• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau Di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau Di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

METODE PENENTUAN PRIORITAS

RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANJARBARU

KALIMANTAN SELATAN

NIDA HUMAIDA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK

CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Metode Penentuan Proritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

(4)

RINGKASAN

NIDA HUMAIDA. Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan perkotaan dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya disebut fenomena pulau bahang kota. Salah satu solusi untuk menurunkan suhu udara perkotaan akibat pulau bahang kota adalah dengan pengadaan ruang terbuka hijau. Namun metode penyediaan ruang terbuka hijau di Indonesia pada umumnya hanya mengukur luasan yang diperlukan, bukan lokasi yang pasti dimana ruang terbuka hijau harus dikembangkan agar berfungsi secara optimal dalam menurunkan suhu udara perkotaan. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan metode penentuan prioritas ruang terbuka hijau berdasarkan karakteristik biologi, fisik, sosial, dan ekonomi wilayah.

Tahapan penelitian meliputi pengumpulan data, pembentukan data spasial, dan analisis penentuan prioritas ruang terbuka hijau. Data yang dikumpulkan meliputi citra Landsat 8 dan beberapa data statistik dari instansi-instansi terkait (suhu udara dan kelembaban udara relatif, data kependudukan, dan nilai tanah). Pembentukan data spasial meliputi analisis tipe penutupan lahan (land cover), indeks kerapatan vegetasi (NDVI) dan indeks kenyamanan (THI), kepadatan penduduk, dan nilai tanah menjadi data vektor. Analisis penentuan prioritas ruang terbuka hijau. meliputi tumpang tindih (overlay) semua data vektor dan pembobotan dimana daerah yang memiliki kerapatan vegetasi jarang, nilai THI tinggi, jumlah penduduk padat, dengan harga tanah yang lebih rendah menjadi lokasi prioritas pengembangan RTH untuk menambah proporsi ruang terbuka hijau wilayah perkotaan.

Studi perbandingan dengan metode-metode yang telah ada dalam penyediaan ruang terbuka hijau di Kota Banjarbaru terbukti memberikan output rekomendasi luasan ruang terbuka hijau yang berbeda dan tidak dapat menentukan lokasi-lokasi mana yang paling memerlukan tambahan ruang terbuka hijau. Penerapan metode ini di Kota Banjarbaru diperoleh lokasi-lokasi prioritas untuk pengembangan ruang terbuka hijau baru yaitu meliputi sekitar wilayah lahan terbangun di Kelurahan Sungai Besar, Komet, Mentaos, dan Sungai Ulin, lahan bekas galian tambang di Kelurahan Cempaka, wilayah lahan basah di Kelurahan Landasan Ulin Utara, lahan bekas galian tambang di Kelurahan Cempaka dan wilayah Bandara Syamsudin Noor. Metode ini dapat diterapkan di kota-kota tropis lainnya karena kriteria yang dipakai sudah sesuai dengan karakteristik kota-kota tropis khususnya kriteria THI dan kriteria NDVI, sementara kriteria kepadatan penduduk dan nilai tanah disesuaikan dengan karakteristik daerah masing-masing.

(5)

SUMMARY

NIDA HUMAIDA. Priority Assessment Method of Green Open Space at Banjarbaru City of South Kalimantan. Supervised by LILIK BUDI PRASETYO and SITI BADRIYAH RUSHAYATI.

The greenhouse effect occurs in an urban area with less vegetation can cause its air temperature higher than its surroundings (suburban area), known as urban heat island. One of the solution to decrease the high air temperature is by adding more green open space. However, green open space planning in Indonesia concerns mostly about the quantity of green open space (to reach 30% of total area), not the certain locations where the green open space supposed to be built in order to cool down urban heat island. The objective of this study was to build a priority assessment method in determining the new additional green open space based on biological, physical, social, and economical characteristics of Banjarbaru City.

The stages of research consisted of inventory data, spatial data transformation, and green open space priority assessment analysis. The data we used in this study Landsat 8 satellite imagery and some statistical data from related state agencies (air temperature, relative humidity, urban population, and land price). Spatial data formation included estimating land cover types, normalized difference vegetation index (NDVI), temperature humidity index (THI), and converting population density and land price into vector data. Scoring method was intended to select each area with a sparse vegetation density, high THI value, high population, yet lower land prices to become the highest priority for green open space development plan in Banjarbaru City.

Comparative study toward other green open space planning methods that generally used in Indonesia toward Banjarbaru City proved that they gave out different calculation of green open space needs and still couldn’t determine the locations which had the urgen needs of green open space. By applying this method toward Banjarbaru City, the priority locations for new green open space were located around the urban area in the village of Sungai Besar, Komet, Mentaos, and Sungai Ulin. There were also wetland area in Landasan Ulin Utara, mined lands in Cempaka and Syamsudin Noor Airport. This method is also applicable for other tropical cities since the criteria for THI and NDVI were formulated to fit tropical urban area, while the criteria for population density and land price could be vary, depended on each urban’s characteristics.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

METODE PENENTUAN PRIORITAS

RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA BANJARBARU

KALIMANTAN SELATAN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)

Judul Tesis : Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan

Nama : Nida Humaida NIM : P052120091

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc

Ketua Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau di Kota Banjarbaru Kalimantan Selatan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof.Dr.Ir.Lilik Budi Prasetyo, M.Sc dan Dr.Ir.Siti Badriyah Rushayati, M.Si selaku pembimbing pertama dan kedua, yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Kepala Dinas Tata Kota dan Pekerjaan Umum, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Kepala Badan Pertanahan Nasional di Kota Banjarbaru atas bantuannya kepada penulis selama proses pengumpulan data penelitian.

Ungkapan terima kasih dan rasa hormat kepada ibunda Sa’adiah serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Dr.Drs.Krisdianto, M.Sc; Ichsan Ridwan, S.Si, M.Kom; Siti Hanifah Al Fitri, S.Si, M.Si; dan Virgina Maria Louisa, S.Si, M.Si atas dukungan dan bantuannya selama penulis berada di wilayah studi penelitian. Penulis juga sampaikan terimakasih kepada segenap tenaga pengajar dan pegawai Program Studi PSL SPS IPB serta teman-teman seperjuangan Tri Rahayuningsih, Nurlailita, Halima Malaka, Tri Tiana Ahmadiputri, Listin Fitrianah, serta semua pihak yang membantu hingga tesis ini berhasil diselesaikan.

Penulis berharap penelitian ini bermanfaat sebagai referensi bagi semua pihak dalam perencanaan pengembangan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan.

(12)

DAFTAR ISI

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) 7

Fungsi Ruang Terbuka Hijau 8

Efek Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island) 9

Hutan Kota 9

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi 10

METODE 11

Lokasi dan Waktu Penelitian 11

Alat dan Bahan Penelitian 11

Tahapan Penelitian 12

Jenis dan Metode Pengumpulan Data 12

Metode Analisis Data 13

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Kondisi Umum Wilayah Penelitian 22

Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau 26 Hasil Analisis Berbagai Metode Penentuan Luas Ruang Terbuka

Hijau 39

Teknik Analisis Data dan Output Penelitian 12

2. Pembagian Objek Permukaan Berdasarkan Nilai NDVI 15 3. Nilai ML dan AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8 16

4. Nilai K1 dan K2 AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8 16

(13)

8. Pembagian Kelas Ketinggian Wilayah Kota Banjarbaru 23 9. Pembagian kelas kemiringan lereng Kota Banjarbaru berdasarkan

klasifikasi USSM 23

10.Tipe Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru 28 11.Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan,

suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan wilayah administrasi Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC) 32

12.Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan, suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan tipe penutupan lahan Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC) 33

13.Jumlah penduduk dan kepadatan per km2 Kota Banjarbaru

menurut kelurahan pada Tahun 2013 35

14.Estimasi luas lokasi-lokasi prioritas ruang terbuka hijau yang diutamakan untuk menurunkan suhu udara Kota Banjarbaru 39 15.Analisis kebutuhan ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru dari

berbagai metode 41

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka Pemikiran 4

2. Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru 11

3. Tahapan penelitian 12

4. Tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial 14

5. Peta Topografi Wilayah Kota Banjarbaru 23

6. Peta Kemiringan Lereng Kota Banjarbaru 24

7. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjarbaru Tahun 2014 25 8. Peta Kerapatan Vegetasi Kota Banjarbaru Tahun 2014 27 9. Peta Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru Tahun 2014 28 10.Peta Sebaran Suhu Udara Kota Banjarbaru Tahun 2014 31 11.Grafik Hubungan antara Suhu Udara dan Kelembaban Udara

Relatif Tahun 2014 31

12.Peta Indeks Kenyamanan (THI) Kota Banjarbaru Tahun 2014 34 13.Peta Zona Nilai Tanah Kota Banjarbaru Tahun 2013 36 14.Hasil pembobotan penentuan wilayah prioritas RTH Kota

Banjarbaru 37

15.Zona wilayah prioritas ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru

berdasarkan harga tanah 38

DAFTAR LAMPIRAN

1. Penentuan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk 48

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akumulasi gas rumah kaca di atmosfer seperti karbondioksida (CO2), metan

(CH4), dan dinitrogen oksida (N2O) menimbulkan fenomena alam yang disebut

efek rumah kaca. Gas rumah kaca di atmosfer memantulkan kembali sinar infra merah yang dipancarkan dari bumi, sehingga sinar tersebut tidak terlepas ke angkasa luar melainkan terperangkap di troposfer, menyebabkan suhu di troposfer bumi meningkat (Soedomo 2001). Dalam keadaaan normal, efek rumah kaca diperlukan agar perbedaan suhu antara siang dan malam di bumi tidak terlalu jauh berbeda. Kelebihan gas rumah kaca seperti CO2 akan diserap oleh lautan serta

tumbuhan hijau untuk keperluan fotosintesis. Jika komposisi dari gas-gas rumah kaca ini melebihi kapasitas daya serap lautan dan tumbuhan hijau, maka dapat menimbulkan peningkatan suhu bumi (pemanasan global). Ketidakseimbangan dari komposisi gas-gas rumah kaca ini sebagian besar akibat emisi yang dihasilkan oleh aktivitas manusia.

Dampak negatif dari efek rumah kaca akan lebih terasa di wilayah perkotaan (urban) yang cenderung memiliki pertumbuhan populasi yang lebih cepat daripada wilayah suburban dan sedikit wilayah yang tertutupi vegetasi (ruang terbuka hijau). Gas rumah kaca yang terakumulasi secara berlebihan di kawasan perkotaan menyerap radiasi gelombang panjang dari matahari, sehingga menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya seolah-olah menciptakan pulau tersendiri. Fenomena ini disebut dengan pulau bahang kota (urban heat island). Taha (1997) menyatakan urban heat island terjadi saat permukaan bervegetasi alami telah digantikan oleh permukaan yang non-reflektif, permukaan tak tembus air yang menyerap radiasi sinar matahari dalam presentase tinggi. Penelitian dari Rosenfeld et al. (1995) menyimpulkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi listrik 2-4% per kenaikan 1⁰C di 5 kota besar AS. Peningkatan suhu akibat efek pulau bahang kota dapat meningkatkan konsumsi pendingin ruangan dan mempercepat terbentuknya kabut asap di perkotaan Pohon yang rindang (kanopi luas) dan permukaan yang cerah terbukti dapat menurunkan suhu udara mikro dan mengurangi dampak dari pulau bahang kota. Emmanuel (2005) menyatakan bahwa ruang terbuka hijau harus menjadi bagian dari strategi mitigasi untuk mengatasi fenomena pulau bahang kota.

(15)

Penentuan lokasi penambahan ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan Indonesia mengalami beberapa masalah diantaranya adalah populasi manusia yang cenderung terakumulasi di pusat kota sehingga sulit untuk menambahkan ruang terbuka hijau publik yang berfungsi secara optimal dalam mendinginkan suhu udara perkotaan, serta dasar perencanaan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan di Indonesia sejauh ini hanya memperhatikan kuantitas atau jumlah ruang terbuka hijau. Berbagai metode pendekatan dalam penyediaan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan di Indonesia diantaranya adalah penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan fungsi tertentu, kebutuhan oksigen, jumlah penyerapan emisi CO2, dan persepsi

masyarakat.

Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah perkotaan ditetapkan dalam Undang Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yakni paling sedikit 30% dari total luas wilayah perkotaan. Proporsi ini dianggap sebagai ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, baik keseimbangan sistem hidrologi dan keseimbangan mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kota. Perencanaan ruang terbuka hijau kawasan perkotaan di Indonesia pada umumnya cenderung untuk memenuhi proporsi tersebut yang terdiri atas 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% ruang terbuka hijau privat.

Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan jumlah penduduk dan kebutuhan fungsi tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.5 Tahun 2008 mengenai pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan dengan ketentuan jumlah penduduk beserta luasannya disajikan pada Lampiran 1. Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu dalam hal ini adalah untuk perlindungan/pengamanan, sarana dan prasarana misalnya melindungi kelestarian sumber daya alam, pengaman pejalan kaki atau membatasi perkembangan penggunaan lahan agar fungsi utamanya tidak teganggu. Ruang terbuka hijau pada kategori ini meliputi jalur hijau sempadan rel kereta api, jalur hijau jaringan, listrik tegangan tinggi, RTH kawasan perlindungan setempat berupa RTH sempadan sungai, RTH sempadan pantai, dan RTH pengamanan sumber air baku/mata air.

Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan oksigen menggunakan rumus dari metode Gerakis (1974) yang dimodifikasi oleh Wisesa (1988) yakni menentukan luas ruang terbuka hijau berdasarkan dari total jumlah hasil kali antara kebutuhan oksigen per orang dengan jumlah penduduk, kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor dengan jumlah kendaraan bermotor, dan kebutuhan oksigen per industri dengan jumlah industri, yang kemudian dibagi dengan konstanta rataan oksigen yang dihasilkan hutan kota. Penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan penyerapan emisi CO2 ditentukan dari perhitungan total

emisi CO2 dari sektor transportasi, permukiman, dan industri (dalam satuan

(16)

Metode penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan luas wilayah, jumlah penduduk, kebutuhan oksigen, dan penyerapan emisi CO2 yang masih berfokus

pada kuantitas RTH yang diperlukan dan masing-masing dapat menghasilkan rekomendasi luasan RTH yang berbeda. Metode-metode tersebut juga belum bisa menentukan prioritas lokasi yang strategis untuk ditambahkan RTH yang baru untuk menurunkan suhu perkotaan. Sementara penyediaan ruang terbuka hijau berdasarkan kebutuhan fungsi tertentu dan persepsi masyarakat lebih memperhatikan aspek kualitas, yaitu fungsi ruang terbuka hijau dan tidak menentukan luasan dalam angka. Oleh karena itu, diperlukan metode baru yang cepat dan akurat dengan representasi spasial yang meliputi semua aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi untuk memberikan gambaran lokasi prioritas di wilayah perkotaan untuk ditambahkan ruang terbuka hijau yang baru, sehingga aspek kualitas dan kuantitas ruang terbuka hijau yang akan direkomendasikan ke depan menjadi tepat sasaran dalam upaya menciptakan lingkungan yang hijau, asri, dan nyaman.

Kerangka Pemikiran

Penentuan lokasi yang tepat untuk pengembangan ruang terbuka hijau memerlukan suatu kajian ilmiah yang terukur dari berbagai aspek suatu wilayah, diantaranya aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi. Manusia cenderung hidup dalam kelompok dan untuk mendapatkan lebih dekat menuju fasilitas umum membuat mereka mengkonsumsi lebih banyak ruang terbuka untuk perumahan atau melakukan aktivitas mereka. Populasi manusia yang tinggi cenderung disertai dengan tingginya aktivitas transportasi dan konsumsi oksigen yang besar, sehingga menyebabkan tingginya jumlah emisi CO2. Pesatnya pertumbuhan

populasi manusia, peningkatan jumlah lahan terbangun, dan emisi CO2 yang

tinggi dari aktivitas manusia telah menjadi faktor utama yang mengurangi jumlah ruang terbuka perkotaan, menyebabkan peningkatan suhu udara perkotaan.

Metode penginderaan jauh (Remote Sensing) merupakan metode analisis spasial yang paling tepat untuk menganalisis efek pulau bahang kota secara keseluruhan dan menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan ruang terbuka hijau baru dalam fungsinya untuk mendingankan suhu perkotaan. Analisis dengan menggunakan penginderaan jauh (remote sensing) memiliki prinsip dasar berupa perekaman informasi dengan menggunakan radiasi yang dipancarkan oleh matahari atau sumber energi lainnya akan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi dan atmosfer dalam bentuk reflektansi permukaan. Hasil pantulan tersebut akan direkam oleh sensor suhu dari satelit untuk memperoleh informasi tentang suhu permukaan bumi.

(17)

harus dikembangkan di lokasi dengan suhu udara yang tinggi untuk menciptakan iklim mikro yang nyaman.

Hung et al. (2005) menggunakan aspek fisik dan biologi dari wilayah kota-kota besar di Asia untuk menentukan hubungan antara fenomena pulau bahang kota dengan karakteristik tutupan lahan dengan melakukan tumpang tindih (overlay) peta penutupan lahan, kerapatan vegetasi (NDVI), dan suhu permukaan. Norton et al. (2015) telah melakukan metode penentuan prioritas pembangunan infrastruktur ruang terbuka hijau dengan menggunakan aspek fisik dan sosial wilayah sebagai kriteria, yaitu nilai suhu permukaan yang diekstraksi dari foto udara dan data LIDAR, nilai kerentanan yang berasal dari data kependudukan, dan nilai paparan perilaku yang berasal dari letak fasilitas publik. Norton menentukan lokasi prioritas ruang terbuka hijau sebagai lokasi dengan suhu permukaan yang lebih tinggi, padat penduduk, dengan aktivitas publik yang tinggi.

Metode yang akan dirumuskan pada penelitian ini menggunakan citra Landsat 8 yang dapat didownload secara gratis dari website USGS (U.S. Geological Survey) dan memiliki kualitas data yang lebih tinggi daripada citra Landsat versi sebelumnya. Secara garis besar, metode yang akan dibangun pada penelitian ini berdasarkan bagan kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Aspek biologi yang diukur diantaranya analisis penutupan lahan (land cover) dan indeks vegetasi. Indeks vegetasi (NDVI) menggambarkan nilai kerapatan dan tingkat kehijauan biomassa sehingga daerah dengan nilai NDVI rendah (lahan kosong, lahan terbangun, rumput dan semak belukar dengan kisaran

Metode Penentuan Prioritas RTH Kota

Rekomendasi daftar lokasi penambahan RTH

Aspek Biologi

- Tutupan Lahan

(Land Cover)

(18)

nilai NDVI 0 – 0.3) akan diputuskan sebagai daerah prioritas RTH. Indeks kenyamanan (THI) digunakan sebagai aspek fisik yang terukur mengantikan suhu permukaan untuk mendeteksi fenomena pulau bahang kota karena menggambarkan pengaruh suhu udara dan kelembaban terhadap kenyamanan manusia. Faktor kepadatan penduduk sebagai aspek sosial yang terukur ditambahkan karena fenomena pulau bahang kota cenderung ditemukan di kawasan urban yang padat penduduk. Nilai tanah sebagai bagian dari aspek ekonomi digunakan untuk memperkirakan nilai lokasi prioritas ruang terbuka hijau yang akan dibeli serta untuk menggambarkan nilai opportunity cost (biaya kesempatan) suatu area jika dikonversi menjadi ruang terbuka hijau daripada peruntukan lain dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi. Dari penelitian ini, hasil

overlay dari semua aspek diharapkan tidak hanya menggambarkan fenomena pulau bahang kota berdasarkan karakteristik tutupan lahan, tetapi juga dapat menggambarkan prioritas kebutuhan suatu wilayah perkotaan akan ruang terbuka hijau sebagai solusi untuk mendinginkan suhu udara perkotaan akibat pulau bahang kota.

Penelitian ini memilih Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan, sebagai wilayah studi penelitian dengan alasan kota ini telah mengalami gejala awal dari efek pulau bahang kota yaitu peningkatan populasi penduduk, bertambahnya alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, dan terjadi peningkatan suhu udara tiap tahunnya. Kota Banjarbaru saat ini mengalami peningkatan suhu udara selama lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan BMKG Kota Banjarbaru, suhu rata-rata kota Banjarbaru pada tahun 2014 adalah 28.3⁰C, lebih tinggi dari suhu rata-rata pada tahun 2010 yaitu 27.9⁰C.

Kota Banjarbaru berkembang sangat pesat sejak diputuskan sebagai ibukota Kalimantan Selatan menggantikan Kota Banjarmasin pada tahun 2011. Sebelumnya kota ini merupakan kota administratif yang berasal dari pemekaran Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Adapun alasan mengapa Kota Banjarbaru dijadikan pusat pemerintahan Provinsi karena Kota Banjarmasin dipandang sudah terlalu padat penduduk dan tidak nyaman untuk ditinggali. Kota Banjarmasin tercatat memiliki jumlah penduduk sebanyak 648,029 jiwa pada tahun 2012 dan sekitar 45% penduduknya terakumulasi di Kecamatan Banjarmasin Selatan dan Banjarmasin Barat dengan kepadatan tertinggi mencapai 13,701 jiwa/km2. Kota

Banjarmasin berkembang menuju kota besar yang menjadikan kota ini memiliki banyak masalah, seperti kemacetan, tata ruang kota yang semakin sempit, jumlah penduduk yang semakin bertambah, kebersihan kota yang semakin parah, dan lain lain.

(19)

keseluruhan luas wilayahnya. Hingga tahun 2011, sebesar 12 998.3 ha atau lebih kurang 30% wilayah Kota Banjarbaru telah berubah menjadi permukiman.

Jumlah penduduk di Kota Banjarbaru terus berkembang dengan adanya perpindahan penduduk dari luar Kota Banjarbaru, baik dari Kalimantan sendiri maupun dari luar Kalimantan. Perkembangan penduduk ini beriringan dengan semakin terbukanya wilayah Kota Banjarbaru seperti untuk kawasan permukiman, pusat pendidikan, pusat perkantoran, serta Bandar Udara Syamsudin Noor maupun peruntukan yang lain. Jika dengan pertumbuhan kota yang pesat namun sistem tata kota yang diterapkan masih sama, tidak menutup kemungkinan beberapa tahun mendatang Kota Banjarbaru akan menjadi Kota Banjarmasin kedua. Analisis spasial yang cepat dan akurat dengan menggunakan penginderaan jauh (remote sensing) diperlukan dalam menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas untuk ditambahkan RTH baru, karena penyebaran penduduk Kota Banjarbaru tidak merata. Oleh karena itu, metode yang akan dirumuskan dalam penelitian ini dianggap cocok untuk diaplikasikan di Kota Banjarbaru yang mulai menunjukkan gejala pulau bahang kota dan sebagai bagian dari strategi penataan ruang terbuka hijau sejak dini untuk mempertahankan faktor kenyamanan kota.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan kerangka pemikiran yang telah dibangun, maka dirumuskan permasalahan bagaimana merumuskan metode untuk menentukan lokasi-lokasi yang menjadi prioritas pengembangan RTH untuk menambah proporsi ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru secara spasial dengan memperhatikan aspek biologi, fisik, sosial, dan ekonomi dari wilayah Kota Banjarbaru.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan metode penentuan prioritas ruang terbuka hijau berdasarkan karakteristik biologi, fisik, sosial, dan ekonomi kawasan perkotaan dan mengaplikasikannya di Kota Banjarbaru.

Manfaat Penelitian

Metode yang telah dibangun dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan menjadi referensi acuan bagi para peneliti dalam menentukan lokasi prioritas ruang terbuka hijau di kota tropis lainnya.

Ruang Lingkup Penelitian

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP)

Ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan secara umum terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. RTH perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan menyebutkan bahwa ruang terbuka adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur dimana di dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau, pemanfatannya lebih bersifat pengisian tanaman hijau atau tumbuh-tumbuhan secara alamiah ataupun budidaya tanaman seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya.

Ruang terbuka hijau kota merupakan bagian dari penataan ruang perkotaan yang berfungsi sebagai kawasan lindung. Kawasan hijau kota terdiri atas pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi kota, kawasan hijau kegiatan olahraga, kawasan hijau pekarangan. Ruang terbuka hijau selama ini diklasifikasi berdasarkan status kawasan, bukan berdasarkan bentuk dan struktur vegetasinya (Fandeli 2004).

Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dan sebagainya.

(21)

berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari kawasan kota yang memberikan kontribusi utama dalam meningkatkan kualitas lingkungan yang sehat dan dinamis. RTH tidak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang dalam kota, namun juga harus dapat berfungsi sebagai penjaga keseimbangan ekosistem kota untuk kelangsungan fungsi ekologis dan berjalannya fungsi kota yang sehat dan wajar. Bertnatzky (1978) menggambarkan suatu model RTH sebagai ventilasi kota, yang menjadi sumber udara segar dan bersih, yang disusun mengelilingi dan struktur kota yang masif, dan akan membentuk ruang-ruang ventilasi yang dapat mengeluarkan udara tercemar dari dalam kota dan mengalirkan udara bersih.

Ruang terbuka hijau memiliki fungsi sebagai pencipta kenyamanan bagi manusia melalui faktor iklim, yaitu suhu, radiasi matahari, curah hujan dan kelembaban. Vegetasi dapat menyerap panas dari radiasi matahari dan memantulkannya sehingga dapat menurunkan suhu mikroklimat. Vegetasi juga dapat mengurangi kecepatan angin tergantung pada derajat keefektifan tanaman dan teknik peletakkannya. Selain itu, ruang terbuka hijau dapat melembutkan suasana keras dan struktur fisik bangunan, membantu menurunkan tingkat kebisingan, udara panas dan polusi sekitarnya serta membentuk kesatuan ruang (Carpenter et al. 1975). Simonds (1983) menyatakan RTH dapat membentuk karakter kota, memberikan kenyamanan dan menjaga kelangsungan hidupnya. Secara lebih spesifik dijelaskan bahwa RTH memiliki fungsi sebagai 1) penjaga kualitas lingkungan, 2) penyumbang ruang bernafas yang segar dan indah, 2) paru-paru kota, 4) penyangga sumber air tanah, 5) mencegah erosi, serta 6) sebagai unsur dan sarana pendidikan. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, fungsi RTH memiliki fungsi utama (intrinsik) sebagai fungsi ekologis, yaitu memberikan jaminan pengadaaan RTH menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro, peneduh, produsen oksigen, penyerap polusi dan air hujan, penyedia habitat satwa dan penahan angin. Fungsi tambahan (ekstrinsik) dari RTH adalah:

1) Fungsi sosial, dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, serta sebagai wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam, 2) Fungsi ekonomi, yang merupakan sumber produk yang bisa dijual seperti

tanaman bunga, daun, sayur dan buah, serta bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan, kehutanan dan sebagainya.

(22)

Efek Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island)

Efek rumah kaca yang terjadi ketika emisi gas CO2 yang terakumulasi

secara berlebihan akibat berbagai aktivitas manusia di perkotaan menyerap radiasi balik berupa radiasi gelombang panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang terperangkap di atmosfer khususnya troposfer di atas perkotaan, dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya seolah-olah menciptakan pulau panas tersendiri, maka kondisi seperti ini disebut dengan efek pulau bahang. Iklim perkotaan dapat berbeda cukup jauh dengan iklim pedesaan dalam hal besarannya tergantung pada kondisi cuaca, karakteristik termofisika dan geometris perkotaan, serta kelembaban antropogenik dan sumber panas yang terdapat di daerah tersebut. Suatu pulau bahang kota dapat terjadi pada berbagai skala dan dapat terjadi di sekitar bangunan tunggal, kanopi vegetasi yang kecil, atau sebagian besar dari wilayah perkotaan (Taha 1997; Voogt 2002).

Haq (2011) menyimpulkan bahwa efek pulau bahang kota dapat meningkatkan suhu perkotaan hingga 5 oC. Menggunakan vegetasi untuk

mengurangi biaya energi dari alat pendingin ruangan telah semakin diakui sebagai penghematan biaya yang efektif dengan meningkatkan ruang terbuka hijau dan penanaman pohon di perkotaan. Hasil penelitian dari Rosenfeld et al. (1995) juga membuktikan bahwa peningkatan suhu akibat efek pulau bahang kota meningkatkan konsumsi pendingin ruangan dan mempercepat terbentuknya kabut asap di perkotaan. Pohon yang rindang (kanopi luas) serta permukaan yang cerah dapat menurunkan suhu udara mikro sehingga menghemat konsumsi energi listrik dan mengurangi efek dari pulau bahang kota.

Hutan Kota

Hutan kota merupakan bentuk persekutuan vegetasi pohon yang mampu menciptakan iklim mikro dan lokasinya di perkotaan atau dekat kota. Hutan di perkotaan ini tidak memungkinkan berada dalam areal yang luas. Bentuknya juga tidak harus dalam bentuk blok, akan tetapi hutan kota dapat dibangun pada berbagai penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan kriteria untuk menetapkan bentuk dan luasan hutan kota. Kriteria penting yang dapat dipergunakan adalah kriteria lingkungan. Hal ini berkaitan dengan manfaat penting hutan kota berupa manfaat lingkungan yang terdiri atas konservasi mikroklimat, keindahan, serta konservasi flora dan kehidupan liar (Fandeli 2004). Secara umum bentuk hutan kota adalah :

1. Jalur Hijau. Jalur Hijau berupa peneduh jalan raya, jalur hijau di bawah kawat listrik, di tepi jalan kereta api, di tepi sungai, di tepi jalan bebas hambatan. 2. Taman Kota. Taman Kota diartikan sebagai tanaman yang ditanam dan ditata

sedemikian rupa, baik sebagian maupun semuanya hasil rekayasa manusia, untuk mendapatkan komposisi tertentu yang indah.

3. Kebun dan Halaman. Jenis tanaman yang ditanam di kebun dan halaman biasanya dari jenis yang dapat menghasilkan buah.

(23)

Tanaman dapat berasal dari daerah setempat, maupun dari daerah lain baik dalam negeri maupun luar negeri.

5. Hutan Lindung, daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut (Dahlan 1992).

Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi

Penginderaan jauh merupakan suatu ilmu dan seni dalam memperoleh informasi mengenai suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa suatu kontak langsung (Lillesand et al. 2008). Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem berbasis komputer yang digunakan untuk menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan atau memanggil kembali data yang mempunyai referensi keruangan, untuk berbagai tujuan yang berkaitan pemetaan dan perencanaan. Kedua macam teknologi ini sangat bermanfaat dalam pengelolaan informasi keruangan mengenai kondisi permukaan (dan dekat permukaan) bumi. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya, teknologi tersebut cenderung diintegrasikan demi peningkatan efisiensi perolehan serta akurasi hasil pemetaannya, sebagai masukan dalam proses perencanaan dan pengelolaan wilayah.

(24)

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banjarbaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Kota Banjarbaru secara geografis terletak di antara 3o25’40” Lintang

Selatan - 3o28’37” Lintang Selatan dan 114o41’22” Bujur Timur - 114o54’25”

Bujur Timur, dengan luas 371.3 km2 (37 130 ha). Wilayah penelitian meliputi 5

wilayah kecamatan pada wilayah adminsitratif Kota Banjarbaru yaitu Banjarbaru Utara, Banjarbaru Selatan, Landasan Ulin, Liang Anggang dan Cempaka, , yang masing-masing terdiri atas empat kelurahan. Penelitian dilakukan September 2014 sampai bulan April 2015. Peta lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru Alat dan Bahan Penelitian

(25)

data klimatologi berupa suhu udara dan kelembaban relatif dari Stasiun Klas I dan II BMKG Kota Banjarbaru, data nilai tanah dari BPN Provinsi Kalimantan Selatan.

Tahapan Penelitian

Tahapan penelitian ini meliputi kegiatan pengumpulan data spasial dan statistik Kota Banjarbaru, pembentukan data spasial, survey lapangan / observasi dan analisis spasial dalam rangka menentukan prioritas ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru, masing-masing tahapan tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tahapan penelitian

Jenis dan Metode Pengumpulan Data

Pada tahap pengumpulan data, data yang dikumpulkan secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Matrik Jenis Data, Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, Teknik Analisis Data dan Output Penelitian

Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

Teknik

Analisis Data Output Penelitian

 Peta Citra Peta citra, peta batas administrasi, data

klimatologi (suhu udara dan kelembaban udara relatif), data kependudukan, dan data nilai tanah

Pembentukan Data Spasial : Klasifikasi penutupan lahan, kerapatan

vegetasi, sebaran indeks kenyamanan (THI), kepadatan penduduk , dan nilai

(26)

Jenis Data Sumber Data Teknik Pengumpulan Data

Teknik

Analisis Data Output Penelitian

- Analisis

Spasial Rekomendasi lokasi prioritas ruang terbuka hijau

Metode Analisis Data

Deskripsi Kondisi Umum Wilayah dan Metode-Metode Penyediaan Kebutuhan Ruang Terbuka Hijau

Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui kondisi atau gambaran umum lokasi penelitian berkaitan kondisi fisik, topografi, rencana tata ruang wilayah, dan kondisi ruang terbuka hijau Kota Banjarbaru serta perbandingan terhadap metode-metode yang telah ada dalam penyediaan ruang terbuka hijau di Indonesia yang kemudian diaplikasikan terhadap Kota Banjarbaru dengan cara pengumpulan data sekunder, tabulasi, dan studi pustaka.

Pembentukan Data Spasial

(27)

garis besar, tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial dijelaskan pada Gambar 4.

Gambar 4 Tahapan pengolahan citra Landsat 8 menjadi data spasial 1. Kerapatan Vegetasi

Salah satu perhitungan kerapatan vegetasi yang umum dipakai dan efektif untuk mengidentifikasikan aspek kerapatan dan kondisi kehijauan vegetasi di suatu wilayah adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), dengan cara menghitung seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun. Secara matematis, nilai NDVI berkisar antara -1 sampai +1, dimana semakin rapat kondisi vegetasi pada suatu wilayah maka akan memiliki nilai NDVI yang cenderung mendekati nilai +1, sedangkan nilai NDVI perairan bebas akan cenderung bernilai negatif. Persamaan untuk menghitung NDVI adalah sebagai berikut:

NDVI = (NIR – VIS)/(NIR+VIS) (1)

Dimana NIR merupakan reflektansi kanal inframerah dekat/near infrared

dan VIS merupakan reflektansi kanal cahaya tampak/red. Pada citra Landsat 8,

(28)

yaitu kerapatan vegetasi sangat jarang (≤20%), jarang (21-40%), sedang (41-60%), padat (61-80%), dan sangat padat (≥80%).

Tabel 2 Pembagian Objek Permukaan Berdasarkan Nilai NDVI

Objek Permukaan Nilai NDVI

Awan es, awan air, salju <0

Batuan dan lahan kosong 0 – 0.1

Padang rumput dan semak belukar 0.2 – 0.3

Hutan daerah hangat dan hutan hujan tropis 0.4 – 0.8

Sumber: USGS 2013

2. Penutupan Lahan (Land Cover)

Analisis penutupan lahan atau Land Cover bertujuan untuk mengetahui distribusi tiap tipe penutupan lahan Kota Banjarbaru dengan metode klasifikasi terbimbing (supervised) dari citra komposit untuk landsat 8 yaitu band 6, 5, dan 3 yang masing-masing memiliki resolusi 30 m. Proses resolution merge dilakukan dengan mengunakan band 8 (panchromatic) yang memiliki resolusi 15 m untuk meningkatkan resolusi citra (USGS 2013). Klasifikasi penutupan lahan pada penelitian ini terdiri dari 10 tipe penutupan lahan yaitu badan air, lahan terbangun, lahan terbuka/kosong, hutan lahan basah, hutan lahan kering, semak belukar / alang-alang, semak belukar bercampur rawa, perkebunan, ladang/ tegalan/kebun campuran, dan sawah.

Proses uji akurasi digunakan untuk menilai seberapa besar kesesuaian antara hasil klasifikasi dengan kondisi tutupan lahan di lapangan. Badan Survey Geologi Amerika Serikat (USGS) telah mensyaratkan tingkat ketelitian sebagai kriteria utama bagi sistem klasifikasi penutupan atau penggunaan lahan yang disusun yaitu tingkat ketelitian klasifikasi / interpretasi minimum dengan menggunakan penginderaan jauh harus tidak kurang dari 85 % (Lillesand & Kiefer 1990).

3. Indeks Kenyamanan (THI)

Tahapan estimasi indeks kenyamanan (THI) dari citra Landsat 8 berturut-turut meliputi konversi band Themal Infrared Sensors (TIRS) yakni band 10 dan 11 menjadi suhu radian, suhu permukaan, suhu udara, estimasi kelembaban udara relatif, dan indeks kenyamanan (THI).

a. Suhu Radian (Brightness Temperature)

(29)

MLn = Band-specific multiplicative rescaling factor band ke-n darimetadata citra satelit (RADIANCE_MULT_BAND_n)

ALn = Band-specific additive rescaling factor band ke-n darimetadatacitra satelit (RADIANCE_ADD_BAND_n)

Qcaln = Quantized and calibrated standard product pixel values (DN) pada band ke-n

Tabel 3 Nilai ML dan AL masing-masing band TIRS pada Landsat 8

Band ML AL

10 3.3420 x 10-04 0.10000

11 3.3420 x 10-04 0.10000

- Konversi nilai radian spektral menjadi suhu radian Tbn= K2n

Nilai suhu dalam derajat Kelvin dikonversi terlebih dahulu menjadi nilai derajat Celcius dengan persamaan berikut:

(30)

Pv = (ndvi – ndvimin / ndvimax – ndvimin)2 (6)

ε = εvPv + εs (1 – Pv) = 0.004Pv + 0.986 (7)

Tsn =

Tbn

(7) 1 + ( . )ln ε

Ts=Ts10+T2 s11 (8)

Dimana:

n = Nomor band

Ts = Suhu Permukaan (LST)

Tb = Suhu radian (Brightness Temperature)

w = Panjang gelombang cahaya yang dipancarkan (wavelength of emmited radiance)

ρ = h.c/σ = 1.438 x 10-2 mK = 14 380 µmK

h = Konstanta Planck (6.626 x 10-34 Js) c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m/s )

σ = Konstanta Boltzmann (1.38 x 10-23 J/K)

c. Suhu Udara (Ta)

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung suhu udara adalah dengan menggunakan persamaan neraca energi meliputi perhitungan radiasi netto, fluks bahang tanah, fluks bahang terasa, dan estimasi suhu udara sebagai berikut:

1) Menghitung Radiasi Netto

Energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan oleh suatu permukaan (Rsout), dapat diduga dari sensor satelit yang menerima kisaran panjang

gelombang pendek (Effendy 2007). Pada citra Landsat 8, kisaran panjang gelombang pendek diterima oleh kanal visible (2, 3 dan 4). Persamaan yang digunakan mengikuti persamaan (2).

Lλ2 = ML2Qcal2 + AL2 (9)

Lλ3 = ML3Qcal3 + AL3 (10)

Lλ4 = ML4Qcal4 + AL4 (11)

Rsout n = π x Lλn x d2 x band n1 (12)

= (13)

Dimana:

n = Nomor band

(31)

1/band = Nilai tengah dari panjang gelombang tiap band

Lλ = Nilai radian spektral

d = Jarak bumi – matahari (earth sun distance) dari metadata

Albedo (α) merupakan perbandingan radiasi gelombang pendek yang dipantulkan permukaan dengan radiasi radiasi gelombang pendek yang datang.

(14)

(15) ESUN= (π.d2) . Radiance_Maximum/Reflectance_Maximum (16)

αn = LRadiance_Maximum . cos θ λn . Reflectance_Maximum (17)

α = α2 + α3 3 + α4 (18)

Rsnetto = Rsin - Rsout (19)

Dimana:

n = Nomor band

Rsout = Radiasi gelombang pendek yang keluar (Wm-2)

Rsin = Radiasi gelombang pendek yang datang (Wm-2)

Rsnetto= Selisih antara Rsin dan Rsout

1/band = Nilai tengah dari panjang gelombang tiap band α = Albedo permukaan

Lλ = Nilai radian spektral

θ = Sudut Zenit Matahari (90osun elevation)

ESUN = Rata-rata nilai solar spectral Irradiance

d = Jarak bumi – matahari (earth sun distance)

Nilai sudut elevasi matahari, jarak bumi-matahari, radiance maximum, dan

reflectance maximum bisa ditemukan di metadata citra Landsat 8. Pada penelitian ini, citra yang digunakan memiliki waktu akuisisi 25 Agustus 2014 dengan sudut elevasi matahari adalah 59.08330681, jarak bumi ke matahari adalah 1.0108997, sehingga nilai d2 adalah 1.02191820346009. Nilai radiance maximum masing-masing band 2, 3, dan 4 berturut-turut adalah 761.62006, 701.82635, dan 591.81952. Nilai tengah dari panjang gelombang masing-masing band 2, 3, dan 4 berturut-turut adalah 0.48, 0.56, dan 0.655.

(32)

Rlout = εσTs4 (20)

Rnetto = Rsnetto - Rlout (21)

Dimana:

Rlout = Radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan objek

(Wm-2)

ε = Emisivitas permukaan

σ = Tetapan Stefan-Bolztman (5.67x10-8 Wm-2 K-4)

Ts = Suhu Permukaan (dalam Kelvin)

Rlin (radiasi gelombang panjang yang diserap oleh objek/benda) diabaikan

dalam perhitungan suhu udara.

2) Fluks Bahang Tanah (Soil Heat Flux)

Fluks panas tanah adalah sejumlah energi radiasi surya yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah (Effendy 2007). Persamaan untuk menghitung fluks bahang tanah menurut Allen

et al. (2001) dan Chemin (2003) dapat diekstraksi dari radiasi netto, suhu permukaan, albedo, dan nilai NDVI adalah sebagai berikut:

(22)

Dimana :

G = Perpindahan panas tanah (soil heat flux) (Allen et al. 2001) Rn = Radiasi netto (Wm-2)

α = Albedo permukaan NDVI = Indeks vegetasi Ts = Suhu Permukaan (K)

3) Fluks Bahang Terasa (Sensible Heat Flux)

Fluks panas udara adalah sejumlah energi dari radiasi netto yang digunakan untuk memanaskan udara, dikenal sebagai sensible heat flux (Effendy 2007). Nilai

sensible heat flux (H) dihitung berdasarkan persamaan neraca energi permukaan Rn = H + G + λE dan persamaan Bowen ratio. Bowen ratio (β) adalah perbandingan antara fluks panas udara (sensible heat flux) dengan fluks panas laten (latent heat flux atau λE) yang menggambarkan energi untuk evapotranspirasi. Bowen Ratio digunakan untuk mempartisi energi yang tersedia di permukaan sehingga dapat menggambarkan potensi kekeringan di suatu wilayah (CSI 2005; Khomaruddin 2005)

β = λH (23)

(33)

Lamptey (2010) menyatakan bahwa nilai Bowen Ratio adalah konstan di tiap tipe tutupan lahan. Standar nilai Bowen Ratio di berbagai tipe tutupan lahan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Nilai Bowen Ratio di Berbagai Tipe Tutupan Lahan Tipe Tutupan Lahan Bowen Ratio

Badan Air 0.1[1,2] nilai sensible heat flux (H) dari persamaan-persamaan sebagai berikut:

H = ρair . Cpr (Ts – Ta) (25)

u = Kecepatan angin normal pada ketinggian 1-2 m untuk RTB = 1.79 ms-1dan RTH = 1.41 ms-1 (Khomaruddin 2005)

d. Estimasi Kelembaban Udara Relatif

Rushayati (2012) menyatakan bahwa estimasi nilai kelembaban diberbagai tipe tutupan lahan dapat ditentukan dari hasil regresi antara suhu rata-rata dan kelembaban rata-rata yang didapatkan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika dengan persamaan y = a + bx, dimana y merupakan kelembaban variabel terikat (RH), sedangkan x merupakan variabel bebas. Nilai DN dari suhu udara permukaan (Ta) yang didapat dari data citra, digunakan sebagai nilai x

(34)

dimasukkan ke dalam software ArcGIS 9.3 sehingga didapatkan peta sebaran kelembaban.

e. Indeks Kenyamanan (Temperature Humidity Index)

Penentuan indeks kenyamanan atau THI dapat ditentukan dari nilai suhu udara (oC) dan kelembaban udara dengan menggunakan persamaan Nieuwolt

(1975) dalam Murdiyarso dan Suharsono (1992), yaitu:

THI = (0.8 x Ta) + [ RH x T500 a ] (21)

Klasifikasi untuk nilai THI di wilayah tropis mengacu pada Emmanuel (2005) yaitu kategori nyaman untuk nilai THI 21-24, kurang nyaman untuk THI 25-27, dan tidak nyaman untuk nilai THI >27.

Analisis Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau

Analisis overlay (tumpang susun) dilakukan untuk menyatukan beberapa obyek sehingga mempermudah dalam analisis berdasarkan posisi spasial. Overlay

dilakukan antara peta penutupan lahan, kerapatan vegetasi, indeks kenyamanan (THI), kepadatan penduduk (jumlah per km2), dan nilai tanah per m2. Pembobotan

(scoring) yang disajikan pada Tabel 6 dimana wilayah yang memiliki skor terbanyak merupakan wilayah yang menjadi prioritas untuk pengembangan ruang terbuka hijau (RTH).

Tabel 6 Kriteria Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau

No Indikator Kriteria Skor

Sumber: [1]Emmanuel (2005), [2]Dewanti et al. (1999), [3]Modifikasi dari Peraturan Kepala

BPS No.37 Tahun 2010 tentang Klasifikasi Perkotaan dan Pedesaan di Indonesia

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Wilayah Penelitian

Kota Banjarbaru adalah salah satu kota di Provinsi Kalimantan Selatan yang telah diresmikan menjadi Wilayah Kota Otonom pada tahun 1999 melalui UU No. 9 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kota Banjarbaru. Secara geografis Kota Banjarbaru terletak di antara: 3o25’40” Lintang Selatan - 3o28’37” Lintang

Selatan dan 114o41’22” Bujur Timur - 114o54’25” Bujur Timur, dengan luas

371.3 km2 (37 130 ha) dan secara administratif terdiri atas 5 kecamatan, yang

masing-masing terdiri atas kelurahan-kelurahan yang disajikan dalam Tabel 7 sebagai berikut:

Tabel 7 Daftar Kecamatan dan Kelurahan Kota Banjarbaru Kecamatan Luas Wilayah (ha) Kelurahan

Banjarbaru Utara 244.4 Loktabat Utara, Mentaos, Komet, dan Sungai Ulin

Banjarbaru Selatan 219.6 Loktabat Selatan, Kemuning, Guntung Paikat, dan Sungai Besar

Landasan Ulin 924.2 Guntung Payung, Guntung Manggis, Landasan Ulin Timur, dan Syamsudin Noor

Liang Anggang 858.6 Landasan Ulin Tengah, Landasan Ulin Utara, Landasan Ulin Barat, dan Landasan Ulin Selatan

Cempaka 1467.0 Palam, Bangkal, Sungai Tiung, dan Cempaka

Kota Banjarbaru juga beriklim tropis seperti halnya kota-kota lain di Indonesia dengan dua musim yaitu musim penghujan dan kemarau. Berdasarkan pemantauan Stasiun Meteorologi Banjarbaru pada tahun 2014, suhu udara di Kota Banjarbaru rata-rata berkisar antara 26.6 °C sampai dengan 28.4 °C. Suhu udara maksimum tertinggi terjadi pada bulan Oktober (35.5 °C) dan suhu minimum terendah terjadi pada bulan Januari (21.7°C). Kelembaban udara relatif tinggi dengan berkisar antara 65.2% sampai dengan 86.8% dengan kelembaban maksimum tertinggi pada bulan Januari dan Desember serta kelembaban minimum terendah terjadi pada bulan Oktober. Rata-rata curah hujan pada tahun 2014 adalah 269.63 mm.

Ketinggian wilayah Kota Banjarbaru bervariasi dari 0 – 500 meter di atas permukaan laut. Pembagian kelas ketinggian wilayah Kota Banjarbaru menurut BPS Kota Banjarbaru disajikan pada Tabel 8, sedangkan peta topografi wilayah Kota Banjarbaru disajikan pada Gambar 5.

(36)

Tabel 8 Pembagian Kelas Ketinggian Wilayah Kota Banjarbaru

Kelas Ketinggian Luas (ha) (%)

0 – 7 m 5 939.20 17.94

7 – 25 m 15 693.33 47.40

25 – 100 m 11 007.42 33.25

100 – 250 m 381.09 1.15

250 – 500 m 88.04 0.27

Sumber: BPS Kota Banjarbaru dan hasil analisis

Gambar 5 Peta Topografi Wilayah Kota Banjarbaru

Kemiringan lereng Kota Banjarbaru relatif datar hingga sangat landai. Pembagian kelas kemiringan lereng Kota Banjarbaru disajikan pada Tabel 9 dan Gambar 6.

Tabel 9 Pembagian kelas kemiringan lereng Kota Banjarbaru berdasarkan klasifikasi USSM

Kelas

Kemiringan* Keterangan Luas (ha) (%)

0 – 2 % Datar – Hampir Datar 8 899.31 26.97

2 – 6 % Sangat Landai 19 641.97 59.53

6 – 13 % Landai 3 241.98 9.83

13 – 25 % Agak Curam 753.39 2.28

25 – 55 % Curam 432.92 1.31

>55 % Sangat Curam 24.28 0.07

(37)

Gambar 6 Peta Kemiringan Lereng Kota Banjarbaru

BPS Banjarbaru (2013) menginformasikan bahwa Kota Banjarbaru secara umum mempunyai kedalaman efektif >90 cm dimana jenis-jenis tanaman tahunan akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Drainase di Kota Banjarbaru tergolong baik, wilayah yang tidak tergenang mencakup 22 633 ha, wilayah tergenang secara periodik mencakup 3 480 ha (daerah peralihan rawa menjadi sawah), dan wilayah tergenang secara terus menerus mencakup 5 831 ha. Jenis tanah di Kota Banjarbaru terdiri dari 3 jenis tanah, yaitu Kompleks Podsolik Merah Kuning (63.82%), Organosol Gleihumus (29.82%), dan Laterit Tanah Latosol (6.36%).

Kota Banjarbaru dilintasi beberapa sungai yaitu Sungai Tiung, Sungai Lukas, Sungai Kuranji, Sungai Berasau (dimana keempatnya bermuara ke Sungai Cempaka), Sungai Besar (bermuara di Sungai Loktabat), Sungai Guntung Pinang dan Sungai Guntung Paring (bermuara ke Sungai Rancahirang). Pola aliran sungai secara umum adalah dendritis dan trelis, termasuk stadium sungai tua yang memiliki banyak kelokan, dengan bentuk dasar sungai U.

(38)

6427.97 ha atau 20.005%. Saat ini, RTH yang telah ada seluas 2638.83 ha (8.213%) meliputi RTH privat seluas 288,44 ha dan RTH Publik seluas 2.350,40 ha. Oleh karena itu, masih diperlukan RTH Privat seluas ±2 934.67 ha dan RTH Publik seluas ±4 077.57 ha. Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banjarbaru Tahun 2014 ditunjukkan pada Gambar 7.

(39)

Metode Penentuan Prioritas Ruang Terbuka Hijau Pembentukan Data Spasial

A. Aspek Biologi: Indeks Kerapatan Vegetasi dan Tipe Penutupan Lahan

Penentuan indeks kerapatan vegetasi dari suatu citra multiband dapat dilakukan dengan teknik transformasi spektral yang menggunakan penisbahan saluran (band rationing) terhadap saluran infra merah dekat (near infrared) dan saluran merah (red) untuk menonjolkan efek kerapatan vegetasi. Ray (1995) menyebutkan ada empat golongan besar transformasi indeks vegetasi, yaitu (a) indeks vegetasi dasar (generik), (b) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh latar belakang tanah, (c) indeks vegetasi yang meminimalkan pengaruh atmosfer, dan (d) indeks vegetasi lainnya.

Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) adalah kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. Transformasi ini merupakan salah satu produk standar NOAA (National Oceanic dan Atmospheric Administration), satelit cuaca yang berorbit polar namun memberikan perhatian khusus pada fenomena global vegetasi dan cuaca. Berbagai penelitian mengenai liputan vegetasi di Benua Afrika banyak menggunakan transformasi ini (Tucker 1986). Transformasi NDVI mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi dengan kisaran nilai antara -1 sampai +1. Transformasi indeks vegetasi dari data citra memiliki prinsip dasar bahwa vegetasi dengan kerapatan yang beragam terletak diantara garis vegetasi dan garis tanah yang ditunjukkan oleh piksel-piksel pada data citra. Pada mulanya, indeks vegetasi dikembangkan terutama berdasarkan

feature space tiga saluran: hijau, merah, dan inframerah dekat. Ketiga saluran ini cukup representatif dalam menyajikan fenomena vegetasi. Meskipun demikian, pola spektral vegetasi pada saluran merah dan inframerah dekat lebih diperhatikan karena sangat berlawanan dalam menggambarkan garis vegetasi dan garis tanah (Danoedoro 2012).

Hasil perhitungan indeks vegetasi (NDVI) menggunakan band 5 (infra merah) dan band 4 (merah) dari citra Landsat 8 menunjukkan kisaran indeks vegetasi antara -0.320 hingga 0.645. Nilai ndvi < 0 adalah badan air seperti sungai dan danau. Nilai NDVI antara 0 hingga 0.1 menggambarkan bebatuan, lahan kosong, dan lahan terbangun. Nilai NDVI antara 0.2 hingga 0.3 menggambarkan vegetasi rumput dan semak belukar, sementara nilai NDVI antara 0.4 hingga 0.8 menggambarkan vegetasi hutan. Semakin tinggi nilai NDVI maka semakin besar kerapatan vegetasi suatu wilayah karena garis vegetasi yang dibentuk dari penisbahan antara band 5 (infra merah) dan band 4 (merah) menunjukkan bahwa vegetasi sangat rapat dan berdaun lebar dengan latar belakang tanah yang gelap memiliki nilai NDVI yang tinggi. Sementara daerah yang memiliki nilai NDVI yang rendah cenderung berada pada piksel-piksel latar belakang tanah yang lebih cerah dengan kelembaban yang bervariasi.

Kisaran indeks kerapatan vegetasi berdasarkan kriteria NDVI dari Dewanti

(40)

Gambar 8 Peta Kerapatan Vegetasi Kota Banjarbaru Tahun 2014

Klasifikasi penutupan lahan atau multispektral diperlukan untuk mengetahui sebaran dan luas tipe penutupan lahan di wilayah studi. Metode pengolahan citra penginderaan jauh ini paling sering digunakan dalam analisis spasial suatu wilayah untuk mengelompokkan suatu fenomena berdasarkan kriteria tertentu. Phinn (2002) menyebutkan bahwa klasifikasi multispektral mengasumsikan bahwa setiap objek dapat dibedakan dari yang lain berdasarkan (a) resolusi spasial tinggi, dimana setiap piksel merupakan piksel murni yang tersusun atas satu macam objek penutup lahan, (b) piksel-piksel yang menyusun satu jenis penutup lahan memiliki kesamaan spektral, dan (c) setiap penutup lahan berbeda juga mempunyai perbedaan spektral yang signifikan. Klasifikasi multispektral terdiri atas dua macam, yaitu klasifikasi terbimbing (supervised) dan klasifikasi tak terbimbing (unsupervised). Klasifikasi terbimbing menggunakan sejumlah

training sample yaitu sampel-sampel yang telah diketahui kelasnya oleh operator. Sementara klasifikasi tak terbimbing dimulai memeriksa seluruh piksel dan membagi ke dalam kelas-kelas berdasarkan nilai-nilai citra yang ada.

(41)

pada citra dengan menggunakan software Erdas Imagine 9.1 dan ArcGIS 9.3. Survey lapangan serta pengecekan dengan Google Earth Pro dilakukan untuk mendukung uji akurasi klasifikasi citra satelit. Pada penelitian ini ditentukan sepuluh kelas tutupan lahan yaitu badan air, lahan terbangun, lahan terbuka/kosong, hutan lahan basah, hutan lahan kering, semak belukar/alang-alang, semak belukar bercampur rawa, perkebunan ladang/tegalan/kebun campuran, dan sawah. Hasil uji akurasi menunjukkan akurasi 91% dengan Kappa Statistics 0.90. Nilai ini telah memenuhi syarat minimal akurasi menurut Lillesand dan Kiefer (1990) yaitu lebih dari 85%. Masing-masing sebaran dan luasan kelas tipe penutupan lahan Kota Banjarbaru disajikan pada Gambar 9 dan Tabel 10.

Gambar 9 Peta Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru Tahun 2014 Tabel 10 Tipe Penutupan Lahan (Land Cover) Kota Banjarbaru

No. Tipe Penutup Lahan Luas (ha) (%)

1 Badan Air 474.75 1.43

2 Lahan Terbangun 3 496.86 10.56

3 Lahan Terbuka/Kosong 1 648.92 4.98

4 Hutan Lahan Kering 725.72 2.19

5 Hutan Lahan Basah 599.61 1.81

(42)

No. Tipe Penutup Lahan Luas (ha) (%)

7 Semak Belukar bercampur Rawa 4 511.92 13.62

8 Perkebunan 852.89 2.57

9 Ladang/Tegalan/Kebun Campuran 3 872.31 11.69

10 Sawah 3 454.55 10.43

Sumber: Hasil analisis

Berdasarkan Gambar 8 dan Gambar 9, kerapatan vegetasi menggambarkan kerapatan biomassa tumbuhan hijau dan potensi kekeringan di suatu wilayah. Nilai NDVI ≤ 0 mewakili badan air. Kerapatan vegetasi sangat jarang hingga jarang meliputi wilayah campuran antara lahan terbangun dan lahan kosong dengan sangat sedikit vegetasi. Disamping itu vegetasi sangat jarang hingga jarang juga terdapat di sebagian tutupan lahan semak belukar bercampur rawa di wilayah bagian selatan Kota Banjarbaru dimana sebagian besar jenis vegetasi berupa gulma terapung yang mengering saat musim kemarau. Berdasarkan tipe penutupan lahan, maka proporsi tutupan bervegetasi (ruang terbuka hijau) Kota Banjarbaru pada tahun 2014 meliputi 54.52% dari luas keseluruhan kota Banjarbaru. Wilayah kelurahan yang paling sedikit proporsi ruang terbuka hijaunya adalah Kelurahan Komet (RTH 15.10%) dan Kelurahan Mentaos (39.93%) dari Kecamatan Banjarbaru Utara. Kelurahan Sungai Besar (Kecamatan Banjarbaru Selatan) memiliki persentase tutupan vegetasi 43.60%, sementara wilayah kelurahan lainnya memiliki tutupan vegetasi lebih dari 50%. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah luasan RTH ini secara fungsional mampu mendinginkan suhu udara menjadi sejuk atau tidak. Maka dari itu, perlu diukur indeks kenyamanan pada tiap tipe penutupan lahan.

B. Aspek Fisik: Indeks Kenyamanan (THI)

Indeks termal dalam penginderaan jauh dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa ada dua hal yang menyebabkan area bervegetasi memiliki kondisi iklim mikro relatif sejuk yaitu (1) kanopi yang menahan masuknya energi matahari menembus sampai ke bawah liputan pepohonan dan (2) dedaunan melakukan evapotranspirasi sehingga temperatur menjadi lebih rendah (Danoedoro 2012). Pada Citra Landsat TM dan ETM+, model indeks termal dianalisis dengan memanfaatkan saluran inframerah termal (TIRS) yaitu band 6, sedangkan pada Citra Landsat 8, saluran inframerah termal (TIRS) yang digunakan ada dua yaitu

band 10 dan band 11.

(43)

yang paling tepat untuk menetapkan efek dari kondisi peningkatan panas udara terhadap kenyamanan manusia dengan mengkombinasikan suhu udara dan kelembaban udara relatif. Oleh karena itu, indeks kenyamanan tidak hanya berperan sebagai indikator terjadinya pulau bahang kota, tetapi juga menggambarkan kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka hijau sebagai pendingin suhu demi tercapainya lingkungan hidup yang nyaman untuk ditinggali. Tahapan estimasi indeks kenyamanan (THI) dari citra Landsat 8 berturut-turut meliputi konversi band TIRS (band 10 dan 11) menjadi suhu radian, suhu permukaan, suhu udara, estimasi kelembaban udara relatif, dan indeks kenyamanan (THI). Hasil analisis suhu radian dari sensor band 10 dan 11 (Brightness Temperature) dengan menggunakan software ArcGIS didapatkan rata-rata suhu radian berkisar antara 22.33 – 33.52 oC. Nilai suhu radian kemudian

dipakai untuk menentukan nilai suhu permukaan (Land Surface Temperature)

yang merupakan hasil interaksi antara suhu di atmosfer dan permukaan bumi. Hasil analisis suhu permukaan (Land Surface Temperature) menunjukkan kisaran 21.79 – 32.57 oC.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung suhu udara adalah dengan menggunakan persamaan neraca energi meliputi perhitungan radiasi netto, fluks bahang tanah, fluks bahang terasa, dan estimasi suhu udara. Hasil perhitungan dari persamaan-persamaan neraca energi menunjukkan nilai radiasi gelombang pendek yang keluar (Rsout) berkisar antara 50.77 – 511.54 Wm-2.

Kemampuan permukaan lahan dalam menyerap dan memantulkan radiasi matahari (albedo) menunjukkan kisaran antara 0.06 – 0.57. Perbandingan antara nilai radiasi gelombang pendek yang keluar dengan albedo permukaan menghasilkan nilai radiasi gelombang pendek yang datang (Rsin) dengan kisaran

antara 880.53 – 895.79 Wm-2. Radiasi gelombang pendek netto (R

snetto)

didapatkan dari selisih antara nilai radiasi gelombang pendek yang datang dengan nilai radiasi gelombang pendek yang keluar yaitu 379.37 – 830.79 Wm-2. Hasil perhitungan radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan menunjukkan kisaran antara 423.39 – 488.69 Wm-2. Hasil neraca radiasi (Rnetto)

didapatkan dari selisih antara nilai radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang diemisikan oleh permukaan yaitu berkisar antara (-57.46) – 402.59 Wm-2.

Nilai fluks bahang tanah (soil heat flux) menggambarkan total energi yang digunakan untuk memanaskan permukaan dan kedalaman tanah melalui proses konduksi. Hasil perhitungan fluks bahang tanah menunjukkan kisaran antara (-78.94) – 106.81 Wm-2. Nilai energi yang digunakan untuk memanaskan udara

(fluks bahang terasa/sensible heat flux) dapat ditentukan dari nilai radiasi netto, fluks bahang tanah, dan Bowen ratio pada tiap jenis tutupan lahan. Hasil perhitungan fluks bahang terasa menunjukkan kisaran antara (-0.49) – 280.93 Wm-2. Nilai suhu udara dapat diduga dari persamaan fluks bahang terasa (persamaan 19) yaitu berkisar antara 20.07 – 31.62 oC yang disajikan pada

(44)

Gambar 10 Peta Sebaran Suhu Udara Kota Banjarbaru Tahun 2014

Estimasi kelembaban udara ditentukan dari persamaan regresi suhu udara dan kelembaban rata-rata pada tahun 2014 dari Stasiun Klimatologi Klas I dan Stasiun Meteorologi Klas II Banjarbaru yaitu y = 320.7 – 8.818x dimana y adalah kelembaban udara relatif dan x adalah digital number dari hasil estimasi suhu udara yang diekstraksi dari citra Landsat 8. Hasil analisis regresi antara suhu udara dan kelembaban udara relatif disajikan dalam grafik pada Gambar 11.

Gambar 11 Grafik hubungan antara suhu udara dan kelembaban udara relatif tahun 2014

y = -8.818x + 320.7 R² = 0.69

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

26.0 26.5 27.0 27.5 28.0 28.5 29.0

Ke

lemb

aba

n

Uda

ra

R

elatif

(%

)

(45)

Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan, suhu udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan wilayah administrasi dan tipe penutupan lahan dapat ditentukan dengan menggunakan fungsi analisis spasial

Zonal Statistics dengan software ArcGIs disajikan dalam Tabel 11 dan Tabel 12. Tabel 11 Nilai minimum, rata-rata dan maksimum dari suhu permukaan, suhu

udara, dan indeks kenyamanan (THI) berdasarkan wilayah administrasi Kota Banjarbaru pada tahun 2014 (dalam oC)

Wilayah

Administrasi Min Mean Max Min Mean Max Min Mean Max Suhu Permukaan Suhu Udara THI 1. Kec. Cempaka

- Kel. Palam 23.66 26.08 29.87 20.88 24.11 27.83 22.41 24.48 26.45

- Kel. Sungai

Tiung 23.43 25.38 29.49 20.22 23.37 27.28 21.94 24.04 26.20

- Kel. Cempaka 22.48 25.19 29.41 20.13 23.05 26.99 21.87 23.84 26.05

- Kel. Bangkal 23.50 25.56 28.89 20.62 23.74 27.26 22.22 24.27 26.19

2. Kec. Liang Anggang

- Kel. Landasan

Ulin Barat 22.67 25.49 30.81 20.53 23.56 29.75 22.16 24.15 27.27

- Kel. Landasan

Ulin Selatan 22.61 26.43 30.31 20.07 24.96 28.37 21.83 24.97 26.70

- Kel. Landasan

Ulin Tengah 24.07 26.52 29.92 21.67 24.86 28.86 22.96 24.89 26.91

- Kel. Landasan

Ulin Utara 23.84 25.92 32.72 20.96 24.38 31.66 22.46 24.64 27.96

3.Kec. Landasan Ulin

- Kel.

Syamsud-din Noor 24.06 26.34 30.65 21.35 24.56 29.21 22.74 24.74 27.06

- Kel. Landasan

Ulin Timur 23.73 26.80 29.82 21.42 25.17 28.76 22.78 25.08 26.87

- Kel. Guntung

Payung 23.99 26.23 30.02 21.54 24.20 28.54 22.86 24.53 26.77

- Kel. Guntung

Manggis 21.94 26.68 29.98 20.51 24.80 28.99 22.15 24.88 26.97

4.Kec. Banjarbaru Selatan

- Kel. Sungai

Besar 24.99 27.27 29.11 22.36 24.94 27.14 23.41 24.97 26.13

- Kel. Kemuning 24.60 27.07 29.77 22.36 24.81 27.70 23.41 24.89 26.39

- Kel. Loktabat

Selatan 24.57 26.94 29.44 21.92 24.69 27.14 23.12 24.82 26.13

- Kel. Guntung

Paikat 24.74 27.18 29.40 22.51 24.91 26.90 23.51 24.95 26.01

5. Kec. Banjarbaru Utara

- Kel. Mentaos 23.22 26.67 29.02 20.68 24.50 26.69 22.26 24.70 25.91

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Gambar 2  Peta Batas Administrasi Kota Banjarbaru
Gambar 3  Tahapan penelitian
Tabel 5 Nilai Bowen Ratio di Berbagai Tipe Tutupan Lahan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ruang Terbuka Hijau pada Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi kemudian dioverlay dengan hasil klasifikasi tutupan lahan tahun 2003, 2009, dan 2013. Hasil overlay

Berdasarkan klasifikasi tutupan lahan yang dilakukan pada tahun 2014, luasan tutupan lahan berupa tegakan pohon kurang dari 10% di masing-masing wilayah kota

Ruang Terbuka Hijau Kota Medan, 3) Ketersediaan lahan hutan mangrove dalam. Peta Tutupan Lahan

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan menunjukan bahwa semakin tinggi nilai NDVI maka semakin tinggi nilai persentase tutupan hijau, hal ini menunjukan bahwa

Model perencanaan RTH Taman Lingkungan yang sesuai dengan preferensi masyarakat, lingkungan alam dan lingkungan binaan di Kota Banjarbaru adalah dilengkapi

Luas RTH menurut kebutuhan oksigen Kota Pasuruan sebesar 547,12 Ha, jika dengan kerapatan vegetasi 5 x 5 m maka jumlah pohon yang dibutuhkan Kota Pasuruan yaitu minimal

Pelaksanaan ruang terbuka hijau dan mengetahui kecukupan ruang terbuka hijau dapat diperoleh dengan cara mendapatkan data dari peta rupa bumi Indonesia, Tutupan lahan kota Ambon,

51 4.4 Analisis Penentuan Area Prioritas Ruang Terbuka Hijau Publik Hasil overlay dan scoring/pembobotan dari tiga analisis yaitu analisis tingkat ketersediaan cadangan lahan RTH