• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISA KEANEKARAGAMAN JENIS POHON

HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN SECANGGANG,

KABUPATEN LANGKAT, PROPINSI SUMATERA UTARA

ARI AZHARI HARAHAP 041202029

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

ANALISA KEANEKARAGAMAN JENIS POHON

HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN SECANGGANG,

KABUPATEN LANGKAT, PROPINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh :

ARI AZHARI HARAHAP 041202029

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(3)

ANALISIS KEANEKARAGAMAN JENIS POHON

HUTAN MANGROVE DI KECAMATAN SECANGGANG,

KABUPATEN LANGKAT, PROPINSI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

Oleh:

ARI AZHARI HARAHAP 041202029/ BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

DEPARTEMEN KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

(4)

Onrizal, S. Hut, M. Si Ketua

Pindi Patana, S.Hut, M.Sc Anggota

Judul Skripsi : Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Provinsi Sumatera Utara

Nama : Ari Azhari Harahap NIM : 041202029

Departemen : Kehutanan Program Studi : Budidaya Hutan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Mengetahui,

Ketua Departemen Kehutanan Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S.

(5)

ABSTRACT

ARI AZHARI HARAHAP, ANALISIS OF MANGROVE PLANT DIVERSITY AT SECANGGANG SUBDISTRICT LANGKAT DISTRICT, NORTH SUMATERA PROVINCE. Under supervision of ONRIZAL and PINDI PATANA

The research was conducted during August 2009 at the mangrove forest area in Secanggang Sub-District, Langkat District, North Sumatra Province. The purpose of this study was to examine the vegetation structure and diversity of mangrove plant species and to estimate the carbon stocks of mangrove forests at the research site. The 12 sample plots of each size 30 x 30 m were established to indentify and measure the density of all vegetation. The allometric equation was used to estimate the carbon stock for all trees 5 cm at diameter at breast height (DBH) and above. The result, show that mangrove vegetations was found 14 mangrove spesies and dominated by Avicenia alba, Rhizophora apiculata and Xylocarpus granatum. The diversities mangroves at district Secanggang (Hs’) regency are still low is 1.86.

(6)

ABSTRAK

ARI AZHARI HARAHAP, ANALISA KEANEKARAGAMAN JENIS POHON MANGROVE DI KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT, PROPINSI SUMATERA UTARA. Di bawah bimbingan ONRIZAL dan PINDI PATANA

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di kawasan hutan mangrove Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur keanekaragaman jenis, dan struktur vegetasi hutan mangrove dan untuk menduga cadangan karbon pada hutan mangrove. di lokasi studi. Sebanyak 12 plot contoh yang masing-masing berukuran 30 x 30 m telah dibuat untuk mengidentifikasi dan mengukur kerapatan vegetasi. Pendugaan simpanan karbon dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik yang sudah tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove di Kecamatan Secanggang 14 jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah Avicenia alba, Rhizophora apiculata and Xylocarpus granatum. Keanekargaman jenis mangrove yang terdapat di kecamatan Secanggang (Hs’) termasuk rendah yakni 1,86.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Ari Azahari Harahap dilahirkan di Padang Sidempuan, Sumatera Utara pada

tanggal 15 April 1986, anak pertama dari empat bersaudara dari Ayahanda Lagut Harahap dan Ibunda Amnah Lubis.

Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 1042202 Pematang Siantar, pada tahun 2001 lulus dari SLTP Negeri 2 Pematang Siantar, pada tahun 2004 lulus dari SMU Negeri 4 Pematang Siantar, dan

pada tahun yang sama penulis diterima kuliah di Universitas Sumatera Utara, Fakultas Pertanian, Departeman Kehutanan, Program Studi Budidaya Hutan.

Selain di dunia perkuliahan kampus, penulis juga ikut bergabung dalam organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Sylva (HIMAS) pada tahun 2005 sampai dengan sekarang. Penulis juga aktif kegiatan di luar kampus seperti

mengikuti kegiatan ekstakulikuler dan pelatihan-pelatihan untuk menunjang dispilin ilmu di kampus. Penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan

Pengelolaan Hutan (P3H) di Taman Nasional Batang Gadis, Mandailing Natal pada bulan Juni 2006, dan melasanakan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di HTI PT. Sumatera Riang Lestari Kabupaten Rokan Hilir, Riau pada bulan Juni sampai

Agustus 2008. Kemudian pada bulan Februari sampai April penulis melakukan penelitian dengan judul “Analisis Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karunia dan

nikmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisa Keanekaragaman Jenis Pohon Hutan Mangrove Di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Skripsi ini dibuat

adalah untuk melengkapi persyaratan kesiapan melakukan penelitian dalam rangka penyelesaian tugas akhir kuliah.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Onrizal S. Hut, M. Si. dan Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku pembimbing atas ilmu, arahan dan saran yang diberikan. Terima kasih juga kepada Bapak Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS

selaku ketua Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Semoga karya ini bermanfaat bagi manusia dan kehidupan serta

perkembangan ilmu pengetahuan. Kepada Allah swt, penulis mohon ampunan dan berharap keridhoan-Nya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Ayahanda

Lagut Harahap dan Ibunda Amnah Lubis atas semua doa dan dukungannya kepada penulis, serta teman-teman yang membantu dalam menyelesaikan penelitian dan

penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRACT... i

ABSTRAK ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Hutan Mangrove ... 4

Ciri Ciri Ekosistem Hutan Mangrove ... 4

Vegetasi Hutan Mangrove ... 6

Zonasi Hutan Mangrove ... 7

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove ... 9

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove ... 16

METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 17

Letak Goegrafis ... 17

Toporafi dan Ketinggian Tempat ... 17

Iklim ... 18

Bahan dan Alat Penelitian ... 19

Prosedur Penelitian ... 19

Analisa Vegetasi ... 19

Pegambilan Data Suhu Dan Salinitas ... 21

(10)

Metode Analisis Data ... 21

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dan Pembahasan ... 25

Struktur Vegetasi ... 25

Komposisi Jenis ... 27

Keanekaragaman Jenis ... 29

Salinitas dan Suhu ... 32

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Blok contoh dan penempatan petak contoh ... 20

2. Grafik keanekaragaman indeks diversias Shannon ... 29

3. Grafik keanekaragama indeks diversias Simpson-Wienner ... 29

4. Grafik histogram nilai suhu dan kelempahan di masing masing plot ... 32

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Jenis mangrove dan sebarannya menurut tingkat pertumbuhan yang di jumpai di

Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. ... ...26 2. INP pohon jenis vegetasi mangrove pada setiap tingkat pertumbuhan di Kecamatan

Secanggang, Kabupaten Langkat. ... ...28 3. Keragaman jenis pada masing-masing tingkat pertumbuhan jenis yang dijumpai di

(13)

ABSTRACT

ARI AZHARI HARAHAP, ANALISIS OF MANGROVE PLANT DIVERSITY AT SECANGGANG SUBDISTRICT LANGKAT DISTRICT, NORTH SUMATERA PROVINCE. Under supervision of ONRIZAL and PINDI PATANA

The research was conducted during August 2009 at the mangrove forest area in Secanggang Sub-District, Langkat District, North Sumatra Province. The purpose of this study was to examine the vegetation structure and diversity of mangrove plant species and to estimate the carbon stocks of mangrove forests at the research site. The 12 sample plots of each size 30 x 30 m were established to indentify and measure the density of all vegetation. The allometric equation was used to estimate the carbon stock for all trees 5 cm at diameter at breast height (DBH) and above. The result, show that mangrove vegetations was found 14 mangrove spesies and dominated by Avicenia alba, Rhizophora apiculata and Xylocarpus granatum. The diversities mangroves at district Secanggang (Hs’) regency are still low is 1.86.

(14)

ABSTRAK

ARI AZHARI HARAHAP, ANALISA KEANEKARAGAMAN JENIS POHON MANGROVE DI KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT, PROPINSI SUMATERA UTARA. Di bawah bimbingan ONRIZAL dan PINDI PATANA

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 di kawasan hutan mangrove Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur keanekaragaman jenis, dan struktur vegetasi hutan mangrove dan untuk menduga cadangan karbon pada hutan mangrove. di lokasi studi. Sebanyak 12 plot contoh yang masing-masing berukuran 30 x 30 m telah dibuat untuk mengidentifikasi dan mengukur kerapatan vegetasi. Pendugaan simpanan karbon dilakukan dengan menggunakan persamaan alometrik yang sudah tersedia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hutan mangrove di Kecamatan Secanggang 14 jenis vegetasi mangrove yang mendominasi adalah Avicenia alba, Rhizophora apiculata and Xylocarpus granatum. Keanekargaman jenis mangrove yang terdapat di kecamatan Secanggang (Hs’) termasuk rendah yakni 1,86.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai diperkirakan lebih dari 81.000 km (Sugiarto,

1984 dalam Onrizal, 2005). Hampir 75 % hutan mangrove biasanya hidup antara 350 LU dan 350 LS dimana suhu relatif konstan (McGill, 1958 dalam Supriharyono,

2000). Uniknya tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut, pantai berlumpur dan lingkungan anaerob. Secara umum ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memiliki intensitas relasi yang tinggi

dengan masyarakat mengingat hutan mangrove mudah di jangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup terbuka/berkembang. Selain itu potensi

ekomoni mangrove cukup tinggi yang didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong kerusakan laju ekosistem mangrove umumnya berlangsung cepat (LPPM, 2005).

Kerusakan ekosistem mangrove akibat terjadinya penebangan hutan mangrove secara besar-besaran untuk dikonversikan menjadi beberapa bentuk

pemanfaatan secara ekonomi misalnya usaha pertambakan, pertanian, perindustrian, pemukiman, pariwisata, pertambangan dan penangkapan ikan. Fakta ini merupakan kondisi umum di kawasan pesisir Sumatera Utara. Usaha pertambakan dapat

menyebabkan terputusnya siklus hidup sumberdaya ikan dan udang di sekitarnya. Berkurangnya ikan dan udang di daerah ini berarti mengurangi pendapatan

(16)

hutan mangrove, atau setidaknya menebang kayu tersebut menjadi aktivitas alternatif pada saat musim tidak melaut (Yayasan Mangrove, 1993).

Kekawatiran terus manurunnya kondisi hutan mangrove juga terjadi pada hutan mangrove di daerah pesisir pantai Pulau Sumatera, termasuk di pesisir pantai

Kabupaten Langkat. Fenomena ini, jelas akan mengakibatkan kerusakan kualitas dan kuantitas potensi sumberdaya ekosistem pesisir, di mana hutan mangrove itu berada serta menurunnya, bahkan hilangnya fungsi lindung lingkungan dari hutan

mangrove tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembalikan fungsi dan manfaat hutan mangrove yang rusak harus dilakukan kegiatan rehabilitasi dengan terlebih

dahulu mengetahui kondisi kerusakannya.

Hutan mangrove Kecamatan Secanggang merupakan salah satu kawasan hutan register (Balai Besar Konservasi Sumberdaya Alam Sumut, 2008) yang

terdapat di Wilayah Kabupaten Langkat Sumatera Utara. Kawasan ini merupakan salah satu kawasan mangrove yang penting, sehingga kegiatan penghitungan

keanekaragaman jenis-jenis vegetasi merupakan salah satu faktor terpenting dalam merehabilitasi kerusakan lahan mangrove di kawasan tersebut. Ekosistem hutan mangrove ini layak dipertahankan sebagai bagian dari kawasan hutan lindung,

karena selain mendominasi ekosistem secara keseluruhan juga memiliki kemanfaatan dari segi pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya. Disamping itu sebagai sumber plasma nutfah untuk mata pencarian masyarakat nelayan yang ada di sekitarnya seperti ikan, udang, kepiting dan sebagainya.

(17)

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur struktur dan keanekaragaman hutan mangrove di Kecamatan Secanggang.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah di harapkan dapat mengetahui

kondisi hutan mangrove pada keanekaragaman jenis pohon, struktur vegetasi, komposisi jenis pada hutan mangrove di kawasan administrasi pesisir Kabupaten

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Hutan Mangrove

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu

komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 2000). Hutan

mangrove oleh masyarakat sering disebut pula dengan hutan bakau atau hutan payau. Namun menurut Rochana (2006) penyebutan mangrove sebagai bakau nampaknya kurang tepat karena bakau merupakan salah satu nama kelompok jenis

tumbuhan yang ada di mangrove.

Hutan mangrove merupakan formasi hutan yang tumbuh dan berkembang

pada daerah landai di muara sungai dan pesisir pantai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena kawasan hutan mangrove secara rutin digenangi oleh pasang air laut, maka lingkungan (tanah dan air) hutan mangrove bersifat salin dan

tanahnya jenuh air. Vegetasi yang hidup di lingkungan salin, baik lingkungan tersebut kering maupun basah, disebut halopita (Onrizal, 2005).

Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove

Ekosistem hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis, namun labil.

Dikatakan kompleks karena ekosistemnya di samping dipenuhi oleh vegetasi mangrove, juga merupakan habitat berbagai satwa dan biota perairan. Jenis tanah

yang berada di bawahnya termasuk tanah perkembangan muda (saline young soil) yang mempunyai kandungan liat yang tinggi dengan nilai kejenuhan basa dan kapasitas tukar kation yang tinggi. Kandungan bahan organik, total nitrogen, dan

(19)

bagian arah daratan (Kusmana, 2002). Bersifat dinamis karena hutan mangrove dapat tumbuh dan berkembang terus serta mengalami suksesi sesuai dengan perubahan tempat tumbuh alaminya. Dikatakan labil karena mudah sekali rusak dan

sulit untuk pulih kembali seperti sediakala.

Dari sudut ekologi, hutan mangrove merupakan bentuk ekosistem yang

unik, karena pada kawasan ini terpadu empat unsur biologis penting yang fundamental, yaitu daratan, air, vegetasi dan satwa. Hutan mangrove ini memiliki ciri ekologis yang khas yaitu dapat hidup dalam air dengan

salinitas tinggi dan biasanya terdapat sepanjang daerah pasang surut (Dephut, 1992). Ciri-ciri terpenting dari penampakan hutan mangrove, terlepas dari

habitatnya yang unik menururt Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Mangrove Indonesia (2008) adalah:

• memiliki jenis pohon yang relatif sedikit;

memiliki akar nafas (pneumatofora) misalnya seperti jangkar melengkung dan

menjulang pada bakau Rhizophora spp., serta akar yang mencuat vertikal seperti

pensil pada pidada Sonneratia spp. dan pada api-api Avicennia spp.;

• memiliki biji yang bersifat vivipar atau dapat berkecambah di pohonnya,

khususnya pada Rhizophora yang lebih di kenal sebagai propagul. • memiliki banyak lentisel pada bagian kulit pohon.

Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik

dan memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:

• tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya tergenang

pada saat pasang pertama;

(20)

• daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;

airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 - 22 o/oo) hingga asin.

Vegetasi Hutan Mangrove

Soerianegara (1987) dalam Noor et al., (1999) memberikan batasan hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini

terdiri dari tegakan pohon Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Scyphyphora dan Nypa.

Flora mangrove terdiri atas pohon, epipit, liana, alga, bakteri dan fungi. Telah diketahui lebih dari 20 famili flora mangrove dunia yang terdiri dari 30 genus dan lebih kurang 80 spesies. Berdasarkan jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan di

hutan mangrove Indonesia memiliki sekitar 89 jenis, yang terdiri atas 35 jenis pohon, 5 jenis terna, 9 jenis perdu, 9 jenis liana, 29 jenis epifit dan 2 jenis parasit.

Tomlinson (1986) membagi flora mangrove menjadi tiga kelompok, yakni :

1. Flora mangrove mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan terhadap habitat mangrove, berkemampuan

membentuk tegakan murni dan secara dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan

viviparitas) terhadap lingkungan mangrove, dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam. Contohnya adalah Avicennia,

Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Lumnitzera,

(21)

2. Flora mangrove minor, yakni flora mangrove yang tidak mampu membentuk tegakan murni, sehingga secara morfologis tidak berperan dominan dalam struktur komunitas, contoh : Excoecaria, Xylocarpus, Heritiera,

Aegiceras. Aegialitis, Acrostichum, Camptostemon, Scyphiphora,

Pemphis, Osbornia dan Pelliciera.

3. Asosiasi mangrove, contohnya adalah Cerbera, Acanthus, Derris, Hibiscus, Calamus, dan lain-lain.

Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2001) flora mangrove umumnya tumbuh membentuk

zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan. Zonasi di hutan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan. Zonasi yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu

zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan. Beberapa faktor

lingkungan yang penting dalam mengontrol zonasi adalah :

1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat

menyebabkan kerusakan terhadap anakan.

2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,

tingginya muka air dan drainase.

3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.

(22)

seperti Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.

5. Pasokan dan aliran air tawar

Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi

mangrove, yaitu :

• Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur

horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,

Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan

akhirnya komunitas campuran Rhizophora–Bruguiera. Bila genangan berlanjut, akan ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas

campuran yang terakhir

• Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.

Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur, diikuti komunitas campuran Rhizophora – Bruguiera dan diakhiri komunitas

murni N. fructicans

• Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan

berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove banyak berasosiasi dengan komunitas daratan.

Berdasarkan Bengen (2001), jenis-jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi yaitu sebagai berikut :

1. Zona Api-api – Prepat (Avicennia – Sonneratia)

Terletak paling luar/jauh atau terdekat dengan laut, keadaan tanah berlumpur

(23)

kadar garam agak tinggi. Zona ini biasanya didominasi oleh jenis api-api (Avicennia spp) dan prepat (Sonneratia spp), dan biasanya berasosiasi dengan jenis

bakau (Rhizophora spp). 2. Zona Bakau (Rhizophora)

Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur

lembek (dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora spp) dan di beberapa tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang

( Bruguiera spp )

3. Zona Tanjang (Bruguiera)

Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan. Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya

ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi dengan jenis lain.

4. Zona Nipah (N fruticans)

Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,

tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (N fruticans) dan

beberapa spesies palem lainnya.

Faktor Lingkungan untuk Pertumbuhan Mangrove

Menurut Departemen Kehutanan (1992), kondisi ekologis yang mengatur

dan memelihara kelestarian ekosistem mangrove sangat tergantung pada kondisi berimbangnya jumlah ketersedian air tawar dan air masin yang cukup. Menurut

(24)

bahwa kondisi lingkungan yang mempengaruhi hutan mangrove adalah kondisi sedimentasi, erosi laut dan sungai, penggenangan pasang surut dan kondisi garam tanah serta kondisi akibat eksploitasi. Beberapa faktor lingkungan yang

mempengaruhi pertumbuhan mangrove di suatu lokasi adalah : - Fisiografi pantai (topografi)

- Pasang (lama, durasi, rentang) - Gelombang dan arus

- Iklim (cahaya, curah hujan, suhu, angin)

- Salinitas

- Oksigen terlarut

- Tanah - Hara

Faktor-faktor lingkungan tersebut diuraikan sebagai berikut :

A. Fisiografi pantai

Fisiografi pantai dapat mempengaruhi komposisi, distribusi spesies dan

lebar hutan mangrove. Pada pantai yanglandai, komposisi ekosistem mangrove lebih beragam jika dibandingkan dengan pantai yang terjal. Hal ini disebabkan karena pantai landai menyediakan ruang yang lebih luas untuk tumbuhnya

mangrove sehingga distribusi spesies menjadi semakin luas dan lebar. Pada pantai yang terjal komposisi, distribusi dan lebar hutan mangrove lebih kecil karena

kontur yang terjal me nyulitkan pohon mangrove untuk tumbuh. B. Pasang

Pasang yang te rjadi di kaw asan mangrove sangat me ne ntukan zonasi

(25)

Secara rinci pengaruh pasang terhadap pertumbuhan mangrove dijelaskan sebagai berikut:

 Lama pasang :

1. Lama terjadinya pasang di kawasan mangrove dapat mempe ngaruhi pe rubahan salinitas air dimana salinitas akan meningkat pada saat pasang

dan se baliknya akan menurun pada saat air laut surut

2. Perubahan salinitas yang te rjadi se bagai akibat lama terjadinya pasang merupakan faktor pembatas yang mempengaruhi distribusi spesies secara

horizontal.

3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi

distribusi vertikal organisme

 Durasi pasang :

1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis

pasang diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.

2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut

durasi pasang atau frekuensi pengge nangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta Xylocarpus kadang-kadang ada.

 Rentang pasang (tinggi pasang):

1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata me njadi lebih tinggi

pada lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya

(26)

C. Gelombang dan Arus

1. Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.

Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pe ngurangan

luasan hutan.

2. Gelombang dan arus juga be rpe ngaruh langsung te rhadap distribusi spesies misalnya buah atau semai Rhizophora terbawa gelombang dan arus sampai

me nemukan substrat yang se suai untuk menancap dan akhirnya tumbuh. 3. Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai

dan pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya se dimentasi dan padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk me nunjang pertumbuhan mangrove

4. Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove kelaut. Nutrien-nutrien

yang be rasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut pada saat surut.

D. Iklim

Mempengaruhi perkembangan tumbuhan dan pe rubahan faktor fisik

(substrat dan air). Pengaruh iklim terhadap pertumbuhan mangrove melalui cahaya, curah hujan, suhu, dan angin. Penjelasan mengenai faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

(27)

Cahaya berpengaruh terhadap proses fotosintesis, respirasi, fisiologi, dan

struktur fisik mangrove

Intensitas, kualitas, lama (mangrove adalah tumbuhan long day plants yang

membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi sehingga sesuai untuk hidup di daerah tropis) pencahayaan mempengaruhi pertumbuhan mangrove

Laju pertumbuhan tahunan mangrove yang berada di bawah naungan sinar

matahari lebih kecil dan sedangkan laju kematian adalah sebaliknya

Cahaya berpengaruh terhadap perbungaan dan germinasi dimana tumbuhan

yang be rada di luar ke lompok (gerombol) akan menghasilkan lebih banyak bunga karena mendapat sinar matahari lebih banyak daripada tumbuhan yang berada di dalam gerombol.

2. Curah hujan

• Jumlah, lama, dan distribusi hujan mempengaruhi perkembangan tumbuhan

mangrove

• Curah hujan yang terjadi mempengaruhi kondisi udara, suhu air, salinitas air

dan tanah

• Curah hujan optimum pada suatu lokasi yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan mangrove adalah yang berada pada kisaran 1500-3000

mm/tahun 3. Suhu

• Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi)

• Produksi daun baru Avice nnia marina terjadi pada suhu 18-20C dan jika

(28)

Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera tumbuh optimal pada

suhu 26-28C

Bruguiera tumbuh optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal

pada suhu 21-26C 4. Angin

• Angin mempengaruhi terjadinya gelombang dan arus

• Angin merupakan agen polinasi dan diseminasi biji sehingga membantu

terjadinya proses reproduksi tumbuhan mangrove E. Salinitas

1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30 ppt

2. Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi

mangrove ,hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan

3. Salinitas air akan meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam

keadaan pasang

4. Salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air F. Oksigen Terlarut

1. Oksigen terlarut berperan penting dalam dekomposisi serasah karena bakteri dan fungsi yang bertindak sebagai dekomposer membutuhkan oksigen untuk

kehidupannya.

2. Oksigen terlarut juga penting dalam proses respirasi dan fotosintesis

3. Oksigen terlarut berada dalam kondisi tertinggi pada siang hari dan kondisi

(29)

G. Substrat

1. Karakteristik substrat merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan mangrove

2. Rhizophora mucronata dapat tumbuh baik pada substrat yang dalam tebal dan be rlumpur

3. Avicennia marina dan Bruguiera hidup pada tanah lumpur berpasir

4. Tekstur dan konsentrasi ion mempunyai susunan jenis dan kerapatan tegakan Misalnya jika komposisi substrat lebih banyak liat (clay) dan debu

(silt) maka tegakan menjadi lebih rapat

5. Konsentrasi kation Na>Mg>Ca atau K akan membentuk konfigurasi hutan

Avicennia/Sonn ratia/Rhizophora/Bruguiera

6. Mg>Ca>Na atau K yang ada adalah Nipah 7. Ca>Mg, Na atau K yang ada adalah Melauleuca

H. Hara

Unsur hara yang terdapat di ekosistem mangrove terdiri dari hara inorganik dan

organik.

1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na

2. Organik : Allochtonous dan Autochtonous (fitoplankton, bakteri, alga)

Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air dan

pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi

(30)

Dampak Kerusakan Ekosistem Mangrove

Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan tersebut

akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi yang dibangun

antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan mangrove yang efektif dan efisien di Pantai Timur

Sumatera Utara dengan berbasis pada potensi kawasan yang ada. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber daya alam akan terus

menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat, tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara kriminal dan kemiskinan akan terus

(31)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat,

Sumatera Utara pada bulan Agustus 2009. Analisis data vegetasi dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Universitas Sumatera

Utara.

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Letak Geografis

Secanggang merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara. Adapun batas-batas wilayah kecamatan secanggang yaitu

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Pura - Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Hinai

Secara geografis kawasan ini terbentang antara 98˚30’ BT – 98˚42’ BT dan

3˚42’30’’ LU - 3˚49’45’’ LU( Rumapea, 2005).

Topografi dan Ketinggian Tempat

Kecamatan Secanggang adalah merupakan lokasi penelitian yang berada

pada ketinggian ± 1 meter dari permukaan laut dengan topografi landai. Kondisi geologi Kecamatan ini di Kawasan Suaka Margasatwa Langkat Timur Laut

Sumatera Utara Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat adalah sebagai berikut:

a. Kondisi tanah berlumpur, sedikit berpasir dan dipengaruhi pasang surut

(32)

b. Tekstur tanah halus;

c. Memiliki tipe tanah Gley humus rendah;

d. Memiliki tipe lahan rawa pasut dan bentuk lahan dataran lumpur antar pasang surut di bawah bakau; Memiliki jenis batuan Aluvium, campuran estuarin dan marin yang masih muda

(Pemda Kabupaten Langkat, 2009).

Iklim

Kecamatan Secanggang merupakan kawasan pesisisr timur Sumatera Utara. Menurut masyarakat setempat, sampai era 1970-an pesisisr Kecamatan Secanggang

di tumbuhi hutan mangrove yang lebat dengan lebar 400 m dari tepi pantai namun kini mengalami kerusakan akibat konversi mangrove menjadi tambak dan

pemukiman. Salah satu wilayah Kabupaten Langkat yang mengalami kerusakan mangrove adalah Kecamatan Secanggang dengan luas 5.065,2 ha. Tersebar pada desa Sungai Ular dengan luas hutan 607 ha, yang rusak 303,5 ha; desa Secanggang

luas hutan 956 ha, rusak 949,4 ha; desa Karang Gading luas hutan 775,2 ha, rusak 542,6 ha; desa Kuala Besar 1659 ha, rusak 995,4 ha; dan desa Jaring Alus luas

hutan 1.068 ha, rusak 640,8 ha (Pemda Kabupaten Langkat, 2000 dalam Rumapea, 2005). Kondisi ini merupakan bukti nyata pemanfaatan sumberdaya mangrove secara berlebihan, tanpa memperhatikan aspek pelestariannya.

Kondisi iklim di pengaruhi oleh sistem angin muson yang berubah arah sesuai dengan kedudukan matahari terhadap bumi. Curah hujan rata-rata yang jatuh

(33)

Muson Barat jatuh pada bulan September – Januari (Pemda Kabupaten Langkat, 2009 ).

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan dan alat yang digunakan dalam analisis vegetasi meliputi: peta

lokasi, peta kerja, kompas, Haga hypsometer, galah ukur, phi-band, handrefractometer, meteran dan tali plastik atau tambang, Global Positioning

System (GPS), Hidrometer, Thermometer, tally sheet dan alat tulis.

Prosedur Penelitian

Analisa Vegetasi

Struktur Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan garis berpetak 30 x 30. Garis berpetak

tersebut kemudian secara acak (random sampling) di karenakan kondisi lapangan yang terpisah-pisah oleh sungai dan di bagi menjadi sub-petak berukuran 10 x10.

Struktur vegetasi merupakan dasar utama kajian ekologi sehingga struktur vegetasi harus pertama kali diketahui dengan baik. Struktur vegetasi terdari atas struktur horizontal atau sebaran kelas diameter dan struktur vertikal atau stratifikasi

tajuk menurut Kusmana (1997).

adapun kelas sebaran terdiri dari 2 yaitu antara lain ;

• Sebaran kelas diameter

(34)

5 ≥ cm Pohon 10 x 10 m

• Sebaran kelas tinggi

Tinggi pohon Tingkat pertumbuhan

0 – 1,5 m Semai

1,5 – 3 m Pancang

3 ≥ m Pohon

Data yang digunakan dalam studi ini adalah data primer. Pengumpulan data primer dilakukan melalui inventarisasi tanaman di lapangan secara langsung. Data primer diperoleh dari survey dengan melakukan pengukuran dan pengamatan di

lapangan seperti analisis vegetasi, pengambilan data salinitas, pengambilan data suhu, pengukuran bulk density tanah mangrove. Cara kerja dalam analisis vegetasi

menggunakan metode kuadrat sebagai berikut :

• Pada setiap blok contoh ditentukan plot petak-petak pengamatan (30 m

x 30 m) pada setiap petak contoh di ukur diameter dan tinggi tegakan menggunakan metode garis berpetak dan pemilihan petak contoh mengunakan metode random

1m

Gambar 1. Blok contoh dan penempatan petak contoh.

10 m

30 m

(35)

• Dari setiap petak dihitung jumlah individu setiap spesies dan diukur

keliling/diameter serta tinggi pohon vegetasi tingkat pohon (diameter > 5 cm), tingkat pancang (diameter antara 2-5 cm) dengan

ukuran plot 5 m x 5 m, serta tingkat semai (diameter < 2 cm) dengan ukuran plot 1 m x 1 m (Rahayu et, al, 2005 ).

Plot contoh lapangan dibuat berukuran 30 m x 30 m sebanyak 12 blok plot, dalam blok petak comtoh 30 m x 30 m yang dibagi menjadi 9 plot petak contoh dan kemudian akan disebarkan, dimana peletakannya dilakukan dengan

menggunakan Global Positioning System (GPS). Selanjutnya pohon yang terdapat dalam plot contoh diukur tinggi total diameter setinggi dada dan tinggi bebas

cabang.

Pengambilan Data Suhu dan Salinitas.

Pengambilan suhu di ukur dengan menggunakan thermometer dan

hidrometer pada setiap blok contoh. Untuk mengetahui salinitas air diambil sample

air dari setiap komunitas hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan alat

pengukur salinitas yaitu handrefractometer.

Analisa Data

Komposisi Jenis

Dominansi jenis tumbuhan, yang ditentukan dari Indeks Nilai Penting

(INP).Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:

Kerapatan Jenis

Ki : Kerapatan jenis dalam satuan individu/Ha

(36)

Kerapatan Relatif

Dominansi Relatif

DR = x100%

INP= KR+FR (semai dan pancang) INP = Indeks Nilai Penting KR = Kerapatan Relatif FR = Frekuensi Relatif DR = Dominasi Relatif

Inportant species index (ISI)

ISI = (fi) (DI)

fi = frekuensi persen species i

DI = dominasi

Keanekaragaman jenis (species diversity),

Menggunakan dua indeks keragaman, yaitu diversity index of Simpson dan

(37)

(eveness index) dari Hill’s Ratio (Ludwig & Reynolds 1988), dengan formula sebagai berikut:

1. Shannon Diversity Indeks

H’ = - ∑ { Ni / N} log 2 { Ni / N} Ni/N = proposi sampel dalam species

Atau sama dengan Indeks diversitas Shannon dihitung dengan formula:

=  

ni = Jumlah individu jenis ke-i S = Jumlah jenis;

n = Total jumlah individu; ln = Logaritma natural

Indeks diversitas Simpson dihitung dengan formula:

=

Tata cara Ludwig dan Reynold (1988) digunakan untuk menentukan: komponen indeks kekayaan (menyatakan jumlah jenis dalam suatu komunitas), dan indeks kemerataan jenis (menyatakan kemerataan jenis dalam komunitas). Selain

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur vegetasi

Hasil analisis vegetasi hutan mangrove di Kecamatan Secanggang dengan luasan 1,08 ha di jumpai 14 jenis penyusun yakni jenis tertinggi terdapat pada tingkat pohon (14 jenis), kemudian diikuti oleh tingkat pancang (12 jenis) dan

terendah semai (8 jenis). Ada 3 jenis penyeberannya terbesar pada tingkat pertumbuhan pohon yaitu Rhizophora apiculata dengan persen penyeberan sebesar

91,66 %, Soneratia ovata sebesar 33.33 %, Avicenia alba sebesar 58,33 % dan Xylocarpus granatum sebesar 58,33 %. Avicennia spp., Sonneratia spp., dan

Rhizophora spp , baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, hampir selalu

dijumpai dalam plot penelitian. Hal ini wajar mengingat ketiganya merupakan tumbuhan mangrove mayor yang selalu berada di garis terdepan berhadapan dengan

garis pantai atau muara sungai. Tumbuh-tumbuhan ini telah beradaptasi terhadap pengaruh fluktuasi arus pasang surut yang menyebabkan variasi genangan dan salinitas pernyataan Setyawan et al., ( 2008).

Dari 12 petak contoh untuk jenis pada berbagai tingkat yaitu tumbuhan, semai, pancang dan pohon didapati tidak semua jenis penyusun hutan mangrove di

Kecamatan Secanggang di jumpai. Pada seluruh tingkat pertumbuhan di jumpai ada 14 jenis indukan dan hanya 8 jenis tingkat anakan. Hal ini diduga karena lebar mangrove yang sangat sempit dan akibat konversi mangrove menjadi tambak,

sehingga sebagian besar buah yang jatuh langsung hanyut oleh air pasang, terutama jenis-jenis dengan buah kecil. Pada sisi lain, anakan dari jenis-jenis Rhizophora

(39)
(40)

Komposisi jenis

Berdasarkan hasil analisis vegetasi, jenis yang dominan pada tingkat pertumbuhan adalah Avicenia alba (INP = 38.8 %) dan Rhizophora apiculata (INP

= 61.8 %), untuk tingkat pancang jenis-jenis yang dominan antara lain Avicenia alba (INP = 51.5 %) Rhizophora apiculata (INP = 83.6 %) dan Untuk tingkat semai jenis-jenis yang dominan adalah Avicenia alba (INP = 37.1 %) dan Rhizophora

apiculata (INP = 102.1 %). Jenis jenis ini membentuk hutan mangrove di daerah

zona inti yang mampu bertahan terhadap pengaruh salinitas (garam), yang disebut

tumbuhan halophyta. Kebanyakan jenis mangrove mempunyai adaptasi khusus yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang dalam substrat/lahan mangrove seperti kemampuan berkembang biak, toleransi terhadap kadar garam tinggi,

kemampuan bertahan terhadap perendaman oleh pasang surut, memiliki pneumatophore atau akar napas,bersifat sukulentis dan kelenjar yang mengeluarkan

garam.

Beberapa hal yang mempengaruhi kondisi hutan mangrove adalah pasang surut air laut, salinitas, kondisi subrat tempat tumbuh dan keterbukaan terhadap

hempasan gelombang. Dengan adanya kondisi yang berpengaruh tersebut hutan mangrove beradaptasi dalam hal ; sistem akar napas untuk membantu memperoleh

oksigen bagi sistem peakaran; sistem perkembangan buah (vivipar, kriptovivipar dan biji normal); pola zonasi pertumbuhan dan komposisi mangrove.

Maka seluruh jenis penyusun hutan mangrove di Kecamatan Secanggang

tersebar secara tidak merata seperti yang di tunjukan oleh (tabel 1) dan ditemukan dari analisia vegetasi bahwa frekuensi setiap jenis adalah kurang dari 75 %.

(41)

untuk tumbuh menjadi pohon dewasa dan penanamannya mempunyai rasio

kesuksesan 75% untuk tumbuh menjadi pohon dewasa. Tumbuhan mangrove akan tumbuh dengan baik jika berada di lahan yang memiliki sistem air terbuka ke laut

lepas dimana pergantian air laut dapat terjadi setiap hari atau secara reguler sehingga akar tumbuhan tersebut mendapatkan air yang “baru” setiap harinya.

Pada seluruh tingkatan pertumbuhan pohon, indeks vegetasi mangove di

Kecamatan Secanggang tergolong sedang yang terlihat dari tabel 1. Hal ini sesuai dengan sebaran INP pada tingkat pertumbuhan, di mana pada tingkat pohon terdapat

2 jenis yakni Avicenia alba dan Rhizophora apiculata yang memiliki INP terbesar seperti yang di dapati pada INP diatas atau lebih dari 50 % karena disebabkan karena berada pada subrat berlumpur. Dari INP total tingkat semai dan pancang tidak ada

jenis memiliki INP lebih besar dari 50 % INP total.

Tabel 2. INP jenis vegetasi mangrove pada setiap pertumbuhan di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat.

Sumber : hasil analisis data

(42)

Keanekaragaman Jenis

Berdasarkan indeks keanekaragaman jenis (H’) diketahui bahwa pada tingkat semai, pancang dan pohon keanekaragaman jenis vegetasi mangrove di Kecamatan

Secanggang tinggi, H’berkisaran antara 0,0 – 3,0. Pada seluruh tingkatan pertumbuhan, keanekragaman jenis vegetasi mangove di setiap plot tergolong tinggi yang terlihat dari nilai indeks keanekaragaman (H’) > 2,0. Makin besar H' suatu

komunitas maka semakin mantap pula komunitas tersebut. Nilai H' = 0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu contoh (sampel) dan H' maksimal bila semua jenis

mempunyai jumlah individu yang sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna menurut (Ludwig dan Reynold, 1988) seperti yang terlihat pada Gambar 2 dan 3 ;

(43)

Pada tabel 3 menunjukan hasil penelitian bahwa dari data hasil pegukuran

kenakeragaman jenis pada masing-masing plot kemudian diolah untuk memperoleh nilai keanekaragaman jenis pada seluruh jenis yang dijumpai pada masing-masing

plot penyeberan jenis vegetasi pada semua tingkat pertumbuhan pohon, sehingga dapat dibandingkan keanekaragaman (Hs’)dan serta kemerataan (λs‘) di Kecamatan Secanggang yakni Hs’= 1,86 dan λs‘ = 0,23 .Untuk lebih jelas secara rinci disajikan

pada Tabel 4.

(44)

2 Avicennia lanata - - - 126 - - - -

Sumber : hasil analisis data

Keterangan : H s ’ = keragaman jenis di seluruh kecamatan Secanggang.

. Indeks keragaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks

keragaman Shanon-wiener. Kriteria nilai indeks karagaman jenis berdasarkan Shanon-wiener (H’) berkisar 0 – 7 dengan kriteria sebagai berikut: jika H’ (0 < 2) tergolong rendah, H’ (2 < 3) tergolong sedang, H’ (> 3) atau lebih tergolong tinggi.

Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Kestabilan yang tinggi menunjukkan

tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi

gangguan terhadap komponen-komponennya

(Barbour et al, 1987 dalam Ningsih 2008).

Berdasarkan total nilai indeks penting, tingkat kekritisan lahan mangrove di

kecamatan Secanggang termasuk kedalam kawasan mangrove yang memiliki kondisi rusak. Hal ini terlihat pada nilai keragaman jenis pada masing masing tingkat

(45)

berada jauh dibawah nilai rata-rata untuk kondisi mangrove yang tidak rusak.

Kondisi mangrove telah mengalami peningkatan kerusakan dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010. Menurut data BPHM Wilayah II (2006) menunjukkan bahwa

luas penyebaran hutan mangrove di Sumut mencapai 364.580,95 Ha yang sebagian besar atau (sekitar 60%) diantaranya dalam kondisi rusak dan kerusakan paling tinggi di wilayah Tanjung Pura. Berdasarkan data Ditjen RRL (1999), luas hutan mangrove

Indonesia tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di luar kawasan). Namun demikian, lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6 %),

ternyata dalam kondisi rusak parah.

Salinitas dan Suhu

Kondisi lingkungan perairan hasil pengukuran secara insitu di lapangan,

menunjukkan hasil yang berbeda dari satu titik ke titik lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa suhu udara pada masing-masing plot pengamatan berkisar antara

29ºC sampai 35ºC, dengan suhu terendah terdapat pada plot 4 dan plot 10 yaitu sebesar

29ºC dan tertinggi terdapat pada plot 1 sebesar 35ºC. Suhu udara dan kelembaban di

Hutan Mangrove Secanggang memiliki rata-rata yaitu 30˚C dan kelembaban 72%. Untuk lebih jelasnya masing-masing pengukuran pada titik pengambilan sampel

(46)

Suhu berperan penting dalam proses fisiologis (fotosintesis dan respirasi).

Produksi daun baru terjadi pada suhu 18-20˚C dan jika suhu lebih tinggi maka lproduksi menjadi berkurang. Rhizophora stylosa, Ceriops, Excocaria, Lumnitzera

tumbuh optimal pada suhu 26-28C dan Bruguiera tumbuah optimal pada suhu 27C, dan Xylocarpus tumbuh optimal pada suhu 21-26C

Dari hasil pengamatan di kedua pengamatan didapat tingkat salinitas berkisar

antara 15‰ sampai 27dengan tingkat salinitas tertinggi pada plot 10 yaitu 27

dan terendah pada plot 4 (lokasi mangrove) yaitu 15‰. Schlieper (1958) dalam

Barus (2004), mengklasifikasikan air berdasarkan salinitasnya sebagai berikut: < 0,5‰ = air tawar (limnis), 0,5‰ - 30‰ = air payau (mixohalin), 30‰ - 40‰ = air laut (euhalin) dan >40‰ = hyperhalin. untuk lebih jelasnya nilai salinitas di plot

pengamatan tersebut disajikan pada Gambar 4.

Keterangan : ‰ = ppt

Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove. Berbagai jenis mangrove mengatasi kadar salinitas dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa

diantaranya secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lainya mampu mengeluarkan garam dari

(47)

kelenjar khusus pada daunnya. Menurut Arif (2003) bahwa secara umum

berdasarkan pengamatan terhadap kawasan-kawasan mangrove nilai pH tidak banyak berbeda, yaitu antara 4,6-6,5 dibawah tegakan jenis Rhizophora spp, sedangkan

kadar salinitasnya berkisar antara 32‰ – 36‰ pada saat keadaan air laut surut atau pasang. Salinitas merupakan gambaran jumlah garam dalam suatu perairan. Sebaran salinitas di air laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,

penguapan, curah hujan dan aliran sungai menurut Nontji, (1993) kisaran salinitas pada stasiun pengamatan perairan secanggang masing-masing adalah 15-30 ppt,

sedangkan pada stasiun pengamatan kontrol berkisar 10 ppt.

Berdasarkan pengukuran maka nilai salinitas yang lebih tinggi adalah plot 1. Salinitas optimum yang dibutuhkan mangrove untuk tumbuh berkisar antara 10-30

ppt. Hal ini disebabkan desa tersebut mendapat aliran atau pasokan air laut lebih besar dari pada pasokan air tawar dan pengambilan data suhu di lakukan pada siang

pukul 12.00 karena salinitas air tanah lebih rendah dari salinitas air.

Penurunan salinitas dan pH serta naiknya suhu menyebabkan tingkat bioakumulasi semakin besar karena ketersediaan kalor tersebut semakin meningkat.

Salinitas secara langsung dapat mempengaruhi laju pertumbuhan dan zonasi mangrove, hal ini terkait dengan frekuensi penggenangan. Salinitas air akan

meningkat jika pada siang hari cuaca panas dan dalam keadaan pasang.

Adapun perbedaan kandungan garam dalam air hal ini di sebabkan beberapa faktor antara lain tinggi sertanya seringnya terjadi pasang yang terjadi, lama

genangan akan menyebabkan semakin tinggi kadar garam dalam air. Maka hal ini sejalan dengan jenis tegakan yang dijumpai dalam kawasan tersebut dimana semakin

(48)

dapat menetralisir kadar garam yang tinggi dan intruksi air laut ke daratan. Secara

umum mangrove dapat bertahan karena mempunyai kadar internal (bahan penetralisisr yang berasal dari lingkungan) yang tinggi mampu memindahkan garam

dengan cara menyimpan garam dalam daun yang lebih tua (Soeroyo, 1993 dalam Irwanto, 2007)

Penyebab rusaknya ekosistem mangrove , jika dilihat dari hasil penilaian

umumnya bukan disebabkan oleh pencemaran air dan tanah di habitat mangrove. Hal ini dapat dilihat dari kualitas salinitas air maupun kandungan hara dan factor

lingkungan yang dan sesuai dan relatif baik bagi ekosistem mangrove. Kerusakannya yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, permukiman, dan raklamasi pantai untuk kawasan

hutan. Khusus untuk mangrove, faktor-faktor yang perlu diperhatikan untuk melakukan species-site matching adalah salinitas, frekuensi penggenangan, tekstur

tanah (kandungan pasir dan liat/lumpur), dan kekuatan ombak dan angin maka dari hal itu ketergantungan habitat ekosistem mangove di dukung oleh keseuaian beberapa jenis mangrove dengan faktor lingkungannya.

Onrizal (2010), menyatakan bahwa penurunan luas serta kerusakan hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara telah menyebabkan peningkatan abrasi

pantai serta menurunnya keanekaragaman. Kawasan mangrove pesisir kecamatan secanggang memiliki lebar jalur hijau mangrove (L) seluas 60% - 80% dari keseluruhan luasan mangrove yang diambil sebagai lokasi pengamatan dan

(49)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa:

Hutan mangrove di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat tergolong mangrove yang kaya jenis yakni 14 jenis mangrove pada pohon, 12 jenis pada pancang dan 8 pada semai. Komposisi hutan terdiri dari 11 mangrove utama dan 3 mangrove

pendukung dalam luasan 1,08 ha dan vegetasi yang paling sering dijumpai penyebarannya yaitu jenis Rhizophora apiculata pada semai 75,00 %, pancang

75,00 %, dan pohon 83,33 %. INP terbesar, pada tingkat pertumbuhan semai 102,1 %, pancang 83,6 % dan pohon 61,8 %. Keanekaragaman jenis hutan mangrove Kecamatan Secanggang yakni Hs’ = 1,86 dan λs‘ = 0,23.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian disarankan pembangunan hutan mangrove harus diperhitungkan vegetasi mangrove yang memiliki keanekaragaman vegetasi dengan kerapatan tegakan yang tinggi sehingga dapat meningkatkan nilai ekonomi hutan

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. 2008. Rancangan Teknis Rehabilitasi Hutan Mangrove Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Kerjasama BBKSDA Propinsi Sumatera Utara dengan CV. Agriforest Mandiri Faperta. Medan.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi. USU Press. Medan.

Bengen, D. G. 2001. Pedoman Teknis pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

Dahuri, R.J. Rais, S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolahan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Prodya Paramita. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 1992. Hutan Bakau di Indonesia. Departemen Kehutanan R. I. Indonesia.

Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (Dirjen RLPS). 2005. Pedoman Inventarisasi dan Identifikasi Lahan Kritis Mangrove. Jakarta.

Irwanto, 2007. Analisis Vegetasi Untuk Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Pulau Marsegu, Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku ( Tesis). Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Kusmana, C. 1995. Manajemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceeding Simposium Penerapan Ekolabel di Hutan Produksi. Jakarta, 10-12 Agustus 1995.

Kusmana, C. 1997. Metode Survey Vegetasi. IPB-Press. Bogor.

Kusmana, C., Sri Wilarso, Iwan H., Prijanto P., Cahyo W., Tatang T., Adi T., Yusnafi dan Hamzah. 2005. Teknik Rehabilitasi Mangrove. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 2005. Laporan Akhir Kajian Implementasi Pemulihan Mangrove Berbasis Masyarakat di Kabupaten Deli Serdang. Kerjasama Bapedalda Propinsi Sumatera Utara dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Universitas Sumatera Utara

(51)

Ludwig, J.A dan J.F. Reynolds, 1988. Statistical Ecology. 2nd ed. London: Edward Arnold (Publisher ) Co. Ltd.

Ningsih, S. S, 2008. Inventarisasi Hutan Mangrove Sebagai Bagian Dari Upaya Pengelolahan Wilayah Pesisir Deli Serdang. [ Tesis ] USU. Medan

Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Noor, Y. R., M. Khazali dan INN. Suryadiputra. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Direktorat Jenderal PKA dan Wetlands International-Indonesia Program. Bogor.

Onrizal, 2005. Evaluasi Kerusakan Kawasan Mangrove dan Alternatif Rehabilitasinya di Jawa Barat dan Banten. USU press. Medan

Onrizal, Kusmana. 2008. Studi Ekologi Hutan Mangrove Dipesisir Sumatera Utara. Biodersivitas 9, (1): 25-29.

Onrizal. 2010. Perubahan Tutupan Hutan Mangrove di Pantai Timur Sumatera Utara Periode 1977-2006. Jurnal Biologi Indonesia 6(2): 163-172).

Pemerintah Daerah Kabupaten Langkat, 2009. Web Resmi Pemerintah Langkat. hhtp

Rahayu, S. B. Lusiana, dan M. van Noordwijk. 2005. Above ground carbon stock assessment for various land use systems in Nunukan, East Kalimantan. pp. 21-34. Bogor, Indonesia.

Rochana, 2006. Ekosistem Mangrove Dan Pengelolaanya Dindonesia http:// irwantoshut.com(diakses tanggal 17 desember 2008).

Rumapea, M. 2005. Pengaruh Keberadaan Hutan Bakau (Mangrove) Terhadap Usaha Produksi Arang Dan Perekonomian Daerah Di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat, Perencanaan & Pengembangan Wilayah .Medan, Wahana Hijau, 1(.2) : 1-6

Setyawan, A.D., Indrowuryanto, Wiryanto, Winarno, K., dan Susilowati, A. 2004. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah : 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Jurnal Biodeversitas. Volume 6, No.3 : 194-198.

Siregar, EBM dan Agus Purwoko, 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sukardjo, S. 1981. Mangrove di Indonesia Duta Rimba No. 49/VIII/1981.

(52)
(53)
(54)

Lampiran 1 . data primer inventarisari hutan manrove di lapangan

Plot : 1 1 ……..dst

Lokasi : Posisi GPS N : 3. 54.773 E : 98. 35.928

Tanggal : 28 Juli 2009 Suhu : 35 ˚ C

Pencatat : RH :47 %

Tingkat Pohon (DBH 5 cm atau lebih)

(55)
(56)
(57)

2 8 Xylocarpus mollucensis 15 1.3 3.5 — 4.777070064

2 9 Xylocarpus mollucensis 50 1.5 9 — 15.92356688

3 5 Xylocarpus mollucensis 22 1.6 7.5 — 7.006369427

3 6 Xylocarpus mollucensis 19 2.1 7.5 — 6.050955414

Tingkat Pancang (DBH 2-5 cm)

(58)

9 Rhizophora apiculata 8 1.4 5 2.547770701

10 Rhizophora apiculata 8 1.45 5 2.547770701

11 Rhizophora apiculata 9 1.3 7 2.866242038

12 Rhizophora apiculata 6 1.5 6 1.910828025

13 Rhizophora apiculata 7 1.4 6 2.229299363

14 Rhizophora apiculata 12 1.4 4 3.821656051

15 Rhizophora apiculata 9 1.5 5 2.866242038

16 Rhizophora apiculata 11 1.3 5 3.503184713

17 Rhizophora apiculata 8 1.35 4 2.547770701

18 Rhizophora apiculata 8 1.4 5 2.547770701

Sub Plot No Jenis Jumlah

1 1 Burguiera parviflora

2

3 1 Burguiera parviflora

4

5 1 Rhizophora apiculata 3

6 1 Ceriops tagal 3

2 Achantus 2

7 1 Rhizophora apiculata 13

8 1 Rhizophora apiculata 6

(59)

Lampitan 2. INP setiap jenis vegetasi mangrove pada seluruh tingkat pertumbuhan

B. Tingkat Pancang

1 Bruguiera parviflora 0.2 8.1967 0.3333 42.8559 - - 51.0526

2 Ceriops tagal 0.12 4.9180 0.1111 14.2853 - - 19.2033

3 Rhizophora apiculata 2.12 86.8852 0.3333 42.8559 - - 129.7412

Total 2.44 100.0000 0.7778 99.9971 - - 199.9971

C. Tingkat Pohon

1 Bruguiera parviflora 0.28 15.8192 0.4444 18.1821 0.4353 17.3380 51.3394

2 Ceriops tagal 0.15 8.4746 0.5556 22.7277 0.2250 8.9628 40.1650

3 Rhizophora apiculata 1.15 64.9718 0.6667 27.2732 0.2476 9.8641 102.1091

4 Sonneratia ovate 0.06 3.3898 0.2222 9.0911 0.9129 36.3632 48.8441

5 Xylocarpus granatum 0.07 3.9548 0.2222 9.0911 0.2543 10.1302 23.1761 6 Xylocarpus mollucensis 0.06 3.3898 0.3333 13.6366 0.4354 17.3417 34.3682

Total 1.77 100.0000 2.4444 100.0018 2.5105 100.0000 300.00

B. Tingkat Pancang

1 Avicenia officinalis 0.2000 8.0645 0.1111 16.6658 - - 24.7303

1 Avicenia officinalis 0.0200 1.5004 0.1111 19.9984 0.5217 15.5310 37.0298 2 Bruguiera parviflora 0.1500 11.2528 0.1111 19.9984 0.9119 27.1508 58.4020 3 Rhizophora apiculata 0.4900 36.7592 0.1111 19.9984 0.2116 6.3007 63.0583 4 Sonneratia ovata 0.6600 49.5124 0.1111 19.9984 0.8659 25.7809 95.2917 5 Xylocarpus granatum 0.0100 0.7502 0.1111 19.9984 0.8477 25.2379 45.9865

total 1.3300 99.7749 0.5556 99.9920 3.3588 100.0013 299.99

B. Tingkat Pancang

1 Exceocaria agallocha 0.2800 19.4445 0.4444 24.9997 - - 44.4441 3 Rhizophora apiculata 0.28 30.4348 0.8889 30.7691 3.0736 28.1103 89.3142 4 Rhizophora mucronata 0.01 1.0870 0.1111 3.8461 2.5771 23.5689 28.5020

B. Tingkat Pancang

1 Avicenia lanata 0.9 92.0 0.5556 83.3292 - - 175.3292

2 Rhizophora apiculata 0.1 8.0 0.1111 16.6658 - - 24.6658

total 1.0 100.0 0.6667 99.9950 - - 199.9950

C. Tingkat Pohon

1 Avicenia lanata 1.26 82.8947 0.7778 63.6375 0.3795 36.0747 182.6069 2 Rhizophora apiculata 0.25 16.4474 0.3333 27.2732 0.4998 47.5170 91.2376 3 Xylocarpus granatum 0.01 0.6579 0.1111 9.0911 0.1726 16.4119 26.1609

total 1.52 100.0000 1.2222 100.0018 1.0519 100.0036 300.00

Plot 5

No Jenis K KR F FR D DR INP

(60)

3 R.apiculata 1.6800 64.6154 0.5556 50.0005 - - 114.6159

B. Tingkat Pancang

1 A.alba 0.4800 37.5000 0.2222 24.9997 - - 62.4997

B. Tingkat Pancang

1 A.alba 0.2000 50.0000 0.3333 59.9952 - - 109.9952

B. Tingkat Pancang

1 A.alba 0.6400 61.5385 0.3333 42.8559 - - 104.3944 4 Rhizophora apiculata 0.53 53.0000 0.4444 36.3643 0.2241 14.1096 103.4739

5 Sonneratia ovata 0.01 1.0000 0.1111 9.0911 0.1611 10.1389 20.2300

6 Xylocarpus granatum 0.01 1.0000 0.1111 9.0911 0.1611 10.1389 20.2300

(61)

4 Ceriops tagal 0.9600 44.4444 0.4444 44.4444 - - 88.8889

5 Xylocarpus granatum 0.0400 1.8519 0.1111 11.1111 - - 12.9630

total 2.1600 100.0000 1.0000 100.0000 - - 187.0370

C. Tingkat Pohon

1 A.alba 0.08 12.1212 0.3333 25.0006 0.3260 19.1722 56.2940

2 Avicenia officinalis 0.28 42.4242 0.4444 33.3342 0.3360 19.7649 95.5233 3 Bruguiera sexangula 0.02 3.0303 0.1111 8.3335 0.1616 9.5062 20.8700

4 Ceriops tagal 0.08 12.1212 0.1111 8.3335 0.2223 13.0738 33.5286

5 Rhizophora apiculata 0.14 21.2121 0.2222 16.6671 0.3268 19.2224 57.1016 6 Xylocarpus granatum 0.06 9.0909 0.1111 8.3335 0.3275 19.2610 36.6854

B. Tingkat Pancang

1 A.alba 0.6000 100.0000 0.6667 99.9950 - - 199.9950

B. Tingkat Pancang

1 A.alba 0.1600 100.0000 0.2222 100.0 - - 200.0

total 0.1600 100.0000 0.2222 100.0 - - 200.0

C. Tingkat Pohon

1 Avicenia alba 0.49 100.0000 1.0000 100.0000 1.9648 3.0724 200.00

(62)
(63)
(64)

12 Xylocarpus

moluccensis 34.37 - - - -

13 Excoecaria

agallocha - - 90.32 - - 57.84 - - 35.46 - - -

14 Rhizophora

mucronata - - 28.5 - - - -

(65)

Lampiran 4. Dokumentasi pegambilan data di lapangan

Gambar

Tabel 1. Jenis mangrove dan sebarannya berdasarkan  tingkat pertumbuhan keragaman jenis yang di jumpai di Secanggang Kabupaten Langkat
Tabel 2. INP jenis vegetasi mangrove pada setiap pertumbuhan di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat
Gambar 2. Grafik keanekaragaman indeks diversitas Shannon pada setiap plot
Tabel 3. Keragaman jenis pada masing masing tingkat pertumbuhan jenis yang di jumpai di Secanggang Kabupaten Langkat
+3

Referensi

Dokumen terkait

EIGRP forms neighbor relationships with adjacent routers in the same Autonomous System (AS). EIGRP supports IP, IPX, and Appletalk routing. EIGRP applies an

(Study Deskriptif Motif Pelajar Sma Sekolah Islam Di Gresik Dalam Menonton Tayangan Progam Acara “Islam KTP” Di

Budaya membaca yang akhir-akhir ini disosialisasikan baik oleh pemerintah maupun beberapa kalangan dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa,telah memicu semangat beberapa

(2) Instansi Pemerintah atas permohonan Wajib Bayar untuk jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) setelah memenuhi persyaratan yang

Penelitian ini juga menunjukkan manfaat yang diperoleh masyarakat sekitar TPA hal ini terlihat dari outcome yang diperoleh dari pelaksanaan kemitraan ini terkait dengan

Upaya untuk mencapai target DPPKD Kota Cirebon melakukan pekerjaan yang maksimal dalam mengumpulkan pajak daerah dan juga memberi pelayanan yang baik terhadap

Data yang diperoleh meliputi data pengamatan aktivitas siswa, data kinerja siswa, data pengamatan pengelolaan pembelajaran induktif dengan menggunakan alat peraga pada

World Health Organization (2011) Health