• Tidak ada hasil yang ditemukan

Newsletter Biennale MENCARI HARAPAN HARAPAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Newsletter Biennale MENCARI HARAPAN HARAPAN"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Vol. 5/No. 4

Oktober - Desember 2017

Terbitan triwulan | GRATIS

Newsletter

Yayasan Biennale Yogyakarta

THE EQUATOR

(2)

Halo, para pembaca yang budiman.

Selamat datang di Biennale Jogja XIV Equator #4!

Sepanjang tahun ini, tim Biennale Jogja telah bekerja mempersiapkan acara besarnya. Sejak Oktober hingga Desember, publik (khususnya Yogyakarta) disuguhi serangkaian acara yang bernaung di bawah payung Biennale Jogja XIV.

Diterbitkan dalam periode waktu yang bersamaan dengan rangkaian acara tersebut, terbitan ini akan mengulas beberapa aktivitas yang sudah, sedang, dan akan dipertemukan dengan audiensnya di masing-masing ruang yang direncanakan. Biennale Jogja tahun ini mengusung tema STAGE OF HOPELESSNESS. Melalui elaborasi yang telah dilakukan tim untuk menjelajahi tahap-tahap yang membawa manusia dari ketidakpastian menuju harapan, rasanya penting kali ini untuk melihat bentuk-bentuk ekspresi turunannya yang berhasil digali dan dilahirkan dalam Biennale Jogja XIV. Maka, The Equator edisi ini ingin mendalami bagaimana bentuk-bentuk ekspresi ini membahasakan lahirnya kemungkinan untuk kita menemukan harapan dalam realitas yang mungkin kacau.

Hendra Himawan dan Rio Raharjo, masing-masing dari tim Parallel Event dan Festival Equator, menghadirkan sebuah refleksi singkat tentang gagasan, persiapan, dan pelaksanaan rangkaian acara tersebut. Festival Equator menggali ingatan-ingatan kita tentang momen kekacauan yang pernah atau mungkin sedang kita alami dalam hidup. Dihadirkan di ruang-ruang publik, metode ini mencerminkan upaya untuk mencuatkan perasaan-perasaan sakit yang justru sering kita coba kubur dalam-dalam. Sementara Parallel Event mencoba melihat bagaimana kerja-kerja kolektif kebudayaan bisa jadi alternatif jalan untuk terus memunculkan harapan di tengah situasi kacau ini.

Dalam edisi ini kami juga ingin membagikan cerita-cerita pendek tentang tiga seniman Brasil yang melakukan residensi di Yogyakarta: Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri Firmeza. Selain itu, ada Cibele Poggiali Arabe yang berkisah tentang titik temu pengalaman hidupnya di Brasil dan Yogyakarta. Dengan jenaka ia menganalogikan refleksinya dengan pengalaman bersepeda di jalanan Yogyakarta.

Akhir kata, selamat menikmati suguhan Biennale Jogja XIV Equator #4. Tawaran ini mungkin tidak akan langsung menyelesaikan persoalan, malah justru menambahi deretan pertanyaan kita tentang realita, sebab barangkali kita terlena dan malah lupa memeriksa.

Salam hangat,

Redaksi

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:

www.biennalejogja.org

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)

Misi YBY adalah:

Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print

kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat:

Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail:

the-equator@biennalejogja.org Oktober - Desember 2017, 1500 exp

Penanggung jawab: Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4

Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari

Kontributor: Hendra Himawan, Rio Raharjo, Cibele Poggiali Arabe, Hanggita

Indrasari Dewi, Rudy Cahyono, Munif Rafi Zuhdi

Fotografi: Arsip YBY, Cibele Poggiali Arabe

Foto sampul: Libstud

Desainer: Yohana T.

Outlet Penyebaran Jakarta

Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum

Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil

Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur

Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD,

Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok

Semarang: Kolektif Hysteria

Surabaya: C2O

Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono

Bali: Ketemu Project Space

Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:

Yayasan Biennale Yogyakarta

BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta

BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

4|

14|

20|

Age of Hope:

Afirmasi diri dan Cakrawala Harapan

10|

Kekacauan Hari ini

Hendra Himawan

Kurator independen, penulis seni,

dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

Rio Raharjo

Asisten koordinator Festival Equator dan penulis lepas

Mengayuh Sepeda di Yogyakarta

Cibele Poggiali Arabe

Peneliti nonakademis dari Brasil, mendapatkan gelar Master dalam bidang Pariwisata Berkelanjutan, dan menaruh perhatian khusus pada perjalanan kebudayaan dan independen, koresponden internasional untuk asosiasi La Croisée des Routes

Residensi Seniman Brasil Biennale Jogja XIV Equator #4

(3)

Halo, para pembaca yang budiman.

Selamat datang di Biennale Jogja XIV Equator #4!

Sepanjang tahun ini, tim Biennale Jogja telah bekerja mempersiapkan acara besarnya. Sejak Oktober hingga Desember, publik (khususnya Yogyakarta) disuguhi serangkaian acara yang bernaung di bawah payung Biennale Jogja XIV.

Diterbitkan dalam periode waktu yang bersamaan dengan rangkaian acara tersebut, terbitan ini akan mengulas beberapa aktivitas yang sudah, sedang, dan akan dipertemukan dengan audiensnya di masing-masing ruang yang direncanakan. Biennale Jogja tahun ini mengusung tema STAGE OF HOPELESSNESS. Melalui elaborasi yang telah dilakukan tim untuk menjelajahi tahap-tahap yang membawa manusia dari ketidakpastian menuju harapan, rasanya penting kali ini untuk melihat bentuk-bentuk ekspresi turunannya yang berhasil digali dan dilahirkan dalam Biennale Jogja XIV. Maka, The Equator edisi ini ingin mendalami bagaimana bentuk-bentuk ekspresi ini membahasakan lahirnya kemungkinan untuk kita menemukan harapan dalam realitas yang mungkin kacau.

Hendra Himawan dan Rio Raharjo, masing-masing dari tim Parallel Event dan Festival Equator, menghadirkan sebuah refleksi singkat tentang gagasan, persiapan, dan pelaksanaan rangkaian acara tersebut. Festival Equator menggali ingatan-ingatan kita tentang momen kekacauan yang pernah atau mungkin sedang kita alami dalam hidup. Dihadirkan di ruang-ruang publik, metode ini mencerminkan upaya untuk mencuatkan perasaan-perasaan sakit yang justru sering kita coba kubur dalam-dalam. Sementara Parallel Event mencoba melihat bagaimana kerja-kerja kolektif kebudayaan bisa jadi alternatif jalan untuk terus memunculkan harapan di tengah situasi kacau ini.

Dalam edisi ini kami juga ingin membagikan cerita-cerita pendek tentang tiga seniman Brasil yang melakukan residensi di Yogyakarta: Daniel Lie, Rodrigo Braga, dan Yuri Firmeza. Selain itu, ada Cibele Poggiali Arabe yang berkisah tentang titik temu pengalaman hidupnya di Brasil dan Yogyakarta. Dengan jenaka ia menganalogikan refleksinya dengan pengalaman bersepeda di jalanan Yogyakarta.

Akhir kata, selamat menikmati suguhan Biennale Jogja XIV Equator #4. Tawaran ini mungkin tidak akan langsung menyelesaikan persoalan, malah justru menambahi deretan pertanyaan kita tentang realita, sebab barangkali kita terlena dan malah lupa memeriksa.

Salam hangat,

Redaksi

The Equator merupakan newsletter berkala setiap tiga bulan diterbitkan Yayasan Biennale Yogyakarta. Newsletter ini dapat diakses secara online pada situs:

www.biennalejogja.org

Redaksi The Equator menerima kontribusi tulisan dari segala pihak sepanjang 1500 - 2000 kata dengan tema

terkait isu Nusantara Khatulistiwa. Tulisan dapat dikirim via e-mail ke: the-equator@biennalejogja.org. Tersedia kompensasi untuk tulisan yang diterbitkan.

Tentang Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY)

Misi YBY adalah:

Menginisiasi dan memfasilitasi berbagai

upaya mendapatkan konsep strategis perencanaan kota yang berbasis seni budaya, penyempurnaan blue print

kultural kota masa depan sebagai ruang hidup bersama yang adil dan demokratis. Berdiri pada 23 Agustus 2010.

Alamat:

Taman Budaya Yogyakarta Jl. Sri Wedani No.1 Yogyakarta

Telp: +62 274 587712 E-mail:

the-equator@biennalejogja.org Oktober - Desember 2017, 1500 exp

Penanggung jawab: Direktur Biennale Jogja XIV Equator #4

Redaktur Pelaksana: Maria Puspitasari

Kontributor: Hendra Himawan, Rio Raharjo, Cibele Poggiali Arabe, Hanggita

Indrasari Dewi, Rudy Cahyono, Munif Rafi Zuhdi

Fotografi: Arsip YBY, Cibele Poggiali Arabe

Foto sampul: Libstud

Desainer: Yohana T.

Outlet Penyebaran Jakarta

Ruangrupa, Goethe Institut, Komunitas Salihara, dia.lo.gue, Kedai Tjikini, Serrum

Bandung: Selasar Sunaryo Art Space, Galeri Soemardja, Tobucil

Jawa Barat: Jl. RA. Natamanggala, Perum Bukit Rantau Indah C27 Kademangan Pasir Halang Kec. Mande Kab. Cianjur

Yogyakarta: IVAA, Kedai Kebun, Perpustakaan UIN Yogyakarta, Perpustakaan Pusat UGM, Perpustakaan Pascasarjana USD,

Cemeti Art House, LKiS, Ark Gallerie, Warung Lidah Ibu, FSR ISI, Jogja Contemporary, PKKH UGM, Angkringan Mojok

Semarang: Kolektif Hysteria

Surabaya: C2O

Kediri: RUPAKATADATA Jokosaw Koentono

Bali: Ketemu Project Space

Makasar: Rumata Artspace, Colliq Puji’e

Dukungan untuk Yayasan Biennale Yogyakarta dikirim ke:

Yayasan Biennale Yogyakarta

BNI 46 Yogyakarta No.rek: 224 031 615

Yayasan Biennale Yogyakarta

BCA Yogyakarta No.rek: 0373 0307 72

NPWP: 03.041.255.5-541.000

4|

14|

20|

Age of Hope:

Afirmasi diri dan Cakrawala Harapan

10|

Kekacauan Hari ini

Hendra Himawan

Kurator independen, penulis seni,

dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

Rio Raharjo

Asisten koordinator Festival Equator dan penulis lepas

Mengayuh Sepeda di Yogyakarta

Cibele Poggiali Arabe

Peneliti nonakademis dari Brasil, mendapatkan gelar Master dalam bidang Pariwisata Berkelanjutan, dan menaruh perhatian khusus pada perjalanan kebudayaan dan independen, koresponden internasional untuk asosiasi La Croisée des Routes

Residensi Seniman Brasil Biennale Jogja XIV Equator #4

(4)

Aksi dan refleksi menjadi praksis dan model evaluasi yang dilakukan terus-menerus dalam menemu praktik ideal penyelenggaraan Biennale Jogja seri Equatordan singgungannya dengan medan sosial seni rupa Yogyakarta. Penyesuaian dan perubahan platform penyelenggaraan Parallel Event (PE) dilakukan sejalan dengan perubahan sosial politik di masyarakat, tanpa meninggalkan gagasan awalnya untuk menyisir keragaman dinamika praktik dan wacana seni kota berikut pelakunya. Berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya yang berfokus pada 'penciptaan peristiwa seni rupa' oleh komunitas seni lintas disiplin, kali ini PE dilakukan dengan menjemput dan merangkul keterlibatan ruang dan komunitas seni yang ada dan bergerak di Yogyakarta. Pola ini dipilih dengan tujuan melakukan pembacaan atas praktik pelaku seni, sekaligus mengoptimalkan potensi kesaling-terhubungan antar-ruang dan komunitas seni.

Tawaran gagasan dalam aksi seni yang dilakukan akan digiring dalam kerangka pembacaan tentang kerumitan persoalan di wilayah khatulistiwa, sebagaimana yang menjadi basis gagasan dari Biennale Jogja seri Equator.Dialog, jejaring, dan kemitraan

ruang dan komunitas seni akan menjadi fokus utama dalam kerja PE, dengan ketiganya menjadi beberapa modal penting dalam pelaksanaan Biennale Jogja XIV. Memulakan pembacaan atas praktik ruang dan komunitas seni dalam kerangka sistem sosial, diharapkan ikhtiar PE menemukan kerangka metodologi untukmencari rumusan tentang bagaimana: mengembalikan seni ke domain masyarakat.

Seni sebagai Sistem Sosial

Medan sosial seni terkait dengan sebuah 'sistem', yang senantiasa didudukkan dalam istilah 'jaringan', 'medan', 'arena', atau bahkan 'dunia'. Hal ini layaknya yang dibicarakan H.S. Becker tentang dunia seni sebagai jaringan orang-orang yang bekerja sama, atau Bourdieu yang menyebut 'sebuah bidang hubungan antarposisi yang diduduki oleh para agen'. Membayangkan dunia sebagai sebuah sistem besar, masyarakat modern membagi diri mereka lebih banyak ke dalam subsistem yang berbeda, yang kemudian berkembang lebih profesional dan otonom;sistem seni adalah salah satunya, selain subsistem seperti ekonomi, agama, pendidikan, hukum dan media. Dalam pemahaman 'sistem komunikasi artistik' alaNiklas Luhmann, ketika seni didudukkan sebagai sebuah sistem sosial, maka yang berperan sebetulnya bukanlah agen, aktor ataupun praktik kolektivitas ala Becker, melainkan sebuah jalan menikung: praktik komunikasi seni yang terbangun di dalamnya.

Komunikasi seni adalah komunikasi simbolis melalui medium karya seni, menghasilkan persepsi dalam wujud material, dan berfokus pada bentuk. Dihadirkan dalam praktik yang interaksional (sistem interaksi), seperti pameran, diskusi seni, atau peristiwa seni lainnya, dan diinisiasi oleh institusi (organisasi, ruang, komunitas) dalam rangka melontarkan gagasan pada

masyarakat. Kubu berseberangan (gerakan protes) selalu muncul sebagai bentuk dinamisasi sistem sosial.Sistem interaksional sebagai ruang komunikasi bersifat sensitif dan ekstensif, bukan semata pada persoalan pengorganisasian seni, namun juga masyarakat secara

Hendra Himawan

Kurator independen, penulis seni,

dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

Age Of Hope

: Afirmasi Diri

dan Cakrawala Harapan

(5)

Aksi dan refleksi menjadi praksis dan model evaluasi yang dilakukan terus-menerus dalam menemu praktik ideal penyelenggaraan Biennale Jogja seri Equatordan singgungannya dengan medan sosial seni rupa Yogyakarta. Penyesuaian dan perubahan platform penyelenggaraan Parallel Event (PE) dilakukan sejalan dengan perubahan sosial politik di masyarakat, tanpa meninggalkan gagasan awalnya untuk menyisir keragaman dinamika praktik dan wacana seni kota berikut pelakunya. Berbeda dari penyelenggaraan sebelumnya yang berfokus pada 'penciptaan peristiwa seni rupa' oleh komunitas seni lintas disiplin, kali ini PE dilakukan dengan menjemput dan merangkul keterlibatan ruang dan komunitas seni yang ada dan bergerak di Yogyakarta. Pola ini dipilih dengan tujuan melakukan pembacaan atas praktik pelaku seni, sekaligus mengoptimalkan potensi kesaling-terhubungan antar-ruang dan komunitas seni.

Tawaran gagasan dalam aksi seni yang dilakukan akan digiring dalam kerangka pembacaan tentang kerumitan persoalan di wilayah khatulistiwa, sebagaimana yang menjadi basis gagasan dari Biennale Jogja seri Equator.Dialog, jejaring, dan kemitraan

ruang dan komunitas seni akan menjadi fokus utama dalam kerja PE, dengan ketiganya menjadi beberapa modal penting dalam pelaksanaan Biennale Jogja XIV. Memulakan pembacaan atas praktik ruang dan komunitas seni dalam kerangka sistem sosial, diharapkan ikhtiar PE menemukan kerangka metodologi untukmencari rumusan tentang bagaimana: mengembalikan seni ke domain masyarakat.

Seni sebagai Sistem Sosial

Medan sosial seni terkait dengan sebuah 'sistem', yang senantiasa didudukkan dalam istilah 'jaringan', 'medan', 'arena', atau bahkan 'dunia'. Hal ini layaknya yang dibicarakan H.S. Becker tentang dunia seni sebagai jaringan orang-orang yang bekerja sama, atau Bourdieu yang menyebut 'sebuah bidang hubungan antarposisi yang diduduki oleh para agen'. Membayangkan dunia sebagai sebuah sistem besar, masyarakat modern membagi diri mereka lebih banyak ke dalam subsistem yang berbeda, yang kemudian berkembang lebih profesional dan otonom;sistem seni adalah salah satunya, selain subsistem seperti ekonomi, agama, pendidikan, hukum dan media. Dalam pemahaman 'sistem komunikasi artistik' alaNiklas Luhmann, ketika seni didudukkan sebagai sebuah sistem sosial, maka yang berperan sebetulnya bukanlah agen, aktor ataupun praktik kolektivitas ala Becker, melainkan sebuah jalan menikung: praktik komunikasi seni yang terbangun di dalamnya.

Komunikasi seni adalah komunikasi simbolis melalui medium karya seni, menghasilkan persepsi dalam wujud material, dan berfokus pada bentuk. Dihadirkan dalam praktik yang interaksional (sistem interaksi), seperti pameran, diskusi seni, atau peristiwa seni lainnya, dan diinisiasi oleh institusi (organisasi, ruang, komunitas) dalam rangka melontarkan gagasan pada

masyarakat. Kubu berseberangan (gerakan protes) selalu muncul sebagai bentuk dinamisasi sistem sosial.Sistem interaksional sebagai ruang komunikasi bersifat sensitif dan ekstensif, bukan semata pada persoalan pengorganisasian seni, namun juga masyarakat secara

Hendra Himawan

Kurator independen, penulis seni,

dan pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ISI Surakarta

Age Of Hope

: Afirmasi Diri

dan Cakrawala Harapan

(6)

menyeluruh. Sehingga jika ditarik dalam garis lurus, organisasi, sistem interaksi, dan gerakan protes, semuanya merupakan sistem sosial yang relatif otonom, dapat mengambil bagian dalam proses salah satu subsistem yang dibedakan secara

fungsional. Gerakan protes khususnya, menarik diri dengan melintasi perbatasan antara subsistem sosial untuk bereaksi terhadap apa yang dikomunikasikan di masyarakat secara keseluruhan.

Berbagai jenis reaksi terhadap konsep estetis, seperti ulasan, kritik,dan perdebatan, adalah bentuk komunikasi dalam sistem seni. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semua jenis komunikasi yang berbeda dalam sistem ini, pada akhirnya, ditentukan oleh karakter karya (atau peristiwa) seni tertentu. Hal ini dikarenakan potensi karya atau peristiwa seni sebagai objek pengamatan yang mampu mengundang polemik,serta menarik respons dan upaya kritik. Semua jenis komunikasi yang dihasilkan dalam 'jaringan' ini dilihat sebagai bagian dari sistem kesenian, karena mereka

berkontribusi terhadap mode operasi dan siklus gerak sebuah sistem seni.

Bentuk komunikasi dalam seni adalah objek utama yang menjadikan sistem sosial ini berbeda dengan yang lain.Hal ini dikarenakan aksi seni yang senantiasa simbolik, sehingga mampu menawarkan kemungkinan pembedaan antara imajinasi dan realitas. Sistem seni menyadari kemungkinan ini karena bermain dalam ranah persepsi, yang muaranya adalah membangun kesadaran-kesadaran hingga memicu aksi-aksi nyata untuk perubahan (dalam skala yang lebih

luas—masyarakat). Tantangan bermain

dalam bentuk yang jelas merupakan hal sentral dalam cara kerja seni ketika berurusan dengan kenyataan. Menarik gagasan ini dalam ranah PE Biennale Jogja XIV, program ini berjalan dalam penegasan bahwa seni rupa Yogyakarta merupakan bagian penting dari sistem sosial masyarakatnya secara keseluruhan. Sistem ini tidak dipahami dalam jejaring struktur hierarkis dan berlapis, namun sistem sosial seni dimaknai dalam ranah bagaimana membangun komunikasi antara ruang, komunitas seni, dan Biennale Jogja XIV sebagai porosnya. Sistem komunikasinya yang simbolis memerlukan observasi dan pengamatan berjenjang jikakita hendak melihat bagaimana seni mampu menjadi medium untuk berbincang dalam lingkup lebih luas (masyarakat atau kawasan, misalnya). Maka upaya pelibatan ini sangat penting dalam membangun komunikasi, 'nyengkuyung' (mendukung, red.) Biennale Jogja XIV dalam menyisir persoalan-persoalan ketidakpastian hidup yang menjadi inti kuratorialnya.

Jejaring Ruang dan Komunitas

Karya seni tidak dapat melakukan apapun, dan bahkan tidak pernah ada, tanpa peran mediasi dari domain distribusi. Institusi yang bekerja dalam ranah ini (galeri, ruang seni, dan komunitas) bekerja layaknya 'pusat penerjemahan' atas karya yang ditujukan bagi masyarakat. Mereka memberi tempat pada karya seni dalam sebuah momen estetik dengan melibatkan banyak unsur: ruang fisik, karya seni, kurator, manajer, penonton, masyarakat, dan sebagainya. Karya seni akan

memainkan perannya sesuai dengan sifat acara yang dilangsungkan; dan setiap aktivitas yang digelar oleh ruang seni

mempunyai pola, bentuk, dan medan tafsirnya sendiri. Maka sistem interaksi yang dibangun akan menentukan pola komunikasi, perbincangan, hingga efek, dan pengaruhnya bagi masyarakat secara luas.

Dan jika mengaca pada praktik kesenian di Yogyakarta, distribusi dan mediasi seni menjadi hal yang dominan. Tumbuhnya ruang yang masif, dengan ragam aktivitas seni yang dihadirkan, boleh menjadi acuan bagaimana sebaran gagasan seni yang beragam tumbuh subur. Sebaran pengetahuan yang hilir mudik, tumpang-tindih, saling sokong atau berbenturan, telah menumbuhkan dialog langsung maupun imajiner yang mewujud dalam tindakan kesenian yang nyata. Terlepas dari ideologi estetik yang diusung dan kecenderungan artistik yang menjadi praktik, kehadiran ruang-ruang ini menunjukkan bagaimana sistem sosial terbangun dan berkontribusi besar dalam membangun jaringan interaksional yang lebih luas:komunikasi, dialog, dan kemitraan. Dari beragam kepentingan dibalik setiap peristiwa seni yang dihadirkan, jejaring ruang dan komunitas seni yang dibangun dalam PE menjadi podium penting untuk membincangkan serangkaian isu, wacana, dan polemik yang beredar secara senyap maupun riuh dalam keseharian masyarakat, pun

singgungannya dalam praktik di medan sosial seni rupa kita.

Keterlibatan 29 ruang dan komunitas seni dalam spektrum kerja PE adalah modal utama untuk melakukan pemetaan bagaimana sistem sosial kesenian Yogyakarta memainkan perannya dalam sistem sosial masyarakat. Melalui 45

penyelenggaraan kegiatan seni (pameran,

workshop, screening, dan diskusi) sepanjang gelaran PE, akan bisa ditakar sejauhmana seni rupa mampu menyentuh ranah persoalan diluar dirinya, hingga kemudian bisa menemu fungsi sosialnya. Beragam isu dan tema diangkat,mulai dari persoalan medium dan eksperimentasi seni, strategi dan siasat berkesenian, sejarah sosial dan pemikiran, wacana kontribusi pendidikan seni, isu lingkungan dan gender, hingga menyoal identitas kebangsaan. Kesemuanya bergerak dalam medan tafsir atas Age of Hope, narasi kuratorial yang telah diderivasi dalam tujuh sajian pembacaan:Penyangkalan atas Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan, Keputusasaan atas kehilangan,

Kepasrahan dalam ketiadaan, Penghiburan atas Kehilangan, Kesadaran pada

Keadaan, Penerimaan atas Kenyataan.

Luasnya cakrawala gagasan dan medan tafsir atas tema kuratorial yang diusung masing-masing ruang dan komunitas senisebanding dengan luasnya cakrawala harapan pelaku seni atas segenap problematika dalam kehidupan sehari-hari. Harapan tumbuh dalam kerja-kerja seni yang tak luruh.Mereka hadir dan menggerakkan medan sosial seni rupa Yogyakarta, membangun jejaring interaksi, dan terus berkomunikasi dengan publik seninya. Praktik seni yang dilakukan oleh ruang dan komunitas seni dalam PE merupakan bentuk afirmasi diri dan penumbuhan harapan yang berpijak dari optimisme mereka dalam memandang hidup.

(7)

menyeluruh. Sehingga jika ditarik dalam garis lurus, organisasi, sistem interaksi, dan gerakan protes, semuanya merupakan sistem sosial yang relatif otonom, dapat mengambil bagian dalam proses salah satu subsistem yang dibedakan secara

fungsional. Gerakan protes khususnya, menarik diri dengan melintasi perbatasan antara subsistem sosial untuk bereaksi terhadap apa yang dikomunikasikan di masyarakat secara keseluruhan.

Berbagai jenis reaksi terhadap konsep estetis, seperti ulasan, kritik,dan perdebatan, adalah bentuk komunikasi dalam sistem seni. Hal ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semua jenis komunikasi yang berbeda dalam sistem ini, pada akhirnya, ditentukan oleh karakter karya (atau peristiwa) seni tertentu. Hal ini dikarenakan potensi karya atau peristiwa seni sebagai objek pengamatan yang mampu mengundang polemik,serta menarik respons dan upaya kritik. Semua jenis komunikasi yang dihasilkan dalam 'jaringan' ini dilihat sebagai bagian dari sistem kesenian, karena mereka

berkontribusi terhadap mode operasi dan siklus gerak sebuah sistem seni.

Bentuk komunikasi dalam seni adalah objek utama yang menjadikan sistem sosial ini berbeda dengan yang lain.Hal ini dikarenakan aksi seni yang senantiasa simbolik, sehingga mampu menawarkan kemungkinan pembedaan antara imajinasi dan realitas. Sistem seni menyadari kemungkinan ini karena bermain dalam ranah persepsi, yang muaranya adalah membangun kesadaran-kesadaran hingga memicu aksi-aksi nyata untuk perubahan (dalam skala yang lebih

luas—masyarakat). Tantangan bermain

dalam bentuk yang jelas merupakan hal sentral dalam cara kerja seni ketika berurusan dengan kenyataan. Menarik gagasan ini dalam ranah PE Biennale Jogja XIV, program ini berjalan dalam penegasan bahwa seni rupa Yogyakarta merupakan bagian penting dari sistem sosial masyarakatnya secara keseluruhan. Sistem ini tidak dipahami dalam jejaring struktur hierarkis dan berlapis, namun sistem sosial seni dimaknai dalam ranah bagaimana membangun komunikasi antara ruang, komunitas seni, dan Biennale Jogja XIV sebagai porosnya. Sistem komunikasinya yang simbolis memerlukan observasi dan pengamatan berjenjang jikakita hendak melihat bagaimana seni mampu menjadi medium untuk berbincang dalam lingkup lebih luas (masyarakat atau kawasan, misalnya). Maka upaya pelibatan ini sangat penting dalam membangun komunikasi, 'nyengkuyung' (mendukung, red.) Biennale Jogja XIV dalam menyisir persoalan-persoalan ketidakpastian hidup yang menjadi inti kuratorialnya.

Jejaring Ruang dan Komunitas

Karya seni tidak dapat melakukan apapun, dan bahkan tidak pernah ada, tanpa peran mediasi dari domain distribusi. Institusi yang bekerja dalam ranah ini (galeri, ruang seni, dan komunitas) bekerja layaknya 'pusat penerjemahan' atas karya yang ditujukan bagi masyarakat. Mereka memberi tempat pada karya seni dalam sebuah momen estetik dengan melibatkan banyak unsur: ruang fisik, karya seni, kurator, manajer, penonton, masyarakat, dan sebagainya. Karya seni akan

memainkan perannya sesuai dengan sifat acara yang dilangsungkan; dan setiap aktivitas yang digelar oleh ruang seni

mempunyai pola, bentuk, dan medan tafsirnya sendiri. Maka sistem interaksi yang dibangun akan menentukan pola komunikasi, perbincangan, hingga efek, dan pengaruhnya bagi masyarakat secara luas.

Dan jika mengaca pada praktik kesenian di Yogyakarta, distribusi dan mediasi seni menjadi hal yang dominan. Tumbuhnya ruang yang masif, dengan ragam aktivitas seni yang dihadirkan, boleh menjadi acuan bagaimana sebaran gagasan seni yang beragam tumbuh subur. Sebaran pengetahuan yang hilir mudik, tumpang-tindih, saling sokong atau berbenturan, telah menumbuhkan dialog langsung maupun imajiner yang mewujud dalam tindakan kesenian yang nyata. Terlepas dari ideologi estetik yang diusung dan kecenderungan artistik yang menjadi praktik, kehadiran ruang-ruang ini menunjukkan bagaimana sistem sosial terbangun dan berkontribusi besar dalam membangun jaringan interaksional yang lebih luas:komunikasi, dialog, dan kemitraan. Dari beragam kepentingan dibalik setiap peristiwa seni yang dihadirkan, jejaring ruang dan komunitas seni yang dibangun dalam PE menjadi podium penting untuk membincangkan serangkaian isu, wacana, dan polemik yang beredar secara senyap maupun riuh dalam keseharian masyarakat, pun

singgungannya dalam praktik di medan sosial seni rupa kita.

Keterlibatan 29 ruang dan komunitas seni dalam spektrum kerja PE adalah modal utama untuk melakukan pemetaan bagaimana sistem sosial kesenian Yogyakarta memainkan perannya dalam sistem sosial masyarakat. Melalui 45

penyelenggaraan kegiatan seni (pameran,

workshop, screening, dan diskusi) sepanjang gelaran PE, akan bisa ditakar sejauhmana seni rupa mampu menyentuh ranah persoalan diluar dirinya, hingga kemudian bisa menemu fungsi sosialnya. Beragam isu dan tema diangkat,mulai dari persoalan medium dan eksperimentasi seni, strategi dan siasat berkesenian, sejarah sosial dan pemikiran, wacana kontribusi pendidikan seni, isu lingkungan dan gender, hingga menyoal identitas kebangsaan. Kesemuanya bergerak dalam medan tafsir atas Age of Hope, narasi kuratorial yang telah diderivasi dalam tujuh sajian pembacaan:Penyangkalan atas Kenyataan, Kemarahan pada Keadaan, Keputusasaan atas kehilangan,

Kepasrahan dalam ketiadaan, Penghiburan atas Kehilangan, Kesadaran pada

Keadaan, Penerimaan atas Kenyataan.

Luasnya cakrawala gagasan dan medan tafsir atas tema kuratorial yang diusung masing-masing ruang dan komunitas senisebanding dengan luasnya cakrawala harapan pelaku seni atas segenap problematika dalam kehidupan sehari-hari. Harapan tumbuh dalam kerja-kerja seni yang tak luruh.Mereka hadir dan menggerakkan medan sosial seni rupa Yogyakarta, membangun jejaring interaksi, dan terus berkomunikasi dengan publik seninya. Praktik seni yang dilakukan oleh ruang dan komunitas seni dalam PE merupakan bentuk afirmasi diri dan penumbuhan harapan yang berpijak dari optimisme mereka dalam memandang hidup.

(8)

Meski dalam bahasa simbol, karya mampu merangsang reaksi, secara langsung maupun tidak, dalam perbincangan maupun polemik yang berujung aksi. Praktik komunikasi ini berada dalam cakrawala harapan, dalam ambang pemikiran: bagaimana 'semestinya' dan bagaimana 'kenyataannya'. Peran ruang dan komunitas seni penting dalam membangun cakrawala harapan ini. Dan mesti kembali dipahami, sistem seni bukanlah struktur (hubungan) organisasi dan para aktor, melainkan rangkaian komunikasi yang tersusun secara sosial (dengan berbasiskan harapan).

Di tengah realitas hidup yang samar dan medan sosial seni yang sumir, istilah 'seni itu melelahkan namun tak boleh berhenti'

seolah menemukan taji. Gagasan A.C.Danto (dalam Maanen) bahwa karya seni selalu memiliki bentuk 'kegairahan' di dalamnya tampak mengejawantah. Dinamika seni yang riuh di Yogyakarta adalah bukti bagaimana para pelaku seni, komunitas, dan ruang-ruang seni mampu terus-menerus meneguhkan diri bahwa: seni mampu memunculkan harapan hidup dan membuat perubahan, apapun bentuknya, sekecil apapun,dengan membangun komunikasi dan menebar harapan bersama masyarakatnya. Seni tetap diyakini mampu membuat

'pernyataan kebenaran' tentang kenyataan, atau setidaknya memungkinkan untuk menguji sejauh mana kebenaran itu dialami. Membaca realitas atau

pengalaman (dimana realitas tetap tidak ada), serta mencoba 'kemungkinan-kemungkinan lain' yang dianggap mungkin.

Optimisme ini adalah afirmasi diri yang mewujud dalam kerja-kerja seni tanpa henti. Afirmasi diri juga menjadi cermin untuk membaca situasi sosial

masyarakatsekaligus silang sengkarut politik kesenian dengan polemik-polemik yang tak berkesudahan. Dalam riuhnya syak wasangka yang memicu singgungan dan benturan dalam medan seni, afirmasi diri dan cakrawala harapan menjadi titik balik untuk melakukan perubahan. Hal yang sama saat kita membedah narasi besar Biennale Jogja XIV, keterlibatan setiap ruang dan komunitas seni dalam Biennale menunjukkan bagaimana struktur ini menjadi kekuatan penting dalam menyingkap tabir kuratorial yang ditawarkan. Kehadiran ruang dan

komunitas seni dengan segenap cakrawala harapan yang mereka bentang menjadi bentuk pengalaman-pengalaman 'melintas dari ketidakpastian hidup menuju harapan'.

Luas dan Luwes: Kontekstualisasi Pembacaan global atas isu yang diusung dalam serangkaian kegiatan seni yang dilakukan menunjukkan bagaimana keragaman dan kesalingterhubungan masing-masing ruang dan komunitas seni dalam ranah praktik maupun wacana. Komunikasi, dialog, dan kemitraan ruang dan komunitas seni ini menjadi satu bentuk afirmasi yang melandasi rancang gerak aksi Parallel Event.Menjemput setiap ruang dan komunitas seni untuk berbagi

pengetahuan bersama dalam menyikapi fenomena keseharian masyarakat dalam spektrum global dan aksi-aksi lokal menjadi pijakan penting.Spirit Biennale Jogja XIV adalah menjadi jembatan yang menjahit keragaman pemikiran, gagasan, dan praktik kesenian. Tawaran aksi yang dipresentasikan masing-masing ruang menunjukkan luas dan luwesnya sikap-sikap pelaku seni dalam membaca gejala serta menyikapi perubahan realitas secara positif, taktis, dan menyentuh ranah yang paling dasar dari masyarakat.

Tawaran ragam aktivitas seni yang dilakukan oleh ruang dan komunitas seni dalam PE menjadi semacam usaha untuk mencari fungsi seni bagi

masyarakat.Program ini akan bergerak dalam kaidah praksis, merujuk pada sintesis teori dan praktik. Menjumput pengetahuan dari setiap aksi dan refleksi untuk diletakkan dalam kerangka konsep kontekstualisasi. Kontekstualisasi adalah jangkar yang diambil oleh PE (sekaligus Biennale Forum) sebagai jalan untuk melihat sejauhmana aktivitas seni menemu simpul-simpul fungsi dalam masyarakat.

Tentu hal ini tidak mudah dan merupakan pekerjaan yang panjang jika melihat beragamnya dinamika praktik, ideologi, dan wacana yang diusung, namun kerja-kerja ini memang semestinya dilakukan secara konstrukif dan terus diupayakan,

sebagaimana Biennale Jogja juga bergerak dalam ranah ini. Keyakinan ini dilandasi dasar bahwa seni menawarkan

kesempatan untuk mendepositokan setiap realitas melalui representasi, dan

membangun persepsi yang melahirkan dialog dan komunikasi.Kontekstualisasi dalam program PE secara spesifik akan berjalan pada spektrum: 'melihat bentuk dan pola konfrontasi yang muncul atas konstruksi perseptif yang telah eksis'hingga menengok munculnya'cara-cara pandang baru dalam melihat dunia'. Membaca bersama-sama isu-isu besar yang digali dari perjumpaan Biennale Jogja XIV dengan Brasil, merajut setiap tebaran gagasan ruang dan komunitas seni, serta mendudukkannya dalam konteks masyarakat hari ini.(HH)

Rujukan:

van Maanen, Hans. 2009. How to Study Art Worlds, On the Societal Functioning of Aesthetic Values. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Becker, Howard. S & Howard P. Becker. 1982.Art Worlds. Berkeley: University of California Press. Luhmann, Niklas.2000. Art as a Social System. Stanford: Stanford University Press.

(9)

Meski dalam bahasa simbol, karya mampu merangsang reaksi, secara langsung maupun tidak, dalam perbincangan maupun polemik yang berujung aksi. Praktik komunikasi ini berada dalam cakrawala harapan, dalam ambang pemikiran: bagaimana 'semestinya' dan bagaimana 'kenyataannya'. Peran ruang dan komunitas seni penting dalam membangun cakrawala harapan ini. Dan mesti kembali dipahami, sistem seni bukanlah struktur (hubungan) organisasi dan para aktor, melainkan rangkaian komunikasi yang tersusun secara sosial (dengan berbasiskan harapan).

Di tengah realitas hidup yang samar dan medan sosial seni yang sumir, istilah 'seni itu melelahkan namun tak boleh berhenti'

seolah menemukan taji. Gagasan A.C.Danto (dalam Maanen) bahwa karya seni selalu memiliki bentuk 'kegairahan' di dalamnya tampak mengejawantah. Dinamika seni yang riuh di Yogyakarta adalah bukti bagaimana para pelaku seni, komunitas, dan ruang-ruang seni mampu terus-menerus meneguhkan diri bahwa: seni mampu memunculkan harapan hidup dan membuat perubahan, apapun bentuknya, sekecil apapun,dengan membangun komunikasi dan menebar harapan bersama masyarakatnya. Seni tetap diyakini mampu membuat

'pernyataan kebenaran' tentang kenyataan, atau setidaknya memungkinkan untuk menguji sejauh mana kebenaran itu dialami. Membaca realitas atau

pengalaman (dimana realitas tetap tidak ada), serta mencoba 'kemungkinan-kemungkinan lain' yang dianggap mungkin.

Optimisme ini adalah afirmasi diri yang mewujud dalam kerja-kerja seni tanpa henti. Afirmasi diri juga menjadi cermin untuk membaca situasi sosial

masyarakatsekaligus silang sengkarut politik kesenian dengan polemik-polemik yang tak berkesudahan. Dalam riuhnya syak wasangka yang memicu singgungan dan benturan dalam medan seni, afirmasi diri dan cakrawala harapan menjadi titik balik untuk melakukan perubahan. Hal yang sama saat kita membedah narasi besar Biennale Jogja XIV, keterlibatan setiap ruang dan komunitas seni dalam Biennale menunjukkan bagaimana struktur ini menjadi kekuatan penting dalam menyingkap tabir kuratorial yang ditawarkan. Kehadiran ruang dan

komunitas seni dengan segenap cakrawala harapan yang mereka bentang menjadi bentuk pengalaman-pengalaman 'melintas dari ketidakpastian hidup menuju harapan'.

Luas dan Luwes: Kontekstualisasi Pembacaan global atas isu yang diusung dalam serangkaian kegiatan seni yang dilakukan menunjukkan bagaimana keragaman dan kesalingterhubungan masing-masing ruang dan komunitas seni dalam ranah praktik maupun wacana. Komunikasi, dialog, dan kemitraan ruang dan komunitas seni ini menjadi satu bentuk afirmasi yang melandasi rancang gerak aksi Parallel Event.Menjemput setiap ruang dan komunitas seni untuk berbagi

pengetahuan bersama dalam menyikapi fenomena keseharian masyarakat dalam spektrum global dan aksi-aksi lokal menjadi pijakan penting.Spirit Biennale Jogja XIV adalah menjadi jembatan yang menjahit keragaman pemikiran, gagasan, dan praktik kesenian. Tawaran aksi yang dipresentasikan masing-masing ruang menunjukkan luas dan luwesnya sikap-sikap pelaku seni dalam membaca gejala serta menyikapi perubahan realitas secara positif, taktis, dan menyentuh ranah yang paling dasar dari masyarakat.

Tawaran ragam aktivitas seni yang dilakukan oleh ruang dan komunitas seni dalam PE menjadi semacam usaha untuk mencari fungsi seni bagi

masyarakat.Program ini akan bergerak dalam kaidah praksis, merujuk pada sintesis teori dan praktik. Menjumput pengetahuan dari setiap aksi dan refleksi untuk diletakkan dalam kerangka konsep kontekstualisasi. Kontekstualisasi adalah jangkar yang diambil oleh PE (sekaligus Biennale Forum) sebagai jalan untuk melihat sejauhmana aktivitas seni menemu simpul-simpul fungsi dalam masyarakat.

Tentu hal ini tidak mudah dan merupakan pekerjaan yang panjang jika melihat beragamnya dinamika praktik, ideologi, dan wacana yang diusung, namun kerja-kerja ini memang semestinya dilakukan secara konstrukif dan terus diupayakan,

sebagaimana Biennale Jogja juga bergerak dalam ranah ini. Keyakinan ini dilandasi dasar bahwa seni menawarkan

kesempatan untuk mendepositokan setiap realitas melalui representasi, dan

membangun persepsi yang melahirkan dialog dan komunikasi.Kontekstualisasi dalam program PE secara spesifik akan berjalan pada spektrum: 'melihat bentuk dan pola konfrontasi yang muncul atas konstruksi perseptif yang telah eksis'hingga menengok munculnya'cara-cara pandang baru dalam melihat dunia'. Membaca bersama-sama isu-isu besar yang digali dari perjumpaan Biennale Jogja XIV dengan Brasil, merajut setiap tebaran gagasan ruang dan komunitas seni, serta mendudukkannya dalam konteks masyarakat hari ini.(HH)

Rujukan:

van Maanen, Hans. 2009. How to Study Art Worlds, On the Societal Functioning of Aesthetic Values. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Becker, Howard. S & Howard P. Becker. 1982.Art Worlds. Berkeley: University of California Press. Luhmann, Niklas.2000. Art as a Social System. Stanford: Stanford University Press.

(10)

simulasi. Secara tidak sadar, kita telah masuk dan menikmatinya dalam konteks kehidupan kita hari ini. Memasuki era kebudayaan kontemporer, kita dihadapkan dengan sebuah pemandangan tentang realitas baru, penuh dengan warna sekaligus nuansa yang tak pernah kita duga sebelumnya. Banyak hal menarik yang disajikan, namun banyak pula yang menghanyutkan. Kita dapat hanyut dalam suatu wilayah kebudayaan baru, yang memberikan perasaan keterpesonaan dan kesenangan karena kekayaan tanda dan citranya. Tanda dan citra yang lebur bahkan melampaui dirinya sendiri. Begitu banyak tanda, kesan, serta tema yang sangat menggoda untuk disantap. Akan tetapi, itu semua perlahan akan runtuh dengan sendirinya. Runtuh akibat tidak adanya lagi batas antara penanda dan petanda yang sebelumnya berjalan beriringan.

Organisme yang mengalami sebuah kekacauan merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan kondisi kita hari ini. Beberapa organ tidak lagi berjalan sesuai dengan sistemnya. Otak menjadi dengkul, mata menjadi otak, telinga menjadi mulut,sehinggamanusia lebih

mendahulukan bertindak daripada berpikir, mengedepankan apa yang dilihat daripada apa yang direnungkan, dan lebih banyak berbicara ketimbang mendengar. Lebih lanjut, hal tersebut juga disinyalir dapat terjadi karena adanya dominasi waktu terhadap ruang dan tindakan. Pada konteks ini, ruang dapat dijangkau dengan waktu yang singkat. Artinya, kita tidak memerlukan banyak waktu lagi untuk menuju ke sebuah dimensi ruang. Dengan temuan mutakhir yang lahir dari

kecerdasan manusia, kita dengan cepat menuju ke suatu dimensi ruang tanpa

harus mengeluarkan energi untuk menjangkaunya. Kita dapat

mengefisienkan waktu untuk melakukan banyak kegiatan di waktu yang sama. Namun, dibalik kenikmatan itu semua, justru lahir banyak kekacauan di dalamnya. Segala kebenaran kabur dan dapat menjadi kepalsuan, atau sebaliknya. Segala aktivitas dikerjakan dengan ketergesaan, sehingga kehilangan maknanya lalu terabaikan. Kekacauan ini lantas menjelma menjadi teks yang kabur, keburukan menjadi kebaikan, berubahnya dosa menjadi hiburan, kepalsuan menjadi suatu kebenaran. Kebudayaan yang kacaubalau ini akhirnya meninggalkan beberapa ketidakjelasan dan

ketidakpastian pada kehidupan masyarakat kontemporer, masyarakat kita hari ini. Meski begitu, mau tidak mau, sadar tidak sadar, kondisi itu yang kita hadapi sekarang. Perkara mencari makna di antara ketidakjelasan dan ketidakpastian tersebut adalah pekerjaan kita hari ini. Ketidaksadaran dalam Sebuah Peristiwa

Stage of Hopelessness

merupakan sebuah respons yang tumbuh keluar sebagai buah dari keadaan saat ini. Keadaan ketika segalanya menjadi tidak jelas dan tidak pasti. Meski begitu, respons tersebut seyogyanya ingin menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat kita tidak berani berharap. Berharap pada sebuah kenyataan yang semakin sulit untuk dipahami. Kenyataan yang hadir pada era baru ini begitu menggoda melalui pesona citra dan nuansanya, namun amat kacau di dalamnya. Namun di balik kekacauan itu, secara tidak sadar kita digiring ke satu titik untuk mendapatkan kesadaran baru. Lalu, bagaimana mendapatkan kesadaran baru tersebut?

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mempersoalkan bahwa realitas yang tidak selalu dalam keadaan baik-baik saja adalah kenyataan yang kita hadapi hari ini.Rasanya akan menjadi menarik jika kita coba petakan secara sederhana seraya mempertanyakan, hal apa saja yang mendasari keadaan tersebut dan bagaimana ia layak dipersoalkan

berdasarkan konteksnya, yakni kehidupan Yogyakarta hari ini. Jawaban atas

pertanyaan ini kiranya dapat menjadi pintu masuk untuk menyelami realitas kita hari ini.

Sejak zaman purba, benih-benih

kebudayaan yang berupa kemampuan akal manusia telah lahir dan terus mengalami perkembangan yang tajam. Manusia berevolusi, begitu pula cara pandangnya, turut menggiring ke arah daya hidup pada zaman yang juga terus berkembang. Hal ini tampak dengan adanya beberapa

kebudayaan yang tumbuh secara bertahap, yang diawali fase mitis, ontologis, dan pragmatis. Sementara—sebagai wujud dari kebudayaan—norma, aturan,

konvensiterlahir dengan wujud ide, yang sifatnya abstrak, tak kasatmata, dan lokasinya hanya berada di dalam kepala atau alam pikir warga masyarakat tempat kebudayaan itu hidup. Wujud kebudayaan tersebut banyak hidup bersama dan memberi jiwa pada masyarakatnya. Gagasan yang satu dengan lainnya

cenderung kait-mengait,membentuk sebuah sistem budaya

Wujud lain yang beririsan dekat dengan kebudayaan adalah aktivitas atau tindakan manusia dalam masyarakat. Aktivitas ini mewujud pada pola-pola tertentu dalam kehidupan bermasyarakat yang kemudian menjadi sistem sosial. Manusia

berkegiatan, berinteraksi, serta bergaul berdasarkan pola tersebut. Wujud terakhir dari kebudayaan adalah artefak atau bentuk kebudayaan fisik. Jenis ini berupa hasil fisik dari aktivitas atau perbuatan manusia. Sifatnya konkret, mulai dari hal yang sederhana sampai temuan termutakhir. Pada wujud ini, beberapa perubahan keadaan sudah mulai terasa dan memberi dampak cukup signifikan pada sistem sosial dan kesepakatannya.

Meminjam pemikiran Yasraf Piliang tentang “dunia yang dilipat” sebagai pijakan merupakan pilihan yang cukup relevan untuk melihat kasus ini. Lebih jauh, konsep ini menempatkan kebudayaan pada konteks kekinian dan situasi yang sedang dijalaninya. Dengan demikian, kita jugaditempatkan pada suatu masa atau zaman yang cenderung terus-menerus mengalami perubahan,yang tumbuh begitu nyata dan cepat. Kita pun secara tidak langsung diajak untuk berwisata ke dalam sebuah dimensi yang penuh teka-teki, misteri, kontradiksi, halusinasi, dan

Kekacauan Hari Ini

Rio Raharjo

(11)

simulasi. Secara tidak sadar, kita telah masuk dan menikmatinya dalam konteks kehidupan kita hari ini. Memasuki era kebudayaan kontemporer, kita dihadapkan dengan sebuah pemandangan tentang realitas baru, penuh dengan warna sekaligus nuansa yang tak pernah kita duga sebelumnya. Banyak hal menarik yang disajikan, namun banyak pula yang menghanyutkan. Kita dapat hanyut dalam suatu wilayah kebudayaan baru, yang memberikan perasaan keterpesonaan dan kesenangan karena kekayaan tanda dan citranya. Tanda dan citra yang lebur bahkan melampaui dirinya sendiri. Begitu banyak tanda, kesan, serta tema yang sangat menggoda untuk disantap. Akan tetapi, itu semua perlahan akan runtuh dengan sendirinya. Runtuh akibat tidak adanya lagi batas antara penanda dan petanda yang sebelumnya berjalan beriringan.

Organisme yang mengalami sebuah kekacauan merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan kondisi kita hari ini. Beberapa organ tidak lagi berjalan sesuai dengan sistemnya. Otak menjadi dengkul, mata menjadi otak, telinga menjadi mulut,sehinggamanusia lebih

mendahulukan bertindak daripada berpikir, mengedepankan apa yang dilihat daripada apa yang direnungkan, dan lebih banyak berbicara ketimbang mendengar. Lebih lanjut, hal tersebut juga disinyalir dapat terjadi karena adanya dominasi waktu terhadap ruang dan tindakan. Pada konteks ini, ruang dapat dijangkau dengan waktu yang singkat. Artinya, kita tidak memerlukan banyak waktu lagi untuk menuju ke sebuah dimensi ruang. Dengan temuan mutakhir yang lahir dari

kecerdasan manusia, kita dengan cepat menuju ke suatu dimensi ruang tanpa

harus mengeluarkan energi untuk menjangkaunya. Kita dapat

mengefisienkan waktu untuk melakukan banyak kegiatan di waktu yang sama. Namun, dibalik kenikmatan itu semua, justru lahir banyak kekacauan di dalamnya. Segala kebenaran kabur dan dapat menjadi kepalsuan, atau sebaliknya. Segala aktivitas dikerjakan dengan ketergesaan, sehingga kehilangan maknanya lalu terabaikan. Kekacauan ini lantas menjelma menjadi teks yang kabur, keburukan menjadi kebaikan, berubahnya dosa menjadi hiburan, kepalsuan menjadi suatu kebenaran. Kebudayaan yang kacaubalau ini akhirnya meninggalkan beberapa ketidakjelasan dan

ketidakpastian pada kehidupan masyarakat kontemporer, masyarakat kita hari ini. Meski begitu, mau tidak mau, sadar tidak sadar, kondisi itu yang kita hadapi sekarang. Perkara mencari makna di antara ketidakjelasan dan ketidakpastian tersebut adalah pekerjaan kita hari ini. Ketidaksadaran dalam Sebuah Peristiwa

Stage of Hopelessness

merupakan sebuah respons yang tumbuh keluar sebagai buah dari keadaan saat ini. Keadaan ketika segalanya menjadi tidak jelas dan tidak pasti. Meski begitu, respons tersebut seyogyanya ingin menjawab persoalan ketidakpastian hidup yang telah membuat kita tidak berani berharap. Berharap pada sebuah kenyataan yang semakin sulit untuk dipahami. Kenyataan yang hadir pada era baru ini begitu menggoda melalui pesona citra dan nuansanya, namun amat kacau di dalamnya. Namun di balik kekacauan itu, secara tidak sadar kita digiring ke satu titik untuk mendapatkan kesadaran baru. Lalu, bagaimana mendapatkan kesadaran baru tersebut?

Saya ingin mengawali tulisan ini dengan mempersoalkan bahwa realitas yang tidak selalu dalam keadaan baik-baik saja adalah kenyataan yang kita hadapi hari ini.Rasanya akan menjadi menarik jika kita coba petakan secara sederhana seraya mempertanyakan, hal apa saja yang mendasari keadaan tersebut dan bagaimana ia layak dipersoalkan

berdasarkan konteksnya, yakni kehidupan Yogyakarta hari ini. Jawaban atas

pertanyaan ini kiranya dapat menjadi pintu masuk untuk menyelami realitas kita hari ini.

Sejak zaman purba, benih-benih

kebudayaan yang berupa kemampuan akal manusia telah lahir dan terus mengalami perkembangan yang tajam. Manusia berevolusi, begitu pula cara pandangnya, turut menggiring ke arah daya hidup pada zaman yang juga terus berkembang. Hal ini tampak dengan adanya beberapa

kebudayaan yang tumbuh secara bertahap, yang diawali fase mitis, ontologis, dan pragmatis. Sementara—sebagai wujud dari kebudayaan—norma, aturan,

konvensiterlahir dengan wujud ide, yang sifatnya abstrak, tak kasatmata, dan lokasinya hanya berada di dalam kepala atau alam pikir warga masyarakat tempat kebudayaan itu hidup. Wujud kebudayaan tersebut banyak hidup bersama dan memberi jiwa pada masyarakatnya. Gagasan yang satu dengan lainnya

cenderung kait-mengait,membentuk sebuah sistem budaya

Wujud lain yang beririsan dekat dengan kebudayaan adalah aktivitas atau tindakan manusia dalam masyarakat. Aktivitas ini mewujud pada pola-pola tertentu dalam kehidupan bermasyarakat yang kemudian menjadi sistem sosial. Manusia

berkegiatan, berinteraksi, serta bergaul berdasarkan pola tersebut. Wujud terakhir dari kebudayaan adalah artefak atau bentuk kebudayaan fisik. Jenis ini berupa hasil fisik dari aktivitas atau perbuatan manusia. Sifatnya konkret, mulai dari hal yang sederhana sampai temuan termutakhir. Pada wujud ini, beberapa perubahan keadaan sudah mulai terasa dan memberi dampak cukup signifikan pada sistem sosial dan kesepakatannya.

Meminjam pemikiran Yasraf Piliang tentang “dunia yang dilipat” sebagai pijakan merupakan pilihan yang cukup relevan untuk melihat kasus ini. Lebih jauh, konsep ini menempatkan kebudayaan pada konteks kekinian dan situasi yang sedang dijalaninya. Dengan demikian, kita jugaditempatkan pada suatu masa atau zaman yang cenderung terus-menerus mengalami perubahan,yang tumbuh begitu nyata dan cepat. Kita pun secara tidak langsung diajak untuk berwisata ke dalam sebuah dimensi yang penuh teka-teki, misteri, kontradiksi, halusinasi, dan

Kekacauan Hari Ini

Rio Raharjo

(12)

Organizing Chaos diambil sebagai salah satu tema yang disiapkan untuk

ditampilkan ke publik dan ditempatkan sebagai upaya untuk memunculkan kesadaran baru melalui peristiwa yang “seakan” tak wajar terkait situasi Yogyakarta hari ini. Memainkan ingatan masa lalu akan sebuah momen traumatis menjadi titik berangkat untuk memunculkan kesadaran baru. Memainkan ingatan masa lalu dalam konteks ini didekati dengan menggali ingatan masa lalu itu sendiri. Penggalian ingatan inidilakukan bukan pada lapisan kesadaran yang memiliki rekaman pengalaman menyenangkan, seperti menikmati keindahan

pemandangan atau mencium semerbak wewangian bunga. Namun sebaliknya, digalidari pengalaman yang biasa saja, tidak cukup berarti atau bermakna, hingga hal-hal yang kurang enak, sehingga ia pun dilupakan dan kemudian ditempatkan pada lapisan ketidaksadaran. Lapisan

ketidaksadaran yang tidak menyenangkan tersebut kemudian didesak masuk ke dalam lapisan ketidaksadaran personal. Segala hal yang kurang berkenan dan mengenakkan terakumulasi pada lapisan ini. Selanjutnya, ingatan pada lapisan inidirasa turut memengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak secara personal.

Lantas, bagaimana membangun ingatan publik pada masa lampau? Pada tahap ini, kita diajak untuk lebih jauh masuk ke lapisan ketidaksadaran kolektif. Yang membedakan lapisan ini dengan lapisan di atas adalah sumber pengalamannya. Pengalaman pada lapisan ini bersumberdari pengalaman bersama (kolektif) yang mengakar pada masa lalu. Sejenis pengetahuan yang kita miliki sejak lahir dan kita tidak sadar telah memilikinya.

Pengetahuan tersebut diturunkan secara berulang dari generasi ke generasi, kepada setiap orang berdasarkan kulturnya,hingga kemudian pola asalnya, atau arketipe, dapat terbaca. Arketipe yang merupakan isi dari ketidaksadaran kolektif cukup

berperan dalam menentukan cara setiap orang memandang suatu yang ada di sekelilingnya. Ia adalah bagian atau komponen yang letaknya di wilayah ketidaksadaran kolektif. Perannya begitu sentral untuk memengaruhi perilaku kita secara emosional. Sebagai contoh, seorang anak membawa pola asal ibunya, yang merupakan hasil dari pengalaman generasi sebelumnya yang terus berulang. Dengan begitu, sang anak secara tidak sadar mengikuti pola yang diwarisidari sang ibu.

Ketidaksadaran itu pula yang menjadi tujuan dibalik rangkaian peristiwa yang ditata di hadapan publik. Secara tidak sadar, beberapa peristiwa yang hadir akan menyengat ingatan masa lalu

masyarakatkarena ada warisan pengetahuan yang telah dimiliki. Lalu, publik akan memandang peristiwa ini sebagai sebuah momen penting. Penggalianulangakan hal tersebut dan memunculkannya dalam suatu momen atau peristiwa dirasa jadi satu cara yang turut melahirkan kesadaran baru. Pada konteks ini pula, peristiwa yang dihadirkan sebenarnya memiliki irisan dengan nilai kebudayaan Yogyakarta.

Upaya penggalian ingatan publik ini digiring menuju sebuah mitos. Mitos sebagai konsep anutan yang berangkat dari permasalahan dan perubahan dengan beberapa kekacauannya, tumbuh serta berkembang di kehidupan masyarakat dewasa ini. Ia berdiri sebagai sesuatu yang

kontinu dan terkait dengan konteks zamannya. Mitos di sini tidak didefinisikan melalui pesan pada objeknya, melainkan melalui cara penyampaian pesan itu sendiri. Memuat pesan yang seakan-akan benar atau apa adanya, tetapi sebenarnya mengandung pesan lain yang ditutupi atau disembunyikan. Ketika segala sesuatunya terasa berjalan lazim, maka sebenarnya itu tak lazim. Alami dalam konteks ini diartikan sebagai sebuah peristiwa yang berjalan mengalir, bebas dari kepentingan atau

(13)

Organizing Chaos diambil sebagai salah satu tema yang disiapkan untuk

ditampilkan ke publik dan ditempatkan sebagai upaya untuk memunculkan kesadaran baru melalui peristiwa yang “seakan” tak wajar terkait situasi Yogyakarta hari ini. Memainkan ingatan masa lalu akan sebuah momen traumatis menjadi titik berangkat untuk memunculkan kesadaran baru. Memainkan ingatan masa lalu dalam konteks ini didekati dengan menggali ingatan masa lalu itu sendiri. Penggalian ingatan inidilakukan bukan pada lapisan kesadaran yang memiliki rekaman pengalaman menyenangkan, seperti menikmati keindahan

pemandangan atau mencium semerbak wewangian bunga. Namun sebaliknya, digalidari pengalaman yang biasa saja, tidak cukup berarti atau bermakna, hingga hal-hal yang kurang enak, sehingga ia pun dilupakan dan kemudian ditempatkan pada lapisan ketidaksadaran. Lapisan

ketidaksadaran yang tidak menyenangkan tersebut kemudian didesak masuk ke dalam lapisan ketidaksadaran personal. Segala hal yang kurang berkenan dan mengenakkan terakumulasi pada lapisan ini. Selanjutnya, ingatan pada lapisan inidirasa turut memengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak secara personal.

Lantas, bagaimana membangun ingatan publik pada masa lampau? Pada tahap ini, kita diajak untuk lebih jauh masuk ke lapisan ketidaksadaran kolektif. Yang membedakan lapisan ini dengan lapisan di atas adalah sumber pengalamannya. Pengalaman pada lapisan ini bersumberdari pengalaman bersama (kolektif) yang mengakar pada masa lalu. Sejenis pengetahuan yang kita miliki sejak lahir dan kita tidak sadar telah memilikinya.

Pengetahuan tersebut diturunkan secara berulang dari generasi ke generasi, kepada setiap orang berdasarkan kulturnya,hingga kemudian pola asalnya, atau arketipe, dapat terbaca. Arketipe yang merupakan isi dari ketidaksadaran kolektif cukup

berperan dalam menentukan cara setiap orang memandang suatu yang ada di sekelilingnya. Ia adalah bagian atau komponen yang letaknya di wilayah ketidaksadaran kolektif. Perannya begitu sentral untuk memengaruhi perilaku kita secara emosional. Sebagai contoh, seorang anak membawa pola asal ibunya, yang merupakan hasil dari pengalaman generasi sebelumnya yang terus berulang. Dengan begitu, sang anak secara tidak sadar mengikuti pola yang diwarisidari sang ibu.

Ketidaksadaran itu pula yang menjadi tujuan dibalik rangkaian peristiwa yang ditata di hadapan publik. Secara tidak sadar, beberapa peristiwa yang hadir akan menyengat ingatan masa lalu

masyarakatkarena ada warisan pengetahuan yang telah dimiliki. Lalu, publik akan memandang peristiwa ini sebagai sebuah momen penting. Penggalianulangakan hal tersebut dan memunculkannya dalam suatu momen atau peristiwa dirasa jadi satu cara yang turut melahirkan kesadaran baru. Pada konteks ini pula, peristiwa yang dihadirkan sebenarnya memiliki irisan dengan nilai kebudayaan Yogyakarta.

Upaya penggalian ingatan publik ini digiring menuju sebuah mitos. Mitos sebagai konsep anutan yang berangkat dari permasalahan dan perubahan dengan beberapa kekacauannya, tumbuh serta berkembang di kehidupan masyarakat dewasa ini. Ia berdiri sebagai sesuatu yang

kontinu dan terkait dengan konteks zamannya. Mitos di sini tidak didefinisikan melalui pesan pada objeknya, melainkan melalui cara penyampaian pesan itu sendiri. Memuat pesan yang seakan-akan benar atau apa adanya, tetapi sebenarnya mengandung pesan lain yang ditutupi atau disembunyikan. Ketika segala sesuatunya terasa berjalan lazim, maka sebenarnya itu tak lazim. Alami dalam konteks ini diartikan sebagai sebuah peristiwa yang berjalan mengalir, bebas dari kepentingan atau

(14)

Residensi ini berawal dari undangan yang dilayangkan Biennale Jogja. Ketertarikan pada isu tertentu terkait proses pengkaryaan saya baru muncul setelah saya tiba di kota ini. Sebelumnya, saya sudah punya beberapa ide. Tapi setelah saya sampai di

Yogyakarta, barulah saya paham tentang alur dan dinamika kota ini, hingga kemudian memikirkan proyek yang akan saya kerjakan.

Dukungan dan kesempatan selalu tersedia bagi kami untuk membicarakan proses pengerjaan karya. Bentuk dukungan itu dapat berupa dialog antarseniman, bersama kurator, maupun seniman Indonesia.Kendalanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan semangatnya. Tapi memang ada kendala. Salah satunya adalah bahasa. Sukar sekali melakukan pendekatan terhadap suatu konteks tanpa mengetahui bagaimana cara

mengungkapkannya.

Kesulitan lain yang saya alami pada awal masa residensi adalah perbedaan zona waktu. Tubuh rasanya jet lag, dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Akan tetapi, segala kendala itu bisa jadi hal baik dalam kaitannya dengan perbedaan konteks dan tempat kita di dunia ini. Perbedaan menuntut kita untuk memikirkan keberadaan dunia lain yang terkadang tidak kita anggap ada.

Saya amat terkesan dengan dunia kesenian Yogyakarta, terutama skena musik eksperimental-independen: noise. Dua bulan kelihatannya waktu yang lama, tapi nyatanya hanya ada sedikit waktu untuk mengerjakan proyek yang ingin saya kembangkan lebih jauh. Menurut saya, penting untuk meninggalkan kesan pertama yang akan mengendap, sehingga tidak terasa klise. Hal ini selalu jadi bagian yang tersulit, terutama ketika berada di negara lain, di tengah budaya yang berbeda, serta hubungan dengan waktu, ruang, dan tubuh yang berbeda pula.

YURI FIRMEZA

Residensi Seniman Brasil

(15)

Residensi ini berawal dari undangan yang dilayangkan Biennale Jogja. Ketertarikan pada isu tertentu terkait proses pengkaryaan saya baru muncul setelah saya tiba di kota ini. Sebelumnya, saya sudah punya beberapa ide. Tapi setelah saya sampai di

Yogyakarta, barulah saya paham tentang alur dan dinamika kota ini, hingga kemudian memikirkan proyek yang akan saya kerjakan.

Dukungan dan kesempatan selalu tersedia bagi kami untuk membicarakan proses pengerjaan karya. Bentuk dukungan itu dapat berupa dialog antarseniman, bersama kurator, maupun seniman Indonesia.Kendalanya tidak seberapa jika dibandingkan dengan semangatnya. Tapi memang ada kendala. Salah satunya adalah bahasa. Sukar sekali melakukan pendekatan terhadap suatu konteks tanpa mengetahui bagaimana cara

mengungkapkannya.

Kesulitan lain yang saya alami pada awal masa residensi adalah perbedaan zona waktu. Tubuh rasanya jet lag, dan butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Akan tetapi, segala kendala itu bisa jadi hal baik dalam kaitannya dengan perbedaan konteks dan tempat kita di dunia ini. Perbedaan menuntut kita untuk memikirkan keberadaan dunia lain yang terkadang tidak kita anggap ada.

Saya amat terkesan dengan dunia kesenian Yogyakarta, terutama skena musik eksperimental-independen: noise. Dua bulan kelihatannya waktu yang lama, tapi nyatanya hanya ada sedikit waktu untuk mengerjakan proyek yang ingin saya kembangkan lebih jauh. Menurut saya, penting untuk meninggalkan kesan pertama yang akan mengendap, sehingga tidak terasa klise. Hal ini selalu jadi bagian yang tersulit, terutama ketika berada di negara lain, di tengah budaya yang berbeda, serta hubungan dengan waktu, ruang, dan tubuh yang berbeda pula.

YURI FIRMEZA

Residensi Seniman Brasil

(16)

Residensi ini adalah kesempatan buat saya untuk datang dan memahami Indonesia secara mendalam, terlebih karena keluarga saya berasal dari Indonesia. Kunjungan ini adalah mimpi yang jadi nyata.

Saya tidak tahu apa-apa tentang Yogyakarta sebelum datang kemari. Menarik sekali, di Yogyakarta kesenjangan sosial lebih sedikit terasa dibanding kota-kota lain yang sangat terpengaruh kapitalisme. Yogyakarta juga sangat kental keseniannya; ada sekolah seni dan galeri di mana-mana, namun secara bersamaan kehidupan tradisional masyarakatnya tidak luntur. Perpaduan yang sangat menarik. Ada keterbukaan untuk kreativitas, juga keanehan, misalnya terdapat komunitas transgender dan LGBT. Ini sangat dekat relasinya dengan seni karena seni butuh keterbukaan. Kesan pertama ini amat menarik sehingga saya memutuskan untuk kembali ke sini tahun depan.

Program residensi ini mendukung proses kami berkarya. Kami mendapatkan apa yang kami butuhkan, serta didampingi asisten yang perannya sangat penting, sebab kami datang ke negara yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Selain itu, tersedianya ruang untuk tinggal, ruang untuk berkarya, serta pendanaan sangat mendukung proses kreatif saya, sehingga saya bisa mendedikasikan diri 100% pada karya.

Tantangan yang paling sering dihadapi oleh seniman asing adalah bagaimana membuat karya yang tidak menyinggung masyarakat lokal. Itu sering terjadi di Brasil, seniman asing secara tidak sadar membuat karya yang menyinggung, sehingga masyarakat lokal menjadi kritis. Karena punya latar belakang personal, berkarya di Indonesia—di negara tempat keluarga saya pernah tinggal—menjadi beban untuk saya pribadi. Saya harus berupaya membuat konsep dan latar belakang karya dengan bahasa visual saya dapat dimengerti tidak hanya oleh saya dan keluarga, namun juga audiens yang datang dan melihat karya tersebut.

Meskipun Indonesia dan Brasil terpisah jarak lebih dari 16 ribu kilometer, banyak hal ternyata sangat mirip. Meskipun saya orang asing, saya tidak merasa asing di sini.

DANIEL

(17)

Residensi ini adalah kesempatan buat saya untuk datang dan memahami Indonesia secara mendalam, terlebih karena keluarga saya berasal dari Indonesia. Kunjungan ini adalah mimpi yang jadi nyata.

Saya tidak tahu apa-apa tentang Yogyakarta sebelum datang kemari. Menarik sekali, di Yogyakarta kesenjangan sosial lebih sedikit terasa dibanding kota-kota lain yang sangat terpengaruh kapitalisme. Yogyakarta juga sangat kental keseniannya; ada sekolah seni dan galeri di mana-mana, namun secara bersamaan kehidupan tradisional masyarakatnya tidak luntur. Perpaduan yang sangat menarik. Ada keterbukaan untuk kreativitas, juga keanehan, misalnya terdapat komunitas transgender dan LGBT. Ini sangat dekat relasinya dengan seni karena seni butuh keterbukaan. Kesan pertama ini amat menarik sehingga saya memutuskan untuk kembali ke sini tahun depan.

Program residensi ini mendukung proses kami berkarya. Kami mendapatkan apa yang kami butuhkan, serta didampingi asisten yang perannya sangat penting, sebab kami datang ke negara yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Selain itu, tersedianya ruang untuk tinggal, ruang untuk berkarya, serta pendanaan sangat mendukung proses kreatif saya, sehingga saya bisa mendedikasikan diri 100% pada karya.

Tantangan yang paling sering dihadapi oleh seniman asing adalah bagaimana membuat karya yang tidak menyinggung masyarakat lokal. Itu sering terjadi di Brasil, seniman asing secara tidak sadar membuat karya yang menyinggung, sehingga masyarakat lokal menjadi kritis. Karena punya latar belakang personal, berkarya di Indonesia—di negara tempat keluarga saya pernah tinggal—menjadi beban untuk saya pribadi. Saya harus berupaya membuat konsep dan latar belakang karya dengan bahasa visual saya dapat dimengerti tidak hanya oleh saya dan keluarga, namun juga audiens yang datang dan melihat karya tersebut.

Meskipun Indonesia dan Brasil terpisah jarak lebih dari 16 ribu kilometer, banyak hal ternyata sangat mirip. Meskipun saya orang asing, saya tidak merasa asing di sini.

DANIEL

(18)

Sebenarnya, datang ke Indonesia bukanlah hal yang pernah saya bayangkan, mungkin karena persoalan jarak yang memisahkan. Tapi, saat kurator Pius Sigit mengunjungi studio saya di Rio de Janeiro, saya mulai menyadari bahwa mungkin tinggal di Indonesia dan mendapatkan inspirasi dari kebudayaan dan lanskap lain adalah satu peluang yang baik. Karya saya dibuat berdasarkan gagasan tentang

displacement, dan dengan pertimbangan bisa mendapatkan pengalaman in loco di tempat baru yang berbeda, tiba-tiba kunjungan ke Yogyakarta terdengar sangat menarik.

Saat tiba di Yogyakarta, saya sudah punya satu niat khusus: mengunjungi wilayah Gunung Kidul. Saya tertarik dengan kekhasan aspek sosial dan lingkungannya, tapi lebih spesifik lagi saya terpikat pada mitos Pulung Gantung, yang

merepresentasikan cara orang lokal berhadapan dengan masalah, kepercayaan, dan kematian. Lalu, Pius

memperkenalkan saya pada Emmanuel Subangun, seorang peneliti yang memiliki pengalaman panjang bersama masyarakat Gunung Kidul dan memberi saya kesempatan untuk tinggal dan bekerja secara langsung di Desa Wiloso selama beberapa hari.

Memang ada beberapa tantangan yang saya hadapi saat berkarya di negara yang belum saya kenal. Di satu sisi, Yogyakarta terasa cukup akrab, mirip banyak kota di bagian utara Brasil. Di sisi lain, wilayah ini senantiasa memberi kejutan. Tentu saja butuh beberapa saat untuk bisa beradaptasi dengan perbedaan waktu, bahasa, dan mobilitas hingga akhirnya bisa merasa lebih percaya diri sebagai orang asing. Namun, tantangan terbesarnya terletak pada bagaimana berkarya dalam waktu yang amat terbatas, dengan isu yang dipahami oleh orang Indonesia namun tidak banal. Oleh sebab itu, karya saya lebih banyak menggunakan pendekatan subjektif, mengungkapkan bagaimana saya mengalami lanskap dan sejarah orang-orang, cara saya membuka diri dan berdialog dengan tema tertentu, akan tetapi tetap universal dan arketipal.

Saya harus mengakui bahwa kadang-kadang saya merasa khawatir karena tantangan tersebut, namun saya juga merasa mendapatkan semangat ketika berada di tengah-tengah alam dan masyarakat Gunung Kidul.

(19)

Sebenarnya, datang ke Indonesia bukanlah hal yang pernah saya bayangkan, mungkin karena persoalan jarak yang memisahkan. Tapi, saat kurator Pius Sigit mengunjungi studio saya di Rio de Janeiro, saya mulai menyadari bahwa mungkin tinggal di Indonesia dan mendapatkan inspirasi dari kebudayaan dan lanskap lain adalah satu peluang yang baik. Karya saya dibuat berdasarkan gagasan tentang

displacement, dan dengan pertimbangan bisa mendapatkan pengalaman in loco di tempat baru yang berbeda, tiba-tiba kunjungan ke Yogyakarta terdengar sangat menarik.

Saat tiba di Yogyakarta, saya sudah punya satu niat khusus: mengunjungi wilayah Gunung Kidul. Saya tertarik dengan kekhasan aspek sosial dan lingkungannya, tapi lebih spesifik lagi saya terpikat pada mitos Pulung Gantung, yang

merepresentasikan cara orang lokal berhadapan dengan masalah, kepercayaan, dan kematian. Lalu, Pius

memperkenalkan saya pada Emmanuel Subangun, seorang peneliti yang memiliki pengalaman panjang bersama masyarakat Gunung Kidul dan memberi saya kesempatan untuk tinggal dan bekerja secara langsung di Desa Wiloso selama beberapa hari.

Memang ada beberapa tantangan yang saya hadapi saat berkarya di negara yang belum saya kenal. Di satu sisi, Yogyakarta terasa cukup akrab, mirip banyak kota di bagian utara Brasil. Di sisi lain, wilayah ini senantiasa memberi kejutan. Tentu saja butuh beberapa saat untuk bisa beradaptasi dengan perbedaan waktu, bahasa, dan mobilitas hingga akhirnya bisa merasa lebih percaya diri sebagai orang asing. Namun, tantangan terbesarnya terletak pada bagaimana berkarya dalam waktu yang amat terbatas, dengan isu yang dipahami oleh orang Indonesia namun tidak banal. Oleh sebab itu, karya saya lebih banyak menggunakan pendekatan subjektif, mengungkapkan bagaimana saya mengalami lanskap dan sejarah orang-orang, cara saya membuka diri dan berdialog dengan tema tertentu, akan tetapi tetap universal dan arketipal.

Saya harus mengakui bahwa kadang-kadang saya merasa khawatir karena tantangan tersebut, namun saya juga merasa mendapatkan semangat ketika berada di tengah-tengah alam dan masyarakat Gunung Kidul.

Referensi

Dokumen terkait

 Mekanisme DCF protokol MAC 802.11 dapat bekerja dengan baik dalam komunikasi data antara gateway dengan terminal,. sebagaimana terlihat dari hasil

Dalam hal perbuatan pidana yang tidak selesai dikarenakan bukan dari kehendak dirinya sendiri, dalam hukum pidana dikenal dengan percobaan melakukan pidana.Bukan

Simpulan penelitian adalah: (1) Biogas layak diterapkan menurut persepsi RTPSP namun tingkat adopsi biogas masih di bawah 50% (2) Semakin banyak peternak termotivasi menerapkan

Adanya peningkatan nilai pada akhir siklus II dikarenakan siswa merasa lebih senang dan tertarik, sehingga menjadi lebih aktif dan kreatif dalam pembelajaran

terhadap Efektifitas Pengendalian Anggaran Pemeritah Daerah Kota Dumai. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini, diantaranya: 1) Bidang Teoritis

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini, yang menunjukkan bahwa praktik pemasakan air oleh penjamah makanan sebelum dikonsumsi untuk minum bukan merupakan faktor

kemampuan dan kemauan hidup sehat setiap penduduk agar dapat mewujudkan hidup sehat yang optimal berarti setiap orang tanpa memandang ras, agama, politik yang dianut

Suction pump akan terus aktif bila tidak dimatikan saklar catu dayanya sehingga harus ada operator yang mematikan bila waktunya sudah cukup.Prinsip kerja,