• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella Asiatica)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella Asiatica)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SIDIK JARI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica)

ADITYA UTAMA FATAHILLAH

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Sidik jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella asiatica) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

(4)
(5)

ABSTRAK

ADITYA UTAMA. Analisis Sidik Jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella asiatica). Dibimbing oleh MOHAMAD RAFI dan WULAN TRI WAHYUNI.

Pola sidik jari kromatografi lapis tipis dapat dimanfaatkan untuk evaluasi dan kendali mutu multikomponen bahan baku maupun produk tanaman obat. Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan metode analisis sidik jari kromatografi lapis tipis (KLT) pegagan untuk kendali mutunya. Fase gerak yang terdiri atas kloroform, metanol, dan asam asetat (64:35:1) diketahui sebagai fase gerak yang dapat memisahkan 11 pita dengan keterpisahan yang baik. Sebagai senyawa penciri digunakan asiatikosida (RF rerata=0.50) dengan pita berwarna hijau pucat dalam sinar tampak dan berpendar hijau dalam sinar ultraviolet 366 nm menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard sebagai pendeteksi pita. Validasi metode analisis sidik jari KLT menghasilkan keterulangan pola pemisahan dan nilai RF yang baik, warna yang stabil lebih dari 30 menit, dan ketegaran yang baik terhadap penurunan jarak pengembangan serta perubahan jenis bejana kromatografi. Oleh karena itu metode yang dikembangkan ini dapat digunakan untuk kendali mutu bahan baku pegagan.

Kata kunci: analisis sidik jari, asiatikosida, Centella asiatica, KLT

ABSTRACT

ADITYA UTAMA. Thin Layer Chromatography Fingerprint Analysis of Pegagan (Centella asiatica). Supervised by MOHAMAD RAFI and WULAN TRI WAHYUNI.

Thin layer chromatography fingerprint analysis can be used for evaluation and quality control of medicinal plants raw material and products. In this work, we developed a TLC fingerprint analysis method of pegagan to evaluate the quality. A mixture of chloroform, methanol, and acetic acid (64:35:1) was found as optimum mobile phase in silica TLC plate and could separate 11 bands. Asiaticoside was choosed as a marker (RF=0.50) and detected as a pale green band in visible light and green fluorescence in ultraviolet at 366 nm after derivatization with Liebermann-Burchard reagent. Validation of the method also proved that the method gives excellent RF and separation pattern repeatability, stable color within 30 minutes, and good robustness as the development distance decreased and at different chamber type. Therefore, the method could be used for quality control of pegagan.

(6)
(7)

ANALISIS SIDIK JARI KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica)

ADITYA UTAMA FATAHILLAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada

Departemen Kimia

DEPARTEMEN KIMIA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhaanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2015 ini adalah teknik pemisahan, dengan judul Analisis Sidik jari Kromatografi Lapis Tipis Tanaman Pegagan (Centella asiatica).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Mohamad Rafi, MSi dan Dr Wulan Tri Wahyuni, MSi selaku pembimbing atas bimbingan, arahan, dan sarannya kepada penulis. Penghargaan penulis sampaikan kepada analis dan staf di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka LPPM-IPB (Nunuk Kurniati Nengsih, SFam; Salina Febriany, SSi; Laela Wulansari, SSi; Antonio Kautsar, SSi; dan Mas Endi Suhendi) serta seluruh staf Laboratorium Kimia Analitik (Ibu Nunung Nuryanti, Bapak Eman Suherman, Bapak Edi Suhendar, dan Bapak Kosasih) yang telah membantu penulis selama masa studi di Departemen Kimia IPB. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu, Ayah dan seluruh keluarga atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, Hajar Laraswati; Dewi Anggraeni, SSi; dan Teguh Yanuar yang selalu memberikan motivasi dan masukan selama penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2016

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

METODE 2

Bahan dan Alat 2

Lingkup Penelitian 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Pengoptimuman Fase Gerak Sidik Jari KLT 6

Stabilitas Analit 9

Uji Spesifitas 11

Uji Presisi dan Presisi Antara 13

Uji Ketegaran 14

SIMPULAN DAN SARAN 15

Simpulan 15

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 18

(14)

DAFTAR TABEL

1 Hasil uji presisi dan presisi antara 13

2 Hasil uji ketegaran 15

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi tanaman pegagan (Mora dan Fernando 2012) 1 2 Struktur asiatikosida (James dan Dubery 2011) 1 3 Hasil pengembangan menggunakan fase gerak tunggal 6 4 Total pita ekstrak pegagan dari berbagai fase gerak campuran 7 5 Hasil pengembangan level keempat dan uji coba pengembangan

standar 8

6 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan standar

asiatikosida dan ekstrak pegagan 9

7 Hasil uji stabilitas analit sebelum kromatografi 10 8 Hasil uji stabilitas analit selama proses kromatografi 10 9 Hasil uji stabilitas analit setelah proses kromatografi dengan

pereaksi Liebermann-Burchard pada sinar ultraviolet 366 nm 11 10 Pegagan, pegagan tipe daun bulat, dan semanggi gunung 11 11 Hasil uji spesifitas dengan pereaksi Liebermann-Burchard pada

sinar tampak dan ultraviolet 366 nm 12

12 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan menggunakan

bejana twin-trough dan flat-bottom 14

13 Perbandingan kromatogram dengan jarak pengembangan 8 cm dan

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Diagram alir penelitian 18

2 Pengoptimuman fase gerak 19

3 Komposisi fase gerak yang dioptimumkan 20

4 Indeks kepolaran fase gerak tunggal (Sadek 2002) 20 5 Hasil pengembangan ekstrak pada pengoptimuman level kedua 21 6 Hasil pengembangan ekstrak pada pengoptimuman level ketiga 21 7 Hasil pengembangan ekstrak pada pengoptimuman level keempat 21 8 Hasil pengembangan standar dan sampel pada pengoptimuman level

kelima 22

9 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran

kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25) 23 10 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran

kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1) 23

11 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran

kloroform, metanol, dan asam asetat (6.4:3.5:0.1) 24

12 Contoh perhitungan resolusi kromatogram 24

13 Hasil uji stabilitas analit sebelum proses kromatografi 25 14 Hasil uji stabilitas analit setelah proses kromatografi dengan pereaksi

Liebermann-Burchard pada sinar tampak 25

15 Hasil uji spesifitas dalam ultraviolet 254 nm, 366 nm, dan sinar tampak 26

16 Hasil uji presisi hari pertama 26

17 Hasil uji presisi antara 27

18 Bejana kromatografi (CAMAG®) jenis twin-trough dan flat-bottom

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Pegagan (Centella asiatica) (Gambar 1) adalah tanaman herba yang sudah lama dimanfaatkan sebagai tanaman obat. Tanaman ini telah dipasarkan di Australia dengan nama gotu kola yang bermanfaat sebagai penghilang stres dan antidemensia. Pegagan telah banyak dimanfaatkan di Asia Tenggara sebagai obat untuk penyembuhan luka, radang, rematik, asma, wasir, tuberkulosa, lepra, disentri, demam, dan penambah selera makan. Masyarakat India dan Srilanka memanfaatkan pegagan sebagai obat untuk memperlancar sirkulasi darah bahkan dianggap lebih bermanfaat dibandingkan dengan Ginkgo biloba atau ginseng (Januwati dan Yusron 2005).

Gambar 1 Morfologi tanaman pegagan (Mora dan Fernando 2012)

Salah satu komponen pegagan adalah keluarga triterpenoid saponin dengan komposisi utama asiatikosida (Gambar 2), madekasosida, asam asiatat, dan asam madekasat (James dan Dubery 2011). Kadar triterpenoid total bervariasi sesuai dengan tempat tumbuh.

Gambar 2 Struktur asiatikosida (James dan Dubery 2011)

(18)

2

Oleh karena itu, perlu dikembangkan suatu metode kendali mutu untuk tanaman obat.

Analisis sidik jari dapat membantu dalam proses identifikasi dan autentikasi spesies tanaman untuk kendali mutunya (Borges et al. 2007). Senyawa kimia yang dikandung oleh tanaman obat dapat ditampilkan dalam sidik jari kromatografi sehingga karakteristik kimia tanaman obat tersebut dapat digambarkan secara menyeluruh (Liang et al. 2004). Dalam kendali mutu produk tanaman obat, analisis sidik jari menggunakan kromatografi merupakan teknik yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan membandingkan komponen-komponen kimia yang terdapat pada produk tersebut. Pola sidik jari kromatografi menunjukkan profil keseluruhan komponen karena dapat merepresentasikan keragaman komponen yang ada dalam tanaman obat tanpa memperhatikan jenisnya (Liang et al. 2004). Analisis sidik jari dimanfaatkan untuk evaluasi dan kontrol kualitas multikomponen dari bahan baku obat herbal karena profil kromatografi yang dihasilkan dapat digunakan untuk pencirian komposisi sampel dari suatu tanaman obat (Zhao et al. 2008).

Analisis sidik jari dalam penelitian ini menggunakan metode kromatografi lapis tipis karena hasil yang diperoleh dapat langsung dievaluasi secara visual. Kontaminasi juga dapat dihindarkan karena sistem kromatografi lapis tipis digunakan hanya sekali dalam pengembangan (Reich dan Schibli 2006). Beberapa keuntungan lainnya adalah preparasi sampel yang mudah, prosedur kerja yang sederhana, dan volume pelarut yang digunakan sedikit sehingga biaya operasional relatif murah. Penelitian bertujuan mengembangkan metode deteksi sidik jari tanaman pegagan untuk kendali mutunya.

METODE

Bahan dan Alat

(19)

3

Lingkup Penelitian

Tahapan yang dilakukan dalam penelitian terdiri atas ekstraksi serbuk tanaman pegagan dengan sonikasi, pengembangan pelat menggunakan berbagai komposisi pelarut untuk mendapatkan fase gerak terbaik, dan proses validasi. Validasi yang dilakukan terdiri atas uji stabilitas analit dalam larutan dan pelat, stabilitas analit selama proses kromatografi, stabilitas warna hasil derivatisasi analit, spesifitas, presisi, presisi antara, ketegaran terhadap perbedaan jenis bejana kromatografi, dan ketegaran terhadap penurunan jarak pengembangan pelat (Lampiran 1).

Ekstraksi Tanaman Pegagan secara Sonikasi

Serbuk tanaman pegagan ditimbang sebanyak 1 g, dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 100 mL dan ditambahkan 10 mL metanol. Mulut labu Erlenmeyer ditutup dengan aluminium foil kemudian labu dimasukkan ke dalam sonikator. Sonikasi dilakukan selama 30 menit. Ekstrak disaring ke dalam botol yang bersih kemudian ditutup rapat.

Pembuatan Pereaksi Pewarna

Pereaksi anisaldehida-asam sulfat disiapkan dengan mencampurkan 10 mL asam sulfat pekat dengan campuran 170 mL metanol dan 20 mL asam asetat glasial sambil didinginkan di dalam penangas es, diikuti dengan penambahan 1 mL p-anisaldehida ke dalam campuran tersebut (Widmer et al. 2008). Pereaksi dipindahkan ke dalam botol gelap dan ditutup rapat.

Pereaksi Liebermann-Burchard dibuat dengan mencampurkan 1 mL asam sulfat pekat dan 20 mL anhidrida asetat ke dalam 79 mL kloroform (Reich dan Schibli 2006). Bahan-bahan diaduk hingga bercampur sempurna di dalam labu Erlenmeyer dengan pendingin berupa air bersih. Pereaksi dipindahkan ke dalam botol gelap dan ditutup rapat.

Preparasi Pelat sebelum Digunakan

Pelat silika gel 20×20 cm dipotong sesuai kebutuhan. Pelat diberi garis awal dan akhir menggunakan pensil, dengan jarak setiap garis 1 cm dari tepi pelat. Selanjutnya, dilakukan pengembangan pelat dalam bejana kromatografi jenis flat-bottom atau twin-trough yang telah terjenuhkan oleh metanol. Pelat dikeringkan dalam oven pada 100 °C selama 10 menit.

Pemilihan Pelarut sebagai Fase Gerak

Sebanyak 10 mL masing-masing pelarut, yaitu dietil eter, diklorometana, kloroform, n-butanol, etil asetat, metanol, dan asam asetat dimasukkan ke dalam bejana flat-bottom dan dijenuhkan selama 30 menit.

(20)

4

Deteksi dan Derivatisasi Komponen

Pelat berisi ekstrak yang telah dikembangkan dikeringkan pada suhu ruang selama 5-10 menit dan diamati pada sinar tampak, ultraviolet 366 dan 254 nm (Fernand 2003). Derivatisasi komponen pita ekstrak pegagan dilakukan dengan mencelupkan pelat ke dalam pereaksi anisaldehida-asam sulfat atau Liebermann-Burchard.

Derivatisasi menggunakan pereaksi anisaldehida-asam sulfat dilakukan dengan mencelupkan pelat ke dalam 25 mL pereaksi tersebut. Pelat dipanaskan pada 95 °C selama 10 menit (James dan Dubery 2011). Pencirian menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard dilakukan dengan mencelupkan pelat ke dalam 25 mL pereaksi tersebut dan memanaskannya pada 100 °C selama 20 menit (Reich dan Schibli 2006 dengan modifikasi). Pelat yang telah diderivatisasi diamati pada sinar tampak dan ultraviolet 366 nm.

Stabilitas Analit dalam Larutan dan Pelat (Reich dan Schibli 2006)

Ekstrak diaplikasikan pada lajur 1 pelat 10 10 cm sebanyak 8 µL. Ekstrak dan pelat tersebut dibiarkan selama 3 jam kemudian ekstrak yang sama diaplikasikan sebanyak 8 µL pada lajur 3. Disiapkan pula ekstrak baru sebagai pembanding yang diaplikasikan pada lajur 2 dan 4 masing-masing sebanyak 8 µL. Pelat dikembangkan dalam bejana twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Nilai RF pita asiatikosida pada lajur 1 dibandingkan dengan lajur 2 untuk mengevaluasi stabilitas analit dalam pelat, sedangkan lajur 3 dibandingkan dengan lajur 4 untuk mengevaluasi stabilitas analit dalam larutan. Ekstrak dikatakan stabil 3 jam dalam larutan dan 3 jam pada pelat sebelum proses kromatografi jika perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.

Stabilitas Analit selama Kromatografi (Reich dan Schibli 2006)

Pelat 10×10 cm diberi garis dengan jarak 10 mm dari masing-masing tepi. Sebanyak 3 L ekstrak pegagan diaplikasikan sebagai bercak di bagian tepi kiri bawah pelat tersebut (10 mm dari tiap tepi) dengan lebar bercak 0.6 mm. Pelat dikembangkan dalam bejana twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Setelah pengembangan dilakukan, pelat diangkat dan dikeringkan. Pelat diputar 90° ke kanan kemudian pengembangan dilakukan untuk kedua kalinya menggunakan fase gerak dengan komposisi sama namun baru disiapkan hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari garis awal. Pelat diderivatisasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard dan didokumentasi. Uji stabilitas dilakukan juga dengan ekstrak pegagan sebanyak 0.5 L. Kedua hasil dibandingkan. Analit stabil selama proses kromatografi jika semua bercak berada pada posisi diagonal yang menghubungkan posisi awal aplikasi ekstrak dengan perpotongan garis kedua fase gerak.

Stabilitas Hasil Derivatisasi Pita (Reich dan Schibli 2006)

(21)

5

didokumentasi setelah 2, 5, 10, 20, 30, dan 60 menit. Pita yang dihasilkan stabil jika tidak terjadi perubahan yang signifikan minimal selama 30 menit.

Uji Spesifitas

Ekstrak pegagan, ekstrak pegagan tipe daun bulat, ekstrak semanggi gunung, pegagan umur panen 3 bulan, 4 bulan, dan 5 bulan diaplikasikan berturut-turut pada lajur 1, 2, 3, 5, 6, dan 7 sebanyak 8 µL pada pelat 10 10 cm. Standar asiatikosida 1230 ppm diaplikasikan pada lajur 4 sebanyak 3.3 µL di pelat yang sama. Pengembangan dilakukan hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi dengan pereaksi Liebermann-Burchard untuk membandingkan pola-pola yang terbentuk di setiap lajurnya.

Presisi (Reich dan Schibli 2006)

Ekstraksi dilakukan sebanyak tiga kali ulangan. Masing-masing ekstrak diaplikasikan tiga kali sebanyak 8 L pada pelat 15 10 cm. Aplikasi ekstrak dilakukan pada 3 pelat berbeda. Pengembangan setiap pelat dilakukan dengan bejana twin-trough menggunakan fase gerak yang baru disiapkan, hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Nilai RF pada masing-masing zona pita asiatikosida dihitung kemudian ditentukan rerata dan simpangan relatifnya. Hasil dapat diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna, intensitas warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.02.

Presisi Antara (Reich dan Schibli 2006)

Ekstrak diaplikasikan tiga kali sebanyak 8 L berbentuk pita pada pelat 10 10 cm. Aplikasi ekstrak dilakukan pada 2 hari yang berbeda setelah pengujian presisi, satu pelat perhari. Pengembangan setiap pelat dilakukan dengan bejana twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Nilai RF pada masing-masing zona pita asiatikosida dihitung kemudian ditentukan rerata dan simpangan relatifnya. Hasil dapat diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna, intensitas warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.

Ketegaran terhadap Jenis Bejana Kromatografi (Reich dan Schibli 2006)

Ekstrak sebanyak 8 L dan standar asiatikosida sebanyak 3.3 L diaplikasikan pada pelat 10 10 cm. Ekstrak diaplikasikan pada lajur 1 dan 3, sedangkan standar diaplikasikan pada lajur 2. Proses tersebut dilakukan pada dua pelat yang berbeda. Masing-masing pelat dikembangkan dalam bejana twin-trough dan flat-bottom hingga fase gerak mencapai tinggi 8 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Hasil dapat diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna, intensitas warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.

Ketegaran terhadap Jarak Pengembangan (Reich dan Schibli 2006)

(22)

6

twin-trough hingga fase gerak mencapai tinggi 7 cm dari posisi aplikasi ekstrak. Pelat didokumentasi sebelum dan setelah derivatisasi. Pelat hasil pengujian menggunakan jarak pengembangan 7 cm dibandingkan dengan pelat hasil pengujian menggunakan jarak pengembangan 8 cm. Hasil dapat diterima jika pola sidik jari identik terkait dengan jumlah, letak, warna, intensitas warna, dan perbedaan nilai RF yang tidak lebih dari 0.05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengoptimuman Fase Gerak Sidik Jari KLT

Pengoptimuman fase gerak dilakukan hingga lima level (Lampiran 2). Masing-masing level mencirikan komposisi pelarut yang diubah-ubah untuk memperbaiki pemisahan yang dihasilkan. Pengoptimuman level pertama dilakukan dengan menguji tujuh macam pelarut tunggal, yaitu dietil eter, diklorometana, kloroform, n-butanol, etil asetat, metanol, dan asam asetat. Pelarut yang paling banyak memunculkan pita adalah kloroform dan diklorometana (Gambar 3) sehingga diduga senyawa-senyawa dalam sampel cenderung bersifat nonpolar.

Resolusi dan jumlah pita dapat ditingkatkan dengan mencampurkan fase gerak tunggal dengan fase gerak tunggal lainnya (Reich dan Schibli 2006). Oleh karena itu, dilakukan modifikasi dengan mencampurkan fase gerak nonpolar (dietil eter, diklorometana, dan kloroform) dengan fase gerak yang lebih polar (metanol dan etil asetat). Perbandingan antara fase gerak nonpolar terhadap fase gerak polar dalam campuran yang diuji adalah 7:3, 9:1, dan 9.5:0.5. Penambahan n-butanol tidak lagi dilakukan untuk mempercepat waktu pengembangan. Melalui modifikasi tersebut diketahui bahwa campuran kloroform dan metanol (7:3) dapat menghasilkan pita terbanyak (Lampiran 5).

Gambar 3 Hasil pengembangan menggunakan fase gerak tunggal, dari kiri ke kanan: dietil eter, diklorometana, n-butanol, kloroform, etil asetat, metanol, dan asam asetat di bawah sinar ultraviolet 366 nm

(23)

7

pemodifikasi karena memiliki indeks kepolaran di antara kloroform dan metanol (Lampiran 4). Adanya komponen pemodifikasi dapat menambah ketajaman pita-pita yang berhasil terpisah (Reich dan Schibli 2006). Modifikasi ini menghasilkan 13 pita menggunakan fase gerak campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (9:0.75:0.25)(Gambar 4) dengan deteksi menggunakan sinar ultraviolet 254 nm dan 366 nm (Lampiran 7), serta pereaksi anisaldehida-asam sulfat pada sinar tampak (Gambar 5). Senyawa-senyawa yang berhasil dipisahkan diduga termasuk keluarga terpenoid karena menghasilkan warna ungu setelah diderivatisasi dengan pereaksi anisaldehida (Santosa dan Hertiani 2005) (Gambar 5).

Gambar 4 Total pita ekstrak pegagan dari berbagai fase gerak campuran yang dideteksi menggunakan sinar tampak, sinar ultraviolet 254 dan 366 nm, pereaksi anisaldehida, dan pereaksi Liebermann-Burchard

(24)

8

Gambar 5 Hasil pengembangan ekstrak pegagan pada level keempat (a) dan uji coba pengembangan ekstrak pegagan di lajur kanan dan standar asiatikosida di lajur kiri menggunakan fase gerak campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (9:0.75:0.25) (b)

Modifikasi kembali dilakukan dengan meningkatkan jumlah metanol dari 0.75 mL menjadi 3, 3.25, 3.5, dan 4 mL dalam 10 mL campuran fase gerak (Lampiran 2) untuk meningkatkan kepolarannya. Digunakan pula bahan pemodifikasi berupa etil asetat dan asam asetat dengan jumlah berkisar antara 0.5 hingga 2 mL (Lampiran 2). Diketahui tiga dari sembilan macam fase gerak yang diuji (Lampiran 8) menghasilkan kromatogram dengan pita-pita yang tersebar merata (Gambar 6). Ketiga fase gerak tersebut adalah campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25), campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1), serta campuran kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1). Ketiganya menghasilkan pita asiatikosida pada RF~0.5. Kromatogram yang dihasilkan ketiga fase gerak dibandingkan (Gambar 6) untuk dihitung nilai resolusinya (Lampiran 12). Masing-masing pita pada ketiga kromatogram diberi kode huruf berdasarkan letak dan warnanya mulai dari pita A sampai K (Gambar 6).

Fase gerak campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1) tidak dipilih karena tidak berhasil memisahkan pita H, I, dan J (Gambar 6). Resolusi pita F dengan pita G pada fase gerak campuran kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1) lebih besar dari fase gerak campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25), tetapi fase gerak campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25) menghasilkan resolusi yang lebih besar antara pita F dengan pita E (Lampiran 9, 10, dan 11) sehingga dapat dikatakan kedua fase gerak memiliki selektivitas yang hampir sama terhadap asiatikosida (Reich dan Schibli 2006). Fase gerak optimum dapat ditentukan dengan membandingkan resolusi antarpita lainnya pada kedua kromatogram sehingga fase gerak campuran kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1) dipilih sebagai fase gerak optimum yang digunakan selanjutnya.

(a) (b)

(25)

9

Gambar 6 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan standar asiatikosida di lajur kiri dan ekstrak pegagan di lajur kanan menggunakan fase gerak campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25) (a), campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1) (b), dan campuran kloroform, metanol dan asam asetat (6.4:3.5:0.1) (c). Huruf berwarna kuning menandakan pita tersebut tidak terdeteksi. Pita asiatikosida ditunjukkan huruf F (ekstrak) dan F* (standar)

Stabilitas Analit

Stabilitas analit sebelum dan selama proses kromatografi penting untuk diketahui karena sistem dalam kromatografi lapis tipis tidak saling terhubung (offline). Aplikasi, pengembangan, hingga proses deteksi dilakukan secara terpisah sehingga peralihan setiap tahapnya memerlukan selang waktu. Hal tersebut menyebabkan banyak gangguan dari lingkungan yang dapat memengaruhi sistem, misalnya udara, cahaya, uap, debu, dan perubahan suhu. Adsorben pada pelat juga dapat bertindak sebagai katalis permukaan yang memfasilitasi perubahan analit (Koll et al. 2003; Reich dan Schibli 2006).

Stabilitas analit sebelum kromatografi dapat diketahui dengan mengembangkan dua ekstrak yang disiapkan pada waktu berbeda. Nilai RF pita asiatikosida pada lajur 1 dibandingkan dengan lajur 2 untuk mengevaluasi stabilitas analit dalam pelat, sedangkan lajur 3 dibandingkan dengan lajur 4 untuk mengevaluasi stabilitas analit dalam larutan (Reich dan Schibli 2006). Hasil pengembangan menunjukkan keempat lajur menghasilkan pola dan nilai RF yang sama (Gambar 7 dan Lampiran 13). Hal ini mengindikasikan analit tetap stabil selama tiga jam sebelum kromatografi dimulai.

(26)

10

Gambar 7 Hasil uji stabilitas analit sebelum kromatografi dengan deteksi pita menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard pada sinar tampak (a) dan ultraviolet 366 nm (b)

Pengembangan dua dimensi dilakukan untuk mengetahui stabilitas analit selama kromatografi berlangsung. Uji stabilitas menggunakan pengembangan dua dimensi berdasar pada asumsi bahwa senyawa yang stabil akan memiliki nilai RF yang sama pada dimensi pertama dan kedua (Reich dan Schibli 2006). Terdapat penyimpangan pada letak bercak analit yang terlihat berwarna merah di bawah cahaya ultraviolet 366 nm (Gambar 8). Berdasarkan hasil pengembangan pada pengoptimuman level keempat (Gambar 5 dan Lampiran 11), bercak tersebut diduga merupakan kumpulan berbagai jenis terpenoid. Tumpang tindih banyak bercak mengakibatkan terjadinya fronting pada pengembangan dimensi kedua.

Penumpukan pada bercak yang sama masih terjadi ketika jumlah ekstrak yang diaplikasikan dikurangi jumlahnya hingga 0.5 µL. Bercak tersebut masih memperlihatkan intensitas yang sangat tinggi ketika bercak lainnya redup (Gambar 8). Walaupun demikian, bercak masih tepat menyentuh garis diagonal. Hal ini mengindikasikan analit tidak terdekomposisi selama kromatografi. Berdasarkan hasil yang didapat, analit stabil selama proses kromatografi karena membentuk garis diagonal pada kromatogram dua dimensi, termasuk asiatikosida yang terdeteksi di bagian tengah pelat (Gambar 8).

Gambar 8 Hasil uji stabilitas analit selama proses kromatografi, dengan ekstrak yang dikembangkan sebanyak 3 µL (a) dan 0.5 µL (b)

(27)

11

Stabilitas hasil derivatisasi diketahui dengan mengamati stabilitas warna pelat yang sudah diberi pereaksi Liebermann-Burchard selama 60 menit. Hasil pengamatan menunjukkan warna hasil derivatisasi stabil selama lebih dari 60 menit. Walaupun secara visual terjadi penurunan intensitas warna setelah 5 menit pertama, tidak ada pita yang hilang hingga 60 menit setelah pewarnaan (Gambar 9, Lampiran 14).

Gambar 9 Hasil derivatisasi menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard di bawah sinar ultraviolet 366 nm, dari kiri ke kanan: sesaat setelah pewarnaan, 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 60 menit setelah pewarnaan

Uji Spesifitas

Suatu metode kualitatif dikatakan spesifik jika pengujian terhadap dua sampel dengan identitas yang berbeda memberikan hasil yang berbeda nyata. Selain itu, hasil pengujian dua sampel dengan identitas yang sama harus memperlihatkan hasil yang sama (Reich dan Schibli 2006). Uji spesifitas metode dilakukan dengan mengembangkan sampel pegagan dengan umur panen yang diketahui, pegagan tipe daun bulat, dan semanggi gunung (Hydrocotyle sibthorpioides) (Gambar 10).

Gambar 10 Pegagan (a), pegagan tipe daun bulat (b), dan semanggi gunung (c)

(28)

12

Lajur 1 menunjukkan sidik jari KLT ekstrak pegagan. Sementara lajur 5, 6, dan 7 berturut-turut menunjukkan sidik jari KLT ekstrak pegagan dengan umur 3, 4, dan 5 bulan (Gambar 11 dan Lampiran 15). Pegagan dengan umur panen 3, 4, dan 5 bulan menghasilkan pola yang identik. Pola ketiga ekstrak tersebut juga memperlihatkan banyak kesamaan dengan ekstrak pegagan di lajur 1. Pegagan pada lajur 1 menghasilkan pita pada RF=0.37 namun tidak menghasilkan pita pada RF=0.22 seperti pada lajur 5, 6, dan 7 (Gambar 11). Diduga perbedaan tersebut disebabkan umur panen pegagan pada lajur 1 jauh lebih tua jika dibandingkan dengan pegagan pada lajur 5, 6, dan 7 sehingga dimungkinkan senyawa tersebut merupakan hasil dekomposisi senyawa pada RF=0.22 pada lajur 5, 6, dan 7.

Gambar 11 Hasil uji spesifitas dengan pereaksi Liebermann-Burchard dalam sinar tampak (a), dan sinar ultraviolet 366 nm (b). Lajur 1, pegagan; lajur 2, pegagan tipe daun bulat; lajur 3, semanggi gunung; lajur 4, standar asiatikosida; lajur 5, pegagan umur 3 bulan; lajur 6, pegagan umur 4 bulan; lajur 7, pegagan umur 5 bulan

Selain morfologi daun, pegagan tipe daun bulat berbeda dari pegagan pada umumnya pada kadar asiatikosida yang terkandung di dalamnya (Zainol et al. 2008). Berdasarkan hasil pengujian (Gambar 11, lajur 2), pegagan tipe daun bulat memiliki pita yang sama dengan pegagan di RF=0.37, juga pita-pita lainnya yang hampir bertumpuk pada RF~0.95. Secara visual, pita asiatikosida pada RF=0.51 terlihat sangat redup. Menurut Zainol (2008), pegagan tipe daun bulat memiliki rerata kandungan asiatikosida sebesar 0.39 µg/mL sangat rendah jika dibandingkan dengan pegagan pada umumnya yang memiliki rerata kandungan asiatikosida sebesar 2.56 µg/mL.

(29)

13

asiatikosida (RF=0.51) sehingga tanaman ini diduga mengandung senyawa tersebut dalam jumlah kecil.

Uji Presisi dan Presisi Antara

Presisi dalam validasi metode kualitatif untuk kromatografi lapis tipis dapat diketahui melalui simpangan baku nilai RF pita-pita senyawa yang sama. Uji presisi dilakukan dengan mengembangkan tiga ekstrak pegagan yang disiapkan dalam waktu yang sama dalam satu pelat. Masing-masing ekstrak diaplikasikan 3 kali, dengan demikian terdapat 9 lajur dalam satu pelat pada uji presisi. Pengembangan ketiga ekstrak dilakukan dengan 3 pelat pada hari yang sama. Secara visual, presisi juga dapat ditentukan dari pola garis yang tersusun dari pita-pita senyawa yang sama di setiap lajur pada kromatogram (Reich dan Schibli 2006). Presisi semakin baik jika pola yang terlihat mendekati garis lurus (Reich dan Schibli 2008).

Diketahui simpangan baku RF asiatikosida intrapelat masih mendekati 0.01 (Tabel 1). Simpangan baku RF asiatikosida antarpelat pada hari pertama sebesar 0.0139 (Tabel 1). Syarat keberterimaan simpangan baku RF adalah 0.02. Dapat disimpulkan presisi dapat diterima. Penurunan RF rerata pelat ketiga (Tabel 1) dimungkinkan karena naiknya suhu udara sehingga penjenuhan fase gerak lebih cepat terjadi. Terbentuknya garis bergelombang (Lampiran 16) antara lain disebabkan oleh kelembaban yang tidak seragam atau kebocoran pada tutup bejana (Reich dan Schibli 2006).

(30)

14

Pengujian presisi dilanjutkan pada dua hari berikutnya. Hasil yang didapat dari pengujian tersebut dibandingkan dengan hasil uji presisi hari pertama sebagai presisi antara (Tabel 1). Uji presisi antara dilakukan dengan mengembangkan hanya satu pelat masing-masing pada hari kedua dan ketiga. Satu ekstrak pegagan disiapkan dan diaplikasikan sebanyak tiga kali pada pelat tersebut (Reich dan Schibli 2006). Berdasarkan simpangan baku RF intrapelat pada hari kedua dan ketiga (Tabel 1), presisi pada hari kedua dan ketiga dapat diterima. Selanjutnya, presisi dalam tiga hari pengujian dibandingkan (Lampiran 17). Simpangan baku RF dalam tiga hari pengujian sebesar 0.0107 (Tabel 1). Karena kriteria keberterimaan presisi antara tidak boleh lebih besar dari 0.05 (Reich dan Schibli 2008), dapat disimpulkan presisi antara dapat diterima.

Uji Ketegaran

Ketegaran adalah kemampuan suatu metode mempertahankan hasil yang tidak berbeda signifikan jika satu atau beberapa parameter mengalami perubahan (Reich dan Schibli 2006). Telah dilakukan penggantian jenis bejana kromatografi dan pengurangan jarak pengembangan untuk menguji ketegaran metode ini. Jenis bejana twin-trough yang digunakan diganti dengan flat-bottom (Lampiran 18). Secara teknis, perbedaan kedua jenis bejana terletak pada dasar bejana dan volume fase gerak yang dipakai. Bejana twin-trough hanya memerlukan 20 mL fase gerak, sedangkan bejana flat-bottom memerlukan minimal 50 mL fase gerak. Uji ketegaran dilakukan dengan mengembangkan standar di lajur 2 dan sampel di lajur 1 dan 3 menggunakan dua jenis bejana tersebut.

Hasil uji ketegaran menunjukkan penggunaan kedua jenis bejana menghasilkan pola yang sama secara visual (Gambar 12). Berdasarkan hasil perhitungan rerata nilai RF kedua pelat (Tabel 2) dapat disimpulkan perbedaan jenis bejana kromatografi tidak menimbulkan perbedaan nyata pada nilai RF asiatikosida karena simpangan baku nilai RF yang diperbolehkan lebih kecil dari 0.05 (Reich dan Schibli 2006). Nilai RF yang lebih rendah pada hasil pengembangan menggunakan flat-bottom chamber diduga karena volume fase gerak yang digunakan lebih besar sehingga uap yang terbentuk lebih banyak (Reich dan Schibli 2006).

Gambar 12 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan menggunakan bejana twin-trough (a) dan flat-bottom(b)

(a) (b)

0.49*

0.48* *0.49 0.45* *0.45

(31)

15

Uji ketegaran terhadap jarak pengembangan dilakukan dengan menurunkan jarak pengembangan dari 8 cm menjadi 7 cm. Berdasarkan kromatogram yang dihasilkan (Gambar 13) dan perhitungan rerata RF (Tabel 2) pemisahan tidak terpengaruh oleh penurunan jarak pengembangan hingga 7 cm.

Gambar 13 Kromatogram dengan jarak pengembangan 8 cm (a) dan 7 cm (b)

Tabel 2 Hasil uji ketegaran

Fase gerak yang optimum dalam memisahkan ekstrak pegagan adalah campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (64:35:1). Pola sidik jari tanaman pegagan berhasil ditentukan dengan rerata RF asiatikosida sebesar 0.50. Walaupun pola sidik jari KLT tanaman pegagan yang berbeda umur panen tidak terbedakan, metode ini berhasil membedakan pola sidik jari KLT tanaman pegagan, pegagan tipe daun bulat, dan semanggi gunung. Berdasarkan hasil validasi dapat disimpulkan metode ini dapat digunakan dalam kendali mutu tanaman pegagan.

(a) (b)

0.50* 0.49*

(32)

16

Saran

Sebaiknya dilakukan uji ketegaran metode terhadap kenaikan jarak pengembangan. Selain itu, diperlukan bejana kromatografi yang terkontrol suhu, kelembaban, dan kejenuhannya agar keterulangan pola sidik jari KLT yang dihasilkan lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Asakawa Y, Matsuda R, Takemoto T. 1982. Mono- and sesquiterpenoids from Hydrocotyle and Centella species. Phytochemistry. 21 (10): 2590-2592 Borges CN, Bruns RE, Almeida AA, Scarminio IS. 2007. Mixture design for the

fingerprint optimalization of chromatographic mobile phases and extraction solutions for Camelia sinensis. Anal Chim Acta. 595: 28-37

Soares PK, Burns RE, Scarminio IS. 2007. Statistical mixture design-principal component optimization for selective compound extraction from plant material. J Separation Sci. 30: 3302-3310

Fernand VE. 2003. Initial characterization of crude extracts from Phyllanthus amarus Schum. and Thonm. and Quissia amara L. using normal phase thin layer chromatography [tesis]. Lousiana (US): University of Suriname James J, Dubery I. 2011. Identification and quantification triterpenoid centelloids

in Centella asiatica L. Urban by densitometric TLC. J Planar Chromatogr. 24 (1): 82-87

Januwati M, Yusron M. 2005. Budidaya Tanaman Pegagan. Bogor (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika

Koll K, Reich E, Blatter A, Veit M. 2003. Validation of standardized high performance thin layer chromatographic methods for quality control and stability testing of herbals. J AOAC Int. 86: 909-915

Liang YZ, Xie P, Chan K. 2004. Quality control of herbal medicines. J Chromatogr B. 812: 53-70

Mora E, Fernando A. 2012. Pengoptimuman ekstraksi triterpenoid total pegagan [Centella asiatica (Linn.) Urban] yang tumbuh di Riau. JPFI. 1(1): 11-16 Reich E, Schibli A. 2006. High-Performance Thin-Layer Chromatography for the

Analysis of Medicinal Plants. New York (US): Thieme

Reich E, Schibli A. 2008. Validation of high performance thin layer chromatographic methods for identification of botanicals in a cGMP environment. J AOAC Int. 9: 13-20

Sadek P. 2002. The HPLC Solvent Guide. New York (US): Wiley Interscience Santosa CM, Hertiani T. 2005. Kandungan senyawa kimia dan efek ekstrak air

daun bangun-bangun (Coleus amboinicus L) pada aktivitas fagositosis netrofil tikus putih. MFI. 16: 141-148

(33)

17

Zainol NA, Voo SC, Sarmidi MR, Azis RA. 2008. Profiling of Centella asiatica L. Urban extract. Malays J Anal Sci. 12 (2): 322-327

(34)

18

Lampiran 1 Diagram alir penelitian

Pengoptimuman fase gerak tunggal dan campuran dua atau tiga pelarut

Validasi metode kualitatif Sonikasi serbuk pegagan

Ketegaran Spesifitas

Stabilitas analit Presisi dan presisi antara

Stabilitas pada pelat

Selama kromatografi Sebelum kromatografi

Setelah kromatografi (stabilitas warna derivatif) Stabilitas dalam larutan

Ketegaran terhadap penggantian jenis bejana kromatografi

(35)

19

Lampiran 2 Pengoptimuman fase gerak

Keterangan gambar

 Teks berwarna ungu: komponen pelarut yang dimanipulasi jumlahnya dalam satu level pengoptimuman

 Teks berwarna merah: komponen pelarut yang berperan sebagai aditif pemodifikasi fase gerak

 Bilangan tanpa tanda kurung: volume suatu pelarut tunggal dalam total 10 mL fase gerak campuran

(36)

20

Lampiran 3 Komposisi fase gerak yang dioptimumkan

Kode fase gerak Volume fase gerak tunggal dalam 10 mL campuran (mL) EtOEt CH2Cl2 CHCl3 EtOAc MeOH HOAc

Lampiran 4 Indeks kepolaran fase gerak tunggal (Sadek 2002)

(37)

21

Lampiran 5 Kromatogram hasil pengembangan ekstrak pada level kedua dalam sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b)

Lampiran 6 Kromatogram hasil pengembangan ekstrak pada level ketiga dalam sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b)

Lampiran 7 Kromatogram hasil pengembangan ekstrak pada level keempat dalam sinar ultraviolet 254 nm (a), 366 nm (b), dan pereaksi anisaldehida-asam sulfat pekat dalam sinar tampak (c)

(a) (b)

(a) (b) (c)

(a) (b)

A B C D E F A B C D E F

G H I J K L G H I J K L

(38)

22

Lampiran 8 Kromatogram hasil pengembangan standar (lajur kiri) dan sampel (lajur kanan) level kelima dalam sinar ultraviolet 254 nm (a), 366 nm (b), pereaksi Liebermann-Burchard dalam sinar tampak (c) dan ultraviolet 366 nm (d)

(a)

(b)

(d) (c)

a b c d e j k l m

a b c d e j k l m

a b c d e j k l m

(39)

23

Lampiran 9 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.25:3.5:0.25)

Keterangan untuk Lampiran 4, 5, dan 6:

Lampiran 10 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran kloroform, metanol, dan etil asetat (5:4:1)

(40)

24

Lampiran 11 Resolusi pemisahan ekstrak pegagan menggunakan eluen campuran kloroform, metanol, dan asam asetat (6.4:3.5:0.1)

Pita senyawa d (cm) dw (cm) RF RS

Lampiran 12 Contoh perhitungan resolusi kromatogram  Faktor retensi (RF) pita A menggunakan eluen d

 Resolusi antara pita A dan B menggunakan eluen d

Keterangan

d : Jarak bagian tengah zona pita senyawa dari garis start dW : Lebar pita senyawa

RF : Faktor retensi

(41)

25

Lampiran 13 Kromatogram hasil uji stabilitas analit sebelum kromatografi. Deteksi dengan sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b), sinar tampak (c), dan sinar ultraviolet 366 nm dengan pereaksi Liebermann-Burchard (e)

Lampiran 14 Kromatogram hasil derivatisasi menggunakan pereaksi Liebermann-Burchard di bawah sinar tampak sesaat setelah pewarnaan, 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit, dan 60 menit setelah pewarnaan

(a) (b)

(c) (d)

1 2 3 4

(42)

26

Lampiran 15 Kromatogram hasil uji spesifitas dalam sinar ultraviolet 254 nm (a) dan 366 nm (b), dan sinar tampak (c)

Lampiran 16 Hasil uji presisi RF hari pertama ulangan 1 (a), ulangan 2 (b), dan ulangan 3 (c)

(a) (b) (c)

1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6 7

(a)

(c)

(43)

27

Lampiran 17 Hasil uji presisi antara RF salah satu ulangan hari pertama (a), hari kedua (b), dan hari ketiga (c)

Lampiran 18 Bejana kromatografi (CAMAG®) jenis twin-trough (a) dan flat-bottom (b) (Reich dan Schibli 2006)

(a)

(c) (b)

(44)

28

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jakarta pada 27 November 1989 dari dan Ibu Gita dan Bapak Andi. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 44 Jakarta. Selanjutnya, pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Program Diploma Program Keahlian Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor (IPB), melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK).

Gambar

Gambar 4 Total pita ekstrak pegagan dari berbagai fase gerak campuran yang
Gambar 6 Perbandingan kromatogram hasil pengembangan standar asiatikosida di
Gambar 8 Hasil uji stabilitas analit selama proses kromatografi, dengan ekstrak
Gambar 10 Pegagan (a), pegagan tipe daun bulat (b), dan semanggi gunung (c)
+4

Referensi

Dokumen terkait

 Variasi akibat perubahan pada uji fungsi tiroid tersebut menekankan perhatian bahwa uji fungsi pada pasien eutiroid yang mendapat amiodarone memiliki kisaran nilai

Tuliskan ringkasan laporan Praktek Kerja Lapangan, yang merupakan ringkasan dari lingkup Praktek Kerja Lapangan (termasuk nama perusahaan, penjelasan singkat tentang

 Dalam kalimat perbandingan, baik yang menunjukkan kesetaraan, lebih atau pun paling, structure yang muncul sebelum dan sesudah penghubung yang digunakan haruslah parallel

ahap perancangan yang melakukan perancangan dokumen pada proses domain Service Transition dan Service Operation berdasarkan komponen people, process, ting dilakukan

ECT harus dipertimbangkan untuk digunakan pada pasien yang telah gagal dengan pengobatan, tidak  menoleransi obat, memiliki gejala yang berat atau psikoik, memiliki kecenderungan

Sebagai guru harus berusaha membantu murid-murid yang mengalami masalah rendah diri dan tidak bergaul dengan rakan-rakan dengan menolong murid tersebut membentuk sikap yang

Pada kelompok DXR+Andro20, pemberian andrografolid dosis 20 mg/kg BB dapat menghambat efek penurunan bobot badan dan bobot jantung akibat doksorubisin. Perubahan histopatologi

Moreover, the observer-based thermal bilateral control and mixed rendering of mechanical and thermal sensations were experimented to check the effectiveness of using the