PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (
Bombyx mori
L) BS-09
SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS
DAUN MURBEI BERBEDA
YUNINDA ESTETIKA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Produktivitas ulat sutera (Bombyx mori L) BS-09 Soppeng dan Candiroto dengan jenis daun murbei berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
YUNINDA ESTETIKA. Produktivitas Ulat Sutera (Bombyx mori L) BS-09 Soppeng dan Candiroto dengan Jenis Daun Murbei Berbeda. Dibimbing oleh YUNI CAHYA ENDRAWATI dan HOTNIDA CH SIREGAR.
Ulat sutera termasuk Ordo Lepidoptera yang selama hidupnya mengalami siklus metamorfosis sempurna. Pusat pembibitan ulat sutera di Indonesia berada di 2 tempat, yaitu Soppeng (Sulawesi Selatan) dan Candiroto (Jawa Tengah), yang menghasilkan ras hibrida BS-09. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi produktivitas ulat sutera yang berasal dari 2 tempat pembibitan berbeda dengan pemberian jenis pakan murbei yang berbeda pula pada lingkungan pemeliharaan dengan ketinggian kurang dari 300 m dpl. Bahan yang digunakan adalah Bombyx mori L ras BS-09 yang terdiri dari 1 200 ekor ulat Soppeng dan 1 200 ekor ulat Candiroto, jenis daun murbei Morus multicaulis dan M. cathayana. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial 2x2.
Data dianalisis menggunakan analisis varian (ANOVA), dilanjutkan dengan uji Tukey. Sumber bibit yang berasal dari Soppeng dengan kombinasi pemberian pakan daun murbei jenis M. multicaulis memberikan hasil performa, produksi kokon dan kualitas kokon yang baik pada kondisi lingkungan pemeliharaan di ketinggian kurang dari 300 m dpl.
Kata kunci: Bombyx mori L, kokon, pertumbuhan, Morus cathayana, M. multicaulis
ABSTRACT
YUNINDA ESTETIKA. Productivity of Silkworm Bombyx mori L. BS-09 Race Origin from Soppeng and Candiroto Which Fed Different Mulberry Leaves. Supervised by YUNI CAHYA ENDRAWATI and HOTNIDA CH SIREGAR.
Silkworms are insects that belong to the Lepidoptera Order that during its life experienced complete metamorphosis. There are two silkworm nursery in Indonesia located in Soppeng (South Sulawesi) and Candiroto (Central Java), which produces a hybrid race of BS-09. This research aimed to evaluate the productivity of silkworms from two different nursery raised in altitude of less than 300 m above sea level and were given different types of mulberry leaves. The materials used were Bombyx mori L races BS-09 consisted of 1 200 Soppeng silkworm and 1 200 Candiroto silkworm, mulberry leaf types Morus multicaulis and M. cathayana. The research used a completely randomized design in a 2x2 factorial experiment with 3 replication. Data were analyzed using analysis of variance (ANOVA) followed by Tukey test. The results showed that in altitude of 300 asl, silkworm from Soppeng fed with M. multicaulis had a better growth performance, cocoon production and quality.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan
PRODUKTIVITAS ULAT SUTERA (
Bombyx mori
L) BS-09
SOPPENG DAN CANDIROTO DENGAN JENIS
DAUN MURBEI BERBEDA
YUNINDA ESTETIKA
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul Produktivitas Ulat Sutera (Bombyx mori L) BS-09 Soppeng dan Candiroto dengan Jenis Daun Murbei Berbeda. Penyusunan karya ilmiah ini dilakukan sejak bulan Agustus 2015.
Terima kasih Penulis ucapkan kepada Yuni Cahya Endrawati, SPt MSi selaku pembimbing utama dan selaku pembimbing akademik dan Ir Hotnida CH Siregar, MSi selaku pembimbing anggota, serta Dr Ir Salundik, MSi selaku dosen penguji sidang skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan kepada Penulis dalam penyusunan karya ilmiah ini. Terima kasih Penulis sampaikan kepada ibunda tercinta (Suryati), ayahanda (Muslimin, SP), kakak (Rizka dan Very), Rahayan atas segala kasih sayang dan doa yang selalu diberikan. Sahabat seperjuangan (Endah, Dita, Ichi, Riri, dan Rere) atas dukungan, bantuan, serta semangatnya. Adik-adik terbaik (Fanny, Ana, Elisabeth, Zilah, dan Firda), serta terima kasih kepada seluruh teman-teman alih jenis 47 juga IPTP 48 atas kebersamaannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 1
Ruang Lingkup Penelitian ... 2
METODE ... 2
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 2
Bahan ... 2
Alat ... 2
Prosedur ... 2
Rancangan ... 3
Analisis Data ... 5
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 5
Suhu dan Kelembaban ... 5
Pengaruh Sumber Bibit dan Jenis Murbei ... 6
Konsumsi Pakan ... 6
Pertambahan Panjang dan Lebar Tubuh ... 7
Berat Ulat Sutera B. mori ... 9
Mortalitas ... 10
Persentase Produksi Kokon ... 10
Kualitas Kokon B. mori ... 11
Persentase Kokon Cacat... 11
Berat Kokon ... 12
Berat Pupa ... 12
Berat Floss ... 12
Berat dan Persentase Kulit Kokon ... 12
SIMPULAN DAN SARAN ... 13
DAFTAR PUSTAKA ... 13
DAFTAR TABEL
1 Rataan suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan 5 2 Konsumsi pakan ulat sutera instar I-IV yang berasal dari sumber bibit
dan pakan berbeda 6
3 Rataan panjang dan lebar badan ulat sutera B. mori dari sumber bibit
dan jenis pakan berbeda instar I-V 7
4 Berat ulat sutera B. mori yang berasal dari sumber dan diberi pakan
yang berbeda pada instar I-V 9
5 Persentase produksi kokon ulat sutera B. mori yang berasal dari
sumber dan diberi pakan yang berbeda 10
6 Kualitas kokon ulat sutera B. mori dari sumber bibit dan jenis pakan
yang berbeda 11
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram pertambahan panjang badan (ppb) ulat sutera B. mori 8 2 Diagram pertambahan lebar badan (plb) ulat sutera B. mori 8
3 Diagram persentase mortalitas ulat sutera 10
DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis ragam konsumsi ulat sutera 15
2 Analisis ragam panjang ulat sutera 15
3 Analisis ragam lebar ulat sutera 16
4 Analisis ragam berat ulat sutera 16
5 Analisis ragam persentase produksi kokon 17
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ulat sutera termasuk Ordo Lepidoptera mencakup semua jenis kupu dan ngengat yang selama hidupnya mengalami siklus metamorfosis sempurna dari telur, larva, pupa, dan imago. Nilai ekonomi ulat sutera dimulai dari pemanfaatan kokon yang membungkus pupa sebagai sumber serat sutera. Usaha peternakan ulat sutera merupakan usaha yang memiliki prospek tinggi karena harga sutera yang relatif tinggi dibandingkan kain yang lain dan permintaan terhadap kain sutera pun cukup tinggi. Hanya saja potensi yang tinggi tersebut tidak diikuti oleh produksinya. Ketua Asosiasi Sutera Indonesia (ASSIA) (2014) menyatakan bahwa Indonesia hanya mampu memenuhi pasokan benang sutera dalam negeri sebesar 5% dari total kebutuhan 900 ton per tahun, sedangkan 95% diimpor Cina.
Kemampuan produksi yang rendah tersebut, salah satunya disebabkan oleh produktivitas yang rendah. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produktivitas ulat sutera antara lain adalah genetik dan lingkungan (Atmosoedarjo et al. 2000). Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) di Soppeng (Sulawesi Selatan) dan Candiroto (Jawa Tengah) menghasilkan ras BS-09 yang merupakan hasil persilangan ras Cina dan Jepang untuk disebar kepada peternak. Lingkungan di kedua PPUS cukup berbeda, suhu lingkungan di Soppeng tergolong tinggi dengan kisaran 28–32 oC dan kelembaban 61%-90% serta berada pada ketinggian 100-200 m dpl, sedangkan suhu di Candiroto tergolong rendah dengan kisaran 24–32 o
C dan kelembaban 70%-95% serta berada pada ketinggian 575-600 m dpl (BMKG 2015). Ulat sutera dari Soppeng mempunyai daya tahan yang lebih baik terhadap kondisi lingkungan panas daripada Candiroto karena produksi filamen atau serat suteranya lebih baik (Nursita 2008). Belum diketahui apakah pada lingkungan dengan ketinggian kurang dari 300 m dpl, ulat sutera yang berasal dari Soppeng juga memiliki daya tahan yang lebih baik dibandingkan Candiroto.
Nutrisi dalam pakan ulat sutera merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan ulat sutera (Sunanto 1997). Pemeliharaan ulat sutera di PPUS Soppeng menggunakan pakan daun murbei jenis Morus multicaulis, sedangkan di PPUS Candiroto menggunakan M. cathayana. Kedua jenis murbei tersebut merupakan jenis pakan yang banyak digunakan peternak ulat sutera di Indonesia (Atmosoedarjo et al. 2000). Pada penelitian ini kedua jenis murbei tersebut diberikan pada bibit dari PPUS Soppeng dan Candiroto. Hal ini untuk mengetahui bibit ulat sutera dan jenis murbei yang cocok untuk daerah dengan ketinggian kurang dari 300 m dpl, suhu rata-rata berkisar 23-31 oC dan kelembaban 60%-80%.
Tujuan Penelitian
2
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan mencakup penetasan telur, pemeliharaan dan pertumbuhan ulat dari instar I-V sampai membentuk kokon serta mikroklimat tempat pemeliharaan. Karakteristik kokon yang dihasilkan juga termasuk dalam ruang lingkup penelitian ini.
METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari Januari-Maret 2015. Lokasi penelitian bertempat di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan
Bibit yang digunakan adalah ulat sutera Bombyx mori L ras BS-09 dari PPUS Soppeng dan Candiroto, masing-masing sebanyak 1 200 ekor. Bahan lainnya meliputi daun murbei M. multicaulis dan M. cathayana, kaporit dan kapur.
Alat
Alat yang digunakan antara lain kotak pemeliharaan ulat, kain kasa, termohigrometer, gunting, seriframe, kertas buram, timbangan digital berskala 0.00 g, timbangan analitik berskala 0.0000 g, jangka sorong digital berskala 0.00 mm, cutter, kertas label, kuas, sarung tangan, kipas angin, alat tulis, dan alat kebersihan.
Prosedur
Persiapan Ruangan dan Kandang Pemeliharaan (Atmosoedarjo et al. 2000) Lima hari sebelum pemeliharaan ulat sutera, ruangan pemeliharaan didesinfeksi menggunakan larutan kaporit dengan konsentrasi 0.5%. Seluruh ruangan disemprot dengan 1-2 l larutan kaporit per meter persegi luas ruangan. Fumigasi dilakukan dua kali yaitu tujuh hari dan dua hari sebelum ruangan digunakan.
Penetasan dan Pemindahan Ulat (Atmosoedarjo et al. 2000)
Telur didatangkan dari PPUS Soppeng dan Candiroto 10 hari sebelum ditetaskan. Telur ditimbang lalu diletakkan di ruang pemeliharaan. Ruang penetasan diatur pada kelembaban 75%-80% dan suhu 20-25 ºC.
3 kepadatan. Ulat didesinfeksi tubuhnya dengan 0.5 g campuran 95% kapur halus dan 5% kaporit.
Pemberian Pakan (Atmosoedarmojo et al. 2000)
Daun murbei diberikan 3 kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore. Daun murbei diiris sekitar 0.5–1.0 cm, 1.5–2.0 cm dan 3.0–4.0 cm berturut-turut untuk instar I, II, dan III.
Daun murbei yang diberikan pada ulat instar IV dan V tidak dipotong-potong. Jumlah pakan diberikan sesuai Atmosoedarjo et al. (2000), yaitu konsumsi instar I, II, III, IV, dan V berturut-turut 0.035, 0.129, 0.325, 2.400, dan 4.200 g ekor-1 hari-1. Berat pakan yang diberikan dan sisa selalu ditimbang.
Perlakuan saat Pergantian Kulit (Atmosoedarmojo et al. 2000)
Ulat ditaburi campuran 95% kapur dan 5% kaporit setiap ganti kulit (molting). Jumlah campuran sekitar 0.5, 1.0 dan 1.5 g berturut-turut untuk pergantian instar I ke instar II, II ke III, III ke IV, dan IV ke V.
Penggantian alas dan pemberian desinfektan pada ulat kecil (instar I-III) dilakukan pada saat setelah ulat bangun, sedangkan pada fase ulat besar (instar IV-V) dilakukan setiap hari.
Pengokonan (Atmosoedarjo et al. 2000)
Ulat yang akan mengokon diletakkan di seriframe dan kokon dipanen sekitar 5 hari setelah ulat mengokon. Kokon yang dipanen dihitung yang normal dan cacat lalu ditimbang.
Kokon dibersihkan dari floss lalu pupa dikeluarkan dengan cara menggunting kokon. Bobot floss, pupa, dan kulit kokon ditimbang dengan timbangan digital.
Peubah
Suhu dan Kelembaban (Hidayah 2012)
Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan setiap hari pada pukul 07.00, 12.00, dan 17.00 WIB dengan menggunakan termohigrometer.
Konsumsi Pakan (Hidayah 2012)
Pakan yang tersisa terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran yang menempel pada sisa-sisa daun. Konsumsi dihitung menggunakan timbangan digital dengan rumus:
Xi =
Keterangan :
Xi = konsumsi pakan pada instar ke-i (g ekor -1)
ai = berat pakan yang diberikan pada awal instar ke-i (g)
bi = berat sisa pakan pada akhir instar ke- i (g)
4
Panjang dan Lebar Badan per Instar (Hidayah 2012)
Panjang badan diukur dari ujung anterior sampai ujung posterior tubuh ulat, sedangkan lebar badan diukur pada 3 bagian tubuh yaitu anterior, tengah, dan posterior menggunakan jangka sorong digital.
Pengambilan sampel dilakukan secara acak sebanyak 30% dari jumlah ulat di tiap kotak (satuan percobaan). Setiap satuan unit percobaan terdiri dari 200 ulat per kotak pemeliharaan.
Berat Badan per Instar (Hidayah 2012)
Berat badan ulat per instar diambil secara acak dari tiap kotak pemeliharaan menggunakan timbangan analitik untuk instar I dan timbangan digital untuk instar II-V.
Mortalitas per Instar (Hidayah 2012)
Mortalitas ulat per instar adalah persentase ulat sutera yang hidup pada akhir setiap instar. Mortalitas dihitung dengan rumus :
Ai=
Keterangan :
Ai = mortalitas pada instar ke-i (%)
pi = jumlah ulat yang hidup pada awal instar ke- i (ekor)
qi = jumlah ulat yang hidup pada akhir instar ke- i (ekor)
Kualitas Kokon (Andadari 2003)
Kualitas kokon adalah presentase produksi dan berat kokon, presentase kokon cacat, berat dan presentase kulit kokon, berat floss dan pupa. Produksi kokon digunakan untuk mengetahui jumlah kokon yang diproduksi pada akhir fase instar V sebagai peubah untuk menentukan kualitas ulat sutera yang dihasilkan. Kualitas kokon dapat dihitung berdasarkan rumus :
Persentase produksi kokon (%) = Persentase kokon cacat (%) =
Berat kokon (g) =
Berat pupa (g) = berat dari bentuk metamorfosis larva ke ngengat
Berat floss (g) = berat dari serabut kulit
Berat kulit kokon = berat kokon segar-berat floss-berat pupa Persentase kulit kokon (%) =
Rancangan
5 M. multicaulis). Tiap perlakuan mendapat tiga ulangan yang model matematikanya menurut Gaspersz (1991):
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan:
Yijk : nilai pengamatan pada ulangan ke-k dari sumber bibit ulat sutera ke-i yang diberi
jenis daun murbei ke-j
µ : nilai tengah umum pengamatan
αi : pengaruh sumber bibit ulat sutera ke-i (Candiroto dan Soppeng) βj : pengaruh jenis daun murbei ke-j (M. cathayana dan M. multicaulis)
(αβ)ij : pengaruh interaksi antara sumber bibit ulat sutera ke-i dan jenis daun murbei ke-j εijk : pengaruh galat percobaan pada ulangan ke-k dari bibit ulat sutera ke-i yang diberi
jenis daun murbei ke-j
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Varians (ANOVA) dan setiap analisis yang memberikan hasil beda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey. Pengolahan data dilakukan menggunakan MINITAB versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Suhu dan Kelembaban
Suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan ulat pada setiap fase instar berbeda. Rataan suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Rataan suhu dan kelembaban ruang pemeliharaan
Peubah Waktu Instar I-III Instar IV Instar V Candiroto Soppeng Rataan ± SD Rataan±SD Rataan±SD
Suhu (oC)
Pagi 26.48±0.51 26.00±0.6 26.70±0.79
24.00-32.00
28.00-32.00 Siang 27.38±0.54 26.60±0.7 28.28±0.92
Sore 27.34±0.39 26.70±0.8 28.18±1.09
Pagi 79.11±2.26 81.90±1.2 75.20±6.16
70.00-95.00
61.00-90.00 Siang 77.50±2.83 81.60±3.2 71.75±7.03
Sore 80.00±1.87 81.60±2.6 72.25±7.19 Nunuh dan
Andikarya
(2006) 80.00-90.00
75.00 70.00
Keterangan : Waktu pengamatan pagi (07.00), siang (12.00) dan sore (17.00) pada bulan Januari-Februari 2015; RH = kelembaban
6
Kelembaban rendah karena jendela ventilasi terbuka lebar dan angin terlalu kencang sehingga air dilantai ruang pemeliharaan cepat menguap. Untuk menjaga kelembaban, ventilasi jendela ruangan jangan terlalu terbuka atau lantai ruang pemeliharaan dipercik air secara rutin jika ventilasi terbuka lebar (Andadari 2003).
Suhu pada ruang pemeliharaan instar IV lebih tinggi daripada suhu optimum (24-25 ºC), kelembaban juga lebih tinggi daripada kelembaban optimum (75%). Suhu pada pemeliharaan instar V lebih tinggi daripada suhu optimum (23-24 ºC), kelembaban juga lebih tinggi daripada kelembaban optimum (70%) (Nunuh dan Andikarya 2006). Tingginya suhu dan kelembaban dikarenakan pengendalian faktor lingkungan pada ruang pemeliharaan sulit untuk dilakukan. Pengontrolan jendela ventilasi pada ruang pemeliharaan perlu dilakukan agar suhu dan kelembaban didalam ruangan tetap optimum untuk perkembangan ulat (Atmosoedarjo et al. 2000).
Suhu di Candiroto tergolong rendah (24–32 oC) dengan kelembaban tinggi (70%-95%), sedangkan suhu di Soppeng tergolong tinggi (28–32 oC) dengan kelembaban yang rendah (61%-90%). Suhu dan kelembaban di Soppeng termasuk dalam kisaran suhu dan kelembaban di ruang pemeliharaan, yaitu suhu 26-27 oC dan kelembaban 77%-80%.
Pengaruh Sumber Bibit dan Jenis Murbei terhadap Performa Ulat Sutera dan Produksi Kokon
Konsumsi Pakan
Konsumsi diperoleh dari selisih antara berat daun murbei yang diberikan pada awal instar dan yang tersisa pada akhir instar. Konsumsi pakan ulat sutera pada kelima instar selama penelitian disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Konsumsi pakan ulat sutera instar I-IV yang berasal dari sumber bibit dan pakan berbeda
Instar Jenis Pakan Sumber Bibit Rataan Atmosoedarjo et al .(2000) Candiroto Soppeng
(g ekor-1 hari-1)
I M. cathayana 0.013±0.006 0.023±0.006 0.018±0.007
M. multicaulis 0.017±0.006 0.023±0.006 0.020±0.006
Rataan 0.015±0.005B 0.023±0.005A 0.035 II M. cathayana 0.096±0.006 0.103±0.006 0.100±0.006B
M. multicaulis 0.110±0.000 0.113±0.006 0.111±0.004A
Rataan 0.103±0.008 0.108±0.007 0.129 III M. cathayana 0.187±0.006 0.247±0.015 0.217±0.034B
M. multicaulis 0.210±0.020 0.277±0.006 0.243±0.039A
Rataan 0.198±0.018B 0.262±0.019A 0.325 IV M. cathayana 2.125±0.065 2.193±0.043 2.159±0.062B
M. multicaulis 2.243±0.040 2.295±0.005 2.269±0.038A
Rataan 2.184±0.081B 2.244±0.062A 2.400 V M. cathayana 3.883±0.043 4.042±0.033 3.963±0.093B
M multicaulis 3.957±0.038 4.090±0.035 4.023±0.079A
Rataan 3.920±0.054B 4.066±0.040A 4.200 Keterangan : Angka yang disertai huruf berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan
7 Konsumsi pakan instar I dan II hanya dipengaruhi oleh salah satu perlakuan yaitu sumber bibit ulat atau jenis murbei, sedangkan pada instar III, IV dan V lebih dipengaruhi dari sumber bibit dan jenis murbei. Konsumsi ulat asal Soppeng lebih tinggi daripada Candiroto. Hal ini dikarenakan bibit Soppeng lebih tahan terhadap suhu lingkungan pemeliharaan yang lebih tinggi sehingga kebutuhan energi yang terserap lebih banyak. Konsumsi ulat yang diberi M. multicaulis juga lebih tinggi dari M. cathayana. Hal ini karena daun M. multicaulis memiliki bentuk yang besar membulat dibandingkan dengan bentuk daun M. cathayana yang kecil dan berlekuk-lekuk. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa ulat sutera mengkonsumsi daun murbei dengan cara mengerip dan menggigit pinggiran daun sehingga bentuk daun yang lebar dan besar perlu diberikan.
Pertambahan Panjang dan Lebar Tubuh
Panjang dan lebar merupakan faktor untuk menentukan produktivitas ulat sutera. Hasil pengukuran panjang dan lebar badan ulat disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Rataan panjang dan lebar badan ulat sutera B. mori dari sumber bibit dan
jenis pakan berbeda instar I-V
Panjang (mm) Lebar (mm) Panjang (mm) Lebar (mm) Panjang (mm) Lebar (mm)
M. cathayana 5.613±0.178 1.187±0.075 5.790±0.399 1.230±0.072 5.702±0.293 1.208±0.070
M. multicaulis 5.827±0.395 1.160±0.104 6.047±0.189 1.130±0.095 5.937±0.302 1.145±0.091
Rataan 5.720±0.298 1.173±0.082 5.918±0.313 1.180±0.093
KK (%) 6.3 8.54 6.09 8.47 6.19 8.5
Prabu et al. (2011) 7 1.5
II M. cathayana 11.083±0.270 1.653±0.042 11.500±0.144 1.870±0.098 11.292±0.299 1.762±0.136
M. multicaulis 11.930±0.630 1.930±0.046 11.520±0.390 1.947±0.127 11.725±0.519 1.938±0.086
Rataan 11.507±0.635 1.792±0.156 11.510±0.263 1.908±0.109
KK (%) 4.83 0 3.01 7.4 3.92 3.7
Prabu et al. (2011) 11 2.5
III M. cathayana 20.450±0.212 2.967±0.104 20.583±0.399 2.787±0.122 20.517±0.295 2.923±0.157
M. multicaulis 20.900±0.183 2.880±0.213 21.047±0.263 2.800±0.087 20.973±0.218 2.793±0.095
Rataan 20.675±0.303 2.877±0.142 20.815±0.394 2.840±0.152
KK (%) 1.08 6.85 1.86 3.58 1.47 5.21
Prabu et al. (2011) 16 3.5
IV M. cathayana 34.343±0.350 4.633±0.211 34.410±0.869 4.803±0.150 34.377±0.594 4.718±0.188
M. multicaulis 36.477±0.216 4.797±0.032 35.217±0.661 4.783±0.136 35.847±0.818 4.790±0.089
Rataan (%) 35.410±1.197 4.715±0.162 34.813±0.820 4.793±0.128
KK 0.94 3.67 2.55 3.61 1.74 3.64
Prabu et al. (2011) 57 5.3
V M. cathayana 44.267±0.879 6.117±0.132 59.827±1.414 7.183±0.160 52.047±8.587 6.650±0.598
M. multicaulis 45.573±0.566 6.353±0.032 59.360±0.580 7.307±0.046 52.467±7.569 6.830±0.523
8
Bibit ulat Soppeng dengan pakan M. multicaulis mempunyai rataan panjang dan lebar badan (instar I sampai V) lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain karena konsumsi bibit Soppeng lebih tinggi dibanding dengan bibit Candiroto. Bibit Soppeng lebih tahan terhadap suhu dan kelembaban dibandingkan bibit Candiroto karena kondisi kisaran suhu dan kelembaban tempat penelitian masuk dalam kisaran suhu dan kelembaban wilayah Soppeng. Menurut Purwanti (2007) bahwa kondisi suhu dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan ulat. Suhu dan kelembaban yang tidak berada pada kisaran kebutuhan ulat, akan menyebabkan ulat kurang nafsu makan, dan kekurangan makan sehingga menyebabkan ulat mudah terserang penyakit dan pertumbuhannya menjadi terhambat.
Rataan panjang dan lebar ulat sutera (instar I sampai V) dalam penelitian ini lebih kecil dibandingkan panjang dan lebar ulat penelitian Prabu et al. (2011) (Tabel 3). Hal ini terjadi karena ulat sutera yang dipelihara hanya diberikan pakan berupa daun murbei M. multicaulis dan M. cathayana, sedangkan pada penelitian Prabu et al. (2011) pakan diberi tambahan vitamin dan kondisi lingkungan berada pada kondisi optimum untuk pertumbuhan ulat sutera.
Gambar 1 Diagram pertambahan panjang badan (ppb) ulat sutera B. mori
Gambar 2 Diagram pertambahan lebar badan (plb) ulat sutera B. mori
Candiroto Soppeng M. multicaulis
(mm)
Candiroto
M. cathayana (mm)
Candiroto
M. multicaulis (mm) Soppeng M. multicaulis
9 Berdasarkan pada Gambar 1 dan 2 di atas dapat dilihat bahwa ulat sutera bibit Soppeng yang diberi pakan M. multicaulis mempunyai ppb dan plb yang lebih tinggi dibanding perlakuan lain. Hal ini dikarenakan konsumsi pakannya juga lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Pertambahan panjang dan lebar badan ulat sutera sangat berpengaruh terhadap pertambahan berat badan ulat sutera karena digunakan sebagai indikator keberhasilan pertumbuhan fase larva pada ulat sutera.
Berat Ulat Sutera B. mori
Berat ulat sutera merupakan faktor untuk menentukan kualitas kokon dan pembentukan serat sutera. Hasil berat ulat sutera disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Berat ulat sutera B. mori yang berasal dari sumber dan diberi pakan yang berbeda pada instar I-V
Instar Jenis Pakan Sumber Bibit Rataan Prabu al et .(2011) Candiroto Soppeng
(g)
I M. cathayana 0.005±0.000 0.007±0.000 0.006±0.001B
0.003
M. multicaulis 0.005±0.000 0.008±0.000 0.006±0.001A Rataan 0.005±0.000B 0.007±0.000A
II M. cathayana 0.031±0.001 0.038±0.003 0.034±0.003
M. multicaulis 0.030±0.002 0.375±0.001 0.034±0.004 Rataan 0.031±0.001B 0.037±0.002A
III M. cathayana 0.160±0.010 0.160±0.000 0.160±0.006B
0.11
M. multicaulis 0.170±0.010 0.177±0.006 0.173±0.008A Rataan 0.165±0.010 0.168±0.009
IV M. cathayana 0.757±0.136 0.723±0.071 0.740±0.099
0.42
M. multicaulis 0.750±0.010 0.763±0.042 0.757±0.028 Rataan 0.753±0.086 0.743±0.056
V M. cathayana 1.800±0.098C 3.11±0.133A 2.453±0.723
2.8
M. multicaulis 2.027±0.031C 2.72±0.513B 2.377±0.385 Rataan 1.913±0.140B 2.917±0.227A
Keterangan : Angka yang disertai huruf berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05)
10
Mortalitas
Mortalitas ulat sutera yang berasal dari sumber bibit ulat dan diberi pakan yang berbeda pada instar I-Vdisajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram persentase mortalitas ulat sutera
Data persentase mortalitas tertinggi terjadi pada instar III (Gambar 3). Hal ini karena pada instar III kotak pemeliharaan terlalu padat akibat ukuran ulat yang semakin bertambah namun masih dipelihara dalam luasan kotak pemeliharaan yang sama dengan ulat instar I dan II. Akibatnya kondisi di dalam kotak pemeliharaan menjadi lebih lembab yang berakibat ulat banyak yang mati. Selain itu persaingan dalam konsumsi pakan juga menjadi penyebab ulat banyak mati. Samsijah dan Kusumaputera (1975) daya tahan hidup ulat sutera banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama kelembaban selama pemeliharaan.
Pada instar V juga menunjukkan terdapat mortalitas yang cukup tinggi namun lebih rendah dibandingkan instar III. Hal ini terjadi karena suhu dan kelembaban lingkungan tinggi sehingga mengakibatkan ulat gagal mengokon. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa fase instar V merupakan fase pelepasan air sehingga untuk pemeliharaan instar V harus berada pada lingkungan kering dan tidak lembab.
Persentase Produksi Kokon
Pengokonan dan panen kokon merupakan tahap akhir dalam pemeliharaan ulat sutera. Persentase produksi kokon yang dihasilkan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase produksi kokon ulat sutera B. mori yang berasal dari sumber
dan diberi pakan yang berbeda
Jenis Pakan Sumber Bibit Rataan Candiroto Soppeng
(%)
M. cathayana 35.39±11.17 36.19±19.21 35.79±14.06B
M. multicaulis 76.53±7.72 85.16±7.83 80.85±8.41A
Rataan 55.96±24.11 60.68±29.86
Keterangan : Angka yang disertai huruf berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05)
Candiroto M. cathayana
(mm)
Soppeng M. cathayana
Candiroto M. multicaulis
Soppeng M. multicaulis
m
o
rtalitas
(
%)
11 Produksi kokon ulat yang mendapat pakan M. cathayana lebih rendah dan beragam (Tabel 5) karena pada instar III, ulat sutera yang mendapat pakan M. cathayana memiliki mortalitas yang tinggi, sehingga jumlah ulat pada awal instar V sudah berkurang dibanding ulat yang mendapat pakan M. multicaulis. Selain itu, pada bibit Soppeng memiliki produksi kokon yang lebih tinggi dari Candiroto karena suhu dan kelembaban termasuk kisaran Soppeng sehingga bibit Candiroto memiliki waktu pengokonan yang berbeda pada saat mengokon dan terdapat ulat sutera yang mati pada saat proses pengokonan akibat tidak tahan terhadap suhu dan kelembaban lingkungan pemeliharaan. Atmosoedarjo et al. (2000) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap produksi kokon. Kualitas Kokon B. mori
Beberapa peubah kualitas kokon ada yang dipengaruhi oleh sumber bibit ulat dan jenis murbei. Tidak ada yang dipengaruhi oleh interaksi kedua faktor tersebut seperti yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kualitas kokon ulat sutera B. mori dari sumber bibit dan jenis pakan yang berbeda
Peubah Jenis Pakan Sumber Bibit Rataan Candiroto Soppeng
Persentase kokon cacat (%)
M. cathayana 15.582±7.599 1.802±3.121 8.692±9.163A
M. multicaulis 2.974±2.421 0.000±0.000 1.487±2.236A Rataan 9.278±8.522A 0.901±2.207B
Berat kokon (g)
M. cathayana 1.003±0.108 1.030±0.272 1.017±0.186
M. multicaulis 1.093±0.070 0.757±0.065 0.925±0.194 Rataan 1.048±0.095 0.893±0.232 0.971
Berat pupa (g)
M. cathayana 0.167±0.006 0.357±0.012 0.262±0.104
M. multicaulis 0.200±0.035 0.380±0.050 0.290±0.106 Rataan 0.183±0.029B 0.368±0.035A
Berat floss
(g)
M. cathayana 0.020±0.010 0.017±0.006 0.018±0.007
M. multicaulis 0.010±0.000 0.013±0.006 0.012±0.004 Rataan 0.015±0.008 0.015±0.005 0.015 Berat kulit
kokon (g)
M. cathayana 0.100±0.020 0.167±0.025 0.133±0.042
M. multicaulis 0.117±0.021 0.163±0.031 0.140±0.034 Rataan 0.108±0.020B 0.165±0.025A
Persentase kulit kokon (%)
M. cathayana 10.067±2.303 17.561±7.846 8.692±9.163
M. multicaulis 10.624±1.255 21.830±5.179 1.487±2.236 Rataan 10.345±1.687B 19.696±6.389A
Keterangan: Angka yang disertai huruf berbeda pada baris atau kolom yang sama menunjukkan hasil yang berbeda nyata(P<0.05)
Pemilihan sumber bibit dan jenis pakan yang sesuai didasarkan pada kualitas kokon yang dihasilkan. Andadari (2003) menyatakan bahwa standar kualitas kokon adalah berdasarkan berat kokon, persentase kulit kokon dan persentase kokon cacat.
Persentase Kokon Cacat
12
sama. Kokon cacat dapat disebabkan oleh proses pengokonan yang tidak sempurna di dalam seriframe sehingga bentuk kokon tidak normal. Beberapa penyebab bentuk yang tidak normal dalam penelitian antara lain kelebihan cairan yang menempel di kokon sehingga kokon tidak berwarna putih bersih, waktu panen yang kurang tepat, waktu pengokonan yang kurang tepat, ulat yang sedang proses mengokon mati sehingga mengotori kokon bagian dalam. Atmosoedarjo et al. (2000) ulat yang siap mengokon harus segera dipisahkan ke tempat pengokonan agar tidak terganggu oleh ulat yang belum siap mengokon, ulat yang sakit pada umumnya tidak akan mencapai tahap pupa sehingga membuat kokon bagian dalam kotor. Apabila waktu panen kokon terlambat maka kokon akan rusak karena sudah berlubang untuk tempat keluarnya ngengat.
Berat Kokon
Berat kokon tidak nyata dipengaruhi oleh sumber bibit ulat, jenis murbei maupun interaksi keduanya, yaitu rata-rata 0.971 g butir-1 (Tabel 6). Berat kokon yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan dengan standar berat kokon menurut Atmosoedarjo et al. (2000), yaitu 1.5-1.8 g butir-1 untuk varietas murni dan 2.0-2.5 g butir -1 untuk hibrida.
Berat kokon rendah karena pemberian konsumsi pakan berdasarkan acuan dari Atmosoedarjo et al. (2000) yang berada pada lingkungan optimum, sedangkan lingkungan tempat pemeliharaan temasuk ke dalam lingkungan bersuhu rendah sehingga terjadi penurunan dalam membentuk serat sutera dan berat kokon yang dihasilkan tidak mencapai maksimal.
Berat Pupa
Hasil ANOVA menunjukkan bahwa berat pupa hanya dipengaruhi oleh sumber bibit (Tabel 6). Bibit Soppeng memiliki berat pupa yang lebih besar dibandingkan Candiroto karena berat larvanya pada instar V juga lebih tinggi.
Berat pupa sangat dipengaruhi oleh berat larva pada instar V (Nursita 2008). Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) yang menyatakan bahwa perubahan dari larva pada instar V menjadi pupa terlihat pertama kali dengan berhentinya makan dengan ditandai oleh ekdisis dari kulit, larva berubah menjadi kokon. Berat Floss
Hasil data menunjukkan bahwa berat floss tidak dipengaruhi oleh sumber bibit ulat, jenis murbei maupun interaksi keduanya, yaitu rata-rata 0.015 g butir-1. Floss merupakan serat sutera yang berfungsi sebagai penyangga kokon sehingga beratnya lebih dipengaruhi oleh tempat pengokonan dibanding sumber bibit maupun jenis pakan.
Andadari (2003) menyatakan bahwa ulat akan berputar-putar mencari tempat pengokonan yang baik dan dipilihnya kemudian membuat lapisan kokon tipis-tipis pada saat mengokon. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000) kokon yang telah dipanen masih diselimuti oleh serabut serat sutera (floss) yang apabila dibiarkan akan mengasorbsi air dari udara dan menurunkan mutu kokon.
Berat dan Persentase Kulit Kokon
13 g ekor -1 dengan berat ulat yang tinggi yaitu 2.917 g sehingga meskipun menghasilkan pupa yang lebih berat, juga menghasilkan serat kokon yang tinggi. Baskoro (2008) menyatakan bahwa semakin tinggi berat kulit kokon, maka semakin besar kandungan seratnya. Berat kulit kokon pada penelitian ini lebih kecil dari hasil Atmosoedarjo et al. (2000) yaitu 0.30-0.40 g untuk berat kulit kokon varietas murni dan 0.35-0.55 g untuk varietas hibrida. Hal tersebut dapat terjadi karena suhu rata-rata pada saat penelitian adalah 26-28 oC dengan kelembaban 71%-75%. Suhu tempat pemeliharaan lebih tinggi dari standar sehingga dapat mempengaruhi berat kulit kokon yang dihasilkan.
Hasil penelitian Atmosoedarjo et al. (2000) ulat sutera yang akan mengokon sebaiknya mendapat suhu 23-25 oC, dan kelembaban 60%-75%. Hartati dan Umar (2012) berpendapat bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berat kulit kokon yaitu, kemampuan memproduksi serat setiap ulat berbeda, jenis ulat, jumlah dan kualitas pakan yang dikonsumsi, suhu serta kelembaban saat mengokon.
Persentase kulit kokon dipengaruhi oleh sumber bibit saja, yakni nyata lebih tinggi pada bibit yang berasal dari Soppeng yaitu sebesar 19.69% (Tabel 6). Hasil ANOVA menyatakan bahwa persentase kulit kokon berbanding lurus dengan berat kulit kokonnya. Berat kulit kokon Soppeng tinggi sehingga persentase kulit kokonnya juga tinggi. Persentase kulit kokon Soppeng sudah sesuai dengan standar menurut Atmosoedarjo et al. (2000) yaitu berkisar antara 18%-22%. Persentase kulit kokon dapat dipengaruhi oleh berat kulit kokon dan berat kokon segar. Nursita (2008) berpendapat bahwa nilai persentase kulit kokon erat hubungannya dengan persentase filamen kokon.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sumber bibit yang berasal dari Soppeng dengan kombinasi pemberian pakan daun murbei jenis M. multicaulis memberikan hasil performa produksi kokon dan kualitas kokon yang baik pada kondisi lingkungan pemeliharaan di ketinggian kurang dari 300 m dpl.
Saran
Perlu dilakukan penelitan lanjutan menggunakan kombinasi bibit ulat asal Soppeng dengan taraf perlakuan pakan jenis murbei M. multicaulis yang bertingkat.
DAFTAR PUSTAKA
14
Anwar A. 1992. Penggunaan pospol dan kaporit sebagai bahan desinfeksi tubuh ulat terhadap produksi kokon. Ujung Padang (ID): Balai Persutraan Alam, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan.
Atmosoedarjo S, Kartasubrat J, Kaomini M, Saleh W, Moerdoko W, Pramoedibyo, Ranoeprawiro S. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Wana Jaya.
Baskoro A. 2008. Karakteristik kulit kokon yang berasal dari perkebunan teh di daerah purwakarta [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[BMKG]. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2015. Prakiraan Cuaca Indonesia. Jakarta (ID): Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Gaspersz V. 1991. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung (ID):
Tarsito
Hartati, Umar. 2012. Pengaruh pemberian jenis murbei Morus multicaulis dan Morus cathayana terhadap produksi kokon ulat sutera (Bombyx mori L) varietas lokal, Jepang, Cina, dan Rumania. Jurnal Sainsmat. 1(1):1-12 Hidayah NI. 2012. Pertumbuhan ulat sutera (Bobyx mori L) hibrid baru dan jenis
komersial [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kasip ML. 2001. Pembentukan galur baru ulat sutera (Bombyx mori L) melalui persilangan ulat sutera bivoltin dan polivoltin [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Nunuh A, Andikarya O. 2006. Budidaya Ulat Sutera Alam (Bombyx mori L). Cianjur (ID) : Politeknik VEDCA Joint Program dengan Politeknik Negeri Jember.
Nursita I. 2008. Perbandingan produktivitas ulat sutera dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas. Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan. 21(3): 1-17.
Prabu G, Selvi S, Mathivanan V, Pradhap M, Vivekananthan T. 2011. Studies on the comparative feed efficacy of Bombyx mori (L) (lepidoptera: bombycidae) fed with silver nanoparticles (agnps) and spirulina treated MR2 mulberry leaves in relation to growth and development. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 2(4): 183-186.
Purwanti R. 2007. Respon pertumbuhan dan kualitas kokon ulat sutera (Bombyx mori L) dengan rasio pemberian pakan yang berbeda [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rangaswami G, Narasimhana MN, Yolly MS. 1976. Mulberry cultivation manual on sericulture. Agriculture Seri Bulletin. 14(1): 51-54.
Samsijah, Kusumaputera. 1975. Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori L). Kertas Kerja pada Kongres Biologi IV. Bogor (ID): Lembaga Penelitian Hutan.
15 LAMPIRAN
Lampiran 1 Analisis ragam konsumsi ulat sutera
Instar Sumber keragaman Db JK KT F P
I Bibit 1 0.0002083 0.0002083 6.25 0.037**
Pakan 1 0.0000083 0.0000083 0.25 0.631tn
Bibit*Pakan 1 0.0000083 0.0000083 0.25 0.631tn
Galat 8 0.0002667 0.0000333
Total 11 0.0004917
II Bibit 1 0.0000750 0.0000750 3.00 0.122tn
Pakan 1 0.0004083 0.0004083 16.33 0.004**
Bibit*Pakan 1 0.0000083 0.0000083 0.33 0.580tn
Galat 8 0.0002000 0.0000250
Total 11 0.0006917
III Bibit 1 0.0120333 0.0120333 68.76 0.000**
Pakan 1 0.0021333 0.0021333 12.19 0.008**
Bibit*Pakan 1 0.0000333 0.0000333 0.19 0.674tn
Galat 8 0.0014000 0.0001750
Total 11 0.0156000
IV Bibit 1 0.010800 0.010800 5.63 0.045**
Pakan 1 0.036300 0.036300 18.94 0.002**
Bibit*Pakan 1 0.000208 0.000208 0.11 0.750tn
Galat 8 0.015333 0.001917
Total 11 0.062642
V Bibit 1 0.063802 0.063802 45.57 0.000**
Pakan 1 0.011102 0.011102 7.93 0.023**
Bibit*Pakan 1 0.000469 0.000469 0.33 0.579tn
Galat 8 0.011200 0.001400
Total 11 0.086573
Lampiran 2 Analisis ragam panjang ulat sutera
Instar Sumber keragaman Db JK KT F P
I Bibit 1 0.11801 0.11801 1.23 0.299tn
Pakan 1 0.16568 0.16568 1.73 0.225tn
Bibit*Pakan 1 0.00141 0.00141 0.01 0.906tn
Galat 8 0.76640 0.09580
Galat 8 0.61293 0.07662
Total 11 129.750
IV Bibit 1 10.680 10.680 3.14 0.114tn
Pakan 1 64.827 64.827 19.05 0.002**
Bibit*Pakan 1 13.200 13.200 3.88 0.084tn
Galat 8 27.224 0.3403
Total 11 115.932
V Bibit 1 645.92 645.92 753.81 0.000**
Pakan 1 0.53 0.53 0.62 0.455tn
Bibit*Pakan 1 2.36 2.36 2.75 0.136tn
Galat 8 6.86 0.86
16
Lampiran 3 Analisis ragam lebar ulat sutera
Instar Sumber keragaman Db JK KT F P I Bibit 1 0.000133 0.000133 0.02 0.898tn Galat 8 0.059133 0.007392
Total 11 0.223600
III Bibit 1 0.05070 0.05070 2.58 0.147tn Pakan 1 0.00403 0.00403 0.21 0.662tn Bibit*Pakan 1 0.00750 0.00750 0.38 0.554tn Galat 8 0.15713 0.01964
Total 11 0.21937
IV Bibit 1 0.01841 0.01841 0.85 0.383tn
Pakan 1 0.01541 0.01541 0.71 0.423tn Bibit*Pakan 1 0.02521 0.02521 1.17 0.311tn Galat 8 0.17267 0.02158
Total 11 0.23169
Lampiran 4 Analisis ragam berat ulat sutera
Instar Sumber keragaman Db JK KT F P I Bibit 1 0.0000145 0.0000145 75.10 0.000**
Pakan 1 0.0000013 0.0000013 6.90 0.030** Bibit*Pakan 1 0.0000008 0.0000008 3.88 0.084tn Galat 8 0.0000015 0.0000015
Total 11 0.0000182
II Bibit 1 0.0001333 0.0001333 37.87 0.000** Pakan 1 0.0000013 0.0000013 0.38 0.555tn Bibit*Pakan 1 0.0000003 0.0000003 0.09 0.766tn Galat 8 0.0000282 0.0000035
Total 11 0.0001632
III Bibit 1 0.0000333 0.0000333 0.57 0.471tn Pakan 1 0.0005333 0.0005333 9.14 0.016** Bibit*Pakan 1 0.0000333 0.0000333 0.57 0.471tn Galat 8 0.0004667 0.0000583
Total 11 0.0010667
IV Bibit 1 0.000300 0.000300 0.05 0.833tn Pakan 1 0.000833 0.000833 0.13 0.726tn Bibit*Pakan 1 0.001633 0.001633 0.26 0.625tn Galat 8 0.050600 0.006325
Total 11 0.053367
V Bibit 1 30.200 30.200 389.68 0.000** Pakan 1 0.0176 0.0176 2.28 0.170tn Bibit*Pakan 1 0.2760 0.2760 35.62 0.000**
Galat 8 0.0620 0.0078
17 Lampiran 5 Analisis ragam persentase produksi kokon
Sumber Keragaman Db JK KT F P
Lampiran 6 Analisis ragam kualitas kokon
Peubah Sumber keragaman Db JK KT F P Bibit 1 210.53 210.53 11.48 0.010** Pakan 1 155.75 155.75 8.49 0.019** Bibit*Pakan 1 87.60 87.60 4.78 0.060tn
Galat 8 146.68 18.34
Total 11 600.55
Bibit 1 0.07208 0.07208 3.04 0.120tn Pakan 1 0.02521 0.02521 1.06 0.333tn Bibit*Pakan 1 0.09901 0.09901 4.17 0.075tn Galat 8 0.18980 0.02373
Total 11 0.38609
Bibit 1 0.102675 0.102675 106.22 0.000** Pakan 1 0.002408 0.002408 2.49 0.153tn Bibit*Pakan 1 0.000075 0.000075 0.08 0.788tn Galat 8 0.007733 0.000967
Total 11 0.112892
Bibit 1 0.0000000 0.0000000 0.00 1.000tn Pakan 1 0.0001333 0.0001333 3.20 0.111tn Bibit*Pakan 1 0.0000333 0.0000333 0.80 0.397tn Galat 8 0.0003333 0.0000417
Total 11 0.0005000
Bibit 1 0.0096333 0.0096333 16.06 0.004** Pakan 1 0.0001333 0.0001333 0.22 0.650tn Bibit*Pakan 1 0.0003000 0.0003000 0.50 0.500tn Galat 8 0.0048000 0.0006000
Total 11 0.0148667
Bibit 1 262.29 262.29 11.01 0.011** Pakan 1 17.48 17.48 0.73 0.417tn Bibit*Pakan 1 10.33 10.33 0.43 0.529tn
18
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kendal pada tanggal 4 Juni 1992. Penulis merupakan anak ketiga dari 3 bersaudara pasangan Bapak Muslimin, SP dan Ibu Suryati. Penulis mengawali pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Aisiyah pada tahun 1997. Pada tahun 1998, Penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri Pegandon dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan Sekolah Tingkat Pertama di SMP Negeri 1 Cepiring dan lulus pada tahun 2007. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Kendal dan lulus pada tahun 2010.
Penulis kemudian melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan diterima sebagai mahasiswi Program Diploma III Universitas Diponegoro, pada Program studi Manajemen Usaha Peternakan pada tahun 2010. Pada tahun 2013 Penulis meraih gelar AMd dan langsung melanjutkan studi ke pendidikan program sarjana alih jenis di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.