• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aktivitas Harian Dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus Javanicus Geoffroy 1812) Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aktivitas Harian Dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus Javanicus Geoffroy 1812) Di Taman Nasional Gunung Halimun Salak"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

AKTIVITAS HARIAN DAN WILAYAH JELAJAH KUKANG

JAWA (

Nycticebus javanicus

Geoffroy

1812) DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ADITYA NURCAHYANI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

ADITYA NURCAHYANI. Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh DONES RINALDI dan RICHARD STEPHEN MOORE.

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan primata endemik Jawa Barat yang termasuk ke dalam kategori Critically Endangered dalam IUCN. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas harian, wilayah jelajah, kondisi habitat dari pemilihan lokasi tidur, dan komposisi vegetasi kukang jawa. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai September 2014 dengan menggunakan satu individu kukang jawa liar yang telah dipasang radio collar. Aktivitas makan merupakan aktivitas harian dominan pada kukang jawa dengan presentase sebesar 33.23%. Berdasarkan hasil perhitungan menggunakan metode Minimum Convex Polygon (MCP) diperoleh rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa 8.16 ha, sedangkan dengan menggunakan Fixed Kernel (FK) 95% diperoleh rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa 4.13 ha dan dua daerah inti dengan luas 0.5 ha. Jenis tumbuhan yang ditemukan pada analisis vegetasi sebanyak 22 jenis tumbuhan. Kukang jawa menggunakan liana cangkore pada pohon reungas dan pohon kokosan monyet.

Kata kunci: aktivitas harian, kukang jawa, wilayah jelajah

ABSTRACT

ADITYA NURCAHYANI. Daily Activity and Home Range of Javan Slow Loris (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) in Halimun Salak Mountain National Park. Supervised by DONES RINALDI and RICHARD STEPHEN MOORE.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

AKTIVITAS HARIAN DAN WILAYAH JELAJAH KUKANG

JAWA (

Nycticebus javanicus

Geoffroy

1812) DI TAMAN

NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

ADITYA NURCAHYANI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)
(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini ialah kukang jawa, dengan judul Aktivitas Harian dan Wilayah Jelajah Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF dan Richard Stephen Moore, PhD selaku pembimbing atas arahan, bimbingan, dan saran kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) beserta staff dan dokter hewannya (Mba Winar, Mba Wendi, Mas Numan, Mas Huda, Merry, Mba Omah), para keeper di kandang rehabilitasi (Kang Mastur, Kang Acong, Kang Pudin, Kang Igud, Kang Hendi) dan para tim monitoring kukang (Kang Mursid, Kang Gepeng, Kang Kempleng, Kang Nedi, Kang Betok, Kang Adul, Uci, Kang Meni, Kang Kudil, Kang Bobi, Kang Tapol, Pak Otang, Kang Kojek, Namrata) yang telah banyak membantu selama pengambilan data.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua orang tua atas doa dan dukungannya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Rizky Amalia Aztianti sebagai teman seperjuangan selama penelitian, sekaligus teman-teman tercinta (Ela, Ajrin, Tami, Iqoh, Engga, Nova, Heru, Ebi, Okta, Virin) keluarga besar DKSHE, HIMAKOVA, dan Nephentes Rafflesiana (KSHE 47) yang namanya tidak bisa disebutkan satu persatu, serta kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun material dalam proses pembuatan skripsi ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat dan Bahan 3

Metode Pengambilan Data 3

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kondisi Umum Lokasi Penelitian 6

Aktivitas Harian Kukang Jawa 6

Wilayah Jelajah Kukang Jawa 16

Pohon Tidur Kukang Jawa (Sleeping site) 24

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 26

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan nilai aktivitas harian kukang jawa 15

2 Perbandingan jenis pakan kukang jawa 16

3 Pergerakan harian kukang jawa 18

4 Perbandingan wilayah jelajah kukang jawa 20

5 Komposisi vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan 22 6 Potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan kukang jawa 24

7 Pohon tidur kukang jawa 24

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 2

2 Pola aktivitas harian kukang jawa 7

3 Presentase aktivitas harian kukang jawa 8

4 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa 9

5 Pola aktivitas menelisik kukang jawa 10

6 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa 11

7 Pohon bubuay (Plectocomia elongata) 12

8 Pohon kaliandra (Calliandra calothyrsus) 13

9 Pola aktivitas makan kukang jawa 14

10 Pola aktivitas aktif kukang jawa 14

11 Luas wilayah jelajah kukang jawa 17

12 Pergerakan harian kukang jawa 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan analisis vegetasi tingkat semai 31

2 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pancang 31

3 Perhitungan analisis vegetasi tingkat tiang 32

4 Perhitungan analisis vegetasi tingkat pohon 32

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan keanekaragaman fauna, salah satunya yaitu primata. Satwa primata merupakan salah satu satwa yang memiliki kelebihan karena lebih banyak memiliki kemiripan dengan manusia. Salah satu jenis primata yang paling diminati dan dianggap paling eksotis yang ada di Indonesia yaitu kukang (Nursahid dan Purnama 2007). Meningkatnya permintaan kukang sebagai hewan peliharaan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi manusia menyebabkan jumlah dan populasi satwa ini terancam. Kukang (Nycticebus sp.) merupakan satwa yang soliter dan nokturnal (Supriatna dan Wahyono 2000:23; Bottcher-Law et al. 2001: 14).

Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang (tersebar di Pulau Sumatera), Nycticebus javanicus (tersebar di Pulau Jawa), dan Nycticebus menagensis (tersebar di Pulau Kalimantan). Kukang hidup di hutan tropis, terutama hutan primer, hutan sekunder, semak belukar dan hutan bambu (Nursahid dan Purnama 2007). Primata ini juga dapat ditemui di luar kawasan konservasi berupa talun atau hutan kebun di sumedang Jawa Barat (Winarti 2003).

Kukang jawa (Nycticebus javanicus) merupakan primata endemik Jawa Barat yang sangat terancam punah namun informasi dan data mengenai kehidupannya di alam masih sangat sedikit. IUCN (International Union for the Conservation and Natural Resources) pada tahun 2014 menyatakan bahwa kukang jawa termasuk dalam kategori kritis (Critically Endangered) dan masuk dalam Appendix I CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna). Satwa yang masuk dalam daftar Appendix I adalah seluruh jenis satwa yang terancam bahaya kepunahan. Tingginya angka perdagangan kukang jawa diduga berkaitan langsung dengan penurunan jumlahnya di alam (Nekaris et al. 2008). Faktor lain yang mempengaruhi penurunan jumlah kukang di alam adalah kurangnya data mengenai populasi kukang di Indonesia, perlindungan hukum yang lemah, dan sedikitnya kepedulian masyarakat terhadap satwa ini di alam.

Salah satu kawasan yang merupakan habitat kukang jawa adalah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS). Kawasan ini merupakan hutan hujan tropis terbesar yang tersisa di Pulau Jawa. Kawasan hutan Gunung Salak merupakan salah satu lokasi pelepasliaran kukang jawa yang dilakukan oleh Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI). YIARI merupakan salah satu pusat penyelamatan dan rehabilitasi yang berdomisili di Ciapus, Bogor yang memfokuskan kegiatannya pada penyelamatan, rehabilitasi dan pelepasliaran satwa hasil sitaan atau penyerahan sukarela dari masyarakat.

(12)

2

pergerakan harian dan luasan wilayah jelajah dan untuk memperbaharui data dalam monitoring keberadaan kukang jawa liar di Gunung Salak.

Kajian mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa liar yang telah dipasang radio collar di Indonesia masih terbatas. Beberapa peneliti yang melakukannya diantaranya yaitu Angeliza (2014) dan Arismayanti (2014) di TNGHS dan Rode et al. (2014) di Garut. Terbatasnya informasi mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa liar menyebabkan perlu adanya penelitian terkait hal tersebut. Informasi mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa sangat penting guna membantu dalam program konservasi kukang secara in-situ dan dapat dijadikan salah satu parameter dalam pengelolaan kukang jawa agar populasinya tetap lestari.

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi aktivitas harian, wilayah jelajah, kondisi habitat dari pemilihan lokasi tidur dan komposisi vegetasi kukang jawa liar yang telah dipasang radio collar.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi terbaru mengenai aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat membantu upaya konservasi dalam melindungi dan melestarikan kukang jawa di alam.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di kawasan hutan Gunung Salak, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Bogor, Jawa Barat pada bulan Juli-September 2014 (Gambar 1).

(13)

3 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan adalah alat tulis, kamera, pita ukur, jam tangan, perangkat GIS, tallysheet, termohygrometer, radio collar, GPS (Global Positioning System), head lamp, antenna dan receiver R1000 [ComSpec], plastik dan label. Bahan yang dijadikan objek dalam penelitian ini adalah “Ekar” kukang jawa liar betina dewasa yang telah dipasang radio collar.

Metode Pengambilan Data Penggunaan radio collar

Radio collar adalah alat yang dipasang pada beberapa kukang liar dan kukang pelepasliaran. Alat tersebut membantu kegiatan monitoring kukang di alam karena dapat mengetahui keberadaan kukang. Monitoring kukang di alam bertujuan untuk memperoleh data pola pergerakan, aktivitas, teritori, penggunaan habitat dan wilayah jelajah.

Pengamatan dimulai dengan mencari keberadaan kukang dengan menggunakan portable telemetry receiver yang dihubungkan dengan antena. Collar yang telah dipasangkan pada leher kukang akan mengirimkan sinyal dan radio collar receiver akan menerima frekuensi sinyal tersebut. Setiap collar memiliki nomor frekuensi yang berbeda, nomor frekuensi tersebut dimasukkan ke dalam portable telemetry receiver untuk melacak keberadaan kukang yang akan diamati. Setelah menyamakan nomor frekuensi antena diputar ke segala arah untuk menentukan arah keberadaan kukang sampai terdengar bunyi “beep” pada portable telemetry receiver. Posisi keberadaan kukang dapat dipastikan pada suatu arah apabila bunyi sinyal semakin kuat terdengar.

Aktivitas harian

Data mengenai aktivitas harian kukang jawa liar yang telah dipasang radio collar diperoleh dengan menggunakan metode instantaneous focal animal sampling dengan interval waktu lima menit dan pencatataan aktivitas menggunakan continous recording untuk mengetahui durasi dari suatu aktivitas.

Pengamatan dilakukan pukul 18.00-00.00 WIB dan pukul 00.00-06.00 WIB. Pengamatan kukang jawa di kawasan hutan Gunung Salak dilakukan dengan mengikuti tim monitoring YIARI. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan metode penjelajahan yang dikombinasikan dengan penggunaan radio tracking. Aktivitas yang diamati selama pengamatan mengikuti etogram yang telah dibuat oleh YIARI yaitu :

a. Aktif, yaitu kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata terbuka.

b. In-aktif, yaitu kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata tertutup.

c. Makan, yaitu kukang mengunyah, menelan, atau memasukkan hewan mangsa atau bagian tumbuhan jenis pakan atau material lainnya ke dalam mulut.

(14)

4

atau mencari, mendekati dan mencium obyek-obyek tertentu (bunga, buah, dan lain-lain).

e. Berpindah tempat, yaitu kukang bergerak dari suatu tempat ke tempat lain atau dari satu pohon ke pohon lain tanpa mengamati keberadaan sumber pakan di sekitarnya.

f. Menelisik, yaitu kukang jawa menelisik atau menjilati rambut-rambut individu lain atau rambut-rambut tubuhnya sendiri.

g. Sosial, termasuk didalamnya perilaku grooming dan agonistik yang dilakukan kepada kukang lain, bermain, dan kontak sosial dengan kukang lain.

h. Abnormal, yaitu perilaku tidak biasa yang dilakukan oleh kukang jawa seperti mondar mandir, rolling kepala dan mutar-mutar.

Wilayah jelajah

Pengambilan data mengenai wilayah jelajah dilakukan dengan mengidentifikasi titik posisi keberadaan kukang jawa menggunakan GPS. Metode yang digunakan adalah radio tracking yaitu mengikuti pergerakan kukang melalui sinyal yang terpancar dari radio collar. Pengamatan dilakukan pada saat kukang meninggalkan lokasi tidur pada pukul 18.00 sampai ke lokasi tidur selanjutnya pada pukul 06.00. Parameter yang diukur meliputi:

1. Jelajah harian (daily range) yaitu panjang jelajah kukang jawa yang dilakukan dalam waktu aktifnya setiap hari dari mulai meninggalkan lokasi tidur sampai ke lokasi tidur selanjutnya.

2. Radius maksimum yaitu jarak terjauh dari rute jelajah harian.

3. Jarak posisi bermalam (night position shift) yaitu perbedaan jarak antara pohon tempat tidur semula dengan tempat tidur pada malam berikutnya. Komposisi vegetasi

Tujuan pengambilan data komposisi vegetasi adalah untuk mengetahui kondisi habitat kukang jawa. Pengambilan data vegetasi menggunakan metode berpetak ganda yang ditentukan secara purposive. Pengambilan petak contoh dibuat berdasarkan aktivitas kukang jawa di setiap habitat.

Pengambilan data dimulai pada pukul 10.00-14.00 WIB. Data yang dikumpulkan terdiri dari nama spesies dan jumlah individu untuk tingkat semai dan pancang, sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon data yang diambil adalah nama spesies, diameter setinggi dada, tinggi bebas cabang, dan tinggi total (Soerianegara dan Indrawan 1998).

Lokasi tidur

(15)

5 Prosedur Analisis Data

Aktivitas harian

Data aktivitas harian dianalisis secara kuantitatif dengan cara menghitung persentase aktivitas kukang yang telah didapatkan. Perhitungan persentase aktivitas harian kukang jawa dilakukan dengan menggunakan rumus :

Persentase aktivitas i (%) = Keterangan: i= jenis aktivitas Wilayah jelajah

Wilayah jelajah kukang jawa dianalisis dengan memetakan titik-titik jelajah kemudian melakukan analisis daily range, radius maksimum dan night position shift. Penghitungan luas wilayah jelajah dilakukan dengan menggunakan analisis Fixed Kernel (FK) dan Minimum Convex Polygon (MCP).

MCP merupakan metode yang paling populer dan banyak digunakan untuk menduga luasan wilayah jelajah. MCP akan memudahkan untuk membandingkan dengan hasil pendugaan lain pada spesies yang sama (Sankar et al. 2010 dalam Priatna 2012). Pendugaan luas wilayah jelajah dengan FK memberikan hasil yang lebih baik untuk membandingkan dengan hasil dari MCP (Nielsen et al. 2008). Komposisi vegetasi

Analisis terhadap vegetasi penyusun habitat untuk menggambarkan kondisi habitat yang diamati di lapangan. Dominansi dapat dilihat dari nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang diperoleh dari penjumlahan nilai kerapatan relatif (KR) dan frekuensi (FR) untuk tingkat semai dan pancang, serta ditambah nilai dominansi relatif (DR) untuk tingkat tiang dan pohon (Soerianegara dan Indrawan 1998). Persamaan yang digunakan adalah:

Kerapatan (K) = Jumlah individu suatu jenis Luas unit contoh

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukannya suatu jenis Jumlah seluruh plot dalam unit contoh Dominasi (D) = Luas bidang dasar suatu jenis

Luas unit contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis X 100 Kerapatan seluruh jenis

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi suatu jenis X 100 Frekuensi seluruh jenis

Dominasi Relatif (DR) = Dominasi suatu jenis X 100 Dominasi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR Lokasi tidur

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Taman Nasional Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai kawasan taman nasional oleh Menteri Kehutanan pada tahun 1992 atas perubahan fungsi Cagar Alam Gunung Halimun. Pada tahun 2003 Taman Nasional Gunung Halimun diperluas dari hasil perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi Tetap, dan Hutan Produksi Terbatas pada kelompok Hutan Gunung Halimun dan Kelompok Hutan Gunung Salak di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten, sehingga saat ini disebut sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Kawasan hutan Gunung Halimun Salak ditetapkan sebagai Taman Nasional berdasarkan SK Mentan 175/Kpts-II/2003 seluas ± 113.357 ha. Secara administrasi pemerintahan berada pada 3 Kabupaten dan 2 Propinsi yaitu Kabupaten Sukabumi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Lebak Propinsi Banten.

Berdasarkan data lima tahun terakhir (1992-1996) yang diperoleh dari Stasiun Pengamatan Curah Hujan Wanayasa, curah hujan di kawasan dan sekitarnya tercatat 4000–6000 mm per tahun, yang jika dikonversi pada klasifikasi iklim menurut Schmidt dan Ferguson, termasuk tipe iklim A. Bulan basah terjadi pada bulan Oktober sampai dengan bulan Juni dan bulan Juli sampai September. Kelembaban berkisar 5%-6% dengan temperatur 20° C-30° C.

Taman Nasional Gunung Halimun Salak merupakan kawasan yang memiliki ekosistem hutan hujan tropis yang masih baik kondisinya. Kawasan ini merupakan habitat terbaik bagi satwa langka Elang Jawa (Nisaetus bartelsii).

Beberapa jenis fauna yang ditemui di kawasan taman nasional ini, yaitu: Mamalia: Owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung budeng (Trachypithecus auratus), kancil (Tragulus javanicus), kijang (Muntiacus muntjak), macan tutul (Panthera pardus). Burung; terdapat kurang lebih 204 jenis burung dan 90 jenis diantaranya merupakan burung yang menetap serta 35 jenis merupakan jenis endemik Jawa termasuk burung elang jawa (Spizaetus bartelsi). Reptil dan Amphibi; Gonydactilus marmoratus, tokek (Gecko gecko), cecak terbang (Draco volans), kodok (Bufo bipocartus), katak (Rana hosii), Ahaetulla prasina, Lycodon subcinctus, dan Ptyas korros.

Jenis-jenis pohon yang ada di TNGHS diantaranya rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Dacrycarpus imbricatus), dan puspa (Schima wallichii). Sekitar 75 jenis anggrek terdapat di taman nasional ini dan beberapa jenis diantaranya merupakan jenis langka seperti Bulbophylum binnendykii, B. angustifolium, Cymbidium ensifolium, dan Dendrobium macrophyllum.

Aktivitas Harian Kukang Jawa

(17)

7

Gambar 2 Pola aktivitas harian kukang jawa

0%

pengamatan, aktivitas kukang jawa yang pertama kali teramati yaitu berpindah tempat pada pukul 18.00-19.00, namun hal tersebut jarang sekali terlihat karena berbagai kendala. Kendala tersebut diantaranya adalah kukang berada di jurang, posisi kukang sulit terlihat karena terhalang oleh vegetasi yang rapat, dan cuaca yang berkabut. Slender loris memulai aktivitasnya diantara pukul 18.00-19.00 dan mengakhiri aktivitas pada pukul 05.00-06.00 (Nekaris 2001). Aktivitas kukang akan mulai tinggi segera setelah aktif dan kemudian menurun mendekati tengah malam serta akan kembali meningkat pada waktu dini hari menjelang pagi untuk mencari pohon tidur (Pambudi 2008).

Pengamatan aktivitas kukang jawa dimulai pada pukul 18.00 WIB hingga pukul 06.00 WIB (Gambar 2). Penelitian aktivitas harian kukang jawa di habitat aslinya sulit dilakukan. Berbeda dengan primata diurnal, primata nokturnal seperti kukang umumnya berukuran kecil, hidup soliter atau dalam kelompok kecil, dan jarang melakukan vokalisasi sehingga keberadaannya sulit dideteksi dan diamati (Bearder 1987; Bearder 1999; Wiens dan Zitzmann 2003). Pantulan cahaya dari mata kukang yang berwarna kejinggaan dan mencolok di kegelapan adalah salah satu cara mendeteksi keberadaan kukang setelah mendapatkan bunyi sinyal frekuensi yang kuat. Aktivitas kukang jawa mulai meningkat pada pukul 21.00 - 23.00 WIB, hal ini sesuai dengan pernyataan Nekaris (2001) bahwa kukang di alam akan menjadi sangat aktif dari pukul 20.00 hingga 24.00. Kukang jawa paling sering dijumpai antara pukul 20.00-22.00 WIB (Wahyudin 2014).

Total data aktivitas harian yang didapat selama pengamatan adalah 379 sampel dari total waktu pengamatan selama 1895 menit atau setara dengan 31 jam 35 menit pengamatan. Kukang jawa menghabiskan (33.25%) waktu aktifnya untuk makan, (26.65%) untuk berpindah tempat, dan (16.09%) untuk menelisik (Gambar 3). Aktivitas abnormal tidak pernah terlihat sepanjang pengamatan berlangsung yaitu pada bulan Juli-September 2014.

(18)

8

Gambar 3 Presentase aktivitas harian kukang jawa

8.44%

0,00% 5,00% 10,00% 15,00% 20,00% 25,00% 30,00% 35,00%

Aktif

aktivitas menelisik, dan (1%) aktivitas sosial (Rode et al. 2014). Berbeda dengan kukang jawa di talun Desa Cipaganti yang menggunakan (22.68%) untuk berpindah tempat, (17.88%) mencari makan, (6.73) makan, dan (4.65%) menelisik (Putri 2014). Rata-rata penggunaan waktu aktivitas in-aktif kukang jawa adalah 1 menit, berpindah tempat 10.65 menit, sosial 1 menit, menelisik 9.10 menit, mencari makan 7.43 menit, makan 12.04 menit, dan aktif 5.83 menit.

Aktivitas in-aktif

Aktivitas in-aktif adalah aktivitas ketika kukang dalam keadaan diam atau duduk di suatu dahan dan tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata tertutup. Aktivitas ini dilakukan kukang dengan presentase sebesar 0.79%. Menurut

Angeliza (2014), presentase aktivitas in-aktif kukang jawa sebesar 25 % setelah menemukan lokasi tidur yang sesuai.

Aktivitas ini jarang terlihat karena pada malam hari merupakan waktu aktif kukang. Kukang jawa terlihat tidak aktif menjelang pagi hari ketika sudah berada di tempat yang sesuai untuk tidur. Kukang tidur pada cabang, ranting, atau liana dimana mereka bersembunyi dibalik dedaunan. Kukang di alam tidak pernah menggunakan lubang-lubang pohon atau wadah lain untuk beristirahat (Wiens dan Zitzmann 2003).

Aktivitas berpindah tempat

Aktivitas berpindah tempat merupakan aktivitas tertinggi kedua dengan presentase sebesar 26.65%. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan Nekaris (2001) bahwa kukang menghabiskan lebih dari setengah waktu aktifnya untuk berpindah tempat atau mencari makan. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya perbedaan kondisi habitat, iklim, suhu, dan kelembaban. Berpindah tempat juga disertai penandaan wilayah, baik dengan urin atau bau kelenjar kukang untuk memberi tanda pada ruang jelajah ataupun untuk mencari pasangan (Putri 2014).

(19)

9 berpindah tempat merupakan aktivitas pertama yang teramati ketika menemukan kukang bengal. Menurut Angeliza (2014) berpindah tempat dipengaruhi oleh suhu rendah, kelembapan udara yang tinggi, cuaca cerah dan cahaya bulan yang sedikit bahkan gelap. Berpindah tempat merupakan salah satu parameter dalam wilayah jelajah dan fungsi teritori (Nekaris 2001).

Berdasarkan hasil pengamatan, pada pukul 18.00 - 19.00 WIB kukang jawa hanya melakukan aktivitas berpindah tempat. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Das 2013) bahwa kukang bengal (Nycticebus bengalensis) pada pukul 18.00 – 19.00 akan lebih aktif melakukan aktivitas berpindah tempat dibandingkan aktivitas lainnya. Aktivitas berpindah tempat meningkat pada pukul 21.00 - 23.00 WIB, karena pada waktu tersebut dimanfaatkan kukang jawa untuk mencari makan.

Aktivitas berpindah tempat mulai meningkat kembali pada pukul 03.00-05.00 WIB, karena pada waktu tersebut digunakan untuk mencari lokasi tidur (Gambar 4). Menurut Das (2013) kukang bengal di India mulai berjalan ke tempat tidur pukul 03.30 – 04.30. Kukang jawa bergerak cukup lambat ketika akan menggapai ranting atau liana untuk berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain apabila jaraknya cukup jauh. Mula-mula kukang jawa akan memindahkan salah satu tangannya ke cabang pohon, diikuti dengan kaki pada sisi yang sama. Setelah itu baru diikuti dengan tangan dan kaki pada sisi yang lain, terus berlangsung secara berulang.

Gambar 4 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa

Pergerakan kukang dilakukan secara quadropedal (berjalan dengan empat alat gerak) dan sangat lambat. Meskipun demikian kukang mampu bergerak cepat dalam menangkap mangsanya atau saat merasa terancam (Ballenger 2000). Hal tersebut mengakibatkan pengamat sulit mengikuti pergerakan kukang dan seringkali hilang dari pandangan pengamat karena keterbatasan penglihatan apabila kondisi cuaca dalam keadaan hujan serta berkabut dan pergerakannya mengarah ke jurang. Kondisi medan yang terjal dan vegetasi yang rapat menambah kesulitan dalam mengikuti pergerakan kukang jawa dan mengamati aktivitasnya lebih lanjut. Menurut Winarti (2011), kukang jawa hidup pada

(20)

10

kondisi yang berbukit-bukit. Pada kondisi cuaca hujan, kukang jawa teramati duduk pada batang pohon atau berpindah tempat secara perlahan.

Aktivitas sosial

Aktivitas sosial adalah aktivitas terendah dengan presentase sebesar 0.26%. Menurut Wiens dan Zitzmann (2003), interaksi sosial kukang hanya dilakukan 3% dari waktu aktifnya. Selama pengamatan, kukang jawa hanya sekali teramati melakukan aktivitas sosial dan tidak berlangsung lama, yaitu aktivitas allogrooming (saling menelisik dengan individu lain). Allogrooming lebih efektif dilakukan untuk mengurangi parasit karena terdapat beberapa bagian tubuh yang tidak dapat diraih oleh satwa itu sendiri (Wiens 2002). Allogrooming juga merupakan salah satu cara untuk mempererat tali hubungan antar individu dalam ordo Primata (Bottcher-Law et al. 2001).

Aktivitas menelisik (Grooming)

Grooming merupakan aktivitas tertinggi ketiga dengan presentase 16.09%. Grooming biasanya dilakukan dalam posisi duduk di batang pohon, menggantung, dan berdiri. Kukang jawa yang teramati sedang melakukan aktivitas grooming cenderung tidak menunjukan tanda-tanda terganggu dengan tidak berpindah tempat atau bersembunyi dengan kehadiran pengamat.

Grooming dilakukan dengan menggunakan lidahnya seperti menjilati, gigi seri bagian bawah untuk menggaruk badan dan tangan atau menggunakan cakar khusus yang terdapat pada kakinya untuk menggaruk bagian punggung dan kepala (Kartika 2000). Ada dua bentuk grooming yaitu autogrooming (kegiatan menelisik yang dilakukan sendiri) dan allogrooming (saling menelisik dengan individu lain). Berdasarkan hasil penelitian, kukang jawa hanya sekali terlihat melakukan allogrooming dengan kukang jawa lain.

Gambar 5 Pola aktivitas menelisik kukang jawa

Aktivitas ini terlihat mulai meningkat pada pukul 20.00 - 23.00 WIB dan sesaat sebelum tidur 04.00 - 05.00 WIB (Gambar 5). Kukang melakukan aktivitas menelisik beberapa saat setelah bangun, yaitu sekitar lepas senja saat matahari sudah tenggelam dan sesaat sebelum tidur, yaitu saat menjelang matahari terbit

(21)

11 (Wiens 2002; Pambudi 2008). Kondisi cuaca mempengaruhi aktivitas menelisik pada kukang. Kukang jawa terlihat sering melakukan aktivitas menelisik setelah hujan, setelah makan getah bubuay dengan menjilati kedua tangannya, dan sebelum tidur. Hal ini terbukti bahwa aktivitas grooming pada pukul 04.00 – 05.00 WIB meningkat sebesar 40%.

Aktivitas mencari makan

Presentase aktivitas mencari makan sebesar 14.51%. Ketika kukang jawa mencari makan, kukang jawa akan berjalan perlahan berbeda dengan ketika kukang jawa akan berpindah tempat, kukang jawa akan berjalan sangat cepat. Kukang mengandalkan kemampuan visual, olfaktori, dan auditori dalam mencari mangsa (Nekaris et al. 2005). Perilaku menghirup bau (sniffing) saat berjalan biasa dilakukan kukang dalam mencari pakannya (Nekaris 2001). Ukuran tubuh kukang jawa yang relatif kecil, berat tubuhnya yang relatif ringan dan pola pergerakannya yang perlahan memungkinkan kukang jawa memanfaatkan cabang dan ranting berukuran kecil atau ujung-ujung ranting untuk mencari makan (Nekaris dan Rasmussen 2001).

Kukang jawa terlihat banyak melakukan aktivitas mencari makan di pohon kaliandra untuk memilih ranting yang terdapat nektar dengan bergerak lambat pada satu pohon dan kepala memandang ke segala arah mencari sumber pakan. Pada pohon bubuay kukang jawa mencari makan dan makan pada lokasi yang sama. Kukang jawa pernah teramati sedang makan lalu berjalan mondar-mandir secara perlahan pada batang pohon bubuay ke tempat kukang tersebut makan. Menurut Nekaris (2001) memanjat cepat dan berjalan bolak balik dalam satu pohon atau serangkaian pohon selama 1-2 jam itu umumnya terkait dengan mencari makan.

Gambar 6 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa

(22)

12

Hal ini diduga kukang jawa sedang mencari serangga dan juga memakan getah bubuay yang terdapat di lubang tersebut, namun karena posisi kukang jawa yang membelakangi pengamat sehingga tidak terlihat proses penangkapan serangga tersebut. Batang yang terluka akan meningkatkan produksi getah sehingga ketersediaan pakan cukup melimpah. Apabila menemukan sumber pakan yang disukai, maka pakan tersebut akan diambil dengan menggunakan tangannya.. Aktivitas makan

Aktivitas makan merupakan aktivitas tertinggi kukang jawa dengan presentase sebesar 33.23%. Ada dua jenis pohon yang dimanfaatkan kukang jawa sebagai pohon pakan yaitu bubuay (Plectocomia elongata) dengan presentase sebesar 58.18% dan kaliandra (Calliandra calothyrsus) 41.82%. Hal tersebut menunjukkan bahwa pohon bubuay dan kaliandra memiliki peranan penting bagi kukang jawa sebagai pohon pakan. Menurut Salampessy (2002), secara alami satwa biasanya mengkonsumsi lebih dari satu jenis pakan, hal ini merupakan salah satu strategi satwa untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Bagian yang dimanfaatkan oleh kukang jawa pada pohon bubuay adalah getah dan pada pohon kaliandra adalah nektar. Menurut penelitian (Weins et al. 2006; Das 2013; Swapna 2008; Starr dan Nekaris 2013) bahwa jenis pakan tertinggi pada kukang pygmy (Nycticebus pygmaeus), kukang bengal, dan kukang sumatera adalah getah. Selain jenis tersebut, kukang juga memakan buah-buahan, serangga, telur burung, burung kecil, dan sadapan nira pohon aren (Wiens 2002; Nekaris dan Bearder 2007; Winarti 2003; Wirdateti et al. 2005). Kukang jawa di Garut ditemukan memakan getah Acacia decurrens (Rode et al. 2014), sedangkan kukang sumatera di Lampung ditemukan memakan getah mahoni, randu, jengkol, pete dan sengon (Octavianata 2014).

Gambar 7 Pohon Bubuay (Plectocomia elongata)

Kukang jawa terlihat sering menghabiskan waktu cukup lama di pohon bubuay (Gambar 7). Kukang jawa memakan getah yang terdapat dalam lubang-lubang pada batang. Berdiri naik adalah posisi kukang jawa ketika sedang melakukan aktivitas makan. Pada posisi berdiri naik, kedua kaki kukang jawa berdiri seperti manusia kemudian satu tangan mengambil getah dan didekatkan ke mulut, lalu kukang jawa akan menjilati getah tersebut.

(23)

13 selanjutnya kukang akan menjilatinya (Wiens 2002; Pambudi 2008). Smuts et al. (1987) menyatakan bahwa kemampuan menggunakan getah memungkinkan Lorisidae bertahan pada kondisi serangga dan buah-buahan yang sedikit. Bagaimanapun getah mempunyai kandungan kalsium yang dapat menjadi tambahan untuk buah dan serangga yang mempunyai kandungan kalsium rendah. Kukang bengal di India mampu bertahan hidup hanya dengan konsumsi getah pohon saja di musim dingin (Swapna et al. 2010). Oleh karena itu, keberadaan pohon bergetah memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup kukang.

Kukang jawa juga memanfaatkan pohon kaliandra sebagai pohon pakan (Gambar 8). Kukang jawa teramati memakan nektar kaliandra yang ada pada pangkal bunga dengan berbagai posisi, yaitu berdiri tegak menggapai cabang tersebut dengan satu atau kedua tangan, atau gantung turun dengan dua kaki pada ranting dan dua tangannya menggapai bunga kaliandra kemudian menjilati nektarnya. Kukang jawa menggapai nektar kaliandra dengan memanjat di antara cabang-cabang pohon atau semak, menyeimbangkan diri pada posisi menggantung dan meraih serta menekuk bunga kaliandra dengan menggunakan satu atau kedua tangan. Kemudian menjilat nektar yang ada di antara benang sari tanpa merusak bunga (Moore 2012). Kukang juga bisa makan dengan kedua tangannya dengan cara menggantungkan kedua kakinya pada dahan (Bransilver 1999). Nektar kaliandra merah merupakan sumber gula yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi kukang jawa (Bearder 1987).

Gambar 8 Pohon Kaliandra (Calliandra calothyrsus)

(24)

14

Gambar 9 Pola Aktivitas makan kukang jawa Aktivitas aktif

Aktivitas aktif dilakukan kukang dengan presentase 8.44%. Aktivitas aktif yaitu ketika kukang dalam keadaan diam atau duduk disuatu dahan dan tidak melakukan aktivitas apapun dengan mata terbuka. Aktivitas aktif pada pukul 18.00-19.00 WIB merupakan awal mulanya masa aktif kukang yang ditandai dengan duduk diam, memandang ke segala arah tanpa melakukan aktivitas apapun. Aktivitas ini meningkat pada pukul 21.00-22.00 WIB (Gambar 10).

Gambar 10 Pola Aktivitas aktif kukang jawa

Kukang jawa sering terlihat melakukan aktivitas ini ketika sedang bergerak dan melihat kehadiran pengamat. Kukang kemudian diam tidak bergerak (freeze) cukup lama memastikan bahwa kehadiran pengamat tidak menganggu. Kukang

(25)

15 jawa juga akan diam tidak bergerak dan melihat ke arah pengamat apabila mendengar suara gaduh.

Posisi membeku (freeze) merupakan posisi gerakan yang terhenti atau tidak bergerak sama sekali minimal tiga detik (BottcherLaw et al. 2001). Hal ini menunjukkan tingkat perilaku kewaspadaan (self-awareness). Rendahnya tingkat kewaspadaan akan mempengaruhi respon satwa terhadap keberadaan manusia sehingga satwa tidak lagi menganggap manusia sebagai ancaman. Satwa yang tidak lagi menganggap manusia sebagai ancaman cenderung lebih rentan terhadap perburuan (Thorn et al. 2008).

Perbandingan aktivitas harian kukang jawa

Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh Angeliza (2014), didapatkan tiga aktivitas harian dominan kukang jawa pada bulan Januari-April 2014 yaitu aktivitas berpindah tempat (42.00%), aktif (14.30%) dan makan (14.10%), sedangkan pada bulan Juli-September 2014 tiga aktivitas dominan kukang jawa yaitu makan (33.23%), berpindah tempat (26.65%) dan grooming (16.17) seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Perbandingan nilai aktivitas harian kukang jawa

Waktu Penelitian

(26)

16

collar yang terpancarkan ke dalam receiver terus bertambah dan fokus pada satu arah sehingga kukang jawa mudah ditemukan.

Tabel 2 Perbandingan jenis pakan kukang jawa

Waktu Penelitian Jenis pakan

Bubuay (%) Kaliandra (%) Serangga (%) Buah (%)

Januari-April 1 16.60 79.90 3 0.5

Juli-September 58.18 41.82 - -

Keterangan: 1=Angeliza 2014

Jenis pakan yang paling diminati kukang jawa pada bulan Januari-April 2014 adalah nektar kaliandra, sedangkan pada bulan Juli-September 2014 adalah getah bubuay (Tabel 2). Hal ini terjadi disebabkan oleh musim berbunga kaliandra. Kaliandra berbunga sepanjang tahun secara alami, tetapi masa puncaknya terjadi antara bulan Januari, Februari, Maret dan Juli (Chamberlain 2000; Herdiawan et al. 2005). Tipe pakan yang bervariasi menjadikan kukang jawa memiliki banyak pilihan sumber pakan yang mendukung populasinya, namun demikian kelimpahan dan distribusi pakannya dapat bervariasi (Pambudi 2008). Distribusi kukang kemungkinan mengikuti pola distribusi pohon buah pada saat musim buah, namun di musim lain dapat mengikuti pola distribusi pohon berbunga atau pohon yang terdapat getah.

Kondisi cuaca hujan pada pengamatan bulan Juli-September 2014 membuat kukang jawa cenderung memakan getah pohon. Proporsi pakan getah kukang bengal akan meningkat pada musim dingin, sementara pada musim panas atau kemarau lebih banyak memakan nektar dan serangga (Swapna et al. 2010). Kukang pygmy tidak memakan nektar atau buah-buahan pada musim dingin, dan lebih memperbanyak memakan serangga (Starr dan Nekaris 2013). Kelimpahan pakan yang tersedia bagi suatu spesies tergantung pada berbagai faktor, termasuk adaptasi kemampuan trofik (penggunaan nutrisi atau energi dalam ekosistem) spesies tersebut, kelimpahan dan produktivitas vegetasi dan kompetesi dengan hewan lain (Dittus 1980 diacu dalam National Research Council 1980). Faktor lain yang juga diduga mempengaruhi perbedaan pakan kukang adalah tekanan predator, dan penyakit (Jolly 1985).

Kukang jawa pada bulan Januari-April teramati memakan serangga dan buah. Kukang jawa memperoleh serangga pada percabangan atau tajuk pohon pinus (Pinus merkusii) dan palem serdang (Livistona rotundifolia). Buah yang dikonsumsi oleh kukang jawa adalah buah beunying (Ficus fistulosa) (Angeliza 2014). Sedangkan pada bulan Juli-September, kukang jawa tidak teramati memakan serangga dan buah. Hal ini dikarenakan karena jarak pandang yang terbatas, dan posisi kukang yang sering membelakangi pengamat.

Wilayah Jelajah Kukang Jawa

(27)

17 satwa (Alikodra 2002). Wilayah jelajah dapat diketahui melalui tanda-tanda satwaliar seperti feses, jejak tapak kaki dan sebagainya.

Berdasarkan hasil perhitungan luas wilayah jelajah dengan menggunakan Fixed Kernel (FK) 95%, rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa sebesar 4.13 ha. Perhitungan dengan menggunakan Minimum Convex Polygon (MCP) memberikan rata-rata luas wilayah jelajah kukang jawa sebesar 8.16 ha (Gambar 11). Hal ini sesuai dengan pernyataan Nekaris dan Bearder (2011) bahwa wilayah jelajah kukang jawa mencapai 3 – 8 ha, sedangkan wilayah jelajah pada kukang sumatera mencapai 0.4 – 3.8 ha, slender loris merah (Loris tardigradus) 1.2 – 5.4 ha, slender loris abu-abu (Loris lydekkerianus) 1.5 – 2.0 ha, kukang pygmy 12.09 ha (Wiens 2002; Nekaris 2014; Starr 2011). Kukang jawa memiliki dua daerah inti dengan luas masing-masing sebesar 0.5 ha. Kukang sumatera memiliki daerah inti 1.37 ha (Octavianata 2014).

(28)

18

Menurut Wiens (2002) wilayah jelajah kukang jantan dewasa lebih luas dibandingkan daripada individu betina. Betina pada umumnya bersifat sebagai penyimpan energi sehingga umumnya memiliki perilaku yang lebih pasif. Primata betina memiliki investasi yang cukup besar dalam aktivitas-aktivitas reproduksi antara lain mengasuh anak. Berbeda halnya dengan betina, primata jantan bersifat sebagai penghemat waktu sehingga jantan pada umumnya memiliki perilaku yang lebih agresif (Jones 2005). Luas wilayah jelajah yang bervariasi diantaranya tergantung pada kondisi sumberdaya lingkungan dan kondisi topografi kondisi habitat. Hal ini membuat hasil wilayah jelajah lebih besar karena keberadaan kukang yang sering ada di jurang.

Luas wilayah jelajah dengan metode MCP lebih besar dibandingkan dengan metode FK. Hal ini dikarenakan analisis dengan metode MCP hanya menghubungkan titik-titik terluar dari seluruh titik-titik koordinat kukang jawa dan tidak mengkalkulasikan seluruh titik terutama pada titik-titik yang mengelompok pada lokasi tertentu. Umumnya, metode MCP juga mencakup sebagian besar ruang kosong yang tidak pernah dikunjungi oleh satwa (Bajjali 2006).

Analisis dengan metode FK mengkalkulasikan seluruh titik termasuk titik-titik yang yang mengelompok pada lokasi tertentu. Jumlah titik-titik atau ukuran sampel yang digunakan dalam metode Kernel dapat mempengaruhi luas daerah jelajah yang dihasilkan. Apabila terdapat satu titik yang tersebar sendiri dan jaraknya sedikit berjauhan dengan titik-titik lainnya, maka Kernel tidak akan menghitungnya karena titik tersebut dianggap sebagai lokasi yang hanya sekedar dilintasi oleh satwa tersebut (Wartman et al. 2010). Metode MCP hanya menggambarkan luas keseluruhan daerah jelajah satwa namun tidak menunjukkan adanya wilayah yang sering dikunjungi satwa (Harris et al. 1990), dan memiliki kemungkinan kecil untuk mengetahui seluruh lokasi keberadaan satwa. Oleh karena itu, pendugaan wilayah jelajah kukang jawa dengan menggunakan dua metode ini dimaksudkan untuk mendapatkan variasi angka wilayah jelajah.

Jelajah harian (DR) kukang jawa di TNGHS rata-rata 558.33 m (Tabel 3). Hal ini berbeda dengan slender loris abu-abu dan slender loris merah yang memiliki jelajah harian ratusan meter hingga 1 km tiap malam (Nekaris dan Bearder 2007). Menurut Octavianata (2014), kukang sumatera memiliki jelajah harian ± 441 m tiap malam. Jelajah harian kukang jawa bisa lebih luas lagi karena pengamat tidak memungkinkan untuk selalu mengikuti pergerakan kukang tersebut. Beberapa kendala yang menyebabkan pengamat tidak dapat mengikuti pergerakan kukang jawa adalah kukang jawa mengarah ke jurang, kondisi cuaca hujan besar disertai petir dan pergerakan kukang terhalang oleh vegetasi yang rapat.

Tabel 3 Pergerakan harian kukang jawa

(29)

19 Pergerakan atau aktivitas jelajah kukang dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Kukang cenderung mengurangi aktivitas atau menghindari kondisi gelap total dan sangat sedikit cahaya (Kavanau 1979). Jelajah harian yang lebih besar pada ulangan ke-2 diduga dipengaruhi oleh tingginya gangguan aktivitas manusia disekitar wilayah jelajah kukang jawa dan ketersediaan pohon pakan yang jaraknya berjauhan. Selama pengamatan, kukang jawa menjadi lebih waspada ketika pengamat berusaha mendekat, baik dengan posisi membeku maupun bergerak cepat menjauhi pengamat.

Radius maksimum kukang jawa mencapai rata-rata 167.30 m. Selama pengamatan berlangsung yaitu pada musim hujan, pakan kukang jawa cukup melimpah sehingga kukang tidak melakukan pergerakan yang jauh. Setelah hujan, kukang jawa paling tinggi teramati melakukan aktivitas grooming. Faktor yang dapat mempengaruhi pergerakan satwa liar adalah ketersediaan makanan, predator, dan waktu berkembang biak (Alikodra 1990).

Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata jarak lokasi tempat tidur kukang jawa adalah 172.61 m. Selama pengamatan berlangsung, pengamat kesulitan untuk mengetahui lokasi pohon tidur sebelumnya karena pada pengulangan pertama kukang jawa berada di jurang sehingga pengamat tidak mendapatkan lokasi tempat tidur kukang jawa tersebut. Pohon tidur kukang jawa diasumsikan berada di dekat pohon pakan saat kukang jawa pertama kali ditemukan pada malam hari.

Laju pergerakan kukang jawa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ketersediaan pakan, musim, cuaca, suhu, gangguan satwa lain dan predator. Ketersediaan pakan yang sedikit menyebabkan kukang jawa terus bergerak hingga menemukan sumber pakan. Apabila ketersediaan pakan melimpah, maka kukang akan menghabiskan waktu yang lama di tempat yang terdapat sumber pakan. Das (2013) menjelaskan bahwa ketersediaan pakan yang rendah menyebabkan kukang harus banyak berpindah tempat untuk dapat menemukan pakan yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini terlihat ketika kukang jawa lebih banyak menghabiskan waktunya di pohon bubuay karena terdapat sumber pakan yaitu getah bubuay.

Kondisi musim juga akan berpengaruh terhadap laju pergerakan dan distribusi kukang. Menurut Pambudi (2008), distribusi kukang dimungkinkan mengikuti pola distribusi pohon pakan, baik pada musim buah maupun musim bunga. Saat tidak tersedia bunga dan buah, maka kukang akan melebarkan jelajah hariannya dalam mencari sumber pakan lain seperti getah dan serangga.

Suhu berpengaruh terhadap aktifitas mamalia nokturnal dan berpengaruh terhadap persediaan makanan. Aktivitas kukang akan meningkat pada suhu yang lebih tinggi dan akan semakin meningkat ketika tidak ada cahaya bulan. Sebaliknya, kukang akan mengurangi aktivitas pada kondisi suhu rendah dan pada saat cahaya bulan terang atau terang bulan (Starr et al. 2012). Pada lokasi penelitian, kukang jawa ditemukan pada rentang suhu 18 - 20 0C. Aktivitas rata-rata kukang pygmy konstan pada rentang suhu 15 – 28 0C. Satwa nokturnal ini merupakan satwa yang mampu beradaptasi pada suhu rendah sampai pada suhu tinggi (Starr et al. 2012).

(30)

20

satu jenis satwa yang berpotensi sebagai kompetitor kukang jawa adalah musang (Paradoxurus hermaphroditus). Menurut Schulze (2001), sama seperti halnya kukang, musang merupakan salah satu jenis satwa nokturnal dan jenis pakan musang secara umum juga sama dengan kukang, yakni buah. Selama pengamatan, musang bulan sering ditemui berada tidak jauh dengan lokasi ditemukannya kukang jawa. Apabila berada pada satu pohon, kukang jawa lebih banyak menghindar dengan berjalan mundur secara perlahan ke pohon lain. Selain satwa kompetitor, keberadaan satwa predator seperti elang juga mengancam dan mengganggu kehidupan kukang jawa. Elang jawa (Nisaetus bartelsii) pernah ditemukansedang soaring pada siang hari pada lokasi penyebaran kukang jawa. Perbandingan wilayah jelajah kukang jawa

Berdasarkan hasil penelitian awal yang dilakukan oleh Arismayanti (2014) pada bulan Januari-April 2014, luas wilayah jelajah kukang jawa dengan metode FK adalah 5.43 ha dengan tiga daerah inti sebesar 1.59 ha. Pada bulan Juli-September 2014, luas wilayah jelajah kukang jawa sebesar 4.13 ha dengan dua daerah inti masing-masing sebesar 0.5 ha (Tabel 4).

Tabel 4 Perbandingan wilayah jelajah kukang jawa Waktu penelitian Wilayah jelajah

(ha)

Daerah inti (ha)

Januari-April1 5.43 1.59

Juli-September 4.13 1

Keterangan : 1= Arismayanti 2014

Luas wilayah jelajah kukang jawa pada bulan Juli-September 2014 lebih kecil dibandingkan pada bulan Januari-April 2014. Hal ini dikarenakan oleh perbedaan jangka waktu lama penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Singleton dan Schaik (2000) bahwa variasi yang terjadi dalam pendugaan wilayah jelajah bergantung pada lamanya penelitian, serta waktu penelitian yang paling lama menghasilkan pendugaan wilayah jelajah yang paling besar. Luasan wilayah jelajah dapat bervariasi dari tahun ke tahun karena perubahan cuaca, ketersediaan sumber pakan, kompetisi, atau aktivitas manusia seperti perburuan, penebangan pohon, ataupun pembukaan lahan pertanian (Rowe 1996). Wilayah jelajah kukang jawa dalam penelitian ini masih mungkin akan bertambah mengingat waktu penelitian hanya selama tiga bulan (Gambar 12).

(31)

21

Gambar 12 Pergerakan harian kukang jawa Komposisi Vegetasi

(32)

22

Tabel 5 Komposisi vegetasi berdasarkan tingkat pertumbuhan

Tingkat Nama Lokal Nama Ilmiah Famili INP

(%)

Semai

Ki Cabe Polyosma ilicifolia Saxifragaceae 10.80

Derandan 10.80

Cariang Schismatologlottis rupestris

Araceae 10.80

Talas-talasan 10.80

Bubuay Plectocomia elongata Arecaceae 17.05 Cangkore Dinochloa scandens Poaceae 20.17 Harendong Melastoma

malabathricum

Melastomatace ae

48.26 Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 10.08 Canar Smilax macrocarpa Smilacaceae 13.92

Pakis-pakisan 32.67

Pacing Costus speciosus Zingiberaceae 13.92

Pancang

Ki cengkeh Urophyllum arboreum Rubiaceae 66.95

Pakis-pakisan 20.79

Ki sireum Syzygium lineatum Myrtaceae 20.79 Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 29.12

Pasang Quercus sundaica Fagaceae 20.79

Mara Macaranga Ki sampang Euodia latifolia Rutaceae 40.47 Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 46.88

Mara Macaranga

rhizinoides

Euphorbiaceae 49.87 Bubuay Plectocomia elongata Arecaceae 34.05 Kaliandra Calliandra

calothyrsus

Fabaceae 58.09

Pohon

Kurai Trema orientalis Ulmaceae 21.27

Ki pare Glochidion obscurum Euphorbiaceae 23.38 Ki sireum Syzygium lineatum Myrtaceae 49.05

Mara Macaranga

rhizinoides

Euphorbiaceae 23.95 Jirak Symplocos fasciculata Symplocaceae 58.03

Puspa Schima wallichii Theaceae 24.93

Pasang Quercus sundaica Fagaceae 78.78

Kaliandra Calliandra calothyrsus

(33)

23 Farida dan Harun (2000) menjelaskan untuk mempertahankan keberadaan primata di habitat alaminya, perlu dilakukan identifikasi terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada karena tumbuhan-tumbuhan adalah sumber pakan bagi primata yang hidup di habitat tersebut. Berdasarkan masing-masing tingkat pertumbuhan didapatkan jenis-jenis dominan dari hasil analisis vegetasi.

Total tumbuhan yang ditemukan pada habitat kukang jawa adalah 22 spesies. Tumbuhan tersebut terdiri atas sebelas jenis tumbuhan tingkat semai dan tumbuhan bawah, tumbuhan tingkat pancang dan tiang masing-masing tujuh spesies, dan delapan spesies tumbuhan tingkat pohon. Pohon di seluruh plot memiliki kisaran tinggi sebesar 6-18 m. Menurut Pliosungnoen et al. (2010), kukang menyukai pohon yang memiliki kanopi yang luas dan tinggi dan DBH yang besar. Tiga parameter inilah yang dapat menjadi indikasi struktur vegetasi yang disukai kukang.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi pada lokasi yang digunakan kukang jawa, terdapat satu jenis pohon, dua jenis tiang, satu jenis pancang dan satu jenis semai yang merupakan jenis tumbuhan pakan kukang jawa yaitu bubuay dan kaliandra. Keberadaan vegetasi tersebut mendukung ketersedian pakan bagi kukang jawa. Terdapat satu jenis tiang dan satu jenis tumbuhan yaitu kokosan monyet dan liana cangkore yang dimanfaatkan kukang jawa sebagai tempat tidur.

Harendong (Melastoma malabathricum) merupakan jenis dominan pada tingkat semai, namun jenis ini tidak dimanfaatkan oleh kukang jawa. Ki cengkeh (Urophyllum arboreum) merupakan jenis dominan pada tingkat pancang. Menurut Wirdateti (2003), kukang jawa memakan cairan dari kulit cengkeh. Kaliandra merupakan jenis dominan pada tingkat tiang, nektar kaliandra paling banyak dimanfaatkan kukang sebagai salah satu sumber pakan. Pasang (Quercus sundaica) merupakan jenis dominan pada tingkat pohon. Menurut Pambudi (2008), kukang jawa di hutan Bodogol TNGGP memakan buah dan getah pasang. Namun, kukang jawa pada penelitian ini tidak teramati memakan jenis tersebut. Kukang jawa hanya memanfaatkan ranting dan pohon untuk melakukan aktivitas hariannya, sepeti berpindah tempat. Jenis tumbuhan yang mempunyai nilai INP tertinggi merupakan jenis tumbuhan yang dominan di dalam suatu komunitas tumbuhan (Indriyanto 2005).

Berdasarkan hasil analisis vegetasi, diperoleh empat jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi pohon pakan dan enam jenis tumbuhan yang berpotensi menjadi pohon tidur. Selain berfungsi sebagai pohon pakan dan pohon tidur, jenis-jenis tersebut juga mendukung aktivitas harian kukang jawa, seperti aktivitas berpindah tempat. Potensi tumbuhan pakan kukang di Bandung Barat terdapat 16 jenis (Wahyudin 2014), di Lampung terdapat 8 jenis (Handoko 2014), di talun Tasikmalaya dan Ciamis terdapat 25 jenis (Winarti 2011). Potensi tumbuhan pakan kukang pada habitat talun lebih banyak dibandingkan pada habitat hutan. Keragaman jenis pakan pada habitat talun merupakan hal yang penting karena struktur komunitas dan komposisi vegetasi talun seringkali berubah dengan cepat akibat siklus rotasi (Winarti 2011; Putri 2014; Wahyudin 2014).

(34)

24

tidak ada gangguan pada habitat kukang jawa. Selain melalui pengamatan langsung, terdapat beberapa jenis tumbuhan yang berpotensi dimanfaatkan kukang jawa sebagai pohon pakan dan pohon tidur (Tabel 6).

Tabel 6 Potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan kukang jawa

Jenis Nama Ilmiah Famili Jenis pemanfaatan

Kaliandra Calliandra calothyrsus

Fabaceae Pakan*ace,pohon tidurb

Bubuay Plectocomia

elongata

Arecaceae Pakan*a Cangkore Dinochloa scandens Poaceae Pohon tidur* Ki sampang Eudioa latifolia Rutaceae Pohon tidurb Pasang Quercus sundaica Fagaceae Pakanc

, pohon tidurb Puspa Schima wallichii Theaceae Pakand

, pohon tidurb Keterangan: *berdasarkan pengamatan, aAngeliza 2014, bArismayanti 2014, cPambudi

2008, dYIARI2012, eWahyudin2014.

Pohon Tidur Kukang Jawa (Sleeping site)

Berdasarkan hasil pengamatan, kukang jawa terlihat menggunakan pohon kokosan monyet, dan pohon reungas yang terdapat liana cangkore sebagai pohon tidur (Tabel 7). Kukang jawa menggunakan pohon tidur yang berbeda setiap hari. Pemilihan pohon tidur kukang jawa mempertimbangkan faktor keamanan dari predator dan kemudahan akses ke pohon pakan. Kukang jawa teramati tidur pada lokasi yang berdekatan dengan tempat tidur sebelumnya dalam jarak waktu yang berdekatan. Menurut Smith (2007), pemilihan lokasi tidur yang berdekatan dipengaruhi oleh keinginan hewan untuk meminimalisir waktu tempuh untuk mencapai lokasi sumber pakan pada hari berikutnya. Menurut Iqbal (2011), kukang jawa hasil pelepasliaran di kawasan hutan Gunung Salak menggunakan pohon ki beusi (Rhodamnia cinerea), bingbin (Pinanga coronata), ki sampang (Euodia latifolia), dan tepus rambutan (Amomum lappaceum) sebagai pohon tidur.

(35)

25

Pohon untuk tidur kukang tidak terbatas hanya pada jenis-jenis tertentu, sehingga pohon untuk tidur kukang akan selalu berpindah tempat. Lokasi tidur kukang tidak akan terlalu jauh dari lokasi terakhir aktivitasnya pada saat menjelang fajar (Wahyudin 2014). Ada beberapa lokasi yang berpotensi menjadi pohon tidur kukang jawa karena sinyal yang terdekteksi pada receiver mencapai 99%, namun posisi kukang jawa pada pohon tersebut sulit ditemukan karena berbagai kendala. Kendala tersebut cuaca berkabut sehingga mengurangi jarak pandangan, jalur pengamatan yang curam pohon yang rimbun karena dikelilingi tumbuhan merambat.

Cara tidur kukang yaitu bergulung seperti bola dengan kepala berada diantara kaki (Supriatna dan Wahyono 2000). Kukang jawa sering teramati tidur di pohon yang memiliki tumbuhan merambat seperti liana cangkore. Menurut Garcia dan Braza (1993: 474), pemilihan lokasi tidur yang tersusun dari tumbuhan merambat bertujuan untuk melindungi hewan nokturnal dari predator saat siang hari. Selain itu, liana pada pohon tidur juga berfungsi membantu pergerakan kukang pada percabangan pohon untuk bergerak dan mencari pakan. Kemudahan akses terhadap sumber pakan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pemilihan lokasi tidur (Anderson 1998 dan 2000 diacu dalam Schreier dan Swedell 2008:107).

Kukang jawa menggunakan pohon yang tinggi dan besar, dikelilingi liana atau tumbuhan merambat lainnya, tajuk yang luas dan jarak antar pohon yang dekat untuk memudahkan kukang jawa tersebut berpindah tempat. Vegetasi yang rapat dan warna tubuh kukang jawa yang samar membuat kukang jawa sulit ditemukan. Hal ini merupakan salah satu bentuk perlindungan diri dari predator.

Vegetasi yang rapat dapat memberikan perlindungan kepada kukang dalam melakukan aktivitas hariannya. Hal tersebut diperlukan terutama pada saat kondisi paling rentan, yaitu saat kukang tidur (Pambudi 2008). Menurut Choudhurry (1992), kukang menyukai strata puncak serta kerimbunan rumpun bambu untuk tidur. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, kukang jawa menggunakan pohon dengan ketinggian rata-rata 12.67 m untuk tidur. Menurut Arismayanti (2014), terdapat beberapa karakteristik pohon yang digunakan kukang jawa sebagai pohon tidur, yaitu pohon memiliki penutupan tajuk sebesar 68%, tinggi pohon 10-22 m, rata-rata diameter batang pohon 0.44 m, dan rata-rata jarak pohon terdekat sebesar 5.4 m.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Aktivitas harian kukang jawa tertinggi berturut-turut adalah aktivitas makan, berpindah tempat, menelisik, mencari makan, aktif, in-aktif, dan sosial. Selama penelitian kukang jawa tidak teramati melakukan aktivitas abnormal. 2. Perhitungan dengan metode FK memberikan rata-rata luas wilayah jelajah

(36)

26

jelajah harian rata-rata sebesar 558.33 m, radius maksimum rata-rata sebesar 167.30 m, dan perbedaan lokasi tempat tidur rata-rata sebesar 172.61 m. 3. Komposisi vegetasi pada habitat kukang jawa terdiri atas 22 jenis tumbuhan.

Pohon tidur kukang jawa yang teramati adalah kokosan monyet dan liana cangkore pada pohon reungas.

Saran

1. Perlu adanya monitoring berkala mengenai aktivitas harian, wilayah jelajah, dan potensi pohon tidur kukang jawa agar menghasilkan data yang berkelanjutan (time series).

2. Diperlukan penelitian dengan obyek kukang jawa liar jantan, agar dapat mengetahui keberlanjutan dari populasi kukang jawa di TNGHS.

3. Bubuay dapat dijadikan pengayaan pakan alami kukang selama masa rehabilitasi.

4. Diperlukan pemeliharaan kondisi vegetasi karena di TNGHS berpotensi sebagai habitat kukang jawa dengan sumber pakan yang cukup beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Angeliza R. 2014. Aktivitas harian kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arismayanti E. 2014. Wilayah jelajah dan penggunaan ruang harian kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Asnawi E. 1991. Studi sifat-sifat biologis kukang (Nycticebus coucang [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bajjali W. 2006. Advance Training Course in GIS Using Spatial Analyst, Geostatistical, and 3-D Analyst of ArcGIS. Departement of Biology and Earth Sciences University of Wisconsin System [Internet]. [diunduh 4 Nov 2014]. Tersedia pada: http://frontpage.uwsuper.edu/bajjali/train/usa/AC.pdf Ballenger L. 2000. Nycticebus coucang [Internet]. [diunduh 2014 Okt 18].

Tersedia pada: www.species.net.

Bearder SK. 1987. Lorises, bushbabies, and tarsies: diverse societies in solitary foragers. Dalam: Smuts BB, Cheney DL, Wrangham RM, Struhsakers T. Primates societes. Chicago (US): The University of Chicago Press.

Bearder SK. 1999. Physical and social diversity among nocturnal primates: a new view based on long term research. Primates. 40:267-282.

(37)

27 Bransilver C. 1999. Slow loris (Nycticebus coucang) [Internet]. [diunduh 2014

Okt 20]. Tersedia pada: http://www.duke.edu/web/primate/slowlor.html. Chamberlain JR. 2000. Meningkatkan Produksi Benih Calliandra calothyrsus.

Mulawarman, penerjemah. Bogor (ID): International Centre for Research in Agroforestry. Terjemahan dari: Improving Seed Production in Calliandra calothyrsus.

Choudhurry AU. 1992. The slow loris (Nycticebus coucang) in North-east India. Primate Report. 34:77-83.

Das N. 2013. Ecology and behaviour of bengal slow loris Nycticebus bengalensis, (Lecepede, 1800) in Assam, India [tesis]. India (IN): Gauhati University. Farida WR, Harun. 2000. Keragaman jenis tumbuhan sebagai sumber pakan bagi

owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), dan lutung (Trachypithecus auratus) di Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Primatologi Indonesia. 3(2):55-61.

Garcia JE, Braza F. 1993. Sleeping sites and lodge trees of the night monkey (Aotus azarae) in Bolivia. International Journal of Primatology. 14(3):467-477.

Handoko DD. 2014. Analisis habitat kukang sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) pelepasliaran YIARI di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.

Herdiawan I, Fanindi A, Semali A. 2005. Karakteristik dan pemanfaatan kaliandra (Calliandra calothyrsus). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak Puslitbang Peternakan.

Indriyanto. 2005. Ekologi Hutan. Jakarta (ID): PT Bumi Aksara.

Iqbal M. 2011. Pemilihan lokasi tidur (Sleeping sites) kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) yang dilepasliarkan di kawasan hutan Gunung Salak Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. Jolly A. 1985. The evolution of primate behavior 2nd ed. New York (UK):

Macmillan Publishing Company.

Jones CB. 2005. Behavioral flexibilities in primates: causes and consequences. Springer Science + Business Media, Inc., New York

Kartika RB. 2000. Studi banding perilaku kukang (Nycticebus coucang) di dua lokasi penangkaran [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kavanau JL. 1979. Illuminance preferences of nocturnal primates. Primate. 2(20):245-258.

Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor (ID): IPB Press.

Moore RS. 2012. Ethis, ecology, and evolution of Indonesian slow lorises (Nycticebus spp.) rescued from the pet trade [tesis]. Oxford (UK): Oxford Brookes University.

Muntasib EKSH, Pakpahan AM. 1992. Habitat Satwa Liar. Bogor (ID): Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor.

National Research Council. 1981. Techniques for the study of primate population ecology. Washington DC (US): National Academic Press.

(38)

28

Nekaris KAI. 2005. Foraging behaviour of the slender loris (Loris lydekkerianus lydekkerianus): implications for theories of primate origins. Journal of Human Evolution. 49:289-300.

Nekaris KAI. 2014. Extreme primates: ecology and evolution of asian lorises. Evolutionary Anthropology. 23:177-187.

Nekaris KAI, Bearder SK. 2007. The lorisiform primates of Asia and mainland Africa: Diversity shrouded in darkness. The Primates. 2:24-45.

Nielsen EB, Pedersen S, Linnel JDC. 2008. Can minimum convex polygon home ranges be used to draw biologically meaningful conclusions? Ecological Research. 23(3):635-639.

Nursahid R, Purnama AR. 2007. Perdagangan kukang (Nycticebus coucang) di Indonesia [Internet]. [diunduh 2014 Jan 20]. Tersedia pada: http://www.profauna.or.id/indo.pressrelease/perdagangan-kukang.html. Octavianata E. 2014. Perilaku dan daerah jelajah harian kukang sumatera

(Nycticebus coucang Boddaert, 1785) pelepasliaran YIARI di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung [skripsi]. Lampung (ID): Universitas Lampung.

Pambudi JAA. 2008. Studi populasi, perilaku, dan ekologi kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Pliosungnoen M, Gale G, Savini T. 2010. Density and microhabitat use of bengal slow loris in primary forest and non-native plantation forest. Am J Primatol 71(12):1-10.

Priatna D. 2012. Pola penggunaan ruang dan model kesesuaian habitat harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae Pocock, 1929) pasca translokasi berdasarkan pemantauan kalung GPS [disertasi]. Bogor (ID): Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Putri PR. 2014. Aktivitas harian dan penggunaan habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Talun Desa Cipaganti Garut, Jawa Barat [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.

Radhakrishna S, Singh M. 2002. Social behaviour of the slender loris (Loris tardigradus lydekkerianus). Folia Primatologica. 73:181-196.

Rode MEJ, Nijman V, Wirdateti, Nekaris KAI. 2014. Ethology of the critically endangered javan slow loris Nycticebus javanicus E. Geoffroy Saint-Hilaire in west java. Asian Primates Journal. 4(2):27-41.

Rowe N. 1996. The Pictorial Guide to the Living Primates. New York (US): Pogonias Press.

Seaman DE, Powell RA. 1996. An evaluation of the accuracy of Kernel density estimators for home range analysis. Ecology. 77(7): 2075-2085.

Shulze H, Groves G. 2004. Asian lorises: taxonomic problems caused by illegal trade. Di dalam: Nadler T, Streicher U, Ha TL, editor. International Symposium Conservation of Primates in Vietnam; Cuc Phuong National Park Vietnam, 18-20 Nov 2003. Hanoi: Haki Press.

Gambar

Gambar 1 Lokasi penelitian
Gambar 3 Presentase aktivitas harian kukang jawa
Gambar 4 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa
Gambar 5 Pola aktivitas menelisik kukang jawa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, instansi pe- merintah dan dinas terkait melakukan tugas se- suai tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI) mas- ing-masing. Kompleksitas pada permasalahan anak

Seruan mengenai bahaya DBD yang ber- sumber dari lingkungan sekitar (tetangga) mengenai penyakit DBD serta pencegahannya tidak pernah didapatkan sekalipun beberapa

Distribusi Triangular dari komponen biaya akan digunakan untuk menjalankan simulasi Monte Carlo. Metode perkiraan biaya proyek Monte Carlo berdasarkan pada

Dengan bukti audit yang cukup dan tepat, auditor sudah menekan risiko audit, namun tidak mungkin samapai ke tingkat nol, karena. adanya kendala bawaaan dalam

Sumber-sumber primer kedua yang dimaksud adalah sumber data berupa video yang diambil dari media sosial yaitu youtobe yang terkait dengan penelitian, alasan

Reguler 300 Blok M Rawamangun Patas 16 Rambutan Tanah Abang Reguler 106 Senen Cimone Patas AC 82 Tanjung Priok Depok Reguler 103 Grogol Cimone Patas AC 135 Tanjung Priok Ciputat

bisnis yang dikombinasikan dengan jalur koordinasi dengan seluruh anak telah dilakukan penataan organisasi yang difokuskan pada pengembangan anak perusahaan dan mekanisme

Dari hasil karakterisasi yang dilakukan, dapat diketahui pengaruh variasi jarak penyangga ( spacer ) terhadap kualitas lapisan tipis Cd(S 0,6 Te 0,4 ) yang terbentuk meliputi