commit to user
KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG MILLET (Pennisetum glaucum) SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA KARAKTERISTIK
FISIKOKIMIA, SENSORIS DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI MILLET KERING
Skripsi
Oleh : Fuad Azizul
H 0606016
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
i
KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG MILLET (Pennisetum glaucum) SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA KARAKTERISTIK
FISIKOKIMIA, SENSORIS DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI MILLET KERING
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian
di Fakultas Pertanian
Universitas Sebelas Maret
Jurusan/Program Studi
Teknologi Hasil Pertanian
Oleh : FUAD AZIZUL
H 0606016
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG MILLET (Pennisetum glaucum) SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA KARAKTERISTIK
FISIKOKIMIA, SENSORIS DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN MI MILLET KERING
Yang dipersiapkan dan disusun oleh FUAD AZIZUL
H 0606016
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal : 23 Desember 2010
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Susunan Dewan Penguji
Ketua
R. Baskara Katri A., STP, MP NIP. 19800513 200604 1 001
Anggota I
Dian Rachmawanti A., STP, MP NIP. 19790803 200604 2 001
Anggota II
Lia Umi Khasanah, ST, MT
NIP. 19800731 200801 2 012
Surakarta, Desember 2010 Mengetahui
Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian
Dekan
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, terima kasih ya Allah, rasanya ungkapan
itu yang pertama kali terbesit dalam benak penulis. Puji syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kajian
Penggunaan Tepung Millet (Pennisetum glaucum) sebagai Subtitusi Tepung Terigu pada Karakteristik Fisikokimia, Sensoris dan Pendugaan Umur Simpan Mi Millet Kering. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mencapai gelar Sarjana Stratum Satu
(S-1) pada program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk
itu tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS. selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Ir. Kawiji, MP selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Godras Jati Manuhara, STP. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan serta semangat yang sangat berarti.
4. R. Baskara Katri A., STP, MP selaku Pembimbing Utama Skripsi sekaligus
Penguji yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan
bimbingan, petunjuk, serta dorongan yang sangat berarti bagi penyusunan
skripsi ini.
5. Dian Rachmawanti A., STP, MP selaku Pembimbing Pendamping Skripsi
sekaligus Penguji yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk
memberikan bimbingan, petunjuk, serta dorongan yang sangat berarti bagi
penyusunan skripsi ini.
6. Lia Umi Khasanah, ST, MT selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
commit to user
iv
7. Sri Liswardani, STP, Pak Slameta, Pak Giyo, Pak Joko, terima kasih banyak
atas segala bantuannya.
8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta atas ilmu yang telah diberikan dan bantuannya
selama masa perkuliahan penulis.
9. Buat Bapak, Ibu terima kasih atas do’a, nasehat, dana yang tak pernah
berhenti selama ini hingga menuju gerbang wisuda.
10. Terima kasih buat mbak dan mz (yang baru kemarin) yang telah memberikan
kucuran dana, semangat dan kado-kadonya.
11. Terima kasih juga buat Om Dar, Bulek Rini dan Budhe Sarjiyem atas
dorongannya agar cepat lulus.
12. Makasih buat Adek Safitri Prawita P, yang setia menemani, selalu jadi
pendorong dalam pengerjaan skripsi dan tak henti-hentinya memberikan
semangat. Thanks my ”moO moO chan”.
13. Terimakasih untuk Ndaru dan keluarga yang telah memberikan masukan dan
pinjaman alat pencetak mi.
14. Bimo Prabowo, STP terimakasih atas sindiran, support dan pasokan tepung
millet selama penelitian.
15. Terimakasih banyak untuk teman-teman TST (Nanda, Ndaru,Ratna dan Dwi),
Erna, Sisil, Sinta, Ipin Markupin, Ratna Yunita, Dian, Tri Utami, Arista, Tya.
16. Buat Dek Ilham dan Dek Risal yang sudah memberikan semangat dan hiburan
disaat suntuk.
17. Serta berbagai pihak yang tidak saya sebut satu persatu saya ucapkan
terimakasih atas doa dan dukungannya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang mendukung dari semua
pihak untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Surakarta, Desember 2010
commit to user
v DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
RINGKASAN ... xi
SUMMARY ... . xii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3
1. Tujuan Penelitian... 3
2. Manfaat Penelitian... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 5
1. Mi Kering ... 5
2. Millet ... 9
3. Tepung Terigu ... 14
4. Prediksi Umur Simpan ... 17
B. Kerangka Berpikir ... 28
C. Hipotesa ... 29
III.METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 30
B. Bahan dan Alat ... 30
1. Bahan ... 30
commit to user
vi
C. Rancangan Percobaan ... 31
D. Tahapan Penelitian ... 31
1. Pembuatan Mi Kering ... 31
2. Penentuan Umur Simpan ... 33
E. Analisa ... 36
F. Pengolahan Data ... 37
G. Rancangan Penelitian ... 38
IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sensoris Mi Millet Kering ... 39
B. Karakteristik FisikoKimia Mi Millet Kering. ... 46
1. Karakteristik Kimia ... 47
1.1 Kadar Air ... 47
1.2 Kadat Abu ... 48
1.3 Kadar Lemak ... 49
1.4 Kadar Protein ... 50
1.5 Kadar Karbohidrat ... 51
1.6 Kadar Serat Kasar ... 52
2. Karakteristik Fisik ... 53
2.1 Tekstur... 53
2.2 Tensile Strength... 54
C. Kurva Isotherm Sorbsi Lembab ... 54
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 62
B. Saran ... 62
DAFTAR PUSTAKA ... 63
commit to user Komoditi Millet, Jagung dan Beras...
10
2.3 Panduan Mutu Tepung Terigu... 16
2.4 Daya Tembus dari Plastik Tipis yang Fleksiblek terhadap N2, O2, CO2, H2O... 27 3.1 Variasi Perlakuan Formulasi Mi Millet Kering... 31
3.2 Perasamaan Regresi Pengaruh Suhu terhadap Aw larutan Garam Jenuh ... 33 3.3 Metode Analisa pada Penelitian... 37
4.1 Skor Intensitas Warna Mi Millet Kering... 39
4.2 Skor Tingkat Kesukaan terhadap Aroma Mi Millet Kering... 41
4.3 Skor Tingkat Kesukaan terhadap Rasa Mi Millet Kering... 42
4.4 Skor Intensitas Kekenyalan Mi Millet
commit to user
viii
4.12 Kadar Serat Kasar Mi terigu Kering (A) dan Mi Millet Kering (B)...
52
4.13 Gaya Maksimal Hancur Mi terigu Kering (A) dan Mi Millet Kering (B)...
53
4.14 Tensile Strength Mi terigu Kering (A) dan Mi Millet Kering (B)...
54
4.15 Hasil Analisa Kadar Air Seimbang Mi Millet Kering pada Berbagai Aw pada Suhu 280C...
55
4.16 Hasil Analisa Permeabilitas Kemasan terhadap Uap Air...
58
4.17 Hasil Analisa Penentuan Umur Simpan Mi Millet Kering dalam Kemasan Plastik PE 0,05...
commit to user
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1a Tanaman Pearl Millet... 11
2.1b Biji Pearl Millet... 11
2.2 Foxtail Millet... 12
2.3 Proso Millet (Pannicum miliaceum)... 12
2.4 Finger Millet (Eleusine coracana)... 13
2.5 Tipe-Tipe Kurva Isotherm Sorbsi Lembab... 20
2.6 Formulasi Rantai Lurus dari Molekul Makro Polietilen.. 24
2.7 Kerangka Berpikir... 29
3.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Millet Kering... 32
3.2 Diagram Rancangan Penelitian Mi Millet Kering... 38
4.1 Kurva Isoterm Sorbsi Lembab Mi Millet Kering pada Suhu 280C ...
56
4.2 Kurva Hubungan antara Aw dengan [Aw/(1-Aw)M] pada Mi Millet Kering...
57
4.3 Penentuan Me Mi Millet Kering pada Suhu 280 C dan RH 78% Menggunakan Kurva ISL...
commit to user
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Metode Analisa Penelitian... 68
a. Analisa Sifat Fisik... 68
b. Analisa Sifat Kimia... 70
2. Borang Penilaian Uji Sensoris Metode Multiple Comparison... 72 3. Data Hasil Penelitian sifat kimia a. Hasil Analisis Kadar Abu... 78 b. Hasil Analisis Kadar Air... 78
c. Hasil Analisis Kadar Lemak ... 78
d. Hasil Analisis Kadar protein... 79
e. Hasil Analisis Kadar Serat Kasar ... 79
f. Hasil Analisis Kadar Karbohidrat ... 79
4. Data Hasil Penelitian Umur Simpan... 80
5. Dokumentasi Penelitian... 94
KAJIAN PENGGUNAAN TEPUNG MILLET (Pennisetum glaucum) SEBAGAI SUBTITUSI TEPUNG TERIGU PADA KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA, SENSORIS DAN PENDUGAAN
UMUR SIMPAN MI MILLET KERING
Fuad Azizul.1)
R. Baskara Katri A2), Dian Rachmawanti2)
ABSTRAK
Penelitian ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menentukan pengaruh subtitusi tepung millet terhadap tepung terigu (gandum) pada tingkat kesukaan (sensoris) mi millet kering. kedua, mengetahui karakteristik kimia dan fisik mi millet kering. Ketiga, mengetahui umur simpan mi millet kering.
Perlakuan pada penelitian ini adalah variasi konsentrasi dari mi millet kering: F1 (tepung terigu 80% : tepung millet 20%), F2 (tepung terigu 70% : tepung millet 30%), F3 (tepung terigu 60% : tepung millet 40%), F4 (tepung terigu 50% : tepung millet 50%). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor. Mi millet kering dianalisis sensoris. Kemudian, dianalisis statistik dengan anova, bila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT. Dari analisa sensori diperoleh mi millet kering yang terbaik adalah F1 (tepung terigu 80% : tepung millet 20%). Sedangkan untuk hasil proksimat dan tekstur dianalisa dengan T-test.
Subtitusi tepung millet dalam pembuatan mi kering mempengaruhi karakteristik kimia mi yang dihasilkan. Dengan subtitusi tepung millet maka kadar abu 1,1175%, kadar lemak 0,3325%, kadar protein 15,8150% dan kadar serat kasar 1,9175 mengalami peningkatan, sedangkan kadar air dan karbohidrat mengalami penurunan masing-masing sebesar 7,6850% dan 75,05%.
Pendugaan Umur simpan mi millet kering subtitusi tepung terigu: tepung millet 80% : 20% dengan pengemas plastik PE 0,05 mm adalah 75 hari.
Kata Kunci: substitusi mi kering, tepung millet
1) Mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
STUDY ON THE USE OF MILLET FLOUR (Pennisetum glaucum) AS SUBTITUTION CHARACTERISTICS PHYSICOCHEMICAL, SENSORY OF WHEAT FLOUR AND PREDICTION
OF MILLET NOODLES AGED DRY STORAGE
Fuad Azizul.1)
R. Baskara Katri A2), Dian Rachmawanti2)
ABSTRACT
The research target had three objectives. First, determine the substitution effect of millet flour to wheat flour at the level of preference (sensory) millet noodles dry. second, knowing the chemical and physical characteristics of millet noodles dry. Third, know the shelf life of dry millet noodles.
The treatment of research was the variation of dry noodles formula : F1 (wheat flour 80%: millet flour 20%), F2 (wheat flour 70%: millet flour 30%), F3 (wheat flour 60%: millet flour 40%), F4 (wheat flour 50%: millet flour 50%). This research used Completely Random Design (CRD) with one factor. Dry noodles was sensory evaluation , then the result was analyzed statistically using ANOVA, and if there was a significant difference on the result, it was followed by DMRT. Based on sensory evaluation, it was obtained the best dry noodles. Which was F1 (wheat flour 80%: millet flour 20%). While for the results of proximate and texture were analyzed using t-test.
Millet flour substitution in the manufacture of dry noodles affect the chemical characteristics of the resulting noodles. With the substitution millet flour ash content 1.1175%, fat content 0.3325%, protein content 15.8150% and crude fiber content 1.9175 have increased, while moisture content and carbohydrate content decreased respectively registration 7.6850% and 75.05%.
Age Estimation keep noodles dry millet flour substitution: millet flour 80%: 20% with 0.05 mm PE plastic packaging is 75 days.
Keywords: substitution of dry noodles, millet flour
1)University Student of Study Program Agricultural Product Technology
2)
commit to user
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mi adalah salah satu produk makanan yang berbahan baku tepung
gandum dan sering dikonsumsi oleh masyarakat baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Jenis mi yang kita kenal ada 2 jenis, yaitu mi basah dan mi kering.
Perbedaan dari kedua jenis mi tersebut terdapat pada proses akhirnya. Mi
kering mengalami proses pengeringan, sedangkan mi basah tanpa mengalami
pengeringan. Dalam pembuatan mi kering diperlukan gluten untuk membuat
adonan kenyal dan dapat mengembang karena bersifat kedap udara sehingga
tekstur mi tidak mudah putus. Gluten adalah campuran amorf (bentuk tak
beraturan) dari protein yang terkandung bersama pati dalam endosperma (dan
juga tepung yang dibuat darinya) beberapa serealia, terutama gandum.
Bahan baku pembuatan mi adalah tepung terigu yang dihasilkan dari
tanaman gandum (Triticum vulgare). Karena iklim Indonesia yang tidak cocok
untuk budidaya tanaman gandum, oleh karena itu negara kita harus impor
gandum untuk memenuhi kebutuhan gandum dalam negeri. Negara produsen
utama gandum adalah Amerika Serikat, Kanada, Australia, Uni Eropa dan
India. Menurut Ariani (2009) pada tahun 2000/2001, total gandum yang
diekspor di pasaran dunia mencapai 103,4 juta ton dan Indonesia menjadi
negara importir terbesar yaitu sebesar 4,1 juta ton pada tahun 2000/2001 dan
eksportir terbesar adalah Amerika Serikat.
Berdasarkan Data Susenas dalam Ariani (2009) menunjukkan
perkembangan tingkat konsumsi produk gandum per kapita per tahun
1993-2002. Untuk daerah kota konsumsi terigu dari tahun ke tahun mengalami
kenaikan, hal ini dibuktikan dengan konsumsi produk berbahan baku terigu
seperti mi instan sebesar 0,16 kg, 2,61 kg, 2,05 kg, 2,05 kg, 2,08 kg. Dan
konsumsi mi instan di desa sebesar 0,07 kg, 1,18 kg, 1,49 kg, 1,50 kg. Serta
commit to user
Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menekan konsumsi tepung
terigu adalah dengan menjadikan millet (Pennisetum glaucum) sebagai salah
satu alternatif subtitusi gandum dalam pembuatan mi. Selama ini millet sering
dikenal masyarakat sebagai pakan burung. Untuk itu perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut sehingga millet tersebut dapat terangkat sebagai bahan
baku pangan alternatif penganti sumber bahan pangan pengganti tepung terigu
yang selama ini negara kita masih mengimpor dari negara penghasil gandum.
Tanaman millet yang banyak dijumpai di dunia ini ada 4 jenis, yaitu
Pearl millet (Pennisetum glaucum), Foxtail millet (Setaria italica), Proso
millet (Panicum miliaceum), Finger millet (Eleusine coracana).
(Abate et al, 1984).
Sekalipun pearl millet termasuk tanaman ekonomi minor, namun
karena nilai gizinya yang memiliki kelebihan dibanding jagung maka
komoditas pearl millet ini perlu dimasyarakatkan guna mendukung ketahanan
pangan dan mengantisipasi masalah gizi buruk. Tepung pearl millet
mengandung sumber vitamin B terutama B1 dan B2 (Abdelrahman et al,
1984).
Millet jenis pearl millet memiliki potensi hasil 3,5 ton/ha jika
dibudidayakan secara optimum (Duke, 1978). Informasi ini memberikan
gambaran bahwa sistem produksi millet yang intensif dapat bernilai efisien.
Millet dapat ditumpangsarikan dengan padi gogo, atau sebagai tanaman
sisipan sebelum jagung dipanen. Jika potensi hasil millet mencapai 2,5 ton
saja dan harga jual millet Rp. 6000/kg, maka dari luasan 1 ha dapat meraih
pendapatan sebesar 10 juta rupiah.
Pemanfaatan biji millet maupun tepung millet beberapa tahun lalu
sangat terbatas hanya digunakan untuk pakan burung. Namun saat ini
pemanfaatan millet mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Dengan
perkambangan teknologi dan ilmu pengetahuan kini pemanfaatan millet sangat
luas tidak hanya untuk pakan burung saja, namun dapat dimanfaatkan untuk
produk setengah jadi seperti tepung. Di daerah Indonesia bagian timur
commit to user
sehari-hari. Di Malang Jawa Timur sudah dikembangkan pemanfaatan tepung
millet untuk pengganti tepung terigu dalam pembuatan roti kering atau
cookies, roti tawar, roti basah (cake), mi dan masih banyak lagi manfaat dari
tepung millet itu sendiri.
Dalam penelitian ini akan diteliti tentang pembuatan mi millet kering
dengan beberapa variasi formula. Dalam pembuatanmi millet kering ini tidak
sepenuhnya menggunakan tepung terigu atau gandum tetapi menggunakan
beberapa formulasi subtitusi tepung terigu dan tepung pearl millet yang akan
diujikan kepada panelis. Dari penelitian ini diharapkan dapat menekan
penggunaan tepung terigu dalam pembuatan mi.
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaruh subtitusi tepung millet terhadap tepung terigu pada
tingkat kesukaan ditinjau dari sifat sensoris mi millet kering?
2. Bagaimana sifat kimia dan fisik mi millet kering yang terbaik ditinjau dari
sifat sensoris mi millet kering?
3. Bagaimana daya simpan dari mi millet kering?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah dipaparkan, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
a. Menentukan pengaruh subtitusi tepung millet terhadap tepung terigu
(gandum) pada tingkat kesukaan (sensoris) mi millet kering.
b. Mengetahui karakteristik kimia dan fisik mi millet kering.
c. Mengetahui umur simpan mi millet kering.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
a. Untuk mengurangi panggunaan tepung terigu dalam pembuatan mi
millet kering. Dengan melakukan subtitusi tepung millet diharapkan
dapat mengurangi impor gandum dengan harga yang cukup tinggi
commit to user
b. Sebagai informasi ilmiah yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dibidang pangan khususnya tentang
commit to user
5
II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Mi Kering
Mi merupakan makanan yang populer di Indonesia. Pada umumnya
mi dibuat dari tepung terigu dan beberapa diantaranya dari pati. Mi
berbahan baku pati yang ada di pasaran antara lain adalah soun (dari
tapioka), bihun (dari beras), dan mi gleser (dari sagu)
(Purwani dan Harimurti, 2005).
Menurut Astawan (2003) mi kering adalah mi segar yang telah
dikeringkan hingga kadar airnya mencapai 8-10 %. Pengeringan dilakukan
dengan sinar matahari atau oven. Mi ini memiliki daya simpan yang relatif
panjang dan mudah penanganannya.
Untuk mendapatkan kualitas mi yang terbaik maka perlu dilakukan
upaya-upaya sebagai berikut:
a. Mi harus dibuat dengan menggunakan tepung terigu bergluten tinggi
dengan tingkat protein lebih dari 12 % sehingga mi yang dihasilkan
elastis dan tidak gampang putus.
b. Selain tepung terigu bergluten tinggi, juga diperlukan tambahan air,
garam serta air ki. Air ki terbuat dari air abu tetapi beraroma khas dan
membuat mi tidak gampang putus.
c. Mi dicetak menggunakan alat penggiling mi, ditaburi terlebih dahulu
seluruh permukaan mi dengan tepung kanji/tepung terigu/tepung
maizena sehingga mi tidak lengket.
Mi dapat diolah menjadi beragam sajian dengan cara direbus atau
digoreng. Untuk mi basah, dicuci dahulu dengan air panas supaya minyak
menghilang. Untuk mi kering, direndam atau direbus dalam air panas
hingga lunak (Anonimd, 2010).
Beberapa komponen dasar penyusun mi adalah tepung, air, telur,
garam, dan alkali. Tepung adalah sumber karbohidrat dalam mi. Tepung
commit to user
selain memberikan rasa pada mi, juga memperkuat struktur mi,
meningkatkan elastisitas dan fleksibilitas, dan mengikat air. Telur secara
keseluruhan meningkatkan nilai gizi mi dan juga membuat mi menjadi
tidak mudah putus. Putih telur memberi lapisan yang tipis dan kuat pada
permukaan mi dan mencegah kekeruhan saus mi. Sedangkan pada kuning
telur terdapat lesitin yang merupakan pengemulsi yang baik. Alkali pada
pembuatan mi biasanya dikenal sebagai air abu atau air ki. Fungsinya
adalah untuk meningkatkan elastisitas, ekstensibilitas, dan untuk
menghaluskan tekstur mi. Selain itu alkali juga dapat mengembangkan
adonan karena dalam air melepaskan CO2. Alkali yang biasa digunakan
adalah natrium karbonat, kalium karbonat dan garam fosfat. Penggunaan
garam alkali dalam pembuatan mi basah dapat mencapai 0,5-0,6% dari
berat tepung (Abidin, dkk, 2009).
Ditinjau dari segi nilai gizinya, mi dan bihun banyak mengandung
karbohidrat dan zat tenaga (energi) dengan kandungan protein yang relatif
rendah. Kandungan gizi mi dan bihun sangat bervariasi, tergantung pada
jenis, jumlah, dan kualitas bahan penyusunnya. Secara umum komposisi
gizi mi basah, mi kering serta bihun per 100 gram sampel dapat dilihat pada
Tabel 2.1
Tabel 2.1. Komposisi Gizi Mi dan Bihun per 100 gram Bahan
Zat Gizi Mi Basah Mi Kering Bihun
Sumber : Direktorat Gizi, DepKes (1992), dalam Astawan (1999)
Pada umumnya mi kering yang telah beredar dipasaran bahan baku
utamanya adalah tepung terigu dimana komposisi kimianya tidak
commit to user
membuat mi yang terbuat dari biji gandum pilihan yang berkualitas tinggi,
dapat merupakan zat gizi yang menyediakan energi bagi tubuh dan juga
dapat membantu memperbaiki tekstur serta menambah cita rasa dari bahan
pangan (Nasution, 2005).
Tepung terigu memiliki kandungan pati sebesar 65-70%, protein 8-13%, lemak 0,8-1,5% serta abu dan air masing-masing 0,3-0,6% dan 13-15,5%. Di antara komponen tersebut yang erat kaitannya dengan sifat
khas mi adalah proteinnya yaitu prolamin (gliadin) dan glutelin (glutenin)
yang digolongkan sebagai protein pembentuk gluten
(Kent dan Ames, 1967).
Mi kering adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung
terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan
makanan yang diizinkan, berbentuk mi (SNI 01-2974-1992).
Tahapan pembuatan mi kering meliputi:
a. Pencampuran bahan
Proses percampuran bertujuan untuk menghidrasi tepung dengan
air, membuat merata dengan mencampur dan membuat adonan dengan
membentuk jaringan gluten dengan meremas-remas. Untuk membentuk
adonan yang baik faktor yang harus dperhatikan adalah jumlah air yang
dtambahkan, waktu pengadukan dan temperatur (Soenaryo, 1985)
dalam (Muhajir, 2007). Menurut Astawan (2006) dalam Muhajir
(2007), air yang ditambahkan umumnya berjumlah 28-38% dari berat
tepung. Jika penambahan air kurang dari 38% menyebabkan adonan
menjadi keras, rapuh dan sulit untuk dibentuk menjadi lembaran.
b. Pengadukan/ pengulenan bahan
Pengadukan (mixing) berfungsi mencampur secara homogen
semua bahan, mendapatkan hidrasi yang sempurna pada karbohidrat
dan protein, serta membentuk dan melunakkan gluten. Mixing harus
berlangsung hingga tercapai perkembangan optimal dari gluten dan
penyerapan airnya. Dengan demikian, pengadukan adonan mi harus
commit to user
maksimal. Adapun yang disebut kalis adalah pencapaian pengadukan
maksimum sehingga terbentuk film pada adonan. Tanda-tanda adonan
mi kalis adalah jika adonan tidak lagi menempel di alat mixer dan
pengaduknya serta akan terbentuk lapisan tipis yang elastis saat adonan
dilebarkan (Kim, 1996).
c. Pengepresan mi
Setelah mendapatkan adoana yang diinginkan, maka adonan
tersebut di masukkan dalam mesin pres (roll pres). Dalam roll press
serat gluten yang tidak beraturan ditarik memanjang dan searah dengan
tekanan di antara roller. Pengepresan ini dilakukan secara
berulang-ulang melalui pengaturan tekanan roller. Mula-mula tekanan
ringan sampai tekanan berat sehingga diperoleh lembaran adonan
dengan ketebalan tertentu yaitu tekstur yang diinginkan
(Ubaidillah, 1997 dalam Muhajir, 2007).
d. Pencetakan mi
Pencetakan dilakukan dengan menggunakan silinder beralur.
Lembaran mi yang akan dicetak menjadi pilinan yang akan diletakkan
pada silinder beralur tersebut. Lebar dan bentuk untaian mi ini
ditentukan oleh dimensi rol-rol pemotong (Kim, 1996).
Lempengan adonan yang telah terbentuk, kemudian dimasukkan
ke dalam mesin pencetak mi. Lempengan tersebut akan dipotong
menjadi pilinan-pilinan mi dengan lebar 1-2 mm dan berombak-ombak
(Astawan, 2003).
e. Pengukusan (Steaming)
Setelah melalui proses pencetakan dilakukan pemasakan mi
dengan pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinasi pati dan
koagulasi gluten. Menurut Astawan (2006) dalam Muhajir (2007),
gelatinasi ini dapat menyebabkan:
1) Pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat
commit to user
2) Meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi
mi.
3) Terjadi perubahan pati beta menjadi alfa yang lebih mudah
dimasak sehingga struktur alfa ini harus mempertahankan dalam mi
kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air
kurang dari 10%.
f. Pengeringan
Pengeringan bahan makanan dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain dengan cara penjemuran serta dengan alat pengering
buatan seperti pengering rak (cabinet dryer). Pengering rak memiliki
kelebihan bila dibandingkan dengan penjemuran karena suhu dapat
diatur sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan dengan cepat dan
kebersihan dapat diawasi (Winarno, 2002).
2. Millet
Salah satu nama lain dari millet adalah Juwawut (Setaria italica)
adalah sejenis serealia berbiji kecil (milet) yang pernah menjadi makanan
pokok masyarakat Asia Timur dan Asia Tenggara sebelum budidaya padi
dikenal orang. Tumbuhan ini adalah yang pertama kali dibudidayakan di
antara berbagai jenis milet dan sekarang menjadi milet yang terluas
penanamannya di seluruh dunia, dan yang terpenting di Asia Timur
(Anonima, 2009).
Butir juwawut atau millet digunakan untuk makanan manusia di
Asia, Eropa bagian tenggara dan Afrika utara. Mungkin dimasak dan
dimakan seperti beras, baik utuh maupun dengan dihancurkan. Juga dapat
ditumbuk dan tepungnya dibuat roti tak beragi atau ketika tepungnya
dicampur dengan tepung terigu dapat dibuat roti beragi. Tepungnya juga
digunakan untuk membuat bubur dan puding. Di Cina bagian utara, tepung
ini menjadi bagian dari bahan pokok makanan dan biasanya dicampur
dengan polong-polongan dan dimasak, atau tepung dicampur dengan
commit to user
dihargai sebagai makanan dan diperlakukan sebagai hidangan `suci` dalam
upacara-upacara yang religius. Di Cina, juwawut dianggap sebagai suatu
makanan yang bergizi dan sering direkomendasikan untuk wanita-wanita
yang hamil dan orang tua. Sejak tahun 1990 juwawut juga telah digunakan
di Cina untuk membuat keripik mini, juwawut gulung kering dan tepung
untuk makanan bayi. Kecambah juwawut digunakan sebagai sayuran dan
terutama di Rusia dan Burma (Myanmar), digunakan sebagai bahan untuk
membuat bir dan alkohol, dan di Cina, juga digunakan untuk membuat cuka
dan anggur. Di Eropa, juwawut dan jenis Setaria lain ditanam sebagai
makanan unggas dan burung peliharaan. Hal yang sama juga terjadi di
Indonesia. Setaria italica liar dapat menjadi gulma yang merugikan pada
kebun gandum dan tanaman polong-polongan, terutama di daerah
temperate/beriklim hangat. Sebagai bahan obat, juwawut dapat dipakai
sebagai diuretic, astringent, digunakan untuk mengobati rematik
(Anonimb, 2009).
Pada Tabel 2.2 tertera perbandingan kandungan karbohidrat, protein,
lemak dan serat pada komoditi millet, jagung, beras dan tepung terigu.
Tabel 2.2. Kandungan Karbohidrat, Protein, Lemak dan Serat pada Komoditi Millet, Jagung dan Beras
Komoditas Karbohidrat Protein Lemak Serat
Sumber : Widyaningsih dan Mutholib, 1999
* Sumber : Nio (1992) dalam Ahmad Muhajir (2007)
Dari Tabel 2.2 dapat dilihat bahwa kandungan karbohidrat, dan
protein millet hampir sama dengan kandungan tepung terigu. Dari data
tersebut maka dapat diprediksi bahwa tepung millet dapat digunakan untuk
pengganti atau digunakan sebagai subtitusi dari tepung terigu. yang selama
commit to user
Millet termasuk tanaman ekonomi minor namun memiliki nilai
kandungan gizi yang mirip dengan tanaman pangan lainnya seperti padi,
jagung, gandum, dan tanaman biji-bijian yang lain karena tanaman millet
sendiri adalah tergolong ke dalam jenis tanaman biji-bijian. Masyarakat
belum mengenal millet sebagai sumber pangan sehingga selama ini
tanaman millet hanya dijadikan sebagai pakan burung. Padahal tanaman ini
dapat diolah menjadi sumber makanan oleh masyarakat guna mendukung
ketahanan pangan dan mengantisipasi masalah kelaparan (Marlin, 2009).
Jenis millet yang banyak dijumpai di dunia :
1. Pearl millet (Pennisetum glaucum)
(a) (b)
Gambar 2.1 Pearl Millet (a) Tanaman (b) Biji
Pearl millet dapat tumbuh baik pada daerah yang mengalami
kekeringan, kesuburan tanah yang rendah, dan suhu tinggi. Selain itu
juga tumbuh dengan baik di tanah yang berkadar garam tinggi atau
pH rendah. Millet dapat tumbuh di daerah-daerah lain dimana
tanaman sereal seperti jagung atau gandum, tidak dapat bertahan.
Tanaman Pearl Millet dapat dilihat pada Gambar 2.1a.
Biji Pearl Millet seperti pada Gambar 2.1b relatif tinggi
protein dan memiliki keseimbangan asam amino yang baik. Selain itu
juga tinggi lisin dan metionin, sistin. Pearl millet mengandung
metionin dua kali lebih banyak dari sorgum, sifat penting untuk
produksi unggas organik. Biji-bijian ini juga relatif tinggi lemak, dan
commit to user 2. Foxtail millet (Setaria italica)
(a) (b)
Gambar 2.2 Foxtail millet (a) Biji (b) tanaman
Foxtail millet (Gambar 2.2) (Setaria italica nama botani)
adalah jenis tanaman millet kedua yang paling banyak ditanam dan
yang paling penting di Asia Timur. Memiliki sejarah terpanjang di
antara budidaya millets, yang telah ditanam di Cina sejak di milenium
keenam SM. Nama lain untuk millet adalah Italian Millet, Jerman
millet, Cina millet, dan Hungaria millet.
Foxtail millet adalah jenis millet dengan batang berdaun yang
dapat mencapai ketinggian 120-200 cm (3,9-6,6 m), berbulu panicle
5-30 cm (2,0-12 in). Biji kecil, dengan diameter sekitar 2 mm (kurang
dari 1/8 in), yang terbungkus tipis, seperti kertas yang terbungkus
yang mudah dibuang ketika ditumbuk. Warna biji sangat bervariasi di
antara varietas.
3. Proso millet (Panicum miliaceum)
(a) (b)
commit to user
Proso millet (Gambar 2.3) (Panicum miliaceum) pertama kali
muncul sebagai tanaman di Transcaucasia dan Cina sekitar 7.000
tahun yang lalu, menunjukkan bahwa hal itu mungkin karena telah
didomstikasi secara independen di setiap daerah. Hal ini masih
dibudidayakan secara luas di India, Rusia, Ukraina, di Timur Tengah,
Turki dan Rumania. Di Amerika Serikat, proso terutama ditanam
untuk pakan burung. millet ini dijual sebagai makanan kesehatan dan
karena kurangnya gluten: itu dapat dimasukkan dalam menu diet
orang-orang yang tidak bisa mentolerir gandum.
Proso bisa disesuaikan dengan berbagai kondisi tanah dan
iklim, tetapi memiliki musim tanam yang pendek, dan membutuhkan
sedikit air. Kebutuhan air untuk millet jenis proso ini adalah terendah
dari setiap major sereal. Ini adalah tanaman yang sangat baik untuk
lahan kering dan tidak-sampai pertanian/no-till farming. Proso millet
adalah sebuah tanaman rumput tahunan yang mencapai ketinggian
rata-rata 100 cm (4 kaki.). Benih-benih kecil (2-3 mm atau 1 inci atau
lebih) dan dapat menjadi berwarna krem, kuning, oranye-merah, atau
coklat.
4. Finger millet (Eleusine coracana)
Gambar 2.4 Finger millet (Eleusine coracana)
Finger millet (Gambar 2.4) (Eleusine coracana, Amharik "Dagusa" atau tōkūsō), juga dikenal sebagai millet Afrika atauRagi di Kannada), merupakan tanaman tahunan yang ditanam secara luas
sebagai sereal di daerah kering Afrika dan Asia. Finger millet
commit to user
sekitar 4000 tahun yang lalu. Hal ini sangat disesuaikan dengan
ketinggian yang lebih tinggi dan tumbuh di Himalaya dengan
ketinggian hingga 2.300 meter.
Setelah dipanen, benih akan tetap sangat baik dan jarang
diserang oleh serangga atau moulds. Kapasitas penyimpanan yang
panjang membuat finger millet menjadi tanaman penting dalam
strategi menghindari risiko untuk masyarakat petani miskin.
Kegunaan millet selama ini hanya untuk pangan burung
piaraan. Namun dengan kemajuan zaman dan pola pikir manusia yang
kreatif maka millet sekarang ini tidak hanya digunakan sebagai pakan
burung saja tetapi dibeberapa daerah di Indonesia dijadikan tepung
kemudian dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan mi, cookies,
roti tawar dan di propinsi Papua telah lama digunakan sebagai bubur
untuk makanan sehari-hari.
3. Tepung Terigu
Tepung terigu merupakan hasil dari biji gandum dimana digunakan
sebagai makanan pokok manusia, pakan ternak dan bahan industri yang
mempergunakan karbohidrat sebagai bahan baku. Gandum dapat
diklasifikasikan berdasarkan tekstur biji gandum (kernel), warna kulit biji
(bran), dan musim tanam. Berdasarkan tekstur kernel, gandum
diklasifikasikan menjadi hard, soft, dan durum. Sementara itu berdasarkan
warna bran, gandum diklasifikasikan menjadi red (merah) dan white
(putih). Untuk musim tanam, gandum dibagi menjadi winter (musim
dingin) dan spring (musim semi). Namun, secara umum gandum
diklasifikasikan menjadi hard wheat, soft wheat dan durum wheat (Anonimc, 2010).
Gandum merupakan salah satu jenis serelia yang cukup populer dan
merupakan bahan dasar pembuatan tepung. Sampai sekarang tidak ada
bahan lain sebagai pengganti gandum untuk membuat roti, bahan makanan
yang dapat mengembang dengan bantuan ragi karena gandum adalah
commit to user
gandum yang tidak larut dalam air, mempunyai sifat elastis seperti karet.
Selanjutnya gluten merupakan kerangka dari roti beragi. Dalam industri
pembuatan roti beragi, keberadaan gluten merupakan syarat
(Anonime, 2009).
Tanaman gandum jarang ditemukan di Indonesia karena kondisi
lingkungan fisik di Indonesia tidak cocok untuk tanaman gandum yang
merupakan tanaman subtropis. Akan tetapi masyarakat Indonesia
cenderung lebih menyukai produk olahan gandum seperti mi instan bahkan
lebih besar dari jagung dan ubi kayu. Umumnya produk olahan gandum
lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat yang hidup diperkotaan.
Meningkatnya konsumsi produk olahan gandum akan meningkatkan impor
gandum atau tepung gandum. Tepung gandum sendiri mempunyai
kandungan protein dan karbohidrat yang lebih tinggi daripada tepung yang
dibuat dari jenis lain (Global-Agricalture, 2009).
Protein gandum bersifat unik diantara protein tumbuhan lain dan
berperan penting pada sifat tepung terigu teruatama dalam pembuatan roti.
Metode fraksinasi klasik yang didasarkan pada ciri kelarutan menunjukkan
adanya empat fraksi utama yaitu albumin, globulin, gliadin dan glutenin
(De Man, 1997). Kandungan protein total pada tepung terigu bervariasi
antara 7 – 18 persen, tetapi pada umumnya 8 – 14 persen. Sekitar 80 persen
dari protein tersebut merupakan gluten (Matz, 1972). Pada saat terigu
dibasahi dengan air, terigu mampu membentuk gluten. Pembentukan gluten
terjadi karena adanya interaksi antara gliadin dengan glutenin
(Ruiter, 1978 dalam Retno, 1992).
Sifat unik protein gluten adalah kemampuannya membentuk pasta
atau adonan yang sifat kohesifnya kuat dan viskoelastis saat dicampur dan
diaduk dalam air saat suhu kamar. Komposisi dan ukuran molekul yang
besar dari gliadin dan glutenin menentukan sifat gluten. Rendahnya
kandungan asam amino yang dapat terion mengakibatkan protein gluten
sulit larut dalam larutan cair yang bersifat netral. Glutenin bertanggung
commit to user
extensibilitas adonan dalam pembuatan roti. Beberapa jenis tepung terigu
dengan kandungan protein yang berbeda terdapat di Indonesia. Hal ini
tertera pada Tabel 2.3 mengenai panduan mutu tepung terigu.
Tabel 2.3. Panduan Mutu Tepung Terigu
Parameter Cakra kembar/
kereta kencana
Segitiga biru Kunci biru
Kadar air max (%db) 14,5 14,5 14,5
Kadar abu max (%db) 0,6 0,6 0,6
Protein min (%db) Nx5,7 12 10-11 8-9
Kadar gluten min % 30 25 21
Sumber : Bogasari Flour Mills (1996) dalam Fajriyah (1998)
Tingkat konsumsi gandum pada saat ini telah mencapai 5 juta ton per
tahun. Impor gandum diperkirakan akan mengalami peningkatan hingga
100% selama 10 tahun mendatang. Artinya akan ada potensi impor gandum
hingga 10 juta ton. Setiap tahun lebih dari 5 miliar Dolar AS atau setara Rp
50 triliun lebih devisa habis untuk mengimpor pangan. Mulai dari gandum,
kedelai, jagung, daging, telur, susu, sayuran, dan buah-buahan, bahkan
garam yang kebutuhannya masih dapat dipenuhi oleh produsen garam lokal
juga dimpor dengan nilai Rp 900 miliar (Najib, 2010).
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Tepung terigu
diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Keistimewaan
terigu diantara serealia lainnya adalah kemampuannya membentuk gluten
pada saat terigu dibasahi dengan air. Sifat elastis gluten pada adonan mi
menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses
pencetakan dan pemasakan. Biasanya mutu terigu yang dikehendaki adalah
terigu yang memiliki kadar air 14 %, kadar protein 8-12 %, kadar abu
0,25-0,60 %, dan gluten basah 24-36 % (Astawan, 1999).
Berdasarkan kandungan protein (gluten), terdapat 3 jenis terigu yang
ada di pasaran, yaitu sebagai berikut :
a. Terigu hard flour. Terigu jenis ini mempunyai kadar protein 12-13 %.
Jenis tepung ini digunakan untuk pembuat mi dan roti. Contohnya
commit to user
b. Terigu medium hard flour. Jenis tepung ini mengandung protein
9,5-11 %. Tepung ini banyak digunakan untuk campuran pembuatan
mi, roti dan kue. Contohnya adalah terigu cap Segitiga Biru.
c. Terigu soft flour. Jenis terigu ini mengandung protein 7-8,5 %. Jenis
tepung ini hanya cocok untuk membuat kue contohnya adalah terigu
cap Kunci.
Dalam prakteknya, tepung terigu yang digunakan dalam pembuatan mi
terdiri dari campuran dua jenis tepung hard flour dan medium hard flour.
Pencampuran kedua jenis tepung tersebut dimaksudkan untuk mendapatkan
konsentrasi protein yang dikehendaki sehingga akan menghasilkan tekstur,
konsistensi dan rasa yang khas dari produk yang bersangkutan
(Astawan, 2006) dalam (Muhajir 2007).
4. Prediksi Umur Simpan a. Aktivitas Air dan Kadar Air
Besarnya Aw bahan makanan berbeda-beda menurut sifat
relatifnya terhadap air murni dan hal ini sangat dipengaruhi oleh sifat
produk serta kondisi lingkungannya. Berdasarkan teori perubahan fase,
maka kandungan air bahan makanan yang ditempatkan di udara terbuka
akan berubah sampai mencapai kondisi seimbang dengan kelembaban
nisbi udara sekitarnya. Kondisi seimbang tercapai apabila kadar air
bahan sudah menjadi konstan (Adawiyah, 2005).
Air dalam suatu bahan makanan terdapat dalam berbagai bentuk,
yaitu:
1) Air bebas, terdapat dalam ruang antar sel dan inter glanular dan
pori-pori yang terdapat dalam bahan.
2) Air yang terikat secara lemah karena terserap (teradsorpsi) pada
permukaan koloid makromolekuler seperti protein, pektin, pati,
selulosa. Selain air juga terdispersi diantara koloid tersebut dan
commit to user
bentuk ini masih tetep mempunyai sifat air bebas dan dapat
dikristalkan pada proses pembekuan.
3) Air dalam keadaan terikat kuat, yaitu membentuk hidrat. Ikatannya
bersifat ionik sehingga relatif sukar dihilangkan atau diuapkan. Air
ini tidak membeku meskipun pada 00F.
Air yang terdapat dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya
proses kerusakan bahan makanan, misalnya proses mikrobiologis,
kimiawi, enzimatis, bahkan oleh aktivitas serangga perusak. Sedangkan
air dalam bentuk lainnya tidak membantu proses kerusakan tersebut
diatas. Oleh karenanya, kadar air bahan merupakan parameter yang
absolut untuk dapat dipakai meramalkan kecepatan terjadinya
kerusakan bahan makanan. Dalam hal ini dapat digunakan pengertian
Aw (aktivitas air) untuk menentukan kemampuan air dalam proses –
proses kerusakan bahan makanan (Sudarmadji, dkk, 1989).
Aktivitas air dinyatakan sebagai perbandingan antara tekanan uap
air bahan (P) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama.
Perbandingan ini juga menggambarkan kelembaban relatif seimbang
atau Equilibrium Relative Humadity ( ERH ) udara sekitar bahan
terhadap kadar air bahan. (Adnan, 1982). Apabila kadar air suatu bahan
sudah mencapai keseimbangan dengan udara sekelilingnya, maka Aw
dalam bahan adalah sama dengan Aw udara tersebut. Oleh karena itu,
Aw suatu bahan dapat ditentukan berdasarkan kelembaban nisbi
commit to user Keterangan :
P = Tekanan uap air bahan.
Po = Tekanan air murni pada suhu yang sama.
ERH = Equilibrium Relative Humadity.
b. Pola Isoterm Sorpsi Lembab.
Sorpsi isotermis air adalah kurva yang menghubungkan data
kadar air dengan aktivitas air suatu bahan pada suhu tertentu. Sorpsi
isotermis sangat penting dalam merancang proses pengeringan,
terutama dalam menentukan titik akhir pengeringan serta meramal
perubahan-perubahan yang mungkin terjadi terhadap bahan makanan
selama bahan tersebut disimpan (Labuza, 1984).
Menurut Labuza (1984), secara umum ada tiga klasifikasi
kurva Isoterm Sorpsi Lembab (Gambar 2.5). Kurva Isoterm Sorpsi
Lembab tipe I adalah suatu isoterm adsorpsi untuk bahan berbentuk
kristal, misalnya gula murni. Bahan tersebut hanya sedikit menyerap
air sampai Aw-nya mencapai sekitar 0,7 – 0,8. Hal ini karena
pengikatan air hanya terjadi di permukaan kristal.
Pada sebagian besar makanan, seperti serealia dan bahan
makanan kering mengikuti pola sigmoid yang tampak pada kurva
isoterm tipe II. Penyerapan air bahan jenis ini dipengaruhi secara
kumulatif oleh efek – efek fisika – kimia sehingga tampak terdapat
dua lengkungan, yaitu pada Aw sekitar 0,2 – 0,4 dan Aw 0,6 – 0,7.
Sedangkan kurva isoterm tipe III merupakan bentuk khas dari
kelompok senyawa anti kempal (misalnya Ca Silikat) yang mampu
menyerap banyak air. Pada tipe ini biasanya terjadi perubahan kadar
air yang cukup besar pada perubahan nilai Aw yang cukup kecil
commit to user aw
Gambar 2.5. Tipe-tipe Kurva Isoterm Sorpsi Lembab (Labuza, 1984).
Untuk menggambarkan kurva ISL ada beberapa persamaan
yang dapat digunakan, antara lain persamaan Henderson, Polinomial
Pangkat Tiga dan Guggenheim-Anderson-de Boer (GAB)
(Labuza, 1984).
c. Penggunaan Kurva Isoterm Sorpsi lembab.
1) Stabilitas Bahan Makanan pada Kadar Air lapis Tunggal.
Air yang terikat pada bahan makanan dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu air terikat primer, air terikat sekunder, dan air
terikat tersier. Klasifikasi ini didasarkan pada posisi molekul air
terikat dengan gugus aktif bahan makanan :
- Daerah IL-1 ( Aw< 0,25), dimana air terdapat dalam bentuk lapis
tunggal yaitu molekul air terikat sangat kuat sehingga sulit
diuapkan. Pada daerah ini walaupun kerusakan-kerusakan lainnya
dapat dihambat, namun oksidasi lemak akan meningkat dengan
menurunnya nilai Aw. Karena air tidak lagi sebagai barier sehingga
O2 dapat lebih mudah mengadakan kontak dengan lemak.
- Daerah IL-2 ( Awantara 0,25-0,75), air terikat kurang kuat dimana
kerusakan mikrobiologis dapat dicegah namun pada bagian atas
dari daerah ini kerusakan kimiawi maupun enzimatis dapat berjalan
cepat. Sedangkan pada bagian bawah IL-2 dapat dikatakan sebagai III
II
commit to user
daerah yang paling stabil dimana kecepatan ketiga kerusakan
tersebut paling kecil.
- Daerah IL-3 ( Aw di atas 0,75), air dalam keadaan bebas (tidak
terikat) atau disebut sebagai kondensasi kapiler sehingga laju
kerusakan bahan makanan secara mikrobiologi, kimiawi maupun
enzimatik berlangsung dengan cepat (Suyitno, 1995).
Kadar air suatu bahan dimana air berada dalam posisi terikat
primer disebut kadar air lapis tunggal. Penelitian terhadap kecepatan
reaksi – reaksi kimia dan bahan makanan menunjukkan bahwa bagi
sebagian besar bahan makanan kering apabila kadar airnya berada di
bawah kadar air lapis tunggal maka kerusakannya sangat kecil dan
dapat diabaikan. Kadar air lapis tunggal dapat ditentukan dari
persamaan Isoterm Brunaurer-Enmet-Teller (BET), dan umumnya
berkisar antara Aw 0,2 – 0,4. Nilai BET dapat menunjukkan kadar
air kritis atau aw kritis (Labuza, 1984).
2) Perhitungan Kadar Air Lapis Tunggal BET
Kadar air lapis tunggal suatu produk pangan dapat diketahui
dengan mengikuti konsep BET yaitu teori tentang adsorpsi molekul
gas oleh benda padat. Kadar air lapis tunggal BET dapat
diperhitungkan dari isoterm sorpsi lembabnya. Menurut Labuza
(1984), persamaan umum BET adalah sebagai berikut :
a
Persamaan di atas dapat dinyatakan sebagai berikut :
commit to user
Jadi hubungan antara a / (1-a) M vs a, merupakan sebuah garis
lurus (linear). Dengan diketahuinya nilai S dan I dari grafik yang
dibuat persamaan umum BET tersebut, maka kadar air lapis tunggal
BET dapat dihitung dengan persamaan berikut:
S I Mo
+
= 1
Untuk membatasi dan mengendalikan pengaruh kondisi
lingkungan terhadap produk sampai batas tertentu, dapat ditempuh
dengan melakukan pengemasan menggunakan bahan pengemas dan
cara pengemasan yang baik atau sesuai.
Persyaratan dan spesifikasi wadah atau pembungkus berbeda
menurut jenis bahan hasil industri dan tujuan utamanya. Tetapi pada
umumnya ditujukan untuk menghindari kerusakan yang disebabkan
oleh mikroba, fisik, kimia, biokimia, perpindahan uap air dan gas,
sinar UV dan perubahan suhu. Selain itu kemasan harus ekonomis,
mampu menekan ongkos produksi, mudah dikerjakan secara
maksimal, tidak mudah bocor, penyok, dan mudah dalam
penyimpanan, pengangkutan dan distribusi (Syarief, Rizal dan Anies
Irawati, 1988).
Daya proteksi bahan pengemas ditentukan oleh permeabilitas
serta konstanta permeabilitas pengemasnya (Downes dan Giacin,
1987). Besarnya konstanta permeabilitas dipengaruhi oleh jenis
pengemas dan kualitas penutupan. Adapaun kondisi lingkungan yang
berperan adalah suhu dan kelembaban. Permeabilitas bahan
pengemas terhadap uap air dan gas dipengaruhi oleh suhu, ketebalan
lapisan, dan komposisi serta RH lingkungan (Buckle dkk, 1987).
Konstanta permeabilitas sebagai permeance yang dinyatakan
dengan atau tanpa menyatakan satuan tebal atau tekanan. Nilai
tersebut pada umumnya dinyatakan berlaku untuk bahan dengan
tebal tertentu pada suhu dan kelembaban tertentu pula.
commit to user
digunakan pada industri pengemasan dinyatakan sebagai gram
H2O/hari/100 inci untuk tebal dan suhu serta kelembaban relatif
tertentu (Supriyadi, 1993).
d. Bahan Pengemas Plastik
Bahan pengemas yang kini digunakan secara luas adalah
plastik karena mudah didapatkan dan harganya relatif murah. (Benning,
1983). Kemasan plastik praktis penggunaannya, mudah diperoleh,
murah, ringan, bersih, tahan terhadap kelembaban dan gas, tahan
terhadap suhu tinggi dan rendah, serta elastis dan tidak mudah disobek
(Pantastico, 1986).
Wadah yang dibuat dari plastik dapat berbentuk film
(lembaran plastik), kantung, wadah dan bentuk-bentuk lain seperti
botol, kaleng, stoples dan kotak. Kini penggunaan plastik sangat luas
karena relatif murah ongkos produksinya, mudah dibentuk menjadi
aneka model, mudah penanganannya dalam system distribusi dan bahan
bakunya mudah diperoleh (Syarief, Rizal dan Anies Irawati, 1988)
Salah satu jenis plastik yang banyak digunakan adalah
polielefin. Plastik golongan ini, seperti polietilen (PE), polipropilen
(PP), dan kopolimer lain merupakan jenis plastik yang paling banyak
dipakai pada industri makanan. Banyak digunakan sebagai film,
cetakan, pelapis, perekat, dan tutup
1) Polietilen
Etilen merupakan senyawa utama yang digunakan pada
pembuatan plastik ini. Rantai polimer dapat bercabang atau lurus.
Polimer rantai lurus menghasilkan densitas tinggi, sedangkan
semakin banyak rantai cabangnya, polimer etilen akan semakin
rendah densitasnya (Brown, 1992).
Polietilen dibuat dengan cara polimerisasi dari gas etilen
yang merupakan hasil samping dari industri minyak dan batu bara.
Terdapat dua macam proses polimerisasi yang dilakukan dan
commit to user
polimerisasi yang dijalankan dalam bejana bertekanan tinggi
(1000-3000 atmosfer), menghasilkan molekul makro dengan
banyak percabangan, yaitu campuran dari rantai lurus dan rantai
bercabang. Cara kedua, polimerisasi dalam bejana bertekanan
rendah (10-40 atmosfer), menghasilkan molekul makro berantai
lurus dan tersusun parallel (Suyitno, 1990 dalam Ratna 2010).
Menurut Suyitno (1990) dalam Ratna (2010), formula
molekul dari polietilen adalah (CH2)n, walaupun rantai molekul
makro dikatakan lurus namun kenyataannya susunan atom-atom
karbon tersebut dalam formasi zig-zag (Gambar 2.6)
CH2 CH2 CH2 CH2
CH2 CH2 CH2 CH2
Gambar 2.6 Formasi Rantai Lurus dari Molekul Makro Polietilen (Suyitno, 1990 dalam Ratna, 2010)
Adanya rantai-rantai cabang dalam molekul makro akan
mencegah saling menumpuknya rantai sehingga kerapatan
(densitas) dari bahan menjdi rendah. Oleh sebab itu, polietilen
densitas rendah (PEDR) dihasilkan dari proses polimerisasi pada
tekanan tinggi. Polietilen densitas rendah adalah bahan yang
bersifat kuat, agak tembus cahaya, fleksibel dan permukaannya
terasa agak berlemak. Pada suhu kurang dari 600C, sangat resisten
terhadap sebagian besar senyawa kimia. Di atas suhu tersebut
polimer ini menjadi larut dalam pelarut hidrokarbon dan
hidrokarbon klorida. Daya proteksinya terhadap uap air tergolong
baik, akan tetapi kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti
oksigen.
Polietilen densitas tinggi (PEDT) yang dihasilkan dengan
polimerisasi pada tekanan dan suhu rendah (50o-75oC) memakai
katalisator Ziegler, sifat lebih kaku, lebih keras, kurang tembus
commit to user
tahan lebih baik terhadap minyak dan lemak, titik lunak lebih
tinggi, akan tetapi daya tahan terhjadap pukulan (impact) dan
permeabilitas uap airnya lebih rendah (Suyitno, 1990 dalam
Ratna 2010).
Sifat-sifat baik yang dimiliki PE, antara lain :
a) Permeabilitas uap air dan air rendah
b) Mudah dikelim panas
c) Fleksibel
d) Dapat digunakan untuk penyimpanan beku (-500C)
e) Transparan sampai buram
f) Dapat digunakan sebagai bahan laminasi dengan bahan lain
Kelemahannya :
a) Permeabilitas oksigen agak tinggi
b) Tidak tahan terhadap minyak (Terutama LDPE).
(Syarief, Rizal dan Anies Irawati, 1988).
Polietilen merupakan bahan kemasan yang penting karena
harganya relatif murah, kuat, transparan dan mudah direkatkan atau
dibentuk dengan panas. Polietilen dibedakan atas polietilen
berkerapatan tinggi dan polietilen berkerapatan rendah. Polietilen
berkerapatan tinggi mempunyai sifat permeabilitas rendah dan
stabilitas tinggi terhadap panas, biasanya untuk kemasan yang
bersifat kaku. Polietilen berkerapatan rendah sangat fleksibel
pembentukan dan penggunaannya sehingga baik untuk kemasan
sebagai kantong (Priyanto, 1988).
2) Polypropilene
Polipropilen (PP) merupakan salah satu jenis termoplastik
yang pertama kali direkomersialkan pada tahun 1950-an.
Polipropilen dibuat dengan polimerisasi katalitik dari monomer
propilen menggunakan panas dan tekanan. Polipropilen banyak
digunakan untuk pengemas makanan yang bersifat kaku
commit to user
Polipropilen dihasilkan dengan polimerisasi gas
polipropilen murni dengan Ziegler-Natta katalis. Polipropilen
merupakan plastik dengan densitas antara 0,9-0,91. Polipropilen
mempunyai sifat tingkat kekakuan yang baik, kuat, permukaan
mengkilap, dan kenampakan yang bening ( Kondo, 1990 ).
Menurut Supriyadi (1993), polipropilen mempunyai sifat
tingkat kekakuan baik, kuat, dan transparan pada bentuk film, tahan
terhadap panas, relative sulit ditembus uap air, akan tetapi mudah
sekali ditembus oleh gas. Polipropilen baru akan meleleh pada suhu
162oC sehingga dapat digunakan sebagai kemasan kantong yang
tahan terhadap proses pemanasan suhu tinggi seperti sterilisasi.
Sifat tahan terhadap suhu tinggi membawa konsekuensi menjadi
sulit direkatkan dengan menggunakan panas.
Polipropilen bersifat lebih keras dan titik lunaknya lebih
tinggi dari pada PEDT, lebih kenyal namun daya tahannya terhadap
kejutan lebih rendah terutama pada suhu rendah. Tidak mengalami
stress cracking oleh perubahan kondisi lingkungan, tahan terhadap
sebagian besar senyawa kimia, kecuali pelarut aromatik dan
hidrokarbon klorida dalam keadaan panas. Sedangkan sifat
permebilitasnya terletak antara PEDR dan PEDT. Permukaannya
yang keras dan licin membuatnya sulit ditulisi atau ditempeli tinta
commit to user
Tabel 2.4. Daya tembus dari Plastik Tipis yang Fleksibel Terhadap N2, O2, CO2 dan H2O.
Plastik Tipis Daya Tembus (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010 N2 30oC O2 CO2 25oC, 90 Rh H2O
Polyethylene (kerapatan rendah) 19 55 352 800 Polyethylene (kerapatan tinggi) 2,7 10,6 35 130
Polystyrene 2,9 11,0 88 12000
Polyamide 0,1 0,38 1,6 7000
Polypropylene - 23,0 92 680
PVC 0,4 1,2 10 1560
Polyester 0,05 0,22 1,53 1300
Polyvinyledene chlorida 0,0094 0,053 0,29 14
Rubber Hydrocloride 0,08 0,3 1,7 240
Polyvinil Acetat - 0,5 - 100000
Ethyl Cellulose 84 265 2000 130000
Cellulose Acetat 2,8 7,8 68 75000
Sumber : Buckle and Edwards, (1987).
e. Umur Simpan
Umur simpan adalah selang waktu sejak barang diproduksi
hingga produk tersebut tidak layak diterima atau telah kehilangan sifat
khususnya. Atau, umur simpan adalah waktu yang dibutuhkan oleh
suatu produk pangan menjadi tidak layak dikonsumsi jika ditinjau dari
segi keamanan, nutrisi, sifat fisik, dan organoleptik, setelah disimpan
dalam kondisi yang direkomendasikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan
1. Jenis & karakteristik produk pangan
a. Produk yang mengalami pengolahan akan lebih tahan lama
dibanding produk segar.
b. Produk yang mengandung lemak berpotensi mengalami rancidity,
sedang produk yang mengandung protein & gula berpotensi
mengalami reaksi maillard (warna coklat).
2. Jenis & karakteristik bahan kemasan
Permeabilitas bahan kemas terhadap kondisi lingkungan
commit to user 3. Kondisi lingkungan
a. Intensitas sinar (UV) menyebabkan terjadinya ketengikan
dan degradasi warna.
b. Oksigen menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi.
Bagi suatu produk yang sudah dikemas, maka umur simpannya dipengaruhi selain oleh sifat dan kondisi kritis juga ditentukan oleh
proteksi dari kemasannya. Dalam hal ini permeabilitas uap air dari
sistem kemasan sangat menentukan umur simpannya. Jadi suatu produk
yang sudah dikemas, umur simpannya dipengaruhi oleh sifat produk
(ISL), kadar air kritis, kemasan (permeabilitas), dan suhu serta RH
udara (Labuza, 1984).
Menurut Labuza (1984), umur simpan produk dalam kemasan
dapat diprediksi berdasarkan teori difusi atau penyerapan gas oleh atau
dari produk yang diformulasikan sebagi berikut :
Ket : Me = Kadar air pada kondisi seimbang dengan suhu dan
RH udara Luar (g air/100 g bahan kering),
berdasarkan perkiraan garis lurus
Mi = Kadar air awal produk (g air/ 100g)
Mc = Kadar air kritis (g air/ 100 g bahan kering)
K/x= Permeabilitas kemasan (g air/ hari. M2 mm Hg)
A = Luas permukaan kemasan (m2)
Ws = Berat produk dalam kemasan (g)
Po = Tekanan uap air murni pada suhu pengujian (mmHg)
b = Slope kurva ISL di daerah operasi penyimpanan ө = Umur simpan (hari)
commit to user B. Kerangka Berpikir
Mi kering merupakan salah satu makanan yang berbahan baku tepung
terigu. Tepung terigu berasal dari gandum yang selama ini untuk memenuhi
kebutuhan gandum negara Indonesia masih impor dari negara-negara
penghasil gandum. Untuk mengurangi konsumsi gandum yang cukup tinggi
maka perlu adanya subtitusi menggunakan lokal. Salah satu komoditi lokal
yang dapat digunakan untuk mengurangi penggunaan tepung gandum adalah
komoditi millet. Namun millet ini belum tergali manfaatnya di kalangan
masyarakat luas. Oleh karena itu diharapkan penggunaan millet dapat
mengurangi konsumsi tepung gandum, sehingga dapat menghemat devisa
negara dan memperkaya khasanah kuliner nusantara. Komoditi ini biasanya
digunakan untuk pakan burung. Diagram kerangka berpikir dapat dilihat pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Kerangka Berpikir Bahan baku
Tepung terigu
Terigu selama ini impor Harga terigu naik
Komoditi lokal (millet) dan kandungan seratnya
tinggi
Mi kering Substitusi terigu dg
tepung millet Mi kering
commit to user C. Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah variasi formula berpengaruh pada
subtitusi tepung millet dengan tepung terigu terhadap tingkat kesukaan mi
commit to user
31
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa Proses
Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian,
Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta dan laboratorium
PAU Pangan dan Gizi UGM. Penelitian akan dilakukan selama ± 4 bulan.
B. Bahan dan Alat 1. Bahan
Bahan yang digunakan dalam pembuatan mi kering millet yang utama
yaitu jenis pearl millet dan tepung terigu. Millet diperoleh dari pasar lokal di
Surakarta. Tepung terigu (cap “Cakra Kembar”) produksi PT. Bogasari dan
garam (bahan pembantu) diperoleh di toko bahan baku pembuatan roti.
Sedangkan seperangkat bahan kimia yang digunakan yaitu seperangkat
bahan kimia untuk analisa kadar protein dengan metode Kjeldahl (larutan
H2SO4 pekat, air raksa oksida, larutan K2SO4, larutan natrium
hidroksida-natrium thiosulfat, larutan asam borat jenuh, larutan asam klorida 0,02 N).
Bahan Kimia Untuk analisis kadar Lemak: petroleum ether.
2. Alat
Alat yang digunakan dalam pembuatan mi millet kering adalah alat
pencetak mi, baskom, timbangan, panci, kompor gas, cabinet dryer.
Alat-alat yang digunakan untuk analisa kadar air adalah oven, cawan, desikator,
penjepit cawan, timbangan analitik. Untuk analisa kadar abu digunakan
cawan pengabuan, tanur pengabuan, penjepit cawan, timbangan analitik.
Untuk analisa kadar protein digunakan pemanas kjeldahl, labu kjeldahl
berukuran 30 ml/50 ml, alat distilasi lengkap dengan erlenmeyer
berpenampung berukuran 125 ml, buret 25 ml/50 ml, timbangan analitik.
Uji sensoris digunakan borang, nampan dan piring kecil. Alat yang
digunakan dalam penentuan umur simpan yaitu oven, botol timbang dan
commit to user
penyimpanan dan neraca analitik. Untuk analisis kadar lemak tabung reaksi
Soxhlet dalam thimble, kondensor, tabung ekstraksi, alat destilasi Soxhlet,
penangas air, oven, botol timbang. Untuk pengukuran tekstur mi millet
kering: Lloyd Universal Testing machine untuk pengukuran tekstur.
C. Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
perlakuan perbedaan formulasi. Variasi formulasi mi millet kering pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Variasi Perlakuan Formulasi Mi Millet Kering
Formulasi Tepung terigu (%)
Tepung Millet (%)
F1 80 20
F2 70 30
F3 60 40
F4 50 50
Dalam rancangan penelitian ini, terdapat dua faktor penentu, yaitu
faktor tetap dan faktor tidak tetap. Faktor tetapnya yaitu konsentrasi
penambahan tepung terigu dan tepung millet pada pembuatan mi kering serta
faktor tidak tetapnya yaitu kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar serat
kasar, sifat organoleptik (warna, rasa, kekenyalan, dan aroma) dan umur
simpan.
D. Tahapan Penelitian 1. Pembuatan Mi Kering
Penelitian ini terdiri dari 2 tahapan utama, yaitu tahapan pertama
penyiapan tepung millet dengan menggunakan alat penepung kemudian
dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan 80 mesh. Selanjutnya
commit to user
Adapun gambar diagram alir proses pembuatan mi millet kering adalah
pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Millet Kering Keterangan * : Sesuai dengan variasi formulasi mi millet kering pada Tabel 3.1
Pencampuran Bahan
Pengulenan Bahan (± 10-20 menit)
Pembentukan Lembaran dan Mi
Pengukusan (± 10 mnt) Tepung komposit*
Mi basah Garam, air
Pengeringan suhu 600C, selama 5,5 jam