• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan Pelepasliaran Kukang J awa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) Ditinjau dari Aspek Aktivitas Harian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keberhasilan Pelepasliaran Kukang J awa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) Ditinjau dari Aspek Aktivitas Harian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERHASILAN PELEPASLIARAN KUKANG JAWA (

Nycticebus javanicus

Geoffroy, 1812) DITINJAU DARI ASPEK AKTIVITAS HARIAN DI

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

RIZKY AMALIA AZTIANTI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keberhasilan Pelepasliaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) Ditinjau dari Aspek Aktivitas Harian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

RIZKY AMALIA AZTIANTI. Keberhasilan Pelepasliaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) Ditinjau dari Aspek Aktivitas Harian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA dan INDAH WINARTI.

Nycticebus javanicus adalah satwa endemik Pulau Jawa yang dikategorikan kritis oleh IUCN. Gabungan antara program rehabilitasi dan pelepasliaran merupakan harapan terbaik untuk melestarikan kukang di alam. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan aktivitas harian kukang jawa rehabilitan dan kukang jawa liar untuk mengetahui keberhasilan pelepasliaran kukang dan mengidentifikasi habitat berdasarkan tempat tidur dan komposisi vegetasi. Penelitian dilakukan pada bulan Juli hingga Oktober 2014 pada satu individu kukang rehabilitan dan satu individu kukang liar yang telah dipasang radio collar. Terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivitas harian kukang rehabilitan dan kukang liar sehingga pelepasliaran kukang diasumsikan belum berhasil dalam kurun waktu tersebut. Namun, kukang rehabilitan beraktivitas normal. Aktivitas harian tertinggi pada kukang rehabilitan adalah berpindah tempat, sedangkan pada kukang liar adalah aktivitas makan. Kedua individu kukang menggunakan liana dan pohon sebagai tempat tidur.

Kata kunci: aktivitas harian, kukang jawa, liar, pelepasliaran, rehabilitan

ABSTRACT

RIZKY AMALIA AZTIANTI. Success of Javan Slow Loris’ (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) Release in terms of Daily Activity Aspect at Gunung Halimun Salak National Park. Supervised by HADI S. ALIKODRA and INDAH WINARTI.

Nycticebus javanicus is an endemic species of Java which categorized as critically endangered by IUCN. Combination of rehabilitation and release were such best expectation to conserve javan slow loris in nature. The objectives of this research are to compare the daily activity of rehabilitated and wild javan slow loris in order to determine success of javan slow loris’s release and to identify habitat based on sleeping site and vegetation composition. This research was conducted on July to Oktober 2014 on rehabilitated and wild radio collar-ed javan slow loris. There were significant differences between rehabilitated slow loris’s daily activity and wild slow loris’s so we assumed that the release of javan slow loris is not success yet within this period. However, the rehabilitated slow loris was doing normal activities. Highest daily activity of rehabilitated slow loris was travelling, while wild slow loris was feeding. Both javan slow lorises used liana and tree as sleeping sites.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

KEBERHASILAN PELEPASLIARAN KUKANG JAWA (

Nycticebus javanicus

Geoffroy, 1812) DITINJAU DARI ASPEK AKTIVITAS HARIAN DI

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK

RIZKY AMALIA AZTIANTI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi: Keberhasilan Pelepasliaran Kukang J awa (Nycticebus javanicus

Geofroy, 1812) Ditinjau dari Aspek Aktivitas Harian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Nama NIM

: Rizky Amalia Aztianti : £34100078

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Hadi S. MS Pembimbing I

Tanggal Lulus: 0 g FEB 2015

Indah MSi

Pembimbing II

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli hingga Oktober 2014 ini ialah kukang jawa, dengan judul Keberhasilan Pelepasliaran Kukang Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) Ditinjau dari Aspek Aktivitas Harian di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua atas segala doa dan kasih sayangnya, Prof Dr Ir Hadi S. Alikodra, MS dan Indah Winarti, SSi, MSi atas bimbingannya, dan Dr Ir Upik Rosalina, DEA sebagai penguji. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada staff, dokter hewan, animal keeper kukang, dan tim monitoring kukang YIARI yang telah membantu selama pengumpulan data, serta kepada Nepenthes Rafflesiana 47.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Lokasi dan Waktu 2

Alat dan Bahan 2

Metode Pengambilan Data 3

Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Aktivitas Harian Kukang Jawa Rehabilitan 6

Aktivitas Harian Kukang Jawa Liar 12

Perbandingan Aktivitas Harian Kukang Jawa 19

Habitat 22

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

(10)

DAFTAR TABEL

1 Jenis tumbuhan untuk tidur yang digunakan kukang jawa di TNGHS 22 2 Potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan kukang jawa di TNGHS 25

DAFTAR GAMBAR

1 Lokasi penelitian 2

2 Persentase aktivitas harian kukang jawa rehabilitan 6 3 Rata-rata aktivitas harian kukang jawa rehabilitan 7

4 Pola aktivitas aktif kukang jawa rehabilitan 7

5 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa rehabilitan 8 6 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa rehabilitan 9

7 Pola aktivitas makan kukang jawa rehabilitan 10

8 Kukang mampu mencengkram batang pohon dengan kuat karena ibu jarinya terletak bersebrangan dengan jari lainnya 11 9 Pola aktivitas menelisik kukang jawa rehabilitan 11 10 Persentase aktivitas harian kukang jawa liar 12

11 Rata-rata aktivitas harian kukang jawa liar 13

12 Pola aktivitas aktif kukang jawa liar 14

13 Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa liar 15 14 Pemanfaatan ranting pohon untuk berpindah tempat (foto: Muhidin

YIARI 2014) 15

15 Pola aktivitas mencari makan kukang jawa liar 16

16 Pola aktivitas makan kukang jawa liar 17

17 Pola aktivitas menelisik kukang jawa liar 18

18 Grafik perbandingan aktivitas harian kukang jawa di TNGHS 20

19 Jenis pakan kukang jawa di TNGHS 21

20 Kondisi habitat kukang jawa di TNGHS 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Profil kukang jawa objek penelitian 31

2 Tahapan proses rescue, rehabilitation, release (3R) dan monitoring

YIARI 32

3 Etogram aktivitas kukang 33

4 Perhitungan chi square aktivitas harian kukang jawa rehabilitan dan

kukang jawa liar 34

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kukang (Nycticebus sp.) adalah primata primitif arboreal yang aktif pada malam hari (nokturnal). Tiga spesies dari genus Nycticebus terdapat di Indonesia, yaitu kukang malaya (N. coucang), kukang borneo (N. menagensis), dan kukang jawa (N. javanicus) (IUCN 2014). Keberadaan kukang di alam terancam punah karena pengurangan habitat akibat dari tingginya kebutuhan manusia akan lahan pemukiman dan kayu dan pertumbuhan populasinya yang lambat karena hanya melahirkan satu kali setiap tahunnya (Nekaris dan Bearder 2007). Penelitian lebih lanjut menunjukan bahwa perdagangan kukang mempunyai dampak yang lebih besar terhadap populasinya di alam. Kukang sering ditemui di perdagangan ilegal di Indonesia. Menurut Malone et al. (2002) dan Shepherd (2010), kukang merupakan satwa primata ke dua yang paling banyak ditemukan pada perdagangan ilegal di Medan, Jawa, dan Bali. Kukang jawa dalam IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Species) Red List termasuk dalam kategori critically endangered dan termasuk dalam daftar Apendiks I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).

Rehabilitasi dan pelepasliaran kukang jawa yang berasal dari perdagangan ilegal merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menekan penurunan populasinya di alam. Pelepasliaran merupakan upaya melepaskan hewan yang berasal dari liar, hasil penangkaran ataupun tangkapan ke daerah sebaran asal yang pernah mengalami kepunahan spesies tersebut atau masih dalam geografis penyebarannya. Gabungan antara pelepasliaran dan program penangkaran merupakan harapan terbaik untuk melestarikan spesies, baik yang pasti punah di alam maupun yang sedang mengalami penurunan drastis (Indrawan et al. 2007; Price dan Soorae 2003).

Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) merupakan salah satu pusat rehabilitasi satwa yang meyakini bahwa satwa memiliki hak untuk hidup bebas di alam. Kegiatan YIARI meliputi penyelamatan, rehabilitasi, dan pelepasliaran monyet ekor panjang, beruk, kukang, dan orangutan. Yayasan IAR Indonesia telah melakukan kegiatan pelepasliaran kukang baik di Jawa Barat dan Lampung. Pelepasliaran kukang di alam dikatakan berhasil jika kukang tersebut dapat bertahan hidup di alam dan berperilaku alami. Salah satu kendala dalam pelaksanaan pelepasliaran adalah tidak diketahuinya keberhasilan pelepasliaran kukang di habitat alami ditinjau dari aspek aktivitas hariannya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberhasilan pelepasliaran kukang jawa hasil rehabilitasi ditinjau dari aspek aktivitas harian untuk melihat tingkat adaptasi kukang jawa hasil rehabilitasi di habitat barunya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk:

(12)

2

2. membandingkan aktivitas harian kukang jawa rehabilitan dan kukang jawa liar

3. mengidentifikasi habitat berdasarkan tempat tidur dan komposisi vegetasi Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan mampu memberikan informasi sebagai bahan evaluasi dalam kegiatan rehabilitasi dan pelepasliaran kukang atau spesies lain yang sejenis. Penelitian juga diharapkan mampu memberikan informasi awal mengenai keberhasilan pelepasliaran kukang jawa dilihat dari aktivitas hariannya di habitat alami.

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di kawasan hutan Gunung Salak, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Bogor, Resort Pengelolaan Taman Nasional Wilayah Gunung Salak I, Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Jawa Barat pada bulan Juli hingga Oktober 2014.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan adalah head lamp dengan sinar lampu merah, baterai, kamera, pengukur waktu, peralatan radio tracking (radio collar, receiver, dan antena), termohygrometer, lembar pengamatan, meteran jahit, dan alat tulis.

(13)

3 Bahan yang digunakan adalah plastik, kertas label, tali rafia, dan dua individu kukang jawa yang telah dipasang radio collar sebagai objek penelitian, yaitu kukang jawa yang telah dilepasliarkan (kukang rehabilitan) bernama Tampomas dan kukang jawa liar bernama Ekar (Lampiran 1). Kukang jawa rehabilitan (Tampomas) telah melalui proses rehabilitasi di YIARI (Lampiran 2).

Metode Pengambilan Data

Aktivitas harian

Pengamatan langsung aktivitas harian kukang dilakukan dengan metode instantaneous focal animal sampling dengan interval waktu lima menit dan continuous recording untuk mengetahui durasi suatu aktivitas. Pengamatan dilakukan pukul 18.00 – 00.00 dan 00.00 – 06.00 WIB.

Pengamatan untuk mengetahui keberadaan kukang dilakukan dengan metode penjelajahan menggunakan radio tracking. Kukang jawa yang dijadikan objek penelitian telah dilengkapi radio collar yang dipasang di leher kukang. Alat tersebut berguna untuk mengirimkan sinyal ke receiver sehingga keberadaan kukang dapat diketahui. Pengamatan dilakukan dengan mengikuti Tim Monitoring YIARI dan menjaga jarak antara pengamat dan kukang yang diamati agar tidak mengganggu aktivitasnya. Jarak pengamat dengan kukang disesuaikan dengan posisi kukang di pohon dan kondisi topografi. Aktivitas harian yang diamati mengacu pada etogram YIARI (Lampiran 3).

Habitat Tempat tidur

Pengambilan data tempat tidur kukang dilakukan dengan metode jelajah menggunakan radio tracking sebelum kukang aktif yaitu sebelum matahari terbenam atau sekitar pukul 16.00 – 18.00 WIB dan setelah kukang berhenti aktif yaitu setelah matahari terbit atau sekitar pukul 06.00 – 08.00 WIB. Parameter yang dicatat meliputi jenis pohon tidur, tinggi pohon, diameter pohon, dan posisi kukang pada pohon tidur.

Komposisi vegetasi

Data komposisi vegetasi didapatkan melalui metode petak ganda yang ditentukan secara purposive sampling. Pengambilan petak contoh dilakukan pada lokasi dimana kukang paling banyak melakukan aktivitas. Tujuan pengambilan data komposisi vegetasi adalah untuk mengetahui komposisi vegetasi pada habitat kukang.

(14)

4

Profil kukang jawa

Data mengenai asal-usul kukang jawa dikumpulkan dengan metode wawancara kepada pihak pengelola dan dokter hewan serta melakukan penelusuran dokumen YIARI. Data yang dikumpulkan antara lain nomor identitas kukang, nama, jenis kelamin, berat badan, tanggal datang ke YIARI, sumber satwa (hasil sitaan atau serahan masyarakat), asal lokasi, tanggal dilepaskan, dan riwayat kesehatan (kecacatan/luka, riwayat penyakit), serta lama proses karantina, rehabilitasi, dan habituasi.

Analisis Data

Aktivitas harian

Aktivitas harian kukang yang diamati dengan metode instantaneous focal animal sampling dengan interval waktu lima menit dianalisis secara kuantitatif dengan cara menghitung persentase suatu jenis aktivitas. Persentase aktivitas harian disajikan dalam grafik untuk kemudahan membaca data. Durasi atau penggunaan waktu setiap aktivitas harian yang diamati dengan metode continuous recording dianalisis secara kuantitatif. Persamaan yang digunakan:

Persentase suatu aktivitas (%) =

Durasi suatu aktivitas (menit) =

Keberhasilan pelepasliaran

Metode pelepasliaran satwaliar terbagi atas dua macam, yaitu hard release dan soft release (Hall 2005). Metode hard release dilakukan pada satwa yang tidak terlalu lama berada di dalam kandang dan dilepaskan kembali pada lokasi yang sama dengan asal satwa. Metode soft release dilakukan pada satwa yang telah berada di kandang dalam jangka waktu yang cukup lama.

Kegiatan pelepasliaran satwa harus didasarkan pada berbagai pertimbangan. Hal tersebut bertujuan untuk menyiapkan satwa kandidat pelepasliaran dapat bertahan hidup di alam. Sebelum dilepasliarkan, satwa tersebut harus mampu berperilaku alami, salah satunya yaitu menunjukan perilaku mencari makan yang sesuai (kemampuan untuk mengenali, mengetahui sumber, dan mengambil pakan), menunjukan perilaku normal, dan dapat menghindari predator (DEC 2008; Hall 2005).

(15)

5 Keberhasilan pelepasliaran juga dilihat dari kemampuan satwa untuk bertahan hidup dengan mencari makan, menunjukan perilaku normal (satwa menunjukan respon yang wajar terhadap aktivitas manusia, menunjukan sosialisasi satwa yang normal terhadap spesies yang sama atau spesies lain), mampu berkembangbiak (Miller 2000). Persamaan yang digunakan adalah:

Keterangan: X2hit = Nilai chi-square

F0 = Frekuensi hasil pengamatan Fe = Frekuensi harapan

Hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut:

Ho = tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivitas harian kukang jawa rehabilitan dan kukang jawa liar

H1= terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivitas harian kukang jawa rehabilitan dan kukang jawa liar

Dengan kriteria uji:

Jika X2 hitung > dari X2 tabel, maka tolak H0 Jika X2 hitung < dari X2 tabel, maka terima H0

Habitat Tempat tidur

Tempat tidur kukang jawa dianalisis secara deskriptif dengan penguraian dan penjelasan berdasarkan parameter-parameter yang diamati.

Komposisi vegetasi

Komposisi vegetasi pada petak contoh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif menggunakan persamaan:

Kerapatan (batang/ha) =

Kerapatan Relatif (%) =

Dominansi (m2/ha) =

Dominansi Relatif (%) =

Frekuensi =

Frekuensi Relatif (%) =

(16)

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

Aktivitas Harian Kukang Jawa Rehabilitan

Data aktivitas harian kukang jawa rehabilitan di TNGHS yang diperoleh selama penelitian ini adalah 384 sampel atau setara dengan 32 jam. Pelepasliaran kukang rehabilitan dilakukan pada September 2014. Pengamatan aktivitas harian kukang rehabilitan dilakukan setelah kukang dilepasliarkan pada bulan September hingga Oktober 2014. Aktivitas harian kukang jawa rehabilitan tertinggi berturut-turut adalah berpindah tempat (43.75 %), mencari makan (23.44 %), dan makan (15.89 %) seperti yang disajikan pada Gambar 2. Aktivitas harian terendah adalah aktivitas in-aktif (0.78 %). Selama pengamatan, kukang jawa rehabilitan tidak dijumpai melakukan aktivitas sosial, agonistik, dan abnormal.

Aktivitas harian kukang rehabilitan di TNGHS sama dengan kukang malaya rehabilitan di Lampung. Qomar (2013) dan Octavianata (2014) melaporkan bahwa aktivitas kukang malaya rehabilitan paling dominan berturut-turut adalah berpindah tempat, mencari makan, dan makan. Aktivitas berpindah tempat dilakukan kukang rehabilitan untuk mengenali habitat barunya sehingga mampu beradaptasi.

Aktivitas harian kukang jawa rehabilitan di TNGHS dengan rata-rata durasi terbesar adalah aktivitas berpindah tempat (12.79 menit). Rata-rata durasi mencari makan adalah 9.98 menit, makan 8.71 menit, aktif 6.96 menit, dan menelisik 4.63 menit. Aktivitas berpindah tempat, mencari makan, dan makan pada kukang menunjukan indikasi bertahan hidup. Tingginya aktivitas-aktivitas tersebut pada kukang rehabilitan menunjukan bahwa kukang berperilaku normal.

Pola aktivitas harian kukang rehabilitan hampir sama di setiap jamnya (Gambar 3). Aktivitas harian umumnya didominasi oleh aktivitas berpindah tempat. Aktivitas berpindah tempat dan in-aktif paling banyak dilakukan di akhir malam. Aktivitas berpindah tempat paling banyak dilakukan di akhir malam karena kukang mencari lokasi tidur. Aktivitas in-aktif dilakukan pada akhir malam mengindikasikan kukang mulai beristirahat atau mengakhiri aktivitasnya. Hal tersebut menunjukan bahwa kukang adalah satwa nokturnal.

(17)

7

Aktivitas in-aktif

Aktivitas in-aktif mempunyai nilai persentase yang kecil (0.78 %). Aktivitas ini teramati ketika kukang telah menemukan lokasi tidur yang cocok saat menjelang matahari terbit (Gambar 3). Sedikitnya nilai persentase tersebut menunjukan bahwa kukang rehabilitan lebih banyak melakukan aktivitas pada malam hari (satwa nokturnal), sesuai dengan Nekaris dan Bearder (2007).Hal ini menjadi indikasi perilaku normal kukang rehabilitan tersebut.

Aktivitas aktif

Persentase aktivitas aktif pada kukang rehabilitan sebesar 10.68 % dan paling banyak terjadi pada awal malam (Gambar 4). Aktivitas aktif dilakukan untuk memeriksa keadaan sekitar setelah kukang bangun pukul 18.00 WIB. Aktivitas ini juga terlihat ketika kukang mendengar suara gaduh karena keberadaan pengamat. Menurut Bottcher-Law et al. (2001), aktivitas aktif pada kukang mengindikasikan gangguan atau tekanan lingkungan. Kukang jawa rehabilitan yang diamati diasumsikan tidak mengalami banyak gangguan di habitat barunya.

Gambar 3 Rata-rata aktivitas harian kukang jawa rehabilitan

(18)

8

Aktivitas berpindah tempat

Aktivitas berpindah tempat adalah aktivitas harian tertinggi pada kukang rehabilitan dengan nilai 43.75 %. Aktivitas ini mulai meningkat sejak kukang bangun dan paling banyak dilakukan menjelang matahari terbit (Gambar 5). Aktivitas berpindah tempat saat menjelang pagi dilakukan kukang untuk mencari lokasi tidur yang aman. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan kukang bengal (Nycticebus bengalensis) di India yang mulai berjalan ke tempat tidur pukul 03.30 – 04.30 (Das 2013).

Pergerakan kukang saat berpindah tempat lebih cepat dibandingkan saat kukang mencari makan. Saat berpindah tempat, pola pergerakan kukang paling banyak dilakukan dengan berjalan, baik berjalan turun maupun berjalan naik, yaitu bergerak pada setiap level permukaan pada dahan atau batang pohon. Hal tersebut sama dengan pola pergerakan kukang jawa liar di hutan Bodogol dan kukang malaya rehabilitan di Lampung yang menunjukan bahwa kukang paling sering bergerak dengan berjalan naik dan berjalan turun (Pambudi 2008; Octavianata 2014). Kukang juga mampu menggapai ranting pohon lain untuk berpindah karena mampu meregangkan tubuhnya.

Aktivitas berpindah tempat merupakan aktivitas harian terbesar kukang jawa rehabilitan dan kukang malaya rehabilitan (Qomar 2013; Octavianata 2014). Tingginya aktivitas berpindah tempat dilakukan sebagai proses mengenali habitat barunya. Pengenalan terhadap habitat baru dilakukan untuk beradaptasi sehingga mampu bertahan hidup, baik dari segi pakan, pesaing, lingkungan, maupun predator. Moore et al. (2014) menunjukan bahwa kukang rehabilitan banyak berpindah tempat sehingga memiliki daerah jelajah yang luas. Hal tersebut disebabkan karena kukang rehabilitan masih harus membangun wilayah jelajahnya. Ukuran wilayah jelajah yang luas juga dipengaruhi oleh ketersediaan pakan. Das (2013) menjelaskan bahwa ketersediaan pakan yang rendah menyebabkan kukang harus banyak berpindah tempat untuk dapat menemukan pakan yang sesuai dengan kebutuhannya.

(19)

9

Aktivitas mencari makan

Aktivitas mencari makan merupakan aktivitas harian tertinggi ke dua pada kukang rehabilitan dengan nilai 23.44 %. Aktivitas ini dilakukan sejak awal malam dan paling banyak terjadi saat tengah malam (Gambar 6). Aktivitas mencari makan tidak teramati saat menjelang pagi karena kukang mulai mencari lokasi tidur.

Kukang banyak menggunakan waktunya untuk mencari makan pada pohon kaliandra merah (Calliandra calothyrsus). Ketika mencari makan, kukang menggunakan ranting kaliandra yang saling berhubungan agar dapat menjangkau bunga kaliandra. Nekaris (2001) menjelaskan bahwa aktivitas mencari makan umumnya dilakukan dengan memanjat atau berjalan bolak balik pada satu atau serangkaian pohon selama 1 - 2 jam.

Aktivitas makan

Kukang rehabilitan melakukan aktivitas makan sebesar 15.89 %. Aktivitas makan sudah terlihat sejak kukang bangun dan paling banyak dilakukan saat pertengahan malam (Gambar 7). Aktivitas ini kemudian menurun hingga menjelang pagi. Aktivitas makan yang teramati setelah kukang bangun dikarenakan oleh lokasi tidur kukang berada di dekat sumber pakan, yaitu kaliandra merah. Hal tersebut memberikan kemudahan dan meminimalkan waktu tempuh kukang untuk menuju ke sumber pakan. Aktivitas makan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan energi selama masa aktifnya. Ketika menjelang pagi, aktivitas makan tidak terlihat karena kukang sudah mencari lokasi tidur.

Jenis pakan tertinggi kukang jawa rehabilitan berturut-turut adalah nektar kaliandra merah (90.74 %), serangga (3.70 %), getah sengon (Paraserianthes falcataria) (3.70 %), dan getah kimenyan (1.85 %). Hal tersebut sejalan dengan yang dilaporkan Moore (2012) bahwa kukang jawa hasil pelepasliaran mengonsumsi nektar hingga 90 %. Selain nektar bunga, kukang juga dilaporkan memanfaatkan getah, serangga, buah, kulit kayu, pucuk daun, dan sadapan nira pohon aren (Arenga pinnata) sebagai sumber pakan (Rode et al. 2014; Wiens 2002; Wirdateti et al. 2005; Nekaris dan Bearder 2007; Winarti 2011; Das 2013).

(20)

10

Pakan kukang rehabilitan menunjukan pemilihan pakan yang sama dengan kukang liar.

Jumlah pakan kukang jawa rehabilitan berbeda dengan kukang malaya rehabilitan. Octavianata (2014) menjelaskan bahwa rata-rata frekuensi jenis pakan kukang malaya rehabilitan berturut-turut adalah buah (47.4 %), getah (43.25 %), dan serangga (9.3 %). Perbedaan tersebut disebabkan oleh habitat lokasi pelepasliaran kukang. Habitat lokasi pelepasliaran kukang malaya adalah perkebunan yang didominasi oleh tanaman kopi dan beberapa jenis tumbuhan bergetah.

Pemanfaatan getah sebagai pakan dapat berasal dari berbagai jenis tumbuhan. Berdasarkan pengamatan, kukang memanfaatkan getah sengon dan getah kimenyan sebagai pakannya. Wahyuni (2011) menyatakan bahwa pada masa rehabilitasi, kukang jawa cenderung lebih senang memakan getah sengon daripada getah pete (Parkia speciosa) karena kulit batang pohon pete lebih tebal daripada kulit pohon sengon. Selain getah sengon dan getah pete, kukang jawa di Tasikmalaya dan Ciamis juga mengonsumsi getah nangka (Artocarpus heterophyllus) (Winarti 2011; Putri 2014). Di hutan Bodogol, Pambudi (2008) melaporkan bahwa kukang jawa mengonsumsi getah dari pohon pasang (Quercus sp.), sedangkan di Garut kukang jawa mengonsumsi getah pohon Acacia decurrens (Putri 2014; Rode et al. 2014). Menurut Octavianata (2014) kukang malaya rehabilitan di Lampung mengonsumsi getah mahoni (Swietenia mahagoni), randu (Ceiba pentandra), jengkol (Archidendron pauciflorum), pete, dan sengon. Kukang malaya rehabilitan tersebut juga mengonsumsi buah kopi (Coffea sp.), buah seuseureuhan (Piper aduncum), dan serangga famili Cicadidae yaitu tonggeret (Tibicen pruinosa).

Posisi dan cara makan tiap jenis pakan berbeda-beda. Saat makan nektar kaliandra, kukang rehabilitan menggantungkan tubuhnya atau berdiri dengan bertumpu pada cabang pohon sedangkan satu atau kedua tangannya meraih dan mendekatkan bunga ke arah mulutnya. Kemudian kukang menjilati nektar yang ada di antara benang sari tanpa merusak bunga, sama seperti yang dijelaskan Moore (2012). Kukang rehabilitan berada dalam posisi berdiri saat memakan serangga di ujung batang pohon, yaitu pohon jirak. Pada saat memakan getah

(21)

11 pohon, kukang makan dalam posisi berdiri naik yaitu kukang seperti menempel pada batang dimana keempat alat geraknya mencengkram batang sedangkan mulutnya menjilati getah. Cara kukang mendapatkan getah sama dengan yang dijelaskan Wiens (2002) dan Pambudi (2008) yaitu mengguratkan giginya ke batang pohon hingga kulit pohon terkelupas atau hanya tergores dan mengeluarkan getah, selanjutnya kukang akan menjilatinya. Kukang memiliki ibu jari yang letaknya bersebrangan dengan keempat jari lainnya. Hal tersebut menyebabkan kukang dapat berpegangan kuat pada batang pohon walau dengan jarinya yang kecil.

Aktivitas menelisik

Kukang jawa rehabilitan melakukan aktivitas menelisik sebesar 5.47 %. Aktivitas menelisik paling banyak dilakukan kukang rehabilitan setelah bangun dan kembali meningkat setelah tengah malam (Gambar 9). Aktivitas menelisik pada pukul 18.00 – 19.00 WIB dilakukan untuk membersihkan tubuh sebelum memulai aktivitas lainnya. Kukang melakukan aktivitas menelisik sesaat setelah bangun pada lokasi tidur dan sesaat sebelum tidur (Wiens 2002). Kukang rehabilitan tidak teramati menelisik sebelum tidur karena kukang berada pada pohon yang cukup tinggi dan terhalang dedaunan yang rapat.

Aktivitas menelisik juga dipengarui oleh kondisi cuaca setelah hujan. Aktivitas ini terlihat lebih banyak dilakukan setelah hujan. Kukang menelisik dengan cara menjilati tubuhnya agar tetap bersih dan kering sehingga mencegah

Gambar 8 Kukang mampu mencengkram batang pohon dengan kuat karena ibu jarinya terletak bersebrangan dengan jari lainnya

(22)

12

tumbuhnya parasit atau kutu. Menelisik dilakukan dengan menggunakan lidah, gigi sisir (tooth comb), dan cakar atau kuku yang panjang (toilet claw).

Aktivitas sosial, agonistik, dan abnormal

Kukang rehabilitan tidak pernah terlihat melakukan aktivitas sosial, agonistik, dan abnormal selama pengamatan berlangsung. Masa pengamatan aktivitas harian kukang rehabilitan di alam yang singkat diduga menyebabkan tidak terpantaunya aktivitas-aktvitas tersebut, terutama aktivitas sosial. Aktivitas sosial kukang rehabilitan selama masa rehabilitasi adalah 3.0 % (YIARI 2014a). Pada masa rehabilitasi, kukang ditempatkan dalam kandang bersama dengan kukang lainnya sehingga memungkinkan terjadinya aktivitas sosial.

Aktivitas abnormal umumnya ditemukan pada kukang yang berada di dalam kandang dan sering ditemui sebagai indikasi bahwa kukang mengalami stres. Saat masa rehabilitasi di kandang, kukang ini pernah melakukan aktivitas abnormal (0.2 %) (YIARI 2014a). Namun setelah dilepasliarkan kukang tidak pernah terlihat melakukan aktivitas ini. Hal tersebut menunjukan bahwa selama pengamatan kukang rehabilitan tidak mengalami stress setelah dilepasliarkan di alam.

Aktivitas abnormal kukang malaya rehabilitan di alam ditunjukan dengan berjalan mundur dan in-aktif (tidur) saat malam hari (Octavianata 2014). Berjalan mundur dilakukang karena kukang diduga merasa terusik atau terancam. Aktivitas in-aktif saat malam hari dilakukan untuk menghindari predator, yaitu elang brontok (Nisaetus cirrhatus). Angin kencang pada cabang pohon tempat tidur saat siang hari juga mengganggu kukang (Octavianata 2014).

Aktivitas Harian Kukang Jawa Liar

Data aktivitas harian kukang jawa liar di TNGHS selama 32 jam pengamatan adalah 379 sampel. Pengamatan dilakukan pada bulan Juli hingga September 2014. Aktivitas harian kukang jawa liar tertinggi berturut-turut adalah makan (33.25 %), berpindah tempat (26.65 %), dan menelisik (16.09 %) seperti yang disajikan pada Gambar 10. Selama pengamatan berlangsung, kukang jawa liar tidak terlihat melakukan aktivitas agonistik dan abnormal.

(23)

13 Penelitian sebelumnya pada kukang dan lokasi yang sama menunjukan bahwa aktivitas paling dominan berturut-turut adalah berpindah tempat (41.6 %), aktif (14.3 %), dan makan (14.1 %) (Angeliza 2014). Perbedaan aktivitas dominan pada kukang diduga disebabkan karena kondisi kukang yang sedang bunting sehinga lebih waspada dan sering berpindah tempat.

Aktivitas harian kukang jawa di TNGHS tersebut berbeda pula dengan aktivitas harian kukang jawa di Garut. Putri (2014) menyatakan bahwa aktivitas harian kukang jawa di Garut paling dominan berturut-turut adalah in-aktif (23.68 %), berpindah tempat (22.68 %), aktif (22.02 %), mencari makan (17.88 %), makan (6.37 %), dan menelisik (4.65 %). Perbedaan aktivitas harian kukang di TNGHS dan Garut disebabkan oleh perbedaan tipe habitat. Habitat kukang di TNGHS adalah hutan, sedangkan di Garut berupa talun di dekat pemukiman warga. Talun merupakan sistem penggunaan lahan dengan teknik rotasi dan terdiri atas campuran berbagai tanaman keras yang membentuk struktur multistrata (Affandi 2002).

Aktivitas harian kukang jawa liar di TNGHS dengan rata-rata durasi terbesar adalah aktivitas makan (12.04 menit). Rata-rata durasi berpindah tempat adalah 10.65 menit, menelisik 9.10 menit, mencari makan 7.43 menit, aktif 5.83 menit, dan sosial satu menit. Aktivitas sosial hanya teramati satu kali selama pengamatan sehingga rata-rata durasinya rendah. Hal tersebut membuktikan bahwa kukang lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri, sesuai dengan pernyataan Wiens dan Zitzmann (2003) bahwa kukang hidup soliter. Tingginya aktivitas makan, berpindah tempat, dan menelisik menunjukan bahwa kukang aktif dan sehat.

Pengamatan pada pukul 18.00 WIB terkendala beberapa hal sehingga pengambilan data aktivitas harian kukang dimulai pukul 19.00 WIB. Kendala pada saat itu adalah cuaca berkabut dan kukang masih berada pada tempat tidur di jurang. Pola aktivitas kukang liar hampir sama di setiap jam, tetapi saat awal dan akhir malam sangat berbeda (Gambar 11). Kukang liar lebih banyak makan saat awal malam dan banyak aktif dan in-aktif saat akhir malam.

(24)

14

Aktivitas in-aktif

Persentase aktivitas in-aktif kukang liar hanya sebesar 0.79 %. Aktivitas ini terlihat di lokasi tidur saat menjelang matahari terbit (Gambar 11). Sedikitnya nilai persentase tersebut menunjukan bahwa kukang lebih banyak melakukan aktivitas pada malam hari. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Nekaris dan Bearder (2007) bahwa famili Lorisidae mempunyai pola aktivitas nokturnal.

Aktivitas aktif

Persentase aktivitas aktif pada kukang liar sebesar 8.44 %. Aktivitas ini paling banyak terjadi sebelum kukang tidur untuk memastikan bahwa lingkungan sekitar lokasi tidur telah aman (Gambar 12). Berdasarkan pengamatan, kukang juga terlihat aktif ketika mendengar suara gaduh yang mendekat kepadanya. Aktivitas ini menunjukan aktivitas investigatif, yaitu memeriksa lingkungan sekitar. Aktivitas aktif pada kukang juga menjadi indikasi gangguan atau tekanan lingkungan (Bottcher-Law et al. 2001). Sedikitnya aktivitas aktif menjadi indikasi sedikitnya tingkat gangguan di habitat TNGHS.

Aktivitas berpindah tempat

Aktivitas berpindah tempat adalah aktivitas tertinggi ke dua pada kukang liar dengan nilai persentase sebesar 26.65 %. Aktivitas ini paling banyak dilakukan saat malam hari dan kembali meningkat saat menjelang pagi hari (Gambar 13). Tingginya aktivitas berpindah tempat saat menjelang pagi hari dilakukan untuk mencari lokasi tidur. Angeliza (2014) menyatakan bahwa aktivitas berpindah tempat pada kukang jawa liar di TNGHS dipengaruhi oleh cahaya bulan yang cenderung gelap, cuaca cerah, suhu udara yang rendah, dan kelembaban yang tinggi.

Berdasarkan pengamatan, aktivitas berpindah tempat kukang liar telah memiliki pola tertentu. Setelah 25 hari, kukang kembali terlihat pada lokasi yang sama. Hal tersebut menunjukan bahwa kukang telah memiliki wilayah jelajah. Luas wilayah jelajah kukang liar di TNGHS adalah 5.43 ha (Arismayanti 2014). Wilayah jelajah dikunjungi satwa secara tetap karena dapat menyediakan makanan, berlindung, dan tempat tidur. Nekaris (2001) menjelaskan bahwa selain

(25)

15 diikuti dengan penandaan wilayah melalui urin (urine marking), aktivitas berpindah tempat juga merupakan salah satu parameter untuk mengetahui wilayah jelajah dan fungsi teritori dan untuk memperoleh akses ke kukang lawan jenis.

Kukang memanfaatkan ranting pohon yang berdekatan dan liana untuk berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya. Kukang malaya rehabilitan juga paling banyak menggunakan ranting untuk melakukan bridging atau menggapai dari satu pohon ke pohon lain (Octavianata 2014). Walaupun lebih banyak menggunakan ranting pohon, kukang juga pernah terlihat berjalan pada batang pohon, yaitu di pohon pinus (Pinus merkusii). Perpindahan kukang melalui ranting pohon dilakukan dengan kemampuannya untuk meregangkan tubuhnya ketika bertumpu pada anggota gerak bagian belakang sedangkan anggota gerak bagian depan menjangkau ranting pohon lain. Kemampuan ini diistilahkan pertama kali oleh Charles-Dominique dengan nama cantilevering.

Persentase aktivitas berpindah tempat kukang jawa liar di TNGHS berbeda dengan yang dilaporkan Rode et al. (2014) bahwa kukang jawa di Garut hanya melakukan aktivitas berpindah tempat sebesar 14%. Berbeda pula dengan kukang malaya di alam yang paling banyak melakukan aktivitas berpindah tempat hingga 70.6 % (Nekaris dan Bearder 2007). Beberapa hal yang menyebabkan perbedaan tersebut diantaranya adalah perbedaan kondisi habitat, suhu, cuaca, dan cahaya bulan (Bearder et al. 2002). Hanya (2004) diacu dalam Rode dan Nekaris (2014)

Gambar 14 Pemanfaatan ranting pohon untuk berpindah tempat (foto: Muhidin YIARI 2014)

(26)

16

menjelaskan bahwa kondisi cuaca mempengaruhi aktivitas satwa. Pada malam yang cerah kukang hanya mengurangi aktivitasnya saat dingin dan lebih aktif saat kelembaban tinggi (Rode dan Nekaris 2014).

Aktivitas mencari makan

Nilai persentase aktivitas mencari makan pada kukang liar adalah sebesar 14.51 %. Aktivitas ini paling banyak dilakukan setelah tengah malam (Gambar 15). Aktivitas mencari makan diakhiri dengan aktivitas makan. Kukang banyak mencari makan pada pohon kaliandra dan bungbuay (Plectocomia elongata). Oleh karena nektar bunga kaliandra terletak di ujung ranting, kukang akan bergerak lambat dan terbatas untuk memilih ranting kaliandra lainnya sehingga mampu mencapai atau menggapai nektar bunga. Berbeda dengan di kaliandra, aktivitas mencari makan di bungbuay hanya dilakukan pada batang utama bungbuay. Guratan gigi kukang akan membuat batang bungbuay terluka dan mengeluarkan getah berupa lendir yang dimanfaatkan kukang sebagai sumber pakan.

Kukang beberapa kali melakukan aktivitas mencari makan dan makan pada lokasi yang sama, baik di pohon kaliandra dan bungbuay. Setelah 25 hari, kukang teramati kembali makan getah bungbuay pada lokasi yang sama. Kukang liar telah memiliki wilayah jelajah sehingga lokasi makannya dapat dilakukan di tempat yang sama.

Aktivitas makan

Aktivitas makan merupakan aktivitas harian tertinggi yang dilakukan kukang jawa liar, yaitu sebesar 33.25 %. Aktivitas makan paling banyak dilakukan pada awal malam dan kemudian kembali meningkat menjelang pagi seperti yang disajikan pada Gambar 16. Tingginya aktivitas makan saat awal malam diduga karena lokasi tidur kukang berada dekat dengan sumber pakan, sehingga kukang dapat langsung menuju ke lokasi pakan. Pakan yang dikonsumsi menjelang pagi hari digunakan sebagai cadangan energi ketika tidur pada siang hari (Angeliza 2014).

(27)

17

Jenis pakan tertinggi kukang jawa liar berturut-turut adalah getah bungbuay (58.18 %) dan nektar kaliandra merah (41.82 %). Semua Nycticebus sp. banyak mengonsumsi getah (kukang pygmy: Tan dan Drake 2001; Starr dan Nekaris 2013; kukang bengal: Swapna et al. 2010; Das 2013; Das et al. 2014; kukang malaya: Nekaris dan Bearder 2007; Wiens et al. 2006; kukang jawa: Rode et al. 2014; Winarti 2011). Selain jenis tersebut, kukang juga memakan buah-buahan, kulit kayu, pucuk daun, serangga, dan sadapan nira pohon aren (Wiens 2002; Wirdateti et al. 2005; Nekaris dan Bearder 2007; Winarti 2011; Das 2013; Das et al. 2014).

Jenis pakan kukang dapat berbeda tergantung waktu. Hal ini ditunjukan dengan perbedaan jenis pakan yang dimanfaatkan kukang sebelum penelitian ini dilakukan. Angeliza (2014) menunjukan bahwa kukang jawa liar di TNGHS banyak mengonsumsi nektar kaliandra. Jenis pakan kukang jawa liar tersebut adalah nektar kaliandra merah (79.9 %), getah bungbuay (16.6 %), serangga (3.0 %), dan buah beunying (Ficus fistulosa) (0.5 %). Perbedaan jenis pakan tersebut disebabkan oleh musim berbunga kaliandra. Kaliandra berbunga sepanjang tahun secara alami, tetapi masa puncaknya terjadi antara bulan Januari, Februari, Maret, dan Juli (Chamberlain 2000; Herdiawan et al. 2005). Tingginya konsumsi getah bungbuay juga dipengaruhi oleh musim karena kukang cenderung memakan getah pohon pada musim hujan dan lebih banyak memakan serangga dan nektar pada musim kemarau (Das 2013; Swapna et al. 2010; Robyantoro 2014).

Perbedaan jenis pakan kukang jawa juga dipengaruhi oleh habitat. Pakan kukang jawa lebih beragam di habitat talun. Pada habitat talun di Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis, kukang mengonsumsi getah dari pohon nangka, sengon, dan pete, nektar kaliandra, nira aren, sari bunga pisang (Musa paradisiaca), dan buah nangka (Putri 2014; Winarti 2011). Jenis tanaman pada habitat talun lebih beragam dan memiliki sistem rotasi. Hal tersebut menyebabkan potensi tumbuhan pakan kukang di habitat talun lebih banyak dibandingkan di habitat hutan.

Posisi dan cara kukang liar saat memakan getah bungbuay dan kaliandra berbeda. Cara kukang liar mendapatkan getah bungbuay sama seperti kukang rehabilitan mendapatkan getah sengon. Umumnya, kukang liar yang diamati

(28)

18

makan dalam posisi berdiri naik. Posisi berdiri naik adalah tegak menggunakan dua kaki belakang yang bertumpu pada suatu substrat (YIARI 2014b). Kukang liar bertumpu pada pangkal cabang bungbuay dan tangannya berpegangan pada batang utama dekat dengan sumber getah. Sesekali kukang rehabilitan terlihat menjilati kedua tangannya setelah mengguratkan giginya ke batang bungbuay. Pada pohon kaliandra, kukang makan dengan berbagai posisi, yaitu gantung, gantung turun, berdiri, dan berdiri naik. Pada posisi gantung, ketiga alat gerak kukang menggenggam batang kaliandra dan tangannya menggapai bunga. Pada posisi gantung turun, kaki kukang menggenggam batang dan tangannya menggapai bunga. Saat berdiri, kukang dalam posisi tegak menggunakan empat atau tiga alat geraknya sedangkan tangannya menggapai bunga kaliandra. Berdiri naik yaitu kukang berdiri dengan kedua kakinya sedangkan tangannya menggapai bunga kaliandra. Kukang memanfaatkan cairan rasa manis pada pangkal benang sari bunga kaliandra dengan cara menjilatnya.

Aktivitas menelisik

Kukang jawa liar melakukan aktivitas menelisik sebesar 16.09 %. Aktivitas menelisik paling banyak dilakukan kukang liar saat menjelang matahari terbit (Gambar 17). Aktivitas menelisik biasa dilakukan beberapa saat sebelum tidur dan beberapa saat setelah bangun (Wiens 2002).

Aktivitas menelisik juga terlihat setelah kukang liar makan getah bungbuay. Badan kukang yang menempel pada batang bungbuay saat makan menyebabkan getah menempel di badan dan tangan kukang. Oleh karena itu, kukang liar menelisik dengan menjilati badan dan tangannya untuk membersihkan getah. Kondisi cuaca setelah hujan dan berkabut juga mempengaruhi aktivitas menelisik. Pada waktu tersebut, kukang liar sering teramati sedang menelisik. Kondisi basah dan lembab karena cuaca menyebabkan kukang perlu membersihkan dan mengeringkan badannya.

Aktivitas sosial

Aktivitas sosial adalah aktivitas harian terendah pada kukang jawa liar yang diamati (0.26 %). Aktivitas sosial tersebut hanya teramati satu kali, yaitu aktivitas

(29)

19 menelisik dengan kukang lain (allogroom) di pohon kaliandra. Allogroom lebih efektif dilakukan untuk mengurangi parasit karena terdapat beberapa bagian tubuh yang tidak dapat diraih oleh satwa itu sendiri (Wiens 2002). Selain allogroom, Wiens (2002) menyatakan bahwa kukang juga berinteraksi dengan cara vokalisasi (alternate click calls dan pant-growl) dan mengikuti kukang lain.

Menurut Wiens dan Zitzmann (2003), interaksi sosial kukang hanya dilakukan 3 % dari waktu aktifnya. Nilai persentase aktivitas sosial yang rendah juga ditemukan Rode et al. (2014) pada kukang jawa di Garut yaitu hanya sebesar 1 %, kukang malaya 3.5 %, dan kukang bengal 0 - 0.4 %. Kukang hidup soliter, tetapi juga membentuk suatu kelompok sosial (Bottcher-Law et al. 2001), walaupun tidak semua kukang adalah anggota dari suatu kelompok sosial (Wiens 2002).

Aktivitas agonistik dan abnormal

Aktivitas agonistik dan abnormal pada kukang jawa liar tidak ditemukan selama pengamatan berlangsung. Pengamatan terhadap individu kukang yang sama pada bulan Januari-April 2014 oleh Angeliza (2014) menunjukan aktivitas agonistik sebesar 0.2 %. Pada saat itu, kukang melakukan aktivitas agonistik saat bertemu dengan kukang lain dan musang.

Perbandingan Aktivitas Harian Kukang Jawa

Kukang rehabilitan belum memperlihatkan aktivitas yang sama dengan kukang liar selama penelitian ini berlangsung. Kukang rehabilitan masih banyak menghabiskan waktunya untuk berpindah tempat daripada makan. Hasil uji chi square menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivitas harian kukang rehabilitan dan kukang liar (X2= 69.322, df= 8, p= 0.05). Oleh karena itu, pelepasliaran kukang jawa rehabilitan di TNGHS diasumsikan belum berhasil.

Asumsi tersebut merupakan hasil sementara kegiatan pelepasliaran karena pengamatan aktivitas harian kukang rehabilitan hanya dilakukan selama satu bulan. Moore et al. (2014) menyatakan bahwa kukang hasil pelepasliaran memiliki masa stabil sekurangnya setelah bulan ke empat sejak dilepasliarkan. Masa stabil adalah waktu yang diperlukan kukang untuk beradaptasi pada kondisi baru hingga dapat berperilaku alami dan memiliki daerah jelajah sendiri. Pengamatan kurang dari masa stabil belum dapat menggambarkan hasil rehabilitasi dan pelepasliaran.

YIARI melepasliarkan kukang jawa rehabilitan dengan metode soft release. Satwaliar yang dilepasliarkan dengan metode soft release perlu dipantau secara berkelanjutan. Pemantauan dilakukan untuk mengetahui perkembangan perilaku satwa hingga terbiasa (teraklimatisasi) dengan lingkungan barunya (Hosiana 2013). IUCN (1998) menjelaskan bahwa aspek-aspek yang perlu diamati dalam pemantauan diantaranya adalah pemantauan demografi, ekologi, dan perilaku satwa yang dilepasliarkan, pemantauan proses adaptasi dalam jangka waktu yang lama dari individu yang dilepasliarkan dan populasinya, dan pengumpulan data tentang angka mortalitas (kematian).

(30)

20

rehabilitan lebih banyak melakukan aktivitas berpindah tempat sedangkan kukang liar banyak melakukan aktivitas makan dan menelisik. Namun, kedua individu kukang tidak menunjukan aktivitas agonistik dan abnormal. Aktivitas sosial hanya ditunjukan oleh kukang liar.

Kukang rehabilitan lebih banyak berpindah tempat karena kukang masih dalam proses mengenali habitat barunya untuk beradaptasi. Hal tersebut berkaitan dengan kegiatan pelepasliaran kukang di habitat yang berbeda dengan asal lokasi kukang. Kukang rehabilitan merupakan kukang hasil konfiskasi dari Tasikmalaya. Habitat kukang dari daerah tersebut merupakan habitat talun, sedangkan pelepasliaran dilakukan pada habitat hutan pegunungan bawah TNGHS. Pelepasliaran dilakukan di kawasan konservasi, yakni TNGHS, dimaksudkan untuk mencegah perburuan kukang. Pertimbangan bahwa TNGHS dijadikan lokasi pelepasliaran kukang adalah karena lokasi tersebut merupakan daerah penyebaran kukang jawa. Alikodra (2002) menjelaskan bahwa reintroduksi (introduksi kembali) dilakukan di dalam selang waktu penyebaran spesiesnya untuk meningkatkan populasi yang jumlahnya menurun.

Aktivitas makan lebih sedikit dilakukan oleh kukang rehabilitan dibanding kukang liar (15.89 %, 33.25 %). Namun, aktivitas mencari makan kukang rehabilitan lebih besar dibandingkan kukang liar (23.44 %, 14.51 %). Kukang rehabilitan belum memiliki wilayah jelajah sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mencari makan di habitat barunya. Berbeda dengan kukang liar yang telah memiliki wilayah jelajah karena menyediakan sumber pakan sehingga kukang dapat meminimalkan waktunya untuk mencari makan.

Suhu udara saat pengamatan kukang rehabilitan lebih tinggi dibandingkan saat pengamatan kukang liar. Pada pengamatan kukang rehabilitan, suhu udara berkisar antara 21.3 - 22.1 oC dengan kelembaban 84 - 86 %. Pada pengamatan kukang jawa liar, suhu udara lebih rendah yaitu 18.1 - 20.6 oC dengan kelembaban 85 - 99 %. Angeliza (2014) menyatakan bahwa suhu udara memberikan pengaruh sebesar 61.1 % pada perilaku makan kukang jawa liar di TNGHS, sedangkan

(31)

21 kelembaban udara berpengaruh sebesar 80.6 %. Prihatman (2000) menambahkan bahwa perubahan kondisi lingkungan berpengaruh pada konsumsi pakan hewan. Pada temperatur lingkungan yang lebih rendah, hewan akan membutuhkan tambahan pakan karena membutuhkan tambahan panas.

Pemanfaatan jenis pakan yang dikomsumsi kedua kukang pun berbeda. Kukang rehabilitan banyak memanfaatkan nektar bunga kaliandra sedangkan kukang liar memanfaatkan getah bungbuay (Gambar 19). Kukang rehabilitan juga mengonsumsi getah, tetapi berasal dari pohon sengon dan kimenyan. Berbeda dengan kukang liar, kukang rehabilitan terlihat satu kali mengonsumsi serangga. Jenis pakan yang dimanfaatkan kedua individu kukang tersebut sama dengan jenis pakan semua Nycticebus sp. Perbedaan konsumsi getah diduga karena perbedaan kondisi cuaca saat pengamatan. Pada pengamatan kukang liar, hujan lebih sering terjadi dan ketika itu kukang sering ditemukan sedang memakan getah bungbuay. Pemanfaatan getah sebagai pakan saat musim hujan juga terjadi pada kukang bengal di India dan kukang jawa di Garut (Das 2013; Swapna et al. 2010; Robyantoro 2014). Famili Lorisidae memiliki kemampuan mencerna getah tanaman dan mengubahnya menjadi sumber energi (Nekaris dan Bearder 2007). Nektar bunga merupakan sumber energi yang tinggi, sedangkan daun, biji, dan serangga merupakan sumber protein yang baik (Oates et al. 1980 diacu dalam Das 2013).

Nilai persentase aktivitas menelisik pada kukang rehabilitan berbeda dengan kukang liar. Kukang rehabilitan jarang terlihat menelisik dibandingkan dengan kukang liar (5.47 %, 16.09 %). Hal ini diduga karena faktor cuaca. Perjumpaan aktivitas menelisik kukang liar lebih sering terjadi pada kondisi hujan. Curah hujan saat pengamatan kukang rehabilitan adalah 151 – 300 mm, sedangkan saat pengamatan kukang liar 151 – 544 mm (BMKG 2014). Kondisi basah dan lembab karena cuaca menyebabkan kukang perlu membersihkan dan mengeringkan badannya agar terhindar dari jamur dan kutu. Kukang liar juga sering menelisik setelah makan getah bungbuay.

(32)

22

Habitat

Tempat tidur

Kukang rehabilitan dan kukang liar menggunakan pohon dan liana untuk tidur, yaitu pohon puspa, pasang, kokosan monyet, liana hareueus pada pohon pinus, dan liana cangkore pada pohon reungas (Tabel 1). Selain pohon dan liana, kukang rehabilitan juga menggunakan bambu sebagai tempat tidur. Rata-rata tinggi pohon untuk tidur kukang rehabilitan lebih rendah dibandingkan dengan kukang liar. Namun, rata-rata diameter pohon dan jarak terdekat dari pohon untuk tidur kukang rehabilitan lebih tinggi dibandingkan kukang liar. Kukang rehabilitan rata-rata tidur pada ketinggian 7.75 m dari permukaan tanah sedangkan kukang liar 12.67 m.

Kukang rehabilitan yang diamati memanfaatkan pohon, liana, dan bambu untuk tempat tidur, sedangkan kukang liar hanya memanfaatkan pohon dan liana. Pemilihan tempat tidur kukang rehabilitan sama dengan yang dilaporkan Iqbal (2011) bahwa kukang rehabilitan di TNGHS menggunakan pohon yang terdapat liana sebagai tempat tidur. Jenis pohon tersebut adalah Mallotus peltatus, Rhodamnia cinerea, Euodia latifolia, Pinanga coronata, dan Amomum lappaceum (Iqbal 2011). Penggunaan bambu sebagai tumbuhan untuk tidur berhubungan dengan asal lokasi kukang rehabilitan. Pada habitat talun, kukang liar di Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis menggunakan tujuh jenis tumbuhan untuk tidur (Winarti 2011; Putri 2014). Ketujuh jenis tumbuhan tersebut adalah bambu tali (Gigantochola apus), bambu surat (G. pseudoarundinaceae), bambu gombong (G. gigantae), bambu haur (Dencrocalamus asper), aren (Arenga pinnata), bungur

Tabel 1 Jenis tumbuhan untuk tidur yang digunakan kukang jawa di TNGHS

Pohon Tinggi

posisi tidur

(m) Nama lokal Nama ilmiah Tinggi

(33)

23 (Lagerstroemia speciosa) dan liana kawao (Milletia sericea). Pemanfaatan bambu sebagai tempat tidur dikarenakan bambu memberikan lokasi tidur yang aman bagi kukang. Winarti (2011) menjelaskan bahwa bambu memiliki kanopi yang rimbun sehingga keberadaan kukang di dalam kanopinya tidak terlihat. Selain menggunakan pohon dan liana, kukang malaya juga dijumpai tidur di semak dan palem-paleman (Wiens 2002).

Liana yang digunakan kukang rehabilitan untuk tidur adalah hareueus, sedangkan kukang liar menggunakan liana cangkore. Kedua jenis liana tersebut merambat pada pohon yang berbeda. Liana yang lebat pada pohon berfungsi untuk menyulitkan pendeteksian kukang oleh predator. Kukang tidur dengan cara menggulungkan badannya seperti bola sehingga warna tubuhnya tersamar. Hal tersebut terlihat ketika kukang tidur di liana hareueus. Kukang sulit diketahui keberadaannya karena tubuhnya tersamar dengan warna batang liana hareueus yang kecoklatan. Menurut Garcia dan Braza (1993) diacu dalam Iqbal (2011), pemilihan lokasi tidur yang tersusun dari tumbuhan merambat (liana) bertujuan untuk melindungi hewan nokturnal dari predator saat siang hari. Liana tersebut juga berfungsi untuk membantu pergerakan kukang pada percabangan pohon untuk bergerak dan mencari makan (Iqbal 2011).

Tinggi pohon untuk tidur kukang rehabilitan lebih rendah dibandingkan kukang liar. Pada kukang rehabilitan, tinggi pohon untuk tidur berkisar antara 9 - 14 m, sedangkan kukang liar 15 - 16 m. Pohon untuk tidur kukang liar lebih tinggi karena lokasi wilayah jelajah kukang liar didominasi oleh pohon-pohon besar dan tinggi. Tinggi pohon tersebut sama dengan pernyataan Arismayanti (2014) bahwa karakter pohon untuk tidur kukang jawa memiliki tinggi pohon 5 - 22 m dengan rata-rata 17 m. Karakteristik lain pohon untuk tidur kukang jawa yaitu pohon memiliki penutupan tajuk sebesar 68 %, rata-rata diameter batang pohon 0.44 m, dan rata-rata jarak pohon terdekat sebesar 5.4 m (Arismayanti 2014).

Diameter pohon untuk tidur kukang rehabilitan lebih besar dibandingkan dengan diameter pohon untuk tidur kukang liar. Pada kukang rehabilitan, diameter pohon untuk tidur berkisar antara 0.19 - 0.67 m, sedangkan kukang liar 0.19 m dan 0.37 m. Pemilihan pohon tidur berdasarkan diameter bertujuan untuk menambah perlindungan terhadap kondisi cuaca yang tidak menguntungkan (Schmid 1998 diacu dalam Iqbal 2011).

Rata-rata jarak pohon terdekat dari pohon tidur kukang rehabilitan lebih jauh dibandingkan dengan rata-rata jarak pohon tidur kukang liar ke pohon terdekat. Namun, tempat tidur kukang rehabilitan dekat dengan sumber pakan. Tempat tidur kukang rehabilitan di liana hareueus dekat dengan pohon kaliandra. Sesaat setelah bangun dan menelisik, kukang segera menuju ke pohon kaliandra untuk mencari makan. Diketahui bahwa kukang rehabilitan paling banyak mengonsumsi nektar kaliandra. Menurut Anderson (1998 dan 2000 diacu dalam Iqbal 2011), pemilihan lokasi tidur dipengaruhi oleh jarak antar pohon yang berdekatan sehingga lokasi tidur terlindungi dan kemudahan akses terhadap sumber pakan.

(34)

24

posisi tidur kukang jawa di Sumedang, Tasikmalaya, dan Ciamis berkisar antara 3 - 18 m dari permukaan tanah (Winarti 2003; Winarti 2011). Pada umumnya, kukang tersebut menggunakan bambu sebagai tumbuhan untuk tidur. Kukang jawa di habitat talun juga pernah ditemukan tidur masing-masing satu kali pada ketinggian 5 m di pohon bungur, aren, dan liana kawao (Winarti 2011). Menurut Wiens (2002), kukang malaya di Malaysia tidur pada ketinggian 1.8 - 35 m dari permukaan tanah.

Kukang rehabilitan menggunakan empat lokasi tidur yang berbeda, sedangkan kukang liar menggunakan tiga lokasi tidur, dua diantaranya hanya berpindah tempat. Setelah sepuluh hari, kukang liar terlihat tidur di dekat tempat tidur yang pernah digunakan sebelumnya, yaitu di liana cangkore pada pohon reungas (Gluta renghas). Perbedaan tempat tidur tersebut disebabkan karena kukang liar telah memiliki wilayah jelajah yang dikunjunginya secara tetap, berbeda dengan kukang rehabilitan yang banyak berpindah tempat untuk membangun wilayahnya. Oleh karena itu, kukang rehabilitan belum memiliki kecenderungan dalam pemilihan lokasi tidur. Kukang rehabilitan tidak terlihat menggunakan tempat tidur yang sama karena kukang banyak berjalan ke tempat yang cukup jauh dari tempat tidur. Kukang rehabilitan menggunakan tempat tidur baru untuk meminimalisir waktu tempuhnya ke tempat tidur sebelumnya. Lokasi tidur kukang jawa liar pada pengamatan ini hampir sama dengan kukang jawa di Tasikmalaya dan Ciamis. Winarti (2011) melaporkan bahwa kukang jawa pada habitat talun di Tasikmalaya dan Ciamis akan tetap menggunakan vegetasi tidur yang sama atau masih dalam lokasi yang sama selama 3 - 9 hari. Kukang malaya cenderung berganti tempat tidur setiap hari, sedangkan kukang pygmy cenderung memilih tempat tidur yang sudah pernah digunakan sebelumnya (Wiens 2002).

Komposisi vegetasi

Analisis vegetasi pada habitat kukang di TNGHS menunjukan bahwa terdapat 30 jenis tumbuhan yang tergolong ke dalam 25 famili. Jenis tumbuhan tersebut terdiri atas 19 jenis tumbuhan tinggi tipe pohon (tingkat pertumbuhan pohon, pancang, tiang, dan semai) dan delapan jenis tumbuhan bawah.

Vegetasi tingkat semai dan tumbuhan bawah dengan INP tertinggi sebesar 33.81 % adalah jenis kaliandra merah. Kaliandra merah juga merupakan jenis tumbuhan dengan INP tertinggi pada tingkat pancang dan tiang dengan nilai berturut-turut sebesar 75.48 % dan 67.79 %. Pada tingkat pohon, didapatkan 13 jenis pohon dengan INP tertinggi adalah pasang (Quercus sundaica) sebesar 68.20 %.

(35)

25 Selain sebagai sumber pakan secara langsung, vegetasi juga mempunyai peran penting bagi kukang. Diketahui bahwa kukang rehabilitan dan kukang liar memanfaatkan nektar bunga kaliandra merah sebagai pakannya. Kaliandra memiliki INP tertinggi, baik pada tingkat semai, pancang, dan tiang. Nilai INP kaliandra yang tinggi dan pemanfaatannnya oleh kukang menunjukan potensi habitat kukang di TNGHS. Hal tersebut terutama menunjukan bahwa ketersediaan pakan kukang masih cukup banyak karena mampu meregenerasi tegakan pohon. Wiens (2002) menyatakan bahwa konsumsi nektar bunga pada kukang berkisar antara 43.8 - 72.2 %. Oleh karena itu, kaliandra memiliki peran penting bagi kehidupan kukang di alam.

Vegetasi sebagai komponen biotik penyusun habitat berfungsi menyediakan semua kebutuhan hidup suatu spesies, yaitu sebagai sumber makanan, minum, dan pelindung (Wardah et al. 2012; Muntasib 2002). Berdasarkan hasil analisis vegetasi, terdapat jenis tumbuhan yang dimanfaatkan kukang sebagai lokasi tidur, sumber pakan, dan untuk berpindah tempat. Jenis-jenis tersebut adalah cangkore, pasang, puspa, dan kokosan monyet sebagai tumbuhan untuk tidur, kaliandra merah dan bungbuay sebagai tumbuhan pakan, dan kaliandra merah, puspa, pasang, jirak (Symplocos fasciculata), mara (Macaranga rhizinoides), kayu afrika (Maesopsis eminii), ganitri (Elaeocarpus angustifolius), kisireum (Syzygium lineatum), dan kisampang (Melicope latifolia) yang ranting dan dahannya dimanfaatkan kukang untuk berpindah tempat dari satu pohon ke pohon lainnya. Pohon-pohon dengan ranting atau cabang yang rapat dan saling terkait digunakan kukang untuk bridging atau persinggahan untuk berpindah tempat karena kukang jawa bukanlah tipe peloncat seperti jenis primata lainnya (Winarti 2011; YIARI 2012; Octavianata 2014). Kukang jawa juga memanfaatkan pohon sebagai tempat untuk mencari makan. Kukang rehabilitan pernah teramati mencari pakan serangga di ujung cabang pohon jirak.

Terdapat sekurangnya delapan jenis tumbuhan yang dapat dimafaatkan kukang jawa berdasarkan analisis vegetasi (Tabel 2). Pohon pasang yang digunakan kukang rehabilitan sebagai tempat tidur juga berpotensi sebagai pohon pakan. Pohon kaliandra merah juga dapat digunakan sebagai tempat tidur kukang.

Jumlah jenis tumbuhan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan jumlah jenis tumbuhan potensi pakan kukang di Bandung Barat, Tasikmalaya, dan

Tabel 2 Potensi tumbuhan yang dapat dimanfaatkan kukang jawa di TNGHS Jenis Nama ilmiah Famili Jenis pemanfaatan Kaliandra merah Calliandra calothyrsus Fabaceae Nektar*ace,

tempat tidurb Bungbuay Plectocomia elongata Arecaceae Getah*a Cangkore Dinochloa scandens Poaceae Tempat tidur* Kisampang Melicope latifolia Rutaceae Tempat tidurb

Pasang Quercus sundaica Fagaceae Getahc, tempat tidur*b Puspa Schima wallichii Theaceae Nektard, tempat tidur*b

Kiara Ficus sp. Moraceae Buahade

Kokosan monyet Xerospermum noronhianum

Sapindaceae Tempat tidur*

Keterangan: *penelitian ini, aAngeliza 2014, bArismayanti 2014, cPambudi 2008, d

(36)

26

Ciamis. Potensi tumbuhan pakan kukang di Bandung Barat adalah 16 jenis (Wahyudin 2014), sedangkan di talun Tasikmalaya dan Ciamis terdapat 25 jenis (Winarti 2011). Berdasarkan hal tersebut, potensi tumbuhan pakan kukang pada habitat hutan TNGHS lebih sedikit dibandingkan pada habitat talun. Keragaman jenis pakan pada habitat talun merupakan hal yang penting karena struktur komunitas dan komposisi vegetasi talun seringkali berubah dengan cepat akibat siklus rotasi (Winarti 2011; Putri 2014; Wahyudin 2014).

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Aktivitas harian tertinggi pada kukang jawa rehabilitan adalah aktivitas berpindah tempat, sedangkan aktivitas harian tertinggi pada kukang jawa liar adalah aktivitas makan.

2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara aktivitas harian kukang rehabilitan dan kukang liar sehingga pelepasliaran kukang jawa di TNGHS diasumsikan belum berhasil. Namun, asumsi tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hasil akhir penilaian keberhasilan pelepasliaran kukang karena pengamatan dilakukan kurang dari masa stabil kukang. Perbedaan aktivitas harian tersebut juga diduga diakibatkan oleh karakteristik habitat lokasi pelepasliaran yang berbeda dengan habitat asal lokasi kukang.

3. Hutan TNGHS mampu mendukung kehidupan kukang jawa karena menyediakan tempat tidur maupun tempat makan. Kukang jawa menggunakan pohon dan liana sebagai tempat tidur. Terdapat 30 jenis tumbuhan di habitat kukang jawa di TNGHS.

Saran

1. Bungbuay dapat dijadikan sebagai jenis pengayaan pakan alami selama masa rehabilitasi untuk menumbuhkan dan melatih insting liar kukang.

2. Diperlukan penelitian dengan kurun waktu yang lebih lama untuk mengetahui keberhasilan pelepasliaran kukang, sekurangnya sama dengan masa yang diperlukan kukang untuk stabil. Kegiatan pelepasliaran juga sebaiknya mempertimbangkan habitat lokasi pelepasliaran berdasarkan asal lokasi kukang.

(37)

27

Angeliza R. 2014. Perilaku harian kukang jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Arismayanti E. 2014. Wilayah jelajah dan penggunaan ruang harian kukang jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bearder SK, Nekaris KAI, Buzzell A. 2002. Dangers in the night: are some nocturnal primates afraid of the dark? Dalam: Miller LE. 2002. Eat or be Eaten: Predator Sensitive Foraging Among Primates. Cambridge (UK): Cambridge University Press.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2014. [Internet]. [diunduh pada 2014 Des 5]. Tersedia pada: bmkg.jabar.go.id.

Bottcher-Law L, Fitch-Snyder H, Hawes J, Larsson L, Lester B, Ogden J, Schulze H, Slifka K, Stalis I, Sutherland-Smith M et al. 2001. Management of Lorises in Captivity: A Husbandry Manual for Asian Lorisines (Nycticebus & Loris ssp.). San Diego (US): CRES, Zoological Society of San Diego. Chamberlain JR. 2000. Meningkatkan Produksi Benih Calliandra calothyrsus.

Mulawarman, penerjemah. Bogor (ID): International Centre for Research in Agroforestry. Terjemahan dari: Improving Seed Production in Calliandra calothyrsus.

Das N. 2013. Ecology and behaviour of bengal slow loris Nycticebus bengalensis, (Lecepede, 1800) in Assam, India [tesis]. India (IN): Gauhati University. Das N, Nekaris KAI, Bhattacharjee PC. 2014. Medicinal plant exudativory by the

bengal slow loris Nycticebus bengalensis. Endang Species Res. 23:149-157. [DEC] Department of Environment and Conservation. 2008. Minimum Standards

for Wildlife Rehabilitation in Western Australia. Australia: Department of Environment and Conservation.

Hall E. 2005. Release Consideration for Rehabilitated Wildlife. National Wildlife Rehabilitation Conference.

Herdiawan I, Fanindi A, Semali A. 2005. Karakteristik dan Pemanfaatan Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Prosiding Lokakarya Nasional Tanaman Pakan Ternak Puslitbang Peternakan.

Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta (ID): Yayasan Sarana Wana Jaya.

Hosiana FA. 2013. Manajemen dan faktor penentu keberhasilan pelepasliaran jalak putih di kawasan Hutan Pongkor, Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(38)

28

Iqbal M. 2011. Pemilihan lokasi tidur (sleeping site) kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) yang dilepasliarkan di kawasan hutan Gunung Salak Bogor, Jawa Barat [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. [IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Species.

1998. Guidelines for introductions. Prepared by The IUCN/SSC Re-introduction Specialist Group. Oxford (UK): International Press.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Species. 2014. The IUCN Red List of Threatened Species [Internet]. [diunduh 2014 Des 6]. Tersedia pada: iucnredlist.org.

Miller EA. 2000. Minimum Standards for Wildlife Rehabilitation 3rd Ed. St. Cloud (US): National Wildlife Rehabilitators Associtation.

Malone N, Purnama AR, Wedana M. 2002. Assessment of The Sale of Primates at Indonesian Bird Markets. Asian Primates. 8:7–11.

Moore RS. 2012. Ethis, ecology, and evolution of Indonesian slow lorises (Nycticebus spp.) rescued from the pet trade [tesis]. Oxford (UK): Oxford Brookes University.

Moore RS, Huda R, Sanchez KL. 2014. Home range size and use in translocated Nycticebus javanicus in Halimun Salak National Park, West Java.

Muntasib EKS. 2002. Penggunaan ruang habitat oleh badak jawa (Rhinoceros sondaicus, Desm. 1822) di Taman Nasional Ujung Kulon [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Nekaris KAI. 2001. Activity budget and positional behaviour of the mysore slender loris (Loris tardigradus lydekkerianus): implications for slow climbing locomotion. Folia Primatol. 72:228-241.

Nekaris KAI, Bearder S. 2007. The lorisiform primates of Asia and mainland Africa: diversity shrouded in darkness. Dalam: Campbell CJ, Fuentes A, Mackinnon KC, Bearder SK, Stumpf RM. 2007. Primates in Perspective. Oxford (UK): University Press.

Octavianata E. 2014. Perilaku dan daerah jelajah harian kukang sumatera (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) pelepasliaran YIARI di kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih Kabupaten Tanggamus, Lampung [skripsi]. Bandar Lampung (ID): Universitas Lampung.

Pambudi JAA. 2008. Studi populasi, perilaku, dan ekologi kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [tesis]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia.

Price MRS, Soorae PS. 2003. Reintroductions: whence and whither? International Zoo Yearbook. 38:61-75.

Prihatman K. 2000. Pakan Ternak. Jakarta (ID): Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Priyadi H, Takao G, Rahmawati I, Supriyanto B, Nursal WI, Rahman I. 2010.

Five Hundred Plant Species in Gunung Halimun Salak National Park, West Java: A Checklist including Sundanese Names, Distribution, and Use. Bogor (ID): CIFOR.

Gambar

Gambar 1  Lokasi penelitian
Gambar 2  Persentase aktivitas harian kukang jawa rehabilitan
Gambar 3  Rata-rata aktivitas harian kukang jawa rehabilitan
Gambar 5  Pola aktivitas berpindah tempat kukang jawa rehabilitan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keselamatan yang ditawarkan dalam Kristus jauh lebih baik ketimbang berkat yang ditawarkan oleh para guru palsu di Kolose. Keutamaan Kehidupan

Seruan mengenai bahaya DBD yang ber- sumber dari lingkungan sekitar (tetangga) mengenai penyakit DBD serta pencegahannya tidak pernah didapatkan sekalipun beberapa

Distribusi Triangular dari komponen biaya akan digunakan untuk menjalankan simulasi Monte Carlo. Metode perkiraan biaya proyek Monte Carlo berdasarkan pada

Kilomikron merupakan partikel lipoprotein dengan densitas yang paling rendah dan berukuran paling besar, dan mengandung persentase lemak lipid paling tinggi dan persentase

Sumber-sumber primer kedua yang dimaksud adalah sumber data berupa video yang diambil dari media sosial yaitu youtobe yang terkait dengan penelitian, alasan

Reguler 300 Blok M Rawamangun Patas 16 Rambutan Tanah Abang Reguler 106 Senen Cimone Patas AC 82 Tanjung Priok Depok Reguler 103 Grogol Cimone Patas AC 135 Tanjung Priok Ciputat

”Untuk pelajaran Fikih saya biasanya Sering menggunakan metode Ceramah, akan tetapi dalam materi yang menuntut harus dipraktekkan seperti pelaksanaan ibadah Haji ini,

bisnis yang dikombinasikan dengan jalur koordinasi dengan seluruh anak telah dilakukan penataan organisasi yang difokuskan pada pengembangan anak perusahaan dan mekanisme