EFEKTIFITAS ASTAXANTHIN ORAL DISERTAI GEL ASTAXANTHIN
DIBANDINGKAN DENGAN ASTAXANTHIN ORAL DISERTAI KRIM
TRIPLE COMBINATION (hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05%, fluosinolon
asetonid 0,01%,) DALAM PENGOBATAN MELASMA
TESIS
Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Persyaratan
Memperoleh Keahlian dalam Bidang
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Oleh
FARIDAH ISRAWATY LUBIS
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
M E D A N
2011
Medan, 28 Juni 2011
Tesis ini diterima sebagai salah satu syarat program pendidikan untuk mendapatkan gelar Dokter
Spesialis Kulit dan Kelamin di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara / RSUP H. Adam Malik Medan
Disetujui:
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Rointan Simanungkalit, SpKK (K) dr. Daratia I. Kadri, SpKK
NIP.196308201989022001 NIP. 196101261988032003
Disahkan oleh:
Ketua Departemen Ketua Program Studi Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan
Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K) dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K)
KATA PENGANTAR
A
ssalamu’alaikum Wr.WbDengan mengucap Alhamdulillah, saya panjatkan puji dan syukur yang tak terhingga kehadirat Allah SWT karena hanya dengan ridho, hidayah dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan seluruh rangkaian penyusunan tesis ini, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar keahlian dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam menjalani pendidikan spesialis ini, berbagai pihak telah turut berperan serta sehingga terlaksananya seluruh rangkaian pendidikan ini. Dengan berakhirnya masa pendidikan saya ini, pada kesempatan yang berbahagia ini, dengan segala kerendahan hati saya sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Terhormat :
dr. Rointan Simanungkalit, SpKK(K), selaku pembimbing utama tesis ini, yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta dengan penuh kesabaran selalu membimbing, memberikan nasehat, masukan, koreksi dan motivasi kepada saya selama proses penyusunan tesis ini.
dr. Daratia I. Kadri, SpKK, selaku pembimbing kedua tesis ini, yang juga telah membimbing dan memberikan masukan-masukan yang sangat bermanfaat selama penyusunan tesis ini.
Prof. Dr. dr. Irma D. Roesyanto-Mahadi, SpKK (K), sebagai Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai guru besar, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti pendidikan spesialis dibidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
dr. Chairiyah Tanjung, SpKK (K), sebagai Ketua Program Studi Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dan sebagai salah satu anggota dari tim penguji, yang juga telah banyak membantu saya, senantiasa mengingatkan dan memberikan dorongan dalam penyelesaian tesis ini maupun selama menjalani pendidikan sehari-hari.
Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. DR. Syahril Pasaribu, SpA(K), DTM&H, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk dapat melaksanakan studi pada Universitas yang Bapak pimpin.
Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD-KGEH, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
pendidikan spesialis di bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
dr. Oratna Ginting, SpKK dan dr. Lukmanul Hakim Nasution, SpKK, sebagai anggota tim penguji, yang telah memberikan bimbingan dan koreksi untuk penyempurnaan tesis ini.
Para Guru Besar, Prof. Dr. dr. Marwali Harahap, SpKK (K), Prof. dr. Mansur A. Nasution, SpKK (K), serta seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK USU, RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah membantu dan membimbing saya selama mengikuti pendidikan ini.
Bapak Direktur RSUP. H. Adam Malik Medan, Direktur RSU Dr. Pirngadi Medan, dan Direktur RS PTPN II Medan, yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada saya selama menjalani pendidikan keahlian ini.
Drs. H. Abdul Jalil Amra, M.Kes, selaku staf pengajar Fakultas Kesehatan Masyarakat USU selaku staf pengajar Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FK USU, yang telah banyak membantu saya dalam metodologi penelitian dan pengolahan statistik penelitian saya ini.
Seluruh staf/pegawai dan perawat di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, baik di RSUP. H. Adam Malik Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan, dan RS PTPN II Medan, atas bantuan, dukungan, dan kerjasama yang baik selama ini.
Papi tercinta (Alm) dr. H. Isro’ Ayyubi Lubis, SpRad, tidak ada kata yang mampu menggantikan rasa terima kasih saya untuk semua pengorbanan, jerih payah dan kasih sayang papi untuk saya selama ini, saat ini hanya doa yang dapat saya panjatkan semoga papi mendapat tempat sebaik-baiknya di sisi Allah SWT dan kepada Mami tersayang Hj. Rosmawati, yang tidak pernah putus memberikan cinta kasih, doa dan dengan penuh kesabaran mengasuh, mendidik serta membesarkan saya, terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan dan betapa bersyukurnya saya mempunyai kedua orang tua seperti papi dan mami. Semoga Allah SWT membalas segalanya.
Suami saya terkasih, Reza Fahlefi, terima kasih yang setulus-tulusnya saya ucapkan atas segala pengorbanan, kesabaran dan pengertiannya serta untuk selalu memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan disetiap saat hingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini.
Anugerah terindah dari Allah SWT, anak-anakku, M. Dzikra (7 tahun), Fatimah Az-Zahra (6 tahun), Haura Alishafara (5 tahun), (Almh) Khaira Ashelafarza (4bln) dan Laksamana Ayyub Ghaffara (2 tahun), yang selalu sabar menunggu saya disaat saya tidak selalu bisa menemaninya dan senantiasa menjadi pendorong semangat saya untuk menyelesaikan pendidikan ini.
Teman seangkatan saya, dr. Poppy Syafnita, SpKK dan dr. Joice Sonya Gani Panjaitan, SpKK, terima kasih untuk kerja sama, kebersamaan, waktu dan kenangan yang tidak akan pernah terlupakan selama menjalani pendidikan ini.
Sahabat-sahabat saya, dr. Ika Fitrika, SpKK, dr. Rr.Sri Sundari, dr. Khairur Rahmah Lubis, dr. Sauri Putra, dr. Sharma Hernita, SpKK, dr. Riana M. Sinaga, dr. Fahmi Rizal, SpKK, dr. Khairina Nasution, dr. Imanda J. Siregar, dr. Rudyn R. Panjaitan dan Sisca Carolina Sidabuke yang telah menjadi teman berbagi cerita suka dan duka selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini.
Semua teman-teman PPDS Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara terutama yang berada di poliklinik sub bagian kosmetik yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan, dukungan, dan kerjasama kepada saya selama menjalani masa pendidikan dan penyelesaian tesis ini, saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tesis ini. Kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Akhir kata, dengan penuh kerendahan hati, izinkanlah saya untuk menyampaikan permohonan maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan, kekhilafan dan kekurangan yang telah saya lakukan selama proses penyusunan tesis dan selama saya menjalani pendidikan. Semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang telah diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan, kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amin ya Rabbal Alamin.
Medan, Juni 2011
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar belakang masalah ...1
1.2 Rumusan masalah...3
1.3 Hipotesis...3
1.4 Tujuan penelitian ...4
1.4.1 Tujuan umum...4
1.4.2 Tujuan khusus...5
1.5 Manfaat penelitian ...5
1.6 Kerangka teori ...6
1.7 Kerangka konsep ...7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...8
2.1 Melasma ...8
2.1.1 Pendahuluan...8
2.1.2 Epidemiologi ...8
2.1.3 Etiologi ...9
A. Sistem pigmentasi kulit ...10
B. Patogenesis faktor – faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma ...12
2.1.5 Gambaran klinis...17
2.1.6 Pemeriksaan penunjang ...18
A. Pemeriksaan laboratorium ...18
B. Pemeriksaan histopatologis ...18
C. Pemeriksaan dengan lampu Wood...18
2.1.8 Diagnosis banding ...20
2.1.9 Penatalaksanaan ...20
2.2 Astaxanthin...21
2.2.1 Pendahuluan...21
2.2.2 Mekanisme kerja...22
2.2.3 Cara kerja...23
2.3 Triple combination...23
2.3.1 Pendahuluan...23
2.3.2 Mekanisme kerja ...24
B. Tretinoin ...25
C. Kortikosteroid ...26
2.3.3 Cara kerja ...27
2.3.4 Efek samping ...27
2.4 Tabir surya...28
2.5 Evaluasi hasil pengobatan (efikasi) ...30
2.5.1 Teknik evaluasi subjektif...31
2.5.2 Teknik evaluasi objektif ...32;
BAB III METODOLOGI PENELITIAN...33
3.1 Desain penelitian ...33
3.2 Waktu dan tempat penelitian ...33
3.3 Populasi penelitian ...33
3.3.1 Populasi target ...33
3.3.2 Populasi terjangkau...33
3.3.3 Sampel ...33
3.4 Besar sampel...34
3.6 Identifikasi variabel ...35
3.7 Kriteria inklusi dan eksklusi...35
3.7.1 Kriteria inklusi ...35
3.7.2 Kriteria eksklusi...35
3.8 Alat, bahan dan cara kerja ...36
3.8.1 Alat & bahan...36
3.8.2 Cara kerja...36
3.9 Definisi operasional ...42
3.10Kerangka operasional ...44
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN...45
4.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian ...45
4.1.1 Kelompok usia ...45
4.1.2 Suku ...47
4.1.3 Pekerjaan ...47
4.1.4 Riwayat keluarga ...48
4.1.5 Faktor predisposisi...49
4.1.6 Pola melasma ...51
kontrol terhadap Melasma Severity Scale mulai minggu 0, 4 dan 8 ...52
4.3 Skor MASI...53
4.3.1 Perbandingan hasil pengobatan antara kelompok terapi dengan kelompok kontrol terhadap skor MASI mulai minggu 0-8 ...53
4.4 Efek samping ...54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...55
5.1 Kesimpulan ...55
5.2 Saran ...56
DAFTAR PUSTAKA...57
LAMPIRAN LAMPIRAN I Lembar Penjelasan Kepada Subyek (Pasien) ...63
LAMPIRAN II Persetujuan Ikut Serta Dalam Penelitian...65
DAFTAR TABEL
1.
Tabel 4.1 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kelompok usia : ...45
2.
...
T
abel 4.2 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan suku ...47
3.
...
T
abel 4.3 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pekerjaan ...48
4.
...
T
abel 4.4 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan riwayat keluarga ...49
5.
...
T
abel 4.5 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan kemungkinan faktor predisposisi ...50
6.
...
T
abel 4.6 Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pola melasma ...52
7.
...
T
abel 4.7 Perbandingan
Melasma Severity Scale
antara kelompok terapi dan kelompok
kontrol dari minggu 0-minggu 8. ...53
8.
...
T
Efektifitas
Astaxanthin
Oral disertai Gel
Astaxanthin
Dibandingkan
dengan
Astaxanthin
Oral disertai Krim
Triple Combination
(Hidrokuinon 4%, Tretinoin 0,05%, Fluosinolon Asetonid 0,01%)
dalam Pengobatan Melasma
Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
Abstrak
Latar belakang : Melasma merupakan suatu penyakit kulit hipermelanosis, didapat, dan letaknya simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah. Melasma sering ditemukan pada wanita. Banyak modalitas terapi yang ada akan tetapi tidak satupun memberikan hasil pengobatan yang memuaskan.
Tujuan : Mengetahui perbedaan efektifitas pemberian astaxanthin oral disertai gel astaxanthin dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination terhadap pasien melasma.
Subyek dan metode : Penelitian bersifat uji klinis, acak, tersamar ganda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2011, melibatkan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai gel astaxanthin (dua kali sehari) sebagai kelompok terapi dan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai krim triple combination (sekali sehari) sebagai kelompok kontrol, pengobatan diberikan selama 8 minggu. Terhadap subyek penelitian dilakukan penilaian derajat keparahan melasma (Melasma Severity Scale), pengukuran skor Melasma Area and Severity Index (MASI) dan efek samping obat.
Hasil : Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin secara statistik lebih efektif bermakna dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination dimana lesi melasma hampir sama dengan warna kulit disekitarnya setelah 4 minggu kedepan ditemukan sebanyak 23,1% pada kelompok terapi, dibandingkan 16,7% pada kelompok kontrol (p=0,014). Penurunan skor MASI baik kelompok terapi maupun kelompok kontrol yang diukur mulai mulai minggu ke 0 samping minggu ke 8 secara statistik bermakna (p=0,0001). Efek samping hanya ditemukan pada kelompok kontrol (22/24, 91,7%).
Kesimpulan: Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin lebih efektif dan aman dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination dalam pengobatan melasma.
Efficacy of Oral Astaxanthin combined with Astaxanthin
Gel
compared with Oral Astaxanthin combined with Triple
Combination Cream (hydroquinone 4%, tretinoin 0,05%,
fluocinolone acetonide 0,01%) in the Treatment of Melasma
Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri
Departement of Dermatology-Venereology
Faculty of Medicine, University of North Sumatera
H. Adam Malik Hospital, Medan
Abstract
Background : Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis that occurs on sun-exposed facial areas. Melasma is frequently observed among women. Many modalities of treatment are available but none is satisfactory.
Aim : To compare the efficacy and safety of oral astaxanthin combined with astaxanthin gel and oral astaxanthin combined with triple combination cream in the treatment of melasma.
Subject and methods : A double blind, randomize, clinical trial design study was conducted from January to May 2011, 54 female patient with epidermal melasma were divided into two groups of 27 each. One group received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical astaxanthin (twice daily). The other, a control group, received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical triple combination (once daily) for 8 weeks. Evaluation include static global severity assessment (Melasma Severity Scale), Melasma Area and Severity Index (MASI) score, and adverse event.
Results : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was significantly more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream week 4 onwards: lesion were approximately equivalent to the surrounding skin in 23,1% of all oral astaxanthin combined astaxanthin gel, compared to 16,7% of those who used oral astaxanthin combined with triple combination cream (p=0,014). All 54 patients showed marked improvement, as calculated by the MASI score before and after treatment, and the response was highly statistically significant (p=0,0001). Adverse events were observed on oral astaxanthin combined with triple combination cream (22/24, 91,7%).
Conclusion : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream and safe agent in the treatment of melasma.
Efektifitas
Astaxanthin
Oral disertai Gel
Astaxanthin
Dibandingkan
dengan
Astaxanthin
Oral disertai Krim
Triple Combination
(Hidrokuinon 4%, Tretinoin 0,05%, Fluosinolon Asetonid 0,01%)
dalam Pengobatan Melasma
Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara
Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik, Medan
Abstrak
Latar belakang : Melasma merupakan suatu penyakit kulit hipermelanosis, didapat, dan letaknya simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah. Melasma sering ditemukan pada wanita. Banyak modalitas terapi yang ada akan tetapi tidak satupun memberikan hasil pengobatan yang memuaskan.
Tujuan : Mengetahui perbedaan efektifitas pemberian astaxanthin oral disertai gel astaxanthin dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination terhadap pasien melasma.
Subyek dan metode : Penelitian bersifat uji klinis, acak, tersamar ganda. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2011, melibatkan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai gel astaxanthin (dua kali sehari) sebagai kelompok terapi dan 27 orang penderita melasma yang diobati dengan astaxanthin oral (sekali sehari) disertai krim triple combination (sekali sehari) sebagai kelompok kontrol, pengobatan diberikan selama 8 minggu. Terhadap subyek penelitian dilakukan penilaian derajat keparahan melasma (Melasma Severity Scale), pengukuran skor Melasma Area and Severity Index (MASI) dan efek samping obat.
Hasil : Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin secara statistik lebih efektif bermakna dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination dimana lesi melasma hampir sama dengan warna kulit disekitarnya setelah 4 minggu kedepan ditemukan sebanyak 23,1% pada kelompok terapi, dibandingkan 16,7% pada kelompok kontrol (p=0,014). Penurunan skor MASI baik kelompok terapi maupun kelompok kontrol yang diukur mulai mulai minggu ke 0 samping minggu ke 8 secara statistik bermakna (p=0,0001). Efek samping hanya ditemukan pada kelompok kontrol (22/24, 91,7%).
Kesimpulan: Astaxanthin oral disertai gel astaxanthin lebih efektif dan aman dibandingkan astaxanthin oral disertai krim triple combination dalam pengobatan melasma.
Efficacy of Oral Astaxanthin combined with Astaxanthin
Gel
compared with Oral Astaxanthin combined with Triple
Combination Cream (hydroquinone 4%, tretinoin 0,05%,
fluocinolone acetonide 0,01%) in the Treatment of Melasma
Faridah Israwaty Lubis,Rointan Simanungkalit,Daratia I. Kadri
Departement of Dermatology-Venereology
Faculty of Medicine, University of North Sumatera
H. Adam Malik Hospital, Medan
Abstract
Background : Melasma is a common acquired symmetrical hypermelanosis that occurs on sun-exposed facial areas. Melasma is frequently observed among women. Many modalities of treatment are available but none is satisfactory.
Aim : To compare the efficacy and safety of oral astaxanthin combined with astaxanthin gel and oral astaxanthin combined with triple combination cream in the treatment of melasma.
Subject and methods : A double blind, randomize, clinical trial design study was conducted from January to May 2011, 54 female patient with epidermal melasma were divided into two groups of 27 each. One group received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical astaxanthin (twice daily). The other, a control group, received oral astaxanthin (once daily) combined with a topical triple combination (once daily) for 8 weeks. Evaluation include static global severity assessment (Melasma Severity Scale), Melasma Area and Severity Index (MASI) score, and adverse event.
Results : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was significantly more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream week 4 onwards: lesion were approximately equivalent to the surrounding skin in 23,1% of all oral astaxanthin combined astaxanthin gel, compared to 16,7% of those who used oral astaxanthin combined with triple combination cream (p=0,014). All 54 patients showed marked improvement, as calculated by the MASI score before and after treatment, and the response was highly statistically significant (p=0,0001). Adverse events were observed on oral astaxanthin combined with triple combination cream (22/24, 91,7%).
Conclusion : Oral astaxanthin combined with astaxanthin gel was more effective than oral astaxanthin combined with triple combination cream and safe agent in the treatment of melasma.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Melasma (juga dikenal sebagai chloasma atau topeng kehamilan) berasal dari bahasa
Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa
makula coklat terang sampai kehitaman dengan pinggir iregular, berbentuk simetris pada daerah
yang sering terpapar sinar matahari, terutama wajah.1-8
Insiden pasti melasma masih belum diketahui.1,2,6 Hasil penelitian Halder dkk., dari 2000 pasien kulit hitam yang mendatangi praktik pribadi ahli kulit di Washington DC menyatakan
bahwa kelainan kulit peringkat ketiga tersering setelah vitiligo adalah masalah hiperpigmentasi.4 Dari data rekam medis pasien yang datang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan periode Januari
sampai Desember 2009, didapati 22 orang (0,41%) pasien melasma.9
Melasma paling sering diderita wanita usia reproduksi, sedangkan pria 10% dari
keseluruhan kasus.Melasma dapat terjadi pada semua ras, akan tetapi paling sering mengenai
individu berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV, V, VI), yaitu bangsa Hispanik, Asia Timur dan
Selatan yang merupakan daerah dengan radiasi sinar ultraviolet (UV) yang tinggi.1-8
Meskipun penyebab pasti melasma masih kurang dimengerti, terdapat banyak faktor yang
terlibat dalam etiopatogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, radiasi
sinar matahari dan faktor lainnya seperti pemakaian bahan kosmetika tertentu, obat-obatan
Ada tiga bentuk klinis berdasarkan distribusi pigmen pasien melasma. Bentuk sentrofasial
(63%), malar (21%) dan mandibular (16%). Jumlah makula hiperpigmentasi bervariasi mulai dari
lesi tunggal sampai multipel.1,4,8
Meskipun melasma tidak mempunyai risiko secara medis, tetapi melasma dapat
menganggu penampilan wajah, hal ini secara emosional sangat mengganggu penderita dan juga
menjadi masalah sosial diberbagai negara.10 Sayangnya, apabila seseorang mendapat melasma maka mereka mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengalami rekurensi.3 Melasma juga merupakan kelainan yang sulit diobati dengan pengobatan yang ada, meskipun salah satu kunci
keberhasilan pengobatan telah dilakukan (pemakaian tabir surya dan menghindari paparan sinar
matahari).2,4-7,11,13 Saat ini belum ada terapi spesifik yang benar-benar efektif untuk pasien melasma secara keseluruhan.Pengobatan yang ada memiliki efektifitas yang bervariasi terhadap
depigmentasi.1
Mengingat akan pentingnya bagi pasien dan para dokter untuk mengobati kelainan ini,
berbagai pengobatan terbaru telah digunakan untuk mengobati melasma.10 Sasaran pengobatan melasma harus bertujuan memperlambat proliferasi melanosit, menghambat pembentukan
melanosom dan meningkatkan degradasi melanosom.1,3,7 Hal ini dapat tercapai melalui inhibisi aktivitas melanosit, inhibisi sintesis melanin, menghilangkan/mendestruksi melanin dan
mengganggu granul-granul melanin. Menghindari paparan langsung sinar matahari dan
pemakaian tabir surya berspektrum luas terhadap radiasi sinar UV (UVA dan UVB) dan sinar
tampak secara teratur, menghentikan pemakaian kontrasepsi oral, suntik, dan susuk, atau
bahan-bahan yang mengandung estrogen-progesteron dan menghindari produk-produk kosmetika wajah
yang mengandung pewangi, sangatlah penting untuk pencegahan terbentuknya melanin baru dan
bercak kehitaman akibat melanin, selain dari penggunaan obat-obat depigmentasi seperti
pycnogenol, pigmen karotenoid astaxanthin (AX), dan pengelupasan secara kimia, dermabrasi, serta laser yang dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi.1,6,7,8,10-15
Efikasi pengobatan monoterapi yang kurang dan tidak dapat diprediksi pada melasma
menyebabkan berkembangnya bahan-bahan terapeutik kombinasi, diantaranya formula Kligman.
Pigmentary Disorders Academy (PDA) berpendapat bahwa terapi triple combination (TC) topikal yang telah fixed harus diberikan sebagai terapi lini pertama untuk melasma. Saat ini, kebutuhan
akan fixed combination therapy yang stabil telah tercapai dengan ditemukannya krim TC yang mengandung hidrokuinon 4%, tretinoin 0,05% dan fluosinolon asetonid 0,01%.2,6,10 ,11
Penelitian Chan dkk. (2005) terhadap pasien melasma derajat sedang sampai berat yang
diobati dengan terapi TC menunjukkan adanya perbaikan derajat keparahan melasma berdasarkan
investigator’s assessment of Global Severity Score dan penurunan skor MASI (Melasma Area Severity Index). Penelitian ini juga melaporkan adanya efek samping ringan seperti eritema, iritasi, eksfoliasi dan perasaan tidak nyaman di kulit.6
Penelitian Moertolo (2009) terhadap wanita dengan melasma tipe epidermal yang
membandingkan pengobatan antara AX oral disertai AX topikal dan AX topikal, dimana kedua
pengobatan memberikan perubahan yang lebih cepat pada area hiperpigmentasi yang diterapi.
Tidak ditemukan adanya efek samping pada penelitian ini.14
Pengobatan yang ideal seharusnya mempunyai efek yang kuat, cepat, dan permanen dan
tanpa efek samping.12 Atas pertimbangan hal diatas maka perlu kiranya dilakukan penelitian lanjutan tentang pengobatan melasma menggunakan AX. Di Medan hingga saat ini belum pernah
dilakukan penelitian yang membandingkan AX oral disertai AX topikal dengan terapi TC dalam
pengobatan melasma. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat pengaruh
pemberian AX oral disertai gel AX dan pemberian AX oral disertai krim TC, mengetahui lama
pengobatan pasien melasma yang datang berobat ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen
Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2 Rumusan masalah
Apakah pemberian AX oral disertai gel AX lebih efektif dibandingkan AX oral disertai
krim TC dalam memperbaiki gambaran klinis pasien melasma (penurunan nilai Melasma
Severity Scale dan skor MASI)?
1.3 Hipotesis
Terdapat perbaikan gambaran klinis (penurunan nilai Melasma Severity Scale dan skor
MASI) yang lebih baik dengan pemakaian AX oral disertai gel AX dibandingkan AX
oral disertai krim TC.
1.4 Tujuan penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan efektifitas pemberian AX oral disertai gel AX
dibandingkan AX oral disertai krim TC terhadap pasien melasma.
A. Mengetahui perubahan gambaran klinis (penurunan nilai Melasma Severity
Scale dan skor MASI) yang terjadi setelah diterapi dengan AX oral disertai gel AX.
B. Mengetahui perubahan gambaran klinis (penurunan nilai Melasma Severity
Scale dan skor MASI) yang terjadi setelah diterapi dengan AX oral disertai krim TC.
C. Mengetahui efek samping yang terjadi setelah pemberian terapi AX oral
disertai gel AX pada pasien melasma.
D. Mengetahui efek samping yang terjadi setelah pemberian terapi AX oral
disertai krim TC pada pasien melasma.
1.5 Manfaat penelitian
1.5.1 Membuka wawasan mengenai penanganan melasma.
1.5.2 Sebagai alternatif terapi pada pengobatan melasma dengan efek samping
minimal.
1.6 Kerangka teori
faktor paparan sinar matahari
faktor obat‐obatan tertentu faktor genetik faktor endokrin faktor kosmetika
morfologi melanosit, struktur matriks melanosom,
aktivitas tirosinase, tipe melanin yang
di i t i
preoksidasi lipid membran selular estrogen,
progesteron, MSH, ACTH lipoprotein
obat anti epilepsi, tetrasiklin, fotosensitisasi
klorokuin dll terbentuk radikal
bebas
tertimbun diatas lapisan dermis stimulasi melanosit
produksi melanin >>>
1.7 Kerangka konsep
AX oral disertai gel AX MELASMA
AX oral disertai krim TC
1. Evaluasi klinis:
- Perubahan Melasma Severity Scale
- Perubahan skor MASI
2. Evaluasi efek samping
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Melasma
2.1.1 Pendahuluan
Melasma merupakan kelainan hipermelanosis yang sangat sering dijumpai, bersifat
didapat, dengan distribusi simetris pada daerah yang sering terpapar sinar matahari dan biasanya
dijumpai pada wanita usia reproduksi.Melasma muncul dalam bentuk makula berwarna coklat
terang sampai gelap dengan pinggir yang iregular, biasanya melibatkan daerah dahi, pelipis, pipi,
hidung, di atas bibir, dagu, dan kadang-kadang leher. Meskipun melasma dapat mengenai semua
orang, akan tetapi lebih sering pada wanita Asia dan Hispanik berkulit gelap. 2-11,15-18,19
2.1.2 Epidemiologi
Insiden pasti melasma masih belum diketahui. Banyaknya bahan-bahan pemutih yang
dijual bebas berpengaruh terhadap keterbatasan insiden pasti yang sebenarnya.1,2,4,6 Diperkirakan di Amerika Serikat, sekitar 5-6 juta wanita menderita kelainan ini.10,15 Prevalensi melasma pada kulit Asia tidak diketahui akan tetapi diperkirakan berkisar 40% terjadi pada wanita dan 20%
ke Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, 22 orang
(0,41%) diantaranya merupakan pasien dengan diagnosis melasma.9
Melasma terutama mengenai wanita usia reproduksi, sedangkan pria hanya 10% dari
keseluruhan kasus, dan secara klinis serta histologis memberikan gambaran yang sama seperti
pada wanita.1,3,4,6,8,10,11 Penelitian oleh Goh dan Dlova di Singapura mendapatkan rasio melasma antara wanita dan pria sebesar 21:1. Di Indonesia perbandingan kasus melasma antara wanita dan
pria adalah 24:1, terbanyak pada wanita usia subur berusia 30-44 tahun dengan riwayat terpapar
langsung sinar matahari.20 Sudharmono dkk. (2004) di Jakarta, dari 145 pasien melasma hampir seluruh pasien berjenis kelamin wanita (97,93%), kecuali 3 pasien berjenis kelamin pria
(2,07%).21
Meskipun melasma dapat mengenai semua ras akan tetapi paling sering dijumpai pada ras
berkulit gelap (tipe kulit Fitzpatrick IV-VI) terutama pada wanita ras Asia dan Hispanik yang
tinggal pada daerah dengan radiasi ultraviolet yang tinggi.1,2,4,7,8,15,22-24 Pada wanita ras Latin, melasma lebih sering terjadi pada tipe kulit III-IV.17
2.1.3 Etiologi
Etiologi melasma masih belum dimengerti.1-3,23,25 Adapun faktor-faktor yang berperan dalam patogenesis melasma diantaranya faktor endokrin, predisposisi genetik, paparan radiasi
UV, dan faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor yang terlibat lainnya adalah kandungan tertentu yang
terdapat dalam kosmetika, defisiensi nutrisi, obat-obat yang bersifat fototoksik, dan fotosensitif
atau fotoalergik, dan obat-obatan antikonvulsan yang apabila berkombinasi dengan sinar matahari
akan ikut terlibat dalam patogenesis melasma.1-5,8,10,12,15,16,24 Dari sekian banyak faktor etiologi yang berhubungan dengan melasma, paparan sinar matahari terlihat sangat berperan
dan sebagian besar onset melasmanya terjadi selama musim panas, pasien merasa pada musim
dingin melasma mereka nyata berkurang. Pasien ini juga mengatakan bahwa paparan sinar
matahari akan memperparah melasma mereka.5 Pathak dkk. memperkirakan bahwa pengaruh genetik dan paparan sinar matahari adalah yang sangat berperan.4,12,27 Beberapa dari faktor-faktor tersebut telah diobservasi sedangkan yang lainnya telah dilakukan uji klinis.5 Kira-kira sepertiga kasus melasma pada wanita, dan sebagian besar pada pria adalah idiopatik.3,27,28
2.1.4 Patogenesis
Patogenesis melasma selalu digunakan dalam pelaksanaan proses diagnosis maupun
proses pengobatan. Pengetahuan tentang patogenesis melasma banyak berkaitan dengan biologi,
biokimia, patofisiologi dan patologi dari proses pigmentasi kulit, baik ditingkat selular,
biomolekular dan jaringan kulit. Juga berhubungan langsung dengan faktor penyebab melalui
beberapa mekanisme yang bersifat spesifik.27
A. Sistem Pigmentasi Kulit
Sistem pigmentasi manusia terdiri dari 2 (dua) tipe sel, yaitu melanosit dan
keratinosit beserta komponen selular yang berinteraksi membentuk hasil akhir yaitu
pigmen melanin.27 Melanosit yaitu suatu sel eksokrin, yang berada di lapisan basal epidermis dan matriks bulbus rambut. Setiap melanosit lapisan basal dihubungkan
melalui dendrit-dendrit melanosit dengan 36 keratinosit yang berada pada lapisan
malphigi epidermis, ini yang disebut dengan unit melanin lapisan epidermal. Melanosit
memproduksi tirosinase dan melanosom. Di dalam melanosit diproduksi dua subtipe
melanin, eumelanin dan feomelanin. Tirosinase berperan dalam pembentukan dua subtipe
Skema 1. Pigmentasi kulit*
Tirosin
hidroksilasi
3,4-dihidroksifenilalanin (DOPA)
oksidasi enzim tirosinase
DOPAquinon
Pembentukan melanin di dalam melanosom
Bermigrasi ke dalam dendrit-dendrit dari melanosit
setiap melanosit berhubungan
dengan beberapa keratinosit
Unit Melanin Epidermal
*Sesuai dengan kepustakaan aslinya no.30
Melanin merupakan pigmen yang dihasilkan oleh melanosit dari polimerisasi dan
oksidasi pada proses melanogenesis. Terdapat 2 pigmen melanin yaitu, eumelanin
(coklat-hitam) dan feomelanin (kuning-merah). Eumelanin bersifat lebih dominan.27,29,31 Melanin ditransfer dari melanosit ke epidermis melalui keratinosit. Degradasi
melanosom dilakukan oleh asam hidrolase lisosom selama keratinosit naik menuju
masuk ke dalam dermis dan ditangkap oleh makrofag, maka sel-sel ini yang kemudian
dikatakan sebagai melanofag.28
Karakteristik keadaan untuk melasma yaitu terjadi kelainan proses pigmentasi berupa
hipermelanosis epidermal, yang disebabkan oleh peningkatan produksi melanin tanpa
perubahan jumlah melanosit, dengan mekanisme peningkatan produksi melanosom,
peningkatan melanisasi dari melanosom, pembentukan melanosom yang lebih besar,
peningkatan pemindahan melanosom ke dalam keratinosit, dan peningkatan ketahanan
melanosom dalam keratinosit.27
B.Patogenesis faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya melasma
a). Faktor Endokrin
Hormon yang dikenal dapat meningkatkan melanogenesis antara lain : Melanin
Stimulating Hormone (MSH), ACTH, lipotropin, estrogen, dan progesteron.27,31
Melanin Stimulating Hormon (MSH) merangsang melanogenesis melalui interaksi dengan reseptor membran untuk menstimulasi aktivitas adenyl cyclase
(c-AMP) dan juga meningkatkan pembentukan tirosinase, melanin dan penyebaran
melanin. Hipermelanosis yang difus berhubungan dengan insufisiensi korteks adrenal.
Peningkatan MSH dan ACTH yang dikeluarkan oleh kelenjar pituitari akan terjadi bila
kortisol mengalami defisiensi sebagai akibat dari kegagalan mekanisme inhibisi
umpan balik.27
Estrogen dan progesteron baik natural maupun sintetis diduga sebagai penyebab
terjadinya melasma oleh karena sering berhubungannya dengan kehamilan (Snell,
1964), penggunaan obat kontrasepsi yang mengandung estrogen dan progesteron
wanita postmenopause (Parker, 1981) dan pengobatan kanker prostat dengan
dietilbestrol (Ross dkk., 1981).1,18 Meskipun peran estrogen dalam menginduksi melasma belum diketahui, namun dilaporkan bahwa melanosit yang mengandung
reseptor estrogen menstimulasi sel-sel tersebut menjadi hiperaktif.1
Peranan hormon estrogen dan progesteron pada kehamilan yang disertai melasma
juga belum diketahui dengan pasti. Pathak dkk. berpendapat bahwa melasma tidak
akan hilang setelah proses kelahiran atau penghentian penggunaan obat kontrasepsi.
Kelainan ini dapat memudar akan tetapi lebih sering persisten untuk jangka waktu
yang lama, dan timbul kembali pada kehamilan berikutnya.3,4,11,23 Dari penelitian ternyata 77% wanita yang menderita melasma karena pemakaian pil kontrasepsi, juga
menderita melasma gravidarum.27 Pada penelitian Iraji di Iran menunjukkan dari 230 wanita hamil, 27,6% menderita melasma. Muzzaffar di Pakistan menyatakan dari 140
wanita hamil, 46,4% menderita melasma dan pada satu penelitian di Perancis oleh
Estev dkk. (1994) pada 60 wanita hamil, dilaporkan prevalensi sebanyak 5% (n=3).
Prevalensi melasma pada penelitian lainnya dilaporkan sebanyak 50-70%.32 Pada mamalia, hormon pituitari dan ovarium merangsang terjadinya melanogenesis.29
Walaupun estrogen disangka memegang peranan penting dalam etiologi
melasma, terdapat insiden yang rendah diantara para wanita postmenopause yang
mendapat terapi pengganti.2,3,27
Perez dkk. mengevaluasi profil endokrinologik pada 9 wanita dengan melasma
idiopatik dan menemukan adanya peningkatan level leutinizing hormon (LH) dan level
estradiol serum yang rendah, abnormalitas diduga akibat adanya disfungsi ovarium
hormon yang abnormal, dengan peningkatan level sirkulasi LH dan level testosteron
serum yang rendah dibanding kontrol, mungkin oleh karena testicular resistance.1,4 ,5,18
Disamping itu juga terdapat hubungan yang signifikan antara penyakit autoimun
tiroid dengan melasma. Penelitian oleh Lutfi dkk. pada 108 wanita yang tidak hamil
dan menemukan hubungan yang bermakna antara penyakit tiroid autoimun dan
melasma, terutama pada wanita yang penyakit tersebut didapat pada saat hamil atau
setelah menggunakan obat kontrasepsi oral. Pada penelitian ini penderita penyakit
tiroid empat kali lebih besar menderita melasma (n=84) dibanding kontrol
(n=25).1,4,5,23
b). PredisposisiGenetik
Faktor genetik dan ras mempunyai kontribusi bermakna terhadap patogenesis
melasma, seperti yang diduga pada kajadian melasma familial bahwa penyakit ini jauh
lebih sering ditemukan pada ras Hispanik, Latin, Oriental dan Indo-Cina.1,11 Faktor predisposisi genetik pada melasma sering dijumpai pada penderita dengan tipe kulit
III-VI.28
Orang-orang yang berkulit coklat terang dari daerah yang banyak mengandung
sinar matahari, menunjukkan lebih dari 30% penderita melasma mempunyai riwayat
keluarga dengan melasma juga. Pada kembar identik pernah dilaporkan menderita
melasma, sementara saudara kandung lain dengan kondisi yang sama tidak menderita
melasma. Sanchas melaporkan 25% penderita melasma mempunyai keluarga yang
juga menderita melasma, sedangkan Vasquez melaporkan sebanyak 70% dan Pathak
sebanyak 30%.27 Penelitian Rikyanto (2003), pasien melasma yang terjadi pada usia 21-30 tahun kemungkinan besar terjadi karena faktor genetik. Melasma terjadi pada
dilaporkan beberapa kasus yang familial, bukti bahwa melasma dapat diturunkan
sangat lemah.28,30
Faktor genetik melibatkan migrasi melanoblas dan perkembangan serta
diferensiasinya di kulit. Morfologi melanosit, struktur matriks melanosom, aktivitas
tirosinase dan tipe dari melanin yang disintesis, semua dibawah kontrol genetik.30,31
c). Faktor Paparan Sinar Matahari
Paparan sinar matahari adalah faktor yang sangat berpengaruh, dan ini berlaku
untuk semua pasien yang mengalami perbaikan atau bertambah parah apabila terpapar
sinar matahari.23 Eksaserbasi melasma hampir pasti dijumpai setelah terpapar sinar matahari yang berlebihan, mengingat kondisi melasma akan memudar selama musim
dingin.1,3 Lipid dan jaringan tubuh (kulit) yang terpapar dengan sinar, terutama UV dapat menyebabkan terbentuknya singlet oxygen dan radikal bebas yang merusak lipid
dan jaringan tersebut. Radikal bebas ini akan menstimulasi melanosit untuk
memproduksi melanin yang berlebihan.14
Panjang gelombang dari radiasi sinar matahari yang paling berisiko dalam
pencapaiannya ke bumi adalah UVB 290-320 nm dan UVA 320-400 nm. Semakin
kuat UVB maka akan semakin menimbulkan reaksi di epidermis, dengan perkiraan
10% dapat mencapai dermis, sementara 50% UVA akan mencapai dermis.30 Sinar UV akan merusak gugus sulfhidril yang merupakan penghambat tirosinase sehingga
dengan adanya sinar UV, enzim tirosinase bekerja secara maksimal dan memicu
proses melanogenesis.27 Pada mekanisme perlindungan alami terjadi peningkatan melanosit dan perubahan fungsi melanosit sehingga timbul proses tanning cepat dan
lambat sebagai respon terhadap radiasi UV. Ultraviolet A menimbulkan reaksi
ada, dan melanin hasil radiasi UVA hanya tersebar pada stratum basalis. Pada reaksi
pigmentasi lambat yang disebabkan oleh UVB, melanosit mengalami proliferasi,
terjadi sintesis dan redistribusi melanin pada keratinosit disekitarnya. Melasma
merupakan proses adaptasi melanosit terhadap paparan sinar matahari yang kronis.27
Terjadinya melasma pada daerah wajah karena memiliki jumlah melanosit
epidermal yang lebih banyak dibanding bagian tubuh lainnya dan merupakan daerah
yang paling sering terpapar sinar matahari.Interaksi antara faktor sinar matahari dan
berbagai hormon terjadi di perifer, kemudian bersama-sama mempengaruhi
metabolisme melanin di dalam melanoepidermal unit.27,30,31
d). Faktor Kosmetika
Berbagai zat yang terkandung didalam kosmetika dapat memberikan faktor
positif dan negatif bagi kulit. Perbedaan ras, warna dan jenis kulit seseorang dapat
menimbulkan efek kosmetik. Penelitian Tranggono pada bulan Januari sampai
Desember 1978 terhadap 244 pasien di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta yang
menderita noda-noda hitam, 18,3% diantaranya disebabkan oleh kosmetik.30 Bahan kosmetika yang menimbulkan hiperpigmentasi/melasma yaitu yang berasal dari bahan
iritan atau photosensitizer misalnya minyak bergamot, tar, beberapa asam lemak,
minyak mineral, petrolatum, lilin tawon, bahan pewarna seperti Sudan III, para-fenilen
diamin, pewangi, dan pengawet kosmetik.1,19,27,33 Melasma yang terjadi biasanya difus dengan batas tidak jelas dan akan lebih jelas bila terkena sinar matahari.27
Patogenesis diduga akibat reaksi fotosensitisasi setelah terkena pajanan sinar
matahari. Absorbsi sinar oleh bahan fotosensitizer, kemudian terbentuk hapten yang
akan bergabung dengan protein karier dan memicu terjadinya respon imun. Mediator
leukotrien C4 dan D4. Sedangkan sitokin dan interleukin (IL)-1 α, IL6, Tumor Necrosing Factor (TNF) α menghambat proliferasi melanosit.27
Selain hipermelanosis epidermal, juga terdapat hipermelanosis dermal dan edema
kutis. Terdapat peningkatan jumlah makrofag dermis bagian atas dan multiplikasi
lamina basalis. Terjadinya respon edema kutis terhadap pemberian bahan-bahan kimia
ini menunjukkan adanya degenerasi dan regenerasi sel basal. Dalam proses ini
melanosom dalam keratinosit yang mengalami degenerasi berpindah ke dermis dan
terjadilah inkontinensia pigmenti, dan hiperpigmentasi dermal.27
e). Faktor Obat-obatan
Pigmentasi yang ditimbulkan oleh obat mencapai 10-20% dari keseluruhan kasus
hiperpigmentasi yang didapat. Patogenesis pigmentasi yang diinduksi oleh obat ini
bermacam-macam, berdasarkan pada penyebab pengobatan dan melibatkan akumulasi
melanin, diikuti dengan peradangan kutaneus yang non spesifik dan sering diperparah
dengan paparan sinar matahari.30 Biasanya obat-obat ini akan tertimbun pada lapisan atas dermis bagian atas secara kumulatif, dan juga dapat merangsang melanogenesis.33
Beberapa obat yang dapat merangsang aktivitas melanosit dan meningkatkan
pigmentasi kulit terutama pada daerah wajah yang sering terpapar sinar matahari yaitu,
obat-obat psikotropik seperti fenotiazin (klorpromazin), amiodaron, tetrasiklin,
minosiklin, klorokuin, sitostatika, logam berat, arsen inorganik, dan obat
antikonvulsan seperti hidantoin, dilantin, fenitoin dan barbiturat.3,27
Lesi melasma tampak sebagai makula coklat terang sampai gelap, dengan pinggir
iregular, dan distribusi biasanya simetris pada wajah, menyatu dengan pola retikular.8 Terdapat tiga pola utama dari distribusi lesi tersebut, yaitu sentrofasial (63%) mengenai daerah pipi, dahi,
hidung, di atas bibir dan dagu, merupakan bentuk yang paling sering ditemukan, malar (21%)
mengenai pipi dan hidung, dan mandibular (16%) mengenai ramus mandibula. 1,3,4,8,12,17,20,23,,32,34 Melasma tidak mengenai membran mukosa. Jumlah makula hiperpigmentasi berkisar antara satu
lesi sampai multipel dengan distribusi simetris.1
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak diindikasikan, hanya saja dapat dipertimbangkan untuk pemeriksaan fungsi
endokrin, tiroid dan hepatik.33
B. Pemeriksaan histopatologis
Lesi kulit melasma terlihat jelas berbeda dibanding dengan kulit normal. Terdapat
tiga gambaran histopatologis dari pigmentasi yaitu epidermal, dermal, dan campuran.
Pada melasma tipe epidermal, yang terlihat berwarna kecoklatan, terdapat peningkatan
melanin di lapisan basal dan suprabasal. Peningkatan jumlah dan aktivitas melanosit
masih diamati seiring dengan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit. Tipe
epidermal lebih responsif terhadap pengobatan.1,3,4,5,12,28,34 Pada melasma tipe dermal, yang terlihat berwarna abu-abu kebiruan, pigmen melanin yang diproduksi oleh melanosit
epidermal memasuki papilla dermis dan diambil oleh makrofag (melanofag), dimana
sering berkumpul di sekitar pembuluh darah kecil dan dilatasi. Pada melasma tipe
campuran ditandai dengan adanya deposisi pada lapisan dermal dan epidermal.1,3,4,5,28,31
Berdasarkan lokalisasi pigmen melasma terbagi dalam empat tipe. Klasifikasi
sebelum pengobatan sangat penting oleh karena lokalisasi pigmen dapat menentukan
pengobatan yang akan dipilih. Untuk membantu dalam menentukan lokalisasi pigmen,
sebelum diterapi maka pasien harus diperiksa dengan menggunakan lampu Wood.1
Lawrens berpendapat bahwa pemeriksaan dengan lampu Wood tidak dapat
membantu meramalkan respon klinis terhadap pengelupasan kulit pada melasma. Hal ini
dikarenakan oleh sebagian besar pasien-pasien melasma memiliki tipe melasma
campuran dermal-epidermal.3 Pemeriksaan dengan lampu Wood tetap berguna untuk menentukan prognosis dari pengobatan melasma. Apabila lesi-lesi terlihat lebih jelas
dengan pemeriksaan lampu Wood maka kesempatan lebih baik bagi perbaikan klinis.3
Pada pemeriksaan dibawah lampu Wood, secara klasik melasma dapat
diklasifikasikan menjadi :
a). Tipe Epidermal
Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat terang apabila dilihat dibawah lampu
biasa dan penilaian dengan lampu Wood menunjukkan warna yang kontras antara daerah
yang hiperpigmentasi dibanding kulit normal.1,3-5,8,23,33 Sebagian besar pasien melasma termasuk kedalam kategori ini. Pasien dengan hiperpigmentasi tipe epidermal memiliki
respon yang lebih baik terhadap bahan-bahan depigmentasi.1,23,34
b). Tipe Dermal
Hiperpigmentasi biasanya berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan apabila dilihat
dibawah lampu biasa dan dengan lampu Wood tidak memberikan warna kontras pada
lesi. Pada tipe ini, eliminasi pigmen bergantung pada transport melalui makrofag dan
c). Tipe Dermal-Epidermal (Campuran)
Hiperpigmentasi biasanya berwarna coklat gelap apabila dilihat dengan lampu biasa
dan dengan lampu Wood terlihat pada beberapa daerah lesi akan tampak warna yang
kontras sedangkan pada daerah yang lain tidak.1,3-5,8,23,31
d). Tipe Indeterminate
Lesi yang dijumpai pada sekelompok pasien dengan tipe kulit gelap (tipe V danVI)
dan tidak dapat dikategorikan dibawah lampu Wood. Lesi berwarna abu-abu gelap namun
sulit dikenali oleh karena sedikitnya kontras warna yang timbul.1,3-5,23,31
2.1.7 Diagnosis Banding
Melasma dapat didiagnosis banding dengan Hipermelanosis postinflamasi, Efelid, Solar
lentigo, Lentigo simpleks, Nevus ota, Acquired bilateral naevus of ota-like macules, Erythose peribuccale pigmentaire of Brocq, Erythromelanosis follicularis faciei et colli, Poikiloderma of civatte, Melanosis Riehl, Dermatitis Berloque, Makula Café au lait, Keratoses seboroik, Liken planus aktinik, Hiperpigmentasi periorbita.6,28,35
2.1.8 Penatalaksanaan
Pengobatan melasma dapat dilakukan dengan cara topikal menggunakan bahan-bahan
pemutih yang dibagi dalam tiga kategori yaitu senyawa fenolik (hidrokuinon), senyawa non
thioctic acid) dan formula kombinasi (formula Kligman, formula Pathak, dan formula Westerhof).1,5,12
Untuk pengobatan secara oral dapat diberikan obat yang mengandung pigmen karotenoid,
AX, yang banyak terkandung pada alga Haematococcus pluvialis dimana juga mempunyai sifat
sebagai antioksidan, fotoprotektif, dan antiinflamasi serta banyak manfaat lainnya.Dapat juga
dengan Pycnogenol yaitu ekstrak French maritime pine bark (Pinus pinaster), yang mengandung
senyawa monomer fenolik dan condensed flavonoid dimana juga mempunyai sifat sebagai
antioksidan dan antiinflamasi, namun kedua pengobatan ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut lagi.1,14
Selain itu pada kasus-kasus yang sulit diobati dapat digunakan pengobatan dengan
pengelupasan kimia yaitu dengan asam glikolik (GA), asam trikloroasetat (TCA), asam salisilat,
tretinoin dan resorsinol; dermabrasi, intense pulsed light therapy (IPL) dan laser.1,8,28
Oleh karena paparan sinar matahari merupakan faktor utama dalam eksaserbasi melasma,
maka diwajibkan pemakaian tabir surya berspektrum luas (SPF>30) yang memiliki perlindungan
terhadap UVA dan UVB, dan menghindari paparan langsung sinar matahari serta menggunakan
pakaian tertutup dan kain pelindung seperti topi atau payung disiang hari. Secara umum ada dua
jenis produk tabir surya yaitu tabir surya organik dan inorganik.1,3
2.2 Astaxanthin
Astaxanthin (AX) merupakan pigmen merah karotenoid yang mempunyai struktur hampir mirip dengan ß-karoten. Astaxanthin diperoleh dari berbagai organisme laut, meliputi tumbuhan
beberapa jenis ikan seperti salmon, tuna dan trout juga terdapat dari sekelompok crustacea
misalnya kepiting, lobster dan udang, begitu juga pada burung flamingo dan burung puyuh.36-38
Terdapat 3 stereoisomer dari AX seperti 3S, 3’S; 3R,3’S; 3R,3’R. Stereoisomer 3S,3’S
merupakan bentuk utama pada H. pluvialis, yang mana AX sintetik biasanya mengandung
stereoisomer 3R,3’S.37,38
Karotenoid dapat dibagi menjadi Karotenoid Polar (astaxanthin, canthaxanthin,
tunaxanthin, zeaxanthin, lutein) dan Karotenoid Non-Polar (β-karoten, α-karoten, lycopene). Alga H. pluvalis kaya akan AX dengan tiga peran penting diantaranya sebagai antioksidan, antiinflamasi, dan imunomodulator (in vitro).36-38 Astaxanthin juga memiliki berbagai fungsi biologis penting lainnya diantaranya perlindungan terhadap oksidasi asam lemak tidak jenuh
esensial, perlindungan terhadap efek sinar matahari, respon imun, pigmentasi, kemampuan
reproduksi dan memperbaiki sistem reproduksi.38
2.2.1 Mekanisme kerja
Inflamasi yang biasanya terjadi setelah paparan sinar matahari dapat dimodulasi oleh
suatu antioksidan kuat. Astaxanthin adalah antioksidan biologik yang kuat, yang dapat
mengabsorbsi energi yang berlebihan dari radikal bebas yang mengandung atom-atom oksigen
yang disebut sebagai zat-zat oksigen reaktif (reactive oxygen species) diantaranya singlet oxygen
kedalam rantai karotenoid, sehingga mengurangi kerusakan sel dan jaringan tubuh (kulit), juga
melindungi membran sel yang terdiri dari fosfolipid dan lipid lainnya terhadap peroksidasi
sehingga AX diyakini mempunyai peranan penting sebagai proteksi terhadap fotooksidasi sinar
UV. Astaxanthin secara signifikan lebih efektif dibandingkan dengan β karoten dan lutein dalam
mencegah fotooksidasi lipid dan jaringan tubuh. Astaxanthin juga memperbaiki garis-garis,
Yamashita (1995) menunjukkan pada subyek (n=7), AX alamiah topikal secara signifikan
mengurangi tingkat kemerahan (eritema) sampai dengan 60% dalam waktu 98 jam setelah
paparan terhadap UVB. Lee dkk. (2003), mengatakan bahwa AX bekerja dengan menekan
mediator prainflamasi dan sitokin melalui jalur aktivasi NF-κB yang bergantung pada IκB
kinase.38
2.2.2 Cara kerja
Di Indonesia AX mempunyai sediaan dalam bentuk oral yang diminum sekali sehari,
sedangkan bentuk topikal diaplikasikan dua kali sehari pada daerah yang terlibat.37
2.3 Triple Combination
Formula kombinasi merupakan sekumpulan bahan yang diharapkan dapat memperbaiki
efektifitas bahan pemutih tunggal dan mengurangi risiko terjadinya efek samping. Formulasi
kombinasi yang paling sering digunakan diantaranya formula Kligman, formula Pathak, dan
formula Westerhof.1
Formula original dari Kligman dan Willis mengandung hidrokuinon 5%, tretinoin 0,1%,
dan deksametason 0,1% dan telah terbukti efektif dalam pengobatan melasma, efelid, dan
hiperpigmentasi postinflamasi.1-4 Formula Pathak mengandung hidrokuinon 2% dan tretinoin 0,05-0,1%, tanpa steroid dan dianjurkan pemberiannya apabila ditemukan adanya iritasi akibat
hidrokuinon atau tretinoin. Formula Westerhof mengandung N-acetylcystein 4,7%, hidrokuinon
Saat ini, fixed combination therapy telah dikembangkan yang mengandung fluosinolon
asetonid, merupakan kortikosteroid potensi lemah (grup VI). Formula dari terapi TC ini terdiri
dari hidrokuinon 4% (HQ), tretinoin 0,05% (RA), dan fluosinolon asetonid 0,01% (FA).
Kombinasi ini telah terbukti aman dan efektif dalam pengobatan melasma selama 8
minggu.2,5,6,10,16
Berbagai penelitian telah dilakukan, membandingkan krim TC dengan ketiga bahan aktif
yang berhubungan (FA + HQ, FA + RA, dan HQ + RA). Keseluruhan penelitian ini telah
memperlihatkan bahwa krim TC memiliki efikasi yang lebih baik.6 Baru-baru ini the Pigmentary Disorders Academy (PDA) telah mengevaluasi seluruh uji klinis pada melasma dalam 20 tahun terakhir dan telah mempublikasikan pernyataan yang disetujui dalam pengobatan melasma. PDA
berpendapat bahwa topical fixed triple combination (TC) harus digunakan sebagai terapi lini
pertama untuk melasma. Dual therapies dan monoterapi mempunyai onset kerja dan efikasi yang
rendah, dan oleh karena itu hanya diberikan pada pasien yang intoleran terhadap triple therapy
atau jika triple therapy tidak tersedia.6
2.3.1 Mekanisme kerja
A. Hidrokuinon
Hidrokuinon adalah bahan pemutih yang sangat sering digunakan pada saat ini,
terutama untuk melasma dan kelainan hiperpigmentasi wajah lainnya.1,4,11,17,22,23,28,39 Hidrokuinon merupakan senyawa kimia hidroksifenolik yang dapat menginhibisi
perubahan DOPA menjadi melanin melalui penghambatan aktivitas enzim tirosinase.
Mekanisme lainnya adalah penghambatan sintesis DNA dan RNA, degradasi melanosom,
melanin menjelaskan kemampuannya untuk dapat dimetabolisme di dalam melanosit
begitu juga terhadap kerja HQ yang selektif pada proses melanogenesis.1
Derivat dari HQ yaitu the monobenzyl ether of HQ, methoxyphenol,
4-isopropylcatechol, 4-hydroxyanisol, dan N-acetyl-4-S-cystaminylphenol. Tidak seperti the monobenzylether of HQ, HQ tidak dimetabolisme menjadi radikal bebas sitotoksik dan tidak merusak melanosit. Efek depigmentasi biasanya terbatas pada daerah aplikasi dan
bersifat reversibel.1
Efektifitas HQ berhubungan secara langsung dengan konsentrasi preparat,
vehikulum yang digunakan, dan stabilitas hasil akhir dari bahan-bahan kimia yang
terkandung didalamnya.1,23 Konsentrasi HQ bervariasi mulai dari 2%-5%, dimana konsentrasi yang lebih tinggi biasanya lebih iritatif dan memiliki risiko yang lebih besar
terhadap fototoksisitas, dengan peningkatan efikasi yang lebih sedikit dan tidak
direkomendasikan, terkecuali pada kasus yang refrakter.1,2,11,22,23,39,40 Aplikasi topikal HQ 2%-4% adalah pengobatan yang disetujui dan HQ 4% merupakan baku emas untuk
pengobatan melasma.5 Pemakaian HQ 2%, tanpa penambahan substansi lainnya, hanya bermanfaat sebagai terapi pemeliharaan, sebagaimana yang direkomendasikan oleh US
Food and Drug Administration and European of Cosmetics Products.23 Efikasi dan efek simpang HQ 4% telah dievaluasi oleh Ennes dkk. (2000) pada penelitian buta ganda
kontrol plasebo yang melibatkan 48 pasien melasma di wajah.41
Berbagai penelitian uji klinis menganjurkan vehikulum solusio hidroalkoholik atau
salap hidrofilik atau gel yang mengandung AHA 10%, yang lebih baik untuk formulasi
HQ.1,12,23,26,40 Antioksidan, seperti sodium bisulfat 0,1% dan asam askorbat (vitamin C) 0,1%, harus digunakan untuk menjaga stabilitas forrmulasi. Efek pemutih HQ didapatkan
Efek samping akut pemakaian HQ diantaranya dermatitis kontak iritan dan alergik,
hiperpigmentasi postinflamasi, dan perubahan warna kuku. Okronosis eksogen,
reticulated ripple-like sooty pigmentation yang permanen pada wajah, biasanya mengenai pipi, dahi, daerah periorbital adalah efek samping kronis yang utama. Resolusi biasanya
terjadi perlahan setelah penghentian obat.1,4,22,23,40 Hidrokuinon dapat menimbulkan depigmentasi permanen apabila lesi diobati dengan konsentrasi yang tinggi dan dalam
jangka waktu lama.23
B. Tretinoin
Tretinoin (asam retinoat atau asam vitamin A) juga terbukti efektif untuk pengobatan
melasma. Selain melasma, tretinoin juga digunakan untuk mengobati hiperpigmentasi
akibat penuaan dini dan hiperpigmentasi postinflamasi. Tretinoin secara luas diyakini
dapat menyebabkan penyebaran granul-granul pigmen dalam keratinosit, dengan
mengganggu transfer pigmen, dan mempercepat transfer epidermis, sehingga pigmen
hilang secara lebih cepat. Tretinoin juga mempercepat turnover epidermis,
mempersingkat “transit time” di lapisan basal dan mempercepat hilangnya pigmen
melalui proses epidermopoesis. Asam retinoat (RA) mereduksi melanin epidermis,
kemungkinan dengan cara menurunkan jumlah transfer melanosom ke keratinosit,
selanjutnya meningkatkan proliferasi epidermis dan penghambatan enzim tirosinase dan
pada akhirnya terjadi penurunan proses melanogenesis.1,2,5,7,11,23 Ketika digunakan sebagai monoterapi, tretinoin cukup efektif akan tetapi membutuhkan waktu pengobatan selama 6
bulan atau lebih. Sehingga tretinoin sering dikombinasikan dengan satu atau lebih bahan
lainnya untuk mempercepat timbulnya efek yang diharapkan. Tretinoin juga berpotensi
untuk menginduksi sintesis DNA sel epidermal dan dermal. Hal ini dianggap dapat
membantu meniadakan efek atrofogenik steroid topikal dengan meningkatkan ketebalan
kortikosteroid.2,7 Reaksi iritasi akibat tretinoin dapat memfasilitasi penetrasi epidermal dari HQ dan juga mencegah HQ teroksidasi.7,12 Konsentrasi tretinoin berkisar antara 0,05% sampai 0,1%.22
Efek samping pemakaian tretinoin berupa eritema, deskuamasi dan dermatitis kontak,
akan tetapi tidak akan merubah efikasi pengobatan.4,28
C. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal dapat mengurangi hiperpigmentasi pada pasien melasma akan
tetapi tidak dapat dipakai sebagai monoterapi oleh karena dapat terjadi efek samping yang
tidak diinginkan.1 Kortikosteroid memiliki efek anti metabolik pada berbagai sistem sel. Ada yang bersifat sitotoksik atau sitostatik terhadap epidermis dan menurunkan turnover
epidermis.7 Dikatakan bahwa kortikosteroid dapat menghambat sintesis melanin melalui penurunan aktivitas sel secara umum. Selain itu, kortikosteroid dapat mereduksi iritasi
atau inflamasi yang disebabkan oleh HQ dan tretinoin. Demikian juga, komponen
kortikosteroid tampaknya antagonis terhadap efek penipisan stratum korneum akibat
penggunaan tretinoin dan mereduksi iritasi yang diinduksi oleh retinoid.2,7 Kligman dan Willis menduga bahwa komponen kortikosteroid pada formulasi mereka dapat menekan
fungsi biosintetik dan sekresi melanosit, sehingga menekan produksi melanin tanpa
menghancurkan melanosit.7
Efek samping pemakaian kortikosteroid potensi tinggi terutama dalam jangka waktu
lama diantaranya atrofi, telangiektasi, akne atau erupsi akneformis, eritema mirip rosacea,
dermatitis perioral, dan rasa gatal.7
TC mempunyai sediaan dalam bentuk topikal yang mengandung hidrokuinon 4%,
tretinoin 0,05%, dan fluosinolon asetonid 0,01% dan diaplikasikan sekali sehari, kira-kira
setengah jam sebelum tidur.
2.3.3 Efek samping
Efek samping pengobatan TC yang paling sering terjadi adalah eritema, deskuamasi, rasa
terbakar, kulit kering, dan rasa gatal.10
2.4 Tabir surya
Paparan sinar matahari merupakan faktor etiologi yang berperan penting, menghindari
paparan sinar matahari (UVA dan UVB) dan penggunaan pelindung matahari termasuk
pemakaian tabir surya berspektrum luas, pelindung UVA pada kaca mobil dan rumah, dan
pakaian tertutup, seperti topi, adalah bagian dari pengobatan melasma yang sangat
menentukan.3,5,11
Tabir surya telah ada sejak tahun 1928 dan saat ini berperan penting dalam pencegahan
kanker kulit dan proteksi terhadap sinar matahari.42 Saat ini, tolak ukur dan pelaporan efikasi tabir surya ditentukan oleh sun protection factor (SPF).43 Tabir surya sangat efektif mencegah terjadinya eritema. SPF merupakan pengukuran kemampuan perlindungan suatu tabir surya
terhadap eritema, terutama pengukuran proteksi terhadap UVB, sebagaimana UVB 1000 kali
lebih eritemogenik dibanding UVA. Sun protection factor adalah perbandingan antara dosis
radiasi UV yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon eritema minimal kulit yang dilindungi
oleh tabir surya selama 24 jam setelah terpapar terhadap dosis yang dibutuhkan untuk
secara umum dapat diterima, tetapi belum ada standart internasional yang sebenarnya. Saat
pemeriksaan SPF telah selesai, sumber radiasi (solar stimulator atau natural sunlight) dan tipe
kulit peserta harus ditentukan.43 Di Amerika Serikat, tabir surya diatur oleh Food and Drug Administration (FDA).44,45
Terdapat 17 bahan aktif terkandung dalam tabir surya yang disetujui FDA. Komposisi
tabir surya secara umum dibagi menjadi bahan inorganik dan organik, sebelumnya secara
berurutan dikenal dengan istilah tabir surya fisik dan tabir surya kimia.42
Tabir surya inorganik bekerja dengan merefleksikan atau menghamburkan radiasi sinar tampak,
UV, dan infrared lebih dari sekedar berspektrum luas. Bahan inorganik utama yang digunakan
saat ini adalah zinc oxide (ZnO) dan titanium dioxide (TiO2), yang bersifat fotostabil dan memerlukan aplikasi yang tebal untuk mencapai refleksi yang adekuat. Zinc oxide memberikan
proteksi yang lebih baik terhadap UVA (sampai 380 nm), dimana TiO2 memberikan proteksi yang lebih baik terhadap UVB dan memiliki warna keputihan oleh karena indeks refraksi yang
lebih tinggi.42,45
Berbeda dengan bahan tabir surya inorganik, bahan kimia organik mengabsorbsi radiasi
UV melalui struktur cincin aromatik konjugasi. Berdasarkan aktivitasnya bahan tabir surya
organik dibagi menjadi filter UVB dan UVA. Komposisi tabir surya organik, khususnya filter
UVB, bekerja dengan mengabsorbsi radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas.42,45
PABA merupakan bahan organik UVB yang paling poten, yang mana kemampuannya
mengikat keratinosit dapat mengotori kulit, tetapi membuatnya tahan terhadap air dan keringat.
Banyak laporan mengenai alergi kontak akibat PABA, dan oleh sebab itu sering digantikan
dengan derivat PABA yang kurang efektif seperti padimate O. Sinamat, termasuk octinoxate dan
dan trolamine salicylate. Octocrylene merupakan penyerap UVB yang lemah. Senyawa ini memiliki profil keamanan yang baik dengan iritasi, fototoksik dan fotoalergik yang rendah.42,45
Benzophenone merupakan bahan organik UVA yang memberikan perlindungan broad-spectrum terhadap UVB dan UVA. Namun demikian, benzophenone bersifat fotolabil dan oksidasinya dapat menganggu sistem antioksidan. FDA telah menyetujui 3 benzophenone:
oxybenzone, sulisobenzone, dan dioxybenzone. Avobenzone (butyl methoxydibenzoylmethane), filter UVA yang poten, tetapi bersifat sangat fotolabil. Ecamsule (Mexoryl atau terephthalylidene
dicamphor sulphoic acid) merupakan bahan broad-spectrum terbaru dengan profil absorbsi antara 290 dan 390 nm. Ecamsule dapat mencegah atau mereduksi pigmentasi yang diinduksi
sinar matahari, pembentukan dimer pirimidin, akumulasi protein p53, perubahan densitas sel
Langerhans, dan fotodermatoses.42,45
Filter organik dan inorganik juga bekerja secara sinergis untuk meningkatkan SPF. Bahan
inorganik menghamburkan sinar UV, meningkatkan the photons’optical pathways dan
mempertinggi absorbsi yang berikutnya oleh bahan organik.42
Pakaian tertutup dan topi diyakini sebagai fotoproteksi yang sangat bermakna. Dibanding
tabir surya, cara fotoproteksi paling populer yang dipakai masyarakat umum, pakaian memiliki
banyak kelebihan. Pertama, pakaian dan topi memberikan kenyamanan dan perlindungan yang
sama terhadap UVA dan UVB. Kedua, pakaian dan topi lebih memberi perlindungan yang dapat
diandalkan selama pemakainya ingat untuk menggunakannya. Terakhir, pakaian dan topi lebih
murah dibanding tabir surya, dan sama sekali tidak menimbulkan komplikasi seperti dermatitis
kontak dan fotoalergik. Untuk ukuran perlindungan UV pada baju yang lebih akurat dan
kuantitatif, sebagian besar perusahaan di seluruh dunia telah menyetujui UV protection factor
Australia tahun 1996, dan kemudian disetujui dan disaring kembali oleh European Committee for
Standardization tahun 2003.45
2.5 Evaluasi hasil pengobatan (efikasi)
Evaluasi hasil pengobatan penelitian uji klinis pada melasma dapat dibagi menjadi teknik
evaluasi subjektif dan objektif.35
2.5.1 Teknik evaluasi subjektif
Meskipun mutunya lebih rendah dibanding teknik evaluasi objektif, evaluasi subjektif
terutama sekali the physician’s global assessment (PGA) merupakan the primary efficacy
endpoint untuk mengevaluasi pengobatan terbaru. PGA adalah the primary efficacy endpoint pada uji klinis melasma. Secara klinis, PGA meruapkan pengukuran subjektif yang relevan dari
perubahan keparahan pigmentasi selama pengobatan dibanding dengan awal pengobatan.35
Sistem pengukuran yang paling sering digunakan adalah Melasma Area and Severity Index
(MASI) score dan pertama kali dipakai oleh Kimbrough-Green et al untuk penilaian melasma.
Melasma Area and Severity Index adalah suatu cara untuk mengukur secara teliti keparahan melasma dan perubahan selama terapi. Skor MASI dihitung pertama sekali dengan menilai area
hiperpigmentasi di wajah. Empat area yang dievaluasi: dahi (F), pipi kanan (MR), pipi kiri (ML),
dan dagu (C), yang disesuaikan secara berurutan dengan 30%, 30%, 30%, dan 10% dari seluruh
wajah. Melasma dimasing-masing keempat area diberi nilai numerik: 0, tidak dijumpai lesi
hiperpigmentasi; 1, <10%; 2, 10-29%; 3, 30-49%; 4, 50-69%; 5, 70-89%; dan 6, 90-100%.
(tidak ada) sampai 4 (maksimal), homogenitas (H) juga diukur berdasarkan skala 0 (minimal)
sampai 4 (maksimal). Untuk mengukur skor MASI, jumlah tingkatan keparahan D dan H
dikalikan dengan nilai numerik are yang terlibat (A); skor maksimal adalah 48 dan minimal
0.24,35,46,47
The Melasma Severity Scale (MSS) merupakan sistem skoring empat tingkat (skala kategorik) yang menilai keparahan melasma yaitu: 0, lesi melasma hampir sama dengan kulit
normal disekitarnya atau dengan sedikit sisa pigmentasi; 1, ringan, sedikit lebih gelap dibanding
kulit normal disekitarnya; 2, moderat, cukup gelap dibanding kulit normal disekitarnya; 3, berat,
sangat mencolok/jelas kegelapan lesi dibanding kulit normal disekitarnya.24,35
2.6.2 Teknik evaluasi objektif
Berbagai teknik evaluasi objektif telah digunakan pada penelitian uji klins melasma,
seperti reflectance spectroscopy, fotografi, fluorescent video recording dan corneomelametry, dan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian
Desain penelitian ini adalah uji klinis acak tersamar ganda (double blind randomized
clinical trial).
3.2 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2011 sampai jumlah sampel terpenuhi,
bertempat di Poliklinik Sub Bagian Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUP H. Adam Malik Medan.
3.3 Populasi penelitian
3.3.1 Populasi target
Wanita yang menderita melasma.
3.3.2 Populasi terjangkau
Wanita yang menderita melasma yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian
Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik
3.3.3 Sampel
Wanita yang menderita melasma yang berobat ke Poliklinik Sub Bagian
Kosmetik Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUP H. Adam Malik
Medan Bagian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, yang diambil untuk
dilakukan pengukuran dan jumlahnya sesuai dengan rumusan besar sampel yang
telah ditentukan.
3.4 Besar sampel
Rumus :
n = jumlah sampel wanita yang menderita melasma
zα = tingkat kepercayaan 95% =1,960
zβ = power penelitian= 0,842
P= proporsi efek pada terapi standar
P= ½ (P1+P2)
P1= proporsi