• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Bakteri Kitinolitik Dalam Menghambat Infeksi Aspergillus sp. Pada Ikan Nila (Oreochromisniloticus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kemampuan Bakteri Kitinolitik Dalam Menghambat Infeksi Aspergillus sp. Pada Ikan Nila (Oreochromisniloticus)"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN BAKTERI KITINOLITIK DALAM

MENGHAMBAT INFEKSI Aspergillus sp. PADA IKAN NILA

(Oreochromis niloticus)

SKRIPSI

OLEH JEKMAL MALAU

080805027

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

PERSETUJUAN

Judul : KEMAMPUAN BAKTERI KITINOLITIK DALAM

MENGHAMBAT INFEKSI Aspergillus sp. PADA IKAN NILA (Oreochromisniloticus)

Kategori : SKRIPSI

Nama : JEKMAL MALAU

Nomor Induk Mahasiswa : 080805027

Program Studi : SARJANA (S1) BIOLOGI

Departemen : BIOLOGI

Fakultas : MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

(FMIPA) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Diluluskan di Medan, Juli 2012

Komisi Pembimbing

Pembimbing II Pembimbing I

Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi, M.Si. Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. NIP. 19780524 200003 1 002 NIP. 19640409 199403 1 003

Diketahui / Disetujui oleh

Departemen Biologi FMIPA USU

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc.

(3)

PERNYATAAN

KEMAMPUAN BAKTERI KITINOLITIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI

Aspergillus sp. PADA IKAN NILA (Oreochromisniloticus)

SKRIPSI

Saya mengakui bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa

kutipan dan ringkasan yang masing-masing dituliskan sumbernya.

Medan, Juli 2012

(4)

PENGHARGAAN

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat kasih, rahmat dan kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul, ”KEMAMPUAN BAKTERI KITINOLITIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI Aspergillus sp. PADA IKAN NILA (oreochromisniloticus)” dalam waktu yang ditetapkan.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc selaku Dosen Pembimbing I dan kepada Bapak Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi. M.Si. sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan, waktu dan perhatiannya yang besar terutama saat memulai penulisan hingga penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan Prof. Dr. H. Erman Munir, M.Sc dan Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si. sebagai Anggota Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan saran dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada Ibu Dra. Elimasni, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik saya dan juga kepada Ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc. Ketua Departemen Biologi FMIPA USU dan Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi FMIPA USU. Dr. Sutarman, M.Sc. selaku Dekan FMIPA USU. Ibu Nunuk Priyani, M.Sc. selaku kepala Laboratorium Mikrobiologi. Staf pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU. Bapak Alm. Sukirmanto, Ibu Nurhasni Muluk, Ibu Roslina Ginting, dan Bang Erwin selaku Staf Pegawai Departemen BIOLOGI FMIPA USU.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda Asten Malau dan Ibunda Rose Simbolon yang sudah memberikan banyak dukungan baik dari segi moril maupun materiil sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini, dan kepada saudara saya yang saya sayangi dan cintai Abang Edi Supeno Malau, John Ali Malau danAdik Nia Daniaty Malau penulis ucapkan ribuan terima kasih atas segala cinta, kasih sayang, pengorbanan moril maupun materil, motivasi, kesabaran serta doa yang tidak akan pernah bisa penulis balas sampai kapanpun.

(5)

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia Medan yang telah memberikan fasilitas dalam menyelesaikan skripsi ini, kak Ratna, Bang Mona, Bu Barita dan Pak Ramon yang selalu memberikan saran dan motivasi kepada penulis. Kepada Unit Pelayanan Teknis Daerah Budidaya yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam melengkapi kekurangan serta penyempurnaan laporan hasil penelitian ini. Atas partisipasi dan dukungan penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Juli 2012

(6)

KEMAMPUAN BAKTERI KITINOLITIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI Aspergillus sp. PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ABSTRAK

Penelitian tentang kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat infeksi

Aspergillus sp. pada ikan nila (Oreochromis niloticus) telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Empat isolat jamur yaitu Aspergillus sp. 1,

Aspergillus sp. 2, Rhizopus sp. dan isolat yang belum teridentifikasi (Sp.1) yang diduga menyebabkan penyakit diisolasi dari ikan nila dan telur ikan mas koi. Uji patogenitas menunjukkan bahwa isolat jamur Aspergillus sp. 2 paling patogen dengan tingkat mati dan terinfeksi 70%. Uji antagonis menunjukkan bahwa enam isolat bakteri kitinolitik (Bacillus sp. BK13, Enterobacter sp. BK15, PB08, PB15,

Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17) mampu menghambat pertumbuhan jamur dengan diameter zona hambat yang berbeda-beda. Isolat bakteri Enterobacter

sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 memiliki kemampuan tertinggi menghambat pertumbuhan semua jamur yang berbeda dengan diameter zona hambat 15,50 mm dan 11,53 mm. Pengujian penghambatan infeksi Aspergillus sp. 2 pada ikan nila menunjukkan bahwa isolat Bacillus sp. BK17 memiliki kemampuan tertinggi menurunkan jumlah ikan yang terinfeksi dan mati dengan jumlah ikan hidup mencapai 92%. Pengamatan dengan mengunakan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mampu melekat pada sisik ikan, sehingga kemungkinan dapat menekan serangan patogen pada ikan.

(7)

ABILITY OF CHITINOLTYTIC BACTERIA TO INHIBIT INFECTION OF Aspergillus sp. IN TILAPIA (Oreochromis niloticus)

ABSTRACT

A study on ability of chitinoltytic bacteria to inhibit the Aspergillus sp. causal agent of disease in Tilapia fish has been done in the Laboratory of Microbiology Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan and Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan. Four suspected pathogenic fungi i.e.Aspergillus sp. 1, Aspergillus sp. 2, Rhizopus sp. and Sp. 1 were isolated from Tilapia fish and koi goldfish eggs. Pathogenic test showed that Aspergillus sp. 2 was more pathogenic than the others, of which 70% of fish were affected. The ability of bacterial isolates to inhibit the fungal in vitro was evaluated by antagonism assay with dual plate on agar MSMC. The result of in vitro antagonism assay of all fungal isolation to six chitinolytic bacteria(Bacillus sp. BK13,

Enterobacter sp. BK15, PB08, PB15, Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17) showed the ability of bacterial isolate to inhibit fungal growth with to some extent. Antagonistic test showed that bacterial isolate Enterobacter sp. PB17 and Bacillus sp. BK17 inhibited more of all fungal growth. However, bacterial isolate inoculation prior

Aspergillus spore inoculation in fish showed that Bacillus sp. BK17 was more capable of suppressing fungal disease, of which 92% of fish were healthy. Observation using Scanning Electron Microscope of fish skin showed that the bacterial isolate might attach to the fish, so capable possibility of suppressing pathogen in fish.

Keywords: Aspergillus sp., Bacillus sp., Enterobacter sp., fish disease, Scanning Electron Microscope

(8)

Halaman

2.1 Biologi Ikan Nila (Oreochromisniloticus) 5 2.2 Interaksi antara Imunitas Inang, Jasad Patogen dan

Lingkungan 2.3 Jamur Aspergillus sp.

6 7

2.4 Mikroorganisme Penghasil Kitinase 9

BAB 3 BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat 11

3.2 Alat dan Bahan 11

3.3 Isolasi dan Identifikasi Jamur 12

3.4 Isolat Bakteri Penghasil Enzim Kitinase 12

3.5 Uji antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Jamur

Secara In vitro 13

3.6 Pengamatan Struktur hifa Jamur Setelah Asai Antagonisme 14

3.7 Uji Patogenitas Jamur Terhadap Ikan Nila 15

3.8 Penghambatan Serangan Jamur pada Ikan Uji Secara In vivo 15 3.9 Pengamatan Perlekatan Bakter pada Ikan Nila 16

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi dan Karakterisasi Jamur 17

4.2 Hasil Pengujian Bakteri Kitinolitik Penghasil Enzim

Kitinase 20

4.3 Hasil Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap

Jamur 22

4.4 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal Jamur Setelah Uji

Antagonisme 25

4.5 Hasil Patogenitas Jamur 27

(9)

4.7 Hasil Uji Perlekatan Bakteri Pada Ikan Nila 33

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan 36

5.2 Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 38

(10)

Halaman

DAFTAR GAMBAR

Tabel 4.1.1

Tabel 4.3.1

Karakterisasi Makroskopis dan Mikroskopis Jamur Hasil Isolasi

Uji Antagonisme in vitro Enam Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Jamur Sejati

18

(11)

Halaman

Gambar 3.5.1 Metode pengukutan zona hambat koloni bakteri kitinolitik terhadap pertumbuhan koloni jamur

13

Gambar 4.1.1 Telur ikan mas koi dan ikan nila yang terserang jamur 17 Gambar 4.2.1Isolat Bakteri penghasil kitinase pada media agar MGMK 20 Gambar 4.3.1 Uji antagonisme bakteri kitinolitik pada media agar MGMK 22 Gambar 4.3.2 Diameter zoa hambat tertinggi dari masing-masing isolat

bakteri kitinolitik selama pengamatan 7 hari

24

Gambar 4.4.1 Perubahan morfologi hifa jamur setelah uji antagonisme dengan bakteri kitinolitik

26

Gambar 4.5.1 Persentase tingkat patogenitas (tingkat terinfeksi dan

mortalitas) isolat jamur terhadap ikan nila selama pengamatan 10 hari

28

Gambar 4.5.2 Ikan terinfeksi jamur Aspergillus sp. 2 pada uji patogenitas 29 Gambar 4.6.1Persentase penghambatan infeksi Aspergillus sp. 2 dengan uji

tantang isolat bakteri potensial secara in vivo

31

Gambar 4.7.1 Pengamatan perlekatan bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 pada sisik ikan nila

33

(12)

Halaman

Lampiran 1. Komposisi Medium MGMK Padat dan Cara Pembuatannya 45 Lampiran 2. Pembuatan Koloidal Kitin dengan cara Hidrolisis Parsial

(Rodriquez-Kabana et al., 1983)

46

Lampiran 3. Alur Kerja Uji Penghambatan Jamur secarain vitro 47

Lampiran 4. Preparasi Spora Jamur Sejati 48

Lampiran 5. Uji Patogenitas Jamur 49

Lampiran 6. Alur Kerja Isolat Bakteri Antagonis 50

Lampiran 7. Evaluasi Efek Bakteri Antagonis Tehadap Aspergillus sp. 2 secara in vivo

51

Lampiran 8. Pengamatan Perlekatan Bakteri Kitinolitik pada Ikan Nila Lampiran 9. Pengukuran pH dan Suhu

Lampiran10.Ikan Uji

Lampiran11.Bak Penyesuaian dan Aquarium

(13)

KEMAMPUAN BAKTERI KITINOLITIK DALAM MENGHAMBAT INFEKSI Aspergillus sp. PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

ABSTRAK

Penelitian tentang kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat infeksi

Aspergillus sp. pada ikan nila (Oreochromis niloticus) telah dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan dan Laboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan. Empat isolat jamur yaitu Aspergillus sp. 1,

Aspergillus sp. 2, Rhizopus sp. dan isolat yang belum teridentifikasi (Sp.1) yang diduga menyebabkan penyakit diisolasi dari ikan nila dan telur ikan mas koi. Uji patogenitas menunjukkan bahwa isolat jamur Aspergillus sp. 2 paling patogen dengan tingkat mati dan terinfeksi 70%. Uji antagonis menunjukkan bahwa enam isolat bakteri kitinolitik (Bacillus sp. BK13, Enterobacter sp. BK15, PB08, PB15,

Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17) mampu menghambat pertumbuhan jamur dengan diameter zona hambat yang berbeda-beda. Isolat bakteri Enterobacter

sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17 memiliki kemampuan tertinggi menghambat pertumbuhan semua jamur yang berbeda dengan diameter zona hambat 15,50 mm dan 11,53 mm. Pengujian penghambatan infeksi Aspergillus sp. 2 pada ikan nila menunjukkan bahwa isolat Bacillus sp. BK17 memiliki kemampuan tertinggi menurunkan jumlah ikan yang terinfeksi dan mati dengan jumlah ikan hidup mencapai 92%. Pengamatan dengan mengunakan Scanning Electron Microscope (SEM) menunjukkan bahwa isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mampu melekat pada sisik ikan, sehingga kemungkinan dapat menekan serangan patogen pada ikan.

(14)

ABILITY OF CHITINOLTYTIC BACTERIA TO INHIBIT INFECTION OF Aspergillus sp. IN TILAPIA (Oreochromis niloticus)

ABSTRACT

A study on ability of chitinoltytic bacteria to inhibit the Aspergillus sp. causal agent of disease in Tilapia fish has been done in the Laboratory of Microbiology Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan and Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of Sumatera Utara, Medan. Four suspected pathogenic fungi i.e.Aspergillus sp. 1, Aspergillus sp. 2, Rhizopus sp. and Sp. 1 were isolated from Tilapia fish and koi goldfish eggs. Pathogenic test showed that Aspergillus sp. 2 was more pathogenic than the others, of which 70% of fish were affected. The ability of bacterial isolates to inhibit the fungal in vitro was evaluated by antagonism assay with dual plate on agar MSMC. The result of in vitro antagonism assay of all fungal isolation to six chitinolytic bacteria(Bacillus sp. BK13,

Enterobacter sp. BK15, PB08, PB15, Enterobacter sp. PB17 dan Bacillus sp. BK17) showed the ability of bacterial isolate to inhibit fungal growth with to some extent. Antagonistic test showed that bacterial isolate Enterobacter sp. PB17 and Bacillus sp. BK17 inhibited more of all fungal growth. However, bacterial isolate inoculation prior

Aspergillus spore inoculation in fish showed that Bacillus sp. BK17 was more capable of suppressing fungal disease, of which 92% of fish were healthy. Observation using Scanning Electron Microscope of fish skin showed that the bacterial isolate might attach to the fish, so capable possibility of suppressing pathogen in fish.

Keywords: Aspergillus sp., Bacillus sp., Enterobacter sp., fish disease, Scanning Electron Microscope

(15)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Ikan nila (Oreochromisniloticus) merupakan salah satu spesies ikan yang banyak dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Konsumsi ikan nila ini

mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Data FAO (2009)

melaporkan bahwa produksi ikan nila dunia terus mengalami peningkatan sekitar

769.936 tontahun 2007 menjadi berkisar 2,3 juta ton tahun 2008, sedangkan pada

tahun 2010 diperkirakan mencapai 2,5 juta ton (FAO, 2010). Dari sini terlihat ikan

nila merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi. Namun, potensi

yang besar dan prospek pengembangan yang begitu terbuka, bukan jaminan bahwa

budidaya ikan akan berjalan mulus, tanpa permasalahan. Banyak masalah yang

dihadapi oleh sektor budidaya ikan (Kordi & Ghufran, 2004), tanpa terkecuali dengan

budidaya ikan nila.

Penyakit merupakan salah satu kendala dalam budidaya ikan yang dapat

menyebabkan penurunan tingkat produksi ikan (Dewi, 2011). Perkembangan suatu

penyakit dalam akuakultur meliputi suatu interaksi yang kompleks antara tingkat

virulensi patogen, derajat imunitas inang, kondisi fisiologis dan genetik hewan, stress

dan padat tebaran (Irianto, 2004). Gangguan penyakit pada budidaya ikan merupakan

risiko biologis yang harus selalu diantisipasi. Hal ini mendorong adanya aplikasi

pengelolaan kesehatan yang terintegrasi dan berkesinambungan pada budidaya ikan

(Purwaningsih & Taukhid, 2010).

Salah satu penyakit yang menjadi masalah dalam budidaya ikan adalah

penyakit mikosis (Irianto, 2004; Kordi & Ghufran, 2004), terutama dalam budidaya

(16)

al.(1988), Olufemi & Robert (1986),Shrivastava (1996), danOsman et al.(2008) jamur yang menyerang ikan nila yaitu Saprolegnia, Aspergillus niger, Aspergillussp. dan A.

terreus.

Penelitian mengenai pengendalian jamur patogen yang menyerang ikan telah

banyak dilakukan, seperti menggunakan formalin,malachite green oxalate, NaCl,acetic acid(Irianto, 2003).Kordi & Ghufran, (2004) mengatakan bahwa penggunaan obat-obatan memiliki efek samping dan kelemahan dalam pengendalian

penyakit pada budidaya ikan. Pemakaian yang berlebihan dapat berdampak negatif

terhadap ikan diantaranya dapat membunuh organisme bukan sasaran, timbulnya

patogen yang resisten mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan, serta

menimbulkan pencemaran lingkungan(Akbar, 2008). Antibiotik seperti Tetracyline

meninggalkan residu pada kulit, cloramphenicol menyebabkan nafsu makan menurun,

malachite green seperti yang dilaporkan dapat merusak anggota tubuh dan menyebabkan kanker terhadap pemakainya (Srivastava et al., 2003), kalium permanganat (KMnO4), formalin iodium, quinine sulfat dapat menyebabkan menurunnya daya tetas, merusak paru-paru, mata dan anggota tubuh lainnya.

Karena persoalan di atas saat ini banyak penelitian yang mencari kandidat

bahan anti jamur patogen ikan yang berasal dari alam atau bahan biologi (Dewi,

2011), yang dapat digunakan sebagai agen pengendalian hayati. Beberapa penelitian

telah dilakukan untuk memperoleh kandidat yang paling efektif sebagai agen

biokontrol yang diaplikasikan dalam bentuk probiotik (Irianto, 2003). Nogami &

Maeda (1992), Nogami et al. (1997), Kolndadacha et al. (2011) dan Balcazar et al. (2006) melaporkan beberapa jenis bakteri mampu digunakan sebagai agen pengendali

hayati yang diaplikasikan dalam bentuk probiotik.

Banyak bakteri yang berada diperairan atau lingkungan aquatikdilaporkan

memiliki kemampuan kitinolitik.Bakteri kitinolitik yang berasal dari air juga telah

dilaporkan mampu menghambat infeksi Saprolegnia pada telur gurami (Dewi, 2011). Beberapa bakteri kitinolitik pada air seperti danau yaitu Aeromonas sp.,

(17)

&Donderski, 2006)dan Chitinilyticum aquatile gen. nov., sp. dilaporkan memiliki kemampuan kitinolitik (Chang et al., 2007).

Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik

didasarkan pada kemampuan mikroorganisme tersebut dalam menghasilkan kitinase dan β -1,3 glukanase yang dapat melisis sel jamur (El-Katatny et al., 2000). Bakteri yang menghasilkan enzim kitin tersebut merupakan kandidat agen biokontrol karena

mampu mengkolonisasi lingkungan sekitarnya dengan cepat. Dengan sifat tersebut,

bakteri penghasil kitinase berpotensi sebagai agen pengendali hayati hama dan

penyakit akibat jamur patogen (Suryanto et al., 2006) begitu juga dengan bakteri antagonistik yang diuji, memiliki kemampuan kitinolitik sehingga berpotensi sebagai

biokontrol jamur patogen seperti Aspergillus yang menginfeksi ikan nila.

1.2Permasalahan

Potensi yang besar dan prospek pengembangan yang begitu terbuka bukan jaminan

bahwa budidaya ikan akan berjalan dengan mulus, tanpa permasalahan. Banyak

masalah dihadapi oleh sektor budi daya ikan. Masalah-masalah itu antara lain adalah

serangan penyakit yang disebabkan oleh jamur, diantaranya adalah serangan penyakit

oleh jamur Aspergillus sp.

Penggunaan bakteri kitinolitik sebagai pengendali hayati secara biologi yang

aman dan ramah lingkungan merupakan suatu alternatifdalam mengendalikan dan

menghambat perkembangan penyakit pada ikan, termasuk penyakit yang disebabkan

(18)

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahuikemampuan bakteri kitinolitik

sebagaipengendali infeksi jamur Aspergillus sp.pada ikan nila.

1.4Hipotesis

Adanya kemampuan yang berbeda dari isolat bakteri kitinolitik dalam

pengendalian infeksi jamur Aspergillus sp. pada ikan nila.

1.5Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang isolat bakteri

kitinolitik yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan jamurAspergillus sp. sehingga dapat digunakan sebagai calon agen pengendalian hayati terhadap jamur

Aspergillus sp. pada ikan nila. Dengan demikian dapat memberikan kontribusi untuk pengendalian penyakit pada budidaya ikan nila khususnya terhadap jamur patogen

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Ikan Nila

Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang termasuk ke dalam famili Cichlidae dan merupakan ikan asal Afrika (Boyd, 2004). Ikan ini merupakan

jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri, ikan tersebut berasal dari Afrika bagian

timur di Sungai Nil, Danau Tangayika, Chad, Nigeria dan Kenya lalu dibawa ke

Eropa, Amerika, Negara-negara Timur Tengah dan Asia. Di Indonesia benih ikan nila

secara resmi didatangkan dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar

tahun 1969. Jenis ini merupakan ikan konsumsi air tawar yang banyak dibudidayakan

setelah ikan mas (Cyprinus carpio) dan telah dibudidayakan di lebih dari 85 negara (Dinas Perikanan dan Kelautan Daerah, 2001).

Ikan ini merupakan spesies ikan yang berukuran besar antara 200-400 gram,

memiliki sifat omnivora sehingga bisa mengkonsumsi makanan berupa hewan dan

tumbuhan (Amri & Khairuman,2003). Nila dapat tumbuh dan berkembang dengan

baik pada lingkungan perairan dengan kadar Dissolved Oxygen (DO) antara 2,0-2,5 mg/L. Secara umum nilai pH air pada budidaya ikan nila antara 5 sampai 10 tetapi

nilai pH optimum adalah berkisar 6-9 (Popma, 1999).Ikan nila umumnya hidup di

perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, rawa, sawah dan saluran irigasi,

memiliki toleransi yang luas terhadap salinitas sehingga ikan nila dapat hidup dan

berkembang biak pada perairan payau dengan salinitas antara 0-25 permil. (Setyo,

2006).

Suhu optimal bagi pertumbuhan ikan nila adalah antara 22-290C (Mjoun et al, 2010). Memiliki sifat omnivora sehingga sangat menyenangi pakan alami berupa

(20)

seperti pellet, dan dedak. (Rochdianto, 2009). Kondisi lingkungan yang baik dalam

wadah budidaya ikan nila akan menjadi faktor pendukung cepat lambatnya pemijahan.

Ikan nila akan mencapai dewasa dan siap untuk pemijahan dalam 5-6 bulan dengan

berat 150-400 gram (Popma, 1999; Mjoun et al., 2010).

2.2 Interaksi Antara Imunitas Inang, Jasad Patogen dan Lingkungan

Di lingkungan alam, ikan dapat diserang berbagai macam penyakit. Demikian juga

dalam pembudidayaannya, bahkan penyakit tersebut dapat menyerang ikan dalam

jumlah besar dan dapat menyebabkan kematian ikan, sehingga kerugian yang

ditimbulkan sangat besar (Kordi & Ghufran, 2004). Perkembangan suatu penyakit

dalam akuakultur meliputi suatu interaksi yang kompleks antara tingkat virulensi

patogen, derajat imunitas inang, kondisi fisiologis dan genetik hewan, stress dan padat

tebaran (Irianto, 2004). Secara umum faktor-faktor yang terkait dengan timbulnya

penyakit merupakan interaksi dari tiga faktor yaitu inang, patogen dan lingkungan

atau stressor eksternal yaitu perubahan di lingkungan yang tidak menguntungkan,

tingkat higienik yang buruk dan stress (Austin & Austin, 2007).

Lingkungan yang tidak optimal, misalnya suhu yang tinggi dapat

menyebabkan ikan stress. Dalam kondisi demikian pertahanan tubuh ikan menjadi

lemah sehingga mudah terserang penyakit infeksi (Kordi & Ghufran, 2004).Penyakit

infeksi menjadi ancaman utama keberhasilan akuakultur (Irianto, 2004). Respon inang

terhadap infeksi adalah terganggunya fungsi tubuh.

Sumber penyakit yang dapat menyebabkan infeksi pada ikan adalah jasad

patogen yang dapat dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu patogen asli (true pathogen) dan patogen potensial (opportunistic pathogen)(Kordi & Ghufran, 2004). Patogen asli adalah organisme patogen yang selalu menimbulkan penyakit khas

apabila ada kontak dengan ikan sedangkan patogen potensial adalah organisme

patogen yang dalam keadaan normal hidup damai dengan ikan, akan tetapi jika

kondisi lingkungan menunjang akan menjadi patogen pada ikan (Bennett, 2009).

(21)

dengan sistem pertahanan tubuh (Kaufmann & Kabelitz, 2010). Pada ikan sistem

pertahanan itu berupa lendir, sisik, dan kulit (Bruno & Wood, 1999). Menurut Irianto

(2004) sistem imun bawaan antara lain terdiri dari penghalang fisik terhadap infeksi,

pertahanan humoral dan sel-sel fagositik. Teleostei memiliki sejumlah penghalang

fisik terhadap infeksi antara lain kulit dan mukus.

Mukus memiliki kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisme pada

kulit, insang dan mukosa. Mukus ikan mengandung immunoglobulin alami, bukan

sebagai respon dari pemaparan terhadap antigen. Immunoglobulin (antibodi) tersebut

dapat menghancurkan patogen yang menginvasi ikan.

Sisik dan kulit merupakan pelindung fisik yang melindungi ikan dari

kemungkinan luka dan sangat penting peranannya dalam mengendalikan osmolaritas

tubuh. Kerusakan sisik atau kulit akan mempermudah patogen menginfeksi inang.

Sejumlah mikroba flora normal hewan dapat berperan dalam menghambat atau

menghalangi terjadinya infeksi melalui antagonisme. Tiga mekanisme utama

antagonisme mikroba flora normal terhadap patogen yaitu kompetesi dalam

menempati situs perlekatan atau kolonisasi, antagonisme spesifik melalui produksi

senyawa penghambat berupa protein spesifik (bakteriosin) dan antagonisme

non-spesifik dengan memproduksi berbagai metabolit atau produk akhir yang menghambat

mikroba patogen antara lain berupa asam-asam organik dan peroksidase (Irianto,

2004).

2.3 JamurAspergillus sp.

Jamur Aspergillus sp. termasuk dalam Divisi Amastigomycota, kelas Ascomycetes, ordo Eurotiales, famili Eurotiaceae dan genus Aspergillus (Bendre & Kumar, 2010). Kelas Ascomycetes kebanyakan mikroskopis, hidup saprofit atau parasit, memiliki

askus yaitu kantung yang berisi sejumlah askospora. Jumlah askospora di dalam askus

bervariasi tergantung jenisnya. Hifa bersekat, bercabang, dinding sel terdiri atas kitin,

selulosa dan senyawa lainnya. Sebagian besar Ascomycetes berkembangbiak dengan

(22)

di ujung hifa. Konidia merupakan sel tunggal kadang bersekat. Jika konidia tersusun

seperti rantai pada ujung hifa disebut dengan katenulat. Konidia yang paling ujung

adalah yang paling dewasa, semakin ke pangkal semakin muda, konidia ini bersifat

basipetal. Jika konidia yang paling ujung adalah yang paling muda disebut dengan

akropetal sedangkan reproduksi seksual terjadi dengan adanya penggabungan inti-inti

yang kompatibel dari organ seksual. Miselium berasal dari perkecambahan askospora

yang tumbuh bercabang-cabang bersekat. Pada ujung-ujung miselium terdapat sel

sporogeneus/konidiofor yang membentuk konidia yang merupakan alat vegetatif dan

dapat berkecambah membentuk miselium baru (Alexopaulus & Mims, 1979).

Salah satu genus yang paling dikenal dari kelas Ascomycetes adalah

Aspergillus, merupakan jamur yang dapat memberikan dampak positif dan negatif pada kepentingan ekonomi perindustrian, pertanian dan bidang kesehatan

(Bennett, 2009).Aspergillus merupakan jamur patogen potensial yang dapat mengakibatkan aspergillosis. Di Indonesia, Aspergillus spp. Khususnya A. flavus

merupakan jamur yang dominan mencemari pakan dan bahan penyusun pakan

(Ahmad, 2009).Beberapa penelitian menunjukkan bahwa beberapa spesies Aspergillus

termasuk A. sydowii, telah banyak diisolasi dari lingkungan akuatik seperti laut (Alker

et al., 2001) dan bersifat patogen pada organisme akuatik. Pada karang laut, infeksi yang diakibatkan oleh kapang Aspergillus dapat berasosiasi dengan mikroba lainnya (Alker et al., 2001). Apergillus merupakan genus jamur patogen pada ikan (Olufemi & Robert., 1986). Olufemi dan Okaeme (1997) melaporkan bahwa keberadaan

Aspergillus sp. pada ikan nila (Oreochromis sp.) dapat menimbulkan infeksi yang mengakibatkan mikosis pada ikan. Infeksi Aspergillus pada ikan ditandai dengan adanya bercak putih abu-abu pada tubuh dengan pengamatan pada kulit dan insang

(Shrivastava, 1996).

Pada beberapa penelitian yang dilakukan terhadap infeksi Aspergillus pada beberapa jenis ikan, A. terreus merupakan jamur yang memiliki kemampuan yang tinggi penyebab mortalitas pada ikan(Battacharya et al., 1988). Seperti yang dilaporkan Shrivastava (1996), A. terreus mampu menginfeksi Channa punctatus,

(23)

Gambar 1.Aspergillus terreus colonies on the skin of Channa punctatus (Shrivastava AK, 1996).

2.4 Mikroorganisme Penghasil Kitinase

Mikroorganisme pendegradasi kitin dalam memperoleh nutrisi sebagai sumber karbon

dan nitrogen menggunakan enzim kitinase untuk memecah senyawa kitin. Organisme

yang dapat mendegradasi kitin tersebar luas di alam, termasuk organisme yang tidak

memiliki kitin seperti sebagian bakteri, virus, tumbuhan tingkat tinggi dan hewan

yang memiliki peran penting dalam fisiologi dan ekologi (Dewi, 2011). Organisme

yang mengandung kitin umumnya berasal dari kelompok mikroorganisme diantaranya

adalah dari kelompok jamur dan Aktinomycetes (Brzezinska et al.,2009).

Kitinase merupakan enzim yang mampu menghidrolisis polimer kitin menjadi

monomer N-asetilglukosamin atau kitin oligosakarida. Degradasi kitin oleh prokariot dan eukariot terjadi dalam dua tahap yang prosesnya melibatkan hidrolisis ikatan β-1,4 glikosida yang menghubungkan sub unit GlcNAc. Pertama endokitinase mengikat

tetramer dan polimer GlcNAc untuk menghasilkan disakarida kitobiose. Kitobiose

menghidrolisis kitobiose menjadi monomer N-asetilglukosamin pada tahap

kedua.Enzim pendegradasi kitin umumnya oleh beberapa organisme diinduksi oleh

kitosan, kitobiose dan glukosamin(Connel et al., 1998).

Aktifitas kitinase yang dihasilkan bakteri dan fungi sangat bervariasi, baik

(24)

2009).Bakteri yang sudah banyak dilaporkan mampu menghasilkan enzim kitinase

antara lain adalah Paenibacillus sp., Streptomyces sp.,(Singh, 1999),

Haloanaerobacter chitinovorans gen. Nov.,sp.(Liaw, 1992), Alteromonas, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia, Vibrio (Chernin et al.,1998),Chitinimonas koreensis sp.(Kim-Yong et al., 2006) dan Bacillus thuringensis (Ramirez et al, 2004),. Selain itu bakteri yang berada diperairan atau lingkungan aquatik juga telah banyak dilaporkan memiliki kemampuan kitinolitik,

pada air tawar seperti danau antara lain Aeromonas sp., Chromobacterium

sp.,Ahydrophila dan Enterobacter aerogenes (Brzezinska & Donderski, 2006) serta

Chitinilyticum aquatile gen. nov., sp.(Chang et al., 2007).

Aktivitas kitinase dari bakteri kitinolitik sangat potensial digunakan sebagai

agen pengendalian hayati terhadap jamur patogen maupun serangan hama, karena

kedua organisme ini mempunyai komponen kitin pada dinding selnya (Widjajanti &

Muharni, 2011). Bakteri yang menghasilkan enzim kitin ini adalah kandidat agen

biokontrol karena mampu mengkolonisasi lingkungan sekitarnya dengan cepat.

Dengan sifat tersebut, bakteri penghasil kitinase berpotensi sebagai agen pengendali

hayati hama dan penyakit akibat jamur patogen (Suryanto et al., 2006). Sehingga bakteri kitinolitik sangat berpotensi sebagai agen pengendali hayati (biokontrol) untuk

menghambat infeksi jamurAspergillus sp. dan Oomycetes pada ikan walaupun kitin pada dinding sel Oomycetes merupakan komponen minor dan tidak lebih dari 4% dari

(25)

BAB 3

BAHAN DAN METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2012sampai dengan Mei 2012,

bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Karantina Ikan Kelas I Polonia, Medan

danLaboratorium Mikrobiologi Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Pengambilan sampel jamur dari telur

ikan mas koi (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromisniloticus)dilakukan di bak pembenihan dan kolam budidaya ikan nila yang berlokasi di Unit Pelaksana Teknis

Daerah(UPTD) Budidaya Kecamatan Medan Tuntungan, Propinsi Sumatera Utara.

Medan.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan petri, botol kaca steril, tabung

reaksi, gelas Beaker, labu Erlenmeyer, gelas ukur, spatula, jarum ose, bunsen, mikro

pipet, kertas saring, corong, cork borer No 2, hot plate, vorteks, pinset, stirer, jangka sorong, pipet serelogi, oven, inkubator, autoclaf, timbangan analitik, mikroskop

cahaya, spektrofotometer, kotak plastik, aerator akuarium, akuarium.

Bahan–bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel telur ikan lele

(Clarias batatas), telur ikan koi (Cyprinus sp.) dan ikan nila (Oreochromis sp.) yang terinfeksi jamur, ikan nila yang sehat, akuades steril, Subaround Dextrose Agar

(26)

larutan garam,blank disc (Oxoid), ketokenazol, alkohol 70%, aquadest, desinfektan, plastik, karet, kertas pembungkus, sarung tangan, Komposisi MGMK dapat dilihat

pada Lampiran 1.

3.3 Isolasi dan Identifikasi Jamur

Sampel telur ikan koi dan ikan nila yang terinfeksi jamurdiambil dan disimpan pada

plastik steril yang berbeda secara aseptis. Telur dan ikan terinfeksi diletakkan pada

cawan Petri steril dan kemudian ditanam pada media PDA.Untuk mendapatkan isolat

murni jamurditanam pada media SDA (Bruno & Wood, 1999) yang telah diberi

antibiotika kloramfenikol. Kultur diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 48 jam.Hifa

jamurdiambil kemudian diamati morfologinya. Identifikasi jamur

dilakukanberdasarkan ciri-ciri dan karakter morfologis, secara makroskopis (visual)

maupun mikroskopis (di bawah mikroskop) (Permana & Kusmiati, 2007).

Karakterisasi dan identifikasi secara visual berdasarkan struktur dan warna koloni.

Identifikasi secara mikroskopis dilakukan dengan mengamati morfologi jamur di

bawah mikroskop dengan menggunakan metode slide culture menggunakan buku identifikasi dari Webster &Weber (2007), Alexopaulus & Mims (1979), Ganjar et al. (1999), Wolf & Wolf (1947) dan Thom & Raper, (1945)..

3.4 Isolat Bakteri Penghasil Enzim Kitinase

Isolat bakteri yang digunakan adalah bakteri kitinolitik koleksi Laboratorium

Mikrobiologi, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Universitas Sumatera Utara yaituBacillus sp. BK13, Enterobacter sp. BK15,

Bacillus sp. BK17, PB08, PB15 danEnterobacter sp. PB17. Isolat bakteri kitinolitik yang telah diperoleh ditumbuhkan untuk peremajaan pada agar MGMK (Suryanto,

2006). Isolat bakteri kitinolitik telah diseleksi dengan kemampuan mendegradasi

media agar kitin yang dapat dilihat dengan adanya zona bening di sekitar koloni

(27)

3.5 Uji Antagonis Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Jamur Secara In Vitro

Kemampuan bakteri kitinolitik menghambat pertumbuhan jamur diuji dengan uji

antagonisme in vitro. Tepi bagian yang aktif tumbuh biakan jamur diambil dengan menggunakan cork borer, diinokulasikan pada agar MGMK yang telah ditambahkan 2% yeast ekstrak dengan jarak 3,5 cm dari kertas cakram tempat inokulan

bakteri.Selanjutnya suspensi bakteri kitinolitik yang telah dibuat dengan konsentrasi ≈

108 sel/ml (standart McFarland) diinokulasikan 100µ l pada cakram dengan diameter

0,6 cm di bagian tepi media kitin sebanyak 108sel/ml, dibuat 2 kali pengulangan.

Biakan diinkubasi pada suhu 28-30oC.Akitivitas penghambatan ditentukan

berdasarkan zona hambat yang terbentuk di sekitar koloni. Diameter zona hambat

dihitung dengan mengukur selisih radial pertumbuhan miselium jamur yang

terhambat oleh isolat bakteri. Pengamatan dimulai dari hari ke-4 sampai hari ke-7

(Suryanto et al., 2001). Alur kerja uji antagonisme in vitro dapat dilihat pada Lampiran 3.

Gambar 3.5.1. Metode pengukuran zona hambat bakteri kitinolitik terhadap koloni

jamur; A. Koloni jamur; B. Zona hambat bakteri kitinolitik terhadap

koloni jamur; C. Titik tengah jamur diletakkan; D. Koloni bakteri

kitinolitik; x. Diameter koloni jamur yang terhambat pertumbuhannya;

y. Diameter koloni jamur normal.

Pengukuran jari-jari zona hambat bakteri dilakukan dengan menggunakan jangka sorong. Jari-jari zona hambat

2 X Y k kitinoliti

(28)

Ket: Y= Diameter jamur yang tidak terhambat X= Dimeter jamur yang terhambat.

3.6 Pengamatan Struktur Hifa Jamur Setelah Asai Antagonisme

Pengamatan dilakukan dengan 2 cara yaitu secara visual dan mikroskopis.

Pengamatan secara visual dilakukan dengan cara melihat zona/luas pertumbuhan

miselium jamur. Pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati

ujung miselium pada daerah/zona hambat jamur. Ujung miselium jamuryang tumbuh

pada permukaan media agar MGMK dipotong berbentuk block square, kemudian diletakkan pada objek gelas, selanjutnya diamati adanya abnormalitas pertumbuhan

hifa jamur berupa pembengkokan ujung hifa, hifa terputus, lisis dinding sel hifa, hifa

terputus disertai lisis (Lorito et al.,1992). Pengamatan abnormalitas miselium diperoleh dari perubahan struktur hifa.

3.7 Uji Patogenitas Jamur Terhadap Ikan Nila

Isolat jamur diuji patogenitasnya terhadap sampel uji yaitu ikan nila sehat ukuran

3-5cm yang diperoleh dari pembenihan ikan nila Jl. Bunga Kartiol Kelurahan Baru

Ladang, Kecamatan Medan Tuntungan untuk mengetahui patogenitasnya terhadap

ikan nila. Isolat jamuryang digunakan dilakukan preparasi suspensi jamur. Ikan nila

sehat sebanyak 10ekor ditempatkan pada aquarium kaca percobaan yang telah

dipersiapkan sebelumnyadengan volume 10L air ledeng yang telah didiamkan selama

3 hari. Preparasi suspensi jamur dilakukan dengan menumbuhkan pada media GYB

dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 2 hari untuk produksi konidia. Aplikasi

perlakuan dengan pemberian suspensi konidia jamur patogen sebanyak107spora/ml

(Zaki et al., 2010) ke dalam wadah aquarium kaca selama masa pengamatan 10 hari. Alur kerja preparasi spora/konidia jamur tersaji pada Lampiran 4. Kontrol tidak

diberikan isolat suspensi jamur. Pengamatan yang dilakukan adalah tingkat kematian

dan kemampuan tetap hidup(Atta, 2008). Reisolasi dilakukan terhadap jamur dengan

memotong bagian morfologi luar ikan yang menunjukkan gejala infeksi jamur. Bagian

tubuh yang diambil, dicuci dengan air steril sebanyak 3 kali dan ditanam pada media

(29)

disubkultur ke media SDA untuk dimurnikan, kemudian diamati di bawah mikroskop.

Alur kerja uji patogenitas dapat di lihat pada Lampiran 5.

3.8 Penghambatan Serangan Jamur pada Ikan Uji secara In Vivo

Ikan uji yang dipergunakan adalah ikan nilayang berasal dari pembenihan tradisional

di Tuntungan dengan ukuran 3-5cm, wadah yang digunakan adalah aquarium kaca

dengan ukuran 20X30X50 cm3. Tiap aquarium kaca diisi ikan sebanyak 10 ekor.

Isolat bakteri kitinolitik ditumbuhkan pada media agar MGMK pada suhu

28-300C selama 48 jam. Sebanyak 1 ml kultur bakteri kitinolitik yang setara dengan 108

sel/ml ditambahkan kedalam 10L air di aquarium kaca.Kelompok perlakuan yaitu

terdiri atas pemberian kandidat bakteri kitinolitik dengan dosis pemberian bakteri

yaitu 108 sel/ml. Suspensi bakteri yang telah dimasukkan ke dalam aquarium kaca

dibiarkan selama 48 jam, dan setelah 48 jam dilakukan uji tantang dengan pemberian

isolat suspensi jamur.Kelompok kontrol negatif yaitu ikan uji yang tidak diberikan

bakteri kitinolitik dan tidak diinfeksi jamur dan kontrol positif yaitu ikan uji dengan

pemberian suspensi bakteri. Setiap perlakuan dan kontrol dibuat 5 ulangan.

Infeksi ikan uji dapat dilakukan dengan menggunakan suspensi jamur. Koloni

jamur umur 2 hari dipotong dengan menggunakan cork borer No.2 (dengan diameter 5,5 mm) dan ditempatkan di cawan petri yang terdapat 20 mlGYA kemudian

diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 24-48 jam. Miselium yang dipotong dibilas

dengan akuadest steril selama 3 kali kemudian dipindahkan ke dalam medium GYB

dan diinkubasi pada suhu 28-30oC selama 48 jam untuk produksi konidia. Konidia

diamati di bawah mikroskop kemudian jumlah konidia dihitung dengan menggunakan

haemocytometer.

Tahap evaluasi dilakukan untuk melihat pengaruh bakteri kitinolitik terhadap

infeksi jamur pada ikan uji. Parameter yang akan diamati adalah jumlah ikan yang

(30)

3.9Pengamatan Perlekatan Bakteri pada Ikan Nila

Sampel untuk pengamatan perlekatan bakteri pada ikan nila secara mikroskopis

diambil dari beberapa bagian ikan seperti sisik dan insang. Masing-masing bagian

tersebut dimsukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian difiksasi dengan menggunakan

glutaraldehid 2,5%dan 1M potassium buffer posfat, difiksasi 1 malam pada suhu 4oC.

Hasil fiksasi dibilas dengan buffer fosfat 5 ml pada suhu ruang selama 15 menit

sebanyak 3 kali. Preparat didehidrasi dengan 5 ml etanol dengan konsentrasi 35, 50,

70 dan 95% selama 10 menit untuk masing-masing konsentrasi, selanjutnya

didehidrasi dengan 5 ml etanol absolut 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali. Sampel

(31)
(32)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Isolasi dan Karakterisasi Jamur

Hasil isolasi empat jenis jamur sejati diperoleh dari ikan nila dan telur ikan mas koi

yang terserang jamur. Ikan nila dan telur ikan mas koi yang terinfeksi jamur ditandai

dengan adanya bentukan hifa berwarna putih, abu-abu, kuning dan lesi/luka pada

bagian tubuh (Gambar 4.1.1). Serangan jamur yang dapat memberikan pengaruh

negatif terhadap kondisi ikan dianggap bersifat opurtunis, menyerang ikan ketika ikan

mengalami stess atau sistem imun yang menurun karena kondisi lingkungan yang

kurang menguntungkan atau efek sekunder dari infeksi bakteri atau virus atau ketika

ikan tersebut kehilangan perlindungan lendir karena penanganan yang kurang baik

(Quiniou et al.,1998).

Gambar 4.1.1 (A) Telur ikan mas koki dan (B) Ikan nila yang terserang jamur

Dari Gambar 4.1.1 hasil isolasi dan identifikasi diperoleh empat jenis jamur

sejati yaitu Rhizopus sp., sp.1, Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2. Jamur Rhizopus

sp. berasal dari telur ikan mas koi sedangkan jamur Sp.1, Aspergillus sp1. dan

Aspergillus sp2. berasal dari ikan nila.Kordi & Ghufran (2004) mengatakan bahwa penyakit yang disebabkan oleh jamur (mikosis) yang bersifat patogenik pada ikan

(33)

salah satunya adalah Aspergillus yang termasuk ke dalam ordo Moniliales.

A.fumigatus dan A. flavus merupakan penyebab utama dan kedua infeksi invatif dan non-invatif aspergillosis pada manusia dan hewan (Rai & Koviks, 2010). Hasil isolat

yang ditanam pada media SDA dapat dilihat pada Tabel 4.1.1.

Tabel 4.1.1 Karakterisasi makroskopis dan mikroskopis jamur hasil isolasi

(34)

Isolat Rhizopus sp. ditanam pada media SDA memiliki hifa berwarna putih, koloni berwarna putih kehitaman, dasar koloni berwarna putih, tekstur permukaan halus.

Jamur Sp. 1 memiliki hifa berwarna putih, koloni berwarna putih abu-abu, dasar

koloni berwarna putih, tekstur permukaan halus. Aspergillus sp. 1. memiliki hifa berwarna putih, koloni berwarna putih kekunigan dan dasar koloni berwarna putih,

tekstur permukaan kasar, sedangkan pada Aspergillus sp. 2 memiliki hifa berwarna putih, koloni berwarna putih-kuning kehitaman, dasar koloni berwarna putih dan

tekstur permukaan kasar, konidia berwarna hitam.

Hasil pengamatan mikroskopis dengan menggunakan metode slide culture

menunjukkan bahwa Aspergillus yang diperoleh memiliki hifa yang bersekat, bercabang, pada bagian ujung konidiofor terdapat konidium non-motil. Konidia yang

paling ujung merupakan yang paling dewasa, semakin ke pangkal semakin muda.

Rhizopus terlihat memiliki hifa senositik, sporangiofor tidak bercabang, pada ujung sporangiofor terdapat sporangium yang berbentuk seperti bulatan bola pada kolumela.

Menurut Permana & Kusmiati (2007), ciri jamur Aspergillus memiliki hifa bersepta, miselia bercabang (terdapat di bawah permukaan merupakan hifa vegetatif,

sedangkan hifa yang muncul di atas permukaan umumnya hifa fertil), koloni kompak

konidiofor septat atau non-septat, sterigma atau fialid biasanya sederhana berwarna

atau tidak berwarna, konidia berwarna hijau coklat atau hitam dan beberapa spesies

tumbuh pada suhu 370C atau lebih. Karakterisasi Aspergillus tidak dapat terlepas dari bentukan konidia jamur pada umumnya (Wolf & Wolf, 1947).Dalam menentukan

deskripsi spesies pada Aspergillus, warna kepala konidia sering dibuat dasar utama dalam desikripsi spesies. Dinding konidia mungkin halus tetapi memberi bahan

pewarna yang cukup pada penyebarannya untuk memberikan warna koloni yang khas.

Penampakan koloni dari Aspergillus sangat bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh usia, tingkat pertumbuhan, suhu inkubasi dan komposisi dari substrat (Thom & Raper,

1945).

Menurut Alexopaulus & Mims (1979), miseliumpada Rhizopus, telah berkembang dengan baik, hifa senositik tak bersepta, septa hanya terbentuk pada

(35)

membentuk rhizoid berperan seperti akar pada tumbuhan tinggi, hifa juga dapat

membentuk stolon yang menghubungkan rhizoid satu dengan rhizoid lainnya. Berbiak

secara aseksual dengan sporangiospora atau dengan fragmentasi hifa. Sporangiospora

dihasilkan oleh sporangium. Bentuk, warna dan ukuran serta ornamnetasi pada

dinding sporangiospora berbeda-beda untuk tiap spesies. Sporangium terbentuk pada

ujung sporangiofor yang mengalami pembengkakan.

4.2 Hasil Pengujian Bakteri Kitinolitik Penghasil Enzim Kitinase

Pada penelitian ini bakteri yang di uji di tanam pada media agar MGMK yang

komposisinya adalah garam mineral dan koloidal kitin. Isolat bakteri kitinolitik yang

digunakan adalah Bacillus sp. BK13, Enterobacter sp. BK15,Bacillus sp. BK17, PB08, PB15 dan Enterobacter sp. PB17. Dari hasil pengamatan yang dilakukan diperoleh bahwa keenam isolat bakteri yang diujikan memiliki kemampuan

menghasilkan enzim kitinase yang ditandai dengan adanya zona bening disekitar

koloni (Gambar 4.2.1).

Gambar 4.2.1. Isolat bakteri penghasil kitinase (a)Bacillus sp. BK17, (b) Enterobacter sp. PB17, (c) PB08, (d) PB15, (e) Enterobacter sp. BK15, (f) Bacillus sp. BK13 pada media agar MGMK selama 4 hari. Tanda panah menunjukkan zona bening kitinase

a b c

(36)

Bakteri kitinolitik merupakan salah satu agen pengendali hayati jamur patogen

pada tanaman (Suryanto et al., 2005), pengendalian infeksi Saprolegnia pada telur ikan gurami (Dewi, 2011). Mikroba kitinolitik dapat ditapis dengan menggunakan

medium yang mengandung kitin. Koloidal kitin merupakan salah satu substrat yang

dapat digunakan untuk menginduksi protein enzim hidrolitik (Suryanto & Munir,

2006).Herdyastuti et al. (2009) melaporkan juga bahwa metode konvensional yang menggunakan koloidal kitin sebagai sumber substrat ditemukan sangat efektif untuk

menentukan aktivitas kitinase. Menurut Woo et al. (1996), banyak spesies bakteri yang mampu menguraikan kitin dan memanfaatkannya sebagai sumber karbon dan

nitrogen. Bacillus sp. BK13, Bacillus sp. BK17, Enterobacter sp. BK15, Enterobacter

sp PB17, PB08 dan PB15 merupakan bakteri kitinolitik yang mampu mensekresikan

enzim kitinase dan menggunakan koloidal kitin sebagai substrat yang dimanfaatkan

sebagai sumber karbon dan nitrogen. Dahiya et al. (2005) mengatakan bahwa

Enterobacter sp.NRG4 mampu menghasilkan kitinase pada media kultur kitin sehingga memungkinkan produksi kitobiose dan N-asetil D-glukosamin.

Adanya aktivitas kitinase ditandai dengan terbentuknya zona bening di sekitar

koloni bakteri pada medium agar kitin (Muharni, 2010). Mekanisme tersebut terjadi

karena adanya pemutusan ikatan pada senyawa kitin oleh kitinase yang merupakan

enzim yang bersifat induktif. Menurut Muharni (2010), zona bening terbentuk karena terjadinya pemutusan ikatan β-1,4 homopolimer N-asetilglukosamin pada kitin oleh kitinase menjadi monomer N-asetilglukosamin. Purwani et al. (2002), mengatakan bahwa degradasi kitin secara enzimatis oleh kitinase berlangsung secara bertahap.

Polimer kitin dipecah menjadi oligomer kitin dan selanjutnya akan diuraikan menjadi

monomer N-asetilglukosamin oleh β-N-asetilglukosaminide.

Wijaya (2002) juga menyatakan bahwa besarnya zona bening yang dihasilkan

tergantung pada jumlah monomer N-Asetilglukosamin yang dihasilkan dari proses hidrolisis kitin dengan memutus ikatan β-1,4 homopolimer N-asetilglukosamin. Semakin besar jumlah monomer N-asetilglukosamin yang dihasilkan semakin besar

zona bening yang terbentuk di sekitar koloni. Kitin sebagai substrat juga akan

(37)

4.3 Hasil Uji Antagonis Isolat Bakteri kitinolitik Terhadap Jamur Secara In vitro

Hasil uji antagonisme enam isolat bakteri kitinolitik terhadap jamur Rhizopus sp., Sp. 1, Aspergillus sp. 1, Aspergillus sp. 2 menunjukkan bahwa keenam isolat bakteri kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan Rhizopus sp., Sp. 1, Aspergillus sp. 1.,

Aspergillus sp. 2 dengan kemampuan yang berbeda-beda. Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme dapat diamati dengan terbentuknya zona bening

sebagai zona penghambatan pertumbuhan jamur oleh isolat bakteri kitinolitik.

Hasil uji antagonis dari isolat bakteri kitinolitik yang digunakan terhadap

jamur menunjukkan bahwa isolat bakteri tersebut mampu menghambat pertumbuhan

jamur sejati hasil isolasi yang ditandai dengan terbentuknya zona hambat. Zona

hambat umumnya mulai teramati pada hari keempat karena interaksi antara bakteri

dan jamur mulai terjadi. Zona hambat yang terbentuk terjadi ditandai dengan adanya

zona bening di sekitar koloni bakteri yang merupakan cerukan penipisan elevasi

seperti terlihat pada Gambar 4.3.1

Gambar 4.3.1 Uji antagonisme bakteri kitinolitik (A) terhadap Rhizopus sp, (B) terhadap Sp. 1 dan (C) terhadap Aspergillus sp. pada media agar MGMK umur 4 hari

Adanya penghambatan masing-masing isolat bakteri kitinolitik terhadap jamur

dipengaruhi oleh adanya substrat kitin pada media sehingga kitinase pada keenam

isolat bakteri tersebut lebih cepat disekresikan. Kitin pada media uji terurai oleh

produksi kitinase isolat bakteri dan lama kelamaan akan terpacu untuk mendegradasi

dinding sel jamur. Isolat bakteri akan menggunakan kitin sebagai sumber karbon

untuk pertumbuhannya(Woo et al., 1996). Kemampuan mengkolonisasi lingkungan

(38)

sekitar yang cepat menyebabkan isolat bakteri tersebut mengkolonisasi miselium

jamur untuk menguraikan kitin yang ada pada dinding sel jamur. Penguraian kitin

pada dinding sel jamur dapat menghambat pertumbuhan jamur Rhizopus sp., Sp. 1,

Aspergillus sp. 1 dan Aspergillus sp. 2 yang mengalami kerusakan dinding sel. Perbedaan kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan

jamurRhizopus sp., Sp. 1, Aspergillus sp. 1 dan Aspergillus sp. 2 disajikan seperti pada Tabel 4.3.1.

Tabel 4.3.1 Uji Antagonisme In vitro Enam Isolat Bakteri Kitinolitik Terhadap Jamur Sejati

Pada pengamatan hari ketujuh dari enam isolat bakteri kitinolitik tersebut

Enterobacter sp. PB17 merupakan isolat bakteri yang menunjukkan daya hambat yang paling tinggi dalam menghambat pertumbuhan jamur dengan diameter daya hambat

(39)

PB15 dan PB08. Keenam Isolat bakteri kitinolitik yang digunakan memiliki

kemampuan daya hambat tertinggi yang berbeda-beda dalam menghambat

pertumbuhan jamur selama masa pengamatan tujuh hari (Gambar 4.3.2). Selain

kandungan kitin pada media uji yang digunakan, hal yang juga ikut mempengaruhi

besarnya zona hambat adalah banyak sedikitnya kandungan kitin yang terdapat pada

dinding sel jamur (Gohel et al., 2006).

Gambar 4.3.2. Diameter zona hambat tertinggi dari masing-masing isolat bakteri Bacillus sp. BK13,Enterobacter sp. BK15, Bacillus sp. BK17, PB08, PB15 dan Enterobacter sp. PB17 selama masa pengamatan 7 hari

Enterobacter sp. PB17 merupakan isolat bakteri yang memiliki tingkat daya hambat tertinggi dengan diameter daya hambat sebesar 15,50 mm, kemudian diikuti

oleh PB15 dengan diameter daya hambat 13,17 mm, Bacillus sp.BK17 dengan diameter daya hambat 13,13 mm, Bacillus sp. BK13 dengan diameter daya hambat 12,51 mm, PB08 dengan diameter 12,14 mm serta Enterobacter sp. BK15 dengan diameter daya hambat adalah 11,47 mm, ini bisa disebabkan karena perbedaan

kemampuan dalam mengeluarkan enzim kitinase dan glukanase juga banyak

sedikitnya kandungan kitin pada dinding sel jamur serta substrat yang digunakan.

Pengendalian jamur patogen secara hayati dengan menggunakan

musuh-musuh alami patogen telah banyak dikembangkan. Sebagian potensi pengendalian

yang dikembangkan mengarah pada penentuan mekanisme antagonisme antara

(40)

agensia pengendali hayati dengan patogen target (Indratmi, 2008). Menurut

El-katatnya et al. (2000) suatu kelompok organisme yang memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati jamur berasal dari kelompok mikroorganisme penghasil kitinase.

Pengendalian hayati jamur dengan menggunakan mikroorganisme kitinolitik

didasarkan pada kemampuannya menghasilkan kitinase dan β-1,3-glukanase yang

dapat melisiskan sel jamur. Woo et al (1996) melaporkan bahwa Bacillus sp.WY22 memproduksi sejumlah besar kitinase ekstraselluler dan menunjukkan aktivitas yang

tinggi terhadap beberapa jamur. Velusamy & Kim (2011) juga melaporkan bahwa

Enterobacter sp. KB3 dapat mensekresikan enzim kitinase yang digunakan untuk menekan jamur patogen Rhizoctonia solani yang menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan hifa pada uji dual plate assay. Hidrolisis hifa jamur oleh kitinase akan menghasilkan pelepasan GlcNAc dengan kemampuan tersebut, Enterobacter sp telah dianggap sebagai agen kontrol biologis yang ideal dan telah banyak dievaluasi untuk

produksi kitinase (Chernin, 1995).

4.4 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal JamurRhizopus sp, Sp. 1, Aspergillus sp. 1 dan Aspergillus sp. 2 setelah Uji Antagonisme

Pengamatan mikroskopis untuk melihat hifa abnormal jamur dilakukan pada hari

ketujuh. Dari uji antagonis yang dilakukan dengan menggunakan Rhizopus sp, Sp. 1,

Aspergillus sp.1 dan Aspergillus sp.2 yang diisolasi dari ikan nila sakit yang diduga terserang jamur dengan keenam bakteri kitinolitik. Mekanisme antagonis yang terjadi

antara bakteri kitinolitik dengan jamur memiliki penghambatan yang bervariasi,

memiliki aktivitas antagonis yang ditandai dengan penghambatan pertumbuhan

miselium. Efek aktivitas antagonis bakteri kitinolitik menyebabkan hifa jamur

mengalami abnormalitas yaitu berupa hifa terputus, hifa mengalami pembengkokan,

hifa menggulung, lisis pada dinding sel dan lisis pada ujung hifa (Gambar 4.4.1).

Dinding sel jamur merupakan struktur kompleks yang biasanya terdiri dari

kitin, 1,3-β d an 1 ,6-β glukan dan komponen lainnya. Hidrolisis dinding sel jamur

(41)

2006). Aspergillus merupakan salah satu genus jamur yang memiliki komponen dinding sel kitin yang tinggi dan mampu menginduksi kitin (Escott et al., 1998).

Gambar 4.4.1. Perubahan morfologi hifa jamur setelah uji antagonisme dengan bakteri kitinolitik. Hifa bengkok (A ; B), hifa terputus (C), hifa bengkok berlipat (D ; E), hifa menggulung (F), hifa terputus disertai lisis (G), lisis pada ujung hifa (H), lisis pada dinding sel hifa (I), Hifa normal Aspergillus sp.,Rhizopus sp. dan Sp. 1(J,K,L)(perbesaran 400X)

Menurut Rajarathanam et al, (1998), kitin pada jamur berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya.

Mikrofibril merupakan struktur utama dari dinding sel jamur dan terdiri atas jalinan

rantai-rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Jalinan ini

kuat berikatan pada matriks. Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4-9% berat

kering sel, tergantung spesies atau strain jamurnya. Parani & Saha (2009) melaporkan

A B C

D E F

G H I

(42)

bahwa beberapa jamur patogen Alternaria alternate, Aspergillus niger, Fusarium oxysporum, Helminthosporium sp. dan Culvularia sp. dapat dihambat oleh Serratia marcescens yang ditanam pada media CA dan PDA. Serratia marcescens mampu menghambat pertumbuhan miselia Aspergillus niger hingga mencapai 66,5% dan

Fusarium oxysporum 64,4% pada medium agar kitin. Serratia marcescens merupakan salah satu bakteri yang paling efektif dalam mendegradasi kitin dan dapat

diaplikasikan sebagai agen biokontrol jamur dan serangga (Brurberg et al., 2000).

4.5 Hasil Patogenitas Jamur

Uji Patogenitas jamur dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat tersebut

menyebabkan penyakit mikosis pada ikan nila. Dari hasil uji patogenitas diperoleh

bahwa isolat yang memiliki tingkat patogenitas paling tinggi adalah Aspergillus sp. 2 yang diinokulasikan pada ikan nila kelompok perlakuan dengan persentase tingkat

infeksi sebesar 70%. Aspergillus sp. 1,Sp1dan Rhizopus sp. memiliki persentase tingkat infeksi yang sama sebesar 50%. Perbedaan tingkat patogenitas yang dimiliki

jamur Rhizopus sp., Sp. 1, Aspergillus sp. 1 dengan Aspergillus sp. 2 menunjukkan bahwa tingkat kekuatan menginfeksi ikan uji berbeda. Rerata persentase tingkat

infeksi dan tingkat kematian pada kelompok perlakuan, Aspergillus sp. 2 menunjukkan perbedaan dengan kelompok kontrol dengan nilai total terinfeksi dan

mati mencapai 70%. Hal ini menunjukkan bahwa isolat Aspergillus sp.2 yang diisolasi dari ikan nila bersifat patogen pada ikan nila (Gambar 4.5.1).

(43)

Gambar 4.5.1. Persentase tingkat patogenitas (tingkat terinfeksi dan mortalitas) isolat jamur Rhizopus sp., Sp. 1, Aspergillus sp.1 dengan Aspergillussp.2 terhadap ikan nila selama pengamatan 10 hari

Rifai et al. (2010) telah melaporkan bahwa dari hasil isolasi jamur yang dilakukan pada 240 ekor ikan Oreocrhomis dan 120 ekor Clarias gariepinus didapat 1658 isolat jamur. Aspergillus merupakan genus terbanyak yang diperoleh dengan tingkat persentase 43,0% sedangkan Rhizopus hanya 4,2%. Dari hasil uji patogenitas yang dilakukan genus Aspergillus yang paling patogen adalah A. flavus, kemudian diikuti oleh A. niger,A. fumigatus dan A. terreus.

Pada penelitian ini gejala klinis yang tampak terdapat pada ikan yang terserang

oleh jamur adalah adanya penempelan hifa pada bagian tubuh ikan yang berwarna

putih, abu-abu dan kekuningan (Gambar 4.5.2). Battacharya et al (1988) mengatakan infeksi A. terreus pada ikan ditandai dengan adanya warna putih abu-abu pada seluruh permukaan tubuh. Serangan infeksi yang diakibatkan oleh jamur pada awalnya akan

menginfeksi bagian epidermis dari tubuh ikan. Shrivastava (1996) melaporkan bahwa

gejala klinis yang disebabkan oleh infeksi A. terreus menunjukkan adanya lesi kulit putih abu-abu pada insang dan kulit. Pertumbuhan jamur dari kulit dan insang diamati

secara mikroskopis dengan menggunakan cotton blue dan kemudian ditanam pada

Sabouraunds agar medium (Battacharya et al., 1988). Hal yang sama juga dilaporkan

Kontrol (-) Rhizopus sp. Aspergillus sp. Aspergillus sp. Sp.

(44)

oleh Bruno & Wood (1999) menyebutkan bahwa gejala klinis infeksi awal adalah lesi

kulit berwarna putih atau abu-abu yang kemudian dapat berkembang cepat

menyebabkan kerusakan pada kulit dan otot sehingga ikan akan lemah dan kehilangan

keseimbangan.

Gambar 4.5.2 Ikan terinfeksi Jamur Aspergillus sp.2 pada uji patogenitas. (A) Penempelan miselium pada bagian tubuh ikan (B) Lesi pada bagian sisik ikan

Secara umum Aspergillus sulit menghasilkan tingkat infeksi dan mortalitas yang tinggi karena dipengaruhi beberapa faktor seperti suhu, pH dan aerasi.

Aspergillomycosis dapat terjadi pada ikan karena pengaruh faktor lingkungan, inang

dan patogen. Olufemi & Roberts (1986) melaporkan bahwa induksi

Aspergillomycosis pada ikan nila dilakukan dengan cara pemberian kontaminasi pada

makanan dengan kontaminasi oleh A. flavus.

Secara alami dalam kolam budidaya, penyakit mikosis merupakan suatu

penyakit yang disebabkan oleh beberapa jenis jamur yang berasosiasi dalam kelompok

tertentu dan pada saat kondisi lingkungan yang kurang baik, jamur tersebut terlihat

menjadi patogen. Menurut Srivastava (1996) A. terreus merupakan jamur yang ditemukan berasosiasi dengan beberapa ikan air tawar seperti Channa punctatus,

Heteropneustesfossilis dan clarius batrachus yang dibudidayakan pada kolam dan dapat menjadi patogen. Infeksi oleh jamur tersebut mengakibatkan kematian pada

ikan. Okaeme et al. (1988) melaporkan bahwa diantara jamur yang berhasil diisolasi,

Aspergillus dan Saprolegnia diketahui merupakan jamur yang berasosiasi dan mengakibatkan wabah penyakit pada ikan. Serangan infeksi oleh Aspergillus pada ikan mungkin saja disebabkan oleh adanya kontaminasi dari makanan. Makanan yang

terkontaminasi dengan A. flavus dapat menginduksi infeksi sistemik ikan nila pada

(45)

kolam dan akan memperlihatkan tanda-tanda klinis yang dapat diamati secara

eksperimental yaitu adanya perubahan warna kegelapan, aktivitas gerakan menurun

dan adanya abnormalitas pada organ. Infeksi pada temperatur di bawah batas toleransi

dapat mengakibatkan kematian dan gejala lesi yang parah (Olufemi & Robert., 1986).

Ikan yang terinfeksi diambil dan diisolasi pada media SDA kemudian

dilakukan pengamatan morfologi makroskopis dan mikroskopis. Reisolasi dilakukan

untuk membuktikan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh jasad renik tertentu. Hasil

uji reisolasi pada ikan yang terinfeksi menunjukkan bahwa ikan tersebut yang

terinfeksi oleh isolat yang sama dengan isolat jamur uji yang diinfeksikan. Hal ini

menunjukkan ikan yang terinfeksi pada penelitian ini disebabkan karena isolat jamur

uji pada perlakuan.

4.6 Hasil Uji Antagonisme Secara In vivo

Isolat bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 yang memiliki diameter zona hambat tertinggi terhadap penghambatan pertumbuhan jamur pada uji

antagonisme secara in vitro dipilih untuk digunakan pada uji tantang secara in vivo. Isolat bakteri kitinolitik Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 diuji tantang dengan Aspergillus sp.2 yang memilki tingkat patogenitas tertinggi pada uji patogenitas. Isolat bakteri diinokulasikan pada ikan nila ukuran 5 cm selama 48 jam

kemudian diuji tantang dengan Aspergillus sp.2 selama masa pengamatan 10 hari dalam aquarium kaca dengan parameter pengamatan tingkat kematian (mortalitas),

tingkat terinfeksi dan tidak terinfeksi. Hasil uji menunjukkan bahwa isolat bakteri

Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mampu menurunkan tingkat infeksi dan mortalitas pada ikan nila dengan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan

hasil uji patogenitas. Tingkat penghambatan infeksi jamur Aspergillus sp.2 yang diinokulasikan dengan bakteri potensial dapat dilihat seperti pada Gambar 4.6.1.

(46)

penghambatan infeksi oleh Aspergillus sp.2 dengan cara mengurangi tingkat mortalitas dan tingkat terinfeksi berturut- turut sebesar 92 dan 90% sampai pada hari

terakhir pengamatan. Konsep pengendalian penyakit secara biologis terutama dengan

menggunakan strain bakteri non pathogenic untuk mencegah penyakit telah dikembangkan sampai pada saat sekarang (Gram et al., 1999).

Gambar 4.6.1 Persentase Uji Evaluasiefek bakteri kitinolitik terhadap Aspergillus sp.2

Pada penelitian ini, Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 merupakan kandidat bakteri yang mungkin mampu menghasilkan metabolit tertentu seperti

kitinase untuk menghambat infeksi yang disebabkan oleh jamur. Kandidat bakteri

tersebut kemungkinan dapat menempel pada bagian mukus ikan dan mensekresikan

senyawa anti jamur. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa penggunaan

beberapa jenis bakteri mampu menurunkan infeksi penyakit pada ikan. Mekanisme

penghambatan infeksi Aspergillus sp.2 oleh bakteri potensial yang di uji secara in vivo

menunjukkan kemampuan dalam mengurangi tingkat infeksi dan mortalitas.

Mekanisme ini mungkin saja terjadi melalui pengeluaran zat antagonis oleh bakteri.

Mekanisme isolat bakteri dalam menghambat infeksi Aspergillus sp.2 kemungkinan disebabkan karena adanya kerja enzim hidrolitik yaitu kitinase dan glukanase.

(47)

Kemampuan bakteri dalam menghambat pertumbuhan Aspergillus

menghasilkan enzim hidrolitik seperti glukanase dan kitinase. Pengujian enzim

kitinase secara in vitro pada media agar MGMK menunjukkan bahwa bakteri potensial Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17 mensekresikan enzim kitinase yang ditandai dengan terbentuknya zona bening pada sekitar koloni bakteri. Uji in vitro menunjukkan bahwa terdapat perubahan morfologi hifa ditandai dengan adanya abnormalitas yang menunjukkan adanya zat ekstraselular yang dikeluarkan bakteri

untuk menghambat pertumbuhan Aspergillus. Adanya rambatan senyawa antijamur yang dihasilkan oleh mikroba antagonis menyebabkan terjadinya penekanan pada

pertumbuhan jamur (Dewi, 2011).

Secara umum faktor-faktor yang terkait dengan timbulnya penyakit merupakan

interaksi dari tiga faktor yaitu inang, patogen dan lingkungan atau stressor eksternal

yaitu perubahan di lingkungan yang tidak menguntungkan, tingkat higienik yang

buruk dan stress (Austin & Austin, 2007). Status imunitas dan kesehatan ikan

mempengaruhi keberhasilan isolat bakteri potensial dalam menghambat infeksi

Aspergillus sp. 2 pada ikan nila saat uji in vivo. Ikan yang digunakan memiliki mekanisme pertahananan yaitu mengeliminasi spora yang menempel pada kulit

dengan peningkatan produksi mukus pada bagian tubuh ikan (Dewi, 2011). Pada ikan

sistem pertahanan itu berupa lendir (mukus), sisik dan kulit (Bruno & Wood, 1999).

(48)

4.7 Hasil Uji Perlekatan Bakteri Pada Ikan Nila

Uji perlekatan bakteri dilakukan untuk mengetahui apakah isolat bakteri potensial

yang digunakan yaitu Bacillus sp. dan Enterobacter sp. dapat melekat atau tersuspensi dalam air. Sisik ikan diambil dari masing-masing perlakuan dari tempat uji in vivo

sebelumnya dan dimasukkan ke dalam botol vial yang berisi alkohol 70% kemudian

dilakukan preparasi untuk foto dengan SEM.Perlekatanisolat bakteri Bacillus sp.

BK17 dan Enterobacter sp. PB17 dapat dilihat pada Gambar 4.7.1.

Gambar 4.7.1 Pengamatan perlekatan bakteri Bacillus sp. BK17 dan Enterobacter sp. PB17pada sisik ikan nila. (A) Kontrol (-) (B) Kontrol positif Bacillussp. BK17 (C) Kontrol positif Enterobacter sp. PB17 (D) Aspergillus +Bacillus sp. BK17 (E) Aspergillus + Enterobacter sp. PB17

A B

C D

Gambar

Gambar 3.5.1. Metode pengukuran zona hambat bakteri kitinolitik terhadap koloni
Gambar 4.1.1 (A) Telur ikan mas koki dan (B) Ikan nila yang terserang jamur
Tabel 4.1.1 Karakterisasi makroskopis dan mikroskopis jamur hasil isolasi
Gambar 4.2.1. Isolat bakteri penghasil kitinase (a)Bacillus sp. BK17,
+7

Referensi

Dokumen terkait

EFEKTIFITAS EKSTRAK RUMPUT LAUT (Gracilaria sp) SEBAGAI IMUNOSTIMULAN PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) YANGi. DIINFEKSI BAKTERI

Pengaruh Pemberian Vitamin C dalam Percobaan Immunoprofilaksis Terhadap Infeksi Bakteri Streptococcus iniae pada Ikan Nila (Oreochromis niloficus Linne).. Dibawah bimbingan

merupakan patogen penyebab penyakit tracheomycosis pada tanaman kopi, sehingga perlu dilakukan pengujian dengan menggunakan bakteri kitinolitik lokal yang diduga mampu

Penelitian ini bertujuan untuk menguji kerentanan empat strain ikan nila, yaitu: Sultana, Red NIFI, Srikandi, dan Aureus terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae.. Ikan

Jumlah bakteri ini belum menyebabkan munculnya gejala klinis pada ikan nila selama hari ke-1, namun terjadi kematian pada perlakuan B dan C pada hari ke 1, kemudian pada hari ke-2

Hasil pengukuran laju pertumbuhan harian ikan nila salin pada awal hingga akhir penelitian dengan komsentrasi bakteri yang berbeda disetiap perlakuan memiliki

Identifikasi Isolat Bakteri Penghasil Zat Antibakteri Dari Cairan Kantung Tanaman Kantung Semar (Nepenthes ampullaria, Jack).. Bandung:

Bakteri NP105O dan N14G mengalami pertumbuhan yang cepat pada media BHIA dibandingkan pada organ ikan nila Gambar 1 dan 2.. agalactiae tumbuh opti- mal hingga konsentrasi 1012 CFU.mL-1