• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Mi Kering Substitusi Tepung Talas (Colocasi esculenta) dengan Penambahan Daun Katuk (Sauropus androgynus)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Mi Kering Substitusi Tepung Talas (Colocasi esculenta) dengan Penambahan Daun Katuk (Sauropus androgynus)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

40

Karakteristik Fisikokimia dan Organoleptik Mi Kering Substitusi Tepung Talas (Colocasi esculenta) dengan Penambahan Daun Katuk (Sauropus androgynus)

Physicochemical and Organoleptic Characteristics of Dried Noodles Substitution of Taro Flour (Colocasi esculenta) with the Addition of Katuk Leaves (Sauropus androgynus)

Nurhidayanti1, Nanik Suhartatik1, Akhmad Mustofa1*

1Prodi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi dan Industri Pangan Universitas Slamet Riyadi Surakarta

*corresponding author: garadaiva@gmail.com

Article info Abstrak Kata kunci:

Mi kering, talas, katuk, antioksidan

Mi kering tepung umbi talas cenderung memiliki tekstur kurang bagus dan mudah putus. Hal ini dikarenakan talas tidak mengandung gluten meskipun mengandung pati yang cukup tinggi yaitu sekitar 70- 80%. Talas kimpul juga memiliki harga yang murah dan mudah dihasilkan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik kimia dan organoleptik mi dengan penambahan tepung talas dan ekstrak daun katuk sebagai pewarna alami. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dua faktor yaitu perbandingan tepung talas dan tepung terigu (90:10, 80:20, 70:30 g) serta konsentrasi ekstra daun katuk (10/100, 20/100, 30/100 ml). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik adalah pada perlakuan perbandingan tepung talas: terigu 70:30g dengan ekstrak daun katuk 20/100ml. Perlakuan ini menghasilkan mi dengan karakteristik kadar air 8,73%, protein 7,67%, abu 2,56%, serat 4,49% dan 13,11%

untuk aktivitas antioksidan. Hasil uji organoleptik pada perlakuan ini menghasilkan warna setelah pengeringan 3,31 (hijau gelap), warna setelah perebusan 3,29 (hijau agak gelap), cukup kenyal (2,65), aroma talas nampak (2,73) dan cukup disukai (2,17). Mi kering talas dengan penambahan daun katuk dapat menjadi alternatif mi kering yang memenuhi standar yang ada dan memiliki nilai lebih yaitu memiliki aktivitas antioksidan.

Abstract Keywords:

Dry noodles, taro, katuk, antioxidant

Dry noodles with taro tuber flour tend to have a bad texture and break easily. This is because taro does not contain gluten even though it contains starch which is quite high, which is around 70-80%. Kimpul taro also has a low price and is easy to produce. This study aimed to determine noodles' chemical and organoleptic characteristics with the addition of taro flour and katuk leaf extract as natural dyes. This study used a two- factor factorial Completely Randomized Design (CRD), namely the ratio of taro flour and wheat flour (90:10, 80:20, 70:30 g) and katuk leaf extra concentration (10/100, 20/100, 30/100 ml). The results showed that the best treatment was the ratio of taro flour: wheat flour 70:30 g to katuk leaf extract 20/100 ml. This treatment resulted in noodles with characteristics of moisture content of 8.73%, protein 7.67%, ash 2.56%, fiber 4.49%, and 13.11% for antioxidant activity. The results of the organoleptic test in this treatment showed that the color after drying was 3.31 (dark green), the color after boiling was 3.29 (light green), the texture was chewy (2.65), the taro aroma was visible (2.73) and fairly preferred (2.17). Dried taro noodles with the addition of katuk leaves can be an alternative to dry noodles that meet existing standards and have added value, namely having antioxidant activity.

PENDAHULUAN

Mi merupakan produk pangan kaya karbohidrat yang cukup popular di Indonesia yang sering dijadikan sebagai makanan pengganti makanan pokok.

Menurut Gunaivi et. al. (2018) dan Astawan (2008) mi kering adalah salah satu jenis makanan hasil olahan tepung yang didapatkan dengan cara mengeringkan mi mentah dengan metoda penjemuran atau

(2)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

41 dikeringkan dalam oven dengan daya

simpan yang lebih lama.

Talas (Colocasia esculenta) termasuk sumber karbohidrat yang tinggi, terutama pati yaitu 80% (Fauzia, 2017). Kandungan pati yang tinggi, maka talas memiliki potensi sebagai pengganti terigu dalam pembuatan produk pangan. Tepung talas yang tergolong halus dan mudah dicerna, berguna untuk pembuatan mi kering, kue kering dan kue basah (Gumilang et al., 2016). Katuk (Sauropus androgynus (L).Merr) adalah tumbuhan yang berkhasiat karena mengandung senyawa aktif diantaranya flavonoid, streoid dan tanin yang digunakan sebagai antioksidan (Proklamasiningsih, 2019).

Penelitian pembuatan mi kering sudah banyak dilakukan oleh para peneliti.

Namun demikian pembuatan mi kering dengan bahan tepung talas yang dikombinasikan dengan ekstrak daun katuk belum pernah dilakukan. Penambahan daun katuk (Sauropus androgynous) dilakukan untuk memperbaiki kualitas mi sehingga memiliki aktivits antioksidan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan formulasi perbandingan tepung terigu dan tepung serta penambahan ekstrak daun katuk yang menghasilkan mi kering dengan karakteristik tinggi serat dan disukai.

METODE PENELITIAN

Rancangan percobaan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) dua faktorial. Faktor yang digunakan yaitu perbandingan tepung talas dan tepung terigu (90/10, 80/20, 70/30) dan persentase daun katuk (10/100, 20/100, 30/100). Data yang dihasilkan dianalisa dengan uji Anava pada taraf signifikansi 5%. Apabila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey untuk mengetahui beda

nyata antar perlakuan pada taraf signifikansi 5%.

Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: talas dan daun katuk segar yang dibeli di pasar tradisional di daerah Solo yaitu pasar Legi Surakarta, tepung terigu (Cakra), garam (Dangdut), telur dan air yang dihasilkan di Swalayan.

Bahan untuk analisis kimia: DPPH, ethanol 95%, K2SO4, CuSO4, asam sulfat pekat, akuades, NaOH 40%, Asam Borat 3%, HCl 0,1 N, H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, dan aseton.

Alat

Alat–alat yang digunakan untuk menunjang penelitian ini antara lain:

timbangan analitik merk ohaus, blender merk philips, oven merk memmert, alat masak gelas ukur, penggiling adonan, noodle maker, cabinet dryer, ayakan 80 mesh,. muffle furnace merk nabertherm, spekroffotometer Uv-Vis. labu kjedahl merk Pyrex.

Alur Penelitian

1. Pembuatan Tepung Talas yang telah dimodifikasi

Talas dikupas dan dicuci hingga bersih. Talas direndam dengan larutan garam selama ± 1 jam kemudian ditiriskan.

Dipotong tipis-tipis ± 1 cm dan diletakkan di atas tray. Dikeringkan menggunakan cabinet dryer suhu 70°C selama ± 6 jam.

Diblender hingga halus dan dihamparkan.

Diayak menggunakan ayakan 80 mesh (Aviana & Loebis, 2017).

2. Pembuatan Ekstrak Daun Katuk

Pemilihan daun katuk yang masih segar. Pisahkan dari batangnya dan cuci dengan air mengalir. Tiriskan dan timbang sesuai perlakuan (10, 20 dan 30 g).

Diblancing ± 2 menit kemudian ditiriskan.

Diblender dengan ditambahkan air 100 ml selanjutnya disaring (Purwantoro, 2018).

(3)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

42 3. Pembuatan Mi Kering

Pembuatan mi kering mengikuti metode yang disampaikan Biyumna et. al.

(2017) dengan beberapa modifikasi.

Penimbangan bahan sesuai formulasi perbandingan tepung terigu, tepung talas, dan bahan lain. Pencampuran (mixing) tepung terigu, tepung talas, garam, air, telur (bahan dasar mi) dengan daun katuk blender, sampai adonan tercampur secara homogen dan kalis sehingga mudah dibentuk. Pengistirahatan adonan (resting).

Memadatkan adonan dengan menggunaka noodle maker dengan ketebalan roll 3 mm dan menggabungkan 2 lembaran adonan yang telah dipadatkan dengan ketebalan roll jarak 5 mm menjadi satu lembaran pipih. Penggilingan lembaran adonan kembali dengan mengurangi ketebalan roll secara bertahap sampai dihasilkan tebal adonan 1,5 mm.

Kemudian dilakukan pemotongan menjadi untaian mi. Pengukusan adonan yang sudah berbentuk mi selama 10 menit dan didinginkan selama ± 3 menit.

Dikeringkan dengan menggunakan cabinet dryer dengan suhu 60°C selama ± 8 jam.

Parameter penelitian

Penelitian ini akan menguji kadar air dengan metode thermogravimetri (Sudarmadji et al., 2010), kadar abu metode gravimetri (AOAC, 1995), kadar protein metode Kjeldahl (Sudarmadji et al., 2010), kadar serat metode gravimetri (Sudarmadji et al., 2010), aktivitas antioksidan metode DPPH (Djapiala, 2014), uji organoleptik metode scoring test (Sari et al., 2014).

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kimia

Kadar Air

Hasil uji anova menunjukkan bahwa kadar air mi kering sangat dipengaruhi oleh

perbandingan tepung talas dan tepung terigu serta penambahan ekstrak daun katuk. Hasil uji kadar air mi kering berkisar antara 5,41-11,16%. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar air paling tinggi pada mi yaitu 11,16% dihasilkan pada perlakuan A3B1 sedangkan kadar air paling rendah yaitu 5,41% dihasilkan pada perlakuan A1B3.

Tinggi rendahnya kadar air dikarenakan penambahan ekstrak daun katuk. Semakin sedikit penambahan ekstrak daun katuk maka semakin sedikit pula kadar air. Hal ini dikarenakan daun katuk mengandung hampir 70 g air dalam 100 g daun katuk segar (Mutiara et al., 2012). Daun katuk juga memiliki 7% protein dengan serat kasar mencapai 19%. Daun katuk mengandung serat yang bersifat hidrokoloid (mampu menyerap air) sehingga semakin sedikit katuk yang ditambahkan maka semakin sedikit kadar air begitu pun sebaliknya. Mi kering yang dibuat telah memenuhi SNI 01-2974-1996 (BSN, 1996) dimana syarat kadar air mi kering maksimal adalah 14%. Sejalan dengan penelitian Widatmoko dan Estiasih (2015), mengenai mi kering ubi jalar ungu yang menyatakan bahwa kadar air perlakuan terbaik dengan menambahkan gluten dengan jumlah 85% tepung ubi jalar ungu dengan 15 % gluten adalah 4,66%.

Kadar Abu

Hasil uji kadar abu mi kering berkisar antara 2,42%-2,87%. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar abu tertinggi pada mi yaitu 2,87% dihasilkan pada perlakuan A1B3.

Kadar abu paling rendah yaitu 2,42%

dihasilkan pada perlakuan A1B2. Semakin rendah kadar abu yang terkandung pada tepung maka mutunya akan semakin baik, hal ini berkaitan dengan kemurnian bahan pangan (Winarno, 2008). Semakin tinggi jumlah tepung terigu yang ditambahkan maka semakin rendah kadar abu mi, hal ini

(4)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

43 dikarenakan kadar abu pada tepung terigu

lebih sedikit yakni sebesar 0,25-0,6%, sedangkan tepung talas memiliki kadar abu sebesar 8,53% (Kurniawati et al., 2018).

Penambahan ekstrak daun katuk juga berpengaruh nyata terhadap kadar abu meskipun tidak terlalu signifikan. Tepung daun katuk sendiri memiliki kadar abu sebesar 8,91% per bobot 100 g (Zuhra et al., 2008). Witono et. al. (2012) mengatakan bahwa kadar abu yang tinggi pada bahan

menyatakan tingginya mineral yang terdapat dalam bahan. Hasil uji kadar abu mi kering adalah 2,42-2,86% lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian mi kering sukun dari Biyumna et. al. (2017) yang mengatakan bahwa kadar abu terbaik sekitar 0,24-0,58%. Namun, mi daun katuk ini telah memenuhi syarat SNI 01-2974- 1996 (BSN, 1996) dimana kadar abu maksimal dalam pembuatan mi kering adalah maksimal 3%.

Tabel 1. Hasil data kimiawi mi kering (%) Perlakuan

Analisis Kimiawi Kadar

Air (%)

Kadar Abu (%)

Protein (%)

Serat Kasar (%)

Aktivitas Antioksidan(%)

A1B1 7,20d 2,78ab 4,82a 2,59a 11,94d

A1B2 6,49bc 2,42a 7,74a 2,41a 1,58a

A1B3 5,41a 2,87b 6,59a 2,58a 9,51c

A2B1 7,33e 2,80b 7,12a 3,12b 3,89ab

A2B2 6,24b 2,81b 7,42a 3,09b 5,91b

A2B3 6,76cd 2,76ab 7,21a 3,82c 9,29c

A3B1 11,16g 2,55ab 7,85a 4,91e 4,64b

A3B2 8,73f 2,56ab 7,67a 4,49d 15,09e

A3B3 8,58f 2,66ab 7,71a 4,73de 1.98a

Keterangan: Purata yang disertai huruf berbeda menyatakan beda nyata dengan uji Tukey 5%.

A1B1: Talas : Terigu (90:10) dengan ekstrak daun katuk 10%

A1B2: Talas : Terigu (90:10) dengan ekstrak daun katuk 20%

A1B3: Talas : Terigu (90:10) dengan ekstrak daun katuk 30%

A2B1: Talas : Terigu (80:20) dengan ekstrak daun katuk 10%

A2B2: Talas : Terigu (80:20) dengan ekstrak daun katuk 20%

A2B3: Talas : Terigu (80:20) dengan ekstrak daun katuk 30%

A3B1: Talas : Terigu (70:30) dengan ekstrak daun katuk 10%

A3B2: Talas : Terigu (70:30) dengan ekstrak daun katuk 20%

A3B3: Talas : Terigu (70:30) dengan ekstrak daun katuk 30%

Kadar Protein

Hasil uji kadar protein mi kering berkisar antara 4,82%-7,85%. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar protein tertinggi pada mi yaitu 7,85% dihasilkan pada perlakuan A3B1. Kadar protein paling rendah yaitu 4,82% dihasilkan pada perlakuan A1B1. Kadar protein mi kering daun katuk ini lebih rendah jika dibandingkan dengan syarat mutu menurut SNI 01-2974-1996 (BSN, 1996) dimana kadar protein mi kering minimal 11%. Pada pembuatan mi kering daun katuk ini

digunakan tepung terigu dengan kadar protein tinggi merk Cakra. Namun, mi kering daun katuk memiliki kadar protein yang rendah dikarenakan perlakuan subsitusi tepung talas dengan terigu.

Semakin sedikit terigu yang ditambahkan, kandungan protein mi kering juga semakin menurun. Tepung talas hanya memiliki kandungan protein sekitar 3,9% per 100 g.

Protein tepung terigu jenis protein tinggi sebesar 12% (Achmadi, 2019). Jika dibandingkan dengan penelitian Biyumna et. al. (2017) mengenai mi kering sukun

(5)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

44 maka mi kering daun katuk memiliki kadar

protein lebih kecil. Kadar protein mi kering daun katuk berkisar antara 4,82-7,84%

sedangkan mi kering sukun memiliki kadar protein 11,72-11,88%.

Kadar Serat

Hasil uji kadar serat mi kering berkisar antara 2,41%-4,91%. Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar serat paling tinggi pada mi yaitu 4,91% dihasilkan pada perlakuan A3B1. Kadar serat paling rendah yaitu 2,41% dihasilkan pada perlakuan A1B2. Kadar serat dipengaruhi oleh bahan dasar dan bahan penunjang yang digunakan dalam pembuatan mi. Rendahnya kadar serat pada mi kering dikarenakan sedikitnya penambahan daun katuk. Daun katuk sendiri mengandung serat kasar sekitar 19%. Penelitian Gunaivi et. al.

(2018) menyatakan kadar serat kasar mi kering yang dihasilkan sebesar 1,98%.

Hasil ini lebih sedikit dibandingkan hasil penelitian Halwan dan Nisa (2015), dimana kadar serat kasar pada mi kering dengan tepung gembili dan penambahan bekatul yaitu berada di antara 4,15–8,74%.

Perbedaan kadar serat ini diakibatkan pemberian bekatul yang tinggi sehingga kadar serat kasar mi menjadi tinggi, sementara pada pengamatan ini hanya menggunakan telur dan karagenan dengan jumlah sedikit dimana tidak berpengaruh signifikan terhadap serat mi kering umbi talas.

Aktivitas Antioksidan

Hasil uji aktivitas antioksidan mi kering berkisar antara 1,55%-13,11%.

Tabel 1 menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi pada mi yaitu yaitu 13,11% dihasilkan pada perlakuan A3B2.

Aktivitas antioksidan paling rendah yaitu 1,55% dihasilkan pada perlakuan A1B2.

Aktivitas antioksidan mi kering daun katuk dipengaruhi oleh bahan dasar dan bahan

penunjang yang digunakan dalam pembuatan mi yaitu daun katuk.

Perbandingan tepung talas dan terigu tidak terlalu berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan. Daun katuk merupakan bahan tambahan dari tanaman lokal yang memiliki pigmen hijau tinggi, di dalamnya terdapat antioksidan dengan jumlah besar yang sangat berkhasiat untuk mengurangi radikal bebas dan memperlambat penuaan dini berupa senyawa flavonoid dan polifenol (Mutiara et al., 2012). Penelitian Rara et. al. (2019) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan mi dari tepung komposit talas dan terigu dengan penambahan ekstrak bayam merah termasuk lemah dikarenakan nilai IC50 yang lebih besar dari 200 µg/ml. Hal ini dikarenakan sedikitnya penambahan sari bayam merah dalam pembuatan mi.

Uji Organoleptik

Warna Setelah Pengeringan

Warna merupakan fenomena fisika dan fisio psikologis, respon mata terhadap warna makanan dipengaruhi oleh persepsi, selera, naluri dan emosi (menarik/suka) dan pikiran (Setiyoko et al., 2018). Hasil uji warna mi kering berkisar antara 2,83-3,65.

Tabel 2 menunjukkan bahwa warna setelah pengeringan tertinggi pada mi yaitu 3,65 dihasilkan pada perlakuan A1B2 dengan warna hijau sedikit tua. Warna setelah pengeringan paling rendah yaitu 2,83 dihasilkan pada perlakuan A2B1 dengan warna hijau muda. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak penambahan ekstrak daun katuk yang menyebabkan warna mi kering menjadi kehijauan. Hal ini disebabkan pigmen warna hijau pada daun katuk yang mengandung klorofil. Hal ini serupa dengan penelitian Rahayu (2016) menyatakan bahwa beberapa mi memiliki warna hijau pudar sampai hijau tua. Hal ini dikarenakan zat warna hijau pada daun

(6)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

45 kelor yang memiliki klorofil dan adanya β-

karotein (pro vitamin-A) pada wortel yang menghasilkan warna kuning.

Warna sesudah direbus

Hasil uji warna setelah perebusan mi kering berkisar antara 2,91-3,77. Tabel 2 menunjukkan bahwa uji warna tertinggi setelah perebusan pada mi yaitu 3,77 dihasilkan pada perlakuan A1B3 dengan warna hijau muda. Warna setelah perebusan paling rendah yaitu 2,91 dihasilkan pada perlakuan A1B1 dengan warna hijau pudar. Hal ini sesuai dengan penelitian Rara et. al. (2019) yang menyatakan bahwa tidak ada pengaruh terhadap organoleptik warna mi basah

dengan berbagai penambahan sari bayam pada masing-masing perlakuan, sehingga warna yang dihasilkan pada setiap perlakuan tidak berbeda nyata.

Hasil penelitian Widatmoko dan Estiasih (2015), menyatakan mi kering kontrol yang beredar tingkat warnanya lebih disukai dari pada hasil penelitian sendiri yaitu mi kering ubi jalar ungu. Hal ini dikarenakan bahan pangan yang berwarna lebih gelap, sehingga produk yang dihasilkan memiliki warna gelap dan kurang diminati oleh panelis. Karena kebanyakan mi yang beredar dipasaran biasanya berwarna cerah.

Tabel 2. Hasil uji organoleptik mi kering Perlakuan

Analisis sensorik

Warna kering Warna rebus Aroma talas Tekstur kenyal

Kesukaan keseluruhan

A1B1 3.63b 2.91a 2.71a 2.45a 2.94a

A1B2 3.65b 3.01a 2.61a 2.55a 2.56a

A1B3 3.61ab 3.77a 3.19a 2.07a 2.31a

A2B1 2.83a 3.19a 2.97a 2.31a 2.59a

A2B2 2.96ab 3.20a 2.90a 2.33a 2.51a

A2B3 3.30ab 3.74a 2.99a 2.39a 2.93a

A3B1 2.87ab 3.33a 2.98a 2.10a 2.61a

A3B2 3.31ab 3.29a 2.73a 2.65a 2.17a

A3B3 3.00ab 3.14a 3.09a 2.58a 2.65a

Keterangan: Purata yang disertai huruf berbeda menyatakan beda nyata dengan uji Tukey 5%.

Aroma Talas

Tepung talas memiliki aroma yang khas (berbau agak apek) (Lestari &

Susilawati, 2015). Hasil uji aroma talas mi kering daun katuk berkisar antara 2,61- 3,19. Tabel 2 menunjukkan bahwa aroma talas tertinggi pada mi yaitu 3,19 dihasilkan pada perlakuan A1B3 dengan aroma sangat khas. Aroma talas paling rendah yaitu 2,61 dihasilkan pada perlakuan A1B2 dengan aroma talas sedikit khas. Penelitian Widiyawati dan Komariah (2020) menyatakan aroma talas cukup kuat saat mi belum direbus. Namun, ketika mi telah direbus maka aroma talas tersamarkan

menjadi aroma khas tepung. Penelitian Rara et. al. (2019) menyatakan bahwa tidak ada pengaruh mengenai daya terima kesukaan panelis dari perlakuan (tepung talas dan tepung terigu) terhadap aroma mi basah. Panelis cenderung kurang mampu menerima aroma mi basah dengan tingginya penambahan tepung talas karena tajamnya aroma. Hal ini dikarenakan tepung talas memiliki aroma apek.

Kekenyalan

Hasil uji kekenyalan mi kering berkisar antara 2,07-2,65. Tabel 2 menunjukkan bahwa kekenyalan tertinggi pada mi yaitu 2,65 dihasilkan pada

(7)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

46 perlakuan A3B2 dengan tingkat kekenyalan

cukup kenyal. Kekenyalan paling rendah yaitu 2,07 dihasilkan pada perlakuan A1B3 dengan tingkat kekenyalan sedikit kenyal.

Kekenyalan mi dipengaruhi oleh jenis tepung dan komposisi tepung yang digunakan. Penelitian Lestari dan Susilawati (2015) menyatakan skor kekenyalan mi tertinggi adalah perlakuan pergantian tepung talas beneng 5% yaitu dengan skor 5,76 (sedikit suka sampai suka). Formulasi dengan keberadaan talas yang lebih tinggi memiliki kekenyalan terbaik. Hal ini disebabkan kandungan amilosa talas lebih tinggi dari terigu (Achmadi, 2019).

Kesukaan Keseluruhan

Tingkat kesukaan dinilai secara numerik melalui parameter yang terdapat dalam bahan pangan cita rasa (bau, rasa dan rangsangan mulut) dimana komponen tersebut sangat penting dalam meninggalkan kesan setelah keseluruhan (Widiyawati & Komariah, 2020). Hasil uji kesukaan mi kering berkisar antara 2,17- 2,94. Tabel 2 menunjukkan bahwa kesukaan keseluruhan tertinggi pada mi yaitu 2,94 dihasilkan pada perlakuan A1B1 dengan tingkat kesukaan cukup suka.

Kesukaan keseluruhan paling rendah yaitu 2,17 dihasilkan pada perlakuan A3B2.

KESIMPULAN

Hasil penelitian ini menunjukkan formulasi yang paling optimum sesuai tujuan penelitian adalah formulasi A3B2 (perbandingan tepung talas: tepung terigu 70:30 dengan ekstrak daun katuk sebesar 20%). Formulasi ini menghasilkan mi kering yang memiliki kadar serat kasar sebesar 4,49%. Karakteristik kimia dan organoleptik lain dari mi kering dengan formulasi ini yaitu kadar air 8,73%, kadar abu 2,56%, protein 7,67%, aktivitas

antioksidan 13,11%, warna mi kering 3,31 (hijau gelap), warna mi rebus 3,29 (hijau agak gelap), aroma talas 2,73 (cukup beraroma talas), kekenyalan 2,65 (cukup kenyal) dan kesukaan keseluruhan 2,17 (cukup disukai).

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, S. (2019). Pengaruh perbandingan tepung terigu dengan tepung talas (Colocasia esculenta L.) dan konsentrasi puree wortel (Daucus carota L.) terhadap karakteristik makaroni. Universitas Pasundan.

AOAC. (1995). Official methods of analysis. Manhattan: AOAC

Astawan, M. (2008). Membuat mie dan bihun. Jakarta: Penebar Swadaya.

Aviana, T., & Loebis, E. H. (2017).

Pengaruh Proses reduksi kandungan kalsium oksalat pada tepung talas dan produk olahannya. Warta Industri Hasil Pertanian, 34(1), 36.

Biyumna, U. L., Windrati, W. S., &

Diniyah, N. (2017). Karakteristik mie kering terbuat dari tepung sukun (Artocarpus altilis) dan penambahan telur. Jurnal Agroteknologi, 11(1), 23.

BSN. (1996). Mi kering SNI 01-2974-1996.

Jakarta: BSN

Djapiala, F.Y. (2014). Kandungan total fenol dalam rumput laut Cauleipsa racemosa yang berpotensi sebagai antioksidan. IPB Bogor

Fauzia, N. E. (2017). Pengaruh waktu fermentasi terhadap kandungan pati, serat kasar, dan lemak pada umbi talas kimpul (Xanthosoma sagitifolium) termodifikasi. Universitas Gadjah Mada.

Gumilang, R., Susilo, B., & Yulianingsih, R. (2016). Uji karakteristik mi instan berbahan-baku tepung terigu dengan substitusi tepung talas (Colocasia

(8)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

47 esculenta (L.) Schott). Jurnal

Bioproses Komoditas Tropis, 3(2), 53–

63.

Gunaivi, R. M., Lubis, Y. M., & Aisyah, Y.

(2018). Pembuatan mie kering dari tepung talas (Xanthosoma sagittifolium) dengan penambahan karagenan dan telur. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah 3(1), 388–400.

Halwan, C. A., & Nisa, F. C. (2015).

Pembuatan mie kering gembili dan bekatul (kajian proporsi terigu: gembili dan penambahan bekatul). Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 3(4), 1548–

1559.

Kurniawati, I., Fitriyya, M., & Wijayanti.

(2018). Karakteristik tepung daun kelor dengan metoda pengeringan sinar matahari. Prosiding Seminar Nasional UNIMUS, 1(1), 238–243.

Lestari, S., & Susilawati, P. N. (2015). Uji Organoleptik mi basah berbahan dasar tepung talas beneng (Xantoshoma undipes) untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan lokal Banten.

Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversity Indononesia, 1(4), 941–946.

Mutiara, E., Adhikahriani, & Wahidah, S.

(2012). Pengembangan formula biskuit daun katuk untuk meningkatkan produksi ASI. Universitas Negeri Medan

Proklamasiningsih, E., Budisantoso, I., &

Maula, I. (2019). Pertumbuhan dan kandungan polifenol tanaman katuk (Sauropus androgynus L. Merr) pada media tanam dengan pemberian asam humat. Al-Kauniyah: Journal of Biology, 12(1), 96-102.

Purwantoro, A. R. I. (2018). Kata kunci : mie segar, daun katuk, daun bayam,

pewarna alami. Jurnal Teknologi Pertanian, 4(1994), 193–208.

Rahayu, D. (2016). Penambaham tepung daun kelor dalam pembuatan mie sebagai sumber gizi dengan penambahan ekstrak umbi wortel sebagai pengawet alami. Universitas Muhammadiyah Surakarta

Rara, M. R., Koapaha, T., & Rawung, D.

(2019). Sifat fisik dan organoleptik mie dari tepung talas (Colocasia esculenta) dan terigu dengan penambahan sari bayam merah (Amaranthus blitum).

Jurnal Teknologi Pertanian, 10(2), 102–113.

Sari, D.K., Marliyati, S.A., Kustiyah, L., Khomsan, A., & Gantohe, T.M.

(2014). Uji organoleptik formulasi biskuit fungsional berbasis tepung ikan gabus (Ophiocephalus striatus).

Agritech, 34(2), 120-125

Setiyoko, A., Nugraeni, & Hartutik, S.

(2018). Karakteristik mie basah dengan substitusi tepung bengkuang termodifikasi heat mositure treatment (HMT). Jurnal Teknologi Pertanian Andalas, 22(2), 102–111.

Sudarmadji, S., Haryono, B., & Suhardi.

(2010). Prosedur analisis untuk bahan makanan dan pertanian. Yogyakarta:

Liberty

Widatmoko, R. B., & Estiasih, T. (2015).

Physicochemical and organoleptical characteristics of purple sweet potato flour based dry noodle at various level of gluten. Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 3(4), 1386–1392.

Widiyawati, E., & Komariah, K. (2020).

Eksplorasi formula dan uji kesukaan mie lidi talas dengan menggunakan substitusi tepung talas. Jurnal Aplikasi Teknologi Pangan, 9(2), 57–62.

Winarno, F.G. (2008). Kimia pangan dan gizi. Jakarta: Gramedia

(9)

JITIPARI Vol. 8 No. 1, Februari 2023: 40-48

48 Witono, J. R., Kumalaputri, A. J., &

Lukmana, H. S. (2012). Optimasi rasio tepung terigu, tepung pisang, dan tepung ubi jalar, serta konsentrasi zat aditif pada pembuatan mie. Universitas Katolik Parahayangan

Zuhra, C. F., Tarigan, J. B., & Sihotang, H.

(2008). Aktivitas antioksidan senyawa flavonoid dari daun katuk (Sauropus androgunus (L) Merr.). Jurnal Biologi Sumatera, 3(1), 10–13.

Referensi

Dokumen terkait

Parameter yang dianalisa adalah kadar air, kadar abu, kadar oksalat, daya serap air dan minyak pada tepung komposit sedangkan pada mi instan dari rasio tepung talas, pati talas, dan

SUBSTITUSI TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L) Merr) TERHADAP ELONGASI DAN DAYA TERIMA MIE BASAH.. Karya Tulis Ilmiah ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Menempuh

Dari analisa sensori diperoleh mi millet kering yang terbaik adalah F1 (tepung terigu 80% : tepung millet 20%). Sedangkan untuk hasil proksimat dan tekstur dianalisa dengan

Dari Tabel 4.8 ditunjukkan bahwa penggunaan tepung umbi suweg sebagai substitusi terigu dalam pembuatan mi kering memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap

Pembuatan mi kering dengan formulasi tepung komposit terigu, MOCAF dan rumput laut dilakukan sebagai upaya diversifikasi pangan untuk mengoptimalkan komoditi lokal. Mi kering

Tujuan penelitian ini guna mengetahui pengaruh penggunaan tepung sukun dengan prosentase tepung terigu dan tepung sukun yang tepat dalam pembuatan mi kering yang

tepung terigu untuk pembuatan mi harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya.. mi menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu

Parameter yang dianalisa adalah kadar air, kadar abu, kadar oksalat, daya serap air dan minyak pada tepung komposit sedangkan pada mi instan dari rasio tepung talas, pati talas, dan