• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DAN

PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL

DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MOCHAMAD ALI MAULUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

(4)

RINGKASAN

MOCHAMAD ALI MAULUDIN. Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Dibimbing oleh Djuara P. Lubis dan Winati Wigna.

Penelitian tentang Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini mengkaji permasalahan mengapa dan bagaimana peternak sapi perah di Pangalengan masih tetap bertahan hingga sekarang, selain itu bagaimana penetrasi modernisasi peternakan di Pangalengan berdampak pada perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain : 1) Menganalisis perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas peternak sapi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa dan formasi sosial yang terbentuk setelah terjadi penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan, 2) Menganalisis dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui modernisasi peternakan terhadap struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan, dan 3) Menganalisis perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil

Penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis dan menggunakan metode kualitatif. Dengan demikian untuk pengumpulan data melalui indepth interview, studi arsip, dokumen, dan studi pustaka, sedang analisinya digunakan model analisis interaktif. Dalam upaya memperoleh validitas data yang sebenarnya dapat diyakini, keabsahan data diuji melalui teknik triangulation data dan metode.

Hasil penelitian menunjukan, bahwa pada pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan mengalami perjalanan panjang atau periodisasi dimulai pada masa kolonial Belanda hingga sekarang. Periodisasi tersebut antara lain : 1) periode penjajahan (sebelum tahun 1945), 2) periode perintis (tahun 1945 sampai 1975), dan 3) periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang). Periodisasi pengembangan peternakan sapi perah mengakibatkan perubahan moda produksi. Perubahan moda produksi pada usaha peternakan sapi perah berupa peralihan alat-alat produksi, cara-cara produksi, dan pola-pola hubungan produksi dari cara-cara produksi tradisonal ke cara produksi yang lebih modern. Hasil studi mengungkapkan bahwa perubahan moda produksi (kekuatan produksi dan hubungan produksi) yang diartikulasikan peternakan sapi perah berdampak pada perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Periodisasi dalam pengembangan peternakan sapi perah mengungkapkan bahwa setiap periode akan membentuk formasi sosial.

(5)

menengah, dan peternak kelas bawah. Tipe ekonomi yang berkembang adalah peternak sapi perah sebagai penjual dan koperasi peternakan adalah sebagai pembeli.

Perubahan struktur komunitas peternak sapi perah terjadi setelah adanya penetrasi modernisasi peternakan di Pangalengan. Perspektif penetrasi modernisasi adalah kebijakan pemerintah mengenai pembangunan di berbagai sektor peternakan, pendirian industri pengolahan susu, dan melalui koperasi (agent of change) yaitu adopsi inovasi teknologi dalam produksi usaha peternakan sapi perah. Hasil penelitian menunjukan adanya perubahan struktur komunitas dengan melihat sebelum dan sesudah penetrasi modernisasi peternakan antara lain pembagian kelas lebih menyebar sehingga terbentuk peternak kelas atas, peternak kelas menengah, dan peternak kelas bawah. Selanjutnya buruh ternak terbagi dalam buruh lepas (tidak menginap) dan buruh tetap (menginap di rumah peternak), selanjutnya perubahan hubungan sosial terjadi antara peternak dengan peternak, peternak dengan institusi. Dengan perubahan struktur komunitas tersebut mengakibatkan kemunculan struktur pekerjaan baru antara lain penyedian pakan ternak baik konsentrat maupun hijauan di luar dari koperasi dan dibangunnya home industry dalam pengolahan susu.

(6)

SUMMARY

MOCHAMAD ALI MAULUDIN. Development of Dairy Farming and the Change of Social Structure in Pangalengan Sub-District, Bandung Regency Supervised by Djuara P. Lubis and Winati Wigna.

Research on Development of Dairy Farming and the Change of Social Structure in Pangalengan Sub-District, Bandung Regency studied the questions of why and how dairy farmers in Pangalengan keep surviving until recently, meanwhile it also studied how modernization penetration of animal husbandry in Pangalengan has given impact on structural change of dairy farmer community. The aims of this research were: 1) to analyze mode of productions changes occured on dairy farmer community in the dairy farming devlopment from time to time and social formation formed in the post-modernization penetration of dairy farming in Pangalengan, 2) to analyze the impact of dairy farming development through animal husbandry modernization on the structure of dairy farmer community in Pangalengan, and 3) to analyze whether the changes of mode of productions have impact on small-scale dairy farming sustainability.

This research was based on critical paradigm that methodologically implied on the use of qualitative method. Thus, data gathering was conducted through indepth inteview, archives, documentary and bibliographic studies, and the analysis used interactive analysis model. In the efforts of finding data validity which was truly reliable, data validity were tested through triangultion techniques on data and method.

The result showed that the development of dairy farming in Pangalengan has been through long journey or can be described into periodization which has begun in Dutch Colonialization until recently. The periodization consisted of three parts: 1) Colonial period (before 1945), 2) Pioneering period (1945-1975, and 3) Contemporary period (1975-now). The periodization of dairy farming development has given impact on mode of production. Mode of production changes on dairy farming business were on the shift of production tools, production ways, and production patterns from traditional ways of productions to more modern production ways. The study results revealed that mode of production changes (production forces and production relations) which were articulated by dairy farmer has given impact on structural changes of dairy farmer community. Periodization in the development of dairy farming revealed that each period would form the social formation.

(7)

class farmer and lower class farmer. Developing economic type was dairy farmer as seller and dairy Cooperation as buyer.

The structural changes of dairy farmer community occured after the penetration of dairy farming modernization took place in Pangalengan. The perspective of modernization penetration belonged to the Government Policy on Multisectors Development of Animal Husbandry, the build of dairy manufacturing industry and through Coopration (agent of change) that was adoption of technological inovation in the production of dairy farming business. The result showed there has been structural changes on community by looking at the condition of pre and post dairy farming modernization penetration that class division was more distributive thus formed upper class, middle class and lower class dairy farmer. Meanwhile, the laborers was divided into loose laborers (who did not reside in the dairy farmer‟s house) and permanent laborer (who stayed in dairy farmer‟s house), then social relations changes took place between dairy farmer and dairy farmer, dairy farmer and institution. By the structural changes on community gave impact on the emergence of new occupational structures as to provide the cattle feeding both in concentrate and green grass outside the cooperation and the establishment of dairy manufacturing home industry.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Sosiologi Pedesaan

PENGEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DAN

PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL

DI KECAMATAN PANGALENGAN KABUPATEN BANDUNG

MOCHAMAD ALI MAULUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)

NIM : I353100071

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua

Dra Winati Wigna, MDS Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan

Dr Ir Arya H Dharmawan, MScAgr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(12)
(13)

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, karena hanya dengan segala rahmat, karunia dan ridha-Nya penulisan tesis dengan judul “ Pengembangan Peternakan Sapi Perah dan Perubahan Struktur Sosial di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung” yang merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan Sekolah Pascasarjana IPB dapat penulis selesaikan pada waktunya.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Komisi Pembimbing Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS dan Dra Winati Wigna, MDS atas bimbingan, masukan dan kritik yang membangun kepada penulis selama proses pengerjaan tesis ini. Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Arya H. Dharmawan, M.Sc.Agr selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan, juga kepada Penguji Luar Komisi Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A yang telah memberikan masukan dan pencerahan dalam penulisan tesis ini.

Pada kesempatan ini Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada seluruh staf pengajar di Laboratorium Sosiologi dan Penyuluhan Peternakan Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan moral. Teman-teman seperjuang SPD FEMA IPB 2010 yang selalu kompak dan memberi semangat kepada penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini.

Tidak lupa penulis mengucapakan terima kasih kepada KPBS Pangalengan melalui Pengurus, Manajer dan Koordinator Rayon serta Staf di bawahnya yang telah sangat membantu penulis dalam berdiskusi dan pengumpulan data primer maupun sekunder. Penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada para informan dan responden di dua desa yaitu Desa Margamukti yaitu Komunitas Peternak Sapi Perah di TPK Los Cimaung I dan II serta Desa Margamekar yaitu Komunitas Peternak Sapi Perah di TPK Babakan Kiara dan TPK Cisangkuy yang telah meluangkan waktunya untuk dapat berdiskusi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan.

Penulisan tesis ini juga dapat terwujud berkat doa dan dukungan moral yang tiada putus-putusnya dari kedua orang tua tercinta yaitu Ibunda Hj. Entit Sri Warty dan H. Deden Djakaria dan saudara-saudara penulis. Demikian juga doa dan segenap pertolongan baik moril maupun materil dari mertua penulis, H. Mahyuddin dan Hj. Bismar Haryati. Untuk itu semua, penulis menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga. Semoga Allah SWT membalas kebaikan dan jasa-jasa mereka.

Terakhir, kepada isteri tercinta Viani Puspita Sari yang telah sangat sabar mendampingi hidup penulis dan terus menyemangati penulis, menjadi sahabat dan pemberi inspirasi dalam diskusi yang panjang serta brain storming dalam penyelesaian tesis ini, juga kepada anak-anak penulis, Hafidzah Alivia Sybilla Mauludin dan Muhammad Ikram Syafiq Mauludin yang selalu memberikan kebahagian dan keceriaan serta kelengkapan dalam hidup dan sebagai motivasi penulis untuk dapat segera menyelesaikan tesis ini.

Bandung, Juni 2014

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... ... xvi

I PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 5

Tujuan Penelitian ... 6

Manfaat Penelitian ... 7

II TINJAUAN PUSTAKA Paradigma Pembangunan ... 8

Moda Produksi ... 9

Formasi Sosial ... .. 12

Struktur Sosial ... 15

Kerangka Pemikiran ... 17

Hipotesis Pengarah ... 19

Batasan Konsep ... 19

III METODE PENELITIAN Paradigma Penelitian ... 21

Metode Penelitian ... 21

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 22

Teknik Pengumpulan Data ... 24

Teknik Analisis Data ... 25

IV LATAR HISTORIS PERKEMBANGAN PETERNAKAN SAPI PERAH DI PANGALENGAN Gambaran Umum Kecamatan Pangalengan... 27

Geografis dan Demografis ... 27

Budaya Masyarakat Pegunungan ... 30

Sosial Ekonomi ... 31

Profil Dua Komunitas Peternak Sapi perah di Dua Desa Kasus ... 34

Desa Margamekar (Geografis dan Demografis) ... 34

Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamekar ... ... 39

Desa Margamukti (Geografis dan Demografis) ... 41

Komunitas Peternak Sapi Perah di Desa Margamukti ... ... 42

Perbandingan Dua Desa Kasus dan Kesimpulan ... 44

Perkembangan Peternakan Sapi Perah di Pangalengan ... 45

Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) ... . 46

Periode Perintis (tahun 1945 sampai 1975) ... 48

Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) ... 50

(15)

Moda Produksi pada Periode Penjajahan (sebelum tahun 1945) ... 55

Kekuatan Produksi ... 56

Hubungan Produksi ... 57

Formasi Sosial Capitalist... 59

Moda Produksi pada Periode Perintis (tahun 1945 Sampai 1975) ... 60

Kekuatan Produksi ... 61

Hubungan Produksi ... 62

Formasi Sosial Semi-Petty Commodity... . 64

Moda Produksi pada Periode Kontemporer (tahun 1975 sampai sekarang) 65 Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Petty Commodity... 65

Kekuatan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist ... ... 68

Hubungan Produksi dalam Moda Petty Commodity... ... 69

Hubungan Produksi dalam Moda Produksi Capitalist... ... 70

Formasi Sosial Petty Commodity... 72

Ikhtisar ... 73

VI PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL PADA KOMUNITAS PETERNAK SAPI PERAH Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Sebelum Penetrasi Modernisasi ... 75

Struktur Komunitas Peternak Sapi Perah Setelah Penetrasi Modernisasi ... 78

Perubahan Startifikasi Sosial ... .. 78

Perubahan Hubungan Sosial ... 80

Ikhtisar ... . 80

VII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 83

Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85

LAMPIRAN ... ... 89

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tipe-tipe Moda Produksi ... 10

2. Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur Tahun 2011 ... .. 29

3. Luas Lahan Kecamatan Panglengan Menurut Peruntukannya Tahun 2012 ... .. 32

4. Jumlah Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan / Matapencaharian Tahun 2012 ... . .. 33

5. Komposisi Pemilikan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Desa Margamekar Tahun 2011 ... 34

6. Komposisi Luas Tanaman Pangan Menurut Komoditas Desa Margamekar Tahun 2011 ... 35

7. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Cisangkuy ... 40

8. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Babakan Kiara ... 40

9. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung I ... . 43

10. Jumlah Anggota KPBS dan Populasi Ternak di TPK Los Cimaung II ... 44

11 Struktur „pemain‟ Pada Peternakan Sapi Perah ... 54

12. Moda Produksi Capitalist Kolonial Belanda dan Subsistence... 58

13. Moda produksi Subsistence dan Moda Produksi Semi-Petty Commodity ... . 64

14. Moda produksi Moda Produksi Petty Commodity dan Moda Produksi Capitalist ... . 72

(17)

1. Skema Moda Produksi ... ... 11

2. Formasi Sosial Masyarakat ... ... .. 13

3. Bagan Alur Berfikir ... 18

4. Lokasi Penelitian ... 23

5. Komposisi Sarana Perekonomian di Pangalengan Tahun 2012 ... ... 34

6. Komposisi aset tanah Desa Margamekar Tahun 2011 ... ... 36

7. Komposisi Jenis Ternak Desa Margamekar Tahun 2011... ... .. 36

8. Komposisi Umur dan Jenis Kelamin Desa Marga Mekar Tahun 2011 ... 37

9. Komposisi Jenis Mata Pencaharian Desa Margamekar Tahun 2011 ... . 38

10. Komposisi aset tanah Desa Margamukti Tahun 2011 ... 42

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Kecamatan Pangalengan ... ... 89

2. Data Populasi dan Produksi Susu Di Pangalengan ... .... 90

2. Pedoman Wawancara ... ... 91

(19)

1

Latar Belakang

Pangalengan sudah sejak lama dikenal sebagai sentra peternakan sapi perah dan dapat dikatakan sebagai gambaran peternakan sapi perah Jawa Barat. Menurut Homzah (1986) ternak sapi perah masuk ke Pangalengan sebelum tahun 1860 dan dipelihara oleh keluarga Belanda dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari rumah tangganya. Sementara itu Syarief (1997) menyebutkan bahwa pada Zaman Belanda di Pangalengan terdapat empat perusahaan peternakan sapi perah besar diantaranya de Friesche Trep, Almanak, Van der Est dan Bigman, dengan target pemasarannya sebagian besar adalah orang-orang Belanda yang berdomisili di Pangalengan dan kawasan Bandung dan sekitarnya.

Selanjutnya terjadi dinamika yang cukup mempengaruhi kehidupan masyarakat terutama setelah terjadinya peralihan penjajahan dari Belanda kepada Jepang pada tahun 1942. Menurut Umboh (1954) yang dikutip oleh Subandriyo dan Adiarto (2009) pada periode pendudukan Jepang, perusahaan sapi perah Belanda diambil alih oleh Pemerintahan Jepang. Pada masa itu, pengelolaannya berlangsung secara darurat sehingga menyebabkan ketersediaan bahan baku konsentrat mengalami keterbatasan. Implikasi yang diperoleh adalah produksi susu sapi mengalami penurunan yang tajam sedangkan harga pakan konsentrat mengalami peningkatan. Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia mengakibatkan banyak perusahaan susu yang terlantar dan mengakibatkan stok sapi penghasil susu pun mulai tidak terkelola dengan benar. Sebagian ternak sapi secara berangsur-angsur dipotong dan dikonsumsi, sementara sebagian lainnya mulai tersebar di kalangan masyarakat setempat. Sapi-sapi tersebut yang berada di tangan masyarakat setempat diperihara dan dikembangkan hingga sekarang sehingga merupakan cikal-bakal usaha peternakan sapi perah rakyat (Dasuki, 1983).

Istilah, konsep, dan paradigma pembangunan dikenal luas di era tahun 1950-1970-an. Pada rentang waktu tersebut banyak Negara Dunia Ketiga yang baru memperoleh kemerdekaannya dan dihadapkan pada persoalan krusial yaitu penanganan dengan segera masalah kemiskinan dan keterbelakangan. Pendapat Seers yang dikutip oleh Chaniago (2012) menyatakan, bahwa pembangunan belum bisa dikatakan berhasil bila salah satu atau dua dari tiga kondisi, yaitu kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan menjadi lebih buruk, meskipun pendapatan perkapita melambung tinggi.

(20)

Pembangunan di Indonesia sendiri diawali setelah negara terbebas dari belenggu penjajahan yaitu dimulai setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945 sampai dengan saat sekarang1. Modernisasi di bidang pertanian melalui revolusi hijau menjadikan perubahan yang sangat mendasar pada kehidupan masyarakat Indonesia, hal serupa terjadi pula pada sub sektor peternakan. Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian dan juga tidak terlepas dari pembangunan nasional. Pembangunan peternakan yang berkelanjutan mengoptimalkan bagaimana permintaan terhadap komoditas hasil peternakan sebagai sumber protein hewani (daging dan susu) dapat tersedia keberadaannya.

Iklim pembangunan pertanian dalam hal ini subsektor peternakan menghendaki pembaharuan-pembaharuan melalui modernisasi. Modernisasi di negara-negara berkembang melalui peningkatan arus modal dan teknologi maupun industrialisasi di berbagai bidang memberikan perubahan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Perubahan yang mendasar pada struktur masyarakat tersebut ditandai dengan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dan meningkatnya spesialisasi pekerjaan sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat. Bierstedt (1970) mengemukakan pemikiran terhadap pembagian kerja yang terbagi menjadi tiga antara lain: (1) merupakan fungsi dari ukuran masyarakat, semakin besar masyarakat semakin nyata pembagian kerja; (2) merupakan syarat untuk terbentuknya kelas/ pelapisan; dan (3) menghasilkan ragam posisi/ status dan peranan yang berbeda, yang satu dinilai lebih tinggi dari yang lainnya. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

1

(21)

dengan adanya modernisasi memperlihatkan adanya perubahan struktur dan perbedaan posisi atau kelas di masyarakat.

Dalam rangka usaha modernisasi peternakan terdapat 7 unsur penting antara lain : 1) penggunaan jenis ternak unggul, 2) keterampilan teknologi, 3) kontinuitas suplai sarana produksi, 4) pengendalian penyakit yang efektif, 5) modal untuk investasi dan eksploitasi, 6) tanah sebagai input utama sumber hijauan makanan ternak, dan 7) bantuan penyempurnaan organisasi pemasaran. Sedangkan dalam pelaksanaan operasional lebih dipusatkan kepada apa yang dinamakan dengan Panca Krida Usaha Peternakan, yaitu : 1) penyempurnaan bibit, 2) penyempurnaan gizi dan pemberian makanan, 3) pengendalian penyakit secara efektif, 4) penyempurnaan manajemen, dan 5) penyempurnaan organisasi pemasaran (Atmadilaga, 1991). Pembangunan subsektor peternakan, khususnya pengembangan usaha peternakan sapi perah, merupakan salah satu alternatif upaya peningkatan penyediaan sumber kebutuhan protein (susu dan daging).

Peternakan sapi perah sejak dahulu sudah ada di daerah Jawa, terutama Jawa Barat. Salah satu jenis atau bangsa sapi perah yang berkembang dan menjadi preferensi adalah bangsa Fries Holland (FH)2 di samping bangsa sapi perah lainnya seperti Jersey, Ayreshire, Hereford dan Shorthorn (Subandriyo dan Adiarto, 2009). Bangsa sapi perah FH sangat adaptif di daerah Pangalengan, tidak ada lagi bangsa sapi perah FH yang murni melainkan hasil perkawinan dan melahirkan keturunan dari bangsa FH. Jadi ternak sapi perah yang berkembang di Pangalengan saat ini adalah peranakan sapi perah FH atau dikenal dengan peranakan Fries Holland (PFH).

Pangalengan sebagai salah satu sentra peternakan sapi perah selain Lembang dan Garut, sudah ada sejak zaman kolonial Belanda hingga sekarang. Pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan mulai terasa setelah kemerdekaan Republik Indonesia terutama pada masa Orde Baru. Perubahan yang terjadi di Pangalengan dalam pengembangan peternakan sapi perah yaitu terjadinya penetrasi modernisasi pada usaha peternakan sapi perah dan melalui pembangunan kelembagaan lokal sebagai penghimpun dan penyaluran (pemasaran) susu, sehingga terbentuk komersialisasi untuk produk peternakan sapi perah yaitu susu. Tercatat data bahwa perubahan sangat drastis terjadi dalam peningkatan jumlah populasi ternak sapi perah di Pangalengan yang semakin bertambah. Data awal populasi ternak sapi perah pada tahun 1969 berjumlah 2.608 ekor dan di tahun 2013 berjumlah 13.428 ekor (diolah dari laporan tahunan dan dokumen KPBS). Peningkatan sebesar kurang lebih 4.7 kali dari jumlah awal selama kurun waktu kurang lebih 44 tahun memberikan gambaran terhadap perkembangan peternakan sapi perah di Pangalengan. Hal tersebut berkorelasi dengan produksi susu yang dihasilkan pada tahun 1969 yaitu 1.360.486 liter dan pada tahun 2013 menghasilkan susu sebanyak 32.118.305 liter (lampiran 2).

Berbagai studi mengenai modernisasi dan pembangunan yang berimplikasi terhadap perubahan struktur masyarakat pedesaan, kebanyakan

2

Fries Holland (FH) berasal dari Belanda dengan ciri-ciri umum adalah sebagai berikut 1)

(22)

masih berpusat pada kasus masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah dan perkebunan serta pada sektor perikanan (masyarakat pesisir). Perubahan sosial masyarakat pesisir (nelayan) melalui modernisasi mengakibatkan perubahan moda produksi terutama alat produksi (perahu, alat tangkap dan lain-lain). Selanjutnya, modernisasi terjadi pada masyarakat agraris dalam konteks ekologi padi sawah merepresentasikan masyarakat dengan moda produksi sederhana atau bahkan komersial, dimana moda produksi kapitalis yang padat teknologi belum berkembang, sehingga dinamika formasi sosial belum terlalu tinggi (Satria, 2000)

Selanjutnya, bagaimana dengan studi masyarakat pegunungan dalam konteks peternakan sapi perah sebagai perekonomian lokal yang sudah muncul pada masa kolonial Belanda dan berkembang hingga sekarang dimana hasil produksi utama berupa susu belum banyak dilakukan di Indonesia3, padahal studi perubahan sosial komunitas peternak sapi perah sangat penting untuk dapat menggambarkan potret masyarakat pegunungan dimana aktivitas kehidupan ekonomi lokalnya dalam sektor pertanian (palawija), perkebunan dan peternakan sapi perah. Peternakan sapi perah dapat berkembang terlebih kesesuain ternak sapi perah dari bangsa PFH sangat cocok untuk dikembangkan di daerah dataran tinggi yang bertemperatur dingin. Pemahaman mendalam terhadap sosiologi komunitas peternak sapi perah akan bermanfaat dalam upaya penyiapan tatanan kelembagaan dalam meyongsong sebuah gerakan revolusi putih.

Dengan demikian, subsektor peternakan sapi perah menjadi sangat menarik untuk diteliti dan dikaji serta ditelaah lebih dalam mengenai perubahan struktur pada komunitas peternak sapi perah yang keberadaannya pada awal kemerdekaan masih bersifat tradisional hingga sekarang yang sudah banyak perubahan dalam alat produksi, manajemen dan hubungan produksi terlebih munculnya modernisasi peternakan, sehingga memungkinkan terdiferensiasi ataupun terjadinya stratifikasi sosial pada komunitas peternak sapi perah serta terbentuknya kelas atau dominasi dari peternak dengan skala besar terhadap peternak skala kecil.

Salah satu sentra peternakan sapi perah di Kabupaten Bandung provinsi Jawa Barat yaitu di Kecamatan Pangalengan. Pangalengan menarik untuk dijadikan kasus dalam studi ini dengan alasan bahwa dari 31 kecamatan yang ada di Kabupaten Bandung hanya satu kecamatan yaitu Pangalengan yang memiliki kesejarahan dalam peternakan sapi perah hingga saat ini dan masih bertahan dalam pengmbangan peternakan sapi perah serta kecamatan Pangalengan merupakan salah satu yang terbesar dari jumlah populasi sapi perah yang terdapat di daerah selatan Kabupaten Bandung selain Kertasari, Pacet, Ciwidey dan Pasir Jambu.

Sebelum modernisasi, komunitas peternak sapi perah belum terlalu terstratifikasi karena pola produksi masih bersifat homogen. Bila penguasaan alat produksi berupa tanah dan ternak dijadikan dasar startifikasi maka hanya terbagi menjadi dua yakni peternak berskala kecil dan peternak berskala besar. dengan terjadinya penetrasi modernisasi, terjadi perubahan dalam startifikasi karena tingkat usaha yang semakin besar, akses yang tinggi untuk peningkatan produksi,

3

(23)

dan perubahan dalam kelembagaan kerja. Adanya perubahan-perubahan tersebut, memunculkan pertanyaan: Bagaimana posisi peternak berskala kecil, apakah mengalami perubahan setelah terjadi modernisasi? atau bagaimana peternak berskala kecil masih tetap bertahan hingga sekarang walaupun munculnya penetrasi kapitalis di usaha peternakan sapi perah? Jawaban inilah yang menentukan apakah modernisasi akan sama dengan pembangunan ataukah tidak. Jika dalam modernisasi peternakan sapi perah tersebut para peternak berskala kecil tidak mengalami perubahan atau bahkan mereka mengalami proletarisasi . maka apa yang dikatakan Sajogyo (1982) “modernization without development “ terbukti.

Dengan demikian persoalan yang dihadapi peternak sapi perah sangat kompleks terutama peternak dengan skala kecil yang sulit untuk mengembangkan kualitas dan kuantitas produksi susu. Hal tersebut dapat diketahui dari alat produksi dan hubungan produksi yang terjadi. Perubahan moda produksi peternakan sapi perah sebagai dampak dari modernisasi peternakan dengan tujuan untuk meningkatkan produksi dan kesejahteraan peternak, justru sebaliknya dapat menjadi penyebab termajinalnya peternak sapi perah khususnya peternak degan skala kecil. Selanjutnya perubahan moda produksi dapat mendorong terbentuknya ketimpangan struktur sosial dan kesenjangan ekonomi.

Perumusan Masalah

Peternak sapi perah di Kecamatan Pangalengan tampak tidak hanya menghadapi persoalan dalam dimensi kultural seperti keterbatasan kemampuan sumber daya manusia dan teknologi semata, tetapi juga menyangkut dimensi struktural seperti struktur sosial masyarakat peternak sapi perah itu sendiri, tata niaga produksi susu dan sapi perah serta ekonomi global. Dalam struktur ekonomi global tampaknya terbangun suatu mekanisme pemasaran dan distribusi perdagangan produk olahan susu4 di tingkat internasional yang menyebabkan susu Indonesia tidak menjadi komoditas global melainkan hanya melengkapi untuk perusahaan pengolahan susu. Tercatat sepanjang tahun 2013 produksi susu sebesar 32.118.305,08 liter dengan rata-rata produksi susu perhari di wilayah kerja koperasi peternakan sapi perah Pangalengan adalah 87.995,56 liter/ hari terdistribusi penyaluran dan pemasaran kepada IPS sebesar 92 % dan sisanya 8 % untuk diolah di milk treatment dan home industry (diolah dari data laporan tahunan KPBS). Ketergantungan koperasi terhadap IPS menjadikan lemahnya dalam posisi tawar terutama masalah harga. Permainan pada tingkat makro melalui pasar bebas menjadikan IPS memiliki otoritas yang tinggi untuk mengatur berapa persentase produksi susu lokal yang terhimpun dalam koperasi peternakan sapi perah dapat diterima oleh IPS. Sementara itu hingga saat ini

4

(24)

secara jelas dan tegas tidak ada tata niaga susu nasional, jadi untuk komoditas susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat hanya dikelola oleh koperasi primer yang ada di Pangalengan.

Dalam hal ini dapat dikemukakan, bahwa peternak sapi perah yang menguasai sumberdaya ekonomi terutama peternak sapi perah berskala besar dengan kepemilikan ternak lebih dari 10 ekor laktasi pada umumnya menyerahkan pekerjaannya pada buruh ternak dengan pembayaran secara upah atau dengan sistem gaduh atau maro, selanjutnya peternak dengan penguasaan ternak dengan skala besar tersebut dengan mudah mengakses atau menguasai faktor-faktor produksi. Di sisi lain peternak sapi perah dengan penguasaan ternak sapi perah skala kecil hanya mendapatkan sedikit akses dan menguasai faktor-faktor produksi.

Bertitik tolak dari hal-hal itulah maka yang menjadi pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana dan sejauhmana perubahan moda produksi yang diakibatkan oleh modernisasi peternakan dapat memicu perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah. Penelitian ini menfokuskan diri pada proses perubahan struktur ekonomi lokal yaitu usaha peternakan sapi perah di Pangalengan dengan menguraikan dinamika perubahan-perubahan moda-moda produksi yang membangunnya. Dengan demikian perubahan sruktur ekonomi lokal dapat dibedah menggunakan konsep formasi sosial sebagai turunan teori sosiologi aliran Marxis. Untuk lebih memperjelas arah penelitian ini, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana perubahan moda produksi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa? Dan bagaimana formasi sosial yang terbentuk setelah penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan?

2. Bagaimana dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui penetrasi modernisasi peternakan sapi perah terhadap struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan?

3. Sejauhmana perubahan moda produksi berdampak pada keberlangsungan usaha peternakan sapi perah dengan skala kecil?

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dalam penelitian ini adalah untuk menelusuri dan menganalisis perubahan moda produksi yang diakibatkan oleh modernisasi peternakan dan perubahan struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah di Pangalengan. Secara lebih rinci tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut:

1. Menganalisis perubahan moda produksi yang terjadi pada komunitas peternak sapi dalam pengembangan peternakan sapi perah dari masa ke masa dan formasi sosial yang terbentuk setelah terjadi penetrasi modernisasi peternakan sapi perah di Pangalengan.

2. Menganalisis dampak pengembangan peternakan sapi perah melalui modernisasi peternakan terhadap struktur komunitas peternak sapi perah di Pangalengan.

(25)

Manfaat Penelitian

(26)

II TINJAUAN PUSTAKA

Paradigma Pembangunan

Paradigma pembangunan dimulai sejak istilah pembangunan (development) mulai dikenalkan oleh Negara Amerika Serikat pada tahun 1947, bersamaan dengan hal tersebut para ahli ekonomi dan guru besar ekonomi alumni Berkeley turut mengembangkan pemikiran tentang pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu karakteristik atau ciri pokok adalah berorientasi pada pertumbuhan dan pro modal asing. Dialektika paradigma pembangunan terus mengalami perkembangan hingga sekarang, berbagai definisi bermunculan dari waktu ke waktu. Kurang lebih lima dekade sejak program pembangunan digulirkan untuk negara-negara Dunia Ketiga terdapat banyak perdebatan teoritik dan kontestasi berbagai perspektif dalam melihat pembangunan.

Berbagai pandangan dari para ahli, bahwa mereka tidak bersepakat bagaimana pembangunan dikerjakan, namun ada suatu kesepakatan luas bahwa harus ada usaha-usaha untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat (Winarno, 2013). Adrian Leftwich (2000) dalam Winarno (2013), mengemukakan bahwa pemahaman pembangunan yang paling umum dapat dikatagorikan ke dalam Sembilan pendekatan pokok, yakni pembangunan dilihat sebagai kemajuan historis (development as historical progress), pembangunan sebagai eksploitasi sumber daya alam (development as the exsploitation of natural resources), pembangunan sebagai promosi kemajuan ekonomi, dan (kadangkala) sosial, dan politik yang direncanakan (development as the promotion of planned economic, and (sometimes) social and political advancement), pembangunan sebagai suatu kondisi (development as a condition), pembangunan sebagai suatu proses (development as a process), pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi (development as economic growth), pembangunan sebagai perubahan struktural (development as structural changes), pembangunan sebagai modernisasi (development as modernization), dan pembangunan sebagai suatu peningkatan kekuatan produksi (development as an increase in the force of production).

(27)

disebut mengalami modernisasi adalah masyarakat yang berkembang dari kesederhanaan (tradisional) menjadi terdiferensiasi dan kompleks dalam aspek kehidupannya.

Paradigma modernisasi dalam keilmuan sebenarnya lahir dari teori evolusi yang digagas oleh Darwin. Konsep modernisasi menekankan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat, melalui pemerataan (trickle down effect). Selain itu, pendapat Schroorl (1980) mengemukakan bahwa modernisasi sering diidentikkan dengan tipe perubahan sosial yang berasal dari revolusi industri, sehingga seringkali modernisasi itu identik dengan industrialisasi.

Perkembangan teori pembangunan tidak selamanya bertahan, kritikan dan sanggahan mengemuka kepermukaan. Hal tersebut di kritik oleh Frank (1984) bahwa pembangunan melalui modernisasi menyebabkan ketergantungan Negara Dunia Ketiga terhadap Negara Maju. Konsep trickle down effect ternyata tidak berjalan dan kesejahteraan tidak merata. Kemiskinan dan keterbelakangan yang terdapat di negara-negara dunia ketiga yang mengkhususkan diri pada produk pertanian (tradisional) dipandang sebagai struktur perekonomian dunia yang bersifat eksploitatif, dimana negara maju melakukan eksploitasi terhadap dunia ketiga. Akibatnya surplus dari negara dunia ketiga beralih ke negara-negara industri maju.

Paradigma teori sistem dunia memandang bahwa dalam dunia terdapat suatu sistem antar negara dari negara-negara maju yang saling bertentangan dan terjalin terhadap dunia ketiga dan dengan ekonomi dunia kapitalis. Immanuel Wallerestein dengan teori ketergantungan menyebutkan bahwa negara-negara berkembang sekarang adalah akibat dari dominasi kelompok kapitalis pusat yang berabad-abad. Negara-negara berkembang menerapkan pembangunan sebagai proses perubahan sosial yang berencana yang berupaya untuk membebaskan masyarakat dari tradisionalisme. Menurut Dharmawan (2007), bahwa pembangunan dipahami sebagai proses transformasi sosio-ekonomi-kultural yang sengaja dan direncanakan untuk menuju derajat kemajuan tertentu sesuai standar ukuran-ukuran kuantitatif maupun kualitatif pada suatu masyarakat sebagaimana kemajuan yang di capai oleh negara-negara Barat.

Moda Produksi

(28)

Menurut Russel (1989), bahwa kekuatan produksi (force of production) terdiri dari kekuatan tenaga kerja manusia (human labour power), instrumen atau alat-alat produksi, dan bahan baku, teknologi produksi, manajemen produksi, modal uang, kreativitas, ide, pengetahuan, dan motivasi, bangunan, tanah dan energi. Dengan kata lain, kekuatan produksi merupakan basis materil yang terdiri dari “keterampilan pekerja dan alat produksi” (means of powers). Sementara itu, relasi produksi atau hubungan sosial produksi terdiri dari hubungan antara satu aktor dengan aktor lainnya atau struktur sosial yang mengatur relasi antar manusia dalam satu proses produksi barang dan jasa kebutuhan manusia. Hubungan sosial tersebut mencakup : pemilikian (property), hubungan kekuasaan (power), dan pengawasaan (control) dalam penguasaan aset produktif masyarakat, hubungan kerja bersama (cooperative work relation) serta hubungan antar kelas masyarakat. Selanjutnya Russel (1989) membagi menjadi tiga tipe moda produksi yang berbeda antara lain: 1) tipe egalitarian, 2) tipe kelas, dan 3) tipe transisi. Adapun penjelasan terhadap tipe tersebut tertuang pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipe-tipe Moda Produksi

Didasarkan pada aturan negara yang menerapkan pajak secara eksploitatif dan upeti dari masyaraat (rest society).

Didasarkan pada pemilik budak yang mengeksploitasi tenaga kerja budak.

Didasarkan pada tuan tanah yang mengeksploitasi sewa dari pada petani (peasant).

Didasarkan atas pemiilik kapitalis yang mengeksploitasi nilai surplus dari pekerja.

Berdasarkan rumahtangga yang otonom, terisolasi atau dikelompokan di desa, memiliki lahan sendiri. Berdasarkan atas rumah tangga dengan pemilikan alat produksi yang tidak setara dalam hal lahan dan ternak, tetapi hubungan sosial produksi tidak memperkejakan atau mengeksploitasi aktor lain. Berdasarkan kepemilikan oleh negara atas alat-alat produksi penting dan bermaksud mengejar keadilan sosial.

Sumber : Russel (1989)

(29)

area produksi dalam komunitas, 2) anggota komunitas berperan sebagai tenaga kerja kooperatif dan mereka memiliki posisi yang setara sehingga perbedaan dalam kerja hanya terjadi karena perbedaan usia tenaga kerja, 3) penguasaan alat produksi sama untuk semua anggota komunitas, dan 4) anggota komunitas menerima pangan dan kebutuhan lain dengan jumlah yang sama. Sedangakan pada tipe kelas ciri utama yang menonjol adalah hubungan sosial produksi bersifat eksploitatif dan ketidaksetaraan kekuasaan akan muncul pada seluruh aspek kehidupan. Pengembangan moda produksi kapital akan mendorong akumulasi kapital; rasionalisasi produksi; dan industri. Proses tersebut kemudian akan menyebabkan disintegrasi dan hilangnya usaha skala kecil karena kalah bersaing dengan usaha besar.

Sementara itu, pada tipe transisi meskipun hubungan sosial produktif mulai tidak setara tetapi belum menunjukan sifat hubungan yang eksploitatif. Ketidaksetaraan tersebut tumbuh dikarenakan berbagai hal antara lain : 1) partisipasi kerja, 2) kontrol terhadap alat produksi, dan 3) konsumsi. Menurut Russel (1989) menyatakan bahwa, Tumbuhnya ketidaksetaraan hanya dapat melahirkan moda produksi transisional, yaitu moda produksi yang sudah meninggalkan moda produksi komunal tetapi belum sepenuhnya berlandaskan moda produksi kelas. Selain timbulnya ketidaksetaraan, tumbuhnya proses produksi yang berorientasi pasar juga membutuhkan kondisi yang membawa pada situasi semakin menurunnya moda produksi komunal.

Moda produksi terartikulasikan pada kehidupan sehari-hari dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Artikulasi merupakan bentuk strukturalisasi moda produksi pada budaya setempat berbentuk kegiatan-kegiatan ekonomi seperti pertanian, kerajinan, perkebunan, peternakan, perdagangan, pariwisata, dan jenis-jenis kegiatan ekonomi lainnya. Masing-masing kegiatan ekonomi dapat mencerminkan moda produksi apa yang digunakan, dengan melihat ciri-ciri kekuatan produksi dan hubungan/ relasi sosial produksinya (Peet, 2009). Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Moda Produksi

Moda produksi mampu mereproduksi sistem yang dikembangkan yang akan bertahan dan yang dominan yang akhirnya mendominasi struktur sosial, nilai, kepercayaan, dan ideologi masyarakat. Seluruh interelasi antar moda

NEGARA DAN POLTIK Pemerintah, Sistem Hukum, Polisi, Tentara, Pelayanan Publik

IDEOLOGI DAN KEBUDAYAAN

Kepercayaan, Representasi, Diskursus

RELASI PRODUKSI Kerabat, Kelas, Gender

LINGKUNGAN ALAMI Lanskap, Sumber daya, Wilayah, Tempat, Ruang Sosial

(30)

produksi tersebut, serta unsur-unsur lain yang melingkupi bekerjanya moda produksi menggambarkan bentuk formasi sosial dalam sebuah masyarakat.

Formasi Sosial

Formasi sosial (social formation) adalah kehadiran dua atau lebih moda produksi dalam satu masyarakat dimana salah satu akan mendominasi. Kemampuan mendominasi ditentukan oleh kekuatan masing-masing moda produksi untuk memperoleh sistemnya.Perubahan moda produksi dapat dilihat dari perubahan-perubahan yang terjadi pada kekuatan moda produksi dan hubungan sosial produksinya.

Kekuatan produksi lokal yang dulunya mengandalkan tanah pertanian, telah bergeser dengan berkembangnya usaha-usaha lain yang mengandalkan modal uang sebagai kekuatan produksi utama. Relasi produksi yang dulunya bersifat egaliter karena tenaga kerja berasal dari keluarga, berubah menjadi herakhis karena tenaga kerja mengandalkan buruh upahan. Pola perubahan moda produksi tersebut, yang terjadi dalam jangka waktu tertentu, dan dalam sebuah sistem sosial mencerminkan arah perkembangan kapitalisme. Jenis penguasaan kekuatan produksi dalam masyarakat bermacam-macam, sehingga hubungan sosial produksi yang terbangun juga bermacam-macam pula. Paling tidak ada dua tipe utama yakni non-kapitalis dan kapitalis, yang kehadirannya dapat dalam satu kontinum, namun juga dapat hadir secara bersamaan. Moda produksi kapitalis berbasis pada penguasaan modal uang sebagai kekuatan produksi, sementara non-kapitalis lebih pada penguasaan atas tanah dan tenaga kerja.

(31)

Curahan waktu kerja pada moda produksi subsisten menyumbang kepada moda produksi komersil dan kepada buruh upahan dalam perusahaan kapitalis. Curahan waktu kerja yang diserap produksi komersil dari produksi subsisten tadi dalam kenyataannya dialihkan langsung ke moda produksi kapitalis melalui suatu proses pertukaran yang timpang. Barang yang dihasilkan produksi komersil dijual ke pasaran (domestik dan ekspor) dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa moda produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh moda produksi subsisten. Sebagai indikatornya Kahn menunjuk antara lain upah buruh yang lebih rendah dari total biaya reproduksi buruh (Sitorus 1999: 17–18). Teori atau konsep formasi sosial yang diuraikan tersebut, merupakan tingkat tertinggi bangunan teori Marx (Sztompka 2004), dimana dalam produksi sosial kehidupan manusia memasuki hubungan tertentu yang sangat diperlukan dan terlepas dari kemauan mereka.

Sementara itu, Sztompka (1994:172) menjelaskan bahwa perubahan formasi sosial terjadi di tiga tempat yang berbasis kontradiksi, yaitu: pertama, diperbatasan antara masyarakat dan lingkungan (alam) seperti kontradiksi yang terus muncul antara tingkat perkembangan teknologi tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh kondisi sosial maupun kondisi biologis. Kontradiksi ini mendorong perkembangan permanen dalam kekuatan produksi; kedua, kontradiksi lain muncul antara tingkat teknologi yang dapat dicapai dan organisasi produksi yang ada, yang tak sesuai dengan kekuatan produksi yang tersedia. Kontradiksi ini mendorong terjadinya perubahan progresif dalam hubungan produksi; dan ketiga, kontradiksi terakhir muncul antara hubungan produksi yang baru terbentuk dan sistem politik tradisional. Dalam kondisi seperti ini, pranata hukum dan ideologi tak lagi berfungsi membantu substruktur ekonomi. Kontradiksi ini menyebabkan terjadinya transformasi rezim politik dan tatanan hukum masyarakat. Oleh karena adanya kontradiksi internal dan tekanan terus-menerus ke arah penyelesaiannya, maka masyarakat dengan sendirinya menampakkan kecenderungan terus menerus pula ke arah perubahan (Sztompka, 1994).

Keterangan :

Gambar 2. Formasi Sosial Masyarakat

Selanjutnya, Jeffrey Paige dalam Roxborough (1986:103-104) menguraikan artikulasi berbagai moda produksi dalam masyarakat perkebunan dibedakan dalam lima artikulasi yakni sistem (1) Manor komersial atau hacienda.

(32)

Merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikerjakan secara hak usaha oleh buruh upahan lokal atau ulang alik setiap hari dari lahan subsistensi didekatnya, (2) perkebunan bagi hasil, merupakan juga bersifat individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dikelola petani bagi hasil atau penyewa, (3) perkebunan yang menggunakan buruh migrasi, merupakan usaha individual, tidak menggunakan tenaga mesin, dan digarap oleh tenaga pindahan, (4) perkebunan besar, perusahaan dimiliki oleh perusahaan swasta atau perusahaan pemerintah atau oleh individu, menggunakan mesin, serta tenaga kerja upahan dari wilayah itu untuk jangka waktu setahun atau lebih, dan (5) pertanian kecil milik keluarga, merupakan usaha individual, digarap pemilik dan keluarganya. Moda produksi kapitalis yang diartikulasikan dalam sistem perkebunan besarlah yang paling mendominasi, sehingga seluruh bangunan politik, norma, dan ideologi ditentukan olehnya.

Kajian Kano (1990) di Desa Pagelaran, Kabupaten Malang, memperlihatkan masih adanya ciri produksi non-kapitalis dengan merujuk pada sistem pertanian padi sawah sebagai artikulasinya. Usaha padi sawah meski memiliki hasil cukup besar tidak menjadi pendorong bagi berkembangnya sektor kapitalis. Usaha padi sawah kurang terkomersialisasi, akibat orientasi produksi untuk keperluan sendiri dan sedikit dipertukarkan. Di sisi lain, pertanian tebu di sana sangat komersial sebagai artikulasi ciri kapitalis. Peran para pedagang sangat dominan dalam membawa usaha tani tebu menjadi usaha berciri kapitalis. Perluasan tanaman tebu pada satu areal persawahan dapat menggeser tanaman padi. Hal ini menunjukkan dominasi tanaman tebu (artikulasi moda produksi kapitalis) atas tanaman padi (artikulasi moda produksi pertanian tradisional).

Sementara itu, Penelitian Hefner (1999) di pegunungan Tengger memperlihatkan bila transformasi cara produksi tradisional non-kapitalis ke kapitalis melalui proses komersialisasi ditandai masuknya tanaman berorientasi pasar, program modernisasi berupa revolusi hijau, juga konflik sosial dalam masyarakat akibat politik negara. Ciri-ciri tradisional memudar seiring semakin terkomersialisasinya kehidupan ekonomi, dimana cara-cara produksi tradisonal berubah menjadi pertanian intensif berorientasi pasar.

Studi Sitorus (2004) pada masyarakat Situwu, memperlihatkan bahwa masuknya cara produksi baru yang diartikulasikan dalam tanaman komersial telah merubah formasi sosial lokal. Terjadi perubahan struktur agraria ditandai dengan munculnya kelompok petani komersial yang menggeser petani tradisional imigran bugis yang terbiasa dengan cara produksi komersial memonopoli sumber produksi dan merubah struktur agraria yang ada. Sementara orang Kaili sebagai penduduk asli terlempar dan membuka lahan ke lereng-lereng gunung, sebuah daerah yang dulu tidak tersentuh aktivitas ekonomi.

Dalam sektor Perikanan, penelitian Satria (2000) menyebutkan bahwa modernisasi menyebabkan terciptanya formasi baru dimana cara produksi lama yang tradisonal harus bersaing dengan cara produksi yang baru lebih modern, yang ternyata diikuti dengan konflik-konflik antar pelaku dari masing-masing cara produksi, sehingga dalam dinamika formasi sosial dalam penangkapan ikan di pekalongan terbentuk kelembagaan kerja yang tercipta dalam cara produksi modern tersebut cenderung mengarah pada proses eksploitasi.

(33)

yang muncul dalam struktur ekonomi lokal adalah pertanian tradisional dan kapitalis kolonial. Pada awal kemerdekaan adalah pertanian tradisional (petani biasa), semi-komersil (petani kaya), dan kapitalis pertanian (pengusaha Cina). Sementara pada masa Orde Lama tetap, yakni pertanian tradisional (petani biasa), pertanian semi-komersil (petani maju), dan kapitalis pertanian (petani kaya dan pengusaha Cina). Memasuki Orde Baru adalah pertanian semikomersil (tani tanggung dan srabutan), kapitalis pertanian (pengusaha Cina dan juragan), dan kapitalis (industri agro dan wisata). Memasuki reformasi, moda produksi tetap, tetapi jumlah petani semi-komersill menurun, sementara juragan dan industri agro berkembang. hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang berasal dari luar sistem sosial.

Sementara itu, dalam komunitas petani, elemen-elemen moda produksi kapitalis masuk dengan cara “merembes” melalui aktivitas baru, yaitu melalui : 1) berbagai aktivitas pengusaan modal non lahan, khususnya pada proses produksi padi sawah, dan 2) berbagai aktivitas penjualan hasil produksi kebun, terutama buah kakao. Pengaruh kapitalisme tidak menghilangkan elemen-elemen moda produksi non-kapitalis, sehingga para petani dalam komunitas tersebut menjalankan beberapa elemen moda produksi yang berbeda secara bersamaan, yaitu: elemen moda produksi yang masih mempunyai ciri non-kapitalis, elemen moda produski yang sudah mempunyai ciri kapitalis, atau elemen moda produksi yang mempunyai ciri keduanya (Fadjar, 2009).

Struktur Sosial

Menurut Schaefer (2012) menyebutkan bahwa struktur sosial merujuk pada bagaimana masyarakat terbentuk dalam hubungan–hubungan yang dapat diprediksi. Selanjutnya Korblum (1999) dalam Schaefer (2012) menyebutkan bahwa struktur merupakan pola perilaku berulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Maka konsesp dasar dalam pembahasan struktur sosial adalah pola perilaku yang berulang dari individu atau kelompok yang didalamnya terdapat proses komunikasi ide dan negosiasi. Sementara itu, Linton (1967) dalam Schaefer (2012) membahas tentang struktur sosial yaitu adanya peran dan status. Status merupakan suatu kumpulan hak dan kewajiban, sedangkan peran adalah aspek dinamis dari sebuah status. Seseorang menjalankan peran ketika ia menjalankan hak dan kewajiban yang merupakan statusnya.

(34)

sedangkan pembagian struktur sosial dibagi ke dalam lima elemen yaitu status, peran sosial, kelompok, jaringan sosial, dan lembaga sosial.

Status, Istilah status merujuk pada salah satu dari banyak posisi sosial dalam kelompok yang lebih besar atau masyarakat dari yang terendah sampai yang tertinggi. Seseorang dapat memiliki sejumlah status pada saat yang bersamaan, status yang diberikan (ascribed status) diberikan kepada seseorang oleh masyarakat tanpa memperhatikan bakat atau karakter unik seseorang. Setiap orang memiliki banyak status yang berbeda dan terkadang saling bertentangan, hal tersebut sependapat dengan Hughes (1945) dalam Schaefer (2012) menyebutkan masyrakat berhadapan pada inkonsistensi dengan menyetujui bahwa status tertentu lebih penting dari pada yang lain, sehingga memuculkan status utama yang mendominasi yang lain sehingga menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Peran sosial, peran sosial merupakan komponen penting dalam struktur sosial. Menurut Schaefer (2012) mendefinisikan bahwa peran sosial adalah serangkaian harapan dari orang ketika menduduki suatu posisi atau status sosial tertentu. Jika melihat perspektif fungsionalis, peran sosial berkontribusi pada stabilitas masyarakat dengan memungkinkan anggota masyarakat untuk mengantisipasi perilaku orang lain, sekaligus menjaga tindakannya sendiri agar sesuai dengan pola yang ada.

Kelompok, kebanyakan interaksi sosial terjadi diantara kelompok-kelompok serta dipengaruhi oleh norma-norma dan sanksi-sanksi yang berlaku dalam kelompok itu. Menurut Schaefer (2012), kelompok (group) adalah sejumlah orang dengan norma-norma, nilai-nilai, dan harapan-harapan yang sama yang saling berinteraksi secara teratur. Kelompok-kelompok memainkan peran vital dalam struktur sosial dalam masyarakat. Lembaga sosial, adalah pola-pola keyakinan dan perilaku yang terorganisasi berdasarkan kebutuhan sosial tertentu. Ada beberapa perspektif dalam memandang lembaga sosial, diantaranya : 1) perspektif fungsional, yaitu memandang lembaga sosial dengan melihat bagaimana mereka memenuhi fungsi-fungsi pentingnya. Bradford (1979) dalam Schaefer (2012) mengidentifikasi lima tugas utama atau prasyarat fungsional yang harus dipenuhi oleh suatu masyarakat atau kelompok sosial jika ingin tetap bertahan. Prasyarat tersebut antara lain : a) regenerasi, b) melatih anggota baru, c) memproduksi serta mendistribusikan barang dan jasa, d) menjaga ketertiban, dan e) menyediakan dan memelihara tujuan. Perspektif fungsional struktural menganggap bahwa setiap struktur dalam sistem sosial adalah fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.

(35)

Kerangka Pemikiran

Fokus penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji dimensi struktural dalam perubahan sosial komunitas peternak sapi perah. Perubahan sosial yang terjadi dikarenakan adanya faktor pendorong yaitu penetrasi modernisasi peternakan terutama peternakan sapi perah. Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa pembangunan di segala sektor sudah menggeliat dari dahulu setelah negara kita terbebas dari belenggu penjajahan. Terutama dirasakan pada masa orde baru yang sangat gencar dalam upaya pembangunan di semua sektor tidak terlepas peternakan. Pangalengan merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat yang sudah ada sejak jaman kolonial Belanda dan berlanjut sampai dengan sekarang tidak terlepas dari peran pemerintah dalam mengembangkan peternakan sapi perah. Seiring dengan pengembangan peternakan sapi perah di Pangalengan dan ditetapkan sebagai sentra peternakan sapi perah, Pangalengan tidak terlepas dari kondisi yang terkontruksi dan melalui proses panjang serta kompleks dari beberapa moda produksi yang terbentuk dalam usaha peternakan sapi perah serta peran pmerintah dalam berbagai kebijakan yang terkait kepada usaha peternakan sapi perah.

Perjalanan panjang usaha peternakan sapi perah di Pangalengan memberikan gambaran terhadap perubahan moda produksi usaha peternakan sapi perah yang berupa peralihan alat-alat produksi, cara produksi dan hubungan produksi dari moda produksi tradisional hingga moda produksi modern. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan di berbagai aspek kehidupan peternak sapi perah seperti perubahan hubungan dan pola kerja, serta perubahan struktur dan formasi sosial pada komunitas peternak sapi perah. Dengan munculnya penetrasi modernisasi di Pangalengan terhadap usaha peternakan sapi perah diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan pendapatan peternak sapi perah, akan tetapi hal tersebut tidak sejalan dengan kondisi peternakan sapi perah dengan skala kecil yang tidak mengalami keuntungan ekonomi. Sebaliknya dengan para peternak dengan penguasaan ternak banyak atau skala menengah ke atas, mereka mendapatkan surplus atau keuntungan ekonomi yang cukup serta akses yang maksimal dan penguasaan terhadap faktor-faktor prduksi dalam usaha peternakan sapi perah.

(36)

dengan motif semikomersil sehingga mengakibatkan total biaya produksi relatif tinggi (Arief, 2010).

Dengan kurun waktu tersebut, secara bersamaan telah terjadi pertemuan antara moda produksi dan menimbulkan formasi sosial baru. Perwujudan formasi sosial dari komunitas peternak sapi perah ditandai dengan munculnya beberapa moda produksi (kekuatan dan hubungan produksi) pada usaha peternakan sapi perah dimana dari moda produksi tersebut terdapat moda produksi yang mendominasi dari moda produksi yang lain.

Moda produksi usaha peternakan sapi perah di Pangalengan setelah datangnya penetrasi modernisasi kemungkinan muncul beberapa moda produksi baru, sehingga berdampak pada perubahan struktur komunitas peternak sapi perah. Perubahan yang mendasar pada struktur masyarakat tersebut ditandai dengan tumbuhnya pekerjaan-pekerjaan baru dan meningkatnya spesialisasi pekerjaan sehingga secara tidak langsung berimplikasi terhadap kehidupan masyarakat. Bierstedt (1970) mengemukakan pemikiran terhadap pembagian kerja yang terbagi menjadi tiga antara lain: (1) merupakan fungsi dari ukuran masyarakat, semakin besar masyarakat semakin nyata pembagian kerja; (2) merupakan syarat untuk terbentuknya kelas/ pelapisan; dan (3) menghasilkan ragam posisi/ status dan peranan yang berbeda, yang satu dinilai lebih tinggi dari yang lainnya. Berdasarkan proposisi tersebut, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya pembangunan melalui penetrasi modernisasi memperlihatkan adanya perubahan struktur dan perbedaan posisi atau kelas di masyarakat.

(37)

Hipotesis Pengarah

Sebagai penelitian kualitatif, dan sesuai dengan rincian rumusan masalah, kerangka teoritis dan konsep dalam penelitian ini maka menggunakan hipotesis pengarah sebagai upaya dalam mengembangkan pertanyaan, dan mencari ada atau tidaknya sesuatu gejala yang bersifat terpola dalam lingkungan sosial yang diteliti. Dalam hal ini hipotesis pengarah dirumuskan bersifat fleksibel, longgar, dan terbuka untuk dilakukan perubahan-perubahan bahkan pergantian sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan dalam penelitian ini, maka dirumuskan hipotesis pengarah sebagai berikut:

1. Periodisasi dalam pengembangan peternakan sapi perah mengindikasikan terjadinya perubahan moda produksi yang berupa peralihan alat-alat produksi dari yang tradisional menuju modern. Dalam proses produksi usaha peternakan sapi perah modern dibutuhkan pengetahuan, wawasan dan keterampilan peternak sehingga terjadi diferensisasi dalam pembagian kerja yang pada akhirnya akan mengubah struktur sosial dan formasi sosial pada komunitas peternak.

2. Pembentukan struktur sosial sebagai konstruksi Pengembangan peternakan sapi perah melalui penetrasi modernisasi peternakan terdiferensiasi dalam kepemilikan ternak dan memunculkan status dan kelas-kelas baru dalam kegiatan usaha produksi peternakan sapi perah. 3. Perubahan moda produksi melalui periodisasi pengembangan peternakan

sapi perah menjadikan penguasaan ternak dengan skala kecil dan buruh ternak berpotensi pada posisi marginal. Hal ini antara lain tercermin dari struktur sosial yang terdiferensiasi bahkan menuju polarisasi dimana peternak dengan penguasaan ternak skala kecil dan buruh ternak hanya bergerak dalam rutinitas produksi, tidak memiliki akses lebih terhadap faktor-faktor produksi lain.

Batasan Konsep

1. Pengembangan peternakan sapi perah merujuk pada peningkatan populasi ternak sapi perah dan produksi susu serta peningkatan kemampuan dalam manajemen beternak sapi perah.

2. Moda produksi peternakan sapi perah merujuk pada kekuatan produksi yang merupakan basis material produksi dan hubungan produksi yang mengacu pada pola hubungan yang terjadi dikalangan peternak sapi perah. 3. Modernisasi peternakan merujuk pada hal-hal yang baru dalam proses produksi peternakan dari yang sederhana atau tradisonal sampai dengan yang kompleks atau modern berupa penerapan teknologi baru dengan tujuan untuk meningkatkan atau melipatgandakan hasil produksi.

(38)

Konsep ternak, peternak dan peternakan mengacu pada Undang-undang no 18 tahun 2009 tentang peternakan dan kesehatan hewan :

1. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian.

2. Peternak adalah perorangan warga Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan.

(39)

III METODOLOGI PENELITIAN

Paradigma Penelitian

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada paradigma kritis yang secara ontology memaknai realitas dibentuk oleh sejarah sosial, politik dan ekonomi. Dilihat dari sisi epistemologi memaknai hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional, termediasi nilai dan aksiologinya memandang ilmu tida bebas nilai, etika dan pilihan moral menentukan pilihan penelitian. Penggunaan paradigma kritis dimaksudkan agar dapat menelusuri lebih mendalam dimensi struktur sosial pada komunitas peternak sapi perah. Harapan yang disemaikan adalah mendorong munculnya kesadaran kolektif (collective conscious-ness) tineliti untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap posisi sosial dan ekonominya yang termarjinalkan.

Menurut Guba dan Lincoln dalam Salim (2001) menuturkan bahwa paradigma penelitian dibangun oleh beberapa aspek antara lain : 1) ontologis, 2) epistemologi, 3) metodologis dan, 4) axiologis. Melalui ontologis dapat diajukan pertanyaan mendasar tentang bentuk dan sifat realitas serta tentang hal apa yang dapat diketahui mengenai realitas tersebut, sehingga dalam paradigma kontruktivisme menyebutkan bahwa realitas merupakan kontruksi sosial dan kebenaran suatu realitas bersifat relatif, berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Sedangkan melalui aspek epistemologi dapat diajukan pertanyaan apa yang harus dilakukan untuk mengetahui realitas dan bagaimana hubungan sosial antara peneliti dengan yang diteliti sehingga pemahaman tentang suatu realitas atau temuan sutu penelitian merupakan produk interaksi diantara peneliti dan yang diteliti. Hal lain dalam aspek axiologis adalah menekankan pada aspek nilai, etika dan pilihan moral yang merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan sehingga terbentuk rekontruksi realitas sosial secara dialektik antara peneliti dengan aktor sosial yang diteliti. Sementara itu, aspek metodologis dapat dipilih peralatan dan cara terbaik untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas sehingga menekankan empati dan interaksi dialektik antara peneliti dan responden untuk rekontruksi realitas yang diteliti melalui metode-metode kualitatif.

Bertolak dari pemahaman tentang paradigma penelitian tersebut, maka penelitian ini akan mengacu terutama pada paradigma kritis. Dalam penelitian ini hubungan peneliti-tineliti bersifat transaksional dalam arti terjadlin interaksi dan dialog, realitas dan temuan diletakan dalam erangka pemikiran dunia peneliti dan tineliti.

Metode Penelitian

(40)

baik tentang bagaimana dan mengapa realitas terbentuk serta bagaimana dan mengapa realitas tersebut dapat memberi arti dan makna baik pada individu maupun komunitas, sehingga tujuan dari penelitian kualitatif pada dasarnya adalah untuk mendapatkan pengertian atas subjek dari sudut pandang subjek tersebut.

Melalui metode kualitatif, realitas sosial yang dijadikan lapangan studi dipahami sebagai realitas historis. Menurut Koentjaringrat (1994) teknik life history diperlukan untuk : 1) memperoleh pandangan dari dalam mengenai gejala-gejala sosial dalam suatu masyarakat, 2) mencapai pengertian mengenai masalah individu warga masyarakat yang suka berkelakuan lain dari yang biasa, 3) memperoleh pengertian mendalam tentang hal-hal psikologis yang tak mudah diobservasi dari luar, dan 4) memperoleh gambaran mendalam tentang detail dari hal yang tidak mudah diceritakan orang dengan metode interview berdasarkan pertanyaan langsung.

Penelitian dengan metode kualitatif digali data yang bersifat subyektif dan historis, sehingga tujuan yang ingin dicapai menggunakan strategi studi kasus. Strategi tersebut dipilih untuk mengungkap, mempelajari, menerangkan, atau menginterpretasi suatu kasus dalam konteksnya yang secara alamiah tanpa adanya intervensi dari luar (Salim, 2001). Inti dari studi kasus adalah bahwa studi ini berusaha untuk menyoroti suatu keputusan atau seperangkat keputusan: mengapa keputusan tersebut diambil, bagaimana diterapkan dan apakah hasilnya (Schramm dalam Yin, 1997:17). Strategi studi kasus tepat untuk sebuah studi yang berkaitan dengan “bagimana (how)” dan “mengapa (why)”, akan diarahkan kepada serangkaian peristiwa kontemporer, dimana penelitinya hanya memiliki peluang yang kecil sekali atau tidak mempunyai peluang sama sekali untuk melakukan kontrol terhadap peristiwa tersebut (Yin, 1997:13). Pendapat lain ditambahkan oleh Nazir (1988:67) yaitu bahwa tujuan studi kasus adalah untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang latar belakang, sifat-sifat serta karakter-karakter yang khas dari kasus, ataupun status dari individu yang kemudian sifat-sifat yang khas tersebut dijadikan suatu hal yang umum.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat dan pemilihan daerah dilakukan secara purposive. Sebagai dasar perimbangannya adalah pertama, bahwa Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra peternakan sapi perah terbesar sebelum Kabupaten Bandung mengalami pemekaran menjadi Kabupaten Bandung Barat. Terlebih Kabupaten Bandung menjadi tempat pengembangan peternakan sapi perah pada jaman kolonial Belanda dengan mendirikan empat perusahaan peternakan sapi perah.

(41)

Ketiga, jumlah populasi ternak sapi perah yang besar di Kecamatan Pangalengan tidak terlepas dari keberadaan institusi atau kelembagaan formal yaitu koperasi peternakan (KPBS). Koperasi tersebut berdiri sejak tahun 1969 sampai dengan sekarang. sebelum KPBS berdiri, di wilayah Pangalengan sudah berdiri kelembagaan lokal yang menangani sapi perah, kelembagaan tersebut bernama GAPPSIP (Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan) yang didirikan pada tahun 1959 dengan fungsi hampir sama dengan koperasi sekarang, yang membedakan adalah badan hukum.

Sementara itu berhubung produksi susu dan populasi ternak sapi perah Kabupaten Bandung terkonsentrasi di tiga kecamatan, yaitu Kertasari, Pangalengan dan Cilengkrang, maka lokasi penelitian hanya fokus di satu wilayah yaitu Pangelengan dan dipilih dua desa sebagai lokasi penelitian yaitu Desa Margamekar dan Desa Margamukti. Pemilihan desa-desa tersebut didasarkan atas pertimbangan, Desa Margamekar dan Desa Margamukti adalah desa dari 13 desa yang ada di Kecamatan Pangalengan yang memiliki nilai sejarah dalam pengembangan sapi perah dan memiliki jumlah populasi sapi perah yang cukup besar posisi lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4:

Pengambilan data lapangan dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Desember 2012. Selama empat bulan dikumpulkan data dan informasi primer maupun sekunder.

Lokasi Penelitian Desa Margamekar & Desa Margamukti

(Kecamatan Pangalengan)

Gambar

Tabel 1. Tipe-tipe Moda Produksi
Gambar 1. Skema Moda Produksi
Gambar 2. Formasi Sosial Masyarakat
Gambar 3. Bagan Alur berfikir
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada delay 30 detik dan juga 60 detik, rata-rata selisih waktu tamu terdeteksi yang didapatkan dengan delay 30 detik yaitu 6.05 detik dan delay 60 detik didapatkan

Untuk Paket Pelelangan baik Jasa Konstruksi maupun Jasa Konsultansi dilingkungan Kabupaten Kayong Utara yang masa pendaftarannya dipenghujung bulan Juni dan dipastikan

Data yang dikumpulkan merupakan data primer, yaitu data berasal dari penelitian perubahan makroskopis dan mikroskopis hepar tikus wistar dari kelompok kontrol dan

Bentuk sediaan obat yang diberikan oleh dokter sudah sesuai karena tidak ada keluhan dari pasien. -

Dalam pendidikan bahasa Jepang keterampilan menyimak dikenal juga dengan istilah Choukai. Namun bagi pembelajar bahasa Jepang di Unnes, ketika mempelajari

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan total sampling yakni seluruh kasus baru kecelakaan yang dibawa ke UGD UPT

Persamaan dasar fluida dua lapisan diturunkan berdasarkan asumsi fluida tak mampat dan tak kental yang tak berotasi.Persamaan dasar yang diperoleh berupa persamaan