PELAKSANAAN HAK-HAK ISTRI YANG DITALAQ OLEH SUAMI (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec.Tarumajaya kab. Bekasi)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
TEDY RAMADHAN
NIM: 105043101313
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ” PELAKSANAAN HAK-HAK ISTRI YANG DITALAQ OLEH SUAMI (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec.Tarumajaya kab. Bekasi)”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi
Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Hukum. Ciputat, 15 Juni 2010
Mengesahkan Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. ( ... ) NIP: 195703121985031003
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ... ) NIP: 196511191998031002
3. Pembimbing I : Dr. Euis Nurlaelawati, MA ( ...) NIP: 197007041996032002
4. Pembimbing II :Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( ... ) NIP: 197302151999031002
5. Penguji I :Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. ( ... )
”Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya Kab. Bekasi ” Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:
Tedy Ramadhan NIM: 105043101313
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Euis Nurlaelawati, MA Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP: 197007041996032002 NIP: 196511191998031002
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh Suami (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya Kab, Bekasi)” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi dan melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI).
Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang sangat bermanfaat bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Ibu Dr.Euis Nurlaelawati,MA dan Bapak Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag
selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini.
ii
Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keihlasan mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.
4. Bapak Irpan Dadi, selaku Kepala Desa Pusaka Rakyat, warga masyarakat di Desa Pusaka Rakyat, yang telah membantu dalam pemenuhan data penelitian yang penulis lakukan.
5. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.
6. Ayahanda dan Ibunda, Bapak H.Nabri Eka Putra, dan Ibu Hj.Armaysah, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amin.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Ciputat, 18 Maret 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 7
D. Metode Penelitian 7
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu 9
F. Sistematika Penulisan 10
BAB II MACAM-MACAM HAK YANG DITERIMA OLEH ISTRI
YANG DITALAQ
A. Hak Istri yang Ditalaq 12 B. Pengertian dan Dasar Hukum Iddah 20 C. Macam-Macam dan Hikmah Disyariatkannya
Iddah 26
D. Nafkah Iddah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia 35
iii A. Profil Desa Pusaka Rakyat 38
B. Eksistensi Desa Pusaka Rakyat 41
C. Pemahaman Masyarakat Tentang Keagamaan dan
Hukum Keluarga 45
BAB IV PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH PASCA CERAI (TALAQ) DI DESA PUSAKA RAKYAT
A. Pelaksanaan Nafkah Iddah Paska Cerai 52 B. Alasan Suami Tidak Melaksanakan Nafkah Iddah 60 C. Respon Hakim Pengadilan Agama Terkait
Nafkah Iddah 63
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 67 B. Saran-Saran 69 DAFTAR PUSTAKA
HK: hak-hak yang dapat dituntut istri di pengadilan agama biasanya adalah nafkah iddah, mut’ah, nafkah, madliyah, biaya anak, harta bersama, serta mahar yang masih terhutang. 2. TR: Bagaiman proses atau cara istri menuntut hak-haknya?
HK: Ada tiga cara bagi istri untuk menuntut setelah perceraian, yaiti, dengan melalui gugatan berdiri sendiri, kumulatif dan rekopensi.
3. TR: bagaiman pelaksanaan hak-hak istri yang ditalaq di pengadilan agama bekasi?
HK: Pelaksanaan putusan pemenuhan hak-hak istri yang ditalaq di pengadilan agama biasanya lansung di depan majlis hakim setelah ikrar talaq diucapkan, atau dengan menunda ikrar talaq selama enam bulan agar suami dapat memenuhi kewajibanya.
4. TR: Apabila selam enam bulan suami tidak memenuhi hak-hak istri apa yang dilakukan pengadilan?
HK: Apabila suami dalam enam tidak memenuhi hak-hak istri, dan suami tetap ingin melaksanaan ikrar talaq, maka ikrar talaq tetap diucapkan tetapi pengadilan agama akan memberikan suatu kebijakan untuk melindungi hak-hak istri yaitu dengan menahan akte cerai serta akta nikah, masalah seperti ini sangat sering terjadi di pengadialn agama bekasi, biasanya mengenai pemberian nafkah iddah, mut’ah, dll.
5. TR: Apa hukuman bagi suami yang tidak melasanakan nafkah iddah yang diputuskan oleh pengadilan?
A. Latar Belakang Masalah
Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diharapkan oleh agama Islam. Akad nikah diucapkan untuk selamanya, sampai meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung menikmati naungan kasih sayang dan dapat memeliharanya dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu ikatan suami istri merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh dan tidak ada sesuatu yang paling jelas mengenai sifat kesucianya yang paling agung, selain dari apa yang Allah sendiri namakan yaitu ikatan perjanjian antara suami dengan “mitsaqan ghalizan” (perjanjian yang kokoh).1
Dapat dipahami dalam menjalani hidup “berumah tangga” tidak hanya didapati hal-hal yang menyenangkan tetapi akan didapati juga hal-hal yang tidak disukai, seperti tuntutan istri terhadap suami yang terlalu tinggi atau tuntutan suami terhadap istri yang tidak terpenuhi. Demikian pula keakraban suami istri bisa saja semakin lama semakin merenggang. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran dan akhirnya akan menimbulkan perceraian, apabila pasangan tidak saling menyadari dan memaklumi kekurangan pasangan mereka.
1
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih munakahat I1, ( Bandung:Pustaka Setia 1996), cet 2, h. 9.
Problematika-problematika seperti ini sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga, jika keduanya tidak memiliki dasar agama yang kuat. Oleh karena itu umat Islam diwajibkan membekali dirinya dengan agama untuk menghadapi problematika ini. Suami istri harus saling memahami satu sama lainya, karena pada dasarnya tujuan berumah tangga adalah untuk menciptakan suasana tentram dan damai, bukan menjadikan rumah tangga sebagai ajang mencari kesalahan dan kelemahan pasangan serta perbedaan.
Jika perceraian sudah tidak dapat dielakan lagi, karena salah satu pasangan suami istri mencelakakan yang lain, penyebab perceraian harus dilihat dulu persoalanya. Jika di sini yang bersalah adalah pihak suami, ia wajib memberikan mut’ah dengan cara yang ma’ruf, tetapi apabila dari pihak istri yang bersalah maka istri tidak berhak mendapatkan mut’ah atau yang lainya.2
Jika terjadi perceraian khususnya perceraian talaq maka suami tidak membiarkan istri begitu saja melainkan harus memberi nafkah dan tempat tinggal kepada mantan istrinya, sebab terjadinya talaq bukan melepaskan kewajiban memberikan nafkah, melainkan hanya terlepas dari hubungan seksualnya saja, berlangsung selama masa iddah belum habis walaupun suami istri saling berpisah.
Menurut hukum Islam kewajiban memberikan nafkah kepada mantan istri dinyatakan bahwa suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalaq selama dalam masa iddah dan tidak boleh keluar atau pindah ke tempat lain kecuali
2Al-Tahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
mereka bersikap yang tidak baik, dan ketika suami mentalak istri, hendaklah si istri dalam keadaan suci, karena menjatuhkan talaq dalam keadaan haid atau dalam keadaan tidak suci, atau telah dijima (disetubuhi) sebelumnya maka hukumnya haram (dilarang). 3
Pada saat setelah perceraian atau masa iddah telah berlangsung kedua belah pihak yang telah bercerai, masing-masing tetap mempunyai hak dan kewajiban. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan.
Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian ketika suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal tempat tinggal yang layak pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan kewajiban suami tersebut, Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 meyebutkan “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah.4
Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama sekaligus gugatan nafkah iddah, ini yang disebut dengan fasakh. Gugatan tersebut dapat diajukan bersama-sama sewaktu istri
3
Amiur Nuruddin dan Akmal Taringan, Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:Kencana 2006), h. 154.
4
mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya jika perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadikan suami tidak wajib menunaikan hak istri. Dan bila telah ada kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri).
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah perceraian umumnya dan nafkah iddah khususnya. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas para pencari kedilan dalam hal para mantan istri yang harus agresif mengadukan permasalahannya ke Pengadilan Agama, bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum tentang perkara yang mereka alami. Namum pengajuan tersebut harus tetap di laksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang yang berlaku.
Apabila istri tidak mendapatkan hak-hak yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada mantan suaminya ke pengadilan agama di tempat melangsungkan perceraian.
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis melihat fenomena tersebut terjadi di daerah Pusaka Rakyat Kab. Bekasi, tempat penulis tinggal. Di daerah ini, terdapat banyak kasus di mana istri yang ditalaq oleh suaminya tidak mendapatkan hak-hak semestinya dari mantan suaminya sebagaimana yang diatur dalam hukum Islam maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Hal itu karena adanya kesewenang-wenangan dari suami dalam menceraikan istri, yang disebabkan oleh berbagai hal misalnya, hanya karena tertarik dengan wanita lain, tidak adanya tanggung jawab suami terhadap istri. Dengan demikian maka perekenomian tersendat-sendat karena tidak adanya biaya yang menopang kehidupan istri dan anak, maka terkesan para istri yang ditalaq atau janda mudah sekali di ajak oleh laki-laki lain yang jelas bukan suaminya.
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dan untuk meneliti fenomena di atas maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh Suami” (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kab.Bekasi).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
pembahasan terlalu luas penulis akan membatasi permasalahan pada pelaksanaan hak istri yang ditalaq terkait dengan pemberian nafkah iddah.
Adapun pembatasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktek pelaksanaan nafkah iddah di desa Pusaka Rakyat ? 2. Apa alasan suami tidak melaksanakan nafkah iddah ?
3. Bagaimana respon hakim terkait pelaksanaan nafkah iddah ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Praktek pelaksanaan nafkah iddah di desa Pusaka Rakyat
2. Alasan suami tidak dilaksanakan nafkah iddah 3. Respon hakim terkait pelaksanaan nafkah iddah.
Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain adalah untuk mengetahui sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah ini. 2. Bagi prodi perbandingan mazhab fiqih, hasil penelitian ini dapat menambah
khazanah pemikiran dibidang perkawinan.
3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini dapat menambah pembendaharaan koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiyah.
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data. Data yang diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, di samping itu metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai satu tujuan, sehingga hasil penelitian ini untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat serta obyektif, peneliti melakukan penggabbungan antara dua macam pendekatan yaitu;
a. Field Research
Field dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti padang, medan, daerah, sedangkan research adalah pemeriksaan penyelidikkan, field research juga diartikan sebagai penelitian lapangan, jenis penelitian ini biasanya digunakan dalam penelitian yang digunakan pendekatan kualitatif, meskipun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian lapangan ini teknik pengumpulan data dapat ditempuh dengan menggunakan teknik angket, wawancara atau observasi.
b. Library Research
2. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:
a. Wawancara (interview), adalah dialog yang dilakukan pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara, pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah responden keseluruhan, karena ada sebagian pertanyaan dalam angket yang bersifat terbuka.
b. Kepustakaan, yaitu pengumpulan data dari beberapa literarture yang ada kaitanya dengan penelitian ini, literatur ini berupa buku, internet,surat kabar, buletin dan lain sebagainya, langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan cara membaca, mengutip,menganalisa dan merangkum, yang diperlukan. 3. Jenis dan Alat Pengumpulan Data
Kemudian untuk melengkapi data penelitian ini, selain data primer, peneliti juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari buku, dan skripsi-skripsi terdahulu. Yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teoritis. 4. Analisa Data
Setelah memperoleh data, baik yang diperoleh melalui metode pustaka maupun melalui metode wawancara, data-data tersebut kemudian dikumpulkan, diolah, dianalisa, dan diinterprestasikan untuk dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan.
Data yang diperoleh, dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan-tulisan yang didapat melalui internet kemudian diklasifikasi untuk dimasukkan ke masing-masing variabel dan kemudian diinterprestasikan. Begitu pula data yang diperoleh dari hasil lapangan untuk setiap jawaban akan dianalisa.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
bagaimana alasan suami yang memberikan nafkah secara sengaja atau tidak ia juga meneliti eksisistensi pengadilan agama dengan cara sistem pembayaran nafkah iddah.
Dengan melihat dari review studi terdahulu di atas, yang membedakan antara skripsi di atas dengan skripsi penulis, adalah, bahwa penulis membahas tentang hak-hak apa yang berhak-hak diterima oleh istri yang ditalaq, dan bagaimana pelaksanaannya di dalam kehidupan masyarakat dan respon hakim pengadilan terkait dengan masalah nafkah iddah. Karena itulah dari aspek pembahasannya berbeda dengan pembahasan dari skripsi Faisal Rachman.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Pada bab ini penulis memaparkan Pendahuluan, latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, metode penelitian dan tujuanya, tinjauan review (kajian terdahulu) dan sistematika panulisan.
BAB II Pada bab ini penulis membahas tentang landasan teori yang mencakup macam-macam hak istri yang ditalaq, dan tentang pengertian nafkah, dan dasar hukum iddah, macam-macam hikmah disyariatkanya iddah, dan aturan-aturan terkait nafkah iddah.
Rakyat, eksistensi Desa Pusaka Rakyat, pemahaman masyarakat tentang agama dan hukum keluarga.
BAB IV Pada bab ini penulis membahas hasil penelitian yaitu terkait dengan pelaksanaan nafkah iddah pasca cerai yang terdiri dari : Hak-hak apa yang diberikan oleh suami terhadap istri yang ditalaq, pelaksanaan nafkah iddah pasca cerai, alasan suami tidak melaksanakan nafkah iddah, dan respon pengadilan agama terkait nafkah iddah.
MACAM-MACAM HAK YANG DITERIMA OLEH ISTRI YANG DITALAQ
A. Hak-Hak Istri Yang Ditalaq
Rumah tangga adalah tempat bernaungnya seluruh anggota keluarga dan
tempat saling bertukar kasih sayang di antara sesama anggota keluarga, terutama
antara suami dengan istri. Di dalam keluarga terjadi sebuah ikatan batin yang kuat
baik itu antara suami dengan istri maupun antara anak dengan orang tua. Itulah
sebabnya jika terjadi perceraian di dalam sebuah keluarga maka bukan berarti pihak
yang satu dengan yang lain benar-benar terputus ikatannya.
Ikatan antara anak dengan orang tua tetap ada karena tidak ada istilah bekas/mantan
anak atau mantan bapak, berbeda dengan hubungan suami istri ikatan mereka
memang terputus, namun selama sang istri masih menjalani masa iddah karena
perceraian tersebut, suami masih memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah
secara lahir, berikut macam-macam hak yang diperoleh istri yang ditalaq oleh suami.
1. Mut’ah (Pemberian)
Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada istri sewaktu suami menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu terjadi
karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu kehendak istri mut’ah
(pemeberian) itu tidak wajib. Banyaknya pemberian itu menurut keridhoan keduanya
dengan mempertimbangkan keadaan kedua suami istri. Akan tetapi, sebaiknya
☺
☺
⌧
☺
☺
Artinya; “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Baqarah:237).
Berdasarkan ayat di atas mengenai masalah mut’ah istri yang belum dijima imam syafi’i berpendapat bahwa istri yang belum dijima mendapatkan sepedua
mahar, sekalipun sudah khalwat. 1Secara detail jumlah mut’ah kepada wanita yang pernah disetubuhi lebih banyak dari pada yang belum sempat disetubuhi adalah
karena hal itu sudah ketentuan al-Quran. Di samping itu, beban dan permasalahan
yang harus di hadapi wanita yang diceraikan dalam status pertama untuk bisa
membina kembali kehidupan rumah tangga, jelas lebih berat dari pada wanita yang
belum sempat dijima. Itulah menurut al-Quran, namun kebiasaan yang berlaku di
1
pengadilan agama tidaklah demikian. Wanita-wanita yang ditalaq tidak mendapatkan
mut’ah sama sekali apapun motif talaqnya. Kadang-kadang, langkah yang ditempuh oleh pengadilan agama hanyalah berorentasi pada beberapa fuqaha yang mengatakan
bahwa nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, yang diberikan kepada wanita yang
ditalaq selama dia menjalani masa iddah, sudah merupakan mut’ah yang mencukupi.2
2. Hadanah ( Hak Mendidik dan Merawat )
Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Istilah hadanah Secara etimologis berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Sedangkan Secara
terminologis, hadanah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya, karena mereka belum memenuhi kebutuhannya sendiri.
Yang dimaksud dengan mendidik di sini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur
segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.3
Apabila seorang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak
yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang mengatur semuanya hingga ia mengerti akan kemashlahatannya. Dalam waktu itu si
anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang
lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib
dipikul oleh ayah anak tersebut.
2
At-Tahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta Pustaka firdaus 1992 ), h. 120.
3
Dalam sebuah riwayat hadits Rasullah SAW bersabda:
ا
ﺪ
ﷲاﺪ
ﺮ
:
نا
ةاﺮ ا
ﺎ
ﺎ
لﻮ ر
ﷲا
نا
ا
اﺬه
نﺎآ
ءﺎ و
ﺪﺛو
ءﺎ
يﺮ و
ءاﻮ
ناو
ﺎ ا
داراو
نا
ﺰ
,
لﺎ
ﺎﻬ
لﻮ ر
ﷲا
و
"
ا
ا
ﺎ
ﻜ
)
دواد
ﻮ ا
اور
(
4Artinya: Dari Abi Jaddah Abdullah Bin Umar, bahwa seorang perempuan datang kepada nabi dan berkata: ya Rasullah, anakku ini dulu berada dalam kandunganku dan menghisap payudaraku sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan dia ingin mengambil anak ini dariku bagaimana ya Rasullah? Kemudian Rasullah bersabda: engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum menikah dengan orang lain”. ( HR. Abu Daud)
Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh seorang yang
berwajib, siapakah diantara keduanya ( ibu atau bapak) yang lebih berhak dan pandai
untuk mendidik anak itu hendaklah diserahkan kepada yang lebih baik untuk
mangatur kemaslahatan anak itu. Hadis di atas menunjukan bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya jika diceraikan oleh ayahnya, dan sang ibu belum
menikah lagi. Tapi, jika ia telah menikah maka hak mengasuh anaknya telah gugur.
Adapun urutan hak asuh anak Didahulukan seorang ibu untuk mengasuh anaknya,
karena sang ibu biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap bayi yang
dilahirkanya5
4Abi Daud Sulaiman Bin Asy’ats Al-Sajistani, Sunan Abi Daud, (Beirut:Daar Al-Fikr 2005),
h. 425.
5 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk
Apabila hak asuh seorang ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak
dipindahkan kepada ibunya istri atau nenek dari anak tersebut. Karena, nenek adalah
keluarga yang terdekat setelah ibu. selain itu, seorang nenek juga mempunyai setatus
sama seperti ibunya. Ia akan lebih menjaga dan menyangi anak yang diasuhnya
dibanding yang lain.6
Undang-Undang Perkawinan, pada saat itu belum mengatur secara khusus
tentang aturan penguasaan anak. Bahkan PP No. 9 tahun 1987 tidak menjelaskan
secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih
merujuk pada kitab-kitab fiqih. Setelah diberlakukannya UU No. 7 tahun 1989
tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan agama diberi wewenang untuk memeriksa dan
menyelesaikannya.7
Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan
telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut telah dirangkai dengan akibat
putusnya sebuah perkawinan. Di dalam pasal 41 dinyatakan bahwa sebuah
perkawinan putus karena terjadinya perceraian, maka akibatnya adalah:
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya,
semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai
pengusaan anak pengadilan memberikan keputusannya, oleh karena itu bapak yang
bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharan dan pendidikan yang diperlukan
6
Ibid. h. 750.
7
oleh anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.8
Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam di dalam pasal-pasalnya digunakan
istilah pemeliharaan anak yang dimuat di dalam Bab XIV pasal 98-106, bahwa batas
usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak
tersebut tidak cacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan
pernikahannya.
Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar pengadilan. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang
kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu. Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya terdapat di dalam pasal 105, bahwa
Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum umur 12 (dua belas) adalah hak ibunya. Dan masalah Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak itu untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaannya. Adapun masalah dalam Biaya pemeliharaan anak di tanggung oleh
ayah.
Pasal-pasal kompilasi Hukum Islam, tentang hadanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Lebih dari itu, Kompilasi Hukum Islam malah membagi tugas-tugas yang
harus diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum
mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya.9
Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 ( dua belas) tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya,
sedangkan apabila anak itu sudah mumayyiz anak itu dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharanya.
3.Nafkah Iddah
Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena
ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang
harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah
Allah yang dibebankan kepada mantan istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang
yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi
ketaatan kepadannya. Sedangkan menurut hukum Islam kewajiban memberikan
nafkah kepada mantan istrinya yang ditalaq ditegaskan dalam al-Quran surat ath-Thalaq ayat 1 yang berbunyi:
9
Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertawakallah kepada Allah. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalu mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu akan mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 1)
Mencermati ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat yaitu:
(1) Bahwa mentalaq istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum
dicampuri, ini berarti talaq sunni. Sedangkan menjatuhkan talaq dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya dilarang atau haram.
(2) Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalaq, selama mereka masih dalam iddah dan tidak boleh mereka keluar atau pindah ke tempat lain kecuali mereka bersikap yang tidak baik.
(3) Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi.
(4) Talaq boleh dilakukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang
tidak aman.
Nafkah merupakan suatu kewajiban seorang suami terhadap istri, di mana
telah mewajibkan hal itu melalui fiman Allah SWT dalam surat an-Nisa Ayat 5 yang
berbunyi:
⌧
☺
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”(Q.S An-Nisa:5).
Sedangkan al-Quran menyebutkan tanggung jawab nafkah dalam kasus peceraian
itu sebagai firman Allah SWT sebagai berikut:
☺
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Talaq:7)
Tanggung jawab nafkah suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi sah,
tetapi suami pun tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian. Ada
meyengsarakan hidupnya selama masa iddahnya. Setelah menjatuhkan talaq satu, hal ini sangat terlarang. Suami harus menafkahinya sebagaimana yang disediakan
untuk dirinya sendiri, sama dengan ketika istri masih hidup denganya.10
A. Pengertian dan Dasar Hukum Iddah
Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa iddah berasal dari kata دﺪ yang mempunyai arti bilangan atau hitungan. Dalam Kamus Indonesia Arab karangan A.W. Munawir Muhammad Fairuz, bahwa kata iddah berasal dari kata ﺪ yang berarti menghitung.11
Sebagian ulama mendefinisikan iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati dan diceraikan oleh suaminya, dan sebelum
habis masa iddahnya dilarang untuk menikah lagi. Karena bagi istri yang putus
hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau karena ditinggal
mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah
iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk
melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadanya.
10Abdur Rahman I. do, Perkawinan Dalam Syariat Islam, ( Jakarta:PT Rineka Cipta) h. 124. 11A.W. Munawwir Muhammad Fairuz, Kamus Indonesia Arab, (Surabaya:Pustaka Progresif,
Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita.12Sedangkan
Para ulama lainnya, telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan antara lain:
ا
ةﺪ
ا
ﺮﻈ
ﺎﻬ
ﺮ ا
ةا
و
وﺰ ا
ﺪ
ةﺎ و
وز
ﺮ و
ا
ﺎﻬ
13Artinya: ”Nama bagi sesuatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suami atau bercerai dengan suami”.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak ia berpisah. Baik
disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia. Dalam masa
iddah ini wanita (istri) tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sebelum habis masanya. Berdasarkan beberapa definisi di atas bahwa iddah mempunyai beberapa unsur yaitu :
1. Suatu tenggang waktu tertentu
2. Wajib dijalani si mantan istri
3. Alasan yang mendasarinya karena ditinggal mati atau diceraikan oleh
suami.
4. Larangan untuk melakukan perkawinan selama masa iddah
Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim
Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa iddah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak
12
Chuzaimah T. Yanggo dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:PT.Pustaka Firdaus, 1994), cet 1, h. 49.
13
melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain setelah perceraian. Dalam rangka
membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu.
Jadi iddah merupakan kewajiban pihak istri untuk menghitung hari-hari suci dan masa bersih para istri, karena merupakan penentu untuk masa lamanya
menunggu dan tidak boleh menikah selama masa tersebut yang disebabkan oleh
kematian suami atau perceraian.14
Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang merupakan
peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita
ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi
waktu tunggu iddah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas.
Menurut H. Arso Sastroadmojo dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa iddah adalah tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh menikah bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan
untuk menentukan nasab dari kandungannya bila ia dalam keadaan hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami meninggal dunia serta untuk menentukan masa
rujuk bagi suami bila talaq itu berupa talaq raj’i.15
Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit oleh pasal-pasal yang
berhubungan dengan masalah iddah itu sendiri yaitu pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun1975. dengan demikian
14
Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 62.
15
pengertian iddah adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talaq. Selama masa iddah mantan suami masih memperoleh kesempatan untuk rujuk kembali kepada mantan istrinya. Atas dasar inilah si istri diwajibkan untuk menjalani
masa iddah dan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain.16
Setelah membahas pengertian iddah, maka di bawah ini penulis akan membahas dasar-dasar hukum iddah yang mengacu pada hukum naqli guna memperjelas tentang permasalahan iddah.
Dasar hukum iddah dapat kita lihat di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
☺
☺
☺
☯
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami
16
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. al-Baqarah, Ayat: 228) 17
Sedangkan dasar hukum iddah di dalam Hadits dari Bukhari yang berbunyi:
أ
دﻮ
ﻷا
،يرﺎ
:
ا
ﻰ
ﷲا
و
لﺎ
:
ا
ﻰ
ﷲا
و
لﺎ
:
ذإ
أ
ا
ﺔ
ﻰ
ها
،
ﻮهو
،ﺎﻬ
ﺎآ
ﺪ
ﺔ
)
اور
يرﺎﺨ ا
(
18Artinya: Dari Abu Mas'ud Al Ansary berkata: Dari Nabi saw. Beliau bersabda "Apabila seseorang muslim menafkahkan harta untuk keperluan keluarga, hanya berharap dapat memperoleh pahala maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah baginya. (HR. Bukhari). Dasar hukum iddah yang tertuang dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus
perkawinan. Berdasarkan pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan ditetapkan waktu tunggu atau iddah sebagai berikut :
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam
Peraturan Pemerintah lebih lanjut.
Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang
mengatur waktu tunggu yang dijelaskan pada bab VII pasal 39. Dalam pasal 153
17
Departemen Agama RI, al- Qur'an Terjemah, (Jakarta: Pelita III, 1991-1992).
18Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Bukhary, Shahih Bukhary, (Bairut:Daar
Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan menentukan waktu tunggu sebagai
berikut :
1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah
kecuali qobla al dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
Demikian pula dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam
tentang perkawinan, mengatur waktu iddah.19
B. Macam-Macam dan Hikmah Disyariatkannya Iddah
Macam-macam iddah atau waktu tunggu menurut perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah memberikan klasifikasi dengan tidak
menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui
bahwa materi dari Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya
merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia
yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam. Sedangkan
secara spesifikasi maka macam-macam iddah itu antara lain ialah :
1. Iddah Perempuan yang Haid
19
Jika perempuannya bisa haid maka iddahnya tiga kali quru'. Sebagaimana firman Allah SWT :
☺
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang berthalaq, hendaklah mereka menahan diri mereka tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah, Ayat: 228)
Dengan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa istri yang diceraikan oleh
suaminya hendaklah ia menahan diri sampai tiga kali suci. Apabila istri tersebut
belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaqnya, maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka ia harus beriddah seperti iddah orang yang disetubuhi, hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :
⌧ ☯
⌧
☺ ☺
☺
☺
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al –Baqarah, Ayat: 234)20
20
Wajib iddah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati mantan suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh As-Sayyid Sabiq bahwa, istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib iddah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal
dunia.21
Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani iddah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila diharikan minimal 90 (sembilan
puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah
No. 9 tahun 1975, ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang
berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90
(sembilan puluh) hari”22
2. Iddah istri yang tidak berhaid
Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya maka iddahnya selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan
yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, walaupun istri sama sekali tidak berhaid.
sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan
pada firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :
☺
21
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah, h. 142.
Artinya: Dan orang-orang yang putus diantara istri-istri kamu, jika kamu ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan orang-orang yang tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah sesudah mereka melahirkan. (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 4)
Sedangkan berdasarkan hukum perdata Indonesia maka istri tersebut harus
menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 39
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai
berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”.23
3. Iddah istri yang telah disetubuhi
Iddah istri yang telah disetubuhi masih haid dan adakalanya tidak berhaid lagi. Masa iddah yang masih haid adalah selama 3 kali quru’ sebaaimana disebutkan dalam firman Allah SWT sebagai berikut :
☺
☺
23
Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia,
☺
☯
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Baqarah, Ayat: 228)
Arti quru’ (ءوﺮ) dalam ayat di atas adalah (ءوﺮ) jamak dari kata (ءﺮ) yang
berarti haid, hal ini dikuatkan oleh As-Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah bahwa kata quru’ hanya digunakan oleh agama yang berarti haid. Sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :
...
....
Artinya: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)... (Q.S. At-Talaq: 1).
Massa iddah untuk istri yang telah disetubuhi tetapi tidak haid maka lama iddah 3 (tiga) bulan atau 90 hari.
Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil iddahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi
sebagai berikut :
⌧
…
Artinya: Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan. (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 4)
Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan
bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang
berbunyi sebagai berikut :
“Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan
hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan”
5. Iddah perempuan yang suaminya meninggal dunia
Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil maka lama iddahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi:
⌧
☯
Namun jika si istri sedang hamil maka ia harus menjalani iddah atau masa tunggu sampai ia melahirkan. Adapun hikmah disyariatkannya iddah bahwa, Suatu keyakinan yang mesti menjadi penggangan umat Islam ialah ajaran agama Islam yang
termuat di dalam al-Quran dan as-Sunah merupakan petunjuk Allah SWT yang harus
menjadi pedoman bagi manusia khusunya kaum Muslimin dan Muslimat demi
keselamtan hidupnya di dunia maupun diakhirat.
Demikian pula halnya dengan masalah iddah yang merupakan suatu syariat
yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka pernah meninggalkan
kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus
karena banyaknya terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya.
6. Iddah wanita hamil dan ditinggal mati
Mengenai hal ini ada perselisihan pendapat. Menurut pendapat emat Imam
mazhab, bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia dalam keadaan
hamil maka iddahnya sampai melahirkan walaupun si suami belum dikubur, sesuai dengan ketentuan Al-Quran yang berbunyi:
⌧
…
Artinya: Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan. (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 4)
Ayat di atas menunjukan bahwa wanita hamil iddahnya sampai ia melahirkan, baik suaminya hidup ataupun sudah meninggal. Sebagian ulama salaf berpendapat
Adapun hikmah disyariatkannya iddah, karena ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk kelompok atau kaum di dalam masyarakat tertentu serta tidak pula
terbatas pada masa tertentu pula. Akan tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah
ditetapkan sebagi pegangan dari semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai
tempat dan waktu pada akhir zaman.25
Para Ulama telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya iddah secara global dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang wanita, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lainya, atau dengan kata agar tidak
terjadi percampuran dan kekacauan nasab.
2) Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berfikir
kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya, ataukah akan
meneruskan niat cerai tersebut jika hal itu dianggap lebih baik.
24
Muhammad Jawad Nughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsan, Terjemahan Masykur A.B. Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, ( Jakarta:Anggota IKAPI 2006), cet. 4, h.471.
25
3) Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri
sama-sama hidup lama dalam ikatan aqadnya.26
Untuk lebih jelas mengenai hikmah disyariatkannya iddah adalah sebagai berikut:
1. Sebagai pembersih rahim
Ketegasan penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat
penting. Oleh karena itu, segala ketentuan untuk menghindari terjadinya kekacauan
nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam al-Qur’an as-Sunah dengan tegas.
Diantara ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk menikah dengan
beberapa pria dalam waktu yang bersamaan. Dan di samping itu untuk
menghilangkan keraguan tentang kesucian rahim wanita tersebut, sehingga pada
nantinya tidak ada lagi keraguan tentang anak yang dikandung oleh wanita itu apabila
ia telah menikah lagi dengan laki-laki lain.27
2. Kesempatan untuk berfikir
Iddah khususnya dalam talaq raj’i merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan bagi perbaikan hubunga suami istri. Dalam masa ini kedua belah
pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah
yang lebih baik. Terutama bila mereka telah mempunyai putra-putri yang
membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang tuanya.
26
As-sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah, hal. 140.
27Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Perkawinan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1987), cet. II, h.
Di samping itu memberikan kesempatan berfikir kembali dengan pikiran yang
jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang
demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus.28 Jika pikiran
mereka jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk istrinya
kembali dan begitu pula si sitri tidak menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali,
sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan kembali.
3. Kesempatan untuk rujuk
Apabila seorang istri ditalaq oleh suaminya, maka masa iddah itu merupakan
masa untuk berfikir bagi suami untuk kembali kepada istrinya. Apabila mantan suami
merasa yakin bahwa ia sanggup melanjutkan rumah tangganya kembali, maka ia
boleh rujuk kepada istrinya pada waktu iddah. Sebaliknya apabila suaminya merasa yakin bahwa ia tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah tangganya kembali,
ia harus melepas istrinya secara baik-baik dan juga tidak meghalangi-halangi mantan
istrinya itu untuk menikah kembali dengan laki-laki lain.
4. Kesempatan untuk berduka cita
Sebagai kelanjutan dari bahasan iddah adalah, khususnya berkaitan dengan istri kematian suami. Di samping dia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, dia juga harus melalui masa berkabung dalam waktu iddah tersebut.
Mengenai untuk siapa dia melakukan ihdad, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihdad hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang meninggal dalam masa perkawinanya dan tidak berlaku untuk yang lainya.
28
Tentang kenapa dia harus berkabung, menjadi bahasan di kalangan ulama. Hal yang
disepakati adalah, bahwa ihdad atau berkabunghanya berlaku terhadap perempuan
yang bercerai dari suaminya karena kematian suami.29
Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau belasungkawa atas meninggalnya suami. Mengenang kebaikan dan keindahan
bersama suami, menzahirkan kesedihan atas kepergian suami, memelihara
kehormatan serta mengelakkan fitnah. Dalam keadaan yang sangat sukar selepas
kepergian suami, wanita memerlukan masa untuk membiasakan dirinya dengan
kehidupan baru yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupan sewaktu dia masih
bersuami. Hikmah lain pula adalah untuk menghormati hak suami, khususnya bila
sang wanita terceraikan karena kematian suaminya. Dalam masa iddah inilah sang wanita menunjukan haknya atas kepergian sang suami.30
Dengan demikian tampak jelas bahwa iddah memiliki berbagai keutamaan
dari berbagai aspek, yang masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat di
pisahkan. Sehubungan dengan itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa:
1) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah dapat
mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan dan
ditetapkan dalam Al-Quran dan As-Sunah.
2) Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim wanita (istri) bersih dan antara
mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali, namun tidaklah dapat
29Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:Prenada Media, 2006), cet. II, h. 320.
30
dibenarkan bagi wanita tersebut (mantan istri) melanggar ketentuan iddah yang sudah di bentukan
3) Begitu juga sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan untuk memperpanjang
iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi mantan suami ataupun bagi mantan istri.
C. Nafkah Iddah Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia
Pembicaraan tentang nafkah dalam buku-buku fiqih disajikan secara
komprehensif sebagai bagian kajian fiqih keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyah). Adanya kelalaian untuk memberikan nafkah sehingga pihak yang wajib dinafkahinya
menjadi terlantar, merupakan permasalahan yang sering terjadi di kalangan
masyarakat Islam. Kenyataan seperti ini sering terjadi, terutama dalam masyarakat
yang kurang pengetahuan tentang bagaimana cara memperoleh haknya setelah
perceraian.31
Sedangkan Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang iddah atupun waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya yang bicara tentang waktu tunggu adalah
pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.
2) Tenggang waktu tersebut ayat (1) akan diatur oleh peraturan pemerintah lebih
lanjut.
31
Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri (pasal 41 UU.
No. 1/1974). Ketentuan ini dimaksudkan agar mantan istri yang telah diceraikan
suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan
hidupnya.
Fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini adalah sepertinya sudah
menjadi hal yang tidak aneh tentang pelaksanaan nafkah iddah yang belum terealisasi dengan baik. Buktinya, kita seperti terbiasa tidak mau melihat berbagai penderitaan
yang menimpa kaum wanita, terutama dalam masalah perkawinan atau masalah
perceraian. Seakan-akan makhluk yang bernama wanita seperti raga tanpa jiwa.
Padahal nash-nash al-Qur’an selalu menekankan agar kita menegakkan keadilan, baik
di kalangan laki-laki ataupun di kalangan wanita. Kita memang banyak mengabaikan
nash-nash al-Qur’an mengenai kewajiban wanita dalam perceraian.
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukan urusan perdata semata,
melainkan ikatan suci (mitsaqan ghaliza) yang terkait keyakinan dan keimanan kepada Allah. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di
tengah jalan, dan apabila terjadi perceraian, yang dimaksud adalah perceraian 1 dan 2
(talaq raj’i) maka istri yang ditalaq mendapatkan hak-hak yang semestinya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
dalam pasal 149 yaitu, jika sebuah perkawinan putus karena talaq, maka suami
“Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan istri selama dalam
iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talaq bain atau nusyuz dan dalam
SEKILAS TENTANG DESA PUSAKA RAKYAT
A. Profil Desa Pusaka Rakyat
1. Sejarah Keberadaan Desa Pusaka Rakyat
Desa Pusaka Rakyat pada awal berdirinya bernama Desa Suka Mulya bersamaan dengan berdirinya Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Agustus 1950, yang bernaung di bawah koordinasi asisten Wedana Kecamatan Cilincing di kampung Marunda Kabupaten Daerah Swatantra tingkat II Bekasi. Desa Pusaka Rakyat, dengan luas wilayah 1.571 Ha. Dengan batas wilayah sebelah utara Desa Segera Makmur dan Kelurahan Cilincing DKI Jakarta, sebelah selatan Desa Gapura Muka, sebelah Barat Kampung Rawa Gatel kelurahan Pegangsaan II DKI Jakarta, dan sebelah timur Desa Pahlawan Setia Babelan Bekasi. Pada saat itu Desa Pusaka Rakyat terdiri dari beberapa kampung antara lain :
a. Kampung Suka Pura sebelah Barat b. Kampung Kandang Sampi sebelah Timur c. Kampung Malaka I, II, III, IV, sebelah Utara d. Kampung Karang Tengah sebelah Selatan1
1
Selayang pandang Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya, 2009, h. 1.
Seiring dengan perkembangan laju pertumbuhan penduduk maka atas usul beberapa tokoh masyarakat desa, maka pada tahun 1964 Desa Suka Mulya berganti nama menjadi Desa Pusaka Rakyat. Perubahan tersebut terjadi ketika Desa dipimpin oleh Alm. H. Nawi dengan tanpa ada penambahan luas wilayah dari luas sebelumnya. Pada bulan Oktober 1967 dilakukan pemilihan kepala Desa yang pertama setelah pergantian nama, dari hasil pemilihan tersbut H. Amrullah terpilih secara deifinitive menjadi kepala Desa Pusaka Rakyat dan berkantor di Kampung Malaka IV.
Pada masa kepemimpinan H. Amrullah ini, kantor Desa dipindahkan ke Kampung Kandang sapi karena lokasi awalnya dianggap sudah tidak startegis lagi karena terletak di dalam kampung dengan luas tanah yang tidak standar. Pada tahun 1972 atas inisiatif kepala Desa pada waktu itu, maka kantor kepala Desa dipindahkan ke kampung kandang sapi (sekarang SMPN200) dengan pertimbangan letaknya ada di tengah wilayah dan mudah dijangkau dari semua jurusan/arah.
pasti wilayah daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan daerah tingkat 1 Jawa Barat, maka dalam hal ini Desa Pusaka Rakyat termasuk Desa yang termasuk dalam surat keputusan tadi, akibatnya luas wilayah Desa semakin mengkecil karena hampir 85% areal Desa Pusak Rakyat masuk dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta, dan hanya tersisa 215 hektar dari total 1.572 hektar.2
Oleh karena masih sisa areal tanah dan penduduk maka untuk membentuk menjadai suatu wilayah Desa, sebagian dari Desa tetangga yang terdekat atau tepatnya Desa Pahlawan Setia dilimpahkan ke Desa Pusaka Rakyat 519 hektar berikut penduduknya, dan saat ini Desa Pusaka Rakyat menjadi seluas 734 hektar termasuk dalam wilayah Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi.
Wilayah Desa Pusaka Rakyat adalah wilayah penyatuan dari sebagian wilayah Desa Pahlawan Setia yang saat ini sudah sangat jauh berbeda perkembanganya dibanding dengan beberapa tahun sebelumnya. Keadaan ini perlu terus menerus dikembangkan sejalan dengan perubahan zaman, karena wilayah ini masih mempunyai karekteristik tersendiri, baik keadaan alam maupun kehidupan masyarakatnya. Dari pola kehidupan yang statis
2
tradisional kepada tata kehidupan yang dinamis representative serta upaya menyesuaikan diri kepada kehidupan yang social religius.
Adapun Kepala Desa yang pernah menjabat di Desa Pusaka Rakyat yaitu:
a. H.AMRULLAH (1967-1975 dan 1976-1985) b. H. M. NAMAN (1984-1991 dan 1992-2001) c. H. MURSALI (2001-2006)
d. IRPAN DADI (2006 s/d sekarang ).3 2. Kegiatan Ekonomi Masyarakat
Kegiatan ekonomi masyarakat Desa Pusaka Rakya sebagian besar bekerja sebagai petani namun seiring dengan semakin pesatnya mobilitas penduduk dan banyaknya pabrik yang dibangun. Di sekitar Desa Pusaka Rakyat yang mempengaruh pertumbuhan ekonomi, jika pada 5 tahun sebelumnya penduduk mayoritas adalah petani maka kini bergeser menjadi buruh tani da buruh pabrik, untuk lebih jelasnya seperti yang tertera dalam table dibawah ini:
No PEKERJAAN PRESENTASE
1 PETANI 15%
2 BURUH TANI 30%
3 BURUH 25%
4 PEDAGANG 8%
5 PEGAWAI/KARYAWAN 12% 6 LAIN-LAIN 10% Sumber:Laporan Desa Pusaka Rakyat Tahun 2010
B. Eksitensi Desa Pusaka Rakyat 1. Letak Geografis Desa
Desa Pusaka Rakyat merupakan salah satu Desa yang ada di kec. Tarumajaya yang dibatasi oleh beberapa Desa, diantaranya Desa Segera Makmur di sebelah utara, Desa Setia Asih sebelah timur, Desa Medan Satria di sebelah Selatan dan DKI Jakarta di sebelah Barat. Hai ini menujukkan bahwa eksistensi Desa atau keberadaan Desa Pusaka Rakya berada di tengah-tengah wilayah Kecamatan Tarumajaya Bekasi dan berbatasan langsung dengan Ibu Kota DKI Jakarta.
Sedangkan jarak antara Desa dengan pusat pemerintahan Kecamatan sejauh 3 Km, pusat pemerintahan kabupaten 50 Km, pusat pemerintahan propinsi 170Km, dan pusat pemerintahan Ibu Kota Negara 2 Km, sarana transportasinya menggunakan seperti, angkot,ojek dan lain-lain.
Keadaan topografi Desa adalah daratan dengan ketinggian tanah dari permukaan laut sejauh 2 m dpl, ini menunjukkan Desa Pusaka Rakyat berdekatan dengan laut Marunda, sehingga rawan banjir.
Desa ini sekarang mempunyai luas wilayah 734.747 Ha yang terbagi menjadi empat dusun, yaitu sebagai berikut,
c. Dusun III : 335.211 Ha d. Dusun IV : 05.122 Ha4 2. Demogarafi
Keadaan penduduk Desa Pusaka Rakya cukup padat, Desa ini di diami oleh sekitar 15.372. hal ini dikarenakan banyak penduduk yang datang dari luar Desa, sehingga terhitung sampai bulan Desember 2009 Desa didiami oleh sekitar 4.831 kepala keluarga yang terdiri dari 7.736 laki-laki dan 7.636 perempuan, tercatat pula penduduk yang lahir pada tahun tersebut sekitar 83 jiwa dan kematian mencapai18 jiwa pada bulan dan tahun tersebut.5
3. Fasilitas Sosial Desa Pusaka Rakyat
Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, maka perlu di imbangi dengan pembangunan fasilitas sosial baik fisik maupun non fisik, fasilitas jalan. Kesehatan, sosial, penerangan, air bersih, dan olahraga.
Fasilitas sosial yang mulai ada atau sedang dikerjakan adalah Banjir kanal Timur (BKT), PNPM Mandiri ataupun oleh lembaga lain yang bersifat swadaya masyarakat. Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang agama disediakan Madrasah Ibtidaiyah, Majlis Ta’lim ataupun
4
lembaga lainya yang menyelenggarakan kegiatan Keagamaan di hari-hari besar Islam seperti, menyelanggarakan maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, dll. Sedangakan untuk memelihara keamanan dan kenyamanan masayarakat Desa diadakan kegiatan sitem keamanan lingkungan (Pos Kamling), secara bergilir yang dilaksanakan disetiap RT dalam masing-masing Dusun.6
4. Administrasi Pemerintahan Desa/Perangkat Desa
Administrsi Desa Pusaka Rakyat tahun2009 di titik bertakan pada administrasi umum yaitu surat masuk dan keluar, adapun jumlah produk surat keluar dan surat masuk selama bulan Januari s/d Desember 2009 sebagai berikut:
Surat Masuk : 113 Nomor Surat Keluar : 703 Nomor
Pemerintahan Desa Pusaka Rakyat dikepalai oleh kepala Desa yang dibantu oleh beberapa staf pemerintahan dengan status pegawai, non-pegawai Negeri. Sama halnya dengan status kepala Desa sendiri yaitu sebagai pegawai swasta. Perangkat pemerintahan Desa Pusaka Rakyat terdiri dari :
Daftar Perangkat Desa
NO NAMA PENDIDIKAN JABATAN KET
1 IRPAN DADI SLTA KEPALA DESA ADA
2 H.A.HAFIDI SLTA SEK DES ADA
3 MARDANI SLTA KAUR
PEMERINTAHAN ADA
4 UCI SANUSI SLTA KAUR KESRA ADA
5 HANAFI HN SLTA KAUR UMUM ADA
6 JOJO
SUDIRJO.SE SI KAUR KEUANGAN ADA
7 EKO KARMAJI SLTA KAUR EKBANG ADA
8 ALEX.S SLTA KAUR TRANTIB ADA
9 H.A.ZARKASI SLTA KADUS I ADA
10 M.ARUS SLTA KADUS II ADA
11 M.ZAINUDIN SLTA KADUS III ADA
12 A. DJASTIN SLTA KADUS IV ADA
Sedangkan perangkat pemerintahan yang ada di Desa Pusaka Rakyat adalah sebagai berikut:
3. Staf Desa : 13 Orang 4. Ketua Rukun Warga (RW) : 18 Orang 5. Ketua Rukun Tetangga : 64 Orang
C.Pemahaman Masyarakat Tentang Keagamaan dan Hukum Keluarga
Penduduk Desa Pusaka Rakyat mayoritas beragama Islam, dan ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :
NO AGAMA JUMLAH JIWA PERSENTASE
1 ISLAM 12.297 80%
2 Kristen 1.537 10%
3 Hindu/ Budha/lainnya 1.537 105
[image:58.612.108.546.586.698.2]Sumber: Laporan Desa Pusaka Rakyat Tahun 2009
tabel di atas menunjukkan mayoritas masyarakat Desa Pusaka Rakyat beragama Islam. Oleh karena itu fasilitas ibadah umat Islam banyak di bangun karena mayoritas masyarakatnya beragama Islam yaitu mencapai 80% oleh karena itu pembinaan bidang keagamaan di Desa ini harus berjalan dengan baik dengan cara ditopang oleh banyaknya sarana peribadatan yang dibangun seperti terlihat pada tabel di bawah ini :
N O FASILITAS AGAMA MASJID MUS LLA O MAJLIS TAKLIM
1 Dusun I (Kp. Karang Tengah) 1 3 5
2 Dusun II (Tambun Permata) 1 2 4
3 Dusun III (Bogor) 1 3 5
Fasilitas keagamaan yang dibangun, seperti masjid, musollah dan majlis taklim menjadi wadah tersendiri atas kegiatan keagamaan masyarakat, selain itu fasilitas keagamaan tersebut di tunjang juga oleh banyaknya kiyai, ustaz, ustazah maupun tokoh masyarakat lainnya, hal ini menjadikan masyarakat kental dengan nuansa islami.Berkaitan dengan pemahaman masyarakat tentang agama dan fiqih keluarga, berdasarkan hasil pengamatan penulis. Pemahaman agama masyarakat masih sangat minim.
Hal ini terbukti dari hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat. Ustz. H. Abidullah Abdullah, misalnya, mengatakan bahwa masyarakat di Desa Pusaka Rakyat sangat minim dalam mengetahui dan memahami fiqih keluarga khususnya masalah yang berkaitan dengan hak-hak istri yang ditalak oleh suami. Warga masyarakat tidak mengetahui secara signifikan karena tokoh masyarakat terutama tokoh keagamaan memberikan penjelasan hanya secara umum dan memberikan pelajaran yang bersumber dari kitab-kitab salafi seperti Ukhulu Djain dan Tarbiyatul Fil Islam serta memberikan contoh gambaran melalui kisah Nabi Muhammad.
suami dalam menunaikan tanggung jawabnya tetapi terkadang si suami lebih mengedepankan sifat egois yang disebabkan oleh emosi karena masalah perceraian tersebut.7
Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh keagamaan lainnya seperti Ust. A. Payumi. Sag. Ust Payumi mengatakan bahwa permasalahan nafkah iddah ini masih tabu di kalangan masyarakat setempat. Beliau juga mengatakan jika permasalahan ini mampu penulis sosialisasikan dan realisasikan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi di mana para istri yang ditalak akan menuntut hak kepada para suami mereka, kendati perceraian tersebut sudah berlangsung cukup lama.8 Hanya saja beliau mengatakan suami tidak memberikan nafkah iddah disebabkan tidak adanya ekonomi yang menopang suami dalam masalah memberikan nafkah iddah. Pendapat Ust Payumi Berbeda dengan pendapat Ust H.Abidullah Abdullah yang mengatakan factor yang mengedepankan keegoisan semata.
Berkaitan dengan minimnya pemahaman fiqih keluarga, ibu Jaronah, salah seorang responden mengatakan bahwa masalah fiqih keluarga sangat jarang disinggung oleh para pengajar apalagi tentang masalah nafkah iddah, oleh karena itu saya tidak mengetahui nafkah iddah, dibawah ini penuturanya:
7
Ust. H. Abidullah Abdullah, Ulama Setempat, Wawancara Pribadi, Bekasi, 1 April 2010.
8
“Saya tidak tahu nafkah iddah, dikarenakan baik ustz maupun ustdz jarang sekali membahas masalah fiqih keluarga, beliau hanya membehas permasalahan fiqih secara umum.”9
Minimnya pengetahuan masyarakat tentang fiqih keluarga selain karena kurang penjelasan yang mendalam dari para tokoh agama, juga disebabkan oleh ketidakingintahuan masyarakat itu sendiri mengenai fiqih keluarga. Sejauh ini masyarakat hanya tahu secara garis besarnya saja maka tidak mengherankan ada pandangan seperti yang dikemukakan oleh ibu Jaronah tersebut di atas.
Hal yang sama dialami oleh responden lainnya yaitu Ibu Saomah ketika penulis mewawancarinya. Ia mengatakan pehaman agama sangat baik secara keseluruhan akan tetapi masalah fiqih keluarga hanya sedikit