangi ketidakpastian
g.ketidakpastian tinggi, kesukaan rendah
2. Communication Apprehension
a.Parameter kecemasan berkomunikasi
- Aspek fisik
- Aspek tingkah laku
- Aspek kognitif
b.Faktor-faktor yang meningkatkan kecemasan berkomunikasi
- Derajat Evaluasi
- Subordinate status
- Degree of unpredictability
- Degree of dissimilarity
- Prior success and failures
- Lack of communication skills and experience
I.8 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep
yang telah dikelompokkan dalam kerangka konsep. Definisi operasional adalah
suatu petunjuk pelaksanaan mengenai cara-cara mengukur variabel-variabel.
Definisi operasional juga merupakan suatu informasi ilmiah yang sangat
membantu peneliti lain yamg akan menggunakan variabel yang sama
(Singarimbun, 1995: 46).
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1. Komunikasi Antar Pribadi Dosen Pembimbing Skripsi dan Mahasiswa
Bimbingan
a. Keterbukaan (Openness)
Keterbukaan dosen pembimbing dalam menerima mahasiswa tersebut
sebagai seseorang yang akan dibimbingnya, dan keterbukaan mahasiswa
menerima dosen sebagai pembimbingnya. Serta keterbukaan untuk saling
b. Empati
Sikap menerima atau tidak menerima dalam membentuk konsep diri yang
positif dan meningkatkan motivasi mahasiswa.
c. Dukungan (Supportiveness)
Perhatian dan kepercayaan dosen pembimbing terhadap mahasiswa
bimbingannya.
d. Rasa positif
Perasaan dan pikiran yang positif serta optimis akan kemampuan
mahasiswa bimbingannya baik IQ maupun EQ.
e. Kesamaan (Equality)
Memberi pengertian bahwa dosen pembimbing menerima mahasiswa
bimbingannya, dan sebaliknya.
2. Faktor pengaruh dan eksplorasi komunikasi antarpribadi
a. Uncertainty Reduction Theory
- ketidakpastian tinggi, mendorong komunikasi verbal
Ketidakpastian tinggi pada tahap masukan/ tahap perkenalan, mendorong
peningkatan komunikasi verbal antara dosen pembimbing dan mahasiswa.
Pada tahap awal interaksi komunikasi antarpribadi dalam bimbingan
skripsi, ketika ungkapan nonverbal meningkat maka tingkat ketidakpastian
menurun.
- ketidakpastian tinggi mendorong pencarian informasi rendah
Ketidakpastian yang tinggi pada mahasiswa terhadap dosen pembimbing
akan meningkatkan upaya untuk mencari informasi mengenai perilaku
dosen pembimbing.
- ketidakpastian tinggi,keintiman komunikasi rendah
Tingkat ketidakpastian yang tinggi dalam hubungan dosen pembimbing
skripsi dan mahasiswa menyebabkan turunnya tingkat keintiman isi
komunikasi.
- ketidakpastian tinggi, resiprositas tinggi
Semakin sedikit informasi yang diberikan oleh mahasiswa maka dosen
pembimbing akan melakukan hal yang serupa, dan sebaliknya.
- kesamaan mengurangi ketidakpastian
Kesamaan antara dosen pembimbing skripsi dan mahasiswa akan
mengurangi ketidakpastian.
- ketidakpastian tinggi, kesukaan rendah
Ketidakpastian yang meningkat antara dosen pembimbing skripsi dan
b. Communication Apprehension
- Parameter kecemasan berkomunikasi
1. Aspek fisik
Kecemasan berkomunikasi yang terlihat dari fisik individu seperti
denyut jantung atau wajah yang memerah karena malu
2. Aspek tingkah laku
Kecemasan berkomunikasi yang terlihat dari tingkah laku individu
seperti penghindaran dan perlindungan diri.
3. Aspek kognitif
Kecemasan berkomunikasi yang dapat dilihat dari kerangka berpikir
individu seperti terlalu fokus pada diri sendiri (self-focus) serta
timbulnya pemikiran negatif.
- Faktor-faktor yang meningkatkan kecemasan berkomunikasi
1. Derajat Evaluasi
Semakin tinggi mahasiswa merasa dirinya sedang dievaluasi, maka
kecemasan akan semakin meningkat.
2. Subordinate status
Saat mahasiswa merasa bahwa dosen pembimbing memiliki
tidak dapat mengejarnya, maka kecemasan berkomunikasi akan
semakin meningkat.
3. Degree of conspicuousness
Semakin mencolok seorang mahasiswa, maka kecemasan
berkomunikasi akan semakin tinggi.
4. Degree of unpredictability
Semakin banyak situasi tak terduga, maka semakin besar tingkat
kecemasan.
5. Degree of dissimilarity
Saat mahasiswa merasakan sedikit persamaan, maka akan terjadi
kecemasan berkomunikasi.
6. Prior success and failures
Keberhasilan atau kegagalan mahasiswa di satu situasi dalam
bimbingan skripsi akan berpengaruh terhadap respon mahasiswa pada
bimbingan selanjutnya.
7. Lack of communication skills and experience
Kurangnya kemampuan dan pengalaman mahasiswa akan
menyebabkan kecemasan berkomunikasi, terutama jika mahasiswa
BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1 Komunikasi Antarpribadi
II.1.1 Definisi dan Peranan Komunikasi Antarpribadi
Terdapat beberapa definisi komunikasi antarpribadi menurut beberapa
ahli, diantaranya adalah:
a. Menurut Joseph A.Devito dalam bukunya The Interpersonal Communication
Book (Devito, 1989:4), komunikasi antarpribadi adalah proses pengiriman dan
penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil
orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika (the process of
sending and receiving messages between two persons, or among a small group of
persons, with some effect and some immediate feedback).
b. Menurut Rogers dalam Depari, komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi
dari mulut ke mulut yang terjadi dalam interaksi tatap muka antara beberapa
pribadi.
c. Tan mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi tatap
muka antara dua orang atau lebih. (Liliweri, 1991: 12)
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang menimbulkan efek
tertentu sesuai dengan tujuan yang diharapkan oleh komunikator. Efek yang
1. Efek kognitif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang diketahui, dipahami,
dipersepsi oleh komunikan atau yang berkaitan dengan pikiran dan nalar/rasio.
Dengan kata lain, pesan yang disampaikan ditujukan kepada pikiran
komunikan.
2. Efek afektif, yaitu bila ada perubahan pada apa yang dirasakan atau yang
berhubungan dengan perasaan. Dengan kata lain, tujuan komunikator bukan
saja agar komunikan tahu tapi juga tergerak hatinya.
3. Efek konatif, yaitu perilaku yang nyata yang meliputi pola-pola tindakan,
kegiatan, kebiasaan, atau dapat juga dikatakan menimbulkan itikad baik untuk
berperilaku tertentu dalam arti kita melakukan suatu tindakan atau kegiatan
yang bersifat fisik (jasmaniah).
Dalam buku Komunikasi Antarpribadi, Alo Liliweri mengutip pendapat
Joseph A.Devito mengenai ciri komunikasi antarpribadi yang efektif, yaitu:
a. Keterbukaan (openness)
Kemauan menanggapi dengan senang hati informasi yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi. Kualitas keterbukaan mengacu pada tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Pertama, komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada komunikannya. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya. Memang ini mungkin menarik, tetapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebalikanya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut dan wajar.
Aspek ketiga menyangkut kepemilikan perasaan dan pikiran dimana komunikator mengakui bahwa perasaan dan pikiran yang diungkapkannya adalah miliknya dan ia bertanggung jawab atasnya.
b. Empati (empathy)
Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu. Berbeda dengan simpati yang artinya adalah merasakan bagi orang lain. Orang yang berempati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang sehingga dapat mengkomunikasikan empati, baik secara verbal maupun non-verbal.
c. Dukungan (supportiveness)
Situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi berlangsung efektif. Hubungan interpersonal yang efektif adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Individu memperlihatkan sikap mendukung dengan bersikap deskriptif bukan evaluatif, spontan bukan strategik.
d. Rasa Positif (positiveness)
Seseorang harus memiliki perasaan positif terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih aktif berpartisipasi, dan menciptakan situasi komunikasi kondusif untuk interaksi yang efektif.
e. Kesetaraan (equality)
Komunikasi antarpribadi akan lebih efektif bila suasananya setara. Artinya, ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Kesetaraan meminta kita untuk memberikan penghargaan positif tak bersyarat kepada individu lain.
(Liliweri, 1991: 13)
Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan suatu proses sosial
dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Proses
saling mempengaruhi ini merupakan suatu proses bersifat psikologis dan
karenanya juga merupakan permulaan dari ikatan psikologis antarmanusia yang
Dalam komunikasi antar pribadi, Joseph Luft menekankan bahwa setiap
orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya, maupun orang lain.
Hal ini digambarkan dalam Johari Window (Jendela Johari) yakni:
I
OPEN AREA
Known by ourselves and known by others
II
BLIND AREA
Known by others but not known by ourselves
III
HIDDEN AREA
Known by ourselves but not known by others
IV
UNKNOWN AREA
Not known by ourselves and not known by others
Berdasarkan konsep tersebut, tingkah laku manusia dapat digambarkan
secara skematis seperti terlihat pada skema di atas.
Bidang I, yakni Bidang Terbuka (Open Area) menunjukkan bahwa
kegiatan yang dilakukan oleh seseorang disadari sepenuhnya oleh yang
bersangkutan, juga oleh orang lain, yang berarti terdapat keterbukaan, dengan lain
perkataan tidak ada yang disembunyikan kepada orang lain.
Bidang II, yakni Bidang Buta (Blind Area) menggambarkan bahwa
kegiatan seseorang diketahui oleh orang lain, tetapi dirinya sendiri tidak
menyadari apa yang ia lakukan.
Bidang III, yakni Bidang Tersembunyi (Hidden Area) yaitu bahwa
dapat diketahui oleh orang lain. Ini berarti bahwa orang seperti itu bersikap
tertutup.
Bidang IV, adalah Bidang Tak Dikenal (Unknown Area). Bidang ini
menggambarkan bahwa tingkah laku seseorang tidak disadari oleh dirinya sendiri
dan tidak diketahui oleh orang lain. (Liliweri, 1991)
Berdasarkan definisi Devito, maka komunikasi antarpribadi adalah
komunikasi yang terjadi secara dialogis, dimana saat seorang komunikator
berbicara maka akan terjadi umpan balik dari komunikan sehingga terdapat
interaksi. Dalam komunikasi dialogis, baik komunikator maupun komunikan,
keduanya aktif dalam proses pertukaran informasi yang berlangsung dalam
interaksi.
II.1.2 Peranan, Ciri dan Sifat Komunikasi Antarpribadi
Johnson menunjukkan beberapa peranan yang disumbangkan oleh
komunikasi antarpribadi dalam rangka menciptakan kebahagiaan hidup manusia,
yakni:
1. Komunikasi antarpribadi membantu perkembangan intelektual dan sosial kita.
Perkembangan kita sejak masa bayi sampai masa dewasa mengikuti pola
semakin meluasnya ketergantungan kita pada orang lain. Diawali dengan
ketergantungan atau komunikasi yang intensif dengan ibu pada masa bayi,
lingkaran ketergantungan atau komunikasi itu menjadi semakin luas dengan
bertambahnya usia kita. Bersamaan proses itu, perkembangan intelektual dan
2. Identitas atau jati diri kita terbentuk dalam dan lewat komunikasi dengan orang
lain. Selama berkomunikasi dengan orang lain, secara sadar maupun tidak
sadar kita mengamati, memperhatikan dan mencatat dalam hati semua
tanggapan yang diberikan oleh orang lain terhadap diri kita. Kita menjadi tahu
bagaimana pandangan orang lain itu tentang diri kita. Berkat pertolongan
komunikasi dengan orang lain kita dapat menemukan diri, yaitu mengetahui
siapa diri kita sebenarnya.
3. Dalam rangka memahami realitas di sekeliling kita serta menguji kebenaran
kesan-kesan dan pengertian yang kita miliki tentang dunia di sekitar kita, kita
perlu membandingkannya dengan kesan-kesan dan pengertian orang lain dan
realitas yang sama. Tentu saja pembandingan sosial semacam itu hanya dapat
kita lakukan lewat komunikasi dengan orang lain.
4. Kesehatan mental kita sebagian besar juga ditentukan oleh kualitas komunikasi
atau hubungan kita dengan orang lain, terlebih orang-orang yang merupakan
tokoh-tokoh signifikan (significant figures) dalam hidup kita. Bila hubungan
kita dengan orang lain diliputi berbagai masalah, maka tentu kita akan
menderita, merasa sedih, cemas, frustrasi. Bila kemudian kita menarik diri dan
menghindar dari orang lain, maka rasa sepi dan terasing yang mungkin kita
alami pun tentu akan menimbulkan penderitaan, bukan hanya penderitaan
emosional atau batin, bahkan mungkin juga penderitaan fisik. (Supratiknya,
2003: 9-10)
Dari beberapa definisi komunikasi harus ditinjau manakah ciri-ciri yang
komunikasi yang lain. Reardon mengemukakan bahwa komunikasi antarpribadi
mempunyai paling sedikit enam ciri, yaitu:
1.Komunikasi antarpribadi dilaksanakan karena adanya berbagai faktor pendorong
2.Komunikasi antarpribadi berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak
disengaja
3.Komunikasi antarpribadi kerapkali berbalas-balasan
4.Komunikasi antarpribadi mensyaratkan adanya hubungan (paling sedikit dua
orang) antarpribadi
5.Komunikasi antarpribadi suasana hubungan harus bebas, bervariasi, dan adanya
keterpengaruhan
6.Komunikasi antarpribadi menggunakan berbagai lambang yang bermakna
Dari berbagai sumber di atas, maka Alo Liliweri menyimpulkan bahwa
komunikasi antarpribadi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Komunikasi antarpribadi biasanya terjadi secara spontan dan terjadi sambil lalu
saja
2. Komunikasi antarpribadi tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu
Kebanyakan komunikasi antarpribadi tidak mempunyai satu tujuan yang
diprogramkan terlebih dahulu, seperti pertemuan di ruang perpustakaan
kemudian merencanakan belajar bersama, saling mengajak makan bersama
telah dijanjikan dan mempunyai tujuan terlebih dahulu, namun konteksnya
berbeda dengan komunikasi kelompok.
3. Komunikasi antarpribadi terjadi secara kebetulan di antara peserta yang tidak
mempunyai identitas yang jelas.
4. Komunikasi antarpribadi mempunyai akibat yang disengaja maupun yang tidak
disengaja.
5. Komunikasi antarpribadi seringkali berlangsung berbalas-balasan
6. Komunikasi antarpribadi menghendaki paling sedikit melibatkan hubungan dua
orang dengan suasana yang bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan
7. Komunikasi antarpribadi tidak dikatakan sukses jika tidak membuahkan hasil
8. Komunikasi antarpribadi menggunakan lambang-lambang bermakna
(Liliweri, 1991: 13-19)
Komunikasi antarpribadi dari mereka yang saling mengenal lebih bermutu
karena setiap pihak mengetahui secara baik tentang lika-liku hidup pihak lain,
pikiran dan pengetahuannya, perasaannya, maupun menanggapi tingkah laku
seseorang. Mereka yang sudah saling mengenal secara mendalam memiliki
interaksi komunikasi yang lebih baik daripada yang belum mengenal.
Kesimpulannya bahwa jika hendak menciptakan suatu komunikasi antarpribadi
yang lebih bermutu maka harus didahului dengan suatu keakraban.
Bagaimanapun juga suatu batasan pengertian yang benar-benar baik
batasan arti sangat tergantung bagaimana kita melihat dan mengetahui
perilakunya. Dengan kata lain tidak semua bentuk interaksi yang dilakukan antara
dua orang dapat digolongkan komunikasi antarpribadi. Ada tahap-tahap tertentu
dalam interaksi antara dua orang haruslah terlewati untuk menentukan komunikasi
antarpribadi benar-benar dimulai.
Ada tujuh sifat yang menunjukkan bahwa suatu komunikasi antara dua
orang merupakan komunikasi antarpribadi. Sifat-sifat komunikasi antarpribadi itu
adalah:
1. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya perilaku verbal dan nonverbal
2. Komunikasi antarpribadi melibatkan pernyataan atau ungkapan yang spontan
3. Komunikasi antarpribadi tidaklah statis melainkan dinamis
4. Komunikasi antarpribadi melibatkan umpan balik pribadi, hubungan interaksi
dan koherensi (pernyataan yang satu harus berkaitan dengan yang lain
sebelumnya)
5. Komunikasi antarpribadi dipandu oleh tata aturan yang bersifat intrinsik dan
ekstrinsik
6. Komunikasi antarpribadi merupakan suatu kegiatan dan tindakan
7. Komunikasi antarpribadi melibatkan di dalamnya bidang persuasif (Liliweri,
II.1.3 Fungsi dan Keampuhan Komunikasi Antarpribadi
Dibandingkan dengan bentuk-bentuk komunikasi lainnya, komunikasi
antarpribadi dinilai paling ampuh dalam kegiatan mengubah sikap, kepercayaan,
opini, dan perilaku komunikan. Alasannya adalah komunikasi antarpribadi
umumnya berlangsung secara tatap muka (face-to-face). Oleh karena itu individu
(komunikator) dengan individu (komunikan) saling bertatap muka, maka
terjadilah kontak pribadi (personal contact); pribadi komunikator menyentuh
pribadi komunikan. Ketika komunikator menyampaikan pesan, umpan balik
berlangsung seketika (immediate feedback); komunikator mengetahui pada saat
itu tanggapan komunikan terhadap pesan, ekspresi wajah, dan gaya bicara
komunikator. Apabila umpan baliknya positif, artinya tanggapan komunikan
menyenangkan komunikator, sehingga komunikator mempertahankan gaya
komunikasinya; sebaliknya jika tanggapan komunikan negatif, komunikator harus
mengubah gaya komunikasinya sampai berhasil.
Oleh karena keampuhan dalam mengubah sikap, kepercayaan, opini, dan
perilaku komunikan itulah maka bentuk komunikasi antarpribadi acapkali
dipergunakan untuk melancarkan komunikasi persuasif (persuasive
communication) yakni suatu teknik komunikasi secara psikologis manusiawi yang
sifatnya halus, luwes berupa ajakan, bujukan atau rayuan. (Effendy, 2003:61)
Adapun fungsi komunikasi antarpribadi ialah berusaha meningkatkan
hubungan insan (human relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik
pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan
berusaha membina hubungan yang baik dengan individu lainnya, sehingga
menghindari dan mengatasi terjadinya konflik-konflik di antara individu-individu
tersebut. (Cangara, 2005:56)
II.1.4 Konsepsi Diri dalam Komunikasi Antarpribadi
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan individu tentang dirinya.
Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri
yang positif, ditandai dengan lima hal, yaitu: yakin akan kemampuan mengatasi
masalah; merasa setara dengan orang lain; menerima pujian tanpa rasa
malu; menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan
dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh masyarakat; mampu
memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian
yang tidak disenanginya dan berusaha mengubah. Konsep diri merupakan faktor
yang sangat menentukan dalam komunikasi antarpribadi, yaitu:
a. Nubuat yang dipenuhi sendiri. Karena setiap orang bertingkah laku sedapat
mungkin sesuai dengan konsep dirinya. Bila seseorang mahasiswa menganggap
dirinya sebagai orang yang rajin, ia akan berusaha menghadiri kuliah secara
teratur, membuat catatan yang baik, mempelajari materi kuliah dengan
sungguh-sungguh, sehingga memperoleh nilai akademis yang baik.
b. Membuka diri. Pengetahuan tentang diri kita akan meningkatkan komunikasi,
dan pada saat yang sama, berkomunikasi dengan orang lain meningkatkan
pengetahuan tentang diri kita. Dengan membuka diri, konsep diri menjadi dekat
pada kenyataan. Bila konsep diri sesuai dengan pengalaman kita, kita akan
c. Percaya diri (self confidence). Keinginan untuk menutup diri, selain karena
konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada
kemampuan sendiri. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung sedapat
mungkin menghindari situasi komunikasi. Ketakutan untuk melakukan
komunikasi dikenal sebagai communication apprehension. Orang yang
aprehensif dalam komunikasi disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri.
Tentu tidak semua aprehensi komunikasi disebabkan kurangnya percaya diri;
tetapi di antara berbagai faktor, percaya diri adalah yang paling menentukan.
Untuk meningkatkan percaya diri, menumbuhkan konsep diri yang sehat
menjadi perlu seperti yang dikatakan Maxwell Maltz, seorang tokoh
Psikosibernetik, ”Believe in yourself and you’ll succeed”
d. Selektivitas. Konsep diri mempengaruhi perilaku komunikasi kita karena
konsep diri mempengaruhi kepada pesan apa kita bersedia membuka diri
(terpaan selektif), bagaimana kita mempersepsi pesan (persepsi selektif), dan
apa yang kita ingat (ingatan selektif). (Rakhmat, 2005: 104-109)
II.1.5 Persepsi Interpersonal
Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli indrawi (sensory stimuli).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi interpersonal,
antara lain:
1. Faktor Situasional
a. Deskripsi Verbal
Deskripsi individu secara verbal mengenai sifat individu lainnya ditentukan
dari rangkaian katanya. Sifat individu yang pertama kali diucapkan
komunikator akan mengarahkan penilaian komunikan selanjutnya.
b. Petunjuk Proksemik
Proksemik adalah studi tentang penggunaan jarak dalam menyampaikan
pesan. Jarak yang dibuat individu dalam hubungannya dengan orang lain
menunjukkan tingkat keakraban di antara mereka. Individu cenderung
mempersepsi orang lain dengan melihat jarak mereka saat berkomunikasi
dengan dirinya.
c. Petunjuk Kinesik
Persepsi yang dipengaruhi oleh gerakan orang lain. Terdapat beberapa
ungkapan yang mencerminkan persepsi kita tentang orang lain dari gerakan
tubuhnya, antara lain: membusungkan dada (sombong), menundukkan
kepala (merendah), berdiri tegak (berani), bertopang dagu (sedih),
menadahkan tangan (bersedih).
Petunjuk wajah menimbulkan persepsi yang dapat diandalkan. Di antara
berbagai petunjuk nonverbal, petunjuk wajah adalah yang paling pentig
dalam mengenali perasaan persona stimuli.
e. Petunjuk Paralinguistik
Paralinguistik adalah cara bagaimana individu mengucapkan
lambang-lambang verbal. Jika petunjuk verbal menunjukkan apa yang diucapkan,
petunjuk paralinguistik mencerminkan bagaimana mengucapkannya seperti
tinggi-rendahnya suara, tempo bicara, gaya verbal (dialek), dan interaksi
(perilaku ketika melakukan komunikasi).
f. Petunjuk Artifaktual
Petunjuk artifaktual meliputi segala macam penampilan (appearance) sejak
potongan tubuh, kosmetik yang dipakai, baju, pangkat, badge, dan
atribut-atribut lainnya. Bila kita mengetahui bahwa seseorang memiliki satu sifat
(misalnya, cantik atau jelek), kita beranggapan bahwa ia memiliki sifat-sifat
tertentu (misalnya,periang atau penyedih); ini disebut halo effect. Bila kita
sudah menyenangi seseorang, maka kita cenderung melihat sifat-sifat baik
pada orang itu dan sebaliknya.
2. Faktor Personal yakni faktor yang berasal dari individu-individu pelaku
komunikasi, antara lain:
a. Pengalaman
rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. Inilah yang menyebabkan
seorang ibu segera melihat hal yang tidak beres pada wajah anaknya atau
pada petunjuk kinesik lainnya. Ibu lebih berpengalaman mempersepsi
anaknya daripada bapak. Ini juga sebabnya mengapa kita lebih sukar
berdusta di depan orang yang paling dekat dengan kita.
b. Motivasi
Proses konstruktif yang banyak mewarnai persepsi interpersonal juga sangat
banyak melibatkan unsur-unsur motivasi.
c. Kepribadian
Dalam psikoanalisis dikenal proyeksi, sebagai salah satu cara pertahanan
ego. Proyeksi adalah mengeksternalisasikan pengalaman subjektif secara
tidak sadar. Orang melempar perasaan bersalahnya pada orang lain. Maling
teriak maling adalah contoh tipikal dari proyeksi. Pada persepsi
interpersonal, orang mengenakan pada orang lain sifat-sifat yang ada pada
dirinya, yang tidak disenanginya. Sudah jelas, orang yang banyak
melakukan proyeksi akan tidak cermat menanggapi persona stimuli, bahkan
mengaburkan gambaran sebenarnya. Sebaliknya, orang yang menerima
dirinya apa adanya, orang yang tidak dibebani perasaan bersalah, cenderung
menafsirkan orang lain lebih cermat. Begitu pula orang yang tenang, mudah
II.2 COMMUNICATION APPREHENSION
II.2.1 Ciri Communication Apprehension
Istilah communication apprehension (rasa malu, keengganan berkomunikasi, ketakutan berbicara di depan umum, dan sikap pendiam) merujuk
pada perasaan takut atau kecemasan dalam interaksi komunikasi. Individu tersebut
akan mengembangkan perasaan-perasaan negatif dan memprediksikan hal-hal
negatif saat terlibat dalam interaksi komunikasi. Individu merasa takut melakukan
kesalahan dan akan dipermalukan. Individu tersebut akan merasa keuntungan
apapun yang bertambah dari keterlibatan berkomunikasi akan sebanding dengan
rasa takut. Individu yang memiliki ketakutan komunikasi yang tinggi, interaksi
komunikasi tidak akan sebanding dengan rasa takut yang timbul. (DeVito,
2001:80)
Terdapat tiga kategori sifat komunikator yang paling menarik dan paling
sering dibahas dalam literatur komunikasi yaitu : sifat mementingkan diri sendiri,
sifat berdebat, dan sifat cemas. (Morissan, 2010:7-9)
a. Sifat mementingkan diri sendiri
Dalam literatur psikologi terdapat istilah conversational narcissism untuk
menggambarkan sifat komunikator yang cenderung mementingkan diri sendiri.
Narcisism berarti mencintai diri sendiri (self-love). Istilah ini dikemukakan
oleh Anita Vengelisti dan rekan yang mengartikannya sebagai the tendency to
be self-absorbed in conversation (kecenderungan untuk menjadikan diri
cenderung untuk mengajak lawan bicaranya untuk membahas mengenai dirinya
sendiri. Sifat mementingkan diri sendiri merupakan sifat yang dimiliki
seseorang yang menginginkan orang lain membicarakan dirinya. Komunikator
dengan sifat ini cenderung untuk menonjolkan dirinya sebagai pihak yang
paling penting. Ia cenderung untuk mengontrol arah percakapan serta
menginginkan orang lain membahas mengenai dirinya. Mereka juga cenderung
tidak sensitif atau tidak responsif terhadap epentingan pihak lain.
b. Sifat berdebat
Komunikator memiliki sifat suka berdebat (argumentativeness) jika ia memiliki
kecenderungan untuk suka melibatkan diri dalam percakapan yang membahas
topik kontroversial. Komunikator dengan sifat ini cenderung bersifat tegas
dalam mengemukakan pandangannya terhadap suatu hal. Ia akan menyatakan
dukungannya terhadap pandangan yang dianggapnya benar dan sebaliknya ia
akan mengkritik pandangan yang tidak sesuai. Dominick Infante melakukan
penelitian mengenai sifat komunikator yang argumentatif ini. Menurutnya sifat
komunikator yang argumentatif memberikan kontribusi positif karena sifat ini
dapat mendorong komunikator dan lawan bicaranya untuk saling belajar,
membantu melihat pandangan pihak lain, meningkatkan kredibilitas, serta
memperbaiki kemampuan berkomunikasi. Komunikator yang argumentatif
cenderung memiliki sikap percaya diri dan tegas. Namun demikian, tidak
semua orang percaya diri memiliki sifat argumentatif. Dengan kata lain, orang
perlu memiliki percaya diri untuk dapat mengemukakan pandangannya. Namun
demikian, sangatlah mungkin orang tetap memiliki percaya diri tanpa harus
yang argumentatif juga memiliki aspek negatif jika komunikator mengucapkan
kata-kata yang agresif dan sikap permusuhan.
c. Sifat Cemas
Sebagian orang pernah merasa gugup atau cemas ketika berkomunikasi.
Banyak penelitian telah dilakukan terkait dengan masalah kecemasan dalam
berkomunikasi. Penelitian yang paling populer adalah yang dilakukan oleh
James McCroskey, yang menyatakan bahwa pada dasarnya setiap orang pernah
mengalami kecemasan berkomunikasi. Namun ada kalanya kecemasan itu
bersifat berlebihan sehingga menjadi tidak normal.
Kecemasan berkomunikasi yang tinggi merupakan kecenderungan untuk
mengalami kecemasan dalam waktu yang relatif lama dan dalam berbagai situasi
yang berbeda. Dalam hal ini seseorang menderita karena merasa sangat cemas
ketika ia harus berkomunikasi sehingga ia ingin bahkan akan menghindari
berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini menyebabkan orang bersangkutan tidak
dapat bersosialisasi dalam masyarakat.
Kecemasan berkomunikasi merupakan bagian dari konsep yang lebih
besar dalam konsep-konsep psikologi seperti: penghindaran sosial (social
avoidance), kecemasan sosial (social anxiety), kecemasan interaksi (interaction
anxiety), dan sifat malu (shyness) yang secara umum disebut dengan kecemasan
Joseph A. DeVito dalam bukunya The Interpersonal Communication Book
(DeVito, 2001: 80) menuliskan kecemasan berkomunikasi dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu:
1. Kecemasan berkomunikasi yang muncul dalam diri seseorang (trait
apprehension). Keadaan cemas ini muncul tanpa memperhatikan situasi khusus.
Ketakutan muncul dalam situasi komunikasi diadik, kelompok kecil, berbicara di
depan umum, maupun komunikasi massa.
2. Kecemasan yang timbul karena situasi sosial yang menyebabkan seseorang
tidak mampu menyampaikan pesannya secara jelas (state apprehension). Keadaan
takut, akan terlihat jelas, khusus untuk situasi komunikasi tertentu. Devito
mencontohkan individu yang mungkin takut saat berbicara di depan umum tetapi
tidak saat komunikasi diadik, atau individu yang merasakan kecemasan
berkomunikasi saat proses wawancara namun tidak ada kecemasan saat berbicara
di depan umum. Kecemasan yang timbul karena situasi sosial ini sangatlah umum;
keadaan ini dialami banyak orang saat berada dalam situasi tertentu.
II.2.2 PERILAKU CEMAS
Kecemasan dapat menyebabkan penurunan frekuensi , kekuatan, dan
ketertarikan dalam interaksi komunikasi pada individu sehingga individu memiliki
keengganan dalam berkomunikasi. Kecemasan yang tinggi menghindari situasi
komunikasi; namun saat individu didorong untuk berpartisipasi, individu tersbut
akan berkomunikasi sesedikit mungkin. Individu-individu yang mengalami
kecemasan yang tinggi akan merasa kurang puas dengan pekerjaan mereka,
interpersonal. Semua perilaku ini tidak mengartikan bahwa kecemasan terjadi
pada orang yang tidak bahagia. Kebanyakan individu yang cemas telah belajar
atau dapat belajar untuk menangani kecemasan berkomunikasi mereka. (DeVito,
2001:80)
Burgoon (dalam Infante et. al, 1990:146) dalam penelitiannya menemukan
beberapa aspek yang memberi kontribusi terhadap munculnya ketidakinginan
individu untuk berkomunikasi dengan orang lain, yaitu:
1. Alienasi sosial, persoalan ini terjadi ketika seseorang tidak mampu mengadopsi
nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan. Individu tersebut dalam
kesehariannya masih mengembangkan perasaan gelisah (insecurity), isolasi,
dan perasaan tidak mempunyai kekuasaan (powerlessness).
2. Introversi. Apa yang dimaksud sebagai introversi merupakan aspek lain yang
memberi kontribusi terhadap ketidakinginan seseorang untuk berkomunikasi
dengan orang lain, karena orang yang mempunyai sifat tertutup (introvert)
tidak menempatkan komunikasi sebagai medium interaksi yang penting; dan
karenanya komunikasi tidak cukup dibutuhkan oleh individu yang
berkepribadian tertutup.
3. Harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan satu bagian dari sindrom
ketidakinginan untuk berkomunikasi, karena individu yang mempunyai harga
diri yang rendah akan merasa khawatir orang lain memberi reaksi negatif
kepadanya. Akibatnya, ia kurang termotivasi untuk berkomunikasi karena ia
Menurut Patterson dan Ritts kecemasan sosial dan komunikasi memiliki
parameter seperti:
1.aspek fisik seperti denyut jantung atau wajah yang memerah karena malu
2.aspek tingkah laku, seperti penghindaran dan perlindungan diri
3.aspek kognitif, seperti terlalu fokus pada diri sendiri (self-focus) serta timbulnya
pemikiran negatif.
Dari ketiga parameter tersebut maka aspek kognitif dinilai sebagai yang
paling dominan. Hal ini berarti kecemasan sosial dan komunikasi sebagian besar
berkenaan dengan bagaimana cara kita berpikir mengenai diri kita terkait dengan
situasi komunikasi yang tengah dihadapi. (Morissan, 2010:9)
II.2.3 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KECEMASAN BERKOMUNIKASI
Penelitian telah mengidentifikasi beberapa faktor yang meningkatkan
kecemasan dalam berkomunikasi. Faktor-faktor ini dapat membantu untuk
meningkatkan pemahaman dalam mengendalikan kecemasan berkomunikasi kita,
antara lain:
a. Derajat Evaluasi
Semakin tinggi individu merasa dirinya sedang dievaluasi, maka kecemasan akan
semakin meningkat.
Saat individu merasa bahwa orang lain memiliki kemampuan komunikasi yang
lebih baik atau pengetahuan yang jauh lebih luas darinya, maka kecemasan
berkomunikasi akan semakin meningkat.
c. Degree of conspicuousness
Semakin menonjol seorang individu, maka kecemasan berkomunikasi akan
semakin tinggi. Inilah alasan mengapa orang yang berpidato di antara khalayak
ramai, akan lebih cemas dibandingkan mereka yang berbicara dalam sebuah
kelompok kecil.
d. Degree of unpredictability
Semakin banyak situasi tak terduga, maka semakin besar tingkat kecemasan.
e. Degree of dissimilarity
Saat individu merasakan sedikit persamaan dengan teman bicaranya, maka
individu tersebut akan merasakan kecemasan berkomunikasi.
f. Prior success and failures
Keberhasilan atau kegagalan individu di satu situasi dalam bimbingan skripsi akan
berpengaruh terhadap respon individu pada situasi berikutnya.
g. Lack of communication skills and experience
Kurangnya kemampuan dan pengalaman mahasiswa akan menyebabkan
kecemasan berkomunikasi, terutama jika mahasiswa tidak berusaha untuk
II.3 TEORI PENGURANGAN KETIDAKPASTIAN (UNCERTAINTY REDUCTION THEORY)
II.3.1 Ketidakpastian Komunikasi
Ketika kita bertemu dan terlibat dalam percakapan dengan orang yang
belum kita kenal maka biasanya banyak pertanyaan yang muncul di kepala kita
mengenai orang tersebut, dan kita tidak memiliki jawaban pasti atas berbagai
pertanyaan tersebut. Kita mengalami ketidakpastian, dan karenanya kita mencoba
untuk mengurangi ketidakpastian tersebut melalui interaksi komunikasi.
Menurut Berger, orang mengalami periode yang sulit ketika menerima
ketidakpastian sehingga orang cenderung membuat perkiraan terhadap perilaku
orang lain, dan karenanya ia akan termotivasi untuk mencari informasi mengenai
orang lain itu. Upaya untuk mengurangi ketidakpastian merupakan salah satu
dimensi penting dalam upaya membangun hubungan (relationship) dengan orang
lain.
Ketika kita berkomunikasi, menurut Berger, kita membuat rencana untuk
mencapai tujuan kita. Kita merumuskan rencana bagi komunikasi yang akan kita
lakukan dengan orang lain berdasarkan tujuan dan informasi yang telah kita
miliki. Semakin besar ketidakpastian maka kita akan semakin berhati-hati, kita
akan semakin mengandalkan data yang kita miliki. Jika ketidakpastian itu semakin
lakukan. Pada saat kita merasa sangat tidak pasti mengenai orang lain maka kita
mulai mengalami krisis kepercayaan terhadap rencana kita sendiri dan kita mulai
membuat berbagai rencana cadangan atau rencana alternatif lainnya dalam hal kita
memberikan respon pada orang lain. (Morrisan, 2010: 87-89)
Daya tarik dan keinginan berafiliasi yang ada pada diri individu memiliki
hubungan positif dengan upaya mengurangi ketidakpastian. Misalnya, ungkapan
nonverbal seseorang dapat mengurangi ketidakpastian orang lain, dan
pengurangan ketidakpastian dapat meningkatkan ungkapan nonverbal. Tingkat
ketidakpastian yang tinggi akan menciptakan jarak, sebaliknya ketidakpastian
yang rendah akan cenderung bersifat menyatukan. Ketika komunikator
menemukan kesamaan dengan lawan bicaranya, maka ketertarikan di antara
mereka akan meningkat dan kebutuhan mereka untuk mendapatkan lebih banyak
informasi justru berkurang.
Seringkali, perilaku orang lain dapat mengurangi ketidakpastian yang kita
rasakan, dan kita tidak merasakan kebutuhan untuk mendapatkan informasi
tambahan. Hal ini khususnya benar dalam hal keterlibatan kita terbatas hanya
pada situasi tertentu dan kia sudah memiliki seluruh informasi yang dibutuhkan
untuk memahami perilaku orang lain pada situasi itu. Namun pada situasi yang
berbeda, kita merasakan kebutuhan yang semakin besar untuk mendapatkan lebih
banyak informasi mengenai orang bersangkutan, misalnya, situasi yang
menunjukkan orang lain itu memiliki perilaku yang tidak normal, adanya harapan
kita akan bertemu lagi dengan orang lain itu pada waktu yang akan datang, atau