• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERIAN NAFKAH IDDAH OLEH SUAMI KEPADA ISTRI YANG TELAH DI TALAK ( STUDI PUTUSAN NOMOR 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A MATARAM)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PEMBERIAN NAFKAH IDDAH OLEH SUAMI KEPADA ISTRI YANG TELAH DI TALAK ( STUDI PUTUSAN NOMOR 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A MATARAM)"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN NAFKAH IDDAH OLEH SUAMI KEPADA ISTRI YANG TELAH DI TALAK ( STUDI PUTUSAN NOMOR 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A

MATARAM)

JURNAL ILMIAH

Oleh:

TAUFIKURRAHMAN D1A116272

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

2021

(2)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PEMBERIAN NAFKAH IDDAH OLEH SUAMI KEPADA ISTRI YANG TELAH DI TALAK ( STUDI PUTUSAN NOMOR 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr DI PENGADILAN AGAMA KELAS 1A

MATARAM)

JURNAL ILMIAH

Oleh:

TAUFIKURRAHMAN D1A116272

Menyetujui, Pembimbing Pertama

Dr. Aris Munandar, SH.,M.Hum NIP. 196106101987031001

(3)

PEMBERIAN NAFKAH IDDAH OLEH SUAMI KEPADA ISTRI YANG TELAH DI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr DI

PENGADILAN AGAMA KELAS 1A MATARAM) TAUFIKURRAHMAN

D1A116272

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peraturan pemberian nafkah iddah berdasarkan hukum Islam, peraturan perundangan-undangan dan untuk menjelaskan bagaimana pertimbangan Hakim dalam perkara Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr tentang pemberian nafkah iddah. Metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, dengan metode pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan kasus, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian dan pembahasan menunjukan bahwa dalam pemberian nafkah iddah pada putusan perkara Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr Majelis Hakim menyatakan memberikan nafkah iddah kepada BQ. Sri Yulum Andriani karena tidak terbukti nusyuz dan Hakim membebankan kepada Muhammad Busyairi untuk membayar nafkah iddah kepada BQ. Sri Yulum Andriani selama masa iddah seluruhnya sejumlah Rp.

7.500.000,00 (Tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Kata kunci : Pemberian Nafkah, Iddah,

GIVING WAITING PERIOD ALLOWANCE BY HUSBAND TO DIVORCED WIFE

(Study verdict Number 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr In Mataram Islamic Court Class 1A)

ABSTRAK

This research aims to find out regulation of giving waiting period (iddah) allowance according to the Islamic Law and state law,as well as to explain judge’s Consideration in case Number 510/Pdt.G/2018PA.Mtr concerning giving waiting period allowance. The method of this research is normative legal research using statute, conceptual, and case approach. The result of this research experienced that in giving waiting period allowance at verdict Number 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr, panel of judges stated that giving waiting period allowance to Muhammad Busyairi to pay waiting period allowance to Bq. Sri Yulum due to it is not proven “nusyuz” and the judges charged to Muhammad Busyairi to pay waiting period allowance to Bq. Sri Yulum Andriani during waiting period amount of Rp. 7.500.000,00 ( seven million five hundred thousand rupiah).

Keywords: Giving, Allowance, Waiting Period

(4)

I. PENDAHULUAN

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalizan (QS. An-Nisa, 4:21) untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan adapun tujuan dari perkawinan yaitu untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dah rahmah, sebagimana tersurat dan tersirat dalam surah Ar-rum ayat 21.1

Namun suatu perkawinan dapat putus dan berakhir dengan berbagai alasan atau berbagai sebab terjadinya bahtera rumah tangga menjadi tidak harmonis lagi seperti sering terjadi perselisihan dan pertengkaran atau tidak ada kecocokan lagi dalam rumah tangga sehingga sulit akan hidup rukun dalam rumah tangga yang nantinya dapat mengakibatkan terjadinya perceraian.

Perceraian yang terjadi karena adanya talak dari suami terhadap istrinya, maka sesuai dengan Pasal 41 (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa :

1 Mahbud Fauzie, Dasar-Dasar perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam, https//lintasgayo.co, (Diakses pada tanggal 1 November 2020).

(5)

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri”.

Pengadilan dapat mewajibkan kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban kepada bekas istrinya. Dalam hal ini, kewajiban dari bekas suami yakni memberikan Nafkah kepada istri yang sudah di ceraikannya atau bekas istri berupa Nafkah Iddah. Salah satu akibat dari terjadinya perceraian karena talak ialah suami wajib memberikan Nafkah Iddah kepada bekas istrinya. Jadi yang maksud dengan nafkah Iddah itu berarti nafkah yang wajib diberikan oleh suami kepada mantan istrinya setelah terjadinya perceraian karena talak selama dalam masa iddah. Hukum iddah adalah wajib bagi seorang istri yang diceraikan ataupun bercerai dengan mantan suaminya.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah Pengaturan Pemberian Nafkah Iddah Berdasarkan

Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan, (2) Bagaimanakah Pertimbangan Hakim dalam Putusan Perkara Nomor 510/Pdt.G./2018/PA.Mtr di Pengadilan Agama kelas 1A Mataram Tentang Pemberian Nafkah Iddah. a. Tujuan diadakan skripsi ini adalah Untuk mengetahui peraturan pemberian Nafkah Iddah berdasarkan Hukum Islam dan peraturan Perundang-Undangan dan Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam Putusan perkara Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr di Pengadilan Agama kelas 1A Mataram tentang Pemberian Nafkah Iddah. b.

Manfaat penelitian ini Untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai

(6)

derajat S-1 program Studi Ilmu Hukum Universitas Mataram. Manfaat teoritis yaitu Dapat memberikan sumbangan akademis berupa pemikiran tentang pilihan Hukum dalam pelaksanaan pemberian Nafkah Iddah di Pengadilan Agama kelas 1A Mataram. (a). Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian normatif yaitu suatu penelitian ilmiah yang berfungsi untuk mendapatkan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatif di tinjau dari perundang-undangan yang berlaku. (b). Metode pendekatan yang digunakan yaitu : 1. Metode penekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), 2. Metode pendekatan kasus (case approach), 3.

Metode pendekatan konseptual (conceptual approach). (c). Sumber bahan hukum yang digunakan adalah kepustakaan, sedangkan jenis bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. (d). Teknik pengumpulan bahan hukum menggunakan studi pustaka yaitu suatu proses pengumpulan bahan yang dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan mengutip atau mencatat dari bahan-bahan pustaka, makalah-makalah ilmiah, dan dari hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang diangkat dalam penelitian tersebut dan penelaahan terhadap Putusan Pengadilan Agama Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr Mataram. (e). Analisis bahan hukum yang digunakan yaitu dengan metode analisis deskriptif kualitatif.

(7)

II. PEMBAHASAN

Pengaturan pemberian nafkah iddah berdasarkan Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan.

Nafkah adalah pemberian suami yang diberikan kepada istri setelah adanya suatu akad pernikahan. Nafkah wajib karena adanya akad yang sah, penyerahan diri istri kepada suami, dan memungkinkan untuk terjadinya bersenang-senang. Syari‟at mewajibkan nafkah atas suami kepada istrinya. Nafkah hanya diwajibkan atas suami karena tuntutan akad nikah dan karena keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana istri wajib taat kepada suami, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik anak-anaknya.2

Nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap isrtinya, mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Bahkan dalam Al-Qur‟an sendiri telah mewajibkan mengenai hal itu. Sebagaimana Allah SWT Berfirman:

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakain kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian.”(QS.Al-Baqarah:233)3

2 Abdul Aziz Muhammad Azzam, fiqh munakahat, amzah, Jakarta, 2009, hlm.

212-213.

3 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al Maraghi, Pt. Karya Toha Putra, Semarang, 1993, hlm. 316.

(8)

Pengaturan Nafkah dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dilihat dalam Pasal 80 ayat(2) dan ayat(4), yaitu :

“Bahwa suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sesuai dengan pengahasilannya, suami menanggung Nafkah, kiswan dan tempat kediaman bagi istri, Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak, Biaya pendidikan bagi anak.”4

Hukum memberi nafkah keluarga ini wajib atas suami, prinsip tentang penentuan nafkah adalah penyesuaian antara kemampuan suami dan kebutuhan istri. berdasarkan Al-Qur‟an dan Hadist Nabi SAW.

Allah SWT berfirman :

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari apa yang telah Allah karuniakan kepadanya.

Allah tidaklah memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang telah Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelpangan setelah kesempitan.” (QS. At-Talaq :7)

Nabi SAW bersabda:

“Apa yang engkau berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk orang tuamu, maka itu adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan istrimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.”5

4 Letezia Tobing, Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah, m.hukumonline.com. (Diakses pada tanggal 10 Januari 2021).

5 Yayasan Lajnah Istiqomah, Nafkah Untuk Sang Istri, almanhaj.or.id/, (Diakses tanggal 11 Januari 2021).

(9)

Iddah (waktu menunggu) di dalam agama Islam adalah sebuah masa

di mana seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari menikahi laki-laki lain.

Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan darah suaminya. Di khawatirkan, seorang wanita yang sedang mengadung saat akan menikah lagi sehingga anaknya menjadi anak pria yang dia nikahi. Iddah diwajibkan untuk memastikan apakah perempuan tersebut rahimnya sedang mengadung atau tidak, hal tersebut adalah penyebab kenapa seorang perempuan harus menunggu dalam masa yang telah ditentukan.6

Jadi nafkah iddah itu adalah segala sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada istri yang telah diceraikannya untuk memenuhi kebutuhan selama dalam masa „iddah, baik itu berupa pakaian, makanan maupun tempat tinggal. Kewajiban suami memberikan nafkah iddah kepada istri yang diceraikannya merujuk pada pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam ( KHI) menyatakan :

“Akibat putusnya perkawinan karena talak, maka suami wajib memberikan nafkah Iddah , maskan (tempat tinggal) dan kiswan (pakaian) kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekass istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan keadaan tidak hamil”

6 http://id.m.wikipedia.org/Iddah, (Diakses pada tanggal 13 Januari 2021).

(10)

Kewajiban memberikan nafkah iddah dipertegas lagi dalam Pasal 152 Kompilasi hukum Islam yang menyebutkan bahwa “Bekas istri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.” 7

Masa Iddah (waktu tunggu) sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai pijakan pengaturan hukum Islam di Indonesia.

Berikut adalah aturan mengenai masa iddah yang diatur dalam Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai berikut :

(1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut : a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun

qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh hari).

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh hari), dan bagi yang tidak haid, ditetapkan 90 (sembilan puluh hari).

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan 90 (sembilan puluh hari).

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.

(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

7 Heniyatun, Puji Sulistyaningsih, Siti Anisah, Pemberian Mut’ah dan Nafkah Iddah dalam Perkara Cerai Gugat, Journals. Ums.ac.id/, (Diakses, pada tanggal 15 Januari 2021).

(11)

(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.

(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.8

Mengenai tanggung jawab suami atau kewajiban suami memberikan nafkah kepada mantan istrinya setelah terjadinya perceraian, diatur dalam Undang-Undang perkawinan pada Pasal 41 huruf (c) yang menyatakan :

“Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.”

Dalam KUHPerdata juga ada pengaturan mengenai nafkah secara eksplisit, yaitu di atur dalam Pasal 107 ayat (2) yang menyatakan :

“Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan kepada istrinya segala apa yang perlu dan patut sesuai dengan kedudukan dan kemampuan si suami.”9

Ketentuan masa iddah (masa tunggu) telah diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan :

(1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 2010, hlm. 150.

9 Riza Fauzan Anshari, Hutang Nafkah Dalam Perkawinan setelah terjadi perceraian, ppjp.ulm.ac.id, (Diakses pada tanggal 25 Januari 2021).

(12)

telah dijelaskan tentang masa Iddah (masa tunggu) yaitu pada pasal 39 yang menyatakan :

(1) Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) Undang-Undang ditentukan sebagai berikut:

a) Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci sekurang-kurangnya 90 hari (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

c) Apabila perkawinan putus karena janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu di tetapkan sampai melahirkan.

(2) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin.

(3) Bagi perkawinan putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

Adapun salah satu kasus yang terjadi dengan perkara Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr di Pengadilan Agama kelas 1A Mataram bahwa faktor penyeab terjadinya perkara ini adalah perkara cerai talak yang di mana antara Muhammad Busyairi disebut sebagai Penggugat melawan BQ. Sri Yulum Andriani disebut sebagai Tergugat. Pada pokok permasalahan dalam perkara ini yang menyebabkan Pengugat mengajukan cerai talak tersebut atau yang menyebabkan Penggugat memutuskan menceraikan Tergugat atau pisah dengan Tergugat, karena sering terjadinya perselisihan dan tidak ada kecocokan dalam rumah tangganya sehingga sulit akan hidup rukun dalam rumah tangganya, dan salah satu sebab terjadinya pertengkaran antara Penggugat dan Tergugat karena

(13)

Tergugat tidak bisa memberikan keturunan/anak. karena Penggugat merasa hidup tidak nyaman dalam rumah tangganya yang menyebabkan rumah tangga tidak harmonis dan tidak ada harapan untuk rukun kembali, maka Penggugat memutuskan untuk berpisah dengan Tergugat atau menceraikan Tergugat. Bahwa dalam perkara ini BQ. Sri Yulum andrian menggugat balik Muhammad Busayiri dan pokok dari gugatan baliknya ialah karena akibat adanya perceraian itu, BQ. Sri Yulum Andrani disebut sebagai Penggugat menuntut kepada Muhammad Busyairi disebut sebagai Terggugat untuk meberikan nafkah iddah sebesar Rp. 2.500.000,00 selama tiga bulan atau selama masa iddah seluruhnya sejumlah Rp. 7.500.00,00 (Tujuh juta lima ratus ribu rupiah). Bahwa dalam persidangan, Tergugat atau Muhammad Busyairi memberikan tanggapan bahwa Tergugat menerima dan setuju atas nafkah iddah dan sanggup sesuai tuntutan BQ.

Sri Yulum Andriani/Penggugat dan yang disepakati dalam persidangan tersebut. Dari permasalah tersebut majelis Hakim memberikan Putusan mengenai Pemberian Nafkah iddah yakni menghukum Muhammad Buyairi/Tergugat untuk menyerahkan dan membayar nafkah iddah kepada Penggugat/BQ. Sri Yulum Adriani Rp. 2.500.000,00 selama tiga bulan yang seluruhnya sejumlah Rp. 7. 500.000,00 (Tjuh juta lima ratus ribu rupiah).

(14)

Pertimbangan Hakim tentang pemberian Nafkah Iddah pada Putusan Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr di Pengadilan kelas 1A Mataram.

Dalam pertimbangan Hakim tentang pemberian Nafkah Iddah dalam perkara cerai talak tersebut, bahwa menurut Majelis Hakim Penggugat Rekonvensi disebut sebagai istri tidak terbukti nusyuz dan berhak atas nafkah selama masa iddah atau berhak atas nafkah Iddah. jadi sebab pemberian nafkah iddah oleh Majelis Hakim adalah karena Penggugat Rekonvensi tidak terbukti nusyuz. Yang disebut dengan nusyuz ialah suatu tindakan yang dilakukan oleh istri yang dianggap menentang kehendak suami, meninggalkan perintah suami, membenci suami, istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya, atau tindakan itu dikira durhaka kepada suami.

Bahwa oleh karena menurut Majelis Hakim Penggugat Rekonvensi disebut sebagai istri tidak terbukti nusyuz dan berhak mendapatkan nafkah iddah. maka mengenai jumlah nafkah Iddah tersebut, berdasarkan atas

kesepakatan dalam persidangan bahwa Penggugat Rekonvensi menuntut nafkah iddah sejumah Rp. 2.500.000,00 setiap bulan sesuai kesepakatan dalam persidangan dan Tergugat Rekonvensi menyatakan menyanggupi tuntutan Penggugat Rekonvensi mengenai nafkah Iddah sebesar Rp.

2.500.000,00 selama 3 bulan yang seluruhnya sejumlah Rp. 7.500.000,00.

Maka berdasarkan hasil kesepakatan dalam persidangan dan didukung dengan penghasilan/gaji Tergugat Rekonvensi, Majelis Hakim

(15)

membebankan kepada Tergugat Rekonvensi disebut sebagai suami untuk membayar Nafkah Iddah selama masa iddah yaitu 3 bulan kepada Penggugat Rekonvensi seluruhnya sejumlah Rp. 7.500.000,00 (Tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Bahwa menurut Majelis Hakim mengenai pemberian Nafkah Iddah tersebut mempunyai dasar hukum yang kuat sesuai dengan pasal 149 huruf (b) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Yakni :

“Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil.”

Dari pertimbangan hakim bahwa dengan putusnya perkawinan antara seorang perempuan dengan suaminya, maka bagi bekas istrinya berkewajiban menjalani masa iddah selama tiga kali suci atau sekurang- kurangnya 90 hari berdasarkan ketentuan pasal 153 ayat (1) dan (2) KHI ( Kompilasi Hukum Islam) Inpres Nomor 1 Tahun 1991, yakni :

1. Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:

b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.

c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

(16)

III. PENUTUP

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis pembahasan tentang putusan dalam perkara Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr di Pengadilan Kelas 1A Mataram dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hukum Islam tentang pemberian nafkah iddah ialah wajib karena nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap istri, bahkan dalam Al-Qur‟an telah mewajibkannya. Kewajiban suami memberikan nafkah iddah merujuk pada Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Pasal 152 (KHI). dan Masa iddah atau waktu tunggu diatur dalam Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KUHPerdata telah diatur tentang nafkah yaitu dalam Pasal 107 ayat(2), sedangakan dalam peraturan Perundang-Undangan diatur dalam Undang-Undang perkawinan pada Pasal 41 huruf (c). Ketentuan masa iddah (masa tunggu) telah diatur juga dalam peraturan perundang-undangan pasal 11 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam Pasal 39 peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

2. Berdasarkan Putusan Nomor 510/Pdt.G/2018/PA.Mtr bahwa Majelis Hakim memberikan pertimbangan tentang pemberian nafkah iddah dalam perkara cerai talak tersebut, menyatakan bahwa Penggugat Rekonvensi disebut sebagai istri yaitu Sri Yulum Andriani berhak mendapatkan nafkah

(17)

iddah karena Penggugat Rekonvensi tidak terbukti nusyuz. yang disebut

dengan nusyuz ialah suatu tindakan yang dilakukan oleh istri yang dianggap menentang kehendak suami, meninggalkan perintah suami, membenci suami, istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya, atau tindakan itu dikira durhaka kepada suami. dan untuk Tergugat Rekonvensi disebut sebagai suami yaitu Muhammad Busyairi untuk membayar nafkah iddah yaitu nafkah maskan dan kiswan, sesuai dengan Pasal 149 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam (KHI). dari pertimbangan Hakim dalam pemberian nafkah Iddah, Majelis Hakim membebankan kepada Tergugat Rekonvensi untuk membayar nafkah iddah selama 3 bulan seluruhnya sejumlah Rp. 7.500.000,00 (Tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

SARAN

Diharapkan bagi para penegak Hukum khususnya para Hakim untuk selalu berperilaku adil dan bijaksana. Adil dan bijaksana dalam hal memberikan perlakuan yang sama serta tidak memihak. Khususnya pada saat memutuskan suatu perkara dengan mempertimbangkan dari dalil-dalil yang fakta dan jelas.

Pada putusan perkara tentang cerai talak ini, Hakim cukup adil dalam mempertimbangkan dan menetapkan pemberian Nafkah Iddah oleh Suami kepada mantan Istrinya.

(18)

DAFTAR PUSTAKA Buku-buku

Abdurrahman, 2010, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta.

Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2009, fiqh munakahat, Amzah, Jakarta.

Ahmad Musthafa Al-Maraghi, 1993, Terjemah Tafsir Al Maraghi, Pt.

Karya Toha Putra, Semarang.

Website

Mahbud Fauzie, Dasar-Dasar perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam, https//lintasgayo.co, (Diakses pada tanggal 1 November 2020).

Letezia Tobing, Dasar Hukum Kewajiban Suami Memberi Nafkah, m.hukumonline.com. (Diakses pada tanggal 10 Januari 2021).

Yayasan Lajnah Istiqomah, Nafkah Untuk Sang Istri, almanhaj.or.id/, (Diakses tanggal 11 Januari 2021).

http://id.m.wikipedia.org/Iddah, (Diakses pada tanggal 13 Januari 2021).

Heniyatun, Puji Sulistyaningsih, Siti Anisah, Pemberian Mut’ah dan Nafkah Iddah dalam Perkara Cerai Gugat, Journals. Ums.ac.id/, (Diakses, pada tanggal 15 Januari 2021).

Riza Fauzan Anshari, Hutang Nafkah Dalam Perkawinan setelah terjadi perceraian, ppjp.ulm.ac.id, (Diakses pada tanggal 25 Januari 2021).

Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 41 (c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Pasal 11 Undang-Undang Nomoe 1 Tahun 1974.

Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan tersebut antara lain adalah: (a) lemahnya koordinasi antarunit pelaksana praktik mengajar yang berdampak pada rendahnya kinerja

Perceived value berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen, yang menunjukkan pemberian perceived value yang baik kepada konsumen akan semakin

manual seperti melakukan pemesanan, pembayaran yang mengharuskan pelanggan datang lansung ke hotel di terapkan ke dalam sebuah sistem aplikasi berbasis web agar

Burchardt (1986) menambahkan bahwa kadar alkalin fosfatase pada perlakuan teknik tandur tulang bentuk blok autograft non- dekortikasi sesudah operasi bisa terlihat

Pendidikan keaksaraan adalah salah satu bentuk layanan pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah bagi warga masyarakat yang belum dapat membaca, menulis

Pengelolaan berbasis PHT dapat dilakukan dengan saran sebagai berikut: Berusaha untuk tidak membuat luka pada buah, membersihkan lahan dari sisa-sisa tanaman yang berpenyakit,

iap$tiap %enis ikatan dalam molekul mempunai konstanta kekuatan ikat sendiri$sendiri, maka  %ika suatu sinar IR dengan frekuensi ang. erurutan ' kontinu) dikenakan

bimbingan karir yang diterapkan bagi siswa tunagrahita di Sekolah Luar Biasa Negeri Tamanwinangun Kebumen. Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian