• Tidak ada hasil yang ditemukan

The comparison of the stability on electrocardiogram in anesthetized domestic dogs between ketamine with propofol, and its combination

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The comparison of the stability on electrocardiogram in anesthetized domestic dogs between ketamine with propofol, and its combination"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN STABILITAS ELEKTROKARDIOGRAM

PADA ANJING DOMESTIK YANG DIANESTESI ANTARA

KETAMIN, PROPOFOL DAN KOMBINASINYA

I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis yang berjudul: “Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara

Ketamin, Propofol, dan Kombinasinya”, adalah karya saya sendiri dengan

bimbingan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Mei 2012

Yang Membuat Pernyataan

(3)

ABSTRACT

I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA. The comparison of the stability on

electrocardiogram in anesthetized domestic dogs between ketamine with propofol, and its combination. Under the supervision Setyo Widodo and Deni Noviana.

The aim of this study is to determine the comparison of stability on electrocardiogram in anesthetized dogs between ketamine, propofol, and its combination. The study was divided into 2 steps. In the first step, eighteen (18) experimental dogs were divided into three groups, group I received ketamine (4 mg/kgBW), group II propofol (4 mg/kgBW), and group III received combination of ketamine (4 mg/kgBW) and propofol (4 mg/kgBW). All groups were preanesthetized with combination of atropine sulphate (0,03 mg/kgBW) and xylazine (2 mg/kgBW), 10 minutes prior to the experiment. The observed parameters were the amplitude of P, R, and T, the interval of QRS, PQ, and QT electrocardiogram (ECG) wave of lead II, as well as heart rate and cardiac axis. The combination of ketamine and propofol yeilded a good depth of anesthesia, provide stability of the ECG is better than single administration of ketamine HCl anesthesia or propofol. In the second step, eighteen (18) experimental dogs were divided in to three groups. All groups are received 0.03 mg/kgBW atropin sulphate and 2 mg/kgBW xylazine intramuscularly and were induced with 4 mg/kgBW ketamine and propofol 4mg/kgBW intravenously respectively 10 minutes prior the experiment, and then received intravenous infusion by a gravimetric method to maintain the anaesthesia status, 20 minutes prior to the experiment. Group I were received ketamine (0.4 mg/kgBW/minutes) infusion, group II propofol (0.4 mg/kgBW/minutes), and group III combination of ketamine (0.4 mg/kgBW/minutes) and propofol (0.4 mg/kgBW/minutes) respectively. The observed parameters were the amplitude of P, R, and T, the interval of QRS, PQ, and QT ECG wave of lead II, as well as heart rate and cardiac axis. The intravenous drip by gravimetric infusion anaesthesia in combination with ketamine and propofol provides stability of the ECG better than single ketamine or propofol.

(4)

RINGKASAN

I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA. Perbandingan stabilitas

elektrokardiogram pada anjing domestik yang dianestesi antara ketamin, propofol, dan kombinasinya. Dibimbing oleh Setyo Widodo dan Deni Noviana.

Pemberian anestetik jangka panjang dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem kardiovaskular yang cenderung menimbulkan aritmia jantung. Penilaian elektrokardiogram (EKG) selama hewan teranestesi dapat mencegah terjadinya aritmia jantung. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang dianestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya serta perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang teranestesi dengan ketamin HCl, propofol dan kombinasinya dengan tetes infus secara gravimetrik. Penelitian dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan untuk melihat gambaran EKG sadapan II pada anjing yang diberikan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya dengan preanestesi kombinasi atropin sulfat–xylazin HCl. Digunakan 18 ekor anjing, dibagi menjadi tiga kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor anjing, yaitu kelompok I, II, dan III, yang diberikan kombinasi preanestesi atropin sulfat dosis 0,03 mg/kgBB dan xylazin HCl dosis 2 mg/kgBB secara intramuskular (IM) dan 10 menit kemudian diinduksi secara intravena (IV) dengan ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB (kelompok I), propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl dosis 4 mg/kgBB dan propofol dosis 4 mg/kgBB (kelompok III). Pengambilan data dilakukan sebelum perlakuan atau menit 0, setiap 10 menit sampai menit ke-90. Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval gelombang QRS, PQ, dan QT pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis jantung. Kestabilan EKG anjing yang paling baik terlihat pada pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal anestesi ketamin HCl atau propofol. Penelitian kedua dilakukan untuk melihat gambaran EKG anjing yang diberikan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus intravena secara gravimetrik. Digunakan 18 ekor anjing yang dibagi menjadi tiga kelompok masing-masing terdiri dari 6 ekor anjing. Semua anjing diberikan preanestesi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB) dan xylazine HCl (2 mg/kgBB) secara IM, 10 menit kemudian diinduksi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB) dan propofol (4 mg/kgBB) secara IV, dan 10 menit kemudian dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi dengan dengan metode tetes infus intravena secara gravimetrik dengan ketamin HCl 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok I), propofol 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl 0,4 kg/kgBB/menit dan propofol 0,4 mg/kgBB/menit (kelompok III). Infus IV diberikan sampai menit ke-120. Pengukuran EKG diambil dari menit ke-0 sampai dengan menit ke-140. Parameter yang diamati adalah amplitudo gelombang P, R, dan T; interval gelombang QRS, PQ, dan QT pada sadapan II; serta denyut jantung dan aksis jantung. Kestabilan EKG anjing yang paling baik terlihat pada pemberian pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara gravimetrik dengan kombinasi ketamin HCl-propofol dibandingkan dengan pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja.

(5)

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

PERBANDINGAN STABILITAS ELEKTROKARDIOGRAM

PADA ANJING DOMESTIK YANG DIANESTESI ANTARA

KETAMIN, PROPOFOL DAN KOMBINASINYA

I PUTU GEDE YUDHI ARJENTINIA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Biomedis Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara Ketamin, Propofol dan Kombinasinya

Nama : I Putu Gede Yudhi Arjentinia

NRP : B351080011

Program Studi : Ilmu Biomedis Hewan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

Dr. drh. Setyo Widodo drh. Deni Noviana, PhD.

Ketua Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana-IPB Ilmu Biomedis Hewan

drh. H. Agus Setiyono, MS., Ph.D., APVet Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Mahaesa, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Perbandingan Stabilitas Elektrokardiogram pada Anjing Domestik yang Dianestesi Antara Ketamin, Propofol dan Kombinasinya”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk meraih gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Biomedis Hewan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Setyo Widodo dan drh. Deni Noviana, Ph.D. selaku pembimbing yang telah banyak memberikan nasehat, pengarahan, saran, serta pembimbingan dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Rasa terima kasih penulis sampaikan pula kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Rektor Universitas Udayana, Dekan FKH Universitas Udayana, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua Program Mayor IBH Sekolah Pascasarjana IPB, Direktur Rumah Sakit

Hewan Pendidikan IPB, dan Ketua Departemen KRP FKH IPB yang telah membantu fasilitas dan pelayanan selama studi. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa pascasarjana IPB, teman-teman Punawacana serta adik-adik asrama Wyata Brahmacarya atas dukungan, motivasi, dan kerjasamanya. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada istri tercinta Ni Ketut Nova Ariani, SE serta kedua anak-anak tersayang Putu Kartika Widya Arjentinia dan Made Sastra Dhyatmika Arjentinia atas segala doa, kesabaran, motivasi, pengorbanan, dan kasih sayangnya. Tidak lupa juga penulis sampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada orang tua tercinta, mertua, dan seluruh keluarga atas doa, motivasi, dan pengorbanan yang tak pernah putus.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat.

(10)

RIWAYAT HIDUP

I Putu Gede Yudhi Arjentinia, dilahirkan di Mendoyo Dangin Tukad pada tanggal 14 Juli 1978, merupakan putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Ayah I Wayan Jendra, SPd (Alm.) dan Ibu Ni Putu Armoni, SPd. Menikah dengan Ni Ketut Nova Ariani, SE dan telah dikaruniai dua orang putra Putu Kartika Widya Arjentinia dan Made Sastra Dhyatmika Arjentinia.

(11)

DAFTAR ISI

Elektrofisiologi dan Konduksi Jantung ... 10

Elektrokardiografi ... 15 Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

Materi Penelitian ... 29

Metode Penelitian dan Parameter Penelitian ... 30

Alat dan Bahan ... 30

Pengambilan Sadapan EKG ... 31

Protokol Pengukuran EKG ... 31

Rancangan Penelitian dan Intepretasi Hasil Penelitian ... 32

HASIL DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan Fisik ... 33

Pemberian Preanestesi dan Induksi Anestesi ... 33

(12)

Denyut Jantung ... 47

Aksis Jantung ... 49

Pemberian Preanestesi, Induksi, dan Pemeliharaan Anestesi ... 51

Amplitudo Gelombang P ... 53

Amplitudo Gelombang R ... 55

Interval Gelombang QRS ... 57

Interval Gelombang PQ ... 59

Interval Gelombang QT ... 61

Amplitudo Gelombang T ... 62

Denyut Jantung ... 64

Aksis Jantung ... 66

Pembahasan Hipotesis ... 68

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 71

Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

LAMPIRAN ... 77

(13)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Kisaran sadapan elektrokardiogram (EKG) normal pada anjing ... 21

2. Metode penentuan aksis jantung dengan metode defleksi

tertinggi ... 23

3. Rata-rata 18 ekor hasil pemeriksaan anjing yang dipergunakan

untuk penelitian ... 33

4. Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P, amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, gelombang QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung sebelum teranestesi, selama preanestesi dengan atropin sulfat sulfat-xylazin HCl, induksi anestesi dengan ketamin HCl HCl,

propofol, dan kombinasi ketamin HCl HCl-propofol ... 35

5. Nilai rata-rata dan simpangan baku (rata-rata ± SD) elektrokardiogram (EKG) sadapan II amplitudo gelombang P, amplitudo gelombang R, amplitudo gelombang T, gelombang QRS, interval PQ, interval QT, denyut jantung, dan aksis jantung sebelum teranestesi, selama preanestesi dengan atropin sulfat-xylazin, induksi anestesi dengan kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi tetes infus intravena secara gravimetrik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasi

ketamin HCl-propofol ... 52

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Peranan EKG pada perubahan sistem kardiovaskular karena

pemberian anestesi ... 3

2. Gambaran penampang jantung ... 6

3. Pengaruh perangsangan oleh syaraf vagus ... 7

4. Pengaruh perangsangan syaraf simpatis pada jantung ... 8

5. Mekanisme terjadinya curah jantung ... 9

6. Diagram fase potensial aksi ... 11

7. Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada otot jantung ... 13

8. Gambaran skematik penyebaran sistem konduksi jantung ... 14

9. Ilustrasi diagram bidang frontal pada potongan melintang jantung yang ditandai dengan derajat-derajat sudut orientasi ... 16

10. Ilustrasi enam sadapan ekstremitas yang bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif ... 17

11. Kertas rekam EKG beserta gambaran EKG normal ... 18

12. Gambaran aksis jantung anjing ... 22

13. Perubahan rata-rata gelombang P sadapan II sebelum teranestesi, setelah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ... 36

14. Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol (kelompok III) ... 39

(15)

15. Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin

HCl-propofol (kelompok III) ... 41

16. Perubahan rata-rata interval PQ sadapan kedua sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl (kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin

HCl-propofol (kelompok III) ... 42

17. Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(kelompok III) ... 44

18. Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan kedua sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi

ketamin HCl-propofol (kelompok III) ... 46

19. Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(kelompok III) ... 48

20. Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat sulfat-xylazin HCl HCl dan induksi anestesi ketamin HCl(kelompok I), propofol (kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(kelompok III) ... 50

21. Perubahan rata-rata amplitudo gelombang P sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(Kelompok III) ... 53

(16)

22. Perubahan rata-rata amplitudo gelombang R sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin

HCl-propofol (Kelompok III)... 55

23. Perubahan rata-rata interval gelombang QRS sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin

HCl-propofol (Kelompok III) ... 57

24. Perubahan rata-rata interval PQ sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(Kelompok III) ... 59

25. Perubahan rata-rata interval QT sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(Kelompok III) ... 61

26. Perubahan rata-rata amplitudo gelombang T sadapan II sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin

HCl-propofol (Kelompok III) ... 63

27. Perubahan rata-rata denyut jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(Kelompok III) ... 65

28. Perubahan rata-rata aksis jantung sebelum teranestesi dan sesudah diberikan preanestesi atropin sulfat-xylazine HCl, induksi anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol, dan dan pemeliharaan anestesi dengan ketamin HCl (Kelompok I), propofol (Kelompok II), dan kombinasi ketamin HCl-propofol

(Kelompok III) ... 67

(17)
(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemberian anestetikum pada hewan akan membuat hewan tidak peka terhadap rasa nyeri, sehingga hewan menjadi tenang, dengan demikian tindakan diagnostik, terapeutik, atau pembedahan dapat dilaksanakan lebih aman dan lancar (Tranquilli et al. 2007; Miller 2010). Anestesikum dapat diberikan secara tunggal maupun dalam bentuk balance anesthesia, yaitu mengkombinasikan beberapa agen anestetikum maupun agen preanestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Tranquilli et al. 2007).

Anestesi umum merupakan kondisi yang dikendalikan oleh ketidaksadaran

reversibel dan diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri, ingatan, respon terhadap rangsangan atau refleks serta gerak spontan dan kesadaran. Anestesi umum terdiri atas beberapa tahapan, yaitu preanestesi, induksi, pemeliharaan, dan pemulihan. Pemberian anestetikum dapat mempengaruhi otak, otot, sistem respirasi, dan sistem kardiovaskular. Pada tahap induksi dan pemeliharaan anestesi, sangat diperlukan pemantauan dan pengawasan status teranestesi terhadap sistem kardiovaskular dan respirasi. Jantung merupakan salah satu organ tubuh yang paling terpengaruh oleh pemberian anestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003; Narbutas dan Lekas 2002; Tranquilli et al. 2007).

Jantung merupakan organ tubuh yang bekerja sebagai pompa darah dengan melakukan tekanan terhadap darah sehingga dapat mengalir ke jaringan. Secara fisiologis fungsi jantung sebagai organ sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan jaringan tubuh, yaitu membawa zat makanan ke jaringan tubuh dan produk-produk tidak berguna dari jaringan tubuh, menghantarkan hormon dari satu bagian tubuh ke bagian tubuh yang lain, dan secara umum memelihara lingkungan yang sesuai dalam seluruh jaringan tubuh agar sel dapat bertahan hidup dan berfungsi secara optimal (Guyton dan Hall 2006). Jantung diinervasi oleh sistem syaraf otonom yaitu syaraf simpatis dan parasimpatis. Syaraf parasimpatis berasal dari

(19)

vagus) terutama menginervasi pada nodus sinoatrial (NSA), atrioventrikular (NAV), serabut-serabut otot atrium, dan menyebar ke ventrikel kiri (Guyton dan Hall 2008). Penurunan denyut jantung pada kondisi teranestesi adalah normal, akibat adanya pengaruh sebagian besar anestetikum yang dapat menekan jantung dan fungsi miokardium. Hanya beberapa anestetikum yang dapat meningkatkan denyut jantung seperti atropin sulfat, ketamin, dan tiletamin (McKelvey dan Hollingshead 2003).

Selama dalam keadaan teranestesi, jantung dapat diamati dengan alat elektrokardiograf untuk melihat gambaran elektrokardiogram (EKG). Rekaman konduksi listrik jantung digunakan secara klinis untuk mendiagnosa fungsi kelistrikan jantung. Alat elektrokardiograf digunakan untuk melihat gambaran EKG dan denyut jantung (Cunningham 2002). Gambaran EKG memberikan informasi perubahan-perubahan fungsi elektrofisiologis yang berhubungan dengan jantung diantaranya ritme jantung, konduksi, depolarisasi dan repolarisasi yang tidak dapat menggunakan metode yang lain (Hanton dan Rabemampianina 2006). Denyut jantung, gambaran EKG dan tekanan darah arteri adalah parameter penting pada sistem kardiovaskular yang harus diperhatikan selama melakukan tindakan anestesi maupun pembedahan (Muir et al. 2000).

Gambaran EKG direkam berdasarkan perbedaan potensial listrik melalui

elektroda-elektroda yang diletakkan pada permukaan tubuh. Hasil rekaman digambarkan ke dalam kertas rekaman yang mempunyai garis kalibrasi. Fungsi alat elektrokardiograf adalah sebagai alat pemeriksaan rutin digunakan untuk mengevaluasi adanya kelainan jantung, pengawasan selama anestesi dan pembedahan, pemeriksaan rutin jantung, mengetahui adanya abnormalitas elektrolit tubuh, dan sumber data untuk informasi dan konsultasi terutama pada pemberian obat yang berhubungan dengan jantung (Edwards 1993; Hanton dan Rabemampianina 2006; Nelson 2003).

Kerangka Pemikiran

(20)

perangkat yang rumit, mahal, dan mempunyai waktu induksi yang relatif lambat serta tidak praktis untuk penanganan hewan di lapangan. Anestesi umum secara parenteral merupakan alternatif yang mungkin dilakukan karena lebih ekonomis dan praktis untuk penanganan hewan di lapangan, tetapi menghasilkan anestesi yang kurang stabil dan sering memerlukan penambahan dosis jika tidakan medis memerlukan waktu yang lebih lama. Metode anestesi yang lebih praktis adalah metode tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik. Metode infus gravimetrik menggunakan anestetikum parenteral melalui tetes infus IV secara terus menerus, anestetikum dicampur dalam kantong cairan infus dan dialirkan melalui tetes infus IV berdasarkan gaya gravitasi dengan dosis dan kecepatan tertentu.

Pemberian anestetikum dapat menyebabkan perubahan-perubahan pada sistem kardiovaskular yang cenderung menimbulkan terjadinya aritmia jantung. Penilaian EKG selama hewan teranestesi mempunyai arti yang sangat penting untuk nantinya mencegah terjadinya aritmia jantung akibat timbulnya kondisi stress yang berhubungan dengan pembedahan dan prosedur anestetika. Untuk mengetahui kestabilan gambaran EKG pada anjing yang diberikan anestesi kombinasi ketamin HCl–propofol sebagai agen induksi anestesi dan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan premedikasi atropin sulfat–xylazin HCl. Alur kerangka pemikiran terhadap peranan EKG pada

perubahan listrik jantung karena pemberian anestesi seperti pada Gambar 1.

Gambar 1 Peranan EKG pada perubahan listrik jantung karena pemberian anestesi

Anjing sehat teranestesi Dilihat gambaran EKG normal

Perubahan sistem kardiovaskular

EKG: lead II

Denyut jantung, Aksis jantung

(21)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut:

1. Memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang dianestesi ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya dengan preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl

2. Memperoleh perbandingan stabilitas listrik jantung anjing yang teranestesi dengan metode tetes infus intravena (IV) secara gravimetrik antara ketamin HCl, propofol dan kombinasinya.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut, yaitu:

1. Memberikan informasi mengenai anestetikum yang memberikan kestabilan listrik yang paling baik antara ketamin HCl dan propofol dengan kombinasinya.

2. Memberikan informasi mengenai bahan untuk pemeliharaan status anestesi dengan metode tetes infus IV secara gravimetrik antara ketamin HCl dan propofol dengan kombinasinya

Hipotesis

1. Kombinasi ketamin HCl-propofol memberikan kestabilan listrik jantung yang lebih baik daripada pemberian tunggal ketamin HCl atau propofol saja.

(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Fisioanatomi Jantung

Anatomi jantung terdiri dari empat ruang yaitu atrium kanan dan kiri, serta ventrikel kanan dan kiri yang dipisahkan oleh septum. Jantung dibungkus oleh suatu lapisan jaringan ikat yang disebut perikardium. Darah vena mengalir ke dalam jantung melalui vena cava superior dan inferior kemudian masuk ke dalam atrium kanan, yang tertampung selama fase sistol ventrikel. Ventrikel kanan berbentuk bulan sabit atau setengah bulatan. Secara fungsional ventrikel kanan dapat dibagi dalam alur masuk dan alur keluar. Ruang alur masuk ventrikel kanan (right ventricular inflow tract) dibatasi oleh katup trikuspidalis, trabecular anterior dan dinding inferior ventrikel kanan. Sedangkan alur keluar ventrikel kanan (right ventricular outflow tract) berbentuk tabung atau corong, berdinding licin terletak di bagian superior ventrikel kanan yang disebut infundibulum atau conus arteriosus. Alur masuk dan alur keluar dipisahkan oleh crista supraventrikular yang terletak tepat di atas daun katup trikuspidalis (Guyton dan Hall 2008).

Atrium kiri menerima darah dari empat vena pulmonal yang bermuara pada dinding postero-superior atau postero-lateral, masing-masing sepasang vena kanan dan kiri. Dinding atrium kiri sedikit lebih tebal daripada dinding atrium kanan. Ventrikel kiri berbentuk lonjong seperti telur, dimana bagian ujungnya mengarah ke antero-inferior kiri menjadi apex cordis. Bagian dasar ventrikel tersebut adalah annulus mitral. Tebal dinding ventrikel kiri adalah 2-3 kali lipat dinding ventrikel kanan (Guyton dan Hall 2008; Sherwood 2001).

(23)

Gambar 2 Gambaran penampang jantung anjing (O’Grady dan O’Sullivan 2004)

Syaraf Jantung

(24)

mencetuskan listrik dalam jumlah yang cukup untuk merangsang serabut nodus. Penurunan arus listrik yang sedang hanya akan memperlambat konduksi impuls, namun penurunan yang besar akan menghambat konduksi secara keseluruhan (Guyton dan Hall 2008; Rogers 1999). Mekanisme perangsangan syaraf vagus seperti ditunjukkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Mekanisme perangsangan oleh syaraf vagus (Guyton dan Hall 2008)

Perangsangan syaraf simpatis pada jantung akan menimbulkan pengaruh yang berlawanan dengan pengaruh yang ditimbulkan oleh perangsangan syaraf vagus. Perangsangan syaraf simpatis akan melepaskan hormon norepinefrin yang dapat meningkatkan permeabilitas membran terhadap ion natrium dan kalsium.

Pada nodus sinus, peningkatan permeabilitas natrium-kalsium akan menyebabkan potensial membran istirahat akan menjadi lebih positif dan dapat menyebabkan

(25)

menuju nilai ambang untuk mempercepat self exitation sehingga akan meningkatkan frekuensi denyut jantung. Di dalam NAV dan berkas AV, peningkatan permeabilitas natrium–kalsium akan membuat potensial aksi lebih mudah merangsang serabut berikutnya sehingga akan meningkatkan konduksi impuls. Adanya pengaruh syaraf simpatik, peningkatan permeabilitas ion kalsium dapat menyebabkan peningkatan kontraksi jantung, sebab ion kalsium mempunyai peran yang sangat kuat dalam merangsang proses kontraksi miofibril otot jantung, sehingga dapat bersifat inotropik positif (Guyton dan Hall 2008; Rogers 1999). Mekanisme perangsangan syaraf simpatis pada jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 4.

(26)

Pengaruh perangsangan syaraf vagus dan syaraf simpatis pada jantung juga dapat mempengaruhi cardiac output (curah jantung). Perangsangan syaraf simpatis akan dapat meningkatkan jumlah darah yang dipompa oleh jantung setiap menitnya (curah jantung), karena adanya peningkatan tekanan atrium. Sebaliknya, perangsangan syaraf parasimpatis akan menurunkan nilai curah jantung, bahkan pada titik nol. Selain karena pengaruh denyut jantung, curah jantung diperngaruhi juga oleh stroke volume pada otot jantung. Stroke volume dipengaruhi oleh perangsangan syaraf simpatis, hormon epinefrin pada plasma, dan volume akhir diastolik. Perangsangan syaraf simpatis dan pengaruh hormon epinefrin akan menyebabkan peningkatan stroke volume. Volume akhir diastolik juga berbanding lurus dengan stroke volume. Hubungan volume akhir diastolik dengan stroke volume berlaku hukum Frank-Starling pada jantung, yaitu semakin besar otot jantung direnggangkan selama pengisian, semakin besar kekuatan kontraksi dan semakin besar pula jumlah darah yang dipompa ke dalam aorta (Guyton dan Hall, 2008; Rogers 1999). Mekanisme terjadinya curah jantung digambarkan seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5 Mekanisme terjadinya curah jantung (Guyton dan Hall 2008)

Aktivitas Syaraf Parasimpatis

(Menurun)

Aktivasi Syaraf

Simpatis

Epinefrin

(Meningkat)

Volume Akhir Diastolik

(Meningkat)

Denyut Jantung/ Nodus SA

(Meningkat)

Stroke Volume

(Meningkat)

Cardiac Output

(27)

Elektrofisiologi dan Konduksi Jantung

Setiap sel termasuk sel jantung, dilapisi oleh membran sel yang memisahkan bagian luar dan bagian dalam sel. Adanya membran sel akan memungkinkan terjadinya perpindahan ion yang mempunyai konsentrasi berbeda untuk menjaga keseimbangan pada bagian intraseluler dan ekstraseluler. Perbedaan voltase antara di dalam dan luar sel otot jantung akan menyebabkan terbuka atau menutupnya ion-channel. Jika ion-channel terbuka akan memungkinkan terjadinya perpindahan ion melewati membran sel. Perbedaan konsentrasi antara intraseluler dan ekstraseluler dibentuk dan dijaga oleh adanya pompa sodium, yaitu ion Na+, K+, ATP-ase yang sudah terdapat di dalam sel. Pompa sodium berperan penting dalam menjaga keseimbangan proses bioelektrikal sel-sel pacu jantung (Kusumoto 2009).

Kontraksi otot jantung untuk mendorong darah dicetuskan oleh potensial aksi yang menyebar melalui membran sel otot. Jantung berkontraksi atau berdenyut secara berirama akibat potensial aksi yang ditimbulkan sendiri, suatu sifat yang dikenal dengan otoritmisitas. Terdapat dua jenis sel otot jantung yaitu sebagian besar terdiri atas sel otot jantung kontraktil yang melakukan kerja mekanis, yaitu memompa. Sel-sel pekerja ini dalam keadaan normal tidak menghasilkan sendiri potensial aksi. Sebaliknya, sebagian kecil sel sisanya adalah

sel otoritmik, sel yang tidak berkontraksi namun mengkhususkan diri mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi yang bertanggung jawab terhadap kontraksi sel-sel pekerja (Guyton dan Hall 2008).

(28)

ion Ca2+. Pada fase ke-3, pompa sodium akan berperan optimal untuk mengembalikan keseimbangan muatan ion antara di dalam dan luar sel. Pompa sodium akan mengeluarkan ion Na+ dari sel dan memasukan ion K+ dari luar sel. Pada fase ke-4, membran sel siap untuk menerima perubahan untuk mengulang aksi potensial (Kusumoto 2009; Luna 2007). Fase diagram potensial aksi jantung seperti ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6 Diagram fase potensial aksi (http://www.cvphysiology.com)

Menurut Thaler (2009) dari sudut pandang elektrokardiografi, jantung tersusun atas tiga tipe sel, yaitu 1) sel pacu jantung, 2) sel penghantar listrik, dan 3) sel miokardium.

Sel pacu jantung banyak terdapat di bagian atas atrium kanan yang disebut nodus sinoatrial (NSA). Sel-sel NSA mencetuskan impuls bergantung pada aktivitas syaraf otonom misalnya stimulasi simpatik dari adrenalin akan mempercepat NSA sedangkan syaraf vagus memperlambat serta bergantung pada kebutuhan tubuh akan adanya peningkatan curah jantung.

(29)

intra-atrium di berkas Bachman yang memungkinkan adanya aktivasi yang cepat dari atrium kiri ke atrium kanan.

Sel miokardium adalah sel yang menyusun jaringan jantung. Miokardium bertanggung jawab atas kerja kontraksi dan relaksasi berulang-ulang sehingga dapat mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Sel miokardium banyak mengandung protein kontraktil aktin dan miosin. Adanya depolarisasi menyebabkan kalsium dilepaskan ke dalam sel miokardium yang memungkinkan protein kontraktil aktin dan miosin berinteraksi dan menyebabkan sel berkontraksi. Sel miokardium dapat menghantarkan arus listrik sama seperti sel penghantar listrik tetapi kurang efisien.

Setiap siklus jantung terdiri dari urutan peristiwa listrik dan mekanik yang saling terkait. Gelombang arus listrik tersebar dari NSA melalui sistem penghantar menuju miokardium untuk merangsang kontraksi otot yang dikenal dengan depolarisasi, kemudian diikuti oleh pemulihan listrik kembali yang disebut repolarisasi. Respon mekaniknya adalah sistolik yaitu kontraksi otot dan diastolik yaitu relaksasi otot.

Aktivitas listrik dari sel dicatat secara grafik dengan perantaraan elektroda intrasel mempunyai bentuk yang khas, yang disebut potensial aksi. Aktivitas listrik dari sel miokardium dapat dilihat pada suatu gambaran elektrokardiogram

(EKG). Gelombang-gelombang EKG berkorelasi dengan penyebaran rangsangan listrik melalui sistem penghantar dan miokardium (Kusumoto 2009).

(30)

Gambar 7 Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada otot Jantung (Kusumoto 2009)

Menurut Guyton dan Hall (2008) dan Kusumoto (2009) proses depolarisasi dan repolarisasi dijelaskan sebagai berikut:

1. Proses depolarisasi diperlihatkan sebagai muatan positif di sisi dalam dan muatan negatif di sisi luar. Separuh bagian pertama dari serabut sudah terdepolarisasi, sementara separuh lagi masih dalam keadaan polarisasi. Oleh karena itu, elektroda kiri yang terletak di luar serabut berada pada daerah kenegatifan dan elektroda kanan berada pada daerah kepositifan, seperti pada Gambar 7.2.

2. Pada Gambar 7.3 dan 7.4, digambarkan proses depolarisasi telah menyebar ke

seluruh serabut otot dan rekaman sebelah kanan sudah kembali ke garis dasar nol karena kedua elektroda memiliki kenegatifan yang sama. Gelombang yang telah mengakhiri penjalarannya disebut gelombang depolarisasi, karena gelombang ini timbul dari penyebaran depolarisasi sepanjang membran serabut otot.

3. Pada Gambar 7.5 menunjukkan proses repolarisasi pada separuh bagian yang terjadi di dalam serabut otot yang sama, dengan kepositifan kembali ke sisi luar dari serabut otot. Pada titik ini, elektroda kiri berada pada daerah

1

2

4

3

5

(31)

kenegatifan. Akibatnya, rekaman yang ditunjukkan di sebelah kanan akan menjadi negatif.

4. Pada Gambar 7.6, seluruh serabut otot telah mengalami repolarisasi dan kedua elektroda mengalami kepositifan, sehingga tidak ada perbedaan potensial listrik yang dapat direkam di antara kedua elektroda. Gelombang negatif yang telah mengakhiri penjalaran disebut gelombang repolarisasi, sebab gelombang ini berasal dari penyebaran proses repolarisasi di sepanjang membran serabut otot.

Sistem konduksi jantung menggambarkan arah arus listrik jantung yang akan terekam sebagai hasil sadapan EKG. Sistem konduksi jantung yang berperan dalam EKG antara lain nodus sinoatrial (NSA), nodus atrioventrikular (NAV), berkas His, dan serabut Purkinje. Gambar skematis penyebaran sistem konduksi jantung melalui jaringan khusus seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8 Gambaran skematik penyebaran sistem konduksi jantung (http://faculty.ksu.edu.sa)

Impuls listrik jantung dihasilkan oleh NSA, yang disebut juga Pacemaker. NSA terletak di batas atrium kanan dan vena cava superior. Sel-sel NSA bekerja secara otomatis dan teratur mengeluarkan impuls listrik yang kemudian menjalar ke atrium menuju NAV yang terletak di sekat internodus bagian sebelah kanan di

(32)

atas katup trikuspidalis, sehingga menyebabkan terjadinya depolarisasi atrium. Proses penyebaran pacuan jantung dalam miokardium atrium berlangsung dari sel yang satu ke sel yang lainnya, berkat adanya syncitial myocardium (Kusumoto 2009).

Elektrokardiografi

Alat elektrokardiograf ditemukan pertama kali oleh Willem Einthoven pada abad ke-19 dan penemuan tersebut telah mengantarkannya mendapatkan hadiah Nobel pada bidang fisiologi dan kedokteran pada tahun 1924. Elektrokardiograf digunakan untuk melihat rekaman EKG dan denyut jantung (Cunningham 2002).

Untuk mendapatkan gambaran EKG, dipasang dua elektroda di sekitar letak jantung. Satu elektroda dihubungkan pada kutub positif alat EKG dan dinamakan elektroda positif, sedangkan elektroda lainnya dipasang pada kutub negatif dan dinamakan elektroda negatif. Selain itu masih diperlukan satu elektroda lagi untuk menghubungkan pasien melalui elektrokardiograf dengan tanah. Elektroda ini dinamakan elektroda G (Grounding). Pasangan elektroda dalam perekaman EKG dinamakan sadapan atau hantaran atau disebut juga lead (Kertohoesodo 1987).

Sadapan EKG standar pada hewan biasanya menggunakan sadapan ekstremitas, yang terdiri dari enam sadapan. Enam sadapan standar direkam dari elektroda yang dipasang pada ekstremitas. Enam sadapan ekstremitas terdiri dari tiga buah sadapan bipolar standar, yaitu sadapan I, II, dan III, serta tiga buah sadapan lengan sebagai sadapan tambahan, yaitu aVR, aVL, dan aVF (Hampton 2003; Thaler 2009).

Sadapan ekstremitas memandang jantung dalam sebuah bidang vertikal yang disebut bidang frontal. Bidang frontal dapat dibayangkan sebagai satu lingkaran yang berhimpitan dengan tubuh hewan. Lingkaran ini kemudian ditandai dengan derajat-derajat sudut orientasi yang dikenal sebagai vektor-vektor EKG. Skema dari vektor EKG diilustrasikan seperti pada Gambar 9 (O’Grady dan

(33)

Gambar 9 Ilustrasi diagram bidang frontal pada potongan melintang jantung ditandai dengan sudut orientasi (O’Grady dan O’Sullivan 2004)

Hasil sadapan yang diperoleh dapat menggambarkan permukaan jantung secara anatomik. Sadapan II, III, dan aVF dapat memandang permukaan inferior jantung, karena sadapan ini dapat menggambarkan hampir keseluruhan jantung, sehingga disebut juga sadapan inferior. Sadapan I dan aVL mempunyai pandangan paling jelas terhadap dinding lateral kiri jantung, sehingga disebut juga sadapan lateral kiri. Secara klinis standar sadapan yang dipergunakan adalah sadapan II (Thaler 2009).

Untuk menghasilkan enam sadapan bidang frontal, setiap elektroda secara

bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif. Setiap sadapan mempunyai sudut orientasi, yakni sudut pandangnya sendiri yang khas terhadap jantung.

(34)

Gambar 10 Ilustrasi sudut orientasi pada enam sadapan ekstremitas yang bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif (Martin 2007)

Dari Gambar 9 dan 10, hasil sadapan ekstremitas standar dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1. Sadapan I dihasilkan dengan cara menjadikan kaki depan kiri sebagai kutub

positif dan kaki depan kanan sebagai kutub negatif, sehingga sudut orientasinya adalah 0o.

2. Sadapan II dihasilkan dengan cara menjadikan kaki belakang sebagai kutub positif dan kaki depan kanan sebagai kutub negatif, sehingga menghasilkan sudut orientasi 60o.

3. Sadapan III dihasilkan dengan cara menjadikan kaki belakang sebagai kutub positif dan kaki depan kiri sebagai kutub negatif, sehingga menghasilkan sudut orientasi 120o (Martin 2007; Thaler 2009).

Sadapan ekstremitas unipolar (sadapan tambahan) merupakan rekaman perbedaan potensial listrik antara kaki depan kanan (aVR), kaki depan kiri (aVL), atau kaki-kaki belakang (aVF) terhadap indifferent electrode yang berpotensial 0 (nol). Sadapan tambahan dapat dihasilkan sebagai berikut:

(35)

2. Sadapan aVR dihasilkan dengan cara menjadikan kaki depan kanan sebagai kutub positif dan kaki belakang sebagai kutub negatif, sehingga akan dihasilkan sudut orientasi -150o.

3. Sadapan aVF dihasilkan dengan cara menjadikan salah satu kaki belakang sebagai kutub positif dan kaki belakang lainnya sebagai kutub negatif, sehingga dihasilkan sudut orientasi 90o (Martin 2007; Thaler 2009).

Untuk mendapatkan rekaman EKG secara tepat dan baik dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti posisi hewan, pengendalian (restrain), dan lokasi penempatan sadapan pada tubuh hewan (Colleman dan Robson 2005). Posisi hewan dan lokasi penempatan sadapan pada tubuh hewan sebaiknya memenuhi standar EKG yang tepat pada waktu melakukan perekaman EKG. Pada hewan anjing, posisi standar perekaman EKG adalah right lateral recumbency dengan kaki depan dan kaki belakang dipegang sehingga tegak lurus dengan tubuh. Elektroda yang digunakan adalah elektroda bipolar (Cunningham 2002; Edwards 1993).

Hasil sadapan EKG digambarkan di atas pita kertas berlapis plastik putih dan bergaris halus serta terbagi dalam kotak seluas 1 mm2. Kotak tersebut dikelompokkan dalam kotak tebal seluas 5 x 5 mm. pada waktu dilakukan perekaman EKG, pita kertas dijalankan dengan kecepatan 25 mm tiap detik atau

50 mm tiap detik. Pita kertas rekaman EKG seperti ditunjukkan pada Gambar 11.

Keterangan: P amp = amplitude gelombang P; P dur = durasi gelombang P; PR int = interval PR; R amp = amplitude gelombang R; QRS dur = durasi gelombang kompleks QRS; QT int = interval QT; T amp = amplitude gelombang T

Gambar 11 Kertas rekam EKG beserta gambaran EKG normal (O’Grady dan

(36)

Dalam EKG garis lurus merupakan garis isoelektris karena menandakan seluruh permukaan miokardium memiliki potensial listrik yang sama, yaitu dengan selisih 0 mV. Belokan dari garis isoelektris disebut dengan defleksi. Jika defleksi mengarah ke atas dinamakan defleksi positif, sedangkan jika mengarah ke bawah dinamakan defleksi negatif. Arah defleksi ke atas atau ke bawah tergantung pada letak elektroda yang digunakan terhadap arah penyebaran potensial listrik pada miokardium (Swenson 1984; Kertohoesodo 1987).

Pada saat terjadi depolarisasi atrium akan terjadi perubahan arus listrik jantung. Perubahan yang terjadi akan menimbulkan adanya defleksi. Defleksi yang dihasilkan pada proses ini digambarkan pada kertas EKG sebagai defleksi P (Thaler 2009). Selama impuls listrik menjalar menuju NAV maupun berkas His, pada EKG tergambar garis isoelektris karena potensial listrik pada permukaan atrium maupun ventrikel tetap sama. Defleksi mulai tergambar lagi setelah pacuan jantung sampai pada sekat interventrikular melalui berkas His atau fasikulus septal dan mendepolarisasi sekat interventrikular sehingga menimbulkan defleksi Q. Sel-sel NAV sendiri juga dapat mengeluarkan impuls listrik dengan frekuensi lebih rendah daripada NSA, sehingga pada hasil sadapan EKG impuls listrik dari NAV tertutup oleh impuls listrik dari NSA. Bila NSA mengalami gangguan, maka impuls listrik akan dikeluarkan oleh NAV(Kertohoesodo 1987 dan Thaler 2009).

Pacuan jantung menjalar ke seluruh miokardium dinding ventrikel kanan maupun kiri melalui dua jalan, yaitu melalui NAV ke berkas His kanan dan kiri dan secara cepat disebarkan ke seluruh miokardium melalui serat serabut Purkinje. Sel-sel ventrikel lainnya diaktifkan melalui penyebaran impuls dari sel ke sel melalui gap junction. Dengan demikian, atrium berkontraksi sebagai satu kesatuan, kemudian diikuti oleh kontraksi ventrikel serta melalui sel-sel miokardium satu ke sel miokardium lainnya walaupun tidak begitu cepat, misalnya pada dinding atrium (Kertohoesodo 1987).

(37)

yang lebih kompleks daripada defleksi P. Pada akhir defleksi P dan awal kompleks QRS terdapat garis lurus yang dinamakan segmen PQ. Namun kadang defleksi Q tidak terlihat sehingga segmen PQ sering disebut dengan segmen PR. Segmen PQ menunjukkan selang waktu antara depolarisasi atrium dan ventrikel, sedangkan interval PR menunjukkan waktu yang diperlukan jantung dalam melakukan depolarisasi atrium sampai sebelum terjadinya depolarisasi ventrikel (Thaler 2009).

Segmen merupakan garis yang menghubungkan antara gelombang satu dengan gelombang sesudahnya. Interval menunjukkan panjang gelombang beserta garis isoelektris sesudah gelombang tersebut. Dengan demikian, segmen hanya berupa garis, sedangkan interval terdiri dari gelombang dan garis yang mengikutinya.

Pada akhir segmen PQ atau awal kompleks QRS terjadi repolarisasi atrium yang telah menyelesaikan sistol. Defleksi yang ditimbulkan oleh repolarisasi atrium tersebut biasanya tidak tampak kerena terlampau datar atau terbenam pada kompleks QRS yang terjadi pada waktu yang sama (Kertohoesodo 1987).

Thaler (2009) mengungkapkan penamaan standar pada kompleks QRS, yaitu:

1. Jika defleksi pertama ke bawah, gelombang ini disebut gelombang Q

2. Defleksi ke atas yang pertama disebut gelombang R.

3. Bila terdapat defleksi ke atas kedua, maka gelombang ini disebut sebagai

gelombang R’ (R-pelengkap atau R-prime).

4. Defleksi ke bawah pertama yang mengikuti defleksi ke atas disebut gelombang S.

(38)

Setelah defleksi T berakhir, biasanya tergambar suatu garis isoelektris yang menggambarkan jantung dalam keadaan istirahat atau diastase, dengan kondisi seluruh miokardium terpolarisasi. Keadaan ini merupakan keadaan saat sel jantung tidak dapat stimulasi syaraf. Kadang terjadi defleksi kecil pada awal garis isoelektris yang dinamakan defleksi U. Defleksi U menunjukkan repolarisasi yang terlambat pada serabut Purkinje di ventrikel jantung (Edwards 1993; Kusumoto 2009).

Hasil sadapan EKG yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan sadapan EKG normal. Kisaran sadapan EKG normal pada anjing seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kisaran sadapan elektrokardiogram (EKG) normal pada anjing

Parameter Kisaran Normal pada Anjing

Nelson Tilley

Denyut jantung 70 – 160 kali permenit 70 – 160 kali permenit

Gelombang P (maksimum) 0,4 mV 0,4 mV

Interval PR 0,06 – 0,13 detik 0,06 – 0,13 detik

Interval QRS 0,04 – 0,05 detik Maksimum 0,05 detik

Gelombang R (maksimum) 3 mV 3 mV

Segmen ST 0,2 mV Maksimum 0,2 mV

Gelombang T Tidak lebih dari 1/3 R Tidak lebih dari ¼ R (positif, negatif, bifasik) Interval QT 0,15 – 0,25 detik 0,15 – 0,25 detik

Aksis jantung 40o– 100o 40o– 100o

Sumber: Nelson 2003 dan Tilley et al. 2008

Aksis Jantung

(39)

harus terletak kira-kira tegak lurus terhadap aksis aliran listrik (Martin 2007; Thaler 2009). Letak aksis jantung normal anjing seperti pada Gambar 12.

Gambar 12 Letak skematis aksis jantung anjing (warna hijau) (O’Grady dan

O’Sullivan 2004)

Untuk memperoleh nilai aksis jantung pada bidang frontal, ada beberapa metode yang umum dipergunakan, diantaranya dengan metode vektor dan metode defleksi tertinggi dari sadapan (O’Grady dan O’Sullivan 2004; Thaler 2009; Widjaja 1990).

1. Metode vektor, yaitu menggunakan hasil dari sadapan I, II, III dan diagram bidang frontal. Dengan melakukan perhitungan dari arah defleksi gelombang QRS pada setiap dua sadapan, dimana gelombang P dan T tidak termasuk

(40)

2. Metode defleksi tertinggi, dapat diperkirakan dengan cepat dari hasil sadapan I dan aVF. Hasil perkiraan aksis jantung dengan metode defleksi tertinggi seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Metode penentuan aksis jantung dengan metode defleksi tertinggi

Aksis Sadapan I Sadapan aVF

Aksis normal Positif Positif

Deviasi aksis ke kiri Positif Negatif

Deviasi aksis ke kanan Negatif Positif

Deviasi aksis ekstrim ke kanan Negatif Negatif

Sumber: Thaler 2009

Xylazin HCl

Xylazin HCl merupakan golongan alpha2-adrenoceptor stimulant yang memiliki potensi sebagai sedativa, pelemas otot, dan analgesia. Xylazin HCl bekerja sebagai penghambat pelepasan norepineprin dan insulin. Efek agonis xylazine HCl pada reseptor alpha terletak di jantung dengan menekan sistem kardiovaskular (Seymour dan Novakovski 2007).

Xylazin HCl menyebabkan tertekannya sistem syaraf pusat memberikan efek sedasi, analgesia, dan pada akhirnya ketidaksadaran karena teranestesi. Xylazin HCl menyebabkan relaksasi otot melalui penghambatan transmisi impuls intraneural pada sistem syaraf pusat dan dapat menyebabkan muntah. Xylazin HCl juga dapat menekan termoregulator (Adams 2001).

Xylazin HCl sebagai agen sedativa sering biasa digunakan pada hewan anjing, kucing, serta kuda untuk handling dan bedah minor. Xylazin HCl sering juga digunakan sebagai agen preanestesi. Kelemahan xylazine HCl adalah efek analgesia yang tidak dapat diukur, mengakibatkan bradikardia jantung, hipotensi, hipoventilasi, aritmia, menghasilkan efek seperti tertidur, dan khusus pada anjing serta kucing dapat disertai dengan efek muntah (Dart 1999).

(41)

maupun SC sekitar 10–15 menit, dan secara IV memiliki onset yang lebih cepat yaitu 2–5 menit. Xylazin HCl menimbulkan efek analgesik yang relatif sebentar yaitu 15–30 menit, namun memiliki efek sedativa yang cukup lama yaitu sekitar 1–2 jam tergantung pada jumlah dosis yang diberikan. Dosis yang diberikan pada anjing secara IM atau SC adalah 1,1–2,2 mg/kg berat badan (BB), sedangkan jika pemberiannya dengan IV dosis anjurannya adalah 1,1 mg/kgBB. Hewan pulih dari pengaruh Xylazin HCl sekitar 2–4 jam setelah pemberian (Plumb 2005).

Atropin Sulfat

Atropin sulfat adalah preparat antimuskarinik yang merupakan agen parasimpatolitik dan antikolinergik, dapat menyebabkan penghambatan asetilkolin pada sistem syaraf vagus yang berakibat terhalangnya arus listrik dari NSA ke NAV. Terhalangnya impuls listrik ini sering disebut sebagai AV-block. Atropin sulfat seolah-olah dapat menyebabkan AV-block derajat pertama sampai dengan derajat kedua. Gambaran AV-block derajat pertama ditandai dengan pemanjangan interval PR.

Atropin sulfat adalah obat yang paling umum digunakan sebagai antimuskarinik pada pencegahan bradikardia karena dapat menyebabkan penurunan tonus nervus vagus. Pada jantung berakibat pada peningkatan

kronotropik (kronotropik positif) dan dromotopik (dromotropik positif) dengan sedikit atau tidak sama sekali terjadinya peningkatan efek inotropik. Penggunaan atropin sulfat pada anjing adalah sebagai preanestetikum dengan dosis 0,02–0,04 mg/kgBB IM atau SC (Plumb, 2005). Atropin sulfat digunakan untuk mengurangi salivasi, sekresi bronkial, dan mencegah muntah karena pemberian xylazin HCl. Kejadian aritmia jantung dan takikardia akibat pemberian atropin sulfat pernah dilaporkan pada anjing (Lumb dan Jones 1996).

Ketamin HCl

(42)

merupakan analgesik yang kuat dan reaksi anestesinya tidak menyebabkan mengantuk (Kul et al. 2001).

Ketamin HCl memperpanjang kerja Gamma Amino Butyric Acid (GABA) yang merupakan zat penghambat neurotransmiter di otak dengan cara menghambat pengikatannya pada ujung syaraf (Cullen 1997). Reseptor GABA dapat merubah permeabilitas ion Cl- dan menyebabkan pelepasan norepineprin pada syaraf simpatis. Pelepasan GABA pada medula spinalis dapat menyebabkan depolarisasi (Adams 2001). Selain menghambat kerja GABA, ketamin HCl juga dapat menghambat pelepasan serotonin, norepineprin, dan dopamin pada sistem syaraf pusat (Plumb 2005).

Kerja ketamin HCl dapat menyebabkan gangguan fungsi pada beberapa tempat di otak karena tertekannya thalamus dan korteks serebral. Pengaruh yang bisa ditimbulkan akibat pemberian ketamin HCl berupa dilatasi pupil, hipertensi arterial, halusinasi, salivasi, gerakan tungkai spontan, dan peningkatan tonus otot. Pada masa pemulihan dapat menimbulkan agitasi (gelisah, menangis, disorientasi, dan halusinasi) yang disebut sebagai emergence phenomenom (Gunawan 2009).

Ketamin HCl memberikan efek secara langsung dapat menstimulasi pusat adrenergik dan secara tidak langsung menghambat pengambilan norepineprin. Pada sistem kardiovaskular, ketamin HCl dapat menyebabkan peningkatan cardiac output, denyut jantung, dan tekanan darah (Adams 2001). Ketamin HCl dapat mengubah aktivitas listrik jantung dengan memperpanjang interval PR dan QT, tetapi tidak mempengaruhi bentuk gelombang EKG. Pemberian ketamin HCl dapat meningkatkan denyut jantung (takhikardia) (Karib dan Kabo 2002; McKelvey dan Hollingshead 2003).

(43)

Propofol

Propofol merupakan derivat fenol yang digunakan sebagai anestesikum IV, dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan pada anestesi umum. Mekanisme kerja propofol berlangsung di reseptor GABA. Propofol dapat menghilangkan kesadaran dan pelemas otot yang baik, serta dapat menyebabkan hipotensi arterial, bradikardia, dan depresi respirasi terutama jika diberikan pada dosis yang tinggi. Propofol juga menyebabkan terjadinya vasodilatasi vena dan arteri sehingga dapat menyebabkan penurunan tekanan darah dan relaksasi pembuluh darah (Miler 2010; Stawicki 2007).

Eliminasi propofol terjadi pada hati menjadi suatu metabolit tidak aktif. Waktu paruh propofol diperkirakan antara 2–24 jam, namun dalam kenyataannya lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi. Waktu paruh pemberian pada anjing adalah 1,4 jam. Pada sistem kardiovaskular dapat menyebabkan depresi jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali yang disertai dengan peningkatan denyut nadi, namun pengaruh terhadap frekuensi denyut jantung sangat minim (McKelvey dan Hollingshead 2003; Plumb 2005).

Pemberian anestesi pada anjing dengan kombinasi propofol (4 mg/kg) dengan ketamin HCl (2 mg/kg) secara IV yang dilanjutkan dengan infusi IV

(44)

MATERI DAN METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Bagian Bedah dan Radiologi Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi, Bagian Fisiologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi IPB, dan Rumah Sakit Hewan Pendidikan Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga, Bogor. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 11 bulan, dari bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2010.

Materi Penelitian

Anjing yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 24 ekor dengan kisaran umur sama (20±2 bulan), berjenis kelamin jantan, dan dengan berat rata-rata 10±2 kilogram (kg). Anjing yang dipergunakan adalah anjing lokal yang diperoleh di sekitar kampus IPB Darmaga, Bogor. Anjing dikandangkan sebagai proses adaptasi. Selama proses adaptasi anjing diberikan pakan dog food serta dilakukan pemeriksaan kesehatan secara klinis dan anjing dilatih dalam hal handling dan adaptasi terhadap ruangan tempat pengambilan data. Pemeriksaan fisik meliputi signalemen, respirasi, kardiovaskuler, status dehidrasi, refleks-refleks (refleks-refleks pedal dan palpebral). Hewan (anjing) yang digunakan untuk perlakuan anestesi adalah anjing yang memiliki klasifikasi status klas I (Lampiran I), yang mengacu pada American Society of Anaesthesiologist (ASA). Dalam proses adaptasi, semua anjing dibebaskan dari parasit eksterna dan interna dengan pemberian obat cacing dan antiektoparasit (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003).

(45)

HCl secara IM, diinduksi anestesi menggunakan kombinasi ketamin HCl-propofol secara IV, dan pemeliharaan anestesi yang pemberiannya dengan tetes infus IV secara gravimetrik dengan ketamin HCl, propofol, dan kombinasinya.

Pada penelitian pertama, 18 ekor anjing dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan yaitu kelompok I, II, dan III. Masing-masing kelompok terdiri atas enam ekor anjing sebagai ulangan pada tiap perlakuan. Metode penelitian pertama untuk kelompok perlakuan preanestesi dan induksi anestesi pada anjing dibagi menjadi:

1. Kelompok I, yaitu perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kg berat badan (BB))–xylazin HCl (2 mg/kgBB), disuntikkan secara intramuskular (IM) dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara intravena (IV) dengan ketamin HCl (4 mg/kgBB).

2. Kelompok II, yaitu perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB)–xylazin HCl (2 mg/kgBB), disuntikkan secara IM dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara IV dengan propofol (4 mg/kgBB).

3. Kelompok III, yaitu perlakuan preanestesi dengan kombinasi atropin sulfat (0,03 mg/kgBB–xylazin HCl (2 mg/kgBB), disuntikkan secara IM dan 10 menit kemudian dilakukan induksi anestesi secara IV dengan ketamin HCl (4

mg/kg BB)–propofol (4 mg/kgBB).

Pada metode penelitian kedua, 18 ekor anjing dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok I, II, dan III. Masing-masing kelompok terdiri dari enam ekor anjing sebagai ulangan tiap perlakuan. Masing-masing anjing diberikan perlakuan preanestesi dengan kombinasi atopin sulfat (0,03 mg/kgBB)–xylazin HCl (2 mg/kgBB) secara IM dan dianestesi dengan kombinasi ketamin HCl (4 mg/kgBB) – propofol (4 mg/kgBB) secara IV. Kemudian dilakukan pemeliharaan anestesi dengan tetes infus secara gravimetrik berdasarkan pembagian kelompok sebagai berikut:

(46)

2. Kelompok II, yaitu perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infus IV gravimetrik dengan campuran ketamin HCl–propofol (0,4 mg/kg BB/menit). 3. Kelompok III, yaitu perlakuan pemeliharaan anestesi secara tetes infus IV

gravimetrik dengan propofol (0,4 mg/kg BB/menit).

Parameter Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk pengambilan EKG pada sadapan II, denyut jantung, dan aksis jantung anjing yang teranestesi. Sebelum dilakukan perlakuan terlebih dahulu diambil data EKG awal (menit ke-0). Selanjutnya dilakukan pengukuran EKG setiap 10 menit (dihitung dari penyuntikan induksi anestetikum) selama 140 menit.

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah gambaran EKG sadapan II, yaitu amplitudo gelombang P (mV), amplitudo gelombang R (mV), amplitudo gelombang T (mV), interval gelombang PQ (detik), interval gelombang QRS (detik), interval gelombang QT (detik), denyut jantung (beep per minute (bpm)), dan aksis jantung (derajat).

Alat dan Bahan

Perekaman EKG dilakukan dengan menggunakan seperangkat alat

elektrokardiograf model Fukuda M.E. Cardisuny D300, tipe BX, yang mempunyai 4 buah elektroda. Alkohol dan gel digunakan sebagai penghantar listrik dari tubuh anjing ke elektroda. Meja operasi dilapisi dengan lapisan karet untuk mencegah kontak langsung antara anjing dengan meja operasi yang terbuat dari logam. Alat lain yang diperlukan adalah spuit 3 ml dan 1 ml, yang dipergunakan untuk pemberian preparat anestesi secara parenteral. Sebagai bahan anestesi disediakan preparat atropin sulfat, xylazin HCl, ketamin HCl, propofol dan infus NaCl fisiologis lengkap dengan infus set.

Pengambilan Sadapan EKG

(47)

elektroda. Sebelum elektroda dipasang, terlebih dahulu dimasukkan data-data anjing yaitu nomor urut, nama anjing, ras, umur, berat tubuh, jenis kelamin, posisi anjing pada saat sadapan EKG, dan pengaturan rekaman. Pemasangan elektroda dilakukan dengan cara menjepitkan klip elektroda sesuai dengan letak elektroda berdasarkan warna kabel. Kabel merah dipasang pada daerah siku kaki kanan depan, kabel kuning dipasang pada daerah siku kaki kiri depan, kabel hijau dipasang pada daerah lutut kaki belakang kiri, dan kabel hitam dipasang pada daerah lutut kaki belakang kanan. Tempat pemasangan klip dibasahi dengan alkohol dan dapat ditambahkan dengan gel. Posisi standar sadapan EKG anjing adalah posisi berbaring kanan (right lateral recumbency) (Coleman dan Robson 2005; Edwards 1993; Martin 2007).

Setelah keempat elektroda terpasang, sadapan EKG dilakukan dengan

menekan tombol “A” pada monitor EKG. Kemudian dilakukan pengaturan

kecepatan kertas. Standar kecepatan kertas yang dipergunakan pada penelitian ini adalah 50 mm/s. Sadapan EKG dilakukan setiap 10 menit dengan cara menekan

tombol “START”.

Protokol Pengukuran EKG

Pemeriksaan parameter dilakukan sebelum perlakuan (menit ke-0), pada

menit ke-10, 20, 30, dan seterusnya sampai menit ke-140 yang dihitung dari penyuntikan anestetikum pertama sampai anjing sadar. Anjing dinyatakan teranestesi apabila telah memenuhi minimal 3 syarat yaitu analgesia, sedasia, dan relaksasi. Anjing dinyatakan sadar ditandai dengan adanya gerakan, adanya suara, rasa sakit, munculnya respon (kelopak mata, pupil, pedal, telinga, dan ekor), dan anjing akan berusaha untuk berdiri.

Rancangan dan Intepretasi Hasil Penelitian

(48)
(49)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan Fisik

Keseluruhan anjing yang dipergunakan pada penelitian diperiksa secara klinis dan dinyatakan sehat sesuai dengan klasifikasi status klas I yang telah ditetapkan oleh American Society of Anaesthesiologist (ASA), yaitu anjing yang sehat dan bebas dari penyakit seperti parasit interna maupun eksterna (Lumb dan Jones 1996; Muir et al. 2000; McKelvey dan Hollingshead 2003). Pemeriksaan respirasi, kardiovaskuler, status dehidrasi, dan refleks-refleks secara keseluruhan menunjukkan hasil yang baik dan 18 ekor anjing layak dipergunakan untuk perlakuan penelitian. Hasil pemeriksaan rata-rata 18 ekor anjing yang dipergunakan pada penelitian seperti ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Hasil Pemeriksaan 18 ekor Anjing yang Dipergunakan untuk Penelitian

Parameter Pemeriksaan Rata-rata Hasil Pemeriksaan

(18 ekor anjing)

Berat badan 10 ± 1 kg

Umur anjing 19 ± 2 bulan

Denyut jantung 105± 9 kali/menit

Respirasi 20 ± 4 kali/menit

Suhu tubuh 38,4 ± 0,4 0C

Turgor kulit Baik

Refleks-refleks Baik

Pemberian Preanestesi dan Induksi Anestesi

Penelitian tahap pertama dilakukan untuk melihat gambaran

(50)
(51)

Tabel 4

Parameter Perlakuan Waktu Pengamatan (menit)

(52)

Amplitudo Gelombang P

Gelombang P merupakan gambaran perubahan arus listrik jantung pada saat terjadi depolarisasi atrium. Rangsangan normal untuk depolarisasi atrium berasal dari nodus sinus. Besarnya arus listrik yang berhubungan dengan eksitasi nodus sinus terlalu kecil untuk dapat terlihat pada EKG. Gelombang P dalam keadaan normal berbentuk melengkung dan arahnya ke atas pada kebanyakan hantaran. Nilai normal amplitudo gelombang P pada anjing adalah maksimum 0,4 mV (Nelson 2003; Tilley et al. 2008). Gambaran hasil pengamatan seperti ditunjukkan pada Gambar 13.

Gambar 13

Pada kelompok I, setelah pemberian preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl terjadi penurunan amplitudo P dari 0,16±0,02 mV ke 0,14±0,03 mV, begitu pula pada kelompok II dari 0,14±0,04 mV ke 0,12±0,04 mV, dan pada kelompok III dari 0,08±0,02 mV ke 0,06±0,04 mV. Secara umum penurunan amplitudo pada 10 menit pertama relatif sama yaitu 0,02 mV. Penurunan masih berlanjut setelah pemberian anestesi pada menit ke-10. Pada kelompok I turun sampai 0,12±0,02 mV, pada kelompok II sampai 0,10±0,03 mV, dan kelompok III sampai 0,04±0,05 mV pada menit ke-20. Penurunan gelombang P pada preanestesi berlangsung

0

Kelompok I Kelompok II Kelompok III

(53)

selama 20 menit pertama dengan pola dan kekuatan yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa preanestesi atropin sulfat-xylazin HCl memberikan pengaruh terhadap depolarisasi atrium. Xylazin HCl yang merupakan golongan alpha-2 adrenergic receptor agonist bekerja melalui mekanisme penghambatan tonus syaraf simpatik yang dapat menyebabkan relaksasi otot, konduksi impuls dan denyut jantung, relaksasi saluran cerna, dan sedasi. Pemberian xylazin HCl seolah-olah dapat menyebabkan terjadinya penghambatan konduksi listrik pada atrioventrikular (AV block). Terjadinya AV block dapat menyebabkan keterlambatan penyebaran konduksi listrik di atrium (Avdosko et al. 2010). Pemberian atropin sulfat yang merupakan antimuskarinik, digunakan untuk mengurangi sekresi bronkial serta mencegah kejadian aritmia terutama bradikardia karena prosedur anestesi. Pemakaian atropin sulfat dosis tinggi dapat mengakibatkan peningkatan frekuensi jantung. Atropin sulfat dapat mencegah terjadinya penghambatan konduksi listrik di atrium (Conti-Patara et al. 2009;

O’Grady dan O’Sullivan 2004).

Perubahan gelombang P tiap tahap anestesi terlihat setelah menit ke-20. Pada kelompok I, setelah pemberian anestesi ketamin HCl terjadi kenaikan menjadi 0,15±0,04 mV pada menit ke-30 dengan kenaikan tertinggi terjadi pada menit ke-60 sampai dengan menit ke-80 sebesar 0,19±0,05 mV, 0,19±0,02 mV,

dan 0,19±0,03 mV. Rata-rata peningkatan pada kelompok I adalah sebesar 0,07 mV dan pada menit ke-90 amplitudo gelombang P kelompok I sebesar 0,16±0,04 mV. Pada kelompok II, setelah pemberian anestesi ketamin HCl mengalami peningkatan menjadi 0,12±0,05 mV menit ke-30 dengan kenaikan tertinggi pada menit ke-70 sebesar δ 0,04 mV (0,14±0,02 mV) dan pada saat anjing siuman sebesar 0,11±0.05 mV. Pada kelompok III, setelah pemberian anestesi terjadi kenaikan yang tajam pada menit ke-30 sebesar 0,06 mV (0,10±0,03 mV) dengan kenaikan tertinggi pada menit ke-50 sebesar 0,09 mV(0,15±0,03 mV), kemudian terjadi penurunan sampai dengan anjing siuman pada menit ke-90 sebesar 0,09±0,03 mV (0,05 mV).

(54)

perangsangan pada syaraf vagus (Adams 2001). Perangsangan syaraf simpatik dan penghambatan pada syaraf vagus dapat mengakibatkan peningkatan denyut jantung (kronotropik positif), peningkatan konduksi impuls (dromotropik positif), dan peningkatan kontraksi otot jantung (inotropik positif). Pemberian anestesi propofol memberikan sedikit pengaruh terhadap kenaikan amplitudo gelombang P. Pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol perlu diwaspadai pengaruhnya terhadap kenaikan gelombang P yang tajam dibandingkan pemberian anestesi ketamin HCl maupun propofol segera setelah menit ke-20 terlampaui. Perbedaan potensial aksi pada syaraf akibat pengaruh pemberian anestesi kombinasi ketamin HCl-propofol seolah-olah mengakibatkan terjadinya AV block menyebabkan terkumpulnya impuls listrik dan akan segera mencetuskan impuls listrik cukup besar yang akan menyebar ke seluruh dinding atrium. Kekuatan impuls listrik atrium yang berasal dari nodus sinoatrial (NSA) lebih besar dibandingkan pengaruh anestesi yang diberikan, setelah menit ke-30 terlampaui. Ini berarti bahwa stabilitas EKG pada ketiga kelompok dapat terlihat setelah pemberian anestesi baik dengan ketamin HCl, propofol, maupun kombinasinya.

Amplitudo Gelombang R

Amplitudo gelombang R menunjukkan kekuatan listrik saat terjadi

Gambar

Gambar 7 Gambaran skematik terjadinya depolarisasi dan repolarisasi pada otot       Jantung (Kusumoto 2009)
Gambar 8 Gambaran  skematik    penyebaran    sistem   konduksi    jantung     (http://faculty.ksu.edu.sa)
Gambar 9 Ilustrasi  diagram  bidang   frontal   pada   potongan  melintang  jantung      ditandai dengan sudut orientasi (O’Grady dan O’Sullivan 2004)
Gambar 10 Ilustrasi   sudut   orientasi   pada  enam  sadapan  ekstremitas    yang        bergantian berperan sebagai kutub positif atau negatif (Martin 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Misalkan titik A( x,y ) diskalakan terhadap titik P( a,b ) dengan faktor skala sebesar Sx searah sumbu X dan sebesar Sy searah sumbu Y, maka titik hasil penskalaan

Alhamdulillahi robbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang

195812311987021003 GUSTI NGURAH MANTRA Pegawai ini tidak memiliki NPWP, akan dikenakan tarif 20 % Lebih Tinggi dan mengurangi jumlah bersih gaji..

Faktor Mesin adalah yang berupa Profil Roll Weld sudah aus atau kondisi Part/bagian Mesin yang mendukung proses pengelasan tidak dalam kondisi yang baik atau mengalami

Dalam penelitian ini, yang menjadi peubah bebas adalah iringan musik dalam penyelesaian soal matematika (X), sedangkan yang menjadi peubah ter- ikatnya

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkahnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan tugas Akhir yang berjudul “Strategi Perbaikan

Gambar A menunjukkan bronkus normal, dengan silia yang masih utuh, tampak seperti bulu sikat pada puncak sel epitel torak (panah biru). Sedangkan gambar B, pada puncak sel-sel

Drainase Bawah Permukaan tanah adalah sistim drainase yang di alirkan dibawah tanah ( tanam ) biasanya karena sisi artistik atau pada suatu area yang tidak memungkinkan